Topik: KUHP

  • Sosok Satpam Depok, Gagalkan Jambret Rp300 Juta Buat Bajunya Sampai Sobek

    Sosok Satpam Depok, Gagalkan Jambret Rp300 Juta Buat Bajunya Sampai Sobek

    GELORA.CO  – Aksi heroik seorang satpam bernama Tri Agus Wiyono berhasil menggagalkan upaya penjambretan uang tunai senilai Rp300 juta di Bojongsari, Depok, Jawa Barat. 

    Meski bajunya robek dan sempat bergulat hebat, ia tetap mengejar hingga pelaku tertangkap.

    Kejadian itu berlangsung pada Kamis (10/7/2025) di depan Pegadaian Jalan Parung Ciputat, Curug, Bojongsari. 

    Saat itu, korban berinisial US, nasabah bank yang baru mengambil uang ratusan juta, menjadi target komplotan jambret.

    Para pelaku mengikuti mobil korban dan menggunakan modus lama: memberitahu ban bocor.

    Saat korban berhenti di bengkel dan membuka pintu mobil, pelaku langsung menyambar tas berisi uang di kursi belakang.

    Namun naas bagi penjambret. Aksi tersebut dilihat oleh Tri, satpam yang bekerja di sekitar lokasi.

    “Saya lihat pintu supir kosong, saya langsung hampiri. Pas buka pintu belakang, pelaku langsung saya comot,” ujar Tri saat ditemui di Mapolsek Bojongsari, Jumat (11/7/2025).

    Tri bergulat dengan pelaku hingga baju kerjanya robek. Namun ia tak gentar. Ia berhasil menjatuhkan salah satu pelaku, berinisial N (38), dan menahannya sampai polisi datang.

    “Saya banting ke arah kanan, kena pintu pegadaian. Dia masih berusaha kabur, tapi saya tahan. Baju saya ditarik sampai sobek,” jelasnya.

    Kronologi Penjambretan Rp300 Juta

    Korban baru saja menarik uang tunai dari bank saat dibuntuti komplotan jambret.

    Mereka berhenti di bengkel, lalu pelaku mengambil uang dari pintu belakang mobil.

    Dua pelaku utama adalah N dan I, yang datang menggunakan sepeda motor Yamaha Jupiter. Satu dari mereka standby di motor, sementara satu lainnya mengambil uang dari dalam mobil.

    Saat kabur, motor pelaku menabrak pengendara lain. Uang ratusan juta tercecer di jalan raya. Warga dan petugas langsung mengamankan lokasi.

    Kapolsek Bojongsari Kompol Fauzan mengonfirmasi bahwa dua pelaku, N dan RS, berhasil diamankan. Sementara tiga lainnya, termasuk satu berinisial I, masih buron.

    “Uang yang berhasil diamankan warga sebesar Rp138 juta, sedangkan Rp161 juta dibawa kabur pelaku,” ujar Kompol Fauzan.

    Atas kejadian ini, para pelaku dijerat dengan Pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan, dengan ancaman 7 tahun penjara

  • Sosok Satpam Depok, Gagalkan Jambret Rp300 Juta Buat Bajunya Sampai Sobek

    Sosok Satpam Depok, Gagalkan Jambret Rp300 Juta Buat Bajunya Sampai Sobek

    GELORA.CO  – Aksi heroik seorang satpam bernama Tri Agus Wiyono berhasil menggagalkan upaya penjambretan uang tunai senilai Rp300 juta di Bojongsari, Depok, Jawa Barat. 

    Meski bajunya robek dan sempat bergulat hebat, ia tetap mengejar hingga pelaku tertangkap.

    Kejadian itu berlangsung pada Kamis (10/7/2025) di depan Pegadaian Jalan Parung Ciputat, Curug, Bojongsari. 

    Saat itu, korban berinisial US, nasabah bank yang baru mengambil uang ratusan juta, menjadi target komplotan jambret.

    Para pelaku mengikuti mobil korban dan menggunakan modus lama: memberitahu ban bocor.

