Topik: KUHP

  • Korupsi Telkom Sigma, Direktur PT PNB Divonis 1 Tahun Penjara 
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        8 Oktober 2025

    Korupsi Telkom Sigma, Direktur PT PNB Divonis 1 Tahun Penjara Regional 8 Oktober 2025

    Korupsi Telkom Sigma, Direktur PT PNB Divonis 1 Tahun Penjara
    Tim Redaksi
    SERANG, KOMPAS.com
    – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Serang menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada mantan Direktur PT Prakarsa Nusa Bakti (PNB), Roberto Pangasian Lumban Gaol.
    Vonis tersebut terkait dengan kasus pengadaan server dan storage di anak perusahaan Telkom, PT Sigma Cipta Caraka (Telkom Sigma) pada 2016 dengan nilai mencapai Rp 282 miliar.
    Kuasa hukum Roberto, Wa Ode Nur Zainab berpendapat, seharusnya kliennya dibebaskan dalam perkara ini.
    “Jadi kalau melihat hasil dari keputusan hakim, mestinya bebas,” ungkap Wa Ode kepada wartawan setelah persidangan, Rabu (8/10/2025).
    Wa Ode menjelaskan, berdasarkan putusan yang dibacakan majelis hakim yang dipimpin Agung Sulistiono, perkara tersebut tidak menimbulkan kerugian negara.
    Ia menambahkan, kasus yang menjerat tiga terdakwa lainnya seharusnya masuk dalam ranah keperdataan, yang telah diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Banten pada 2017.
    Dalam putusan tersebut, PT PNB diperintahkan untuk melunasi sisa pembayaran sebesar Rp 142 miliar kepada PT SCC.
    “Dari sini bisa dilihat adanya iktikad baik dari PT PNB,” ujar Wa Ode, yang didampingi pengacara lainnya, Jhon Girsang.
    Kliennya, sambung dia, telah membayarkan sisa kewajiban sebesar Rp 142 miliar pada Februari dan Maret 2024, setelah sebelumnya membayar pada 2017.
    Meski demikian, Wa Ode menyatakan, pihaknya menghormati putusan hakim Pengadilan Tipikor Serang dan akan menunggu keputusan kliennya apakah akan melakukan upaya hukum selanjutnya atau menerima vonis tersebut.
    “Tinggal menunggu Pak Roberto dalam waktu 7 hari ini kira-kira sikapnya seperti apa? (banding atau terima). Harusnya sih bebas kalau dilihat dari uraian pertimbangan hukum hakim tadi, harusnya bebas,” tandasnya.
    Sebelumnya, empat terdakwa, termasuk Roberto Pangasian Lumban Gaol, mantan staf administrasi dan logistik PT PNB, Afrian Jafar, mantan Direktur PT Granary Reka Cipta (GRC) Tejo Suryo Laksono, serta konsultan hukum Imran Muntaz, divonis satu tahun penjara.
    Hakim menyatakan, keempat terdakwa terbukti secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan dakwaan alternatif kedua, melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hamida, Fauzi dan Netizen jadi Oase Pencari Keadilan Tragedi Ponpes Al Khoziny Sidoarjo

    Hamida, Fauzi dan Netizen jadi Oase Pencari Keadilan Tragedi Ponpes Al Khoziny Sidoarjo

    Surabaya (beritajatim.com) – Desakan supaya pihak kepolisian mengusut tuntas tragedi pondok pesantren (ponpes) Al Khoziny Sidoarjo yang menewaskan lebih dari 60 anak-anak terus bermunculan. Ditengah gurun penerimaan wali santri terhadap hilangnya nyawa para santri, Hamida dan Fauzi menjadi oase pencari keadilan yang terus bersuara.

    Dari informasi yang dihimpun Beritajatim di lokasi selama tragedi mayoritas keluarga korban pasrah dan menerima jika tragedi tersebut merupakan takdir yang sudah ditetapkan. Bahkan sejumlah keluarga sempat melakukan protes kepada petugas evakuasi karena dianggap lamban dalam menyelamatkan para santri. Hingga menyebabkan 60 lebih santri meninggal dunia.

    Salah satu wali santri yang menerima tragedi dengan korban jiwa terbanyak menurut BNPB itu adalah M. Ma’ruf (50). Ia adalah wali santri dari Muhammad Ali (13) salah satu korban jiwa dalam peristiwa ambruknya mushola Al Khoziny Sidoarjo. Ma’ruf menganggap apa yang terjadi merupakan kehendak dan takdir dari Allah SWT.

    “Kami titipkan (putra) kami di pondok ini dengan tujuan, satu agar anak kami kenal dengan Tuhannya, dua kami pasrah dengan guru kami yang ada di sini, andaikan ada kejadian yang tidak diinginkan itu semua takdir dan kami siap menerima adanya,” kata Ma’ruf.

    Keikhlasan dan penerimaan Ma’ruf itu mengamini pernyataan Pengasuh Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, KH Abdus Salam Mujib dihari ambruknya bangunan mushola ponpes. Disamping reruntuhan, kyai yang juga tokoh penting Nahdlatul Ulama (NU) mengatakan jika ambruknya bangunan merupakan takdir.

    “Ya saya kira ini takdir dari Allah, jadi semuanya harus bisa bersabar. Dan mudah-mudahan juga diberi diganti oleh Allah yang lebih baik,” kata Mujib ditemui di lokasi kejadian, Senin (29/9/2025) lalu.

