Diminta Megawati Sumbang Rp 2 M ke Korban Bencana Sumatera, Pramono: Samina Wa Athona
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung memberikan tanggapan mengenai permintaan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang ingin dirinya menyumbang Rp 2 miliar untuk korban bencana alam di Sumatera.
Elite PDI-P itu pun langsung menyatakan kepatuhannya atas permintaan tersebut.
“Sami’na wa atho’na (kami dengar dan kami patuh),” ucap Pramono sambil tersenyum saat ditemui di wilayah Jakarta Pusat, Kamis (18/12/2025).
Adapun permintaan donasi itu terjadi saat Megawati diminta bernyanyi dalam peringatan Hari Ibu 2025 bertajuk Merawat Pertiwi di Ballroom Jayakarta, wilayah Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis.
Saat itu, Megawati bersama Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno naik ke panggung untuk membagikan bibit pohon asli Indonesia kepada kepala daerah perempuan kader PDI-P.
Usai pembagian bibit dan sesi foto bersama, Rano Karno melontarkan celetukan bahwa Megawati akan bernyanyi.
“Dalam rangka hari ibu, Ibu Mega kita mau menyanyikan lagu,” celetuk Rano Karno dari atas panggung, Kamis.
“Setuju, enggak? Setuju?” tanya Rano kepada hadirin yang hadir dalam ballroom.
Tak beberapa lama, Rano menyanyikan lagu berjudul “Cinta Hampa.”
Megawati tidak langsung bernyanyi. Ia mengambil pengeras suara untuk menyampaikan wejangan untuk perempuan.
“Saya sebagai Ketua Umum selalu mengatakan bahwa jangan merasa rendah diri kaum perempuan karena seperti tadi yang Bu Bintang bilang di dalam konstitusi kita tolong diingat, bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama. Artinya laki-laki, perempuan, sama, cuma yang beda kodrat,” ucap Megawati.
Setelah mengatakan hal itu, Megawati menarik Rano Karno ke sampingnya. Ia mempertanyakan mengapa Rano Karno menyuruhnya bernyanyi, padahal ia tidak pernah bilang mau bernyanyi di atas panggung.
“Saya juga ini lagi mau nanya, ini enak aja. Apa namanya, kalau nembak itu apa?” kata Megawati.
“Nodong,” ucap Rano membantu menemukan padanan kata yang tepat.
“Nodong, iya. Siapa yang bilang saya mau nyanyi, dia yang mau nyanyi,” ucap Mega sembari menunjuk Rano Karno.
“Tadi saya bilang Bu Ibu nyanyi. (Ibu bilang), ‘Saya mau nyanyi tapi kamu donasiin musti besar’. ‘Siap’,” jawab Rano.
Mega menyampaikan, ia hanya ingin bernyanyi jika Rano Karno menyumbang donasi yang besar untuk Sumatera.
Menurut dia, uang donasi yang diberikan Rano sebesar Rp 500 juta belum cukup besar. Ia ingin Rano menambah donasi hingga Rp 1 miliar.
“Teruskan saya bisik-bisik kamu maunya mintanya donasinya berapa? Katanya tadi ya setengah M (miliar), ngapain setengah M, aku nggak mau nyanyi. Ayo ibu-ibu saya tantang tadi katanya Rp 1 miliar,” pinta Megawati.
“Udah Bu, udah Rp 1 M sekarang. Habis Ibu nyanyi kita omongin sekarang. Jangan ditutup (dulu donasinya), ini Ibu Gubernur belum nyumbang loh, Bu,” seloroh Rano.
Mega kemudian menantang jumlah donasi yang lebih besar.
“Saya tantang. Saya mau nyanyi kalau naiknya 100 persen. Siapa? Angkat tangan. Jadi kalau 100 persen itu jadi Rp 2 M, ayo siapa yang mau, kalau tidak bisa sampai itu, setop,” seloroh Mega.
Ia ingin Gubernur Jakarta
Pramono Anung
memberikan donasi Rp 2 miliar, jauh lebih besar dari Rp 1 miliar.
