Jaksa Sebut Eks Mendikbud Muhadjir Effendy Sempat Tolak Chromebook, tetapi Malah Diterima Nadiem
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut produk Chromebook dari Google pernah ditolak oleh Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) sebelum Nadiem Makarim.
Hal ini diketahui saat JPU membacakan dakwaan Sri Wahyuningsih selaku Direktur Sekolah Dasar pada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah pada tahun 2020-2021 sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di Lingkungan Direktorat Sekolah Dasar Tahun Anggaran 2020-2021.
Sekitar akhir tahun 2018, PT Google Indonesia pernah mengirim surat kepada Muhadjir agar bisa beraudiensi dan mempresentasikan produk mereka.
“Selanjutnya, PT Google Indonesia mengirimkan surat yang ditujukan kepada Mendikbud RI
Muhadjir Effendy
untuk mengajukan audiensi dan presentasi Solution Google for Education di Kemendikbud RI,” ujar salah satu jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (16/12/2025).
Surat ini ditindaklanjuti dan Google berkesempatan untuk memperkenalkan produk mereka.
Saat itu, Kemendikbud memang sedang memiliki program digitalisasi pendidikan pengadaan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) Tahun 2018 untuk daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Produk
Chromebook
dari Google pun masuk dalam tahap uji coba, tetapi pada saat itu dinyatakan tidak lulus uji dari kementerian.
Salah satu kendala terbesar adalah untuk mengoperasikan Chromebook butuh sambungan internet yang memadai.
Karena program menyasar daerah 3T, produk ini kesulitan menjalankan perannya mengingat keterbatasan internet di wilayah target pengadaan.
“Bahwa pengadaan laptop berbasis sistem operasi Chrome terdapat kelemahan-kelemahan di sekolah-sekolah penerima bantuan dan akan tidak tercapainya tujuan arah pembangunan jangka menengah di bidang pendidikan,” lanjut jaksa.
Atas alasan ini, Muhadjir Effendy tidak menyertakan Chromebook dalam perencanaan pengadaan.
“Maka pada tanggal 22 Januari 2019 Mendikbud RI Muhadjir Effendy menerbitkan Permendikbud Nomor 3 tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler yang di mana pembelian komputer desktop dan laptop sebagai alat multimedia pembelajaran sistem operasinya tidak menyebutkan Chrome OS,” kata jaksa lagi.
Adapun, Muhadjir digantikan
Nadiem Makarim
pada Oktober 2019.
Pengadaan Chromebook dijalankan oleh Nadiem setelah ia menjadi menteri.
Dalam kasus ini, empat terdakwa disebut telah menyebabkan kerugian keuangan negara senilai Rp 2,1 triliun.
Hari ini, JPU lebih dahulu membacakan dakwaan untuk tiga terdakwa, yaitu Eks Konsultan Teknologi di lingkungan Kemendikbudristek, Ibrahim Arief.
Lalu, Direktur SMP pada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Tahun 2020-2021 sekaligus KPA di Lingkungan Direktorat Sekolah Menengah Pertama Tahun Anggaran 2020-2021, Mulyatsyah.
Dan, Direktur Sekolah Dasar pada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah pada tahun 2020-2021 sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di Lingkungan Direktorat Sekolah Dasar Tahun Anggaran 2020-2021, Sri Wahyuningsih.
Sementara, Eks Mendikbudristek Nadiem Makarim baru akan menjalani sidang perdana pada minggu depan.
Saat ini, Nadiem diketahui tengah menjalani proses penyembuhan dan dirawat di rumah sakit (RS).
Adapun, berkas perkara untuk tersangka Jurist Tan (JT) selaku Staf Khusus Mendikbudristek tahun 2020–2024 belum dapat dilimpahkan karena ia masih buron.
Para terdakwa diancam dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topik: KUHP
-
/data/photo/2023/06/03/647b5cf48b485.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Jaksa Sebut Eks Mendikbud Muhadjir Effendy Sempat Tolak Chromebook, tetapi Malah Diterima Nadiem Nasional
-

Keaslian Ijazah Jokowi Hanya Bisa Diputus Hakim, Bukan Polisi Atau Saat Gelar Perkara
GELORA.CO — Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD menegaskan polemik tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) tidak bisa diselesaikan hanya melalui gelar perkara di kepolisian.
Menurut Mahfud, penentuan asli atau palsu suatu ijazah merupakan kewenangan mutlak pengadilan melalui pembuktian hukum yang fair dan terbuka.
Mahfud menjelaskan, gelar perkara terkait tudingan ijazah Jokowi sebelumnya pernah dilakukan di Mabes Polri atas laporan kelompok aktivis ulama.
Hasilnya, laporan tidak dilanjutkan karena ijazah yang dipersoalkan dinilai “identik”.
