Topik: KUHP

  • 2
                    
                        Jaksa Sebut Eks Mendikbud Muhadjir Effendy Sempat Tolak Chromebook, tetapi Malah Diterima Nadiem
                        Nasional

    2 Jaksa Sebut Eks Mendikbud Muhadjir Effendy Sempat Tolak Chromebook, tetapi Malah Diterima Nadiem Nasional

    Jaksa Sebut Eks Mendikbud Muhadjir Effendy Sempat Tolak Chromebook, tetapi Malah Diterima Nadiem
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut produk Chromebook dari Google pernah ditolak oleh Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) sebelum Nadiem Makarim.
    Hal ini diketahui saat JPU membacakan dakwaan Sri Wahyuningsih selaku Direktur Sekolah Dasar pada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah pada tahun 2020-2021 sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di Lingkungan Direktorat Sekolah Dasar Tahun Anggaran 2020-2021.
    Sekitar akhir tahun 2018, PT Google Indonesia pernah mengirim surat kepada Muhadjir agar bisa beraudiensi dan mempresentasikan produk mereka.
    “Selanjutnya, PT Google Indonesia mengirimkan surat yang ditujukan kepada Mendikbud RI
    Muhadjir Effendy
    untuk mengajukan audiensi dan presentasi Solution Google for Education di Kemendikbud RI,” ujar salah satu jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (16/12/2025).
    Surat ini ditindaklanjuti dan Google berkesempatan untuk memperkenalkan produk mereka.
    Saat itu, Kemendikbud memang sedang memiliki program digitalisasi pendidikan pengadaan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) Tahun 2018 untuk daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
    Produk
    Chromebook
    dari Google pun masuk dalam tahap uji coba, tetapi pada saat itu dinyatakan tidak lulus uji dari kementerian.
    Salah satu kendala terbesar adalah untuk mengoperasikan Chromebook butuh sambungan internet yang memadai.
    Karena program menyasar daerah 3T, produk ini kesulitan menjalankan perannya mengingat keterbatasan internet di wilayah target pengadaan.
    “Bahwa pengadaan laptop berbasis sistem operasi Chrome terdapat kelemahan-kelemahan di sekolah-sekolah penerima bantuan dan akan tidak tercapainya tujuan arah pembangunan jangka menengah di bidang pendidikan,” lanjut jaksa.
    Atas alasan ini, Muhadjir Effendy tidak menyertakan Chromebook dalam perencanaan pengadaan.
    “Maka pada tanggal 22 Januari 2019 Mendikbud RI Muhadjir Effendy menerbitkan Permendikbud Nomor 3 tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler yang di mana pembelian komputer desktop dan laptop sebagai alat multimedia pembelajaran sistem operasinya tidak menyebutkan Chrome OS,” kata jaksa lagi.
    Adapun, Muhadjir digantikan
    Nadiem Makarim
    pada Oktober 2019.
    Pengadaan Chromebook dijalankan oleh Nadiem setelah ia menjadi menteri.
    Dalam kasus ini, empat terdakwa disebut telah menyebabkan kerugian keuangan negara senilai Rp 2,1 triliun.
    Hari ini, JPU lebih dahulu membacakan dakwaan untuk tiga terdakwa, yaitu Eks Konsultan Teknologi di lingkungan Kemendikbudristek, Ibrahim Arief.
    Lalu, Direktur SMP pada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Tahun 2020-2021 sekaligus KPA di Lingkungan Direktorat Sekolah Menengah Pertama Tahun Anggaran 2020-2021, Mulyatsyah.
    Dan, Direktur Sekolah Dasar pada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah pada tahun 2020-2021 sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di Lingkungan Direktorat Sekolah Dasar Tahun Anggaran 2020-2021, Sri Wahyuningsih.
    Sementara, Eks Mendikbudristek Nadiem Makarim baru akan menjalani sidang perdana pada minggu depan.
    Saat ini, Nadiem diketahui tengah menjalani proses penyembuhan dan dirawat di rumah sakit (RS).
    Adapun, berkas perkara untuk tersangka Jurist Tan (JT) selaku Staf Khusus Mendikbudristek tahun 2020–2024 belum dapat dilimpahkan karena ia masih buron.
    Para terdakwa diancam dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
    Korupsi
    jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kapolri-Jaksa Agung Teken MoU Terkait KUHP dan KUHAP Baru

    Kapolri-Jaksa Agung Teken MoU Terkait KUHP dan KUHAP Baru

    Bisnis.com, JAKARTA — Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung (JA) ST Burhanuddin telah meneken MoU terkait pelaksanaan KUHP dan KUHAP baru.

