Topik: KUHP

  • Bunuh Bibi Sendiri, Keponakan di Jombang Terancam Hukuman Seumur Hidup

    Bunuh Bibi Sendiri, Keponakan di Jombang Terancam Hukuman Seumur Hidup

    Jombang (beritajatim.com) – Suwarno (45), seorang pria asal Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang, terancam hukuman penjara seumur hidup karena membunuh bibinya, Mutmainah (74), warga Dusun Medeleg, Desa Tampingmojo, Kecamatan Tembelang.

    Peristiwa ini terjadi setelah Suwarno melakukan tindakan brutal terhadap korban yang tidak lain adalah anggota keluarganya sendiri. Polisi telah menetapkan Suwarno sebagai tersangka dengan dakwaan Pasal 339 KUHP tentang tindak pidana pembunuhan.

    Kasatreskrim Polres Jombang AKP Margono Suhendra mengungkapkan, “Suwarno sudah kita tetapkan sebagai tersangka. Dia dijerat pasal 339 KUHP dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun,” dalam keterangan resminya yang disampaikan pada Rabu (5/11/2025).

    Kronologi peristiwa ini bermula pada Minggu malam (2/11/2025) setelah korban selesai melaksanakan salat isyak. Suwarno, yang kini ditahan pihak kepolisian, diduga membekap bibinya dengan sebuah bantal hingga korban lemas.

    Tidak berhenti di situ, ia menyeret tubuh korban dari tempat tidur hingga terjatuh di lantai. Benturan kepala yang dialami korban menyebabkan pendarahan.

    Setelah melaksanakan aksi kejinya, Suwarno berupaya menghilangkan jejak dengan membuang jasad korban di tepi hutan Desa Lawak, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan. Tidak puas dengan itu, Suwarno kemudian membakar tubuh korban untuk menghilangkan bukti.

    Untuk menutupi jejak lainnya, ia juga memendam perhiasan dan uang milik korban di tengah sawah kawasan Tembelang. Mobil korban yang hilang akhirnya ditemukan di Kecamatan Jogoroto.

    Peristiwa pembunuhan ini terungkap setelah anak korban melaporkan hilangnya ibunya pada Senin pagi (3/11/2025). Saat keluarga tiba di rumah korban, mereka menemukan sejumlah tanda mencurigakan, seperti mobil korban yang hilang dan sarung bantal yang terdapat bercak darah.

    Laporan tersebut kemudian diterima Polsek Tembelang yang langsung melakukan penyelidikan. Pencarian polisi membawa mereka hingga ke wilayah Kabupaten Lamongan, tempat jasad korban ditemukan dalam kondisi terbakar.

    Polisi melakukan autopsi terhadap jenazah yang telah terbakar, dan hasilnya menunjukkan adanya pendarahan di kepala korban yang diduga terjadi sebelum kematian. Selain itu, sejumlah barang milik korban, termasuk mobil, uang, dan perhiasan yang dicuri oleh tersangka, telah ditemukan.

    Dalam rilis kasus tersebut, Suwarno yang tampak mengenakan kaus tahanan oranye lebih banyak menunduk dan berusaha menghindari sorotan kamera wartawan. Ia menundukkan wajahnya saat digiring menuju ruang tahanan. [suf]

  • “PDIP-Jokowi rekonsiliasi” dampak penolakan Soeharto jadi Pahlawan Nasional?

    “PDIP-Jokowi rekonsiliasi” dampak penolakan Soeharto jadi Pahlawan Nasional?

    Oleh: Damai Hari Lubis

    Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik) 

    Terhadap wacana lama yang kembali tercetus terkait usulan pihak pihak, agar “mantan presiden 32 tahun almarhum Jendral bintang 5, Jendral Besar Soeharto dianugerahi Pahlawan Nasional”.

    Maka menurut penulis, kriteria dan levelitas usulan terhadap almarhum Soeharto tokoh ‘Bapak Pembangunan Indonesia’  merupakan kategori yang wajar, walau ada beberapa sisi benturan tatanan hukum ketatanegaraan yang urgensitas perlu dicermati dan dikaji secara signifikan dan ‘komprehensif.’