“Ini suka bohong sama saya. Kalau yang tahu namanya Pram (Pramono Anung) udah nambahin,” kata Mega lagi.
“Tadi Pak Gubernur nelpon, Gubernur nyumbang Rp 1 miliar,” timpal Rano.
Mega bilang, donasi sebesar Rp 2 miliar adalah perintah Ketua Umum (Ketum), yang artinya harus dilaksanakan.
“Oh, kalau gitu, masa Rp 1 miliar? Kalau gitu saya bilang gini, Ketua Umum memerintahkan Gubernur DKI untuk nyumbangnya Rp 2 M. Ayo nyanyi. Makanya jangan lemes jadi perempuan. Apalagi kalau saya nari, naik lagi (sumbangannya). Saya pintar nari, loh,” tandas Megawati.
Selanjutnya, Megawati benar-benar bernyanyi di atas panggung bersama beberapa orang, termasuk Rano.
Saat acara selesai, pembaca acara menyampaikan bahwa Gubernur DKI Jakarta pada akhirnya menyumbang Rp 2 miliar untuk korban bencana banjir dan tanah longsor di Sumatera, sehingga total donasi terkumpul mencapai Rp 3,2 miliar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topik: longsor
-
/data/photo/2025/12/18/6943d013efec0.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Diminta Megawati Sumbang Rp 2 M ke Korban Bencana Sumatera, Pramono: Sami'na Wa Atho'na Megapolitan 18 Desember 2025
-

Di Bibir Sungai yang Terluka, Jurnalis di Ponorogo Menanam Pohon Harapan
Ponorogo (beritajatim.com) – Tanah di Dukuh Puyut, Desa Plalangan, Kecamatan Jenangan, tidak lagi utuh. Bekas torehan alat berat membentuk tebing curam di bibir sungai. Saat hujan turun, air tak hanya mengalir, tapi bisa saja menggerus, dan itu perlahan tapi pasti.
Namun, kali ini suasana di lahan bekas tambang itu berubah. Puluhan jurnalis yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Ponorogo dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Mataraman datang bukan membawa kamera untuk meliput bencana, melainkan bibit pohon untuk mencegahnya.
Mereka menanam ratusan bibit di tanah yang lama ditinggalkan tanpa reklamasi. Bukan lokasi sembarangan. Area ini merupakan sempadan sungai, wilayah yang secara aturan dilarang untuk ditambang. Namun pasirnya telah lama diambil, menyisakan lubang, tebing rawan longsor, dan kekhawatiran warga.
Ketua IJTI Korda Mataraman, Ahmad Subeki, menyebut kondisi tersebut sebagai potret penambangan yang berjalan tanpa kendali dan tanggung jawab.
“Ini bekas tambang, diambil pasirnya, dan ini sebenarnya lahan yang tidak boleh ditambang karena masuk sempadan sungai yang ternyata secara sepihak diambil oleh pelaku. Kita enggak tahu siapa pelakunya,” kata Ahmad Subeki, Kamis (18/12/2025).
Subeki menatap tebing sungai yang terus tergerus. Dia menyebut ancaman longsor bukan sekadar kemungkinan, melainkan risiko yang terus membesar seiring waktu. Jika tanah ini dibiarkan, bencana tinggal menunggu hujan berikutnya.
“Kalau ini diteruskan, itu longsor terus, dan di sana rumah. Itu mengancam perumahan. Kalau besar, tidak menutup kemungkinan bisa terjadi seperti di Aceh, ada bencana besar, longsor, dan lain sebagainya. Makanya hari ini kita mulai menanam di sini,” tambah Subeki.
Di tengah aktivitas penanaman, Plt Bupati Ponorogo, Lisdyarita, turut hadir. Dia menyambut baik inisiatif para jurnalis yang memilih bertindak lebih dulu sebelum bencana datang. Menurutnya, pemulihan lingkungan harus memberi manfaat jangka panjang bagi warga.
“Itu bisa tanaman buah. Nah, ketika tanaman buah, kalau panen kan bisa dinikmati masyarakat juga,” kata Lisdyarita.
