Topik: longsor

  • Warung di Tembalang Sediakan Makan Gratis untuk Mahasiswa Sumatera Terdampak Bencana
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        10 Desember 2025

    Warung di Tembalang Sediakan Makan Gratis untuk Mahasiswa Sumatera Terdampak Bencana Regional 10 Desember 2025

    Warung di Tembalang Sediakan Makan Gratis untuk Mahasiswa Sumatera Terdampak Bencana
    Tim Redaksi
    SEMARANG, KOMPAS.com
    – Sebuah warung makan di Jalan Tirto Agung Nomor 64, Tembalang, Kota Semarang, menyediakan makanan gratis bagi mahasiswa asal Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang terdampak bencana.
    Program ini dibuka tanpa syarat rumit. Cukup menunjukkan KTP atau kartu mahasiswa, mereka boleh makan apa pun, bahkan hingga tiga kali sehari.
    Adalah Warma, kedai yang dikenal dengan menu nasi goreng dan ramen, yang memulai inisiatif tersebut sejak empat hari terakhir.
    Program ini lahir dari empati pemilik warung setelah mendengar banyak mahasiswa perantau kehilangan akses komunikasi dengan keluarga dan kesulitan memenuhi kebutuhan makan.
    “Kami merasa perlu membantu. Banyak mahasiswa yang selama empat lima hari benar-benar tidak bisa menghubungi keluarga mereka,” ujar Dion Edison, Kepala Operasional Warma, Rabu (10/12/2025).
    Menurut Dion, situasi itu juga diperparah karena bertepatan dengan akhir bulan.
    “Banyak yang terjebak karena posisi akhir bulan. Jadi kami putuskan buka program makan gratis. Mau makan sekali, dua kali, tiga kali, semua boleh,” imbuhnya.
    Warma tidak memberikan pembatasan menu. Mahasiswa dipersilakan memilih ramen, nasi goreng khas Padang, soto, hingga berbagai minuman.
    “Ini sifatnya all you can eat. Silakan makan apa pun yang ada di sini. Kami hanya ingin membantu meringankan beban mereka,” kata Dion.
    Program ini juga tidak dibatasi waktu. Warma berencana menjalankannya selama satu hingga dua bulan, sambil mengikuti perkembangan kondisi mahasiswa.
    “Kami sudah menyiapkan anggaran internal. Kalau habis, akan kami tambah lagi. Yang penting teman-teman bisa bertahan, apalagi sekarang banyak yang lagi UAS,” ujarnya.
    Sebelumnya, sekitar 120 mahasiswa asal Aceh,
    Sumatera
    Barat, dan Sumatera Utara yang menempuh studi di
    Semarang
    mengalami kesulitan ekonomi akibat banjir dan longsor di daerah asal mereka.
    Komunikasi dengan keluarga sempat terputus total, membuat biaya kos, kebutuhan harian, dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) tidak bisa terbayar.
    “Banyak teman-teman sudah tidak bisa bayar kos. Bahkan ujian tertunda karena UKT belum dibayar dan mereka tidak bisa mengabari orang tua,” ujar Yuda Sandi Prananta (21), mahasiswa UPGRIS sekaligus perwakilan mahasiswa Aceh–Sumut di Semarang.
    Mahasiswa kini sangat bergantung pada bantuan sesama perantau. Menurut Yuda, sebagian mahasiswa menerima kabar memilukan.
    “Ada juga laporan keluarga hanyut terbawa arus dan meninggal,” tuturnya dengan suara bergetar.
    Banyak orang tua kehilangan mata pencaharian karena akses darat terputus dan sejumlah desa hancur diterjang banjir.
    Lebaran semakin dekat, namun banyak mahasiswa mengaku tidak dapat pulang karena keterbatasan biaya dan kondisi daerah yang masih lumpuh.
    Meski begitu, Yuda menegaskan mereka tetap berusaha bertahan dan saling membantu.
    “Kami di sini tetap berjuang. Jangan sampai mimpi kami putus hanya karena uang,” pungkasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kaltim Terancam “Bom Waktu” Bencana: Hutan Menyusut, Tambang dan Sawit Jadi Sorotan
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        10 Desember 2025

    Kaltim Terancam “Bom Waktu” Bencana: Hutan Menyusut, Tambang dan Sawit Jadi Sorotan Regional 10 Desember 2025