    Saat korban berhenti di bengkel dan membuka pintu mobil, pelaku langsung menyambar tas berisi uang di kursi belakang.

    Namun naas bagi penjambret. Aksi tersebut dilihat oleh Tri, satpam yang bekerja di sekitar lokasi.

    “Saya lihat pintu supir kosong, saya langsung hampiri. Pas buka pintu belakang, pelaku langsung saya comot,” ujar Tri saat ditemui di Mapolsek Bojongsari, Jumat (11/7/2025).

    Tri bergulat dengan pelaku hingga baju kerjanya robek. Namun ia tak gentar. Ia berhasil menjatuhkan salah satu pelaku, berinisial N (38), dan menahannya sampai polisi datang.

    “Saya banting ke arah kanan, kena pintu pegadaian. Dia masih berusaha kabur, tapi saya tahan. Baju saya ditarik sampai sobek,” jelasnya.

    Kronologi Penjambretan Rp300 Juta

    Korban baru saja menarik uang tunai dari bank saat dibuntuti komplotan jambret.

    Mereka berhenti di bengkel, lalu pelaku mengambil uang dari pintu belakang mobil.

    Dua pelaku utama adalah N dan I, yang datang menggunakan sepeda motor Yamaha Jupiter. Satu dari mereka standby di motor, sementara satu lainnya mengambil uang dari dalam mobil.

    Saat kabur, motor pelaku menabrak pengendara lain. Uang ratusan juta tercecer di jalan raya. Warga dan petugas langsung mengamankan lokasi.

    Kapolsek Bojongsari Kompol Fauzan mengonfirmasi bahwa dua pelaku, N dan RS, berhasil diamankan. Sementara tiga lainnya, termasuk satu berinisial I, masih buron.

    “Uang yang berhasil diamankan warga sebesar Rp138 juta, sedangkan Rp161 juta dibawa kabur pelaku,” ujar Kompol Fauzan.

    Atas kejadian ini, para pelaku dijerat dengan Pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan, dengan ancaman 7 tahun penjara