    Sigit mengatakan penandatanganan nota kesepahaman itu dilakukan juga untuk perjanjian kerja sama (PKS) dalam sinergitas Kejaksaan-Polri.

    “Hari ini kita melaksanakan kegiatan MoU, dilanjutkan dengan penandatanganan PKS terkait sinergitas, pemahaman dalam hal pelaksanaan KUHP dan KUHAP yang baru,” ujar Sigit di Bareskrim, Selasa (16/12/2025).

    Dia menambahkan, KUHP dan KUHAP baru merupakan aturan hukum yang diharapkan masyarakat. Misalnya, dari sisi penyelesaian hukum yang disesuaikan dengan kondisi yang ada.

    Meskipun ada penyesuaian, Sigit memastikan bahwa penerapan KUHP dan KUHAP bari bakal tetap tegas menindak pelanggaran hukum oleh siapapun.

    “Kita tetap komit untuk melakukan penegakan hukum secara tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh siapapun,” pungkasnya.

    Sementara itu, Jaksa Agung Burhanuddin menyatakan bahwa MoU dengan Polri merupakan upaya penyempurnaan dari proses penerapan KUHP dan KUHAP baru.

    “Tentunya, setiap pelaksanaan ada hal-hal yang perlu penyempurnaan, terutama di dalam kita menggerakkan pelaksanaan pekerjaan. Dan itu yang kami tadi tandatangani,” tutur Burhanuddin.

  • Habiburokhman Sebut KUHP dan KUHAP Baru Dorong Penegakan Hukum Lebih Manusiawi

    Habiburokhman Sebut KUHP dan KUHAP Baru Dorong Penegakan Hukum Lebih Manusiawi

    Habiburokhman Sebut KUHP dan KUHAP Baru Dorong Penegakan Hukum Lebih Manusiawi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menilai, penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru menjadi momentum penting untuk menghadirkan penegakan hukum yang lebih manusiawi dan berkeadilan bagi masyarakat.
    Hal tersebut disampaikan Habiburokhman usai menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait persiapan implementasi KUHP dan KUHAP baru.
    “Kita berharap, niat baik kita semua, Komisi III, Pemerintah, kemudian juga Pak Kapolri dan Pak Jaksa Agung, untuk menjadikan hukum lebih manusiawi, lebih berkeadilan, bisa benar-benar terwujud,” kata Habiburokhman, dalam konferensi pers, di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (16/12/2025).
    Menurut dia, dua produk hukum itu sangat reformis.
    Hal itu karena KUHP dan KUHAP baru disebut memuat nilai-nilai baru, salah satunya keadilan restoratif.
    “(KUHP dan KUHAP baru) mengedepankan
    kemanusiaan
    dan hati nurani dalam
    penegakan hukum
    , membutuhkan pelaksanaan yang juga baik,” ungkap dia.
    Habiburokhman menyampaikan, perubahan substansial dalam KUHP dan KUHAP membutuhkan kesiapan dan keselarasan antar aparat penegak hukum agar dapat diterapkan secara baik dan konsisten.
    Karena itu, Komisi III DPR mengapresiasi langkah cepat Polri dan Kejaksaan yang sejak dini mengantisipasi potensi miskomunikasi dan miskoordinasi melalui kerja sama formal.
    “Saya terus terang, tadinya baru akan mengusulkan, ya, baik kepada Pak Kapolri maupun kepada Pak Jaksa Agung untuk membuat MoU ini. Tiba-tiba kita sudah dapat undangan acaranya hari ini. Ini sungguh luar biasa, inisiatif, gerak cepat teman-teman Kepolisian dan Kejaksaan,” kata dia.
    Ia menilai, sinergi dua institusi penegak hukum di tahap awal proses pidana tersebut menjadi kabar baik bagi masyarakat.
    Dengan koordinasi yang solid, implementasi KUHP dan KUHAP baru dinilai lebih berpeluang menghadirkan keadilan yang selama ini diharapkan publik.
    Diberitakan sebelumnya, Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) menandatangani MoU serta Perjanjian Kerja Sama (PKS) sebagai bentuk penguatan sinergi menjelang pemberlakuan KUHP dan KUHAP yang baru.
    Penandatanganan kerja sama tersebut disaksikan
    Ketua Komisi III DPR Habiburokhman
    dan Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej, di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (16/12/2025).
    “Alhamdulillah hari ini kita melaksanakan kegiatan MoU, dilanjutkan dengan penandatanganan PKS (Perjanjian Kerja Sama) terkait sinergisitas, pemahaman dalam hal pelaksanaan KUHP dan KUHAP yang baru,” kata Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dalam konferensi pers usai MoU, Selasa.
    Kerja sama ini ditujukan untuk menyamakan pemahaman dan langkah aparat penegak hukum dalam mengimplementasikan ketentuan baru di bidang hukum pidana dan hukum acara pidana.
    Kapolri mengatakan, MoU dan PKS ini mencerminkan semangat soliditas dan sinergisitas antara Polri dan Kejaksaan dalam menjalankan amanat KUHP dan KUHAP yang baru.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Keaslian Ijazah Jokowi Hanya Bisa Diputus Hakim, Bukan Polisi Atau Saat Gelar Perkara