    Kaltim Terancam “Bom Waktu” Bencana: Hutan Menyusut, Tambang dan Sawit Jadi Sorotan
    Tim Redaksi
    SAMARINDA, KOMPAS.com
    – Deretan banjir bandang dan longsor yang menelan korban serta melumpuhkan permukiman di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar bencana alam.
    Bagi
    Kalimantan Timur
    (Kaltim), peristiwa itu adalah cermin masa depan jika pola pengelolaan hutan dan sumber daya alam terus berjalan seperti sekarang.
    Pengamat Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
    Universitas Mulawarman
    ,
    Saipul Bahtiar
    , menilai risiko bencana di Kaltim bukan lagi potensi, melainkan bom waktu yang ditanam lewat kebijakan negara selama puluhan tahun.
    “Ini bukan kejadian tiba-tiba. Dari era kayu, lalu masuk ke tambang terbuka dan sawit. Semua itu sama-sama menebang hutan. Dampaknya hari ini mulai kita rasakan,” kata Saipul dalam wawancara, Rabu (10/12/2025).
    Saipul menelusuri akar persoalan sejak era Orde Baru, ketika Kalimantan menjadi pusat eksploitasi kayu untuk pasar domestik dan ekspor.
    Setelah era kayu meredup, eksploitasi bergeser ke pertambangan, yang pada awalnya masih menggunakan metode tertutup.
    Perubahan drastis terjadi sejak awal 2000-an.
    Model tambang terbuka dan ekspansi besar-besaran perkebunan sawit mulai dijalankan secara paralel, didukung kebijakan nasional dan kemudahan perizinan.
    “Tambang terbuka dan sawit itu sama-sama mengunduli lahan. Hutan ditebang, lalu diganti lahan industri,” ujarnya.
    Menurut Saipul, pergeseran ini mengubah struktur ekologis Kaltim secara fundamental.
    Daya serap air yang selama ini dijaga hutan hujan tropis perlahan hilang, sementara permukaan tanah berubah menjadi bentang lahan terbuka yang rentan banjir dan longsor.
    Pemerintah kerap menyebut aktivitas tambang dan sawit telah memenuhi standar ramah lingkungan. Namun, Saipul menilai klaim itu tidak sejalan dengan kondisi di lapangan.
    Salah satu indikator yang disorot adalah kualitas air sungai.
    Sungai Mahakam dan sejumlah anak sungainya menjadi sumber utama air baku masyarakat, namun kini terpapar limbah industri.
    “Air sungai sudah tercemar sisa batubara, pupuk sawit, dan pestisida. Tapi inilah air yang dipakai warga untuk minum dan kebutuhan harian,” katanya.
    Kondisi tersebut, menurut Saipul, menunjukkan adanya kegagalan negara dalam melindungi hak dasar warga atas lingkungan hidup yang sehat.
    Masalah lain yang tak kalah krusial adalah reklamasi pascatambang.
    Secara aturan, perusahaan wajib memulihkan lahan setelah izin berakhir.
    Namun di lapangan, lubang-lubang tambang dibiarkan menganga.
    “Dana jaminan reklamasi itu tidak rasional. Jumlahnya jauh dari cukup untuk mengembalikan lahan ke kondisi semula. Akhirnya reklamasi formalitas saja,” ujar Saipul.
    Ia menyebut, bekas lubang tambang yang berubah menjadi danau tanpa pengamanan kini tersebar di berbagai wilayah Kaltim, bahkan dekat permukiman warga.
    Saipul menegaskan, kerusakan lingkungan di Kaltim diperparah oleh perubahan jenis vegetasi.
    Akar pohon hutan hujan tropis berfungsi menyerap, menyimpan, dan mengatur aliran air.
    Fungsi ini tidak tergantikan oleh tanaman monokultur seperti sawit.
    “Ketika hutan diganti sawit atau tambang, sistem alami pengendali banjir hilang. Dalam kondisi hujan ekstrem, bencana tinggal menunggu waktu,” katanya.
    Ia menilai, potensi bencana di Kaltim bahkan lebih besar dibanding wilayah Sumatera dan Aceh, mengingat skala bukaan lahan yang sudah sangat luas.
    Dalih pertumbuhan ekonomi kerap digunakan untuk mempertahankan ekspansi tambang dan sawit.
    Namun, Saipul mempertanyakan narasi bahwa investasi otomatis membawa kesejahteraan masyarakat.
    “Yang menikmati keuntungan itu pemilik modal. Masyarakat sekitar tambang justru mewarisi banjir, jalan rusak, dan kemiskinan,” ujarnya.
    Saipul menyebut banyak wilayah kaya batubara di Kaltim tetap tertinggal secara sosial dan infrastruktur.
    Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan antara kontribusi sumber daya alam dan kesejahteraan rakyat.
    Sejak kewenangan perizinan ditarik ke pemerintah pusat, menurut Saipul, proses mitigasi bencana justru makin diabaikan.
    Banyak izin diterbitkan tanpa kajian risiko ekologis yang serius.
    “Ini bentuk pengabaian mitigasi. Ketika bencana terjadi, yang disalahkan pemerintah sebelumnya. Pola seperti ini berulang dan tidak pernah selesai,” katanya.
    Ia menilai, kebijakan hari ini lebih berorientasi pada angka pendapatan jangka pendek ketimbang keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat.
    Saipul menegaskan, revisi kebijakan masih mungkin dilakukan.
    Namun, jika pola eksploitasi terus berlanjut, Kaltim berisiko menghadapi bencana yang jauh lebih besar di masa depan.
    “Kalau mau jujur, ini memang terlambat. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” ujarnya.
    Ia juga mengkritik klaim keberhasilan daerah yang sering dibanggakan lewat besarnya kontribusi Kaltim terhadap pendapatan nasional.
    Menurut Saipul, data penguasaan lahan, pajak, dan manfaat ekonomi belum pernah dibuka secara transparan ke publik.
    Menurut Saipul, akar persoalan terletak pada penguasaan sumber daya alam oleh swasta.
    Selama batubara dan sawit dikelola privat, manfaatnya tidak akan mengalir ke masyarakat luas.
    “Kalau benar untuk kesejahteraan rakyat, seharusnya dikelola negara lewat BUMN atau BUMD. Kalau tidak, ini hanya pembohongan publik,” tegasnya.
    Ia mengingatkan, tanpa perubahan arah kebijakan, Kaltim berpotensi mewarisi krisis lingkungan yang lebih parah daripada bencana yang kini melanda wilayah lain di Indonesia.
    “Yang tersisa nanti bukan kesejahteraan, tapi alam yang hancur dan masyarakat yang menanggung akibatnya,” tutup Saipul.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wamenkomdigi Sebut Pungli Layanan Starlink Dilakukan Pengguna Pribadi

    Wamenkomdigi Sebut Pungli Layanan Starlink Dilakukan Pengguna Pribadi

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menanggapi kabar adanya pungutan liar (pungli) terhadap penggunaan layanan internet satelit Starlink di wilayah bencana Aceh dan Sumatra.