    Lalu, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf (Gus Ipul), berstetmen estimasi terkait wacana a quo “bakal diputuskan sebelum 10 November atau Hari Pahlawan”.

    Dan wacana ini mendapat tanggapan relatif cepat namun hati- hati dari Puan selaku Ketua DPR RI dan juga sebagai salah seorang Ketua PDIP ketimbang keengganan dirinya merespon nasib Hasto Kristiyanto, saat Sekjen PDIP dikejar kejar oleh KPK yang dari kacamata hukum, menyimpang dari rules.

    Kata Puan, ” kemarin Selasa (4/11/2025), “harus dicermati rekam jejaknya dari masa lalu sampai sekarang, di sisi lain, pemerintah juga harus melihat apakah pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto saat ini merupakan waktu yang tepat. Semua aspek terkait usulan itu harus dikaji dengan cermat”.

    http://www.cnnindonesia.com/nasional/20251104134906-32-1291723/puan

    Lalu wacana dengan dimensi ‘wajar’ ini, dibanding “ide gila Jokowi 3 periode” yang inkonstitusional, dibarengi suara penolakan keras dan lumayan bising, seorang diantaranya digaungkan oleh politisi PDIP dr. Rubka Cipta Ning, pengarang buku “Aku Bangga jadi Anak PKI.” 

    Polemik wacana ini, perlu dicermati, karena suara dukungan dan penolakan Mantan Presiden RI 32 tahun dianugerahi pahlawan, bakal menjadi titik kearah rekonsiliasi antara Megawati (PDIP) dengan Jokowi ?

    Karena “Jas Merah”,  ada peristiwa politik yang berhubungan erat dengan napak tilas tokoh besar bangsa ini almarhum Jendral Soeharto dimasa transisi kekuasaan dari orla ke orba, lalu Jokowi menerbitkan diskresi politik Jokowi dalam bentuk Keppres 17/2022 dan Inpres 2/2023 terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia, sehingga kebijakan ini telah mengundang polemik terhadap para tokoh publik bangsa, bahkan ada beberapa tokoh aktivis diantaranya Mayjend Kivlan Zen mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung, argumentatif dalil hukumnya disebabkan secara teori hirarkis hukum diskresi Jokowi dimaksud dianggap overlaping dengan ketentuan yang lebih tinggi yakni 

    TAP MPRS RI No 25 Tahun 1966.

    Dan termasuk penulis menanggapi diskresi Jokowi dimaksud melalui artikel hukum dan beberapa kali acara podcast, tepatnya di masa mantan presiden RI ke 7 itu masih dalam kendali Megawati dan dianakemaskan sanbil dipuja puji oleh PDIP.

    Maka bisa jadi Jokowi yang diusung oleh PDIP menjadi presiden selama 2 periode, dikarenakan keduanya PDIP dan Jokowi “bermazhab” yang sama. Hanya saja sejarah membuktikan kedua sekutu ‘pengusung dan diusung’ pecah kongsi gegara ada wacana Jokowi Presiden 3 periode, selain historis politik yang nampak (sebelumnya) saat itu ada indikasi kuat “Puan diminati oleh kader partai menjadi Capres di pemilu 2024-2029”.

    _Dan Projo yang baru saja mendapat nafas segar dari konsolidasi melalui kongres ketiganya (1-2 November 2025), ditengarai bakal menambah konflik bagi pihak pihak pro-kontra wacana Almarhum Jendral Besar Soeharto menjadi Pahlawan Nasional, lalu akan kah bakal menjadi “tambang emas atau setidaknya ladang gandum” bagi para aktivis projo, namun kesemua fenomena status quo dari dinamika gejolak geo politik tanah air, tendensi berdampak ‘penderitaan perekonomian rakyat” bakal lama dan semakin labirin. (*)

  • 9
                    
                        Panitera PN Jakut Menangis Baca Pledoi, Singgung 4 Anak Masih Kecil dan Minta Vonis Ringan
                        Nasional