    Keaslian Ijazah Jokowi Hanya Bisa Diputus Hakim, Bukan Polisi Atau Saat Gelar Perkara

    GELORA.CO  — Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD menegaskan polemik tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) tidak bisa diselesaikan hanya melalui gelar perkara di kepolisian.

    Menurut Mahfud, penentuan asli atau palsu suatu ijazah merupakan kewenangan mutlak pengadilan melalui pembuktian hukum yang fair dan terbuka.

    Mahfud menjelaskan, gelar perkara terkait tudingan ijazah Jokowi sebelumnya pernah dilakukan di Mabes Polri atas laporan kelompok aktivis ulama.

    Hasilnya, laporan tidak dilanjutkan karena ijazah yang dipersoalkan dinilai “identik”.

    Namun, keputusan itu tidak serta-merta menutup perkara.

    “Identik itu bukan berarti asli atau palsu. Itu hanya berarti mirip. Soal asli atau tidak, hanya hakim yang boleh memutuskan di pengadilan,” ujar Mahfud dalam wawancara di Channel YouTube Mahfud MD Official, Senin (15/12/2025) malam.

    Mahfud menilai, gelar perkara khusus yang kini dilakukan di Polda Metro Jaya sah-sah saja, tetapi apa pun hasilnya, perkara tetap dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya.

    Kapolrinya Saja Membangkang Putusan MK

    Penilaian akhir, kata Mahfud, harus dilakukan dalam proses persidangan dengan pembuktian yang dapat diuji semua pihak.

    Mahfud memaparkan dua jalur penyelesaian yang lebih adil.

    Pertama, setelah pelimpahan perkara, jaksa memiliki kewenangan menilai kelengkapan alat bukti.

    Jika dinilai belum cukup, jaksa dapat mengembalikan berkas (P19) dan meminta penyidik melengkapi, bahkan menghentikan perkara bila tak terpenuhi.

    Kedua, jika jaksa memilih melimpahkan perkara ke pengadilan, maka hakim wajib memerintahkan pembuktian substantif, termasuk pemeriksaan forensik terhadap ijazah yang dipersoalkan.

     “Hakim bisa meminta, mana ijazah aslinya. Tidak cukup hanya menyebut identik,” tegasnya.

    Mahfud juga mengkritisi pemahaman keliru soal beban pembuktian.

    Menurutnya, dalam hukum pidana, beban pembuktian tidak selalu sepihak.

    Jika seseorang dituduh memalsukan atau memfitnah, sementara pihak yang dituduh memiliki dokumen asli, maka dokumen itu harus ditunjukkan.

    “Kalau orang dituduh memfitnah karena mengatakan ijazah itu palsu, sementara yang dituduh punya ijazah asli, ya tunjukkan. Kalau aslinya tidak pernah dihadirkan, itu juga problem hukum,” ujarnya.

    Terkait pasal-pasal yang dikenakan, Mahfud menyoroti penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27A dan Pasal 28 UU ITE.

    Ia menegaskan, unsur pidana—termasuk pencemaran nama baik, hasutan, ujaran kebencian, hingga keonaran—harus dibuktikan secara ketat.

    “Keonaran menurut putusan MK itu harus keributan fisik yang nyata dan membahayakan, bukan sekadar opini di media sosial,” katanya.

    Mahfud mengingatkan agar penegakan hukum tidak dipaksakan karena berisiko melanggar hak asasi manusia dan merusak wibawa hukum.

    Ia menilai perkara ini bukan sekadar menyangkut individu, melainkan masa depan penegakan hukum di Indonesia.

    Soal peran Universitas Gadjah Mada (UGM), Mahfud berpandangan sudah cukup.

    UGM telah menyatakan Jokowi adalah alumninya dan ijazah tersebut dikeluarkan oleh UGM.