    Sebelumnya, beredar di media sosial klaim bahwa korban bencana membayar hingga Rp20 triliun untuk mendapatkan akses internet Starlink selama satu jam.

    Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria menegaskan seluruh layanan Starlink yang dikirim pemerintah ke wilayah bencana diberikan secara gratis. Namun, dia tidak menampik kemungkinan adanya perangkat milik pribadi yang memungut biaya, karena hal tersebut berada di luar kewenangan Komdigi.

    “Starlink ini bukan cuma pemerintah saja. Ada juga pribadi-pribadi yang punya Starlink. Nah kalau dia mengut biaya ya itu di luar,” kata Nezar ditemui usai acara Desklarasi Arah Indonesia Digital di Jakarta pada Rabu (10/12/2025).

    Dia menyebut layanan Starlink pada dasarnya diberikan gratis untuk wilayah bencana, sesuai kebijakan perusahaan SpaceX yang memang menyediakan bantuan serupa di berbagai daerah terdampak di seluruh dunia, tidak hanya di Aceh atau Sumatra.

    Nezar menambahkan layanan tersebut digratiskan selama satu bulan. Komdigi pun menyampaikan apresiasi atas kebijakan perusahaan asal Amerika Serikat (AS) tersebut.

    Dia menambahkan, Komdigi telah mengirimkan beberapa perangkat Starlink untuk mendukung konektivitas di wilayah Aceh dan Sumatra. Koneksi tersebut membantu para korban bencana, meski sesekali mengalami latensi akibat faktor cuaca.

    “Karena semalam hujan deras di daerah timur Aceh gitu. Tapi overall dia bekerja dengan baik untuk memberikan pesan-pesan dan juga komunikasi antar warga,” ujarnya.

    Untuk Aceh, Nezar mengungkapkan perangkat yang dikirim pemerintah ditempatkan di sejumlah wilayah, termasuk Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tamiang, Bener Meriah, dan Takengon. Sebelumnya, Komdigi menyalurkan 32 unit perangkat Starlink untuk membantu masyarakat yang terdampak banjir dan longsor di Sumatra Barat. 

    Bantuan ini diberikan untuk mempercepat pemulihan layanan di wilayah yang mengalami kerusakan infrastruktur telekomunikasi. Kepala Balai Monitor Kelas II Padang Kementerian Komdigi, M. Helmi, menjelaskan jumlah perangkat yang dikirimkan telah disesuaikan dengan permintaan dan kebutuhan masyarakat di lokasi bencana. 

    “Komdigi tidak memungut biaya untuk penggunaan Starlink ini oleh masyarakat terdampak bencana. Setelah masa tanggap darurat berakhir, kebijakan penggunaan akan disesuaikan, termasuk kemungkinan pemanfaatan komersial,” kata Helmi dalam keterangan resmi pada Rabu (3/12/2025).

  • Nusron soal Ajakan Beli Hutan Buntut Banjir Sumatera: Nggak Boleh Dijualbelikan!

    Nusron soal Ajakan Beli Hutan Buntut Banjir Sumatera: Nggak Boleh Dijualbelikan!

    Jakarta

    Viral di media sosial soal patungan membeli hutan di Indonesia. Ajakan ini muncul usai banjir dan longsor melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

    Ajakan tersebut bertujuan agar hutan di Indonesia tak dibabat secara serampangan yang mengakibatkan penggundulan hutan.

    Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menegaskan hutan bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan.

    “Hutan kan nggak boleh dijual belikan, hutan itu bukan komoditas yang bisa dijual belikan,” kata Nusron di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (10/12/2025).

    Apabila masyarakat ingin berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan, langkah yang benar adalah melalui penanaman kembali atau reboisasi.

    “Kalau mau membangun hutan baru, reboisasi Itu dengan senang hati, memang kita harus gerakan masyarakat untuk itu. Tapi kalau membeli hutan, hutan itu bukan komoditas yang bisa dijual belikan,” katanya.

    Sebelumnya, ide patungan membeli hutan tersebut digaungkan oleh aktivis lingkungan Pandawara Group. Aksinya tersebut dukungan luar biasa, terutama setelah publik melihat betapa parahnya deforestasi dan bencana yang terjadi belakangan, termasuk di Sumatera.

    Salah satu respons paling mencolok datang dari penyanyi Denny Caknan. Tanpa banyak pikir panjang, ia langsung menyatakan siap menyumbang Rp 1 miliar untuk mewujudkan ide tersebut.

    “Mungkin terlihat tidak mungkin. Terlihat ngawur. Tapi kalau dipikir-pikir masuk akal juga lamunannya,” tulis Denny dikutip dari detikpop.

