Topik: KUHP

  • Polemik KUHAP, Jimly Asshiddiqie: Silakan Judicial Review ke MK

    Polemik KUHAP, Jimly Asshiddiqie: Silakan Judicial Review ke MK

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie angkat bicara terkait dengan sejumlah pihak yang menilai adanya pasal bermasalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan menjadi hukum formil yang mendampingi KUHP.

    Hal itu disampaikan dalam keterangan pers terkait serap aspirasi masyarakat di Gedung Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Selasa (25/11/2025).

    Menjawab pertanyaan mengenai kemungkinan pembahasan KUHAP, Jimly menegaskan bahwa regulasi baru tersebut merupakan capaian penting.

    “Ya pasti, itu juga akan kita diskusikan. Jadi kita harus syukuri KUHAP sudah ditetapkan dan mulai akan berlaku tahun depan,” ujarnya. 

    Dia menekankan bahwa pembaruan KUHAP memiliki sejarah panjang sebelum akhirnya disahkan.

    “Ini sejarah, kenapa, usaha untuk memperbarui KUHAP kan sejak 1963, baru berhasil sekarang. Lalu, 2023 kemarin dan berlakunya mulai tahun depannya, kita harus siap-siap,” jelasnya.

    Lebih lanjut, Jimly menjelaskan bahwa KUHAP baru membawa penyelarasan hukum material dan hukum formil, termasuk penguatan paradigma keadilan restoratif.

    “Yang kedua, yang terakhir KUHAP. Ini kan pasangan hukum material dan hukum formilnya. Di dalamnya salah satu yang juga mengalami penguatan kebijakan ialah mekanisme restoratif justice. Peradilan yang memulihkan, bukan sekedar membalas kesalahan. Nah ini filosofi baru yang mudah-mudahan lebih sesuai dengan karakter negara hukum kita,” katanya.

    Tanggapi Kritik Masyarakat Sipil

    Dalam kesempatan itu, Jimly juga merespons kritik dari kelompok masyarakat sipil, termasuk yang disampaikan dalam konferensi pers yang digelar sejumlah organisasi, seperti LBH, mengenai kekhawatiran bahwa KUHAP baru justru memperkecil peluang reformasi kepolisian.

    “Ya bisa begitu kalau tidak setuju, kalau ada yang abuse gitu, segera saja ajukan ke MK. Tidak usah nunggu 30 hari, tidak usah nunggu ditandatangani oleh Presiden,” kata Jimly.

    Lebih lanjut, dia menanggapi dorongan sebagian kelompok yang meminta Presiden Prabowo Subianto agar menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) sebagai solusi atas pasal-pasal yang dianggap bermasalah.

    Menurut Jimly, mekanisme yang tepat bukan penerbitan Perpu, tetapi uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

    “Lah iya diajukan judicial review. Itu mekanismenya. Perpu, nanti kalau perpu ditetapkan untuk kepentingan yang lain, marah,” ujarnya.

    Jimly menilai desakan agar pemerintah menerbitkan Perpu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan instrumen tersebut.

    “Nah ini supaya yang sesuai sama dia bikin perpu. Jadi perpu itu kayak jadi anu gitu loh. Itu nanti disalahgunakan. Yaudah sudah ada mekanismenya. Undang-undang sudah jadi dan sudah disahkan secara material sudah final. KUHAP itu sudah final disahkan di DPR berdasarkan pasal 20 ayat 5 undang-undang dasar kita,” tegasnya.

    Tak hanya itu, dia menjelaskan bahwa KUHAP secara material sudah berkekuatan hukum meskipun belum ditandatangani Presiden.

    “Tapi ada peluang di situ dalam 30 hari kalau Presiden tidak menandatangani, itu langsung sah menjadi undang-undang. Artinya sudah final secara material,” jelasnya.

    Oleh karena itu, dia menegaskan bahwa masyarakat yang keberatan sebaiknya segera menempuh jalur konstitusional.

    “Nah maka tidak usah nunggu 30 hari, ajukan aja ke MK dan MK pun harus membangun tradisi bahwa tidak usah nunggu diundangkan dulu pakai nomor baru diuji. Jadi rancangan undang-undang yang sudah ketok palu itu sudah final secara material, daripada nanti menimbulkan korban, segera aja diuji, minta prioritas sidang cepat. Jangan Perpu dong,” tandas Jimly.

  • Jaksa Sebut 11 Pihak Ambil Untung Dalam Kasus Pengadaan Pembiayaan Fiktif Telkom

    Jaksa Sebut 11 Pihak Ambil Untung Dalam Kasus Pengadaan Pembiayaan Fiktif Telkom

    Bisnis.com, JAKARTA — Jaksa penuntut umum menyebut terdapat 11 pihak yang diperkaya terkait dengan kasus dugaan korupsi pemberian pembiayaan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. dan beberapa anak perusahaan kepada swasta.

    JPU dari Kejaksaan Agung Muhammad Fadil Paramajeng menyebutkan sebanyak 11 pihak yang diperkaya tersebut telah merugikan keuangan negara sebesar Rp464,93 miliar.