    9 Panitera PN Jakut Menangis Baca Pledoi, Singgung 4 Anak Masih Kecil dan Minta Vonis Ringan Nasional

    Panitera PN Jakut Menangis Baca Pledoi, Singgung 4 Anak Masih Kecil dan Minta Vonis Ringan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Panitera Muda Nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan menangis saat membacakan nota pembelaan atau pledoi pribadinya.
    Wahyu memohon agar majelis hakim dapat memberikan vonis ringan karena ia punya empat anak yang masih kecil.
    Diketahui, Wahyu dituntut 12 tahun penjara karena dinilai berperan aktif dalam
    kasus suap hakim
    pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO).
    “Kiranya yang mulia dapat menjatuhkan putusan yang seringan-ringannya kepada saya agar saya dapat memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, menata kembali kehidupan, dan membesarkan anak-anak saya dengan baik,” ujar Wahyu dengan suara bergetar dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).
    Wahyu mengatakan, saat ini, ia merupakan ayah dari empat orang anak. Mereka berusia 12 tahun, 7 tahun, 2 tahun, dan 1 tahun.
    Anak Wahyu yang paling kecil masih belajar untuk mengenali wajah ayahnya. Pasalnya, ketika Wahyu ditahan Kejaksaan Agung pada April 2025 lalu, anak bungsu Wahyu ini baru berusia 4 bulan.
    Wahyu mengatakan, anak-anaknya masih kecil dan membutuhkan sosok ayah untuk mengawal proses tumbuh dan kembangnya.
    Ia mengaku, selama ini selalu berdoa agar anak-anaknya kelak bisa memahami kalau ayah mereka sedang berjuang untuk menebus dosanya.
    Sambil menangis, Wahyu memohon agar majelis hakim dapat memberikan vonis ringan agar ia bisa membesarkan anak-anaknya.
    “Kiranya yang mulia dapat menjatuhkan putusan yang seringan-ringannya kepada saya agar saya dapat memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, menata kembali kehidupan, dan membesarkan anak-anak saya dengan baik,” kata Wahyu sambil terisak.
    Dalam pledoinya, Wahyu menyinggung kalau dirinya hanya perantara, bukan pengambil keputusan untuk penanganan perkara korupsi CPO.
    “Yang mulia, di dalam perkara ini, saya hanyalah sebagai perantara, bukan pengambil keputusan dan bukan pihak yang menikmati keuntungan besar,” kata Wahyu.
    Ia mengaku tidak berani menolak pihak-pihak yang memberikan arahan kepada, termasuk Ariyanto selaku pengacara korporasi CPO.
    Namun, ia mengaku bersalah dan sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakannya.
    Wahyu mengaku khilaf telah melakukan tindak pidana yang mencederai citra penegakan hukum di Indonesia, terutama di lingkup pengadilan.
    “Saya sadar sepenuhnya bahwa perbuatan saya telah mencederai kehormatan lembaga peradilan, tempat saya mengabdi,” katanya.
    Wahyu mengaku menyesal telah menerima suap dan ia memohon maaf kepada Mahkamah Agung, warga pengadilan di seluruh Indonesia, masyarakat, serta keluarganya.
    Dalam kasus ini, Wahyu Gunawan dituntut 12 tahun penjara dengan dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan.
    Wahyu merupakan jembatan antara pihak korporasi dengan pihak pengadilan.
    Ia diketahui lebih dahulu mengenal Ariyanto yang merupakan pengacara korporasi CPO. Pada saat yang sama, Wahyu juga mengenal dan cukup dekat dengan Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.
    Karena peran aktifnya, Wahyu pun kecipratan uang suap senilai Rp 2,4 miliar.
    Tapi, jaksa menuntut agar uang suap itu dikembalikan dalam bentuk uang pengganti. Jika tidak, harta benda Wahyu akan disita untuk negara. Ia juga diancam pidana tambahan kurungan 6 tahun penjara.
    Adapun, Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
    Karena menerima uang suap, Arif juga dituntut untuk membayarkan uang pengganti sesuai jumlah suap yang diterimanya, senilai Rp 15,7 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Lalu, majelis hakim penerima suap yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom masing-masing dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
    Para hakim juga dituntut untuk membayar uang pengganti sesuai total uang suap yang diterimanya.
    Djuyamto selaku ketua majelis hakim dituntut membayar uang pengganti senilai Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Sementara, dua hakim anggotanya, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom, masing-masing dituntut untuk membayar uang pengganti Rp 6,2 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Dalam kasus ini, para terdakwa diduga telah menerima suap dengan total uang mencapai Rp 40 miliar.
    Kelima terdakwa diyakini telah melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Fakta Ibu Kubur Bayi, Melahirkan Sendiri di Rumah Bahkan Suami yang Alami Rabun Akut Tidak Tahu Kehamilan Sang Istri