Namun, keputusan itu tidak serta-merta menutup perkara.
“Identik itu bukan berarti asli atau palsu. Itu hanya berarti mirip. Soal asli atau tidak, hanya hakim yang boleh memutuskan di pengadilan,” ujar Mahfud dalam wawancara di Channel YouTube Mahfud MD Official, Senin (15/12/2025) malam.
Mahfud menilai, gelar perkara khusus yang kini dilakukan di Polda Metro Jaya sah-sah saja, tetapi apa pun hasilnya, perkara tetap dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Kapolrinya Saja Membangkang Putusan MK
Penilaian akhir, kata Mahfud, harus dilakukan dalam proses persidangan dengan pembuktian yang dapat diuji semua pihak.
Mahfud memaparkan dua jalur penyelesaian yang lebih adil.
Pertama, setelah pelimpahan perkara, jaksa memiliki kewenangan menilai kelengkapan alat bukti.
Jika dinilai belum cukup, jaksa dapat mengembalikan berkas (P19) dan meminta penyidik melengkapi, bahkan menghentikan perkara bila tak terpenuhi.
Kedua, jika jaksa memilih melimpahkan perkara ke pengadilan, maka hakim wajib memerintahkan pembuktian substantif, termasuk pemeriksaan forensik terhadap ijazah yang dipersoalkan.
“Hakim bisa meminta, mana ijazah aslinya. Tidak cukup hanya menyebut identik,” tegasnya.
Mahfud juga mengkritisi pemahaman keliru soal beban pembuktian.
Menurutnya, dalam hukum pidana, beban pembuktian tidak selalu sepihak.
Jika seseorang dituduh memalsukan atau memfitnah, sementara pihak yang dituduh memiliki dokumen asli, maka dokumen itu harus ditunjukkan.
“Kalau orang dituduh memfitnah karena mengatakan ijazah itu palsu, sementara yang dituduh punya ijazah asli, ya tunjukkan. Kalau aslinya tidak pernah dihadirkan, itu juga problem hukum,” ujarnya.
Terkait pasal-pasal yang dikenakan, Mahfud menyoroti penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27A dan Pasal 28 UU ITE.
Ia menegaskan, unsur pidana—termasuk pencemaran nama baik, hasutan, ujaran kebencian, hingga keonaran—harus dibuktikan secara ketat.
“Keonaran menurut putusan MK itu harus keributan fisik yang nyata dan membahayakan, bukan sekadar opini di media sosial,” katanya.
Mahfud mengingatkan agar penegakan hukum tidak dipaksakan karena berisiko melanggar hak asasi manusia dan merusak wibawa hukum.
Ia menilai perkara ini bukan sekadar menyangkut individu, melainkan masa depan penegakan hukum di Indonesia.
Soal peran Universitas Gadjah Mada (UGM), Mahfud berpandangan sudah cukup.
UGM telah menyatakan Jokowi adalah alumninya dan ijazah tersebut dikeluarkan oleh UGM.
“UGM tidak perlu diseret lebih jauh. Soal ijazah yang mana dan Jokowi yang mana, itu urusan pengadilan,” ujarnya.
Mahfud menutup dengan menekankan pentingnya proses persidangan yang jujur dan berani.
Jika terbukti salah, pihak yang menuduh harus siap menanggung konsekuensi hukum.
Sebaliknya, negara juga wajib membuktikan tuduhan secara sah dan meyakinkan.
“Negara hukum harus berdiri di atas pembuktian, bukan asumsi. Biarkan pengadilan yang memutuskan,” pungkas Mahfud.
-
/data/photo/2025/09/04/68b973c2c728c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Nadiem Disebut Perkaya Diri Rp 809,5 M dalam Kasus Korupsi Chromebook
Nadiem Disebut Perkaya Diri Rp 809,5 M dalam Kasus Korupsi Chromebook
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung menyebutkan, eks Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim memperkaya diri sendiri senilai Rp 809,5 miliar dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook.
Hal ini diketahui saat JPU membacakan surat dakwaan atas nama Sri Wahyuningsih, selaku Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek 2020-2021 sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di Lingkungan Direktorat Sekolah Dasar Tahun Anggaran 2020-2021.
“Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu, terdakwa Nadiem Anwar Makarim sebesar Rp 809,5 miliar,” ujar salah satu jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (16/12/2025).
Jaksa mengatakan, Nadiem telah menyalahgunakan wewenangnya untuk mengarahkan spesifikasi pengadaan yang membuat
Google
menjadi satu-satunya penguasa ekosistem pendidikan di Indonesia.
“Bahwa terdakwa Nadiem Anwar Makarim yang telah menyalahgunakan dengan mengarahkan spesifikasi laptop Chromebook menggunakan Chrome Device Management (CDM)/Chrome Education Upgrade menjadikan Google satu-satunya yang menguasai ekosistem pendidikan di Indonesia,” kata jaksa.