    “Ke-11 pihak tersebut diperkaya melalui pemberian pendanaan pembiayaan fiktif, yang seolah-olah merupakan kerja sama dalam bentuk pengadaan barang dan jasa. Kegiatan tersebut dilakukan oleh PT Telkom melalui Divisi Enterprise Service (DES),” kata JPU dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dikutip dari Antara, Selasa (25/11/2025).

    JPU memerinci sebanyak 11 pihak dimaksud, yakni Direktur Utama PT Ata Energi Nurhandayanto sebesar Rp113,19 miliar; Direktur Utama PT Internasional Vista Kuanta Denny Tannudjaya Rp20 miliar; Direktur Utama PT Japa Melindo Eddy Fitra Rp55 miliar; serta Direktur Utama PT Green Energy Natural Gas Oei Edward Wijaya Rp45,28 miliar.

    Lalu, memperkaya Direktur Utama PT Fortuna Aneka Sarana Triguna Kamaruddin Ibrahim sebesar Rp12 miliar; Direktur PT Fortin Tata Nusantara Andi Imansyah Mufti Rp61,21 miliar; Direktur FSC Indonesia I Subali Rp33 miliar; serta pemilik PT Media Tata Nusantara Alam Hono Rp10,31 miliar.

    Kemudian, memperkaya Direktur Utama PT Batavia Primajaya Rudi Irawan senilai Rp66,57 miliar; General Manager Enterprise Segmen Financial Management Service PT Telkom tahun 2017-2020 August Hoth Mercyon Purba Rp980 juta; serta Account Manager Segmen Tourism Hospitality Service PT Telkom tahun 2015-2017 sekaligus pengendali PT Indi & Kei Herman Maulana Rp44,54 miliar.

    Dalam kasus tersebut, terdapat 11 terdakwa yang telah disidangkan, yakni August, Herman, Alam Hono, Denny, Eddy, Kamaruddin, Nurhandayanto, Oei, Rudi Irawan, Direktur Utama PT Forthen Catar Nusantara Andi Imansyah Mufti, serta Direktur Keuangan dan Administrasi PT Cantya Anzhana Mandiri RR Dewi Palupi Kentjanasari.

    Atas perbuatannya, 11 terdakwa tersebut diancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

    JPU menjelaskan perkara bermula saat Divisi Enterprise Service (DES) PT Telkom Indonesia, pada Januari 2016, melakukan pengembangan produk baru, mencari potensi proyek-proyek baru, dan menambah pelanggan baru, guna mencapai target performa bisnis.

    Menindaklanjuti target performa bisnis sales atau penjualan DES, mulai dikembangkan skema pembiayaan dari PT Telkom kepada perusahaan-perusahaan swasta dengan seolah-olah melalui beberapa tahapan.

    Tetapi pada kenyataannya, semua tahapan dalam proses pelaksanaan pengadaan barang tersebut tidak benar atau fiktif, di mana dokumen proses tahapan dibuat hanya untuk melengkapi syarat administrasi agar PT Telkom dapat mengeluarkan dana melalui perusahaan untuk pendanaan yang dibutuhkan pelanggan semata-mata untuk mencapai target performa bisnis penjualan DES.

  • Modus Kasus Korupsi Telkom: Eks Pegawai Buat Proyek Fiktif untuk Capai Target Penjualan

    Modus Kasus Korupsi Telkom: Eks Pegawai Buat Proyek Fiktif untuk Capai Target Penjualan

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah pegawai PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. disebut membuat proyek-proyek fiktif untuk mencapai target bisnis.

    Hal itu terungkap saat Jaksa Penuntut Umum pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (24/11/2025).

    JPU dari Kejaksaan Agung Muhammad Fadil Paramajeng menceritakan perkara bermula saat Divisi Enterprise Service (DES) PT Telkom Indonesia, pada Januari 2016, melakukan pengembangan produk baru, mencari potensi proyek-proyek baru, dan menambah pelanggan baru, guna mencapai target performa bisnis.

    Menindaklanjuti target performa bisnis sales atau penjualan DES, mulai dikembangkan skema pembiayaan dari PT Telkom kepada perusahaan-perusahaan swasta dengan seolah-olah melalui beberapa tahapan.

    Tetapi pada kenyataannya, semua tahapan dalam proses pelaksanaan pengadaan barang tersebut tidak benar atau fiktif, di mana dokumen proses tahapan dibuat hanya untuk melengkapi syarat administrasi agar PT Telkom dapat mengeluarkan dana melalui perusahaan untuk pendanaan yang dibutuhkan pelanggan semata-mata untuk mencapai target performa bisnis penjualan DES.

    Pada 2016 sampai dengan 2018, dalam rangka mencapai target performa bisnis penjualan DES PT Telkom, mantan Executive Vice President DES PT Telkom Siti Choiriana, August, Herman, dan Alam, telah menyetujui sembilan perusahaan untuk menjalin kerja sama seolah-olah untuk pengadaan barang dan jasa.