    “Walaupun aku nggak iso mikir cara belinya gimana, @pandawaragroup adalah simbol kepedulian kita terhadap lingkungan. Saya hanya seniman daerah yang sedikit membantu mimpi Pandawara dan untuk Indonesia.”

    Tak hanya Denny Caknan, selebritas lain juga langsung ikut meramaikan lini komentar. Denny Sumargo, dengan gaya khasnya, langsung menyambar.

    “1 miliar pertama gw,” tulisnya.

    Vidi Aldiano pun tak mau ketinggalan. Singkat tapi penuh makna, “Ikut.”

    Atta Halilintar ikut nimbrung dengan komentar yang sama, “Ikut.”

    Konten kreator Ladislao Camara Carranza juga memberi respons antusias, begitu pula Rayi Putra RAN yang menuliskan, “Setuju,” menunjukkan ide ini benar-benar membuka mata banyak pihak.

    Pandawara, memulai percakapan ini lewat unggahan berisi lamunan: bagaimana kalau masyarakat Indonesia patungan untuk membeli hutan-hutan agar tak dialihfungsikan? Mereka juga membagikan kondisi real hutan Indonesia dan sejumlah aturan soal batasan luas perkebunan sawit.

    “Karena alih fungsi dan deforestasinya sudah berlebihan banget, guys,” tulis Pandawara.

    Mereka bahkan mengajak publik berpikir ulang soal regulasi yang ada.

    “Gimana, guys? Apakah alih fungsi yang saat ini ada sudah sesuai dengan aturan di atas?”

    (hrp/hns)

  • Muhammadiyah Instruksikan Infak Jumat Dialihkan untuk Bantu Korban Bencana Sumatra

    Muhammadiyah Instruksikan Infak Jumat Dialihkan untuk Bantu Korban Bencana Sumatra

    Bisnis.com, JAKARTA – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menginstruksikan agar infak Jumat di seluruh masjid Persyarikatan Muhammadiyah dialihkan untuk membantu penanganan korban bencana banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, serta sejumlah wilayah lain yang terdampak bencana tersebut.

    Instruksi ini disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, sebagai tindak lanjut Surat Keputusan Muhammadiyah mengenai penghimpunan dana infak Jumat untuk kepedulian terhadap bencana yang melanda saudara sebangsa dan setanah air.

    Kebijakan pengalihan tersebut juga berlaku bagi seluruh Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) dan pengurus masjid di lingkungan persyarikatan.

    Pengumpulan infak dilakukan pada Jumat 12, 19, dan 26 Desember 2025. Langkah kepedulian ini akan dikoordinasikan bersama dengan Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah (Lazismu) dan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) dari tingkatan ranting, cabang, hingga daerah agar penyaluran berjalan terpadu dan terkoordinasi dengan baik.

    Haedar juga menginstruksikan agar setelah proses penghimpunan dan distribusi selesai, setiap tingkat kepengurusan diwajibkan memberikan laporan secara berjenjang.

    “Dan, bersamaan dan setelah itu dilakukan pelaporan penghimpunan dan penyaluran dana tersebut dengan sebaik-baiknya kepada pimpinan Persyarikatan di atasnya,” ujar Haedar dalam keterangan resminya yang dikutip Rabu (10/12/2025).

    Melalui langkah ini, Haedar mengajak seluruh warga Muhammadiyah untuk memperkuat solidaritas, berlomba-lomba dalam kebaikan, dan saling membantu sesama yang tengah mengalami musibah besar sebagai wujud persaudaraan.

    “Kepada seluruh anggota Persyarikatan Muhammadiyah mari kita Fastabiqul Khairat mengeluarkan dana infak tersebut seoptimal mungkin. Karena itulah yang dapat kita lakukan sebagai bagian dari dan wujud persaudaraan kita terhadap saudara-saudara yang tertimpa dan terdampak musibah banjir, tanah longsor, dan lain-lain di berbagai daerah. Khususnya Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tersebut,” tegasnya.

  • Kick Off RKPD Jatim 2027, Deni Wicaksono Dorong Penyamaan Persepsi untuk Pembangunan Responsif Berbasis Alam

    Kick Off RKPD Jatim 2027, Deni Wicaksono Dorong Penyamaan Persepsi untuk Pembangunan Responsif Berbasis Alam

    Malang (beritajatim.com) – Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Deni Wicaksono, mendorong pentingnya penyamaan persepsi sejak awal dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Timur Tahun 2027.

    Kick off penyusunan RKPD menjadi momentum strategis untuk memastikan arah pembangunan benar-benar menjawab kebutuhan riil masyarakat dan tantangan jangka menengah daerah.

    “Kick off ini menjadi ruang awal untuk menyamakan persepsi, memperkuat koordinasi, dan memastikan setiap langkah perencanaan berpijak pada data, kebutuhan riil masyarakat, serta arah kebijakan jangka menengah daerah,” kata Deni saat Kick Off penyusunan RKPD Provinsi Jawa Timur 2027 di Hotel Harris Malang, Rabu (10/12/2025).

    Kegiatan ini dihadiri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas melalui sambungan Zoom serta seluruh Kepala Bappeda provinsi dan kabupaten/kota se-Jawa Timur.

    “Kehadiran Bappenas dan seluruh Bappeda se-Jawa Timur menunjukkan perencanaan pembangunan harus sinkron dari pusat hingga daerah,” ujar dia.