    Namun, tak semuanya memilih pasrah dan menerima. Hamida dan Fauzi contohnya. Di tengah gurun menerima dan pasrah, keduanya menjadi oase harapan perbaikan sistem pembelajaran di pondok pesantren dengan menuntut pertanggungjawaban dari pengasuh dan pengurus Ponpes Al Khoziny Sidoarjo.

    Hamida warga Sedati, Sidoarjo sampai hari kesepuluh tragedi atau Rabu (8/10/2025) belum mengetahui di mana keponakannya yang turut menjadi korban. Setiap hari ia menunggu hasil identifikasi dari tim Disaster Victim Identification (DVI) Pusdokkes Mabes Polri di RS Bhayangkara Surabaya menyebut nama keponakannya, M Muhfi Alfian (16).

    “Keluarga berharap, mendorong dan mendesak pihak kepolisian khususnya Polda Jatim untuk melakukan pemeriksaan, karena tragedi ini sudah ada unsur pidananya. tetap harus ada yang bertanggung jawab atas tragedi bencana non alam ini karena peristiwa ini tidak ambruk secara alami,” kata Hamida.

    Perempuan yang akrab dipanggil Mimid ini mengungkap sebenarnya pihak keluarga sudah menanyakan terkait dengan penggunaan gedung disaat para santri melakukan pengecoran di lantai paling atas bangunan mushola.

    “Masa dilantai atas masih pengecoran basah tapi di bawah digunakan untuk aktivitas sholat. Pertanyaan seperti itu juga sudah pernah disampaikan orang tua korban Muhfi di grup WhatsApp wali santri dan tidak ada satupun dari pengurus ponpes yang menjawab,” imbuh Hamida.

    Senada dengan Mimid, Fauzi (48) juga mendesak adanya pertanggungjawaban dari pengurus dan pengasuh ponpes. Fauzi kehilangan empat keponakannya dalam tragedi tersebut. Anak kandungnya yang juga mondok di tempat yang sama dinyatakan selamat.

    Empat santri yang awalnya ingin belajar ilmu agama namun malah menjadi korban ambruknya bangunan mushola itu adalah MH, MS, BD dan A. Mereka memiliki rentan usia 16-17 tahun atau dalam Islam disebut dengan periode As-Syabab (remaja/periode pemuda).

    “Saya sudah konsultasi dengan yang lebih ahli. Dilihat dari konstruksinya memang tidak standar untuk pembangunan,” ucap dia.

    Secara pribadi Fauzi mengungkap keikhlasannya menerima empat anggota keluarganya dipanggil oleh sang Maha Kuasa. Namun, kelalaian pihak pondok dengan tidak mematuhi administrasi dan kelayakan bangunan harus dipertanggungjawabkan. Supaya kedepan tidak ada lagi kejadian serupa.

    “Kalau masalah ikhlas, benar kita ikhlas, itu namanya takdir. Tapi kalau kelalaian, ya harus diproses. Hukum harus ditegakkan, supaya ke depan adik-adik kita bisa belajar dengan aman,” ujarnya.

    Fauzi dan Mimid sepakat jika terdapat kultur di lingkungan pondok pesantren yang membuat wali santri enggan atau tidak berani menuntut pertanggungjawaban dari para pengasuh dan pengurus. Namun, kedua orang itu sepakat penegakan hukum tidak boleh kalah dengan status sosial. Negara tidak seharusnya kalah dengan individu yang mempunyai status sosial tinggi.

    “Kita tidak memandang status sosial atau jabatan. Meskipun statusnya kiai, kalau memang bersalah ya harus diproses. Masa hukum kalah sama status sosial seseorang,” jelas Fauzi.

    Arus desakan untuk memproses pidana pihak yang bertanggung jawab dalam tragedi dengan korban jiwa terbanyak mengalahkan gempa Poso dan banjir di Bali terus mengalir. Hamida dan Fauzi tidak sendirian. Masyarakat di media sosial juga mendesak agar pihak kepolisian segera memanggil pihak pengurus pondok.

    Menanggapi desakan Hamida, Fauzi dan masyarakat, Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nanang Avianto mengatakan peristiwa ini sudah ditangani oleh dua Direktorat. Yakni, Direktorat Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) dan Direktorat Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jatim. Pihaknya sudah memeriksa 17 saksi dan menetapkan dua pasal KUHP untuk menjerat penanggung jawab dalam peristiwa ini.

    “Adapun pasal-pasal yang akan kami sangkakan di sini adalah pasal 359 KUHP dan atau pasal 360 KUHP kelalaian yang menyebabkan kematian dan atau luka berat,” kata Nanang, Rabu (8/10/2025).

    Selain dua pasal KUHP, pihak kepolisian juga menerapkan Pasal 46 ayat 3 dan atau Pasal 47 ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang bangunan gedung terkait dalam pemenuhan persyaratan teknis bangunan.

    Ia menegaskan pihak kepolisian dalam penegakan hukum tidak memandang status sosial. Ia berkomitmen pihak kepolisian akan memproses kasus ini dengan aturan yang sesuai.