    Namun, sesungguhnya digunakan untuk pemberian pembiayaan atau pendanaan kepada PT Ata Energi, PT Internasional Vista Kuanta, PT Java Melindo Pratama, PT Green Energy Natural Gas, PT Fortuna Aneka Sarana Triguna, PT Forthen Catar Nusantara, FSC Indonesia I, PT Cantya Anzhana Mandiri, serta PT Batavia Prima Jaya.

    “Bersama sembilan perusahaan tersebut, PT Telkom, melalui DES, seolah-olah melakukan kerja sama dalam bentuk pengadaan barang dan jasa dengan maksud sesungguhnya untuk pemberian pendanaan pembiayaan,” ungkap JPU.

    Selain itu, PT Telkom dan anak perusahaan pun menunjuk lima anak usaha, yaitu PT PINS Indonesia, PT Infomedia Nusantara, PT Graha Sarana Duta, PT Telkom Infra, dan PT Sandi Putra Makmur.

    Penunjukan dilakukan untuk melaksanakan pengadaan barang dan jasa bersama-sama dengan beberapa vendor afiliasi sembilan perusahaan, yang bergerak bersama dengan PT Telkom.

    Adapun, sebanyak 11 terdakwa kasus dugaan korupsi pemberian pembiayaan Telkom dan beberapa anak perusahaan kepada swasta melalui pengadaan-pengadaan fiktif tahun 2016-2018, diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp464,93 miliar.

    JPU mengungkapkan kerugian negara disebabkan oleh adanya 11 pihak yang diperkaya para terdakwa dalam kasus tersebut.

    “Perbuatan para terdakwa secara bersama-sama telah memperkaya diri sendiri atau orang lain,” ujar JPU dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin.

    Adapun sebanyak 11 terdakwa dimaksud, yakni General Manager Enterprise Segmen Financial Management Service PT Telkom tahun 2017-2020 August Hoth Mercyon Purba, Account Manager Tourism Hospitality Service PT Telkom tahun 2015-2017 Herman Maulana, Executive Account Manager PT Infomedia Nusantara tahun 2016-2018 Alam Hono, Direktur Utama PT Forthen Catar Nusantara Andi Imansyah Mufti, serta Direktur Utama PT International Vista Quanta Denny Tannudjaya.

    Kemudian, Direktur Utama PT Japa Melindo Pratama Eddy Fitra, pengendali PT Fortuna Aneka Sarana dan PT Bika Pratama Adisentosa Kamaruddin Ibrahim, Direktur Utama PT Ata Energi Nurhandayanto, Direktur Utama PT Green Energy Natural Gas Oei Edward Wijaya, Direktur Keuangan dan Administrasi PT Cantya Anzhana Mandiri RR Dewi Palupi Kentjanasari, serta Direktur Utama PT Batavia Prima Jaya Rudi Irawan.

    Atas perbuatannya, para terdakwa diancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

  • 7
                    
                        KPK Dalami Dugaan Korupsi Proyek 31 RSUD yang Masuk Program Kemenkes
                        Nasional

    7 KPK Dalami Dugaan Korupsi Proyek 31 RSUD yang Masuk Program Kemenkes Nasional

    KPK Dalami Dugaan Korupsi Proyek 31 RSUD yang Masuk Program Kemenkes
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami dugaan korupsi pada proyek pembangunan 31 RSUD yang masuk dalam program Quick Win Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
    Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi
    KPK
    Asep Guntur Rahayu mengatakan, langkah tersebut diambil KPK seiring dengan terkuaknya kasus suap dalam proyek pembangunan
    RSUD Kolaka Timur
    (Koltim) yang melibatkan eks Bupati Koltim
    Abdul Azis
    .
    “Kita juga mendalami untuk yang 31 rumah sakit yang lainnya, karena kami menduga juga tidak hanya di perkara yang Kolaka Timur ini, ada peristiwa pidana seperti ini,” kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (24/11/2025) malam.
    Asep juga mengatakan, KPK akan sejalan dengan apa yang dilakukan kedeputian pencegahan untuk mencegah terjadinya kasus
    korupsi
    yang mirip dengan RSUD Kolaka Timur.
    “Tetapi, tentunya sejalan dengan apa yang kami lakukan, bagian atau kedeputian lain, kedeputian pencegahan, itu juga sedang melakukan upaya-upaya pencegahan, seperti itu supaya proyek yang lainnya itu bisa berjalan dengan baik,” ujar dia.
    Sebelumnya, KPK menetapkan lima tersangka korupsi proyek pembangunan RSUD Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, seusai operasi tangkap tangan pada awal Agustus 2025.
    “KPK menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan lima orang sebagai tersangka,” kata Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi, Asep Guntur Rahayu, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, 9 Agustus 2025.
    Kelima tersangka itu adalah Bupati Kolaka Timur (Koltim) Abdul Azis; penanggung jawab dari Kementerian Kesehata untuk proyek RSUD Koltim, Andi Lukman Hakim; pejabat pembuat komitmen proyek RSUD Koltimi Ageng Darmanto; serta Deddy Karnady dan Arif Rahman selaku pihak swasta.
    Dalam perkara ini, Abdul, Andi Lukman, dan Ageng ditetapkan sebagai tersangka penerima suap, sedangkan Deddy dan Arif menjadi tersangka pemberi suap.
    Abdul Azis diduga menerima fee sebesar Rp 1,6 miliar terkait proyek RSUD Koltim tersebut.
    Abdul, Andi Lukman, dan Ageng diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sementara, Deddy dan Arif diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polisi Gadungan Asal Magetan Tipu Wanita Tuban Hingga Ratusan Juta, Kini Diamankan