    Fakta Ibu Kubur Bayi, Melahirkan Sendiri di Rumah Bahkan Suami yang Alami Rabun Akut Tidak Tahu Kehamilan Sang Istri

    Banyuwangi (beritajatim.com) – Kasus penguburan bayi oleh sang ibu asal Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi menemukan fakta baru.

    Sebelumnya sang pelaku sekaligus ibu berinisial S (33) ternyata sempat menyimpan bayinya di kolong kasur sebelum menguburnya, Senin (3/11/2025).

    Kapolresta Banyuwangi Kombes Pol Rama Samtama Putra menjelaskan, S melahirkan sang bayi pada Minggu (2/11/2025). Proses melahirkan sang bayi ternyata juga dilakukan sendiri di kamar tidurnya tanpa bantuan siapa pun.

    Setelah melahirkan, bayi tersebut dibungkus keset dan ditaruh di bawah kolong meja. Besoknya bayi baru dikuburkan di halaman belakang rumah setelah sudah meninggal.

    “Informasinya, setelah dilahirkan, bayi tersebut dalam keadaan lemas. Sehingga, ia tak menangis saat dibungkus dengan keset,” kata Kapolresta Rama.

    Fakta mengejutkan lainnya yakni, ternyata sang pelaku inisial S juga menyembunyikan kehamilannya selama ini. Bahkan parahnya, sang suami pun tidak mengetahui terkait kehamilan sang istri karena sang suami mengalami rabun berat.

    Pelaku berinisial S juga sempat meminta tolong sang suami untuk membuang ari-ari bayi yang baru dilahirkan. S berdalih kepada sang suami untuk membuang bungkusan kresek berisi sampah.

    “Tapi sebenarnya yang dibuang adalah ari-ari bayi. Suaminya tidak tahu karena rabunnya sudah sangat berat,” ucap Rama.

    Rama menjelaskan, polisi telah memeriksa lima saksi atas kasus tersebut. Termasuk dua orang saksi. S juga telah ditetapkan sebagai tersangka dan sudah ditahan sejak kemarin,” jelasnya.

    Saat ini, jenazah bayi tersebut tengah menjalani autopsi di RSUD Blambangan. Autopsi dilakukan oleh dokter forensik dari RS Bhayangkara Bondowoso.

    “Untuk hari ini, kami masih menunggu hasil autopsi dari tim kedokteran forensik yang sedang bekerja. Hasil tersebut akan kami sinkronkan dengan seluruh alat bukti yang ada, sebelum perkara ini dilimpahkan ke penuntut umum,” ucapnya.

    Terkait perbuatan pelaku, polisi menjerat tersangka dengan pasal berlapis, yaitu pasal 305, 306, dan 307 KUHP dengan terancam hukuman penjara maksimal 9 tahun penjara.

    Polisi juga telah mengungkap motif pelaku mengubur bayinya. Kepada polisi, perempuan 33 tahun itu mengaku malu atas kehamilannya. Ia merasa sudah memiliki banyak anak.

    “Terduga pelaku mengubur bayi perempuannya karena malu dan tidak menginginkan kehamilannya diketahui oleh warga,” kata Kapolsek Wongsorejo AKP Eko Darmawan.

    Tersangka sudah memiliki empat anak. Anak-anak itu merupakan hasil tiga kali pernikahan dengan suami yang berbeda-beda.

    “Terduga pelaku merasa selalu dijadikan bahan pembicaraan warga akibat selalu mempunyai anak di setiap pernikahannya. Itu yang membuatnya tega menguburkan bayi yang baru dilahirkannya,” kata Eko.