    “UGM tidak perlu diseret lebih jauh. Soal ijazah yang mana dan Jokowi yang mana, itu urusan pengadilan,” ujarnya.

    Mahfud menutup dengan menekankan pentingnya proses persidangan yang jujur dan berani.

    Jika terbukti salah, pihak yang menuduh harus siap menanggung konsekuensi hukum.

    Sebaliknya, negara juga wajib membuktikan tuduhan secara sah dan meyakinkan.

    “Negara hukum harus berdiri di atas pembuktian, bukan asumsi. Biarkan pengadilan yang memutuskan,” pungkas Mahfud.

  • Selain Kawat Bendrat, Tiga Tersangka Pembunuhan di Depok Aniaya Korban Pakai Gelas hingga Gitar

    Selain Kawat Bendrat, Tiga Tersangka Pembunuhan di Depok Aniaya Korban Pakai Gelas hingga Gitar

    Liputan6.com, Jakarta – Rekonstruksi mengungkap fakta baru kasus pembunuhan menggunakan kawat bendrat di Kota Depok, Jawa Barat. Ketiga tersangka MFR, MED dan DS menghajar korban bernama Andri Nugroho menggunakan gelas, pisau hingga gitar.

    Terdapat 21 adegan diperagakan ketiga tersangka saat menewaskan korban Andri Nugroho, Senin (3/11/2025).

    “Adegan rekonstruksi kasus pembunuhan ini berjalan selama 21 adegan,” kata Kapolsek Bojonggede AKP Abdullah Safii’ih, Selasa (16/12/20205).

    Abdullah menjelaskan, rekonstruksi yang diperagakan ketiga tersangka saat membunuh korban sesuai dengan pra rekonstruksi yang sebelumnya telah dilaksanakan. Rekonstruksi dilakukan di Polsek Bojonggede untuk mencegah hal yang tidak diinginkan.

    “Tujuannya untuk mengantisipasi di wilayah itu ada kemungkinan, nanti ada banyak kerawanan lah ya,” jelas Abdullah.

    Rekonstruksi di Polsek Bojonggede untuk menghindari para tersangka melarikan diri maupun keramaian warga. Hal itupun telah mendapat persetujuan dari kejaksaan maupun kuasa hukum tersangka.

    “Iya rekonstruksi ini sudah mendapatkan persetujuan dari Jaksa,” terang Abdullah.

    Ketiga tersangka melakukan rekonstruksi dengan memperagakan sejumlah adegan saat menghabiskan nyawa korban. Ketiga tersangka memperlihatkan membunuh korban dengan cara dijatuhkan, dipukuli, penusukan hingga dijerat menggunakan kawat.

    “Pertama dipukul pakai gelas, yang kedua ditusuk dulu pakai pisau kepalanya, yang ketiga pakai gitar listrik,” ucap Abdullah.

    Adapun salah satu tersangka melakukan tusukan pada korban sebanyak tiga kali, pada bagian kepala dan satu tusukan di bagian dada. Korban meninggal usai tersangka menjerat leher menggunakan kawat bendrat.

    “Cekikan pakai kawat, karena saya tanyakan tersangka itu pada saat dikawatin, korban udah nggak berdaya tapi masih hidup,” ungkap Abdullah.

    Atas perbuatan ketiga tersangka, kepolisian menjerat tindakan pembunuhan dengan Pasal 170, 365, dan 338 KUHP.

    “Jadi ada tiga pasal yang kami sangkakan,” tutur Abdullah.

    Sebelumnya, polisi menetapkan tiga tersangka berinisial MFR, MED dan DS, dalam kasus pembunuhan Andri Nugroho di sebuah rumah kawasan Desa Rawa Panjang, Bojonggede, Kabupaten Bogor, Senin (3/11/2025). Para tersangka menghabisi nyawa korban dengan cara dipukul dan lehernya dijerat menggunakan kawat bendrat.

    Kasat Reskrim Polres Metro Depok Kompol Made Gede Oka Utama mengatakan, para tersangka berusaha menguasai barang berharga milik korban, berupa handphone dan sepeda motor.

    “Untuk handphone korban sudah ada diambil tersangka bersama kunci motor, namun motor korban tertinggal di lokasi kejadian,” kata Made Gede Oka, Rabu (5/11/2025).

    Made Gede Oka menjelaskan, awalnya tersangka MED berkenalan dengan korban melalui media sosial. Korban dan tersangka saling berkirim pesan dan menyepakati untuk melakukan pertemuan.