    Polisi Gadungan Asal Magetan Tipu Wanita Tuban Hingga Ratusan Juta, Kini Diamankan

    Tuban (beritajatim.com) – Kasus polisi gadungan di Kabupaten Tuban yang menipu seorang wanita dengan modus pacari korban dan berujung meminta uang hingga Rp 170 akhirnya pelaku diamankan oleh Polisi.

    Sempat diberitakan beberapa hari yang lalu, seorang wanita berinisial KNU (33) warga Desa Karangagung, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban pada 20 November 2025 melaporkan telah ditipu seseorang yang diduga mengaku sebagai anggota Polri bagian Resmob.

    Atas laporan tersebut tim dari Jatanras Satreskrim Polres Tuban gerak cepat melakukan penyilidikan dan berhasil mengungkap identitas asli pelaku serta kini telah diamankan pada Senin 24 November 2025 malam.

    Kasat Reskrim Polres Tuban AKP Bobby Wirawan Wicaksono Elsam membenarkan adanya laporan tersebut pada tanggal 27 Mei 2025 sekitar pukul 20.00 Wib di rumah korban yang beralamatkan Desa Karangagung, Kecamatan Palang, korban telah ditipu oleh seorang laki-laki berinisial AT (32).

    “Pelaku ini asal Dusun Blebang, Desa Ngiliran, Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur yang mengaku sebagai anggota Polisi,” ujar AKP Bobby sapanya. Selasa (25/11/2025).

    Lanjut, adapun modus pelaku yakni dengan menjalin hubungan dan AT yang berusaha meyakinkan korban bahwa dirinya benar-benar Polisi hingga memperlihatkan benda menyerupai pistol dan HT.

    Pelaku yang terus merayu korban dengan kata-kata melalui pesan whatshapp, hingga korban yang sudah dirasa jatuh cinta, pelaku kemudian memanfaatkan korban dengan meminta sejumlah uang.

    “Pelaku dan korban kemudian menjalin hubungan asmara, lalu pada tanggal 20 Mei 2025 pelaku mulai meminta uang dengan alasan pelaku mengalami kecelakaan sebesar Rp 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah),” imbuhnya.

    Setelah itu, pelaku terus secara inten atau berkala meminta uang kepada korban sampai dengan total sebesar Rp 170.000.000. Puncaknya, korban akhirnya sadar apakah benar pelaku tersebut merupakan anggota Kepolisian yang berdinas di bagian Resmob.

    “Korban lalu memulai melakukan pengecekan atau tanya-tanya ke teman-teman polisinya dan didapat informasi bahwa pelaku yang dimaksud bukan anggota Kepolisian atau hanya mengaku-ngaku saja,” kata Bobby.

    Pelaku telah diamankan pada hari Senin tanggal 23 November 2025 sekira pukul 23.00 Wib di depan rumah nya yang beralamatkan di Magetan. Atas tindakan tersebut, pelaku dijerat pasal tindak pidana penipuan atau penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 378 KUHP atau 372 KUHP.

    “Untuk barang bukti berupa bukti transfer, rekening koran, tangkapan layar percakapan antara korban dan pelaku,” pungkasnya. [dya/aje]

  • Majelis Hakim Tolak Nota Pembelaan Laras Faizati, Sidang Lanjut ke Pokok Perkara
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        25 November 2025

    Majelis Hakim Tolak Nota Pembelaan Laras Faizati, Sidang Lanjut ke Pokok Perkara Megapolitan 25 November 2025