    Deni menyampaikan fokus pembangunan Jawa Timur tahun 2027 diarahkan pada penguatan pelayanan dasar sebagaimana tertuang dalam RPJMD Jawa Timur 2025–2029. Arah tersebut mencakup urusan pemerintahan wajib sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

    “Pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, serta ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan sosial menjadi prioritas yang harus dijaga,” ucapnya.

    Menurut Deni, RKPD tidak boleh berhenti sebagai dokumen teknokratis semata. Proses perencanaan pembangunan harus benar-benar merefleksikan aspirasi masyarakat di 38 kabupaten dan kota. “Program dan kegiatan perlu menyerap usulan masyarakat melalui berbagai kanal partisipasi, termasuk Musrenbang sebagai jalur formal dan sah penyusunan prioritas pembangunan,” kata politisi PDI Perjuangan ini.

    Selain itu, Deni mendorong penajaman sejumlah isu strategis pembangunan Jawa Timur 2027. Isu tersebut meliputi transformasi struktur ekonomi daerah, ketimpangan wilayah dan konektivitas, ketahanan pangan, stabilitas fiskal, kualitas sumber daya manusia, hingga mitigasi perubahan iklim dan risiko bencana.

    “Isu-isu strategis ini perlu dirumuskan lebih tajam agar belanja pembangunan benar-benar berdampak dan tepat sasaran,” tutur dia.

    Deni juga menyampaikan pentingnya pembangunan berbasis alam atau nature-based development dalam perencanaan RKPD 2027. Dia menilai pendekatan ini relevan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan sekaligus mengurangi risiko bencana di Jawa Timur.

    “Pembangunan Jawa Timur ke depan perlu berbasis alam, di mana alam tidak hanya menjadi sumber daya, tetapi juga mitra pembangunan,” ucapnya.

    Berdasarkan data kebencanaan di Jawa Timur, bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan kekeringan masih mendominasi kejadian tiap tahun. Menurut dia, pendekatan berbasis alam penting untuk memastikan ekosistem tetap terjaga dan sumber daya alam terpelihara keberlanjutannya.

    “Kita harus memastikan ekosistem tetap terjaga, risiko bencana berkurang, dan sumber daya alam bisa menjadi warisan yang aman bagi anak cucu kita,” kata Deni.

    Melalui Kick Off RKPD 2027, DPRD Jawa Timur mengajak seluruh pemangku kepentingan memperkuat kerja bersama lintas sektor. Kolaborasi ini, kata dia, menjadi kunci agar RKPD 2027 benar-benar responsif terhadap tantangan, berpihak pada masyarakat, dan relevan dengan dinamika zaman. “RKPD 2027 harus lahir dari kerja bersama dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat Jawa Timur secara nyata,” pungkas Deni. [asg/kun]

  • Dinding Sungai Gembong Rusak 70 Persen, DPRD Kota Pasuruan Desak Penanganan Darurat

    Dinding Sungai Gembong Rusak 70 Persen, DPRD Kota Pasuruan Desak Penanganan Darurat

    Pasuruan (beritajatim.com) – Komisi III DPRD Kota Pasuruan melakukan hearing dengan Dinas PU SDA Provinsi Jawa Timur untuk membahas penanganan banjir tahunan. Pertemuan ini digelar untuk mencari solusi konkret agar wilayah terdampak tidak terus mengalami genangan berulang.

    Dalam agenda tersebut, para legislator menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap kondisi tiga sungai besar yang melintasi Kota Pasuruan. Wakil Ketua Komisi III Muhammad Munif menyebut bahwa kajian lapangan memperlihatkan kerusakan serius di sejumlah sektor sungai.

    Munif mengungkapkan kekhawatiran mendalam terkait kondisi Sungai Gembong yang mengalami kerusakan dinding hingga mencapai 70 persen. Ia menegaskan bahwa kerusakan ini berpotensi menimbulkan longsor dan menghambat mitigasi pada kawasan padat penduduk.

    Menurut Munif, kondisi lapangan sangat membutuhkan respons cepat demi keselamatan warga di sekitar bantaran sungai. “Kami meminta penanganan segera karena risikonya terus meningkat setiap musim hujan,” ujarnya.

    Dalam forum hearing, terungkap pula sejumlah hambatan yang memperlambat upaya perbaikan infrastruktur air. Salah satu kendala terbesar adalah turunnya anggaran provinsi untuk program normalisasi dan penguatan tebing.

    Selain urusan anggaran, proyek-proyek vital turut menghadapi penolakan sebagian warga di sekitar lokasi pekerjaan. Kabid PU SDA Jatim, Udin, menjelaskan bahwa penolakan terhadap pembangunan parapet dipicu keinginan warga mempertahankan sedimen untuk keperluan material bangunan.

    Menindaklanjuti persoalan pembiayaan, Komisi III mendorong opsi pemanfaatan anggaran kota untuk pembangunan rumah pompa di titik rawan. Mereka berharap PKS antara Pemkot Pasuruan dan Pemprov Jatim dapat segera disepakati agar pekerjaan dapat dimulai.

    Ketua Komisi III, Koko, menegaskan bahwa langkah ini diperlukan untuk mempercepat penanganan banjir yang sudah berlangsung setiap tahun. “Kami berkomitmen mempercepat solusi dan meminta Pemprov memprioritaskan tebing Sungai Gembong, Welang, dan Petung,” katanya.