    “Keduanya bersepakat untuk bertemu bersama-sama, nongkrong di rumah salah satu tersangka yang merupakan juga menjadi TKP pembunuhan,” jelas Made Gede Oka.

    Sesuai kesepakatan, korban mendatangi lokasi pertemuan dan masuk ke dalam rumah bersama tersangka MED. Pada saat itu, terdapat dua tersangka lainnya yakni MFR dan DS.

    “Tersangka MED meminjam uang kepada korban dengan alasan untuk persalinan ataupun biaya persalinan pacarnya,” terang Made Gede Oka.

    Tersangka MED meminjam uang kepada korban Rp 4 juta, namun ditolak korban. Mengetahui hal itu, tersangka merasa tersinggung dan marah sehingga terjadi keributan.

    “Saat keributan korban mencoba melarikan diri namun terjatuh usai didorong tersangka, lalu dua tersangka lainnya ikut membantu melakukan penganiayaan dan pemukulan,” terang Made Gede Oka.

    Made Gede Oka mengungkapkan, korban dianiaya menggunakan benda tajam dan tumpul. Tidak hanya itu, leher korban dijerat menggunakan kawat bendrat yang berada di lokasi.

    “Salah satu tersangka mengikat leher korban dengan kawat bendrat, sehingga korban akhirnya meninggal di tempat,” ungkap Made Gede Oka.

    Para tersangka berusaha menghilangkan jejak darah di lantai rumah, dibersihkan menggunakan pakaian korban. Hal itulah yang menyebabkan mayat korban saat ditemukan hanya menggunakan kaus dalam.

    “Tetangga yang mendengar keributan berupaya menggedor pintu, para tersangka menjadi panik sehingga mereka kabur, meninggalkan TKP dengan mengambil beberapa barang milik korban,” tutur Made Gede Oka.

    Polres Metro Depok menjerat ketiga tersangka dengan pasal berlapis, yakni Pasal 338 KUHP, pasal 170 KUHP dengan hukuman 15 tahun penjara.

    “Selain itu, ketiga tersangka juga dijerat dengan pasal 365 ayat 3 yaitu pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan meninggalnya korban dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara,” ucap Made Gede Oka.

  • KPK Periksa Yaqut dan Dua Petinggi Asosiasi Haji Terkait Penghitungan Kerugian Negara

    KPK Periksa Yaqut dan Dua Petinggi Asosiasi Haji Terkait Penghitungan Kerugian Negara

    GELORA.CO -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait kuota haji periode 2023-2024. 

    Selain memeriksa mantan Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas, tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga periksa dua orang dari pihak asosiasi dan travel haji. Pemeriksaan ini berkaitan dengan penghitungan kerugian keuangan negara.

    Jurubicara KPK, Budi Prasetyo mengatakan, dua orang dari pihak asosiasi tersebut adalah mantan Bendahara Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) M Tauhid Hamdi, dan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Haji, Umrah dan Wisata Halal Nusantara (Gaphura) Ali Moh Amin.

    “Pemeriksaan hari ini juga dilakukan kepada sejumlah saksi lainnya, yakni dari para pihak asosiasi penyelenggara haji. Pemeriksaan kali ini, untuk penghitungan kerugian keuangan negara yang timbul akibat dugaan tindak pidana korupsi terkait kuota haji periode 2023-2024,” kata Budi kepada wartawan, Selasa siang, 16 Desember 2025.

    Kedua saksi tersebut kata Budi, sudah hadir memenuhi panggilan tim penyidik dan sedang diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan.

    Sebelumnya, Yaqut juga sudah tiba di Gedung Merah Putih KPK pada pukul 11.42 WIB. Saat tiba, Yaqut terlihat berjalan cepat dan terburu-buru untuk segera masuk ke dalam Gedung Merah Putih KPK. Dia pun enggan memberikan pernyataan kepada wartawan.

    “Nggak ada, nggak ada (yang mau disampaikan). Mohon izin ya, saya masuk dulu ya izin,” singkat Yaqut.

    Sebelumnya, Yaqut juga sudah diperiksa KPK pada Senin, 1 September 2025. Yaqut juga sudah dimintai keterangan pada saat proses penyelidikan pada Kamis, 7 Agustus 2025.

    Penyidikan perkara ini sudah dimulai KPK sejak Jumat, 8 Agustus 2025. KPK menggunakan Sprindik Umum dengan sangkaan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Perkara ini diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara lebih dari Rp1 triliun.

