DPR Sahkan Revisi KUHAP Menjadi Undang-Undang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dalam rapat paripurna pada Selasa (18/11/2025) hari ini.
Keputusan tersebut diambil dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR
Puan Maharani
setelah mendengar laporan Ketua Komisi III
DPR RI
Habiburokhman.
“Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap
RUU KUHAP
apakah dapat disetujui menjadi UU?” tanya Puan.
Semua peserta rapat paripurna pun kompak menyatakan “Setuju” terhadap
pengesahan RUU KUHAP
tersebut.
Puan menegaskan bahwa laporan hasil pembahasan KUHAP yang disampaikan oleh Habiburokhman sudah cukup jelas.
Pimpinan DPR RI pun berharap publik yang masih menolak proses legislasi tersebut tidak termakan hoaks terkait substansi KUHAP baru yang disahkan.
“Penjelasan dari Ketua Komisi III saya kira cukup bisa dipahami dan dimengerti sekali. Jadi hoaks-hoaks yang beredar itu, semua hoaks itu tidak betul, dan semoga kesalahpahaman dan ketidakmengertian kita sama-sama bisa pahami,” kata Puan.
Sebagai informasi, selama pembahasan, Panitia Kerja RUU KUHAP menyepakati 14 substansi utama yang menjadi kerangka pembaruan
hukum acara pidana
.
Berikut 14 poin substansi
revisi KUHAP
yang disepakati DPR:
1. Penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional.
2. Penyesuaian nilai hukum acara pidana sesuai KUHP baru yang menekankan pendekatan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif.
3. Penegasan prinsip diferensiasi fungsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin masyarakat.
4. Perbaikan kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antarlembaga.
5. Penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk perlindungan dari ancaman dan kekerasan.
6. Penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana.
7. Pengaturan mekanisme keadilan restoratif.
8. Perlindungan khusus kelompok rentan seperti disabilitas, perempuan, anak, dan lansia.
9. Penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam seluruh tahap pemeriksaan.
10. Perbaikan pengaturan upaya paksa dengan memperkuat asas due process of law.
11. Pengenalan mekanisme hukum baru seperti pengakuan bersalah dan penundaan penuntutan korporasi.
12. Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi.
13. Pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban atau pihak yang dirugikan.
14. Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topik: KUHP
-
/data/photo/2025/10/02/68de4d9088b1a.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
4 DPR Sahkan Revisi KUHAP Menjadi Undang-Undang Nasional
-
/data/photo/2025/11/17/691b322bc09ea.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Komplotan Pencurian Kabel Tower BTS di Tuban Diringkus Polisi, Pelaku Libatkan Karyawan Surabaya 17 November 2025
Komplotan Pencurian Kabel Tower BTS di Tuban Diringkus Polisi, Pelaku Libatkan Karyawan
Tim Redaksi
TUBAN, KOMPAS.com
– Penyidik Satreskrim Polres Tuban meringkus tujuh orang tersangka pencurian kabel di Tower BTS (
base transceiver station
) Desa Bejagung dan Tegalagung, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Aksi
pencurian kabeltower BTS
milik
provider
XL Smart-ZTE itu dilakukan dengan melibatkan orang dalam atau karyawan dari PT KID selaku perusahaan pengelola dan
maintenance
tower BTS tersebut.
Kasatreskrim Polres
Tuban
, AKP Bobby Wirawan Wicaksono Elsam mengatakan, tujuh orang tersangka berhasil diamankan petugas kepolisian di wilayah Kecamatan Turen, Kabupaten Malang.
“Ada tujuh tersangka yang berhasil diamankan kemarin lusa, dan dua tersangka masih DPO (daftar pencarian orang),” kata AKP Bobby Wirawan Wicaksono Elsam, Senin (17/11/2025).
Kasus pencurian yang dilakukan para tersangka terungkap setelah pihak kepolisian menerima laporan dari pihak perusahaan PT KID yang menjadi korban.
Aksi pencurian tersebut terjadi sekitar pukul 18.00 WIB, Rabu (5/11/2025), dengan melibatkan pekerja atau karyawan dari pihak perusahaan itu sendiri.
Para tersangka melakukan aksinya dengan cara memotong kabel tower tembaga dengan ukuran 2×10 mm, tipe D space 2×10 mm, panjang 1.000 meter, dengan jumlah kabel tiga.