    Kasus ini terungkap setelah, bibi tersangka curiga setelah menemukan beberapa kejanggalan.

    “Saksi pertama kali curiga setelah bersimpangan dengan seseorang yang hendak berangkat ke sawah. Orang tersebut bilang ke Nini bahwa ia baru saja bertemu dengan suami tersangka yang membuang kresek berlumur darah ke sungai,” kata Eko, Selasa (4/11/2025).

    Kabar yang ia terima secara tak sengaja itu membuat Nini merasa janggal. Apalagi ia ingat bahwa sang keponakan tengah hamil tua. Ia pun memutuskan datang ke rumah Solehak untuk menanyakan apa yang terjadi.

    Saat melintas di halaman belakang rumah tersangka, Nini melihat sebuah keset yang setengahnya terkubur dalam tanah. Ia curiga dan mengangkatnya dengan tangan.

    “Saat diangkat, didapati ada kepala bayi yang sebagian bagian tubuhnya terpendam dalam tanah,” kata Kapolsek.
    Hal itu sontak membuat Nini terkaget-kaget. Ia berteriak histeris yang membuat warga sekitar berdatangan.

    “Kemudian warga menghubungi pihak Polsek Wongsorejo dan pihak Puskesmas Wongsorejo untuk menindaklanjuti peristiwa tersebut,” tandas Eko. [tar/ian]

  • Nekat Blokir Jalan Pantura, Dua Pentolan Aliansi Masyarakat Pati Bersatu Jadi Tersangka

    Nekat Blokir Jalan Pantura, Dua Pentolan Aliansi Masyarakat Pati Bersatu Jadi Tersangka

    Liputan6.com, Jakarta Dua pentolan Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB), Teguh Istiyanto (49) dan Supriyono alias Botok (47) jadi tersangka pemblokiran jalan Pantura Pati-Juwana, saat demo yang mewarnai sidang paripurna Hak Angket DPRD Pati.

    Aksi keduanya dipicu lantaran kecewa hasil sidang paripurna tidak sesuai dengan tuntutan mereka. Keduanya kemudian menghasut massa untuk melakukan konvoi dan kemudian memblokir jalur Pantura.

    Aksi pemblokiran jalan Pantura menyebabkan kemacetan selama 15 menit. Parahnya lagi, mengganggu aktivitas masyarakat, hingga akhirnya dibubarkan oleh petugas.

    “Ketika hasil sidang tidak sesuai dengan tuntutan mereka, kedua pelaku menghasut massa untuk melakukan konvoi dan kemudian memblokir jalur Pantura Pati–Juwana sekitar pukul 18.30 WIB,” kata Kapolresta Pati Kombes Pol Jaka Wahyudi, Rabu (5/11/2025).

    Polisi mengamankan barang bukti berupa dua unit mobil milik pelaku. Antara lain mobil Ford Ranger K 9365 FS dan Chevrolet D 8363 AM, serta sejumlah pakaian dan telepon genggam yang digunakan saat aksi.

    Keduanya dijerat pasal 192 ayat (1) KUHP, pasal 160 KUHP dan pasal 169 ayat (1) dan (2) KUHP. Ancaman ketiga pasal berlapis ini dengan ancaman maksimal 6 hingga 15 tahun penjara.

    Direskrimsus Polda Jateng Kombes Pol Dwi Subagio menjelaskan, pasal 160 KUHP diterapkan karena keduanya terbukti menghasut masyarakat untuk melakukan pemblokiran jalan.

    “Pasal 169 KUHP diterapkan, karena keduanya merupakan koordinator organisasi yang melakukan pelanggaran hukum. Dan Pasal 192 KUHP diterapkan, karena perbuatan mereka menghalangi jalan umum yang membahayakan keselamatan lalu lintas,” terang Dwi.

    Selanjutnya Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto menambahkan, aksi yang mengganggu kepentingan umum tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun.

    Aryanto menegaskan, Polri akan selalu menghormati hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat. Namun tindakan yang mengganggu ketertiban dan keselamatan orang lain akan ditindak tegas sesuai hukum.