    Berdasarkan Pasal 64 Ayat 2 UU 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pembagian kuota haji adalah sebesar 92 persen untuk kuota reguler, dan 8 persen untuk kuota khusus. Namun nyatanya, 20 ribu kuota tambahan dari pemerintah Arab Saudi malah dibagi menjadi 50 persen untuk haji reguler, dan 50 persen untuk haji khusus.

    Tambahan kuota haji tersebut diperoleh setelah pertemuan bilateral antara Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi dengan Putra Mahkota yang juga Perdana Menteri (PM) Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman Al-Saud pada 19 Oktober 2023 lalu.

    Namun, dalam Keputusan Menteri Agama nomor 130/2024 yang ditandatangani Yaqut Cholil Qoumas (YCQ) pada 15 Januari 2024 justru mengatur pembagian 10.000 untuk kuota haji reguler dan 10.000 untuk kuota haji khusus. 

  • Jaksa Agung Yakin Penerapan KUHP-KUHAP Baru Jawab Harapan Masyarakat

    Jaksa Agung Yakin Penerapan KUHP-KUHAP Baru Jawab Harapan Masyarakat

    Jakarta

    Jaksa Agung ST Burhanuddin bersama Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken nota kesepahaman (MoU) terkait penerapan KUHP dan KUHAP baru. Langkah itu untuk menyamakan persepsi antaraparat penegak hukum (APH) dalam implementasinya.

    Acara penandatanganan tersebut digelar di Aula Awaloedin Djamin, lantai 9 gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (16/12/2025). Kegiatan itu turut dihadiri Ketua Komisi III DPR RI Habiburrokhman serta Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) RI Edward Omar Sharif Hiariej.

    “Tentunya setiap pelaksanaan ada hal-hal yang perlu penyempurnaan, terutama di dalam kita menggerakkan pelaksanaan pekerjaan,” kata Burhanuddin kepada wartawan seusai kegiatan.

    Dia berharap aturan baru itu dapat terlaksana dengan benar. Terlebih dalam memberikan keadilan bagi masyarakat.

    “Tentunya juga satu tujuan bahwa kita dapat menjawab tantangan masyarakat, bahwa keadilan itu masih ada,” harap Jaksa Agung.

    “Kami bersama-sama bisa melaksanakan apa yang menjadi amanat dan harapan dari KUHP dan KUHAP yang baru untuk betul-betul bisa memberikan rasa keadilan bagi masyarakat,” ucap Sigit.

    1. Pertukaran data dan/atau informasi
    2. Bantuan pengamanan
    3. Penegakan hukum
    4. Peningkatan kapasitas dan pemanfaatan sumber daya manusia (SDM)
    5. Pemanfaatan sarana dan prasarana
    6. Kegiatan lain yang disepakati bersama.

    (ond/idn)