    Di sisi lain, DPRD menilai penanganan lokal seperti perbaikan drainase dan penataan permukiman bantaran sungai tidak boleh diabaikan. Komisi berharap koordinasi antara pemerintah kota dan provinsi semakin solid demi mewujudkan Kota Pasuruan yang bebas banjir berkepanjangan. (ada/kun)

  • Sentra Sawit Dilanda Banjir, Begini Nasib Produksi Minyak Goreng RI

    Sentra Sawit Dilanda Banjir, Begini Nasib Produksi Minyak Goreng RI

    Jakarta

    Sumatera merupakan salah satu provinsi dengan lahan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Namun, tiga provinsi, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh kini telah dilanda bencana banjir dan longsor.

    Wakil Menteri Pertanian Sudaryono meyakini produksi minyak goreng yang bahan bakunya berasal dari sawit dalam kondisi aman. Karena produksi dalam negeri diyakini sangat besar, bahkan angka ekspor lebih tinggi dibandingkan kebutuhan dalam negeri.

    “Saya kira kalau hitungan kami tidak ya (berpengaruh ke produksi) karena itu tadi ya, karena kita ini produksinya besar ya, jadi yang diekspor lebih besar daripada yang dikonsumsi. Jadi ini maksud saya ini kan ada proses DMO yang kan kemudian kewajiban harus memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Saya kira no worry ya, kita itu worry kalau barangnya nggak ada,” kata dia di Kementan, Jakarta Selatan, Rabu (10/12/2025).

    Selain minyak goreng, produksi beras juga dalam keadaan aman. Ia menyebut, di saat masyarakat membutuhkan stok beras cukup banyak, cadangan beras pemerintah (CBP) cukup untuk digelontorkan membantu masyarakat yang terdampak bencana.

    “Jadi so far stoknya ada, ada di gudang Bulog. Bahkan ada yang sempat kemarin udah ramai-ramai yang katanya dalam ‘penjarahan’, nggak ada masalah barangnya ada. Yang susah itu kan mau ngambil barangnya yang nggak ada,” jelasnya.

    Dalam data Kementerian Pertanian, 52% lahan sawit berada di 4 provinsi, yakni Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

    Untuk lahan sawit yang berada di daerah terkena bencana banjir tercatat cukup besar. Misalnya Sumatera Utara tercatat memiliki lahan sawit sebanyak 2,7 juta hektare (ha), Aceh 535.002 ha dan Sumatera Barat 558.683 ha.

    Lihat juga Video: Kelapa Sawit Bukan Tanaman Anti-Erosi Terbaik?

    (ada/kil)

  • Menelisik Sumber Kayu Gelondongan di Lampung, Benarkah dari Banjir?

    Menelisik Sumber Kayu Gelondongan di Lampung, Benarkah dari Banjir?

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah kini sedang menelisik sumber kayu gelondongan yang terbawa saat banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.

    Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menjelaskan soal temuan kayu di Pantai Tanjung Setia, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. TTemuan itu menjadi viral lantaran pada gelondongan kayu itu terdapat tulisan atau label Kemenhut lengkap dengan barcode-nya.

    Direktur luran dan Penatausahaan Hasil Hutan Ditjen PHL Kemenhut, Ade Mukadi menegaskan bahwa kayu tersebut tidak berkaitan dengan bencana banjir di Sumatra.

    “Kayu yang ditemukan di Lampung bukan kayu hanyut akibat banjir di Sumatera. Polda Lampung dan Balai PHL Lampung [Kemenhut] sudah mengecek keberadaan kayu terdampar,” ujar Ade dalam keterangan tertulis, Selasa (9/12/2025).

    Dia menjelaskan, kayu yang terdampar di pesisir pantai itu berasal dari kecelakaan kapal tagboot milik PT Minas Pagai Lumber di Mentawai. Kecelakaan itu terjadi akibat mesin kapal mati setelah terkena badai pada (6/7/2025).

    “Mesin tagboot mati dan terkena badai sejak 6 November 2025 sehingga ada banyak kayu yang jatuh dari tagboot tersebut,” imbuh Ade.

    Ade menjelaskan, kapal tersebut memiliki izin oleh Menteri Kehutanan atas areal hutan produksi melalui izin SK.550/1995 tanggal 11 Oktober 1995 dan telah dilakukan perpanjangan di tahun 2013 sesuai SK.502/Menhut-II/2013 tanggal 18 Juli 2013.

    Bicara soal barcode pada kayu, Kemenhut menyatakan bahwa hal itu merupakan penanda sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang telah dicek untuk mencegah pembalakan liar.

    “Barcode di kayu adalah penanda SVLK yang  dicek keabsahan/asal usul sumber kayu,” pungkasnya.

    Asal Usul dan Jenis Kayu Gelondongan

    Dittipidter Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Brigjen Mohammad Irhamni mengatakan jenis kayu yang terseret banjir saat bencana Sumatra berasal dari pohon karet, ketapang hingga durian.

    “Barang bukti kayu telah disisihkan, dispesifikasikan, dan dikategorikan oleh ahli. Jenis kayu dominan: karet, ketapang, durian, dan lainnya,” ujar Irhamni saat dikonfirmasi, Selasa (9/12/2025).

    Dia menambahkan kayu gelondongan itu dikelompokkan menjadi beberapa kategori. Misalnya, kayu hasil gergajian, kayu yang dicabut dengan alat berat, kayu hasil longsor, hingga kayu hasil pengangkutan.