    Majelis Hakim Tolak Nota Pembelaan Laras Faizati, Sidang Lanjut ke Pokok Perkara
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak nota pembelaan (eksepsi) terdakwa penghasutan demo akhir Agustus 2025,
    Laras Faizati
    , Senin (24/11/2025). Dengan putusan sela ini, persidangan perkara dilanjutkan menuju pemeriksaan pokok.
    “Seluruh keberatan penasihat hukum terdakwa tersebut sudah sepatutnya dinyatakan tidak diterima,” kata hakim ketua, I Ketut Darpawan, dalam putusan sela, Senin.
    “Menimbang bahwa oleh karena keberatan penasihat hukum terdakwa tidak diterima, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan menyatakan perkara ditangguhkan sampai dengan putusan akhir,” sambung hakim.
    Majelis hakim menilai perbedaan perbuatan Laras yang tercantum dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dengan hasil berita acara pemeriksaan (BAP) harus dibuktikan melalui pemeriksaan pokok di persidangan.
    “Uraian perbuatan terdakwa yang tidak sesuai dengan yang terdakwa terangkan pada saat pemeriksaan, menurut Majelis Hakim sudah terkait dengan materi pokok perkara yang harus diperiksa terlebih dahulu kebenarannya dalam persidangan sebelum diputus oleh Majelis Hakim,” tutur hakim.
    Poin pembelaan kuasa hukum Laras terkait salah pengetikan pasal oleh JPU juga tidak dianggap fatal dan dapat menyulitkan Laras dalam membela diri.
    “Mengenai keberatan penulisan Pasal 48 ayat 1 juncto 32 ayat 2 UU ITE menurut Majelis Hakim adalah kesalahan pengetikan yang tidak mengakibatkan terdakwa kesulitan untuk membela dirinya dalam persidangan,” ujar hakim.
    Pasal yang salah dicantumkan JPU adalah Pasal 48 ayat 1 juncto Pasal 32 ayat 2 UU ITE, seharusnya Pasal 48 ayat 1 juncto Pasal 32 ayat 1 UU ITE. Perbedaan keduanya terkait tindakan membagikan informasi secara daring.
    Ayat 1 mengatur tentang informasi atau dokumen orang lain yang diubah, dihilangkan, atau dirusak, sedangkan Ayat 2 mengatur penyampaian atau pemindahan informasi yang dilakukan orang yang tidak berhak.
    Majelis hakim menegaskan, perbuatan Laras telah memenuhi unsur tindak pidana dan akan tetap menggunakan pasal dakwaan sebagai dasar pemeriksaan dan pertimbangan persidangan.
    “Uraian dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum yang berisi perbuatan terdakwa yang dianggap memenuhi unsur tindak pidana disertai dengan waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan, menurut Majelis Hakim sudah cukup sebagai dasar pemeriksaan di persidangan,” kata hakim.
    Sidang dilanjutkan Kamis (27/11/2025) dengan agenda pembuktian oleh penuntut umum.
    JPU mendakwa Laras Faizati atas penghasutan publik melakukan tindakan anarkistis saat demonstrasi akhir Agustus 2025. Penghasutan ini terkait kematian
    driver
    ojek
    online
    (ojol) Affan Kurniawan yang dilindas kendaraan taktis Brimob pada Kamis (28/8/2025).
    Laras, yang bekerja di kantor ASEAN Inter-Parliamentary Assembly, kemudian mengungkapkan rasa marah dan sedihnya melalui unggahan Instagram Story keesokan harinya, Jumat (29/8/2025).
    Ia mengambil foto di dalam kantornya yang berdinding kaca, membelakangi Gedung Mabes Polri, berpose menunjuk dan membentangkan tangan ke arah gedung.
    Dalam salah satu unggahannya, Laras menuliskan narasi yang dinilai mengajak publik melakukan tindakan anarkis.
    “Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya adalah, ‘Ketika kantormu tepat disebelah Mabes Polri. Tolong bakar gedung ini dan tangkap mereka semua! Aku ingin sekali membantu melempar batu, tapi ibuku ingin aku pulang. Mengirim kekuatan untuk semua pengunjuk rasa!!’” kata jaksa.
    Selain unggahan, jaksa mengaitkan percobaan pembakaran fasilitas di sekitar Pom Bensin Mabes Polri dengan tindakan Laras. Laras ditangkap empat hari kemudian di rumahnya oleh aparat kepolisian dari Mabes Polri.
    Dalam kasus ini Laras didakwa dengan empat pasal sekaligus, yaitu Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2)Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang mengatur penyebaran informasi kebencian berbasis SARA.
    Selanjutnya, Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang ITE, yang mengatur perbuatan melawan hukum berupa perubahan, perusakan, atau penyembunyian informasi elektronik milik orang lain atau publik.
    Kemudian, Pasal 160 KUHP tentang penghasutan untuk melakukan kekerasan atau pelanggaran hukum terhadap penguasa umum.
    Lalu, Pasal 161 ayat (1) KUHP tentang penyiaran atau penyebaran tulisan yang berisi ajakan melakukan tindak pidana atau perlawanan terhadap pemerintah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pura-pura Tanya Waktu, Pemuda di Sukabumi Jambret HP Milik Bocah
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        25 November 2025

    Pura-pura Tanya Waktu, Pemuda di Sukabumi Jambret HP Milik Bocah Bandung 25 November 2025