    “Sampaikan aspirasi dengan cara-cara yang bermartabat dan tidak melanggar hukum,” tukas Artanto.

  • Kader PKB Gubernur Riau kena OTT KPK, Cak Imin: Jadi pembelajaran

    Kader PKB Gubernur Riau kena OTT KPK, Cak Imin: Jadi pembelajaran

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengatakan penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid yang juga kader partai tersebut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan sebuah pembelajaran agar tidak terulang kembali.

    “Ya semua harus belajar dari pengalaman agar tidak terulang lagi,” kata Cak Imin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu.

    Dia menyampaikan bahwa hingga saat ini belum ada permintaan bantuan hukum dari yang bersangkutan kepada partai yang dipimpinnya

    Terkait status Abdul Wahid di PKB, Cak imin menyebut akan ada proses internal yang dijalankan sesuai mekanisme organisasi.

    “Pasti akan ada proses internal ya,” kata dia.

    Cak Imin tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai kemungkinan pemberhentian Abdul Wahid dari keanggotaan partai itu.

    Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.

    Selain Wahid, KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka, yakni MAS selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPRPKPP) Riau, serta DAN selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau.

    Ketiga tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

    Pewarta: Fathur Rochman
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • PKB hormati KPK soal Gubernur Riau, minta dibuka seterang-terangnya

    PKB hormati KPK soal Gubernur Riau, minta dibuka seterang-terangnya

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurizal menghormati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal Gubernur Riau Abdul Wahid yang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kasus korupsi, dan meminta agar kasus itu dibuka seterang-terangnya.

    Menurut dia, PKB menyatakan prihatin atas peristiwa hukum yang menjerat kadernya itu. Dia pun meminta KPK agar mengusut tuntas guna membongkar tokoh-tokoh dibalik semua yang sudah diungkap.

    “Jangan sampai karena kader kami misalkan sekarang tidak punya kekuatan apa-apa, sehingga bisa terjadi seperti ini. Itu siapa di balik itu,” kata Cucun saat diwawancarai di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu.

    Untuk itu, dia pun mengingatkan kepada seluruh kader PKB, baik eksekutif maupun legislatif, agar menjadikan kasus Gubernur Riau sebagai pelajaran. Jangan sampai, kata dia, kader PKB ada lagi yang terjerat kasus serupa.

    “Jangan sampai ada tindakan-tindakan, hal-hal yang bisa mengarah kepada seperti kejadian dialami sahabat kita juga ini,” kata Wakil Ketua DPR RI itu.

    Sejauh ini, menurut dia, PKB belum membicarakan atau memutuskan apapun terkait penetapan tersangka Abdul Wahid. Dia mengatakan pimpinan dan ketua umum partai pun akan berdiskusi lebih lanjut, termasuk kemungkinan mengirimkan bantuan hukum kepada Wahid.

    “Saya belum tahu. Dia sudah menunjuk kuasa hukum atau belum. Makanya nanti kita akan sikapi setelah ini. Kan baru tadi juga rilis ya, ketika saya di rapat sini (DPR),” katanya.

    Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.

    Selain Wahid, KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka, yakni MAS selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPRPKPP) Riau, serta DAN selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau.

    Ketiga tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ini Modus Gubernur Riau Minta Jatah Preman Hingga Rp7 Miliar

    Ini Modus Gubernur Riau Minta Jatah Preman Hingga Rp7 Miliar

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa Gubernur Riau Abdul Wahid mengancam mencopot jabatan pejabat di PUPR PKPP Riau jika tak memberikan fee sebesar Rp7 miliar.

    Pembagian komitmen fee itu atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Mulanya alokasi penambahan anggaran dari Rp71,6 miliar menjadi 177,4 miliar, kenaikan terjadi Rp106 miliar. 

    Fee mulanya diberikan 2,5% untuk penambahan anggaran tersebut setelah Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau, Ferry Yunanda bertemu dengan 6 Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP untuk membahas fee bagi Abdul Wahid.

    Ferry melaporkan hasil pertemuan ke Kepala Dinas PUPR PKPP Riau, M. Arief Setiawan yang merupakan representasi Abdul Wahid untuk meminta kenaikan fee sebesar 5% atau 7 miliar.