    Adapun, jenis kayu yang telah diidentifikasi ini berasal dari TKP Daerah Aliran Sungai (DAS) di Garoga, Tapanuli Selatan.

    “Posko sudah didirikan 3 km dari TKP DAS Garoga. Di sekitar TKP ini, 27 sampel kayu telah diambil, police line terpasang, dan dua jembatan telah diperiksa,” pungkasnya.

    Sebelumnya, kayu gelondongan telah ditemukan setelah banjir di wilayah Sumatra. Temuan itu membuat publik marah lantaran kayu tersebut diduga kuat berasal dari penebangan hutan yang tidak berizin. 

    Kayu Gelondongan ini ditemukan dalam bentuk sudah terkelupas, dan terpotong rapi tanpa ranting-ranting. Kayu ini juga dinilai memperparah bencana banjir di Sumatra.

    Adapun, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sempat menyinggung asal kayu tersebut diduga dari area bekas penebangan ilegal, penyalahgunaan Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) hingga pohon lapuk

    Bareskrim Periksi PT TBS

    Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri akan memeriksa perusahaan PT TBS sebagai bagian dari pengusutan asal-usul kayu gelondongan yang terbawa banjir di sejumlah wilayah Sumatra. Perusahaan tersebut diduga melakukan pembukaan lahan di kawasan hulu Sungai Garoga.

    Dirtipidter Bareskrim Polri Brigjen Mohammad Irhamni menyebut PT TBS merupakan perusahaan yang berlokasi di hulu Sungai Garoga dan terindikasi melakukan land clearing.

    “Kegiatan penyelidikan oleh tim akan dilanjutkan dengan pemeriksaan salah satu perusahaan yang berada di hulu sungai Garoga yang terindikasi adanya kegiatan landclearing oleh perusahan PT TBS tersebut,” ujar Irhamni saat dikonfirmasi, Selasa (9/12/2025).

    Selain memeriksa PT TBS, polisi juga akan menginventarisasi kayu yang ditemukan di pesisir Sumatra Barat setelah banjir besar yang melanda kawasan tersebut. Inventarisasi diperlukan untuk menelusuri pola aliran kayu dan kemungkinan adanya aktivitas ilegal di hulu sungai.

    Satu tim penyelidik juga bakal dikerahkan ke sepanjang hulu Sungai Tamiang, Aceh, untuk menelusuri dugaan pembalakan liar. “Proses penyidikan akan difokuskan pada kegiatan ilegal logging yang terjadi di sepanjang hulu sungai Tamiang, Aceh,” kata Irhamni.

    Dari temuan awal, Bareskrim mengidentifikasi bahwa kayu yang terseret banjir di daerah aliran sungai (DAS) Garoga, Sumatra Utara, berasal dari berbagai jenis seperti pohon karet, ketapang, hingga durian.

    Kayu-kayu tersebut terbagi dalam beberapa kategori, antara lain kayu hasil gergajian, kayu yang tercabut oleh alat berat, kayu akibat longsor, serta kayu yang diangkut secara manual.

    Di hulu Sungai Tamiang, polisi juga menemukan indikasi pembukaan lahan dan praktik pembalakan liar. Kayu hasil kegiatan ilegal itu disebut dipindahkan dengan cara ditumpuk di bantaran sungai sebelum dihanyutkan saat air pasang.

    Bareskrim juga menemukan bahwa sebagian besar aktivitas penebangan di kawasan hutan lindung sepanjang Sungai Tamiang, Aceh Tamiang, dilakukan tanpa izin.

  • Telanjur Viral Ribuan Kayu Gelondongan Berstiker Kemenhut Dikaitkan Banjir Sumatera, Direktur Bantah

    Telanjur Viral Ribuan Kayu Gelondongan Berstiker Kemenhut Dikaitkan Banjir Sumatera, Direktur Bantah

    GELORA.CO  – Keberadaan ribuan kayu gelondongan dengan stiker Kementerian Kehutanan (Kemenhut) yang ditemukan Polda Lampung di Pesisir Barat, Lampung, menjadi sorotan luas setelah viral di media sosial.

    Kayu-kayu gelondongan itu berstiker kuning dengan barcode bertuliskan PT Minas Pagai Lumbar (MPL) serta ada kop “Kementerian Kehutanan Republik Indonesia”. 

    Banyak yang mengaitkan ribuan kayu gelondongan ini dibawa banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatera, yaitu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

    Diduga, ribuan kayu gelondongan itu berasal dari praktik illegal logging, yang belakangan membuat Kemenhut dan Kementerian Lingkungan Hidup menyegel sejumlah kegiatan usaha.

    Dugaan ini mencuat karena saat banjir bandang dan longsor melanda sumatera, banyak ditemukan kayu-kayu gelondongan serupa. 

    Benarkah kayu-kayu ini berasal dari praktik ilegal logging? 

    Direktur Iuran dan Penatausahaan Hasil Hutan di Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kemenhut, Ade Mukadi, mengatakan bahwa ribuan kubik gelondongan kayu itu berasal dari sebuah tugboat yang rusak milik PT MPL.

    “Kayu yang ditemukan di Lampung bukan kayu hanyut akibat banjir di Sumatera,” kata Ade Mukadi dalam keterangan tertulis, Selasa (9/12/2025).