    “Setiap orang itu sama haknya kedudukannya di dalam hukum. Jadi tentunya apapun yang akan melekat itu nanti kita lepaskan dulu. Jadi supaya kita tahu bagaimana progres ini berlangsung dan kemudian mengenai pertanggungjawaban kepada hukum karena kita ingat kita ini kan negara hukum. Jadi semuanya saya ingin untuk patuh terhadap aturan yang ada dulu,” pungkasnya. (ang/ian)

  • HMI Tuntut Polres Jember Bebaskan Seluruh Demonstran yang Ditahan

    HMI Tuntut Polres Jember Bebaskan Seluruh Demonstran yang Ditahan

    Jember (beritajatim.com) – Pengurus Cabang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mempertanyakan penangkapan sejumlah demonstran oleh Kepolisian Resor Jember, Jawa Timur, pasca aksi 30 Agustus 2025.

    Kritik ini disuarakan saat mereka mengikuti rapat dengar pendapat di gedung DPRD Kabupaten Jember, Rabu (8/10/2025). Rapat juga diikuti perwakilan Polres Jember, yakni Kepala Unit Pidana Umum Inspektur Satu Bagus Setiawan dan Kepala Urusan Pembinaan dan Operasional Satuan Intelijen Inspektur Satu Wawan Sugianto.

    Ketua HMI Jember Ahmad Ridwan mengatakan, aksi unjuk rasa Amarah Masyarakat Jember pada 30 Agustus 2025 berjalan tertib dan kondusif. “Sepanjang saya mengikuti aksi, tidak pernah terjadi kericuhan besar seperti di luar daerah lain,” katanya.

    Menurut Ridwan, pengunjuk rasa berusaha untuk mengedepankan substansi dari aspirasi yang dibawa. “Kami menilai aksi terakhir pada 30 Agustus tersebut masih dalam batas-batas koridor substansial. kalau kita membandingkan dengan di daerah yang lain bahkan ada korban jiwa,” katanya.

    Setelah aksi 30 Agustus 2025, HMI menunda aksi lanjutan. “Ternyata dalam perjalanannya kami mendengar, adanya insiden-insiden yang kami rasa perlu koreksi kita bersama,” kata Ridwan.

    Ridwan mendapat informasi bahwa polisi mengamankan 12 orang, dan menetapkan 10 orang di antaranya sebagai tersangka. Dua orang tersangka itu berstatus pelajar. “Sepuluh tersangka tersebut dijerat dengan pasal 187, pasal 170, dan pasal 160 KUHP,” katanya.

    Padahal, lanjut Ridwan, penyampaian pendapat di muka umum merupakan hak konstitusional warga yang dilindungi undang-undang. “Namun penegakan hukum pidana di Indonesia masih berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 1981 sebagai instrumen utama dalam mengatur mekanisme penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga pemeriksaan saksi,” katanya.

    Ridwan mengingatkan, aparat kepolisian tidak hanya dituntut tegas, tapi juga menjunjung tinggi asas keadilan, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. “Dalam konteks ini, setiap bentuk tindakan hukum, terutama yang melibatkan penangkapan dan penetapan tersangka harus dilakukan secara hati-hati, akuntabel, dan tidak serampangan,” katanya.

    Ridwan menegaskan, KUHAP sejatinya dimaksudkan untuk menyeimbangkan kepentingan penegakan hukum dengan perlindungan hak asasi manusia melalui prinsip diverses of law.

    “Aparat penegak hukum tidak bisa menggunakan cara-cara sewenang-wenang yang dapat merugikan hak dasar warga negara,” katanya.

    Adinda Agung Maulana, Ketua Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Pemuda HMI Jember, mengatakan, pemanggilan saksi yang dilakukan polisi tidak sesuai dengan surat resmi sebagaimana diatur KUHP. “Pemeriksaan dilakukan di luar jam kerja tanpa dasar hukum, dan adanya wajib lapor berulang kali tanpa status tersangka yang resmi,” katanya.

    “Contoh tersebut terjadi pada aktivis berinisial F yang dijerat pasal 160 KUHP, yang menunjukkan penetapan tersangka tidak prosedural, karena tidak ada pemeriksaan awal maupun bukti permulaan yang cukup,” kata Agung.

    Menurut Agung, F yang ditangkap polisi adalah petugas paramedis dalam aksi 30 Agustus. “Bukan penggerak massa,” katanya. LBH Surabaya sudah melayangkan surat penangguhan penahanan ke Polres Jember.

    Agung menegaskan, HMI Cabang Jember berkomitmen untuk terus mengawal proses hukum kasus itu. “Kami ingin menyampaikan beberapa hal untuk ke depannya dipertimbangkan dan diperhatikan. Pertama, terkait dengan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum,” katanya.

    “Kami minta Polres Jember melakukan proses penegakan hukum dengan tetap mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku dan mengedepankan HAM. Ketiga, meminta Polres Jember untuk menanggapi dan mengabulkan penangguhan penahanan yang diminta oleh LBH Surabaya,” kata Agung.

    HMI juga mendesak polisi berdialog konstruktif dengan masyarakat sipil untuk memperkuat kepercayaan publik dan mendorong penegakan hukum yang partisipatif.

    “Terakhir, kami menuntut kepolisian Jember untuk segera membebaskan seluruh massa aksi yang ditahan, apabila bukti permulaan yang dijadikan dasar penetapan tersangka tidak memenuhi standar minimal pembuktian, atau bukti tersebut diperoleh melalui cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan hukum acara pidana yang sah,” kata Agung.