Selain itu, pihak pelapor mengaku kehilangan barang inventaris dari perusahaan yang berupa laptop, HP, GPS, kompas,
tang climbing
, apar, dan ada material milik ZTE yang dibawa kabur.
“Awal mula kejadian adalah pelapor menerima informasi material Dismentel telah dicuri dengan cara dikupas kabelnya dan diambil tembaganya oleh orang tidak dikenal,” kata Bobby, Senin (17/11/2025).
Adapun untuk kerugian material yang dialami pihak PT KID atas tindak pencurian dengan pemberatan tersebut ditaksir senilai Rp 50.000.000.
Untuk perbuatannya, tersangka dijerat dengan Pasal 363 Ayat (1) ke-4 dan 5 KUHP tentang pencurian dengan pemberatan.
“Ancaman hukuman pidana penjara maksimal tujuh tahun,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
melalui donasi.
Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama
akun kamu. -

Desak Penertiban Prostitusi Terselubung, DPRD Surabaya Ingatkan Keberhasilan Risma Tutup Dolly
Surabaya (beritajatim.com) – Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, menyampaikan kekhawatirannya atas maraknya praktik prostitusi terselubung di berbagai titik di Kota Pahlawan. Kondisi ini dinilainya mengancam moral generasi muda dan mencederai reputasi Surabaya sebagai kota yang pernah berhasil menutup kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara.
“Kami berulangkali mengingatkan kepada Pemkot Surabaya melalui Satpol PP serta Bapemkesra yang menaungi lurah dan camat untuk tegas melakukan tindakan jika ada tempat-tempat yang ditengarai digunakan sebagai lokasi prostitusi,” ujar Yona di DPRD Surabaya, Senin (17/11/2025).
Politisi Gerindra yang akrab disapa Cak Yebe ini menjelaskan bahwa praktik prostitusi kini muncul dalam banyak bentuk, baik konvensional maupun berbasis digital. Dia menyebut sejumlah titik yang masih beroperasi meski sudah sering ditertibkan, termasuk kawasan Moroseneng, yang pada Oktober 2025 dilaporkan masih memerlukan patroli intensif oleh Satpol PP Kecamatan Benowo dari pukul 23.00 hingga 04.00 WIB setiap hari.
“Termasuk tempat-tempat pijat tradisional berizin Pelayanan Kesehatan Tradisional dan penginapan yang diduga dipakai untuk layanan prostitusi online,” jelasnya.
Selain Moroseneng, kawasan eks lokalisasi Dolly juga kembali menjadi fokus penggerebekan pada 16 November 2025, petugas mengamankan dua pekerja seks komersial (PSK) dan dua muncikari di sekitar Gang Dolly Putat Jaya Timur III B.
“Masih banyak lokasi rumah kos dan wisma yang meskipun tertutup secara formal, tetap digunakan untuk aktivitas prostitusi terselubung,” tegas Wakil Ketua DPC Gerindra Surabaya ini.
Beberapa regulasi telah jelas mengatur sanksi terhadap aktivitas tersebut, mulai dari Pasal 296 KUHP (pidana hingga 1 tahun 4 bulan), Pasal 506 KUHP (kurungan hingga 1 tahun), UU ITE (hingga 6 tahun penjara atau denda Rp 1 miliar), serta UU TPPO (penjara 3–15 tahun dan denda Rp 120–600 juta).
“Maraknya praktik prostitusi terselubung baik konvensional maupun melalui platform digital jelas melanggar regulasi,” tegasnya.
Menurut Cak Yebe, Surabaya sebagai kota besar memang rentan terhadap aktivitas prostitusi, tetapi dia menegaskan bahwa situasi ini harus dijawab dengan langkah konsisten dari seluruh perangkat pemerintahan serta dukungan masyarakat.
“Dibutuhkan kesadaran, komitmen, dan konsistensi semua pihak untuk bersama-sama menciptakan Surabaya bersih dari prostitusi. Tanpa itu semua pasti akan sia-sia,” ujar Cak Yebe.
Apalagi, kata dia, prostitusi membawa dampak besar terhadap moral generasi muda dan wajah kota Surabaya secara keseluruhan. Dia mengingatkan penutupan Dolly pada era Tri Rismaharini sebagai simbol penting keberhasilan kota pahlawan menjaga marwahnya.