    Pura-pura Tanya Waktu, Pemuda di Sukabumi Jambret HP Milik Bocah
    Tim Redaksi
    SUKABUMI, KOMPAS.com
    – Pemuda berinisial MA kini harus berhadapan dengan pihak kepolisian Polres Sukabumi.
    Pria berusia 28 tahun itu melakukan aksi penjambretan terhadap seorang bocah di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
    Diketahui, korban merupakan bocah wanita berusia 11 tahun.
    Pada Minggu (23/11/2025) sekitar pukul 11.30 WIB, ia tengah dalam perjalanan pulang sambil menggenggam
    handphone
    (HP).
    MA yang mengendarai sepeda motor berpura-pura menanyakan waktu kepada bocah tersebut, kemudian pelaku menjambret HP milik korban.
    “Pelaku langsung merampas paksa
    handphone
    milik korban. Bocah tersebut berusaha mempertahankan barangnya, tetapi pelaku tancap gas dan menyeret korban sejauh kurang lebih 200 meter hingga keduanya terjatuh,” kata Kasi Humas
    Polres Sukabumi
    Kota, AKP Astuti Setyaningsih, dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Senin (24/11/2025) siang.
    “Meski terjatuh bersama motornya, pelaku berhasil melarikan diri,” tuturnya.
    Dari kejadian tersebut, korban mengalami sejumlah luka lecet di area dada, perut, dan kedua kakinya.
    Kemudian, orangtua korban melaporkan kejadian itu kepada pihak kepolisian.
    “Menerima laporan itu, Unit Reskrim Polsek Sukaraja segera melakukan penyelidikan intensif dan berhasil mengidentifikasi serta menangkap pelaku sekitar pukul 22.00 WIB malam harinya,” tutur Astuti.
    Dalam penangkapan tersebut, polisi mengamankan barang bukti seperti satu unit
    handphone
    milik korban serta sepeda motor pelaku yang digunakan saat melakukan aksi kejahatan tersebut.
    Pelaku kini telah diamankan di Polsek Sukaraja.
    Ia juga harus mendekap di sel tahanan dan terancam Pasal 365 Jo 368 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan dan/atau pemerasan dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pencuri CD Wanita di Gresik Hanya Bisa Pasrah Diringkus Polisi

    Pencuri CD Wanita di Gresik Hanya Bisa Pasrah Diringkus Polisi

    Gresik (beritajatim.com) – Tersangka berinisial RAS (27) pelaku pencurian celana dalam (CD) perempuan hanya bisa pasrah saat diringkus polisi. Warga asal Perum Jetis Indah, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, diamankan di Jalan Raya Desa Ambeng-ambeng, Kecamatan Duduksampeyan, Gresik.

    Sebelum diringkus pelaku kerap mengincar pakaian dalam di Desa Randuagung, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Aksi ini dilakukan lebih dari sekali.

    Saat menjalani pemeriksaan, pelaku berdalih. Dirinya mengumpulkan CD perempuan untuk pelampiasan hawa nafsu pribadi.

    “Melakukan sebanyak tiga kali di desa yang sama, untuk kepuasan pribadi,” ujar Kanit Resmob Satreskrim Polres Gresik Ipda Andi Muh Asyraf Gunawan, kepada awak media, Senin (24/11/2025).

    Pama di Polres Gresik itu menjelaskan pelaku sudah beraksi sebanyak tiga kali di Desa Randuagung, Kecamatan Kebomas, Gresik. Semuanya dilakukan pada siang hari.

    “RAS kami amankan usai pulang bekerja di Desa Ambeng-ambeng Duduksampeyan, Gresik,” ungkapnya.

    Selain mengamankan tersangka, polisi juga menyita sejumlah barang bukti diantaranya rekaman CCTV, 1 unit sepeda motor Honda Scoopy merah bernopol S-3523-JDC, 1 helm warna putih, 1 jaket hoodie hitam, 1 sandal selop, dan 3 buah pakaian dalam jenis BH hasil curian.

    Atas perbuatannya ini, pelaku dijerat dengan pasal 362 KUHP tentang pencurian, yang ancaman hukuman maksimalnya mencapai 5 tahun penjara. [dny/ian]

  • Tiga Eks Pegawai Telkom Perkaya Diri hingga Rp 55,8 Miliar lewat Proyek Fiktif
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        24 November 2025

    Tiga Eks Pegawai Telkom Perkaya Diri hingga Rp 55,8 Miliar lewat Proyek Fiktif Nasional 24 November 2025