    Jawaban Polres Jember
    Inspektur Satu Wawan Sugianto.mengatakan, mulanya aksi pada 30 Agustus 2025 berjalan kondusif. “Pada pukul 16.00, para Korlap (Koordinator Lapangan) aksi dari elemen BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) maupun dari Cipayung (HMI, PMII, GMNI) selesai dan menyatakan menarik diri dari aksi tersebut,” katanya.

    Namun, menurut Wawan, kurang lebih ada 50-60 orang massa cair yang bertahan di Markas Polres Jember pada pukul 16.00-18.00 WIB. “Pada pukul 18.00 kurang sedikit, saat azan magrib, berkumandang, massa cair menarik diri keluar dari dari Mapolres Jember dan bergeser ke Bundaran Jalan Kartini,” katanya.

    Saat itu terjadi perusakan fasilitas dan pelemparan bom molotov ke arah Mapolres Jember. Namun bom molotov tak mengenai sasaran.

    “Jadi kami tidak mengamankan aktivis. Yang kami amankan adalah massa di luar yang melakukan aksi unjuk rasa ke Mapolres Jember,” kata Wawan.

    Polres Jember, menurut Wawan, justru mengapresiasi aksi mahasiswa yang berjalan tertib. “Dilihat dari situasi nasional yang berkembang sampai saat ini, alhamdulillah, sudah aman,” katanya.

    Sementara itu, Inspektur Satu Bagus Setiawan mengatakan, ada sebelas orang yang diamankan Polres Jember. “Tujuh orang yang awal (diamankan) itu kami tidak pernah melakukan upaya paksa ataupun penangkapan,” katanya.

    “Jadi setelah aksi yang awalnya berjalan sangat damai, indah, dan diterima di halaman Mapolres, dilakukan dengan aksi teatrikal, dan semua aspirasi, sudah dilaksanakan, tercederai beberapa oknum yang itu bukan merupakan bagian dari teman-teman aktivis,” kata Bagus.

    Petang itu, menurut Bagus, massa yang tersisa di Jalan Kartini merusak tenda pos pantau milik Satuan Lalu Lintas Polres Jember. Mereka juga membakar dan melemparkan bom molotov. “Imbauan sudah dilakukan lagi. Tapi tetap massa tidak bubar,” katanya.

    Akhirnya setelah aksi itu, polisi bergerak. “Beberapa alat bukti petunjuk kami mengarah kepada tujuh orang,” kata Bagus.

    Menurut Bagus, mereka bersedia dimintai keterangan di Markas Polres Jember. “Tujuh orang ini semuanya kooperatif dan mengakui bahwa petunjuk yang kami dapat, baik video amatir di medsos maupun dari CCTV, adalah yang bersangkutan,” katanya.

    “Dari proses interogasi, kami lakukan pemeriksaan sebagai saksi, dan kami lakukan pendalaman sesuai dengan KUHAP. Telah terpenuhi dua alat bukti untuk kita naikkan statusnya sebagai tersangka.. Jadi yang perlu kami garisbawahi bahwa untuk tujuh orang awal ini tidak ada proses penangkapan ataupun upaya paksa,” kata Bagus.

    Dari tujuh orang itu, dua orang masih anak-anak. Polisi memakai Undang-Undang Perlindungan Anak. Mereka tidak ditahan dan ditangani Balai Pemasyarakatan (Bapas). Mereka masih berstatus pelajar SMA kelas 1, dan mengaku hanya ikut-ikutan.

    “Dua orang ini sedang menjalani sanksi sosial di Dinas Sosial. Dari sekolahnya sebenarnya mereka sudah menjalani masa hukuman. Tapi karena mendengar di medsos ada aksi,-mereka ikut-ikutan hingga melakukan pengerusakan atau pembakaran,” kata Bagus.

    Sementara lima orang lainnya dinaikkan statusnya menjaid tersangka. “Ada pengembangan terhadap terduga pelaku lain yang dikenali, termasuk yang berinisial F. Jadi salah satu tersangka menyampaikan bahwa dia terhasut oleh F yang menyampaikan kalimat provokatif,” kata Bagus.

    “Dari awal pemeriksaan saksi, langsung didampingi LBH dari Surabaya. Jadi tidak ada proses hukum yang tidak transparan,” kata Bagus.

    Polisi kemudian menetapkan F sebagai tersangka. “Mengembang dua orang lagi yang dikenali oleh teman-teman yang sudah kami tetapkan tersangka,” kata Bagus.

    Polisi menangkap dua orang itu. “Jadi total yang kita lakukan penahanan sampai saat ini adalah delapan orang. Dari delapan orang ini, untuk yang lima orang tersangka sudah dinyatakan P21 oleh jaksa penuntut umum,” kata Bagus.

    “Jadi, tinggal tiga orang yang masih dalam tahap pemberkasan, tahap satu. Yang lima orang sudah P21. Para tersangka semuanya didampingi lawyer atau penasihat hukum. Jadi, tidak ada kita tidak transparan dan tidak ada kekerasan sedikitpun,” kata Bagus.

    Bagus mengatakan, para tersangka bisa ditemui. “Semuanya boleh melihat ada tidak kita melakukan paksaan dan intimidasi dan lain sebagainya. Kita terbuka. Dari teman-teman aktivis juga sudah ada yang menjenguk tersangka. Kita izinkan. Kita enggak membatasi ketemu siapa-siapa,” jelasnya.

    Delapan orang tersangka tersebut bukan bagian dari elemen organisasi yang memprakarsai aksi damai di Mapolres Jember. “Kalau teman-teman mahasiswa ingin bertatap muka dengan para tersangka yang sudah kami amankan, monggo dipersilakan,” kata Bagus.