  • Korupsi, AI, dan Pleidoi “Di Persimpangan” Thomas Lembong

    Korupsi, AI, dan Pleidoi “Di Persimpangan” Thomas Lembong

    Korupsi, AI, dan Pleidoi “Di Persimpangan” Thomas Lembong
    Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
    SIDANG
    kasus dugaan korupsi impor gula tahun 2015-2016 oleh Thomas Prikasih Lembong adalah babak genting dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air. Ini jalan pembuktian untuk sekurang-kurangnya tiga hal.
    Pertama, apakah kebijakan oleh pejabat publik dapat dipidana dan apa alasan adikuat untuk menjerat kebijakan dengan hukum pidana?
    Kedua, apakah unsur kerugian negara secara absolut memastikan adanya korupsi di balik kebijakan oleh pejabat publik?
    Ketiga, apakah penegakan hukum yang berat ke soal kerugian negara akan terus jadi tumpuan di masa mendatang? Mungkinkah kasus
    Thomas Lembong
    bakal menjadi titik balik dalam urusan membidik koruptor secara tepat sasaran dan adil?
    Tiga soal ini sudah mencuat sejak “Centurygate”, Karen Agustiawan dan sekarang: Thomas Lembong.
    Pembacaan pleidoi oleh Thomas Lembong, 9 Juli 2025 lalu, memberi dimensi lain dalam memahami kasus dugaan korupsi mantan Menteri Perdagangan itu.
    Entah frustrasi atau tidak, ia membawa-bawa
    artificial intelligence
    atau kecerdasan buatan untuk meyakinkan hakim bahwa dirinya tak bersalah. Belakangan AI menjadi kekuatan “adimanusia” yang celakanya membuat manusia kian tergantung.
    Menurut Tom, jika AI ditanya atas kasus yang menjeratnya, AI akan menyimpulkan ia tak bersalah.
    “Dan pada saat itu, artificial intelligence akan menjawab ‘Berdasarkan ribuan halaman berkas, berita acara pemeriksaan, kompilasi aturan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dapat disimpulkan bahwa Thomas Lembong, Charles Sitorus dan sembilan individu dari sektor institusi gula tidak bersalah’,” papar Tom (
    Kompas.com
    , 9 Juli 2025).
    Dalam pleidoi itu, Tom berkilah AI dapat mendorong pada “penilaian yang sepenuhnya objektif” dan dengan begitu membantu manusia menemukan kebenaran. Sebuah sentilan yang kita tahu kepada siapa itu dialamatkan: Penegak hukum.
    Saat ini, pleidoi Tom tersebut mungkin masih sebuah nubuat. Di masa depan jauh mungkin saja menjadi kenyataan. Seiring derasnya kecerdasan buatan yang merambah banyak bidang, di masa depan, AI boleh jadi akan merampas peran hakim, jaksa atau kuasa hukum.
    Ketika manusia tak dapat mengendalikan AI, ia akan membiarkan tugas mahapenting tadi kepada bukan manusia. Hal yang absurd karena bagaimanapun manusia tetaplah manusia—tak semua hal bisa diserahkan pada AI, algoritma, robot, dan komputer.
    Mari menempatkan kasus Tom sebagai peristiwa yang dilakukan oleh manusia, menguntungkan manusia, lalu dituntut dan diadili oleh manusia.
    Pokok kata, kasus Tom harus dipandang sebagai kasus tentang Homo sapiens–spesies yang berkat volume otaknya disebut sebagai manusia bijaksana.
    Korupsi adalah musuh terbesar dan terberat bangsa ini. Sudah lama diingatkan proklamator, Bung Hatta. Korupsi menyengsarakan rakyat, namun bikin kaya pelaku, pihak lain serta korporasi yang diuntungkan oleh perbuatan aktor utama.
    Untuk urusan ini kita satu sikap: Maling, pencuri, garong, penilep, tukang sogok, tukang gasak duit negara mesti digelandang ke meja hijau dan mendapat hukuman seberat-beratnya.
    Diksi-diksi di atas yang diniatkan untuk mengganti–atau sebagai padanan–kata koruptor itu pernah digunakan
    Kompas
    di masa-masa awal harian tadi menapakkan jejak dalam sejarah jurnalisme Indonesia.
    Diksi-diksi itu sangat pas–mengutip wejangan seorang guru–karena lebih tanpa tedeng aling-aling, apa adanya serta dapat memberi efek “muak” kepada masyarakat luas sehingga emoh meniru perbuatan koruptor.
    Koruptor tak ubahnya maling ayam, seharusnya diperlakukan sama dan justru lebih berat dari maling, karena mudharat yang ditimbulkan jauh lebih besar, masif dan luas.
    Sebaiknya sematan stempel itu diberikan setelah kasusnya telah berkekuatan hukum tetap, inkrah. Sebelum itu, tersangka dan terdakwa kasus dugaan korupsi mesti diperlakukan dengan hormat. Asas praduga tak bersalah berlaku karena itu terdakwa boleh dan wajib membela diri.
    Di sini, relevan kalimat Pramoedya Ananta Toer di tetralogi “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah” dan “Rumah Kaca”.
    Lewat seorang tokohnya, terukir kalimat menyentak ini. “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Aspek “adil” dan “keadilan” ini mestinya menonjol dalam persidangan di pengadilan.
    Korupsi menghendaki adanya dua hal: Ada niat jahat (
    mens rea
    ) dan perbuatan jahat (
    actus reu
    s). Menurut Legal Information Institute, “mens rea” diterjemahkan dari bahasa Latin. Artinya pikiran bersalah.
    Mens rea
    adalah keadaan pikiran yang diwajibkan oleh UU untuk menghukum terdakwa tertentu atas kejahatan tertentu.