Namun, dukungan itu disertai peringatan keras. Lisdyarita mengingatkan para penambang agar tidak memperlakukan alam seperti ladang bebas garap. Ada aturan, ada batas, dan ada konsekuensi hukum yang mengintai pelanggaran.
“Intinya kepada para penambang, harap berhati-hati karena jangan main asal menambang. Benar-benar dilihat lokasinya, jangan sampai nanti hubungannya dengan permasalahan hukum,” tegasnya.
Kekhawatiran Lisdyarita tak berhenti di Jenangan. Dirinya juga menyinggung wilayah Ngebel, kawasan wisata alam yang juga menyimpan banyak bekas tambang. Ketidakpastian kondisi tanah dan kedalaman telaga membuatnya waswas akan potensi bencana alam.
“Cuma yang saya takutkan yang di Ngebel itu, saya agak ngeri yang di Ngebel karena bekas tambang banyak itu. Karena di Ngebel ini kan kita ada telaga, di mana kalau itu ada terus pergerakan terus, takutnya kita kan sampai hari ini kedalaman dari Telaga Ngebel itu masih kurang lebih belum pastinya belum ada. Itu agak ditakutkan,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua PWI Ponorogo, Arso, menyebut Desa Plalangan dipilih karena tingkat kerawanannya tinggi. Tanah bekas tambang yang tidak direklamasi menjadi jalur rawan longsor setiap musim hujan. Dia pun menegaskan, kegiatan ini lahir dari kepedulian, bukan kepentingan.
“Jadi ini semua swadaya, teman-teman biayanya patungan, ada yang membawa nasi bungkus, ada yang membawa air mineral, dan bibit pun kita menyiapkan sendiri, tidak ada bantuan dari mana pun,” pungkas Arso.
Hari itu, bibit-bibit kecil ditanam di tanah yang pernah dirusak. Belum tentu semuanya tumbuh. Namun setidaknya, ada ikhtiar untuk menghentikan kerusakan sebelum berubah menjadi berita duka. Di bibir sungai yang terluka, para jurnalis menanam bukan hanya pohon, tetapi harapan agar alam diberi kesempatan pulih, dan manusia belajar untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. (end/kun)
-

Dituding Biang Kerok Banjir Sumatera, Saham Toba Pulp Digembok BEI
GELORA.CO -Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan sementara (suspensi) perdagangan saham PT Toba Pulp Lestari Tbk (INRU) sejak Rabu 17 Desember 2025.
Kebijakan ini diambil menyusul keputusan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) untuk menghentikan sementara operasional dan melakukan audit perusahaan tersebut.
BEI menilai penghentian kegiatan usaha Toba Pulp Lestari berpotensi menimbulkan ketidakpastian terhadap keberlangsungan bisnis perseroan. Karena itu, otoritas bursa memutuskan untuk melakukan suspensi perdagangan saham INRU di seluruh pasar.
“Maka Bursa memutuskan untuk melakukan penghentian sementara perdagangan Efek PT Toba Pulp Lestari Tbk (INRU) di Seluruh Pasar terhitung sejak Sesi II Perdagangan Efek pada Rabu, 17 Desember 2025 hingga pengumuman lebih lanjut,” kata Kepala Divisi Pengaturan dan Operasional Perdagangan BEI, Pande Made Kusuma Ari A, dalam keterangan resmi.
Adapun tekanan terhadap saham ini sudah terlihat dalam sepekan terakhir. Saham emiten kehutanan itu tercatat merosot 9,92 persen, dengan harga anjlok ke level Rp590 per lembar. Padahal, pada 4 Desember 2025, saham INRU masih diperdagangkan di kisaran Rp715 per lembar.
Penghentian perdagangan ini tak lepas dari keputusan PT Toba Pulp Lestari Tbk yang menghentikan sementara operasional pabriknya sejak 11 Desember 2025 usai menerima surat dari Kemenhut serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, menyusul bencana alam yang melanda wilayah Sumatera.