    Surat penanguhan penahanan terhadap F sudah diterima Polres Jember. “Masih dalam tahap pertimbangan pimpinan. Kebijakan itu ada di pimpinan. Tidak ada kita istilahnya mengkriminalisasi aksi, apalagi aksi yang sudah digagas oleh teman-teman aktivis,” kata Bagus. [wir]

  • Rebutan Lahan Parkir, Pria di Maros Tusuk Mata Saingan Pakai Badik hingga Buta Permanen

    Rebutan Lahan Parkir, Pria di Maros Tusuk Mata Saingan Pakai Badik hingga Buta Permanen

    Liputan6.com, Maros – Persaingan lahan parkir liar di Maros berujung tragis. Seorang pria berinisial IDA harus kehilangan penglihatan mata kirinya setelah ditusuk menggunakan badik oleh MFA (37). Pelaku penganiayaan, MFA, pun kini telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.

    Peristiwa itu terjadi pada malam akhir September, Selasa (30/9/2025) sekitar pukul 23.40 Wita. Kala itu, IDA bersama dua rekannya tengah menawarkan jasa penyeberangan kendaraan di perempatan Jalan Poros Maros–Makassar di Desa Marumpa, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

    Suasana yang awalnya biasa saja mendadak berubah tegang ketika MFA datang dan menanyakan siapa yang berteriak di lokasi. Tidak mendapat jawaban yang memuaskan, emosi MFA justru tersulut.

    Dari balik pinggangnya, ia menarik sebilah badik berwarna hitam sepanjang 30 sentimeter. Niat korban untuk melerai malah berujung malapetaka. Satu tikaman tepat mengenai mata kirinya hingga membuat penglihatan IDA hilang permanen.

    Kasus ini kemudian dilaporkan ke pihak kepolisian. Unit Jatanras Satreskrim Polres Maros langsung bergerak cepat. Setelah melakukan penyelidikan, tim berhasil mengidentifikasi keberadaan pelaku. Penangkapan dilakukan pada Selasa malam (7/10/2025) di Jalan Panser, Kelurahan Hasanuddin, Kecamatan Mandai.

    “Setelah dilakukan penyelidikan, tim Jatanras berhasil mengidentifikasi dan menangkap pelaku tanpa perlawanan,” jelas Kasat Reskrim Polres Maros IPTU Ridwan, Rabu (8/10/2025).

    Dalam interogasi, MFA mengakui perbuatannya. Ia berdalih sakit hati karena merasa tersaingi soal lahan parkir liar atau yang dikenal masyarakat sebagai ‘pak ogah’. Polisi juga menyita barang bukti berupa sebilah badik hitam yang digunakan saat kejadian.

    “Saat ini pelaku sudah diamankan di Mapolres Maros untuk proses hukum lebih lanjut,” terang Ridwan.

    Kini, di balik dinginnya jeruji besi, MFA harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, sementara IDA menjalani hari-hari dengan kehilangan yang tidak bisa tergantikan: penglihatan mata kirinya.

    “Tersangka dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan berat dengan ancaman maksimal lima tahun penjara,” ungkap Ridwan menambahkan.

  • KPK Ungkap Ada Setoran dari Travel Agent Penyelenggara Haji Khusus ke Kemenag dengan Berbagai Modus

    KPK Ungkap Ada Setoran dari Travel Agent Penyelenggara Haji Khusus ke Kemenag dengan Berbagai Modus

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap ada berbagai modus pemberian uang dari agen perjalanan atau travel agent penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) ke Kementerian Agama. Penyerahan ini disebut supaya calon jamaah haji mereka bisa segera berangkat ke Tanah Suci.

    “Dalam perkembangan penyidikannya, ditemukan fakta-fakta adanya dugaan aliran uang dari para PIHK kepada oknum di Kemenag, dengan berbagai modus seperti uang percepatan, dan lainnya,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 8 Oktober.

    Budi kembali menjelaskan kasus ini berawal dari penyalahgunaan wewenang penyelenggara negara yang bekerja sama dengan pihak lain dalam pembagian kuota haji tahun 2023-2024. Ketika itu, Indonesia mendapat 20.000 jatah tambahan dari Pemerintah Arab Saudi untuk memecah antrean.

    “Dengan adanya pembagian kuota tambahan ke dalam kuota haji reguler dan kuota haji khusus, yang tidak sesuai dengan ketentuan perundangan tersebut maka mengakibatkan jumlah kuota yang dikelola oleh Kemenag dalam bentuk kuota haji reguler menjadi berkurang dari yang semestinya,” tegasnya.

    “Sebaliknya, kuota haji khusus yang dikelola oleh para PIHK atau biro travel menjadi bertambah secara signifikan dari yang seharusnya. Artinya, kuota-kuota haji khusus yang diperjualbelikan oleh PIHK itu bermula dari adanya diskresi pembagian kuota tersebut,” sambung Budi.

    Diberitakan sebelumnya, KPK sedang mengusut dugaan korupsi terkait kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023-2024 pada Kementerian Agama (Kemenag). Belum ada tersangka yang ditetapkan karena menggunakan surat perintah penyidikan (sprindik) umum.

    Adapun sprindik umum tersebut menggunakan Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Artinya, ada kerugian negara yang terjadi akibat praktik korupsi ini. 