    Saat kali pertama diumumkan Kejaksaan Agung, akhir Oktober 2024, Thomas Lembong dijerat Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Ancaman hukuman maksimalnya seumur hidup. Dan ini konstruksi tuduhan perbuatan jahat kepada Tom.
    Pada 2015, ia diduga memberikan izin kepada perusahaan swasta, PT AP, untuk mengimpor gula kristal mentah/GKM (
    Kompas.com
    , 29 Oktober 2024). Besarnya 105.000 ton.
    PT AP lalu mengolah GKM menjadi gula kristal putih atas seizin Tom. Tindakan itu dinilai tak senapas dengan rapat koordinasi antarkementerian pada 12 Mei 2015, yang menyatakan Indonesia surplus gula dan tidak butuh impor.
    Menurut Kejaksaan, Thomas Lembong telah melanggar Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004. Beleid ini menyatakan, pemerintah hanya boleh mengimpor gula kristal putih yang siap dijual ke masyarakat.
    Patgulipat berikutnya, masih menurut Kejaksaan, gula kristal putih yang telah diolah lalu dibeli PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
    Kemudian delapan perusahaan swasta menjualnya kepada masyarakat dengan harga Rp 16.000 per kilogram, lebih mahal dibandingkan harga eceran tertinggi (HET) gula saat itu, yang sebesar Rp 13.000 per kilogram. Akibatnya negara merugi sebesar Rp 400 miliar.
    Belakangan kerugian negara itu membengkak menjadi Rp 578 miliar menurut hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Setidaknya begitu yang dipaparkan Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan (
    Kompas.com
    , 6 Maret 2025).
    Selanjutnya, dalam sidang 4 Juli, jaksa menuntut Thomas Lembong hukuman tujuh tahun penjara. Namun Tom tak dibebani untuk membayar uang pengganti. Jaksa juga tidak menyebut Tom memperoleh keuntungan dari perkara tersebut (
    Kumparan.com
    , 4 Juli 2025).
    Pidana uang pengganti hanya dibebankan kepada para terdakwa dari pihak swasta.
    Selama ini ada dua pasal yang sering digunakan untuk menggaruk tersangka atau terdakwa kasus korupsi, yakni Pasal 2 ayat 1 serta Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
    Pasal 2 ayat (1) menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah.
    Selanjutnya, Pasal 3 menyatakan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal satu miliar.
    Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor ini menegaskan bahwa perbuatan korupsi itu harus ada niat dan perbuatan “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara”. Ketika ada kerugian negara akibat niat dan perbuatan jahat dari pejabat publik, maka itu korupsi.
    Kebijakan atau
    policy
    oleh pejabat publik terikat pada ruang lingkup masalah, ruang dan waktu. Ia tak terjadi di ruang hampa.
    Sang pejabat harus mengambil
    policy
    berdasarkan konteks masalahnya. Kebijakan itu bisa benar dan salah. Imbas terbitnya
    policy
    itu bisa menguntungkan, dan dapat juga merugikan negara.
    Selama si pejabat tak punya niat jahat dan perbuatan jahat, sebuah kebijakan dari pejabat publik yang merugikan negara, mestinya tidak dikategorikan sebagai korupsi dan pelakunya tak dapat dijerat pidana.
    Itulah mengapa belakangan menyembul usulan untuk mempertegas hal-ihwal yang dikategorikan sebagai korupsi.
    Kebijakan oleh pejabat publik yang merugikan negara, secara langsung atau tidak langsung, “tidak disebut korupsi” selama sang pejabat tidak menerima uang sogok atau suap atau gratifikasi dari orang lain atau korporasi yang mendapat manfaat alias diperkaya oleh kebijakan yang diterbitkan oleh si pejabat publik.
    Ide ini untuk membedakan mana yang administrasi dan mana yang kriminal. Kesalahan administrasi beda dengan kriminalitas.
    Kriminalitas atau kasus kriminal wajib dijerat hukum, sedang kesalahan administrasi harusnya tidak berujung kriminalisasi.
    Thomas Lembong memberi judul pleidoinya dengan dua kata: “Di persimpangan”. Dia memang ada di persimpangan jalan, divonis hukuman penjara seturut tuntutan jaksa, lebih berat, lebih ringan atau justru bebas.
    Dalam pemberantasan dan penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi, saya kira negeri kita senasib dengan Thomas: Berada di persimpangan jalan.
    Bukan saja karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dibuat lemah di masa pemerintahan Joko Widodo, tapi lantaran pemberantasan korupsi kerap bertumpu pada unsur kerugian negara.
    Saatnya dua pasal UU Tipikor, yakni Pasal 2 ayat 1 serta Pasal 3, ditinjau ulang. Sudah sejak 1999 atau 26 tahunan, dua pasal itu disebut-sebut telah menjadi “pasal primadona” dalam tumpas kelor terhadap koruptor.
    Jangan sampai dua pasal itu menjadi “pedang” yang pada sebagian kasus atau perkara justru menghantam alamat yang salah.
    Hukum bukan untuk menghukum, tapi hukum mengabdi pada kebenaran dan keadilan. Adili koruptor yang memang menggasak duit negara—bukan mereka yang tak terbukti menerima uang sogok atau suap.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3
                    