Keuntungan pribadi yang diterima Nadiem disebut berasal dari investasi Google ke PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (AKAB) yang melalui PT Gojek Indonesia.
“Adapun sumber uang PT AKAB sebagian besar (merupakan) total investasi Google ke PT AKAB sebesar 786.999.428 dollar Amerika Serikat. Hal tersebut dapat dilihat dari kekayaan terdakwa Nadiem Anwar Makarim yang tercatat dalam LHKPN pada tahun 2022 perolehan harta jenis surat berharga sebesar Rp 5.590.317.273.184,” imbuh jaksa.
Dalam dakwaan, jaksa merinci beberapa pemasukan investasi dari Google ke perusahaan Nadiem yang dilakukan saat pengadaan berlangsung.
Misalnya, pada Maret 2020, Nadiem mengarahkan agar Google Workspace for Education melalui Google Workspace dapat digunakan di Kemendikbud RI.
Arahan ini Nadiem sampaikan melalui sebuah grup WhatsApp bernama “Merdeka Platform” yang berisi tim dari Govtech atau Warung Teknologi.
“Kemudian pada bulan Maret 2020, Google Asia Pasifik Pte Ltd juga melakukan investasi berupa penyetoran modal uang ke PT AKAB sebesar 59.997.267 dollar Amerika Serikat,” imbuh jaksa.
Lalu, pada tahun 2021, Google kembali menambahkan investasi ke perusahaan Nadiem sebanyak 276.843.141 dollar Amerika Serikat usai Nadiem meneken peraturan yang menjadikan Google sebagai satu-satunya produk yang digunakan dalam pengadaan TIK.
Patut diketahui, ekosistem pendidikan di Indonesia diperkirakan bisa menyentuh 50 juta pengguna suatu sistem.
Dalam kasus ini, JPU mendakwa Nadiem dan tiga terdakwa lainnya telah menyebabkan kerugian negara Rp 2,1 triliun.
Selain Nadiem, tiga terdakwa lainnnya itu adalah eks konsultan teknologi Kemendikbudristek Ibrahim Arief, Direktur Sekolah Menengah Pertama Kemendikbudristek Tahun 2020-2021 Mulyatsyah, dan Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek Sri Wahyuningsih.
Pada hari ini, jaksa membacakan dakwaan untuk Ibrahim, Mulyatsyah, dan Sri, sedangkan Nadiem baru mengikuti sidang perdana pada pekan depan karena tengah dirawat di rumah satki.
Sementara itu, ada satu tersangka lain dalam perkara ini, Jurist Tan, yang berkas perkaranya belum dilimpahkan karena masih berstatus buron.
Para terdakwa diancam dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5175533/original/054260900_1743012085-WhatsApp_Image_2025-03-27_at_00.00.13.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Terpidana di NTT Bisa Dihukum Cuma Kerja Sosial, Aturan Berlaku Mulai 2026
Liputan6.com, Jakarta – Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT) akan memberlakukan hukuman pidana kerja sosial (PKS) bagi pelaku tindak pidana ringan. Aturan ini berlaku mulai tahun 2026. Dengan demikian, seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan pidana oleh hakim, dihukum kerja sosial seperti membersihkan fasilitas umum dan penghijauan.
“Nantinya pelaku tindak pidana ringan tidak akan dijauhkan dari kehidupan sosialnya, melainkan diarahkan untuk memperbaiki kesalahan melalui kerja bermanfaat bagi lingkungan, seperti kebersihan fasilitas umum dan penghijauan,” kata Kasi Penkum Kejati NTT Raka Putra Dharmana, Kupang NTT, Selasa (16/12/2025).
Untuk merealisasikan hukuman ini Kejati menggandeng Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan semua kepala daerah, menandatangani nota kesepahaman.
Raka menegaskan, ruang lingkup kerja sama ini mencakup perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, hingga pengawasan pelaku.
Ia mengaku rencana pelibatan lintas sektor juga mendapat dukungan dari PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) yang berperan dalam aspek pengembangan sumber daya manusia serta tanggung jawab sosial.
“Melalui kolaborasi ini, diharapkan terbentuk model implementasi hukum yang tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga memulihkan hubungan sosial dan memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan daerah di Nusa Tenggara Timur,” lanjutnya.
Kajati NTT, Rich Adi Wibowo mengatakan, PKS merupakan langkah transformasi hukum yang lebih restoratif dan rehabilitatif.
Menurut dia, dalam pelaksanaan PKS, kejaksaan membutuhkan kerja sama dan partisipasi seluruh stakeholder terutama dari Pemerintah Provinsi NTT maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.