    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah jatah preman,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, Rabu (5/11/2025).

    Uang diberikan secara berangsur, pada Juni 2025, Ferry mengumpulkan uang dari kepala UPT dengan total Rp1,6 miliar. Dari uang tersebut, atas perintah Arief

    sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry menyalurkan uang Rp1 miliar melalui Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau untuk diserahkan kepada Abdul Wahid.

    Ferry juga memberikan Rp600 juta kepada kerabat Arief. Pada Agustus 2025, Dani menginstruksikan, melalui Arief, agar Ferry untuk mengumpulkan uang dengan total Rp1,2 miliar.

    Atas perintah Arief, uang tersebut didistribusikan untuk driver pribadinya sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp300 juta.

    Pada November 2025, pengepulan yang dilakukan oleh Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp1,25 miliar, yang diantaranya dialirkan untuk Abdul Wahid melalui Arief senilai Rp450 juta serta diduga mengalir Rp800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid. Sehingga, total penyerahan pada Juni – November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar.

    “KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, saudara AW selaku Gubernur Riau; saudara MAS (M. Arief Setiawan) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; dan saudraa DAN (Dani M. Nursalam) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau,” ujar Johanis.

    Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah

    dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Selanjutnya, terhadap tiga tersangka tersebut, dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak hari Selasa, 4 November 2025 hingga 23 November 2025. 

    Abdul Wahid ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK. Sedangkan Ferry dan Arief ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK.

  • Dituntut 3 Tahun Penjara dalam Kasus Korupsi Jalan Sumut, Akhirun Piliang: Berat
                
                    
                        
                            Medan
                        
                        5 November 2025

    Dituntut 3 Tahun Penjara dalam Kasus Korupsi Jalan Sumut, Akhirun Piliang: Berat Medan 5 November 2025

    Dituntut 3 Tahun Penjara dalam Kasus Korupsi Jalan Sumut, Akhirun Piliang: Berat
    Tim Redaksi
    MEDAN, KOMPAS.com
    – Muhammad Akhirun Piliang, terdakwa kasus korupsi jalan di Sumatera Utara, dituntut selama 3 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (5/11/2025).
    Selama pembacaan, Akhirun alias Kirun tampak tunduk saat duduk di kursi terdakwa dan suasana ruang sidang utama semakin hening ketika Jaksa Eko Wahyu Prayitno menegaskan tuntutan terhadap Direktur Utama PT Dalihan Natolu Grup (DNG) tersebut.
    Setelah selesai, Eko menyerahkan pembahasan lanjutan kepada Ketua Majelis Hakim, Khamozaro Waruwu. Khamozaro yang ditemani dua hakim anggota, Muhammad Yusafrihardi dan Fiktor Panjaitan, melanjutkan sidang.
    Dia langsung bertanya kepada Akhirun, mengenai tuntutan yang disampaikan oleh jaksa.
    “Kirun, apakah hukuman tersebut berat?” kata Khamozaro 
    “Berat,” ucap Kirun dengan nada pelan, yang duduk bersebelahan dengan anaknya, Reyhan Dulsani, Direktur Utama PT Rona Mora.
    Khamozaro kemudian berpesan kepada Kirun supaya ke depannya sudah harus bertanggung jawab menyikapi segala sesuatunya.
    Penasihat hukum Kirun, Rahmat Gunawan, berpendapat bahwa tuntutan yang diberikan jaksa kepada kliennya cukup berat.
    “Posisi klien kami kan bukan orang yang menginginkan memberikan suap itu. Kalau tidak diberikan kami tidak dapat proyek. Nanti kami sampaikan di pleidoi saja,” ucap Rahmat, singkat.
    Rahmat mengatakan, kliennya akan menyampaikan nota pembelaan (pleidoi) pada sidang selanjutnya, Rabu (12/11/2025).
    Sebelumnya, JPU KPK menuntut
    Akhirun Piliang
    selama 3 tahun penjara dan Reyhan selama 2,6 tahun penjara dalam kasus
    korupsi jalan
    di
    Sumatera Utara
    .
    “Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa pertama, Akhirun Piliang dengan pidana penjara 3 tahun, dan terdakwa dua, Reyhan Dulsani, 2 tahun 6 bulan,” kata JPU KPK, Eko Wahyu Prayitno.
    Menurut Jaksa, perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur dakwaan, yaitu alternatif pertama Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
    Kemudian dakwaan kedua, Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
    Atas pertimbangan di atas, penuntut umum menyatakan Akhirun Piliang dan Reyhan Dulsani telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan alternatif.
    Selain pidana penjara, Eko juga menjatuhkan hukuman denda terhadap Akhirun sebesar Rp 150 juta subsider kurungan 6 bulan, dan Reyhan Dulsani Rp 100 juta subsider kurungan 6 bulan
    Dalam kasus ini, para terdakwa memberikan sejumlah uang kepada pejabat PUPR
    Sumut
    sebesar Rp 100 juta pada tahun 2025 dan Satuan Kerja Pelaksana Jalan Nasional (PJN) 1 Wilayah Sumut sebesar Rp 3,9 miliar.
    Kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 28 Juni 2025 terkait dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara senilai total Rp 231,8 miliar.
    KPK menetapkan lima tersangka, yakni Topan Obaja Putra Ginting, eks Kepala UPTD Dinas PUPR Gunung Tua, Rasuli Efendi Siregar dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satker PJN Wilayah I Sumatera Utara, Heliyanto.
    Lalu kontraktor dari pihak swasta yaitu Direktur Utama PT Dalihan Natolu Grup (DNG), Akhirun Piliang dan Direktur Utama PT Rona Mora, Reyhan Dulsani.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gubernur Riau Abdul Wahid Ancam Copot Jabatan jika Tak Diberi ‘Jatah Preman’ Rp7 Miliar