    Kerugian negara dalam kasus korupsi kuota dan penyelenggaraan haji periode 2023-2024 ini disebut mencapai Rp1 triliun lebih. Jumlah tersebut masih bertambah karena baru hitungan awal KPK yang terus berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

    Kasus ini bermula dari pemberian 20.000 kuota haji tambahan dari pemerintah Arab Saudi bagi Indonesia untuk mengurangi antrean jamaah. Hanya saja, pembagiannya ternyata bermasalah karena dibagi sama rata, yakni 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama yang ditandatangani Yaqut Cholil Qoumas.

    Padahal, berdasarkan perundangan, pembagian seharusnya 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.

    Belakangan, pembagian bermasalah itu disinyalir karena adanya uang dari pihak travel haji dan umrah maupun asosiasi yang menaungi ke Kementerian Agama. Setelah dapat jatah, mereka menjual kuota tambahan tersebut kepada calon jamaah haji.

    Dalam proses penyidikan, sejumlah pihak sudah dimintai keterangan termasuk Yaqut Cholil Qoumas. Rumahnya juga sudah digeledah penyidik dan ditemukan dokumen maupun barang bukti elektronik yang diduga terkait.

  • Sindikat Perdagangan Pupuk Subsidi Diadili, Oknum Polisi Sebagai Pemasok

    Sindikat Perdagangan Pupuk Subsidi Diadili, Oknum Polisi Sebagai Pemasok

    Surabaya (beritajatim.com) – Para pelaku sindikat perdagangan pupuk subsidi tanpa ijin diadili di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Esti Dilla Rahmawatai mengungkap peran masing-masing Terdakwa dalam mengedarkan pupuk subsidi tersebut.

    Zaini dan Reza Vickidianto Hidayat didakwa melakukan praktik perdagangan ilegal pupuk bersubsidi yang mestinya diperuntukkan bagi petani.

    Jaksa memaparkan, perkara ini bermula dari penangkapan Zaini di Jalan Raya Kenjeran, Surabaya, pada 13 Juli 2025. Saat itu, Zaini sedang mengemudikan truk Fuso bermuatan 180 karung pupuk subsidi jenis Urea dan NPK Phonska tanpa dokumen resmi. Polisi dari Satreskrim Polrestabes Surabaya yang tengah berpatroli menghentikan laju truk dan mendapati barang tersebut diduga berasal dari jalur distribusi ilegal.

    “Pupuk bersubsidi itu seharusnya disalurkan melalui kelompok tani atau pembudi daya ikan sesuai penugasan pemerintah, namun terdakwa memperoleh dan memperjualbelikannya secara bebas untuk mencari keuntungan,” ujar jaksa di hadapan majelis hakim.

    Dalam dakwaannya, jaksa menyebut bahwa Zaini tidak bertindak sendirian. Ia berperan sebagai sopir pengangkut, sementara otak transaksi disebut dilakukan oleh Reza Vickidianto Hidayat, yang membeli pupuk subsidi dari seorang anggota kepolisian bernama Akhmad Fadholi yang berkas perkaranya disidangkan terpisah.

    Jaksa menguraikan, Reza membeli pupuk subsidi itu dari Fadholi dengan harga Rp140 ribu per karung, kemudian menjualnya kepada seorang pembeli di Bojonegoro, Suroso, dengan harga Rp175 ribu per karung. Transaksi dilakukan berulang kali dalam rentang 3–12 Juli 2025, masing-masing sebanyak 180 karung, dengan total nilai lebih dari Rp125 juta. “Perbuatan para terdakwa jelas melanggar ketentuan distribusi barang dalam pengawasan dan dilakukan di luar mekanisme resmi,” kata jaksa.

    Dalam sidang itu, jaksa mendakwa Zaini dan Reza dengan dua alternatif pasal, yakni Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, atau Pasal 110 jo Pasal 36 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Keduanya juga dijerat dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena diduga melakukan kejahatan bersama-sama. [uci/kun]

  • KPK Berpeluang Periksa Gus Yaqut Lagi Usai Pertemuan dengan Asosiasi Travel Penyelenggara Haji Terungkap

    KPK Berpeluang Periksa Gus Yaqut Lagi Usai Pertemuan dengan Asosiasi Travel Penyelenggara Haji Terungkap

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut eks Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut berpeluang dipanggil lagi terkait korupsi kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023-2024 pada Kementerian Agama.

    Hal ini disampaikan Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat disinggung pemeriksaan eks Bendahara Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), H.M Tauhid Hamdi yang kembali dicecar soal pertemuannya dengan Yaqut pada hari ini, 7 Oktober. Katanya, keterangan yang sudah dikumpulkan bakal jadi penentu dipanggil atau tidaknya mantan menteri era Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) tersebut.

    “Tentu dari pemeriksaan hari ini akan dianalisis nanti pihak-pihak mana saja yang dibutuhkan kembali untuk dipanggil dan dimintai keterangannya termasuk yang bersangkutan (Yaqut Cholil Qoumas, red),” kata Budi kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 7 September.

    Budi bilang permintaan keterangan yang berulang kerap dilakukan penyidik. Cara ini biasanya dilakukan untuk membuat terang perkara yang sedang ditangani.

    “Jika nanti memang dibutuhkan kembali keterangannya, maka nanti akan dipanggil oleh KPK untuk kembali dimintai keterangan melengkapi keterangan-keterangan yang sudah diperoleh dari saksi-saksi lainnya,” tegasnya.