    “Kayu berasal dari kecelakaan kapal tugboat kayu dari PBPH (HPH) PT Minas Pagai Lumber di Mentawai,” imbuhnya.

    Ade menjelaskan, mesin kapal yang mengangkut kayu itu mati karena badai pada 6 November 2025. Kendala itu membuat banyak potongan kayu dengan stiker kementerian hanyut.

    “Mesin tugboat mati dan terkena badai sejak 6 November 2025 sehingga ada banyak kayu yang jatuh dari tugboat tersebut,” kata dia.

    Ade Mukadi menambahkan bahwa berdasarkan penanda Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang dicek keabsahan/asal-usul sumber kayu (traceability system untuk mencegah illegal logging), kayu tersebut berasal dari PT MPL.

    Menurut dia, perusahaan itu sudah mengantongi izin Menteri Kehutanan atas areal hutan produksi melalui izin SK.550/1995 tanggal 11 Oktober 1995 dan telah dilakukan perpanjangan di tahun 2013 sesuai SK.502/Menhut-II/2013 tanggal 18 Juli 2013.

    “Kayu berasal dari kecelakaan kapal tugboat kayu dari PBPH (HPH) PT Minas Pagai Lumber di Mentawai,” ujarnya.

    Akan Dirilis Hari ini

    Hari ini, Rabu (10/12/2025), Polda Lampung akan sampaikan hasil penyelidikan kasus kayu di Kabupaten Pesisir Barat. 

    Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Pol Yuni Iswandari Yuyun mengatakan, pihaknya akan menyampaikan hasil penyelidikan terhadap kasus kayu gelondongan yang ditemukan di Kabupaten Pesisir Barat. 

    “Tadi dari pihak Kemenhut dan juga dari Dinas Kehutanan Provinsi Lampung datang ke Mapolda Lampung,” kata Kombes Pol Yuni Iswandari Yuyun di Mapolda Lampung, Selasa (9/10/2025). 

    Ia pun meminta awak media untuk bersabar karena nantinya akan ada penyampaian yang lebih jelas dari Kapolda Lampung. 

    “Agar lebih akurat, besok (hari ini-red) akan disampaikan oleh pimpinan yang akan menjelaskan dua tempat kejadian perkara yang di laut dan daerah TNBBS,” ujarnya. 

    Yuni menjelaskan, pihaknya juga akan menjelaskan terkait adanya lebel dari Kemenhut.

    Sebelumnya, Kombes Yuni Iswandari juga mengungkapkan adanya insiden kapal yang membawa kayu-kayu gelondongan terdampar.

    Menurutnya, kapal yang membawa 4.800 kubik kayu itu berangkat dari Sumatera Barat pada 2 November 2025.

    Namun, kapal kehilangan kendali dan terdampar akibat cuaca ekstrem.

    Selain itu, tali pengikat kapal disebut ikut terlilit dan memperparah situasi.

    “Cuaca saat itu sangat ekstrem. Ada tali kapal yang terlilit, sehingga mengakibatkan tongkang terdampar,” kata Yuni, Jumat (5/12/2025) lalu.

    Desakan Akademisi

    Sementara itu, Akademisi Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila) Fathoni meminta aparat penegak hukum atau polisi untuk menindak tegas pelaku ilegal logging. 

    “Kami mendorong aparatur penegak hukum supaya menindak tegas para pelaku-pelaku illegal logging,” kata dosen Hukum Lingkungan, FH Unila, Fathoni. 

    Ia mengatakan, kawasan itu kalau dalam hukum tata negara merupakan hutan lindung dan kawasan budidaya. 

    “Hutan kawasan lindung itu sama sekali tidak boleh diambil karena itu paru-paru dunia. Apalagi kalau yang TNBBS itu wilayah yang disebut UNESCO sebagai Common Heritage Mankind atau warisan untuk masyarakat dunia,” imbuh Fathoni. 

    Menurutnya, bukan hanya masyarakat Indonesia yang wajib melindungi, tapi juga diawasi oleh dunia internasional.

    Fathoni mengatakan, efek kerusakan hutan yang ditimbulkan dari pembalakan liar di Kabupaten Pesisir Barat juga besar.

    “Kalau polisi melakukan penangkapan terhadap pihak di sana itu sudah benar. Memang itu sudah tugasnya polisi melakukan penindakan, tugas aparatur seperti itu,” tutur Fathoni.

    Makanya, kata dia, akademisi mendorong aparatur penegak hukum supaya menindak tegas para pelaku illegal logging tersebut. 

    “Pelaku terancam UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dengan ancaman pidana 8 tahun penjara,” tuturnya. 

    Ia mengatakan, perusak hutan merupakan pelanggaran di hukum.

    “Pelanggaran itu merupakan kategori atau kualifikasinya kejahatan pidana yang harus menunggu laporan. Bukan delik aduan, akan tetapi itu delik biasa dan bisa langsung ditindak,” tambah Fathoni.

    Menurutnya, polisi juga bisa langsung bertindak, meskipun harus menyesuaikan dan yang utama adalah pihak pengawasan harus melakukan tupoksinya.

    Dia menduga ada yang lalai dalam melakukan pengawasan.

    “Warga juga boleh berpartisipasi dalam hal penegakan hukum dengan melaporkan peristiwa tersebut. Dan polisi harus melakukan penindakan ilegal logging tanpa pandang bulu, pungkasnya