    Gubernur Riau Abdul Wahid Ancam Copot Jabatan jika Tak Diberi ‘Jatah Preman’ Rp7 Miliar

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa Gubernur Riau Abdul Wahid mengancam mencopot jabatan pejabat di PUPR PKPP Riau jika tak memberikan fee sebesar Rp7 miliar.

    Pembagian komitmen fee itu atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Mulanya alokasi penambahan anggaran dari Rp71,6 miliar menjadi 177,4 miliar, kenaikan terjadi Rp106 miliar. 

    Fee mulanya diberikan 2,5% untuk penambahan anggaran tersebut setelah Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau, Ferry Yunanda bertemu dengan 6 Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP untuk membahas fee bagi Abdul Wahid.

    Ferry melaporkan hasil pertemuan ke Kepala Dinas PUPR PKPP Riau, M. Arief Setiawan yang merupakan representasi Abdul Wahid untuk meminta kenaikan fee sebesar 5% atau 7 miliar.

    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah jatah preman,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, Rabu (5/11/2025).

    Uang diberikan secara berangsur, pada Juni 2025, Ferry mengumpulkan uang dari kepala UPT dengan total Rp1,6 miliar. Dari uang tersebut, atas perintah Arief sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry menyalurkan uang Rp1 miliar melalui Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau untuk diserahkan kepada Abdul Wahid.

    Ferry juga memberikan Rp600 juta kepada kerabat Arief. Pada Agustus 2025, Dani menginstruksikan, melalui Arief, agar Ferry untuk mengumpulkan uang dengan total Rp1,2 miliar.

    Atas perintah Arief, uang tersebut didistribusikan untuk driver pribadinya sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp300 juta.

    Pada November 2025, pengepulan yang dilakukan oleh Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp1,25 miliar, yang diantaranya dialirkan untuk Abdul Wahid melalui Arief senilai Rp450 juta serta diduga mengalir Rp800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid. Sehingga, total penyerahan pada Juni – November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar.

    “KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, saudara AW selaku Gubernur Riau; saudara MAS (M. Arief Setiawan) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; dan saudraa DAN (Dani M. Nursalam) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau,” ujar Johanis.

    Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Selanjutnya, terhadap tiga tersangka tersebut, dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak hari Selasa, 4 November 2025 hingga 23 November 2025. 

    Abdul Wahid ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK. Sedangkan Ferry dan Arief ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK.