Topik: Long Covid

  • Ahli Buktikan Long COVID Nyata! Pasien Bisa Alami ‘Kabut Otak’

    Ahli Buktikan Long COVID Nyata! Pasien Bisa Alami ‘Kabut Otak’

    Jakarta

    Para ilmuwan mengatakan mereka akhirnya menemukan penyebab brain fog atau kabut otak pada orang-orang dengan long COVID-19. Itu merupakan kondisi saat pasien masih merasakan gejala COVID-19 berkepanjangan, meski statusnya sudah dinyatakan negatif.

    Temuan ini dapat menjelaskan mengapa jutaan orang terus mengalami masalah memori dan konsentrasi berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun setelah terinfeksi.

    Di Inggris, diperkirakan 1,9 juta orang hidup dengan long COVID, yang terdiri dari kelelahan, sesak napas, dan nyeri sendi. Tetapi, salah satu yang paling melemahkan adalah kabut otak.

    Kabut otak merupakan masalah kognitif, termasuk daya ingat yang buruk, berpikir lebih lambat, dan kesulitan fokus, yang mempengaruhi lebih dari 80 persen orang yang pernah terinfeksi COVID-19.

    Hingga saat ini, para peneliti menduga COVID-19 dapat memicu perubahan struktural di otak, tetapi belum dapat menentukan penyebab molekulernya.

    Kini, para ilmuwan Jepang telah mengembangkan cara untuk secara langsung memvisualisasikan reseptor kunci di otak yang terkait dengan memori dan pembelajaran. Ini dilakukan untuk mengungkap apa yang mungkin mendasari masalah tersebut.

    Dalam sebuah studi yang dipublikasikan di Brain Communications, para peneliti mengamati reseptor AMPAR, protein pada permukaan sel otak yang membantu mengirimkan sinyal yang terlibat dalam pembelajaran dan memori.

    Aktivitas abnormal pada AMPAR sebelumnya dikaitkan dengan kondisi, seperti depresi, gangguan bipolar, dan demensia. Dengan menggunakan pemindaian otak tingkat lanjut, para peneliti membandingkan 30 pasien COVID-19 jangka panjang dengan 80 relawan sehat dan menemukan peningkatan aktivitas AMPAR yang signifikan, di antara mereka yang memiliki gejala kognitif.

    Semakin parah kabut otak, maka semakin padat aktivitas reseptornya. Hal ini menunjukkan adanya hubungan biologis yang jelas dengan COVID-19 jangka panjang, dan target potensial untuk pengobatan di masa mendatang.

    “Temuan kami dengan jelas menunjukkan bahwa kabut otak COVID-19 jangka panjang harus diakui sebagai kondisi klinis yang sah,” beber Profesor Takuya Takahashi, seorang pakar mekanisme molekuler dan rekan penulis studi, dikutip dari Daily Mail.

    “Hal ini dapat mendorong industri perawatan kesehatan untuk mempercepat pengembangan pendekatan diagnostik dan terapeutik untuk gangguan ini,” sambungnya.

    Tim tersebut berhasil membedakan setiap pasien long COVID dari kelompok kontrol yang sehat menggunakan teknik pencitraan otak baru mereka, sebuah terobosan potensial untuk diagnosis.

    Para peneliti kini berharap teknologi ini dapat membantu mengembangkan pengobatan yang menekan aktivitas AMPAR, sehingga mengurangi kabut otak pada pasien di masa mendatang.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/naf)

  • Ahli Buktikan Long COVID Nyata! Pasien Bisa Alami ‘Kabut Otak’

    Cerita Pasien Positif COVID-19 Lebih dari 750 Hari, Gejala Tak Sembuh-sembuh

    Jakarta

    Seorang pria di Amerika Serikat mencatat rekor baru sebagai pasien positif COVID-19 terlama. Diketahui, ia mengidap COVID-19 yang berkelanjutan selama lebih dari 750 hari.

    Pasien tersebut memiliki riwayat positif HIV. Ia termasuk kelompok yang lebih rentan tertular virus SARS-CoV-2.

    Akibat infeksi COVID itu, pasien tidak bisa menerima terapi antiretroviral (ART). Ia juga tidak dapat mengakses perawatan medis yang diperlukan, meski mengalami sejumlah gejala pernapasan, sakit kepala, nyeri badan, hingga lemas.

    Diketahui, pria berusia 41 tahun itu memiliki jumlah sel T pembantu imun hanya 35 sel per mikroliter darah. Normalnya, jumlah sel tersebut berkisar antara 500 hingga 1.500 sel per mikroliter.

    Selama lebih dari 750 hari itu, pasien mengalami gejala pernapasan yang persisten atau berkelanjutan dan dirawat di rumah sakit sebanyak lima kali. Meski durasi infeksinya panjang, kondisi yang dialaminya ini berbeda dengan long COVID.

    Itu karena gejala yang dialaminya bukanlah gejala yang menetap setelah virus menghilang dari tubuh. Kondisi itu adalah fase virus SARS-CoV-2 yang berlanjut selama lebih dari dua tahun.

    Hasil Penelitian

    Menurut ahli epidemiologi Universitas Harvard, William Hanage, kondisi ini biasanya terjadi hanya pada orang yang rentan. Namun, kondisi serupa bisa terjadi pada siapa saja.

    “Infeksi jangka panjang memungkinkan virus untuk mengeksplorasi cara menginfeksi sel secara lebih efisien. Dan (studi ini) menambah bukti bahwa varian yang lebih mudah menular telah muncul dari infeksi semacam itu,” terang Hanage, yang dikutip dari ScienceAlert.

    “Oleh karena itu, menangani kasus-kasus seperti itu secara efektif merupakan prioritas bagi kesehatan individu dan masyarakat,” sambungnya.

    Dugaan Penyebab Kondisi

    Analisis genetik Joseline Velasquez-Reyes, ahli bioinformatika Universitas Boston dan rekan-rekannya melakukan penelitian lebih lanjut terkait kondisi pasien. Mereka mengumpulkan sampel virus dari pasien di periode Maret 2021 dan Juli 2022 untuk melihat pergerakan virus selama invasi yang meluas.

    “Hanya dalam satu orang, jenis mutasi yang sama yang menyebabkan munculnya varian Omicron yang berkembang biak lebih cepat sedang dalam proses pengulangan,” jelas mereka dalam studi yang dipublikasikan di The Lancet.

    “Hal ini mendukung teori bahwa perubahan mirip Omicron berkembang dari tekanan seleksi yang dialami virus di dalam tubuh kita.”

    Meski infeksinya masih menetap pada pasien, para ahli melihat tidak adanya infeksi lanjutan. Menurut Velasquez-Reyes, itu mengindikasikan hilangnya kemampuan penularan selama adaptasi terhadap satu inang.