    Adapun Yaqut sudah pernah diperiksa sebagai saksi oleh penyidik komisi antirasuah pada 2 September lalu. Dia dimintai keterangan selama hampir tujuh jam sejak pukul 09.22 WIB hingga 16.20 WIB di kantor KPK.

    Ketika itu, Yaqut tak secara spesifik menjelaskan pemeriksaan penyidik. Dia hanya mengaku disodori belasan pertanyaan dan sudah dijawab.

    Sementara itu, H. M. Tauhid menjelaskan penyidik masih mendalami pertemuannya dengan eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Tapi, ia mengklaim tak pernah membahas soal pembagian kuota haji tambahan yang ternyata menyalahi perundangan.

    “Masih sekitar pendalaman pertemuan dengan Gus Yaqut sebelum KMA (Keputusan Menteri Agama) turun, sebelum dan pertemuan silaturahmi setelah tidak lagi menjadi menteri agama,” kata Tauhid kepada wartawan usai menjalani pemeriksaan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 7 Agustus.

    Tauhid juga membantah mengintervensi pembagian kuota haji tambahan. Dia menegaskan segala keputusan diambil Kementerian Agama dalam hal ini, Yaqut sebagai menteri.

    “50 persen wewenangnya Gus Yaqut ya, Kemenag. Kami tidak ada intervensi untuk menentukan kuota 50-50. Kami cuman apa, ketemu biasa aja,” tegasnya.

    Diberitakan sebelumnya, KPK sedang mengusut dugaan korupsi terkait kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023-2024 pada Kementerian Agama (Kemenag). Belum ada tersangka yang ditetapkan karena menggunakan surat perintah penyidikan (sprindik) umum.

    Adapun sprindik umum tersebut menggunakan Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Artinya, ada kerugian negara yang terjadi akibat praktik korupsi ini.

    Kerugian negara dalam kasus korupsi kuota dan penyelenggaraan haji periode 2023-2024 ini disebut mencapai Rp1 triliun lebih. Jumlah tersebut masih bertambah karena baru hitungan awal KPK yang terus berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

    Kasus ini bermula dari pemberian 20.000 kuota haji tambahan dari pemerintah Arab Saudi bagi Indonesia untuk mengurangi antrean jamaah. Hanya saja, pembagiannya ternyata bermasalah karena dibagi sama rata, yakni 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama yang ditandatangani Yaqut Cholil Qoumas.

    Padahal, berdasarkan perundangan, pembagian seharusnya 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.

    Belakangan, pembagian bermasalah itu disinyalir karena adanya uang dari pihak travel haji dan umrah maupun asosiasi yang menaungi ke Kementerian Agama. Setelah dapat jatah, mereka menjual kuota tambahan tersebut kepada calon jamaah haji.

    Dalam proses penyidikan, sejumlah pihak sudah dimintai keterangan termasuk Yaqut Cholil Qoumas. Rumahnya juga sudah digeledah penyidik dan ditemukan dokumen maupun barang bukti elektronik yang diduga terkait.

  • Oknum Polisi di Surabaya Didakwa Jual Pupuk Subsidi di Atas HET

    Oknum Polisi di Surabaya Didakwa Jual Pupuk Subsidi di Atas HET

    Surabaya (beritajatim.com) – Oknum anggota kepolisian bernama Akhmad Fadholi menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (8/10/2025). Ia didakwa terlibat dalam praktik jual beli pupuk bersubsidi tanpa izin resmi dan menjualnya di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).

    Dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Estik Dilla Rahmawati dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak menyatakan bahwa terdakwa Fadholi terlibat dalam jaringan penyaluran dan perdagangan pupuk subsidi ilegal bersama dua orang lain, Zaini dan Reza Vickidianto Hidayat, yang masing-masing menjalani proses hukum terpisah.

    “Terdakwa membeli dan menjual pupuk subsidi tanpa memiliki penugasan dari pemerintah, serta memperjualbelikannya untuk keuntungan pribadi,” ujar Estik saat membacakan surat dakwaan di ruang sidang Candra.

    Kasus ini bermula dari patroli aparat Polrestabes Surabaya pada 13 Juli 2025. Saat itu, petugas menghentikan truk Mitsubishi Fuso Canter merah bernomor polisi AE-8618-UJ di Jalan Raya Kenjeran, Surabaya. Truk yang dikemudikan oleh Zaini itu kedapatan mengangkut ratusan karung pupuk subsidi jenis NPK Phonska dan Urea tanpa dokumen resmi.

    Zaini mengaku pupuk tersebut dikirim dari Bangkalan (Madura) menuju Bojonegoro, namun tidak dilengkapi surat jalan maupun izin pendistribusian yang sah. Dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa pupuk tersebut berasal dari Reza Vickidianto, yang sebelumnya membeli pupuk itu dari Fadholi.

    Yang mengejutkan, Fadholi ternyata anggota kepolisian aktif yang tidak memiliki kewenangan dalam pengadaan maupun distribusi pupuk subsidi. Ia diduga membeli pupuk dari seorang petani berinisial MAD di Desa Pesanggrahan, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, dengan harga di atas HET untuk memancing petani menjual kelebihannya. Pupuk tersebut kemudian dijual kembali kepada Reza dengan harga yang lebih tinggi.