    Tiga Eks Pegawai Telkom Perkaya Diri hingga Rp 55,8 Miliar lewat Proyek Fiktif
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Sejumlah mantan petinggi PT Telkom didakwa memperkaya diri hingga Rp 55,8 miliar dalam kasus dugaan korupsi pemberian pembiayaan dari PT Telkom kepada beberapa anak perusahaan dan pihak swasta dalam sejumlah pengadaan proyek fiktif.
    Para terdakwa ini diketahui menjabat di Telkom tetapi sekaligus menjadi pemilik atau terafiliasi dengan perusahaan swasta yang terlibat dalam pengadaan fiktif.
    Misalnya, Executive Account Manager PT Infomedia Nusantara 2016-2018, Alam Hono, yang diketahui merupakan pemilik dari PT Media Patra Nusantara.
    “(Perbuatan para terdakwa) memperkaya Alam Hono selaku pemilik PT Media Patra Nusantara sebesar Rp 10,3 miliar,” ujar salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (24/11/2025).
    Dalam pembacaan surat dakwaan, JPU belum menjelaskan secara detail terkait posisi perusahaan milik Alam Hono.
    Namun, penerimaan ini merupakan bagian dari kerugian keuangan negara.
    Kemudian, terdakwa sekaligus Account Manager Tourism Hospitality Service PT Telkom 2015-2017, Herman Maulana, juga didakwa diperkaya hingga Rp 44,5 miliar.
    Uang ini didapatkan Herman melalui perusahaan PT Indi dan Kay.
    JPU juga belum menjelaskan keterlibatan perusahaan ini dalam konstruksi kasus yang menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 464,9 miliar.
    Sementara itu, terdakwa sekaligus General Manager Enterprise Divisi Enterprise Service (DES) Telkom 2017-2020, August Hoth Mercyon Purba, didakwa menerima imbalan atau fee dalam sejumlah pengadaan.
    August Hoth menerima sejumlah fee dari hasil kerja sama PT Telkom dengan beberapa perusahaan swasta.
    Dalam kerja sama dengan PT Ata Energy, August menerima fee sebesar Rp 800 juta.
    Kemudian, dalam kerja sama dengan PT Batavia Prima Jaya, August menerima fee senilai Rp 180 juta.
    Jadi, total fee yang diterima mencapai Rp 980 juta.
    Dalam kasus ini, para terdakwa membuat sejumlah pengadaan fiktif untuk memenuhi target performa bisnis yang ditetapkan oleh Siti Choirinah selaku Executive Vice President Divisi Enterprise Service PT Telkom Indonesia.
    August Hoth, Herman, dan Alam Hono melakukan sejumlah cara untuk mendapatkan pelanggan baru, mengembangkan produk baru, hingga mencari potensi proyek-proyek baru demi mencapai target tersebut.
    Tindakan pengembangan ini tidak sesuai dengan keputusan direksi PT Telkom.
    Di satu sisi, pencarian pelanggan baru bukan kewenangan dari Divisi Enterprise Service (DES), tetapi merupakan tugas Divisi Business Services.
    Dalam perjalanannya, para terdakwa menyetujui pembiayaan modal kepada beberapa perusahaan swasta.
    Berhubung DES tidak bergerak di bidang pembiayaan, August Hoth dkk.
    membuat sejumlah pengadaan fiktif agar PT Telkom bisa mencairkan dana kepada perusahaan swasta.
    “Namun pada kenyataannya, semua tahapan dalam proses pelaksanaan pengadaan barang tersebut adalah tidak benar atau fiktif,” lanjut jaksa.
    Pengadaan barang fiktif ini kemudian dihitung untuk memenuhi target performa bisnis.
    Dalam periode 2016-2019, minimal ada sembilan pengadaan fiktif yang disetujui terdakwa.
    Pengadaan di atas nama sejumlah produk, mulai dari baterai lithium ion hingga genset.
    Atas perbuatannya, para terdakwa diancam pidana Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
    Selain tiga terdakwa dari pihak Telkom, JPU juga menetapkan delapan terdakwa lain yang merupakan pihak swasta yang bekerja sama dalam pengadaan fiktif ini.
    Mereka adalah Direktur Utama PT Forthen Catar Nusantara, Andi Imansyah Mufti; Direktur Utama PT International Vista Quanta, Denny Tannudjaya; Direktur Utama PT Japa Melindo Pratama, Eddy Fitra; Pengendali PT Fortuna Aneka Sarana dan PT Bika Pratama Adisentosa, Kamaruddin Ibrahim; Direktur Utama PT Ata Energi, Nur Hadiyanto; serta Direktur Utama PT Green Energy Natural Gas, Oei Edward Wijaya; Direktur Keuangan dan Administrasi PT Cantya Anzhana Mandiri, RR Dewi Palupi Kentjanasari; dan Direktur Utama PT Batavia Prima Jaya, Rudi Irawan.
    Para pengusaha swasta ini masing-masing juga diperkaya melalui perbuatan melawan hukum dengan besarannya yang berbeda-beda.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tiga Eks Pegawai Telkom Perkaya Diri hingga Rp 55,8 Miliar lewat Proyek Fiktif
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        24 November 2025

    Modus Korupsi di PT Telkom: Eks Pegawai Bikin Proyek Fiktif demi Target, Berujung Gagal Bayar Nasional 24 November 2025