Kemenhut sebelumnya mengirimkan surat penangguhan sementara akses penatausahaan hasil hutan di wilayah perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatra Barat.
Selain itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumatera Utara juga menerbitkan surat permintaan penghentian seluruh kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu eucalyptus hasil budidaya, termasuk dari Perkebunan Kayu Rakyat (PKR), sebagai langkah antisipasi dampak banjir dan cuaca ekstrem.
“Sehubungan dengan kedua kebijakan tersebut, Perseroan wajib melaksanakan penghentian sementara kegiatan operasional pabrik yang diakibatkan berhentinya penatausahaan kayu serta penghentian kegiatan pemanenan PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) dan PKR (perkebunan kayu rakyat),” ujar PT TPL dalam keterangannya.
Di sisi lain, Kemenhut memastikan akan melakukan audit dan evaluasi menyeluruh terhadap PT Toba Pulp Lestari. Perusahaan tersebut diduga menjadi salah satu pihak yang menyebabkan banjir dan longsor di Sumatera Utara.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan langkah tersebut merupakan perintah langsung Presiden RI Prabowo Subianto.
“PT Toba Pulp Lestari, PT TPL, yang banyak diberitakan, Pak Presiden secara khusus memerintahkan kepada saya untuk melakukan audit dan evaluasi total terhadap TPL ini,” katanya di Istana Kepresidenan Jakarta.
Raja Juli juga telah menugaskan Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki untuk mengawasi jalannya proses audit dan evaluasi. Jika terbukti melakukan pelanggaran, Kemenhut membuka opsi pencabutan PBPH Toba Pulp Lestari atau pengurangan luas kawasan hutan yang dapat dikelola perusahaan.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5426791/original/024464800_1764317618-8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pengamat Anggap Pemerintah Abai, Belum Tetapkan Banjir Sumatera Jadi Bencana Nasional
Liputan6.com, Padang – Banjir Sumatera menyisakan duka, lebih dari seribu nyawa terenggut, ratusan hilang, akses terputus dan perekonomian lumpuh. Namun hingga tiga minggu setelah peristiwa yang meluluhlantakkan tiga provinsi ini, pemerintah tak kunjung menetapkan status bencana nasional.
Alih-alih menetapkan status bencana nasional, pemerintah justru sibuk dengan narasi ‘Indonesia bangsa yang kuat’ dan jargon-jargon lainnya.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Ilhamdi Putra mengatakan narasi yang disodorkan pemerintah tidak berbanding lurus dengan apa yang terjadi di lapangan.
“Hingga tiga minggu pascabanjir bandang dan longsor yang terjadi di Sumatera, Presiden Prabowo tak menetapkan status bencana nasional, menurut saya ini adalah pengabaian yang disengaja,” kata Ilhamdi, Kamis (18/12/2025).
Ia memandang, abainya negara dalam bencana Sumatera tak bisa dilepaskan dari Prabowo yang merupakan seorang elite sekaligus seorang presiden. Namun di sisi lain, ia juga merupakan bagian dari oligarki. Ia adalah seorang pengusaha.
Akibatnya, ketika membicarakan jalannya pemerintahan hari ini, salah satu contoh konkret bisa dilihat dari penetapan atau tepatnya tidak ditetapkannya status bencana nasional atas bencana yang terjadi di tiga provinsi di Sumatera.
Dari situ terlihat dengan jelas bagaimana pola pengambilan kebijakan pemerintah didasari oleh itikad yang tidak baik, serta adanya akumulasi kepentingan antara elit politik dan oligarki dalam pemerintahan Indonesia saat ini.
Kelalaian terlihat dari lambannya distribusi bantuan, penanganan korban, akses informasi, hingga pencarian jenazah yang belum selesai. Dalam banyak kasus, masyarakat justru bergerak lebih cepat daripada negara. Ini adalah fakta yang sangat nyata.
“Situasi ini seharusnya jadi alarm bagi pemerintah,” jelasnya.


/data/photo/2025/11/30/692bcc4ab85d5.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5448813/original/052736400_1766040740-1000013685.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)