    Namun, bukan berarti infeksi lain tidak bisa menetap di dalam tubuh dalam jangka panjang. Temuan ini membuat para ahli waspada dan menyerukan pemantauan ketat COVID-19 yang berkelanjutan dan akses layanan kesehatan untuk semua orang.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/naf)

  • Ahli Buktikan Long COVID Nyata! Pasien Bisa Alami ‘Kabut Otak’

    Catat Rekor Baru, Pria Ini Positif COVID-19 Selama 2 Tahun!

    Jakarta

    Seorang pria dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah mengidap COVID-19 akut yang berkelanjutan selama lebih dari 750 hari. Selama periode ini, ia mengalami gejala pernapasan yang persisten dan dirawat di rumah sakit sebanyak lima kali.

    Meski durasinya panjang, kondisi pria ini berbeda dengan long COVID. Sebab, gejalanya bukanlah gejala yang menetap setelah virus menghilang, melainkan fase virus SARS-CoV-2 yang berlanjut selama lebih dari dua tahun.

    Kondisi ini mungkin hanya terjadi pada orang yang rentan. Tetapi, para ahli di Amerika Serikat memperingatkan dalam studi baru mereka.

    “Infeksi jangka panjang memungkinkan virus untuk mengeksplorasi cara menginfeksi sel secara lebih efisien. Dan (studi ini) menambah bukti bahwa varian yang lebih mudah menular telah muncul dari infeksi semacam itu,” terang ahli epidemiologi Universitas Harvard, William Hanage, yang dikutip dari ScienceAlert.

    “Oleh karena itu, menangani kasus-kasus seperti itu secara efektif merupakan prioritas bagi kesehatan individu dan masyarakat,” sambungnya.

    Analisis genetik Joseline Velasquez-Reyes, ahli bioinformatika Universitas Boston dan rekan-rekannya terhadap sampel virus yang dikumpulkan dari pasien antara Maret 2021 dan Juli 2022, mengungkapkan apa yang dilakukan virus tersebut selama invasi yang meluas.

    “Hanya dalam satu orang, jenis mutasi yang sama yang menyebabkan munculnya varian Omicron yang berkembang biak lebih cepat sedang dalam proses pengulangan,” jelas mereka.

    “Hal ini mendukung teori bahwa perubahan mirip Omicron berkembang dari tekanan seleksi yang dialami virus di dalam tubuh kita.”

    Pasien Didiagnosis HIV-1

    Pasien yang telah mengalami HIV-1 stadium lanjut ini yakin telah tertular SARS-CoV-2 pada pertengahan Mei 2020. Selama masa tersebut, ia tidak menerima terapi antiretroviral (ART).

    Ia juga tidak dapat mengakses perawatan medis yang diperlukan, meskipun mengalami gejala pernapasan, sakit kepala, nyeri badan, dan lemas.

    Pria berusia 41 tahun itu memiliki jumlah sel T pembantu imun hanya 35 sel per mikroliter darah, yang menjelaskan bagaimana virus tersebut dapat bertahan begitu lama. Kisaran normalnya adalah 500 hingga 1.500 sel per mikroliter.

    Untungnya, setidaknya dalam kasus ini virus COVID-19 yang membandel ini tidak terlalu menular.

    “Tidak adanya infeksi lanjutan yang diduga terjadi mungkin mengindikasikan hilangnya kemampuan penularan selama adaptasi terhadap satu inang,” beber Velasquez-Reyes dan tim yang dipublikasikan di The Lancet.

    Namun, tidak ada jaminan bahwa infeksi lain yang menetap dalam jangka panjang di dalam tubuh kita akan mengikuti jalur evolusi yang sama. Hal ini yang membuat para ahli waspada dan menyerukan pemantauan ketat COVID-19 yang berkelanjutan dan akses layanan kesehatan yang memadai bagi semua orang.

    “Membersihkan infeksi ini harus menjadi prioritas bagi sistem layanan kesehatan,” simpul para peneliti.

    Untuk mengurangi kemungkinan mutasi yang bermasalah, dokter dan peneliti mengimbau masyarakat untuk terus melakukan vaksinasi dan tetap menggunakan masker di area tertutup yang ramai.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Sembuh dari Covid Bukan Berarti Aman”
    [Gambas:Video 20detik]
    (sao/kna)

  • Studi Ungkap Wanita ‘Alumni’ COVID Rentan Kena Penyakit Jantung-Stroke, Ini Alasannya

    Studi Ungkap Wanita ‘Alumni’ COVID Rentan Kena Penyakit Jantung-Stroke, Ini Alasannya

    Jakarta

    Sebuah studi baru yang dipublikasikan di European Heart Journal mengungkap kaitan penyakit jantung dengan wanita yang pernah terkena COVID-19. Penelitian tersebut menemukan, infeksi COVID-19 dapat mempercepat penuaan pembuluh darah hingga sekitar lima tahun, terutama pada wanita.

    Seiring bertambahnya usia, pembuluh darah secara alami menjadi lebih kaku. Namun, studi baru ini menunjukkan bahwa infeksi COVID dapat mempercepat proses tersebut. Hal ini penting karena pembuluh darah yang lebih kaku meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, termasuk stroke dan serangan jantung.

    “Sejak pandemi, kami telah mempelajari bahwa banyak orang yang terinfeksi Covid mengalami gejala yang dapat berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Namun, kami masih mempelajari apa yang terjadi di dalam tubuh yang menyebabkan gejala-gejala ini.” tutur Profesor Rosa Maria Bruno dari Université Paris Cité, Prancis, yang memimpin penelitian ini.

    COVID sendiri diketahui dapat langsung memengaruhi pembuluh darah. Hal ini bisa menyebabkan apa yang disebut penuaan pembuluh darah dini, yaitu kondisi ketika pembuluh darah menjadi lebih tua dibanding usia biologis seseorang, sehingga ia lebih rentan terkena penyakit jantung.

    “Jika itu terjadi, kita perlu mengidentifikasi siapa yang berisiko pada tahap awal untuk mencegah serangan jantung dan stroke,” lanjutnya.

    Adapun studi ini studi ini melibatkan 2.390 orang dari 16 negara berbeda, Austria, Australia, Brasil, Kanada, Siprus, Prancis, Yunani, Italia, Meksiko, Norwegia, Turki, Inggris, dan AS, yang direkrut antara September 2020 hingga Februari 2022. Peserta dikategorikan berdasarkan empat kelompok, yakni Tidak pernah terkena COVID, baru terkena COVID namun tidak dirawat di rumah sakit, dirawat di ruang perawatan umum, serta peserta yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU).

    Para peneliti menilai usia vaskular peserta dengan perangkat yang mengukur kecepatan gelombang tekanan darah dari arteri karotis (leher) ke arteri femoralis (paha). Pengukuran ini disebut carotid-femoral pulse wave velocity (PWV). Semakin tinggi nilainya, semakin kaku pembuluh darah dan semakin tua usia vaskular seseorang. Pengukuran dilakukan enam bulan setelah infeksi dan diulang 12 bulan kemudian.