  • Nadiem Disebut Perkaya Diri Rp 809,5 M dalam Kasus Korupsi Chromebook

    Nadiem Disebut Perkaya Diri Rp 809,5 M dalam Kasus Korupsi Chromebook

    Nadiem Disebut Perkaya Diri Rp 809,5 M dalam Kasus Korupsi Chromebook
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung menyebutkan, eks Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim memperkaya diri sendiri senilai Rp 809,5 miliar dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook.
    Hal ini diketahui saat JPU membacakan surat dakwaan atas nama Sri Wahyuningsih, selaku Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek 2020-2021 sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di Lingkungan Direktorat Sekolah Dasar Tahun Anggaran 2020-2021.
    “Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu, terdakwa Nadiem Anwar Makarim sebesar Rp 809,5 miliar,” ujar salah satu jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (16/12/2025).
    Jaksa mengatakan, Nadiem telah menyalahgunakan wewenangnya untuk mengarahkan spesifikasi pengadaan yang membuat
    Google
    menjadi satu-satunya penguasa ekosistem pendidikan di Indonesia.
    “Bahwa terdakwa Nadiem Anwar Makarim yang telah menyalahgunakan dengan mengarahkan spesifikasi laptop Chromebook menggunakan Chrome Device Management (CDM)/Chrome Education Upgrade menjadikan Google satu-satunya yang menguasai ekosistem pendidikan di Indonesia,” kata jaksa.
    Keuntungan pribadi yang diterima Nadiem disebut berasal dari investasi Google ke PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (AKAB) yang melalui PT Gojek Indonesia.
    “Adapun sumber uang PT AKAB sebagian besar (merupakan) total investasi Google ke PT AKAB sebesar 786.999.428 dollar Amerika Serikat. Hal tersebut dapat dilihat dari kekayaan terdakwa Nadiem Anwar Makarim yang tercatat dalam LHKPN pada tahun 2022 perolehan harta jenis surat berharga sebesar Rp 5.590.317.273.184,” imbuh jaksa.
    Dalam dakwaan, jaksa merinci beberapa pemasukan investasi dari Google ke perusahaan Nadiem yang dilakukan saat pengadaan berlangsung.
    Misalnya, pada Maret 2020, Nadiem mengarahkan agar Google Workspace for Education melalui Google Workspace dapat digunakan di Kemendikbud RI.
    Arahan ini Nadiem sampaikan melalui sebuah grup WhatsApp bernama “Merdeka Platform” yang berisi tim dari Govtech atau Warung Teknologi.
    “Kemudian pada bulan Maret 2020, Google Asia Pasifik Pte Ltd juga melakukan investasi berupa penyetoran modal uang ke PT AKAB sebesar 59.997.267 dollar Amerika Serikat,” imbuh jaksa.
    Lalu, pada tahun 2021, Google kembali menambahkan investasi ke perusahaan Nadiem sebanyak 276.843.141 dollar Amerika Serikat usai Nadiem meneken peraturan yang menjadikan Google sebagai satu-satunya produk yang digunakan dalam pengadaan TIK.
    Patut diketahui, ekosistem pendidikan di Indonesia diperkirakan bisa menyentuh 50 juta pengguna suatu sistem.
    Dalam kasus ini, JPU mendakwa Nadiem dan tiga terdakwa lainnya telah menyebabkan kerugian negara Rp 2,1 triliun.
    Selain Nadiem, tiga terdakwa lainnnya itu adalah eks konsultan teknologi Kemendikbudristek Ibrahim Arief, Direktur Sekolah Menengah Pertama Kemendikbudristek Tahun 2020-2021 Mulyatsyah, dan Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek Sri Wahyuningsih.
    Pada hari ini, jaksa membacakan dakwaan untuk Ibrahim, Mulyatsyah, dan Sri, sedangkan Nadiem baru mengikuti sidang perdana pada pekan depan karena tengah dirawat di rumah satki.
    Sementara itu, ada satu tersangka lain dalam perkara ini, Jurist Tan, yang berkas perkaranya belum dilimpahkan karena masih berstatus buron.
    Para terdakwa diancam dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
    Korupsi
    jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Terpidana di NTT Bisa Dihukum Cuma Kerja Sosial, Aturan Berlaku Mulai 2026

    Terpidana di NTT Bisa Dihukum Cuma Kerja Sosial, Aturan Berlaku Mulai 2026

    Liputan6.com, Jakarta – Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT) akan memberlakukan hukuman pidana kerja sosial (PKS) bagi pelaku tindak pidana ringan. Aturan ini berlaku mulai tahun 2026. Dengan demikian, seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan pidana oleh hakim, dihukum kerja sosial seperti membersihkan fasilitas umum dan penghijauan.

    “Nantinya pelaku tindak pidana ringan tidak akan dijauhkan dari kehidupan sosialnya, melainkan diarahkan untuk memperbaiki kesalahan melalui kerja bermanfaat bagi lingkungan, seperti kebersihan fasilitas umum dan penghijauan,” kata Kasi Penkum Kejati NTT Raka Putra Dharmana, Kupang NTT, Selasa (16/12/2025).

    Untuk merealisasikan hukuman ini Kejati menggandeng Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan semua kepala daerah, menandatangani nota kesepahaman.

    Raka menegaskan, ruang lingkup kerja sama ini mencakup perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, hingga pengawasan pelaku.

    Ia mengaku rencana pelibatan lintas sektor juga mendapat dukungan dari PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) yang berperan dalam aspek pengembangan sumber daya manusia serta tanggung jawab sosial.

    “Melalui kolaborasi ini, diharapkan terbentuk model implementasi hukum yang tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga memulihkan hubungan sosial dan memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan daerah di Nusa Tenggara Timur,” lanjutnya.

    Kajati NTT, Rich Adi Wibowo mengatakan, PKS merupakan langkah transformasi hukum yang lebih restoratif dan rehabilitatif.

    Menurut dia, dalam pelaksanaan PKS, kejaksaan membutuhkan kerja sama dan partisipasi seluruh stakeholder terutama dari Pemerintah Provinsi NTT maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.

    “Tentunya nanti kita tunggu petunjuk yang sedang digodok oleh Jampidum sehingga nanti pelaksananya kita melibatkan Pemerintah Daerah,” jelas Adi Wibowo.