    Modus Korupsi di PT Telkom: Eks Pegawai Bikin Proyek Fiktif demi Target, Berujung Gagal Bayar
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Sejumlah mantan pegawai PT Telkom membuat pengadaan fiktif demi mencapai target bisnis yang ditetapkan perusahaan.
    Namun, proyek-proyek ini justru berujung gagal bayar dari pihak swasta hingga menyebabkan kerugian keuangan negara senilai Rp 464,9 miliar.
    Hal ini terungkap dalam surat dakwaan atas nama General Manager Enterprise Divisi Enterprise Service (DES) Telkom 2017-2020,
    August Hoth Mercyon
    .
    Jaksa Penuntut Umum mengungkapkan ada suatu pola berulang yang menyebabkan negara rugi besar.
    Misalnya, saat
    PT Telkom
    menyetujui untuk memberikan pembiayaan pada PT Japa Melindo Pratama.
    Saat itu, PT Japa telah mengatakan ada kesulitan modal dalam pengerjaan proyek pengadaan material mekanikal, elektrikal, dan elektronik di Puri Orchard Apartemen.
    “Kemudian, disepakati PT Telkom akan memberikan pembiayaan kepada PT Japa Melindo dengan menunjuk PT MDR Indonesia sebagai mitra pelaksana yang menjadi
    supplier
    atau penyedia barang,” ujar salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (24/11/2025).
    Pengadaan ini dinilai bermasalah karena PT Telkom bukan bergerak di bidang pembiayaan.
    Meski mengetahui hal ini, para terdakwa tetap memberikan pembiayaan menggunakan skema rekayasa.
    Divisi Enterprise Service (DES) PT Telkom membuat
    pengadaan fiktif
    untuk pengerjaan outbound logistik agar bisa mencairkan dana kepada PT Japa.
    Sebagai formalitas administrasi, DES menunjuk PT Graha Sarana Duta, anak perusahaan PT Telkom, untuk menjalankan kerja sama dengan PT Japa Melindo Pratama.
    Padahal, PT Graha Sarana Duta tidak memiliki lini bisnis dalam pengadaan material mekanikal, elektrikal, dan elektronik di Puri Orchard Apartemen yang awalnya menjadi proyek PT Japa Melindo Pratama.
    Untuk proyek fiktif ini, PT Telkom mencairkan pembiayaan senilai Rp 55 miliar kepada PT Japa.
    Proyek yang dicatat sebagai pengadaan outbound logistik ini kemudian dimasukkan dalam daftar pemenuhan target bisnis.
    Namun, PT Japa Melindo pada akhirnya tidak bisa membayarkan kembali Rp 55 miliar yang diberikan PT Telkom.
    “Bahwa terhadap pembiayaan tidak sah yang diberikan oleh PT Telkom kepada PT Japa Melindo Pratama sebagaimana tersebut di atas, Ir. Eddy Fitra selaku Direktur Utama PT Japa Melindo tidak bisa melakukan pelunasan sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 55 miliar,” jelas jaksa.
    Pembiayaan berkedok pengadaan barang atau jasa ini terjadi berulang kali.
    Begitu pun dengan gagal bayar dari perusahaan swasta yang menerima pembiayaan.
    PT Telkom pernah membuat kontrak kerja sama fiktif dengan PT Ata Energi.
    Kontrak ini untuk 400 unit rectifier, pekerjaan integrated control dan monitoring electronic power system, pengadaan 93 unit genset, pengadaan 710 unit lithium battery, dan pengadaan 700 unit baterai lithium.
    Proyek pengadaan fiktif ini bernilai Rp 113,9 miliar.
    Setelah pembiayaan ini dicairkan, Nur Hadiyanto selaku Direktur PT Ata Energi memberikan komitmen fee senilai Rp 800 juta kepada terdakwa August Hoth Mercyon Purba.
    “Bahwa terhadap pembiayaan tidak sah yang diberikan oleh PT Telkom kepada PT Ata Energi sebagaimana tersebut di atas, Nur Hadiyanto selaku Direktur PT Ata Energi tidak bisa melakukan pelunasan sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 113.986.104.600,” jelas jaksa.
    Dalam periode 2016-2019, minimal ada sembilan pengadaan fiktif yang disetujui terdakwa yang menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 464,9 miliar.
    Sebanyak 11 orang didakwa bersama-sama memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi.
    Tiga terdakwa merupakan internal PT Telkom, yaitu General Manager Enterprise Divisi Enterprise Service (DES) Telkom 2017-2020, August Hoth Mercyon; Account Manager Tourism Hospitality Service PT Telkom 2015-2017, Herman Maulana;dan Executive Account Manager PT Infomedia Nusantara 2016-2018, Alam Hono.
    Sementara, dari klaster swasta ada Direktur Utama PT Forthen Catar Nusantara, Andi Imansyah Mufti; Direktur Utama PT International Vista Quanta, Denny Tannudjaya; Direktur Utama PT Japa Melindo Pratama, Eddy Fitra; Pengendali PT Fortuna Aneka Sarana dan PT Bika Pratama Adisentosa, Kamaruddin Ibrahim; Direktur Utama PT Ata Energi, Nur Hadiyanto; serta Direktur Utama PT Green Energy Natural Gas, Oei Edward Wijaya; Direktur Keuangan dan Administrasi PT Cantya Anzhana Mandiri, RR Dewi Palupi Kentjanasari; dan Direktur Utama PT Batavia Prima Jaya, Rudi Irawan.
    Atas perbuatannya, para terdakwa diancam pidana Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.