    Selain itu, peneliti juga mencatat faktor demografis seperti jenis kelamin, usia, dan kondisi lain yang memengaruhi kesehatan kardiovaskular.

    Hasil Penelitian

    Setelah mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, peneliti menemukan bahwa semua kelompok pasien yang pernah terinfeksi COVID, termasuk yang hanya mengalami gejala ringan, memiliki pembuluh darah lebih kaku dibandingkan mereka yang tidak pernah terinfeksi. Efek ini lebih jelas pada wanita dan pada pengidap long COVID dengan gejala seperti sesak napas dan kelelahan.

    Rata-rata peningkatan PWV pada wanita dengan infeksi COVID ringan adalah 0,55 meter per detik, pada wanita yang dirawat di rumah sakit 0,60 m/s, dan pada yang dirawat di ICU mencapai 1,09 m/s. Peneliti menyebut peningkatan sekitar 0,5 m/s sudah bermakna secara klinis, setara dengan penuaan lima tahun, serta meningkatkan risiko penyakit jantung sekitar 3 persen pada wanita usia 60 tahun.

    Orang yang telah divaksinasi umumnya memiliki pembuluh darah yang lebih lentur dibandingkan yang tidak divaksin. Dalam jangka panjang, penuaan pembuluh darah akibat COVID tampak stabil atau sedikit membaik.

    Alasan Wanita ‘Alumni’ COVID Bisa Kena Penyakit Jantung

    “Ada beberapa kemungkinan penjelasan mengenai dampak COVID terhadap pembuluh darah,” kata Prof Bruno.

    Virus SARS-CoV-2 menempel pada reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) yang terdapat di lapisan pembuluh darah. Virus menggunakan reseptor ini untuk masuk dan menginfeksi sel, yang kemudian dapat menyebabkan disfungsi vaskular dan mempercepat penuaan pembuluh darah. Respon peradangan dan sistem imun tubuh juga berperan.

    Salah satu alasan adanya perbedaan antara pria dan wanita mungkin terkait fungsi sistem imun. Wanita cenderung memiliki respon imun yang lebih cepat dan kuat, sehingga lebih terlindungi dari infeksi. Namun, respon yang sama juga bisa memperparah kerusakan pembuluh darah setelah infeksi awal.

    Prof Bruno mengatakan, penuaan pembuluh darah mudah diukur dan bisa ditangani dengan pengobatan yang tersedia luas, seperti perubahan gaya hidup, obat penurun tekanan darah, dan obat penurun kolesterol. Bagi orang yang mengalami percepatan penuaan pembuluh darah, penting untuk melakukan segala cara guna menurunkan risiko serangan jantung dan stroke.

    Ia dan timnya akan terus memantau peserta penelitian selama beberapa tahun ke depan untuk mengetahui apakah percepatan penuaan pembuluh darah tersebut benar-benar meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.

    Halaman 2 dari 3

    (suc/suc)

  • Duh! Studi Bawa Kabar Nggak Enak Bagi Wanita ‘Alumni’ COVID, Bisa Kena Penyakit Ini

    Duh! Studi Bawa Kabar Nggak Enak Bagi Wanita ‘Alumni’ COVID, Bisa Kena Penyakit Ini

    Jakarta

    Dari Long COVID hingga masalah kesehatan berkepanjangan, para ahli masih terus meneliti dampak jangka panjang infeksi COVID-19. Sebuah studi terbaru menemukan, infeksi COVID dapat mempercepat penuaan pembuluh darah hingga sekitar lima tahun, terutama pada perempuan.

    Penelitian ini dipimpin oleh Profesor Rosa Maria Bruno dari Université Paris Cité, Prancis, dan hasilnya dipublikasikan di European Heart Journal.

    Seiring bertambahnya usia, pembuluh darah secara alami akan menjadi lebih kaku. Namun, studi ini menemukan, COVID-19 dapat mempercepat proses tersebut. Pengerasan pembuluh darah meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, termasuk stroke dan serangan jantung.

    “Sejak pandemi, kita tahu banyak orang yang setelah terkena COVID mengalami gejala yang bertahan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Namun, kami masih mencari tahu apa yang terjadi di dalam tubuh hingga menimbulkan gejala tersebut,” jelas Prof Bruno, dikutip dari Times of India.

    “Kami tahu COVID bisa langsung memengaruhi pembuluh darah. Hal ini dapat menyebabkan apa yang kami sebut penuaan pembuluh darah dini-artinya pembuluh darah menjadi lebih tua dari usia kronologis seseorang, sehingga lebih rentan terhadap penyakit jantung. Jika itu benar terjadi, kita harus bisa mengenali siapa saja yang berisiko sejak dini untuk mencegah serangan jantung dan stroke,” tambahnya.

    Untuk memahami dampak COVID terhadap pembuluh darah, peneliti menganalisis 2.390 orang dari 16 negara, yakni Austria, Australia, Brasil, Kanada, Siprus, Prancis, Yunani, Italia, Meksiko, Norwegia, Turki, Inggris, dan AS, pada periode September 2020-Februari 2022.

    Peserta dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu mereka yang tidak pernah terkena COVID, mereka yang baru terkena COVID namun tidak dirawat di rumah sakit, mereka yang dirawat di ruang perawatan biasa, serta mereka yang dirawat di ICU.

    Penuaan pembuluh darah diukur enam bulan setelah infeksi, lalu diulang 12 bulan kemudian. Semakin kaku pembuluh darah, semakin tinggi usia vaskular seseorang.

    Peneliti menemukan, orang yang pernah terkena COVID, termasuk yang hanya mengalami gejala ringan, memiliki pembuluh darah lebih kaku dibanding mereka yang tidak pernah terinfeksi. Efek ini lebih kuat pada perempuan dan pada penderita long COVID dengan gejala seperti kelelahan dan sesak napas.

    Pada perempuan yang mengalami infeksi ringan, kekakuan arteri rata-rata meningkat 0,55 m/s. Angka ini naik menjadi 0,60 m/s bila dirawat di rumah sakit, dan 1,09 m/s bila dirawat di ICU.

    Menurut peneliti, peningkatan 0,5 m/s dianggap relevan secara klinis, setara dengan penuaan sekitar lima tahun, serta meningkatkan risiko penyakit jantung sebesar 3 persen pada perempuan berusia 60 tahun. Studi juga menunjukkan, orang yang sudah divaksinasi memiliki pembuluh darah yang lebih lentur dibandingkan yang tidak divaksinasi.