    Dalam rentang waktu 3 hingga 12 Juli 2025, Fadholi disebut telah melakukan lima kali transaksi penjualan pupuk bersubsidi dengan total nilai mencapai Rp126 juta, seluruhnya ditransfer ke rekening pribadi atas nama Fadholi di Bank BCA.

    Atas perbuatannya, jaksa mendakwa Fadholi melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf b jo Pasal 1 sub 1e UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, jo Pasal 2 ayat (2) Perpres Nomor 15 Tahun 2011, serta jo Perpres Nomor 6 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi, dan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. [uci/beq]

  • Gara-gara Utang, Seorang Pria di Batam Tewas Dianiaya di 3 Lokasi Berbeda
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        7 Oktober 2025

    Gara-gara Utang, Seorang Pria di Batam Tewas Dianiaya di 3 Lokasi Berbeda Regional 7 Oktober 2025

    Gara-gara Utang, Seorang Pria di Batam Tewas Dianiaya di 3 Lokasi Berbeda
    Tim Redaksi
    BATAM, KOMPAS.com
    – Polsek Lubuk Baja menangkap tiga pria berinisial SN (36), RJ (31), dan AG (26) terkait kasus penganiayaan yang berujung pada kematian korban berinisial RF (32).
    Kasus ini terungkap setelah korban ditemukan meninggal dunia oleh warga di Lapangan Kampung Nelayan, Tanjung Uma, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (1/10/2025).
    Kanit Reskrim Polsek Lubuk Baja, Iptu Noval Adimas menjelaskan, penganiayaan tersebut bermula dari masalah utang yang melibatkan pelaku SN.
    Ketiga pelaku ditangkap di Perumahan Geria Sagulung Permai, Kecamatan Sagulung.
    “Setelah penyelidikan dilakukan, kami berhasil mengamankan SN, RJ, dan AG. Sementara satu pelaku lain berinisial NS saat ini sudah berstatus DPO. Permasalahan sendiri karena korban memiliki utang Rp3 juta dengan tersangka SN,” ujarnya saat ditemui di Polsek Lubuk Baja, Selasa (7/10/2025).
    Penganiayaan terhadap korban terjadi di tiga lokasi berbeda setelah korban dijemput oleh pelaku SN pada Jumat (26/9/2025).
    Lokasi kejadian pertama adalah di rumah kos tersangka RJ, lokasi kedua di lapangan Kampung Pisang, dan lokasi ketiga di Lapangan Kampung Nelayan, tempat di mana korban ditemukan.
    Noval menambahkan, identitas para pelaku berhasil diungkap berkat rekaman CCTV dan pemeriksaan terhadap 11 orang saksi.
    Setelah menjemput korban dan membawanya ke lokasi pertama, pelaku SN memukul wajah korban dengan bantuan pelaku RJ.
    Setelah penganiayaan di lokasi pertama, SN dan RJ membawa korban menuju lokasi kedua.
    “Korban yang sebelumnya sempat menolak, kemudian diancam dengan sebilah parang oleh pelaku RJ. Tiba di lokasi kedua dan bertemu dengan pelaku AG, korban kembali dianiaya,” jelasnya.
    Tersangka AG diketahui berperan memukul pipi kiri dan kanan wajah korban, sedangkan tersangka NS melakukan pemukulan brutal menggunakan stik baseball hingga korban mengalami luka parah.
    Setelah penganiayaan, para pelaku meninggalkan korban, yang kemudian ditemukan oleh warga yang kebetulan melintas.
    Saat ditemukan, korban dalam keadaan lemas dan tidak dapat merespons pertolongan dari warga.
    Korban segera dilarikan ke RS Elisabeth Lubuk Baja sebelum dirujuk ke RS Bunda Halimah, namun dinyatakan meninggal dunia pada tanggal 1 Oktober lalu.
    “Atas perbuatannya, para pelaku dijerat Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan yang mengakibatkan kematian, dengan ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara,” pungkas Noval.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Begal di Lampung Menyamar Jadi ‘Pak Ogah’, Gigit Tangan Polisi Saat Ditangkap

    Begal di Lampung Menyamar Jadi ‘Pak Ogah’, Gigit Tangan Polisi Saat Ditangkap

    Liputan6.com, Jakarta Polisi menangkapan Mansur (23), begal di Kabupaten Lampung Tengah, setelah delapan bulan buron. Mansur melawan saat ditangkap. Dia menggigit tangan polisi.

    Kapolsek Padang Ratu, AKP Edi Suhendra mengatakan, pelaku sempat buron sejak Maret 2025. Ia akhirnya ditangkap di jalan lintas Kecamatan Padang Ratu-Gunung Sugih, setelah diketahui bersembunyi dengan berpura-pura menjadi ‘Pak Ogah’ di jalan rusak wilayah setempat.

    “Pelaku ini sudah buron selama delapan bulan dan terlibat lima kali aksi pencurian dengan kekerasan,” ujar Edi, Selasa (7/10/2025).

    Dalam aksi terakhirnya pada Maret 2025, Mansur membegal seorang pelajar SMP. Modus Mansur berpura-pura meminta tolong diantarkan ke Kampung Haduyang Ratu. Di tengah jalan, pelaku mencekik korban dan merampas sepeda motor.

    “Korban sempat melawan, dan pelaku menggigit tangannya hingga luka,” tutur Edi.

    Kini pelaku mendekam di sel tahanan dan dijerat dengan Pasal 365 dan/atau Pasal 368 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan, dengan ancaman hukuman hingga 12 tahun penjara.