    Dia menyakini, kehadiran KUHP yang baru terkait UU No. 1 Tahun 2023 akan merubah wajah tatanan hukum yang akan membawa dampak pemulihan sosial bagi pelaku pidana. Ia memastikan penerapan hukum kerja sosial bakal berjalan adil dan konsisten.

    “Kita tetap junjung tinggi martabat pelaku, disertai pembinaan untuk mendorong perubahan sikap dari setiap pelaku pidana,” tegasnya.

    Ia menambahkan, lokasi dan jenis kerja sosial harus dipilih secara selektif agar memberikan nilai tambah bagi masyarakat, seperti perbaikan fasilitas umum, kegiatan lingkungan hidup, serta layanan sosial yang manfaatnya langsung dirasakan masyarakat.

    Sementara itu, Gubernur NTT Melki Lakalena menyampaikan Pemerintah Provinsi maupun 21 Kabupaten Kota mendukung penerapan pemidanaan kerja sosial, yang akan diberlakukan pada tahun 2026 mendatang.

    Ia mengatakan, pemerintah daerah tinggal menunggu petunjuk pelaksanaan baik dari Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi.

    “Kita tunggu saja petunjuk teknis pelaksanaannya,” ujar Melki.

    Menurutnya, rencana pelibatan Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrida) dalam program tersebut masih akan dibahas lebih lanjut sebelum diterapkan di NTT.

    Ia menyebutkan, kerja sama ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan paradigma penegakan hukum yang inklusif.

    “Pendekatan ini merupakan simbol transformasi dari keadilan retributif (pembalasan) menuju keadilan restoratif (pemulihan),” pungkasnya.

  • Hukuman Penjara Diganti Kerja Sosial, Pemkot Malang Siapkan Sanksi Baru Mulai 2026

    Hukuman Penjara Diganti Kerja Sosial, Pemkot Malang Siapkan Sanksi Baru Mulai 2026

    Malang (beritajatim.com) – Pemerintah Kota (Pemkot) Malang resmi menyepakati penerapan sanksi Pidana Kerja Sosial sebagai alternatif hukuman penjara bagi pelaku tindak pidana ringan. Kesepakatan ini tertuang dalam penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara pemerintah daerah se-Jawa Timur dengan Kejaksaan Tinggi serta Kejaksaan Negeri di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Senin (15/12/2025).

    Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat, menyambut positif kolaborasi strategis ini. Menurutnya, langkah ini merupakan persiapan krusial menyongsong berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional terbaru.

    “Penandatanganan MoU dan PKS ini menjadi langkah penting dalam menyukseskan penerapan KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) yang mulai berlaku penuh pada Januari 2026, setelah melalui masa transisi selama tiga tahun,” kata Wahyu.

    Wahyu menilai, penerapan Pidana Kerja Sosial merupakan terobosan efektif dalam sistem peradilan di Kota Malang. Sanksi ini tidak hanya berfokus pada hukuman, tetapi juga memberikan ruang bagi pelaku untuk berkontribusi langsung kepada lingkungannya.

    Sebagai bentuk dukungan nyata, Pemkot Malang berkomitmen menyediakan infrastruktur pendukung. Pihaknya akan menyiapkan ruang kerja sosial yang aman, terarah, dan sesuai dengan kebutuhan daerah untuk para terhukum.

    “Melalui pidana kerja sosial semoga tidak sekedar memberikan efek jera, tetapi juga mengedepankan aspek pembinaan dan pemulihan, sehingga para pelaku dapat kembali ke masyarakat dengan lebih bertanggung jawab dan turut bersama membangun kota,” ujar Wahyu.

    Lebih lanjut, Wahyu menjelaskan bahwa pihaknya akan berkolaborasi erat menyediakan lingkungan yang kondusif. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan sanksi ini dapat memberikan manfaat ganda, baik bagi rehabilitasi pelaku maupun dampak positif bagi masyarakat luas.

    Sebagai informasi, Pidana Kerja Sosial (PKS) adalah sanksi baru dalam UU No. 1 Tahun 2023 yang akan berlaku efektif pada 2026. Sanksi ini menjadi alternatif pengganti hukuman penjara singkat bagi pelaku tindak pidana dengan ancaman kurang dari 5 tahun.

    Dalam pelaksanaannya, pelaku tidak akan dipenjara, melainkan diwajibkan menjalani aktivitas bermanfaat seperti menjadi petugas kebersihan atau membantu di panti asuhan. Metode ini bertujuan mengurangi overkapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) serta mengedepankan pendekatan hukum yang lebih humanis. [luc/beq]