    “Ada beberapa kemungkinan penjelasan mengenai dampak COVID pada pembuluh darah. Virus SARS-CoV-2 menyerang reseptor ACE2 yang terdapat pada lapisan pembuluh darah untuk masuk dan menginfeksi sel. Hal ini bisa menyebabkan disfungsi vaskular dan mempercepat penuaan pembuluh darah. Respon imun dan peradangan tubuh juga turut berperan,” ujar Prof Bruno.

    Perbedaan antara laki-laki dan perempuan mungkin terkait dengan sistem imun. Perempuan umumnya memiliki respon imun yang lebih cepat dan kuat, yang di satu sisi melindungi dari infeksi, tapi di sisi lain bisa memperburuk kerusakan pembuluh darah setelah infeksi. Untungnya, penuaan pembuluh darah mudah diukur dan bisa ditangani dengan perubahan gaya hidup, obat penurun tekanan darah, serta obat penurun kolesterol.

    “Bagi orang dengan penuaan vaskular yang dipercepat, penting untuk melakukan segala upaya guna mengurangi risiko serangan jantung dan stroke,” tambahnya.

    Dalam editorial pendamping, Dr. Behnood Bikdeli dari Harvard Medical School, Boston, AS, menegaskan meski ancaman akut pandemi sudah mereda, kini muncul tantangan baru: sindrom pasca-COVID. WHO mendefinisikannya sebagai gejala yang muncul tiga bulan setelah infeksi dan bertahan setidaknya dua bulan.

    “Studi menunjukkan hingga 40 persen penyintas COVID mengalami sindrom ini.”

    Menurutnya, studi besar berskala internasional ini menunjukkan bahwa kekakuan arteri tetap bertahan pada orang yang pernah terinfeksi. Analisis berdasarkan jenis kelamin menyoroti perbedaan mencolok, perempuan pada semua kelompok COVID-19 menunjukkan peningkatan signifikan kekakuan pembuluh darah, terutama mereka yang dirawat di ICU (+1,09 m/s).

    “Studi CARTESIAN menunjukkan bahwa COVID-19 telah menua arteri kita, terutama pada perempuan dewasa. Pertanyaannya adalah apakah kita dapat menemukan target yang dapat dimodifikasi untuk mencegah hal ini pada lonjakan infeksi di masa mendatang, dan mengurangi dampak buruk pada mereka yang mengidap penuaan vaskular akibat COVID-19,” tambah peneliti.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • 6 Fakta Menarik di Balik Struktur SARS-CoV-2, Virus Corona Penyebab COVID-19

    6 Fakta Menarik di Balik Struktur SARS-CoV-2, Virus Corona Penyebab COVID-19

    Jakarta

    Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyebabkan penyakit COVID-19 (Coronavirus Disease 2019). Nama COVID-19 sendiri merupakan singkatan dari:

    CO = coronaVI = virusD = disease (penyakit)19 = tahun ditemukannya, yaitu 2019.

    Awalnya, virus ini dikenal sebagai 2019-nCoV (novel coronavirus) dan menjadi penyebab pandemi global pada akhir 2019. Pada Mei 2023, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencabut status darurat kesehatan global (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC). Meski demikian, virus ini masih tetap ada dan dapat menimbulkan gejala mulai dari ringan hingga berat.

    Dikutip dari Baylor College of Medicine, SARS-CoV-2 merupakan salah satu dari banyak jenis virus dalam keluarga coronavirus, yang dinamai demikian karena bentuknya yang seperti mahkota (corona) saat dilihat dengan mikroskop. Kelompok virus ini terdiri dari virus-virus yang saling berkerabat secara genetik, namun berbeda satu sama lain.

    Coronavirus bisa menyebabkan berbagai penyakit saluran pernapasan pada manusia,mulai dari yang ringan seperti flu biasa, hingga yang berat. Selain itu, beberapa jenis coronavirus juga bisa menginfeksi hewan dan menyebabkan berbagai penyakit.

    1. Coronavirus Sebelumnya yang Pernah Muncul

    Dalam dua dekade sebelum 2019, dua jenis coronavirus telah muncul dan menyebabkan infeksi pernapasan serius pada manusia:

    SARS-CoV – Muncul pada akhir 2002 di Provinsi Guangdong, China, menyebabkan penyakit SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome).MERS-CoV – Muncul di Timur Tengah tahun 2012, menyebabkan MERS (Middle East Respiratory Syndrome).

    Berbeda dengan SARS-CoV-2, kedua virus ini tidak menyebabkan wabah global yang berkepanjangan. Ini karena orang yang terinfeksi SARS atau MERS umumnya hanya menularkan virus setelah menunjukkan gejala. Hal ini memudahkan isolasi dan pencegahan penularan. Sebaliknya, SARS-CoV-2 dapat menular bahkan saat penderitanya belum bergejala, sehingga lebih sulit dikendalikan.

    2. Asal Usul SARS-CoV-2

    Virus SARS-CoV-2 muncul pada akhir 2019 di Wuhan, China. Hingga kini, belum diketahui secara pasti bagaimana manusia pertama kali terinfeksi virus ini. Namun, semua bukti mengarah pada asal alami. Virus ini sangat mirip dengan coronavirus yang ditemukan pada kelelawar.

    Kemungkinan besar, virus berpindah dari kelelawar ke hewan perantara, lalu menular ke manusia yang berinteraksi dekat dengan hewan tersebut. Virus hewan umumnya tidak langsung bisa menular antarmanusia, kecuali sudah mengalami adaptasi tertentu. Proses perpindahan dari hewan ke manusia ini disebut zoonosis, dan juga terjadi pada penyakit lain seperti influenza dan HIV.

    3. Penularan COVID-19

    SARS-CoV-2 sangat mudah menular dari satu orang ke orang lain. Virus ini menyebar lebih efisien dibandingkan influenza, tapi tidak secepat campak (measles), salah satu virus paling menular yang diketahui.

    Orang yang terinfeksi akan melepaskan partikel virus melalui mulut dan hidung saat batuk, bersin, berbicara, bernyanyi, atau bernapas berat. Partikel virus ini terbawa dalam tetesan pernapasan besar dan kecil (aerosol). Tetesan besar akan cepat jatuh ke permukaan, sedangkan aerosol bisa bertahan lebih lama di udara dan menjangkau jarak yang lebih jauh.

    Penularan COVID-19 umumnya terjadi saat tetesan pernapasan dihirup atau menempel pada selaput lendir di mulut dan hidung orang yang berada dekat dengan penderita (kurang dari 2 meter).

    Dalam kondisi tertentu, terutama di ruangan tertutup dengan ventilasi buruk, penularan melalui aerosol juga bisa terjadi hingga jarak lebih dari 2 meter.

    Penularan melalui permukaan benda yang terkontaminasi juga mungkin terjadi, walau tidak umum. Jika seseorang menyentuh permukaan yang terkontaminasi lalu menyentuh mulut, hidung, atau mata, ia bisa tertular. Meskipun risiko ini rendah, mencuci tangan secara teratur tetap dianjurkan.