“Dampak besar prostitusi adalah merusak moral generasi muda dan citra kota Surabaya. Penutupan Dolly dulu menjadi prestasi yang mengakhiri label Surabaya sebagai kota dengan wisata esek-esek terbesar di Indonesia,” pungkasnya. [asg/suf]
-

Kasus Korupsi Ponorogo, KPK Sita Rubicon dan Jam Tangan Mewah
Jakarta (beritajatim.com) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan rangkaian penggeledahan selama empat hari terkait penyidikan dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat Bupati Ponorogo periode 2021–2025 dan 2025–2030, Sugiri Sancoko. Dari penggeledahan tersebut, penyidik turut mengamankan sejumlah aset mewah, termasuk mobil Jeep Rubicon dan BMW.
Juru Bicara KPK, Budi Praseto, menjelaskan bahwa penggeledahan dilakukan sejak Selasa (11/11) hingga Jumat (14/11) di berbagai lokasi strategis.
“Tim penyidik menggeledah sejumlah lokasi, di antaranya Dinas PU, RSUD Ponorogo, rumah dinas bupati, rumah dinas sekda, rumah pribadi Sdr. SUG, rumah Sdr. YUM (Direktur RSUD Dr. Harjono), dan rumah Sdr. SC (pihak swasta rekanan RSUD),” ujar Budi.
Dari rangkaian penggeledahan tersebut, KPK menyita berbagai dokumen dan barang bukti elektronik yang berkaitan dengan penganggaran maupun proyek pembangunan.
“Selain itu, dari rumah Sdr. YUM, penyidik mengamankan sejumlah aset bergerak berupa jam tangan mewah, 24 sepeda, serta dua mobil mewah Jeep Rubicon dan BMW,” lanjutnya.
Budi menjelaskan bahwa setiap barang bukti yang disita akan diekstrak dan dipelajari untuk memperkuat pembuktian dalam penyidikan. Ia menegaskan bahwa penyitaan aset tidak hanya untuk kepentingan pembuktian, namun juga bagian dari proses awal asset recovery.
Empat Tersangka Ditahan
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan empat tersangka, masing-masing:
1. Sugiri Sancoko (SUG) – Bupati Ponorogo
2. Agus Pramono (AGP) – Sekretaris Daerah Ponorogo
3. Yunus Mahatma (YUM) – Direktur RSUD Dr. Harjono
4. Sucipto (SC) – Pihak swasta rekanan RSUD
Para tersangka ditahan selama 20 hari pertama, terhitung sejak Sabtu, 8 November 2025 hingga 27 November 2025, di Rumah Tahanan Negara Cabang Merah Putih KPK.
Tiga Klaster Perkara Korupsi
KPK mengungkapkan bahwa Sugiri Sancoko dijerat dalam tiga klaster perkara, yaitu:
1. Dugaan suap pengurusan jabatan
2. Suap proyek pekerjaan di RSUD Ponorogo
3. Penerimaan gratifikasi
Untuk kasus paket pekerjaan di lingkungan Pemkab Ponorogo, Sugiri diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b dan/atau Pasal 13 UU Tipikor.
Kemudian, dalam perkara yang melibatkan Direktur RSUD Yunus Mahatma, Sugiri diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau b dan/atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12B UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun Yunus Mahatma dalam klaster pengurusan jabatan diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b dan/atau Pasal 13 UU Tipikor.
Sementara itu, dalam dugaan tindak pidana korupsi bersama Sekda Agus Pramono, Sugiri kembali diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau b dan/atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12B UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (hen/but)
-

Amien Rais Ungkap Penyebab Nama Jokowi Sudah Sangat Tercemar
FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Ketua Majelis Syura Partai Ummat, Amien Rais melihat penetapan tersangka 8 aktivis termasuk Roy Suryo, Dr. Tifauzia Tyassuma, dan Rismon Sianipar adalah keputusan yang tidak masuk akal.
Penyidik Polda Metro Jaya menetapkan 8 tersangka pencemaran nama baik kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
Roy Suryo, Dr. Tifauzia Tyassuma, dan Rismon Sianipar yang berada di klaster kedua dijerat dengan pasal berlapis. Yakni Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP, dan/atau Pasal 32 ayat 1 juncto Pasal 48 ayat 1, dan/atau Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat 1, dan/atau Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat 4, dan/atau Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45A ayat 2 Undang-Undang ITE.