“Tentunya nanti kita tunggu petunjuk yang sedang digodok oleh Jampidum sehingga nanti pelaksananya kita melibatkan Pemerintah Daerah,” jelas Adi Wibowo.
Dia menyakini, kehadiran KUHP yang baru terkait UU No. 1 Tahun 2023 akan merubah wajah tatanan hukum yang akan membawa dampak pemulihan sosial bagi pelaku pidana. Ia memastikan penerapan hukum kerja sosial bakal berjalan adil dan konsisten.
“Kita tetap junjung tinggi martabat pelaku, disertai pembinaan untuk mendorong perubahan sikap dari setiap pelaku pidana,” tegasnya.
Ia menambahkan, lokasi dan jenis kerja sosial harus dipilih secara selektif agar memberikan nilai tambah bagi masyarakat, seperti perbaikan fasilitas umum, kegiatan lingkungan hidup, serta layanan sosial yang manfaatnya langsung dirasakan masyarakat.
Sementara itu, Gubernur NTT Melki Lakalena menyampaikan Pemerintah Provinsi maupun 21 Kabupaten Kota mendukung penerapan pemidanaan kerja sosial, yang akan diberlakukan pada tahun 2026 mendatang.
Ia mengatakan, pemerintah daerah tinggal menunggu petunjuk pelaksanaan baik dari Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi.
“Kita tunggu saja petunjuk teknis pelaksanaannya,” ujar Melki.
Menurutnya, rencana pelibatan Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrida) dalam program tersebut masih akan dibahas lebih lanjut sebelum diterapkan di NTT.
Ia menyebutkan, kerja sama ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan paradigma penegakan hukum yang inklusif.
“Pendekatan ini merupakan simbol transformasi dari keadilan retributif (pembalasan) menuju keadilan restoratif (pemulihan),” pungkasnya.
-

Hukuman Penjara Diganti Kerja Sosial, Pemkot Malang Siapkan Sanksi Baru Mulai 2026
Malang (beritajatim.com) – Pemerintah Kota (Pemkot) Malang resmi menyepakati penerapan sanksi Pidana Kerja Sosial sebagai alternatif hukuman penjara bagi pelaku tindak pidana ringan. Kesepakatan ini tertuang dalam penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara pemerintah daerah se-Jawa Timur dengan Kejaksaan Tinggi serta Kejaksaan Negeri di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Senin (15/12/2025).
Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat, menyambut positif kolaborasi strategis ini. Menurutnya, langkah ini merupakan persiapan krusial menyongsong berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional terbaru.
“Penandatanganan MoU dan PKS ini menjadi langkah penting dalam menyukseskan penerapan KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) yang mulai berlaku penuh pada Januari 2026, setelah melalui masa transisi selama tiga tahun,” kata Wahyu.
Wahyu menilai, penerapan Pidana Kerja Sosial merupakan terobosan efektif dalam sistem peradilan di Kota Malang. Sanksi ini tidak hanya berfokus pada hukuman, tetapi juga memberikan ruang bagi pelaku untuk berkontribusi langsung kepada lingkungannya.
Sebagai bentuk dukungan nyata, Pemkot Malang berkomitmen menyediakan infrastruktur pendukung. Pihaknya akan menyiapkan ruang kerja sosial yang aman, terarah, dan sesuai dengan kebutuhan daerah untuk para terhukum.
“Melalui pidana kerja sosial semoga tidak sekedar memberikan efek jera, tetapi juga mengedepankan aspek pembinaan dan pemulihan, sehingga para pelaku dapat kembali ke masyarakat dengan lebih bertanggung jawab dan turut bersama membangun kota,” ujar Wahyu.
Lebih lanjut, Wahyu menjelaskan bahwa pihaknya akan berkolaborasi erat menyediakan lingkungan yang kondusif. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan sanksi ini dapat memberikan manfaat ganda, baik bagi rehabilitasi pelaku maupun dampak positif bagi masyarakat luas.
Sebagai informasi, Pidana Kerja Sosial (PKS) adalah sanksi baru dalam UU No. 1 Tahun 2023 yang akan berlaku efektif pada 2026. Sanksi ini menjadi alternatif pengganti hukuman penjara singkat bagi pelaku tindak pidana dengan ancaman kurang dari 5 tahun.
Dalam pelaksanaannya, pelaku tidak akan dipenjara, melainkan diwajibkan menjalani aktivitas bermanfaat seperti menjadi petugas kebersihan atau membantu di panti asuhan. Metode ini bertujuan mengurangi overkapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) serta mengedepankan pendekatan hukum yang lebih humanis. [luc/beq]

/data/photo/2025/12/16/69411747d0896.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5446076/original/099677200_1765872279-Rekonstruksi_kasus_pembunuhan_pakai_kawat_di_Depok.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