    Risiko penularan tertinggi terjadi di tempat yang ramai, tertutup, dan berventilasi buruk, seperti bar, restoran, atau ruangan pertemuan. Risiko meningkat saat tidak ada yang menggunakan masker, baik pengidap maupun orang di sekitarnya.

    4. Gejala dan Komplikasi COVID-19

    Gejala COVID-19 sangat bervariasi, mulai dari ringan hingga berat. Beberapa gejala yang umum meliputi:

    Demam dan menggigilBatukSesak napasKelelahanNyeri otot dan tubuhHilang penciuman atau perasa

    Gejala biasanya muncul 2-14 hari setelah terpapar. Orang dengan usia lanjut atau memiliki penyakit penyerta (komorbid) seperti diabetes, penyakit jantung, paru, atau obesitas berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi serius.

    Meski kebanyakan orang pulih dalam beberapa hari, sebagian pasien mengalami gejala berkepanjangan yang disebut long COVID. Gejalanya bisa berupa:

    KelelahanSesak napasBrain fog atau kesulitan konsentrasiNyeri kepalaGangguan pada jantung, paru, atau saraf

    Bahkan pasien dengan gejala awal yang ringan pun bisa mengalami gejala jangka panjang ini.

    5. Klasifikasi dan Struktur Virus

    Virus dari famili Coronaviridae dibagi menjadi empat kelompok: alfa, beta, gamma, dan delta. Virus dari kelompok alfa dan beta biasanya menginfeksi mamalia, sementara gamma dan delta umumnya menyerang burung. Dari tujuh jenis coronavirus yang diketahui dapat menginfeksi manusia (semuanya dari kelompok alfa dan beta), empat di antaranya hanya menyebabkan infeksi saluran pernapasan ringan dan menyumbang 10-30 persen dari kasus flu biasa. Tiga lainnya, SARS-CoV, MERS-CoV, dan SARS-CoV-2 , dapat menyebabkan penyakit berat dan termasuk dalam kelompok beta.

    Virus diklasifikasikan berdasarkan berbagai karakteristik, seperti jenis materi genetik yang dibawanya (DNA atau RNA) dan apakah virus tersebut diselimuti oleh lapisan lemak (envelope) atau tidak. Informasi genetik virus corona berada pada untaian RNA positif sepanjang 30.000 nukleotida, salah satu genom terbesar di antara virus RNA. Genom ini dilindungi oleh lapisan envelope.

    Partikel virus corona terdiri dari empat protein struktural utama:

    N (nukleokapsid): membungkus RNA genom.S (spike/duri): menonjol keluar dari envelope dan memberi virus bentuk seperti mahkota.M (membran) dan E (envelope): terintegrasi dalam envelope lipid.

    Protein S memainkan peran penting dalam proses infeksi karena berfungsi mengenali reseptor sel inang dan memungkinkan virus masuk ke dalam sel untuk mereplikasi diri. Oleh karena itu, protein ini menjadi target utama dalam pengembangan vaksin COVID-19.

    6. Varian COVID-19

    Dikutip dari Yale Medicine, satu hal yang pasti tentang SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, adalah sifatnya yang terus berubah. Sejak awal pandemi, kita telah melihat sejumlah varian menonjol, termasuk Alpha, Beta, Delta, dan Omicron.

    Meskipun kemunculan varian baru merupakan bagian alami dari evolusi virus, pemantauan terhadap setiap varian yang muncul tetap sangat penting. Hal ini bertujuan agar dunia selalu dalam kondisi siap siaga.

    Pemantauan menjadi semakin krusial jika varian baru tersebut terbukti lebih agresif, lebih mudah menular, kebal terhadap vaksin, menyebabkan gejala lebih parah, atau bahkan memiliki semua karakteristik tersebut dibandingkan varian asli virus.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan nama pada varian baru virus corona menggunakan huruf-huruf dari alfabet Yunani, dimulai dari varian Alpha yang muncul pada tahun 2020.

    (suc/suc)

  • WHO Bicara Lagi soal Asal Usul COVID-19, Teori Kebocoran Lab Wuhan Menguat?

    WHO Bicara Lagi soal Asal Usul COVID-19, Teori Kebocoran Lab Wuhan Menguat?

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa semua kemungkinan asal usul pandemi COVID-19 masih terbuka, termasuk teori kebocoran laboratorium. Hal ini disampaikan setelah penyelidikan selama empat tahun belum juga membuahkan kesimpulan, akibat keterbatasan akses data penting.

    Dalam konferensi pers, Jumat (27/6/2025), Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menegaskan belum ada satu pun teori yang bisa dipastikan.

    “Semua hipotesis masih harus berada di atas meja, termasuk penularan dari hewan dan kebocoran laboratorium,” ujar Tedros, dikutip dari CNA.

    Sebuah laporan dari Scientific Advisory Group for the Origins of Novel Pathogens (SAGO) menyebutkan, berdasarkan bukti ilmiah yang tersedia, penularan dari hewan ke manusia masih menjadi teori yang paling kuat. Namun, ketua SAGO Marietjie Venter menekankan bahwa asal usul virus belum bisa dipastikan tanpa data tambahan.

    “Selama belum ada informasi tambahan atau bukti baru, asal-usul SARS-CoV-2 dan bagaimana virus ini menjangkiti manusia akan tetap belum bisa disimpulkan,” katanya.

    Teori kebocoran laboratorium, lanjut Venter, juga belum bisa ditelusuri lebih jauh karena kurangnya data penting. Tedros secara terbuka menyebut kurangnya kerja sama dari pihak China, sebagai hambatan besar dalam penyelidikan ini.

    “China belum memberikan ratusan urutan genetik dari pasien awal, data detail tentang hewan di pasar Wuhan, maupun informasi soal penelitian dan keamanan laboratorium di Wuhan,” tegasnya.

    WHO juga telah meminta akses ke laporan intelijen dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, yang pada masa pemerintahan Donald Trump sempat mendukung teori kebocoran lab sebagai sumber pandemi.

    Tedros menyebut mengungkap asal usul COVID-19 adalah kewajiban moral untuk menghormati jutaan korban jiwa dan mencegah wabah di masa depan.

    “Virus ini terus bermutasi, mengambil nyawa, dan meninggalkan beban panjang seperti long COVID,” ujar Tedros.

    SAGO sendiri berkomitmen untuk terus mengevaluasi bukti ilmiah terbaru. Namun, laporan menyebut permintaan data ke negara lain seperti Jerman dan AS juga belum membuahkan hasil.

    Menariknya, laporan SAGO kali ini juga diwarnai dinamika internal. Satu anggota mengundurkan diri dan tiga lainnya meminta namanya dihapus dari laporan.