“Bagaimana bisa mencemarkan nama Jokowi, wong namanya sudah sangat tercemar,” kata Amien Rais dilansir dari kanal YouTube Amien Rais Official, Senin 17 November 2025.
Amien kesal karena mengganggap keputusan penyidik terkesan gegabah tanpa memahami duduk perkara sebenarnya.
Ia meminta para penyidik membaca dan memahami isi buku berjudul Jokowi’s White Paper yang disusun oleh Roy Suryo, Tifauzia Tyassuma alias dr. Tifa, dan Rismon Sianipar.
“Silakan membaca buku setebal 700 halaman itu. Buku ini seperti tesis untuk meraih PhD di kampus-kampus ternama,” tegas Amien.
Menurutnya, dalam buku Jokowi’s White Paper, penyidik akan mendapatkan pemahaman serta memiliki dasar yang kuat dan tidak terburu-buru dalam menyimpulkan sesuatu.
“Karena kenyataannya Jokowi tidak punya ijazah. Kalau punya ijazah (ditunjukkan) ini lho. Selesai,” tutup mantan Ketua MPR RI itu. (Pram/fajar)
-
/data/photo/2025/09/29/68da19bf7843a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Penyandang Disabilitas Mental Bebas dari Tanggung Jawab Pidana, Apakah Tepat?
Penyandang Disabilitas Mental Bebas dari Tanggung Jawab Pidana, Apakah Tepat?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pembahsaan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membuahkan sebuah ketentuan baru, yakni pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental atau intelektual berat tidak dapat dijatuhi pidana.
Komisi III DPR dan pemerintah telah sepakat bahwa pelaku dengan
disabilitas mental
tidak dipidana, melainkan akan dilakukan
rehabilitasi
atau perawatan.
“Poin ini merupakan usulan dari LBH Apik dan Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas. Mereka mengusulkan adanya pengaturan tambahan untuk menjamin pemberian keterangan secara bebas tanpa hambatan,” oleh perwakilan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi
RUU KUHAP
, David, dalam rapat panitia kerja Komisi III dan pemerintah di Gedung DPR RI, Rabu (12/11/2025).
Dalam draf RUU KUHAP yang dibacakan David, usulan itu dituangkan dalam Pasal 137A.
Ayat (1) berbunyi, “Terhadap pelaku tindak
pidana
yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual berat sebagaimana dimaksud dalam KUHP, pengadilan dapat menetapkan tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan.” Selanjutnya, ayat (2) mengatur bahwa tindakan tersebut ditetapkan dengan penetapan hakim dalam sidang terbuka untuk umum.
Ayat (3) menegaskan bahwa penetapan tindakan bukan merupakan putusan pemidanaan.
Adapun tata cara pelaksanaannya akan diatur melalui peraturan pemerintah (ayat 4).
Tim perumus menekankan bahwa ketentuan tidak adanya pertanggungjawaban pidana bagi penyandang disabilitas mental telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang bakal berlaku efektif pada 2 Januari 2026.
“Ini mengakomodir agar penyandang disabilitas mental mendapat rehabilitasi, bukan pemidanaan. Termasuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam KUHP,” kata David.
Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menyatakan, pemerintah sependapat dengan usulan tersebut karena sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban pidana dalam KUHP baru.
“Mohon maaf, Pak Ketua. Jadi, dalam KUHP itu Pasal 38 dan 39 tentang pertanggungjawaban pidana memang menyebutkan bahwa bagi penyandang disabilitas mental, mereka dianggap tidak mampu bertanggung jawab,” ujar Edward.
“Sehingga memang putusannya bukan pemidanaan, tetapi bisa merupakan suatu tindakan yang di dalamnya adalah rehabilitasi. Koalisi disabilitas juga sudah menemui kami, dan kami setuju dengan usulan dari LBH Apik ini,” ucap dia.
Sependapat dengan Eddy, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan aspek
mens rea
atau niat jahat sebagai faktor kunci.
Oleh sebab itu, Komisi III menilai, penyandang disabilitas mental tidak memiliki niat jahat ketika melakukan tindak pidana.
Namun, tidak semua pihak sependapat dengan kesepakatan DPR dan pemerintah tersebut.
Misalnya, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), organisasi advokasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas mental (PDM) di Indonesia.