    (naf/up)

  • Long COVID: Luka yang Masih Tertinggal setelah Dunia Move On

    Long COVID: Luka yang Masih Tertinggal setelah Dunia Move On

    Jakarta

    Saya sendiri sudah lebih dari setahun tidak bisa berlama-lama melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar. Padahal di awal pandemi, saya bisa berjam-jam berdiri di dapur membuat roti. Tapi setelah sembuh dari COVID-19, hidup saya tidak pernah benar-benar kembali seperti semula.

    Selama dua tahun setelah sembuh, tubuh saya sulit diajak kompromi. Aktivitas fisik ringan pun bisa memicu rasa lelah yang tak biasa, pegal di sekujur badan, dan kadang nyeri pinggul. Dari luar, saya terlihat baik-baik saja. Tapi tubuh saya bicara sebaliknya.

    Bukan hanya orang dewasa, anak-anak ikut terdampak. Misalnya Indra (bukan nama sebenarnya), 11 tahun. Ia nyaris putus sekolah setelah didiagnosis epilepsi fokal usai sembuh dari COVID-19. Sebelum itu, ia kerap mengeluh sakit kepala selama berbulan-bulan, matanya terasa ‘melayang’, dan sulit fokus belajar. Kini, muncul pula alergi yang sebelumnya tidak pernah ada. Setiap bulan, kedua orang tuanya harus merogoh kocek dalam untuk pengobatan.

    Tapi siapa yang peduli sekarang?

    Ketika Dunia Ingin Cepat ‘Move On’

    Indonesia sudah masuk era endemi. Tapi Long COVID tetap nyata. Sayangnya, topik ini nyaris lenyap dari ruang publik.

    Tak ada lagi kampanye. Tak ada edukasi di media sosial. Tak ada layanan pemulihan khusus. Bahkan, pejabat pun jarang membicarakan masalah ini.

    Padahal WHO menegaskan, Long COVID bisa menyerang siapa saja-bahkan mereka yang saat terinfeksi hanya mengalami gejala ringan.

    Gejalanya bukan sekadar batuk. Tapi bisa berupa:

    Kelelahan ekstremKebingungan mental (brain fog)Detak jantung tidak stabilDepresi dan kecemasanGangguan pernapasan atau nyeri dada,

    Dan masih banyak lagi gejala yang dirasakan penyintas COVID.

    Riset WHO memperkirakan 10-20 persen penyintas mengalami kondisi ini. Di Asia, angka itu bisa lebih tinggi karena banyak kasus infeksi yang tidak terdiagnosis atau tercatat.

    Negara Diam, Warga Cuek

    Long COVID seperti tak dianggap. Pemerintah diam, masyarakat pun bosan.

    Bisa jadi ini karena kepercayaan publik yang sudah telanjur rusak. Selama pandemi, informasi terus berubah. Banyak yang akhirnya skeptis-bahkan sinis.

    Tak sedikit yang berkomentar, “Ah, ini cuma mau jual vaksin lagi,” atau, “Nakut-nakutin biar kita takut lagi.”

    Lebih buruk lagi, gejala-gejala usai terkena COVID seperti kelelahan, gangguan saraf, atau nyeri dada seringkali dianggap sebagai efek vaksin, bukan virus. Ini membuat para penyintas makin terpinggirkan. Keluhan mereka sering kali dibantah atau dialihkan ke isu lain.

    Padahal, baik vaksin maupun virus COVID-19 bisa menimbulkan efek samping. Tapi tanpa komunikasi publik yang jujur dan terbuka, kebingungan ini hanya akan memperburuk stigma dan memecah solidaritas.

    Hidup dengan gejala yang tak diakui

    Yang paling menderita adalah penyintas. Mereka dipaksa terlihat sembuh, padahal belum.

    Ketika memeriksakan diri, diagnosis yang ditegakkan sering kali hanyalah psikosomatis atau gangguan lain tanpa mempertimbangkan kemungkinan Long COVID. Berganti-ganti dokter pun sudah dijalani. Hasilnya nihil. Yang ada biaya membengkak, hasil tetap buram.

    Berganti-ganti dokter pun sudah dijalani, namun tak ada hasil. Yang ada, habis biaya yang tak sedikit untuk mencari pengobatan. Banyak penyintas akhirnya memilih diam. Mereka berdamai sendiri dengan tubuh yang tak lagi seperti dulu.

    Tak ada ruang bicara. Tak ada empati. Hidup dalam masyarakat yang ingin cepat move on.

    Di luar, taman hiburan dan konser sudah ramai lagi. Tapi di rumah, ada yang bahkan keluar kamar pun tak sanggup.

    NEXT: Ketika dampaknya tak lagi personal

    Ketika dampaknya tak lagi personal

    Long COVID bukan hanya tentang individu yang menderita diam-diam. Dampaknya bisa jauh lebih luas.

    Beberapa pakar menduga penurunan fungsi kognitif akibat Long COVID, seperti kebingungan atau gangguan konsentrasi, bisa berkontribusi terhadap meningkatnya kecelakaan lalu lintas. Gejala seperti brain fog, kelelahan akut, atau gangguan tidur bisa memengaruhi konsentrasi saat berkendara-tanpa disadari.

    Belum lagi meningkatnya kasus kematian mendadak pada usia produktif yang banyak dilaporkan belakangan ini. Meski tak semua bisa dikaitkan langsung, Long COVID patut dicurigai sebagai salah satu faktor tersembunyi yang memperburuk kondisi kesehatan tanpa gejala jelas.

    Beberapa perusahaan asuransi bahkan mencatat lonjakan klaim untuk masalah jantung, paru-paru, dan gangguan saraf dalam dua tahun terakhir. Gejala-gejala ini sejalan dengan daftar dampak Long COVID versi WHO.

    Apakah kita cukup serius melihat ini sebagai ancaman terhadap keselamatan publik?

    Long COVID adalah tes solidaritas

    Ini bukan cuma soal virus. Ini soal ingatan. Soal empati. Soal apakah kita benar-benar belajar dari pandemi.

    Jika negara terus mengabaikan, dan masyarakat terus melupakan, Long COVID akan menjadi luka kolektif yang tidak pernah sembuh.

    Saya menulis ini bukan untuk dikasihani. Tapi karena saya tahu masih banyak yang seperti saya, diam-diam menderita, tapi tak dianggap. Kami butuh didengar. Kami butuh diingat.

    Akhirnya, ini bukan lagi soal kesehatan. Ini soal solidaritas.

    Lalu apa yang bisa dilakukan?

    Untuk menghadapi Long COVID secara serius, beberapa langkah awal bisa dilakukan:

    Pemerintah daerah dan pusat perlu membentuk layanan rehabilitasi Long COVID di rumah sakit rujukan, bekerja sama dengan spesialis paru, neurologi, psikiatri, dan rehabilitasi medik. Selain itu menyediakan layanan booster vaksin untuk warga yang membutuhkan.Komunitas penyintas dan LSM bisa memperkuat peran advokasi dan pendampingan, terutama untuk kasus anak-anak dan penyintas rentan.Media massa perlu memberi ruang untuk cerita penyintas agar publik sadar bahwa penyakit ini belum selesai.Kita, sebagai individu bisa berkontribusi, misalnya dengan tetap memakai masker saat flu, rutin memeriksakan kesehatan pascainfeksi, dan berbagi informasi yang benar.

    Long COVID bukan aib. Ini bagian dari realitas pascapandemi yang harus kita hadapi bersama, dengan ilmu, dengan empati, dan tentu saja, dengan hadirnya kebijakan.

    Catatan Redaksi: Penulis merupakan anggota Covid Survivor Indonesia (CSI) dan jurnalis lepas

    Simak Video “Video Update Situasi Kasus Covid-19 di Indonesia”
    [Gambas:Video 20detik]

  • COVID-19 Naik Lagi, Benarkah Cuma Propaganda? Ini Faktanya

    COVID-19 Naik Lagi, Benarkah Cuma Propaganda? Ini Faktanya

    Jakarta

    Setelah pencabutan status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) oleh WHO pada Mei 2023, ancaman COVID-19 perlahan memang mulai terabaikan. Namun sebenarnya, virus ini belum sepenuhnya hilang. Kasus penularan tetap ada dan fluktuatif, dengan lonjakan terbaru terjadi di berbagai negara akibat varian baru NB.1.8.1, turunan dari Omicron JN.1.

    India mencatat lonjakan signifikan, dari 257 kasus aktif pada 22 Mei menjadi 3.758 kasus pada awal Juni 2025. Lonjakan serupa terjadi di West Bengal, dengan peningkatan lebih dari 20 kali lipat dalam dua minggu terakhir. Meskipun sebagian besar kasus bersifat ringan, rumah sakit di Kolkata telah menambah kapasitas isolasi untuk mengantisipasi peningkatan pasien.

    Di Australia, varian NB.1.8.1 menyebabkan peningkatan kasus, terutama di Tasmania. Otoritas kesehatan mendesak warga untuk mendapatkan vaksinasi booster COVID-19 dan vaksin flu, mengingat rendahnya tingkat vaksinasi pasca status PHEIC dicabut.

    Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi di Singapura dan Thailand. Dalam sepekan, kedua negara tersebut mencatat lebih dari 15 ribu kasus. Bahkan, Thailand melaporkan sekitar 200 ribu infeksi COVID-19 sepanjang 2025.

    Lain halnya dengan Indonesia, imbas testing COVID-19 menurun, ‘hanya’ terlaporkan 75 kasus sejak awal 2025. Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai total kasus di lapangan bisa jauh lebih tinggi dari yang tercatat resmi.

    “Kalau naik pun nggak terdeteksi juga, nggak ada yang mau testing. Siapa sekarang yang mau testing, orang mungkin juga nggak bergejala. Testing kan nggak murah dan bukan jaman seperti COVID-19 yang tesnya bisa gratis,” jelas Pandu kepada detikcom, Senin (2/6/2025).

    Kenaikan kasus COVID-19 yang terkesan ‘tiba-tiba’ memicu beragam spekulasi, termasuk dugaan adanya propaganda terselubung. Ada yang menganggap tren tersebut seolah-olah dibuat dengan maksud dan kepentingan tertentu.

    Faktanya, meski status PHEIC atau ‘pandemi’ dalam istilah awam, dicabut, seluruh dunia belum benar-benar ‘terbebas’ dari virus COVID-19. Artinya, virus tetap bersirkulasi atau menularkan, tetapi menjadi tidak ‘ganas’ dan hanya memicu gejala ringan, atau bisa tidak bergejala sama sekali.

    Hal ini terjadi karena program vaksinasi COVID-19 yang sudah dilakukan di banyak negara. Indonesia misalnya, lebih dari 80 persen masyarakat di Tanah Air sudah menerima dua dosis vaksin COVID-19.

    Pandu juga menilai hal ini yang menjadi keuntungan Indonesia dalam menghadapi virus maupun mutasi COVID-19 belakangan. Kasus kematian bisa ditekan hingga 0 laporan, berdasarkan catatan Kemenkes RI sepanjang 2025. Pandu juga meyakini kenaikan kasus COVID-19 di banyak negara tidak perlu disikapi dengan kepanikan, termasuk mendadak berburu vaksinasi COVID-19 tambahan.

    “Kalau divaksinasi lagi nggak perlu, nggak ada evidence based vaksinasi ulang itu bisa menangani, karena imunitas yang ada saat ini sudah cukup memadai. Nanti kan jadi kontraproduktif Menkes (dituduh) jualan vaksin lagi,” beber Pandu.

    “Kita juga kan sangat beruntung sama menggunakan Sinovac, vaksin yang cukup andal, Sinovac kan virus utuh, kalau mRNA kan cuma bagian dari virus, yang suka berubah nah itu yang mengkhawatirkan di banyak negara, kalau Indonesia sih nggak perlu khawatir,” pungkasnya.

    NEXT: COVID-19 Cuma Propaganda?

    COVID-19 Cuma Propaganda?

    Mari dilihat dari laporan kasus COVID-19 setiap tahun. Catatan Our Wold in Data menunjukkan puncak kasus COVID-19 dunia terjadi pada 21 Juni 2022 dengan hampir 4 juta kasus dalam 24 jam. Sementara puncak kematian terjadi di tahun sebelumnya yakni 21 Januari 2021, mencapai 17.049 per hari.

    Tren kasus maupun kematian karena COVID-19 berangsur menurun signifikan tetapi tidak pernah benar-benar ‘lenyap’.

    Terendah konsisten di angka 2 ribu kasus selama periode Juni 2023 hingga akhir 2024. Pemicunya tidak lain karena kondisi kekebalan imunitas tubuh dan mutasi virus yang dapat memengaruhi tingkat penularan dan efektivitas vaksin.

    Kabar baiknya, sifat virus COVID-19 belakangan sudah tidak lagi mematikan, meskipun catatan infeksi melonjak. Meski begitu, pakar epidemiologi Dicky Budiman mengingatkan risiko yang bisa muncul di balik infeksi berulang.

    “Memang beruntungnya kita saat ini COVID-19 secara akut tidak menjadi masalah, ketika terinfeksi yasudah gejala-nya ringan,” beber dia kepada detikcom, Selasa (2/6).

    “Tapi ingat COVID-19 ini kalau berulang-ulang ada fase kronis lanjutan yang serius yang disebut dengan long COVID-19 yang cuma tidak bermasalah pada bagian paru-paru, tetapi ke jantung, dan organ lain,” sorot dia.

    Dihubungi terpisah, Hermawan Saputra dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) juga mewanti-wanti kemungkinan risiko fatal tidak hilang sepenuhnya. Terutama pada mereka dengan kelompok rentan. Hal ini terlihat dari laporan Thailand yang mencatat 50-an kasus kematian dari 200 ribu infeksi COVID-19.

    “Kasus-kasus lupus, kelainan-kelainan bawaan, orang dengan hipersensitivitas, itu sangat berisiko. Artinya daya tahannya, imunitasnya tidak optimal, kedua adalah orang-orang lanjut usia dan orang-orang yang punya penyakit komorbid, istilahnya, terutama pneumonia berat karena asma, kemudian ada penyakit-penyakit diabetes, itu yang harus dilindungi lebih awal,” beber dia, kepada detikcom Senin (2/6).

    Menurutnya, pemerintah perlu melakukan skrining utamanya di pintu-pintu masuk dan pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) memastikan subvarian yang dominan menyebar, meski sebagian besar karakteristik virus bersifat ringan. Hal ini tetap perlu dilakukan sebagai kewaspadaan menghadapi risiko lonjakan kasus.

    Ia tidak menampik kemungkinan beberapa orang kemudian berspekulasi dan menganggap COVID-19 sebagai teori konspirasi saat lonjakan terkesan tiba-tiba terjadi.

    “Yang perlu dipahami adalah COVID-19 itu masih ada, dia selalu ada di sekitar kita, yang membedakan saat status PHEIC dicabut, karakteristik virus maupun gejalanya saat ini relatif ringan, tidak lagi memicu gejala berat, atau kasus rawat inap, karena sudah terbentuk imunitas atau kekebalan terhadap infeksi di masyarakat, baik dari paparan maupun vaksinasi,” lanjutnya.

    NEXT: Endemik tak berarti hilang dari peredaran

    Hermawan menyebut status COVID-19 saat ini sudah menjadi endemik seperti penyakit menular lain, misalnya demam berdarah dengue (DBD). Artinya, virus tetap ada tetapi dinilai tidak lagi mengkhawatirkan.

    Senada, Dicky menyebut penyangkalan akan keberadaan COVID-19 akan selalu terjadi. Terlebih, secara psikologis pandemi COVID-19 kala itu membuat banyak orang terganggu dalam segala aktivitas dan memicu kerugian serta dampak besar bagi beberapa orang secara finansial, karena mobilitas yang mendadak dibatasi. Tidak heran, kemudian muncul penyangkalan dari situasi COVID-19 belakangan.

    “Kita tidak bisa mengandalkan penyangkalan untuk kemudian meniadakan penyakit itu. Tidak akan hilang,” tegas dia.

    “Lebih bijak yang bisa dilakukan saat ini tetap menjaga perilaku hidup bersih sehat, memakai masker, mencuci tangan,” tutupnya.

    Saksikan Live DetikSore:

  • Studi Bawa Kabar Tak Enak Buat ‘Alumni’ COVID, Disebut Bisa Kena Penyakit Kronis Ini

    Studi Bawa Kabar Tak Enak Buat ‘Alumni’ COVID, Disebut Bisa Kena Penyakit Kronis Ini

    Jakarta

    Menurut sebuah studi baru, mereka yang pernah terkena COVID-19 delapan kali lebih mungkin mengalami kondisi kronis ME/CFS (myalgic encephalomyelitis/chronic fatigue syndrome). Penelitian tersebut menggunakan data dari inisiatif penelitian long COVID yang dilakukan oleh US National Institutes of Health (NIH).

    “Penelitian ini menggarisbawahi urgensi bagi penyedia layanan kesehatan untuk mengenali ME/CFS pasca-COVID-19,” kata penulis pertama Dr Suzanne D. Vernon, direktur penelitian di Bateman Horne Center, dalam sebuah pernyataan yang dikirim ke IFLScience.

    ME/CFS sering kali dikaitkan dengan infeksi sebelumnya. Bahkan jika seseorang hanya mengalami gejala ringan saat terinfeksi COVID-19, mereka tetap bisa mengalami gejala berkepanjangan seperti kelelahan, kabut otak, dan pusing di kemudian hari.

    Meskipun long COVID masih merupakan kondisi yang baru dipahami, ME/CFS dan konsep penyakit pasca-virus sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Namun, banyak pasien masih mengalami kesulitan mendapatkan diagnosis dan perawatan. Mereka juga sering menghadapi stigma, kesalahpahaman, dan informasi medis yang saling bertentangan.

    Mengingat banyaknya temuan tentang long COVID sejak pandemi dimulai hampir lima tahun lalu, para peneliti dalam studi terbaru ini ingin meneliti kemungkinan hubungan antara COVID-19 dan ME/CFS.

    Para peneliti menggunakan data dari RECOVER Initiative, proyek yang didanai oleh NIH dan dirancang sebagai studi paling komprehensif dan beragam di dunia tentang long COVID. Analisis ini melibatkan 11.785 peserta yang pernah terinfeksi SARS-CoV-2 dan 1.439 peserta yang belum pernah terinfeksi.

    Tim peneliti kemudian menilai berapa banyak peserta yang memenuhi kriteria diagnostik untuk ME/CFS setidaknya enam bulan setelah terinfeksi COVID-19. Namun, perlu dicatat bahwa kriteria ini bergantung pada pelaporan gejala oleh peserta sendiri, yang menjadi salah satu keterbatasan dalam penelitian ini.

    ME/CFS ditemukan pada 4,5 pesen peserta yang pernah terinfeksi, dibandingkan dengan hanya 0,6 pesen peserta yang tidak terinfeksi. Selain itu, hampir 90 pesen dari mereka yang memenuhi kriteria ME/CFS juga termasuk dalam kelompok pasien long COVID dengan gejala paling parah, yang semakin memperkuat hubungan antara kedua kondisi tersebut.

    “Temuan ini memberikan bukti tambahan bahwa infeksi, termasuk yang disebabkan oleh SARS-CoV-2, dapat memicu ME/CFS,” tulis Institut Nasional Gangguan Neurologis dan Stroke dalam pernyataannya tentang penelitian ini.

    Gejala yang paling sering dilaporkan oleh kelompok ini adalah malaise pasca-olahraga (kelelahan ekstrem setelah aktivitas fisik), intoleransi ortostatik (pusing saat berdiri), dan gangguan kognitif. Gejala-gejala ini juga umum dialami oleh banyak pasien long COVID.

    Para peneliti menekankan bahwa diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami mengapa COVID-19 dapat menyebabkan penyakit kronis pada sebagian orang serta siapa yang lebih berisiko mengalami kondisi ini.

    “Penelitian ini menegaskan pentingnya bagi tenaga medis untuk mengenali ME/CFS pasca-COVID-19. Diagnosis dini dan penanganan yang tepat dapat mengubah kehidupan pasien,” kata Dr Suzanne D Vernon.

    (suc/suc)