Kepada
Kompas.com
, Koordinator Advokasi PJS Nena Hutahaean menilai rumusan
revisi KUHAP
yang menyebut penyandang disabilitas mental atau intelektual berat “tidak dapat dipidana” adalah keliru dan justru memperkuat stigma.
“Saya menolak rumusan RKUHAP yang menyatakan penyandang disabilitas mental ‘tidak bisa dipidana’ karena formulasi tersebut menyuburkan stigma bahwa kami tidak mampu bertanggung jawab, tidak memahami salah dan benar, dan pada akhirnya dianggap layak dicabut kapasitas hukumnya,” kata Nena.
Nena menegaskan bahwa prinsip tersebut bertentangan dengan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), konvensi internasional tentang hak-hak penyandang disabilitas yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 2006.
Indonesia sudah meratifikasi CRPD melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.
“Ini bertentangan dengan Pasal 12 CRPD yang menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki kapasitas hukum yang sama dengan non-disabilitas dan tidak boleh dicabut dalam kondisi apa pun, termasuk dalam bahaya dan konteks pemidanaan,” ujar dia.
Menurut Nena, pemerintah juga keliru merujuk Pasal 38 dan 39 KUHP baru.
Dia menekankan bahwa dua pasal yang dijadikan acuan dalam rumusan Pasal 137A RUU KUHAP tidak mengatur secara eksplisit bahwa penyandang disabilitas mental tidak bisa dipidana.
“Bahkan Pasal 38 dan 39 KUHP baru, yang dijadikan dasar usulan Pasal 137A, tidak pernah menyatakan bahwa penyandang disabilitas mental tidak dapat dipidana. Kedua pasal tersebut hanya mengatur bahwa dalam kondisi kekambuhan akut dengan gambaran psikotik, pidana dapat dikurangi dan/atau diganti dengan tindakan, yang berarti kemampuan pertanggungjawaban pidananya tetap diakui,” kata Nena.
Dalam kesempatan ini, Nena pun menegaskan bahwa kondisi disabilitas mental bersifat episodik, bukan permanen.
“Kekambuhan pada disabilitas mental bersifat episodik, bukan permanen, sehingga tidak dapat dijadikan dasar seseorang tidak dapat dipidana,” kata dia.
Yang penting, kata dia, adalah menilai hubungan antara kondisi mental dan tindak pidananya.
“Yang harus dipastikan adalah apakah tindakan dilakukan karena gambaran psikotik (adanya halusinasi atau waham) atau dalam kondisi stabil dan sadar penuh. Hal ini krusial karena menentukan ada tidaknya
mens rea
. Tanpa penilaian ini, pemidanaan berisiko salah sasaran dan melanggar prinsip keadilan,” ujar Nena.
Di sisi lain, pakar hukum pidana Albert Aries menjelaskan bahwa konsep putusan berupa tindakan (
measure
) harus dipahami dalam konteks
double track system
yang diperkenalkan KUHP baru.
Hal ini dapat berlaku kepada penyandang disabilitas mental yang terjerat tindak pidana.
“Putusan berupa tindakan (
measure
) adalah konsekuensi dari sistem dua jalur (
double track system
) yang diperkenalkan dalam KUHP Baru. Jadi selain sanksi pidana (
punishment
) ada pula tindakan (
measure
),” ujar Albert.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini menegaskan bahwa KUHP baru membedakan kondisi “tidak mampu” dan “kurang mampu” bertanggung jawab.
“KUHP Baru sudah membedakan antara tidak mampu dan kurang mampu bertanggung jawab bagi penyandang disabilitas mental dan disabilitas intelektual sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan 39 KUHP Baru,” katanya.
Dalam kondisi akut dengan gejala psikotik tertentu, kata Albert, pidana tidak dapat dijatuhkan kepada penyandang disabilitas.
“Maka terhadap yang bersangkutan tidak dijatuhi sanksi pidana apa pun, tapi dapat dikenai tindakan misalnya berupa perawatan di lembaga tertentu atau menjalani pemulihan secara terpadu agar bisa melaksanakan fungsi sosial bermasyarakat sebagai perwujudan dari keadilan rehabilitatif,” kata dia.
Albert menekankan bahwa untuk kondisi “kurang mampu bertanggung jawab”, pemidanaan tetap dimungkinkan dilakukan terhadap penyandang disabilitas.
“Sedangkan bagi penyandang disabilitas mental dan disabilitas intelektual yang pada saat melakukan tindak pidana kondisinya kurang mampu bertanggung jawab, maka terhadap yang bersangkutan sanksi pidananya bisa dikurangi namun dikenai tindakan pula,” imbuh dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Polemik Dualisme Yayasan di SMK Turen Malang, Berharap Damai
Malang (beritajatim com) – Pendiri Yayasan Pendidikan Teknologi Turen (YPTT) bermaksud untuk bertemu dan bersilaturrahmi kepada pengurusan YPTWT. Pertemuan menyikapi penetapan tersangka Ketua YPTWT.
Tujuannya untuk duduk bersama membicarakan konflik dua kubu yang selama ini tidak ada titik temu.
Sayangnya, saat perwakilan YPTT tiba di sekolahan, justru ditolak oleh pihak sekolah (sekuriti), setelah diberikan penjelasan dan menyerahkan foto copy penetapan tersangka ketum YPTWT, pihak YPTWT memilih untuk melakukan pertemuan di Mapolsek Turen.
“Tadi saya dan rekan rekan sempat ke sekolah, rencananya untuk bertemu dengan pihak YPTWT. Tapi di sekolah sama security tidak dibukakan pintu dan akhirnya pihak YPTWT minta ketemuan di Polsek Turen,” ujar Sampun, selaku pengawas dan juga Kuasa Hukum YPTT, Sabtu (15/11/2025).
Dalam pertemuan tersebut, pihak YPTT dihadiri Ketua, pengawas dan pengurus lainnya sebanyak 5 orang, sedang dari pihak YPTWT hanya dihadiri 2 orang yakni ketua 1 dan staf ahli. Dalam dialog, kedua belah pihak sepakat akan menyelesaikan masalah secara baik-baik.
Perwakilan YPTT Hadi Suwarno Putro yang juga sebagai Ketua mengatakan, bahwa kedatangannya ke YPTWT untuk bersilaturrahmi sekaligus membicarakan solusi dari konflik kedua belah pihak.
“Jadi tadi ketemu dengan pengurus ketua 1 Yayasan Pendidikan teknologi Waskito Turen kita mau bersilaturahmi tapi dihalangi oleh satpam, akhirnya pihak sana mengajak bertemu di kantor Polsek Turen. Itupun saya jelaskan bahwa satu laporan pidana saya ini berproses terus karena pidana itu, mau saya mengingatkan jangan sampai ada korban tersangka berikutnya, kita maunya baik, terus katanya ketua umumnya lagi sakit kena jantung,” tegas Hadi selaku Ketua YPTT.
Hadi menjelaskan, intinya jika ketua umum (Mulyono) akan menyerahkan jika dirinya bisa dipidanakan.
“Poinnya tadi saya kesana Itu maunya baik-baik bahwa saya itu mau menjelaskan pada pak Mulyono, karena pak Mulyono dulu sudah bertemu saya kalau memang bisa dipidanakan saya serahkan. Ini menjadi penyemangat saya biar nggak ada rame-rame, sembodo diserahkan itu harapan saya,” tuturnya
Hadi mengaku, kesimpulannya nanti ada pertemuan lagi, pihak YPTT juga akan merapatkan kapan ada pertemuan lagi.
“Harapan saya, nanti tempatnya ya tetap di kantor Yayasan Turen, saya sendiri kan belum tahu mungkin dua atau tiga hari lagi menunggu ada jawaban dan saya bisa konfirmasi lagi. Kalau menghormati proses hukum ya memang harus ada tersangka- tersangka yang lain, kalau nggak ada itikad baik. Karena tidak mungkin Mulyono itu seorang diri karena bentuknya Yayasan atau kolektif,” tegasnya
Terkait pertemuan yang di wakili Ketua 1 YPTWT saat di konfirmasi ketika menghadap notaris harusnya menunjukkan dokumen asli.
“Mangkanya tadi saya konfirmasi ke pak Budi ketika menghadap notaris nggak mempunyai akte yang asli, kalau pun itu terbit nggak merujuk pada akte asli berarti tidak benar. Maka sesuai dengan laporan saya dalam pasal 263, 266 KUHP, karena memberikan keterangan palsu, harapan saya ada tersangka lain, kalau memang mereka menghormati hukum dan sejarah ya melebur saja tidak apa-apa tapi tetap YPTT, mudah-mudahan mereka menyadari tobatlah,” bebernya.
Sementara itu, Budi winarto, Ketua 1 Yayasan Pendidikan Teknologi Waskita Turen (YPTWT) menyambut baik adanya perdamaian meski masih ber proses di Polda.
“Pertemuan ini ada proses perdamaian dan itu baik, meski dengan bermodalkan kita ini sebagai tersangka dan prosesnya Polda Jatim, semua orang tahu bahwa tersangka itu belum tentu melanggar hukum atau pelaku delik pidana,” ungkapnya.
Budi juga menyikapi sebelum proses pidana harusnya belajar dulu di hukum perdatanya.
“Ya kita ikuti prosesnya kami dulu memang punya pengalaman buruk dari kelompok mereka, sebagian lama dan sebagian baru, bahkan kabarnya ada yang Kombes masuk disitu. Seharusnya mereka belajar dulu dihukum perdatanya,” terang Budi.
Menurutnya, proses hukumnya di Polda sendiri masih debat kusir, itu berarti ada pendapat yang berbeda.
“Di Polda sendiri juga masih debat kusir, lihat saja panggilan awalnya kan penyidik, kemudian Direskrimum itu kan berarti ada pendapat yang berbeda seharusnya cukup penyidik saja, saya tidak tahu ada motivasi apa,” ujarnya.
Dari pertemuan awal di Polsek Turen ini, Pihak YPTWT menerima masukan yang nantinya akan didiskusikan ke para pimpinan dan pengurus.
“Ya kami terima sebagai akses masukan. Kemudian nanti kita diskusikan ke para Pimpinan dan pengurus yayasan semuanya. Dirinya juga berharap yang proses hukum biarlah berproses hukum, jangan sampai melakukan tindakan yang diluar hukum itu sendiri. Jangan sampai terjadi seperti dulu kles fisik menduduki tanpa tanpa izin,” pungkasnya. (yog/but)
-

Polda Metro Jaya tangkap polisi gadungan yang curi mobil di Jaktim
Jakarta (ANTARA) – Subdit Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya menangkap pelaku pencurian mobil dengan modus menjadi polisi gadungan di Rest Area Cibubur, Jakarta Timur pada Oktober lalu.
“Pelaku berinisial AS dan YW yang merupakan pasangan suami istri, ditangkap di sebuah rumah, di wilayah Cilodong, Depok pada Kamis (13/11),” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Budi Hermanto dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Budi menjelaskan kronologi pencurian tersebut berawal saat korban yang merupakan sopir taksi online berkenalan dengan pelaku saat memesan taksi itu.
“Komunikasi berlanjut setelah keduanya bertukar nomor telepon pribadi. Pada pertemuan tersebut, pelaku juga mengaku sebagai anggota kepolisian,” katanya.
Kemudian pada Minggu (2/11) pelaku mulai merencanakan aksinya dengan memesan layanan secara offline (di luar aplikasi) kepada korban.
“Pelaku kemudian meminta korban untuk mengantarkannya ke rumah sakit dengan alasan istrinya mengalami pendarahan,” kata Budi.
Selanjutnya tanpa menaruh curiga korban pun menuruti dan menjemput pelaku AS dan YW di rumahnya untuk menuju ke rumah sakit.
“Di tengah perjalanan korban diminta untuk berhenti di Rest Area Cibubur, Kemudian pelaku turun dari mobil dengan alasan hendak menemui seorang klien, sehingga korban dan pelaku YW menunggu di dalam mobil,” katanya.
Tak berselang lama, pelaku AS menelpon pelaku YW, meminta korban untuk mengantarkan sebuah map atau dokumen ke tempat ia menemui kliennya tersebut.
“Saat korban menuruti, pelaku kemudian memanfaatkan kesempatan ini. Di mana korban meninggalkan mobil dalam keadaan mesin menyala atau kunci masih tergantung, yang dengan mudah dibawa kabur oleh pelaku,” kata Budi.
Sejumlah barang bukti diamankan dari tangan pelaku yakni, mobil beserta STNK korban dan satu ponsel pelaku.
Atas kejadian ini, para pelaku dan barang bukti dibawa ke Polda Metro Jaya dan dijerat dengan pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan pemberatan dengan ancaman pidana sembilan tahun penjara.
Pewarta: Ilham Kausar
Editor: Syaiful Hakim
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