                        Tuding Ijazah Jokowi Palsu, Dokter Tifa: Tak Mungkin KKN Awal 1985, tapi Tahun Itu Wisuda
                        Megapolitan

    3 Tuding Ijazah Jokowi Palsu, Dokter Tifa: Tak Mungkin KKN Awal 1985, tapi Tahun Itu Wisuda Megapolitan

    Tuding Ijazah Jokowi Palsu, Dokter Tifa: Tak Mungkin KKN Awal 1985, tapi Tahun Itu Wisuda
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Dokter Tifauzia Tyassuma atau akrab disapa
    dokter Tifa
    mempertanyakan waktu pelaksanaan kuliah kerja nyata (KKN) Presiden ke-7 Indonesia Joko Widodo dan kelulusan yang terjadi pada tahun yang sama.
    Ia lantas membuat analisis untuk mencocokkan dokumen
    ijazah
    dengan perilaku, pernyataan, atau pendapat yang pernah disampaikan oleh Jokowi.
    Tujuannya untuk mengidentifikasi adanya ketidaksesuaian, seperti inkonsistensi, inkoherensi, atau bentuk inapropriasi lainnya.
    “Seperti misalnya inkonsistensi itu pada KKN (kuliah kerja nyata). Bareskrim mengatakan, KKN itu terjadi pada akhir 1983. Ternyata, yang bersangkutan mengatakan awal tahun 1985,” kata dokter Tifa di
    Polda Metro
    Jaya, Jumat (11/7/2025).
    Temuan tersebut dikaitkan dengan tanggal wisuda Jokowi yang tercantum dalam ijazah, yakni pada November 1985.
    “Inkoheren dengan KKN awal 1985. Sebab, tidak mungkin kalau mahasiswa UGM itu awal 1985 baru KKN, lalu November 1985 juga sudah wisuda,” ujar dia.
    Dokter Tifa
    menjelaskan, ketidakcocokan dalam data tersebut menjadi dasar dari obyek penelitiannya terhadap dugaan
    ijazah palsu
    tersebut.
    “Di situlah saya berperan untuk melakukan itu. Dan kemudian penelitian saya ini juga tidak cuma terhadap perilaku yang terlihat pada video maupun media-media,” ungkap dia.
    “Tapi juga pada pernyataan-pernyataan verbal, tapi juga pada data sains. Jadi, kita ini tidak boleh menafikan ya sekarang ini dunia digital itu data yang ada pada digital itu adalah bagian dari data sains,” tambah dia.
    Untuk diketahui, Jokowi melaporkan tudingan ijazah palsu ke Polda Metro Jaya, Rabu (30/4/2025). Laporan tersebut teregistrasi dengan nomor LP/B/2831/IV/2025/SPKT/
    POLDA METRO
    JAYA.
    Dalam kronologi yang disampaikan Jokowi saat membuat laporan, terdapat lima nama. Mereka adalah Roy Suryo Notodiprojo, Rismon Hasiholan Sianipar, Eggi Sudjana, Tifauzia Tyassuma, dan Kurnia Tri Royani.
    Kendati demikian, terlapor dalam perkara ini masih dalam penyelidikan karena memerlukan pembuktian dalam proses penyelidikan.
    Subdit Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya menerima barang bukti dari Jokowi berupa satu buah flashdisk berisi 24 tautan video YouTube dan konten dari media sosial X, fotokopi ijazah beserta print out legalisirnya, fotokopi sampul skripsi, serta lembar pengesahan.
    Dalam kasus ini, Jokowi menjerat dengan Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP, serta Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat (1), Pasal 32 ayat (1) juncto Pasal 48 ayat (1), dan/atau Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
    Terlepas dari itu, Polda Metro Jaya kini juga menangani sejumlah laporan lain terkait kasus serupa.
    Secara keseluruhan, termasuk laporan yang melibatkan Presiden Jokowi maupun laporan lainnya, setidaknya terdapat dua objek perkara yang sedang diselidiki, yaitu pencemaran nama baik dan penghasutan, serta penyebaran berita bohong.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Serangan Balik Jaksa Jawab Pembelaan Tom Lembong, Bantah Ada Politisasi Kasus

    Serangan Balik Jaksa Jawab Pembelaan Tom Lembong, Bantah Ada Politisasi Kasus

    Serangan Balik Jaksa Jawab Pembelaan Tom Lembong, Bantah Ada Politisasi Kasus
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kasus dugaan korupsi importasi gula yang menjerat Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, masih bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat.
    Terbaru, dalam sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan tanggapan jaksa atau replik atas pleidoi Tom Lembong, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membantah adanya politisasi.
    Tom Lembong
    sebelumnya mengungkap dua sinyal dari penguasa akibat dirinya bergabung dalam Tim Kampanye Nasional (Timnas) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
    Ia menyebut, dua sinyal tersebutlah yang membuatnya terancam pidana lewat kasus dugaan korupsi importasi gula.
    “Sinyal dari penguasa sangat jelas. Saya bergabung ke oposisi, maka saya terancam dipidana,” ujar Tom Lembong saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (9/7/2025) malam.
    Sinyal pertama adalah saat surat perintah penyidikan (sprindik) kasus impor gula yang diterbitkan Kejaksaan Agung (Kejagung).
    Setelah itu, ia menangkap sinyal kedua dari penguasa saat Tom Lembong ditangkap dan dibui atas kasus dugaan korupsi importasi gula.
    “Sinyal itu sangat jelas saat saya ditangkap dan dipenjara dua minggu setelah penguasa mengamankan kekuasaannya dengan pelantikan resmi di DPR RI,” ujar Tom Lembong.
    JPU membantah pernyataan Tom Lembong.
    Jaksa mengatakan, pernyataan terkait adanya politisasi dalam kasus impor gula itu tidak berdasar dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya dalam persidangan.
    “Atas dasar fakta hukum terhadap materi pembelaan terdakwa yang menyatakan perkara korupsi yang dituduhkan kepada terdakwa, termasuk penetapan sebagai tersangka adalah bentuk kriminalisasi dan politisasi adalah sangat tidak benar, dan tidak berdasar serta hanya merupakan klaim sepihak dari terdakwa yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya dalam persidangan,” kata Jaksa dalam sidang replik di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (11/7/2025).
    Jaksa mengatakan, penyidikan dan penuntutan dari Kejaksaan Agung dalam kasus tersebut dilakukan secara profesional melalui serangkaian tahapan penyelidikan dan penyidikan.
    Penyidikan yang dilakukan mulai dari pemeriksaan saksi-saksi, ahli, dan pengumpulan barang bukti dilakukan sesuai ketentuan Pasal 184 KUHP.
    “Sehingga penetapan tersangka dalam perkara ini telah dilakukan secara profesional, proporsional, dan transparan,” tuturnya.
    Jaksa mengatakan, majelis hakim praperadilan telah menyatakan bahwa penetapan tersangka Tom Lembong sesuai dengan prosedur dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait persyaratan penetapan tersangka.
    Jaksa mengakui bahwa dalam kasus ini, Tom Lembong tidak pernah menerima keuntungan dari kasus impor gula.
    “Bahwa dalam perkara a quo berdasarkan fakta persidangan, terdakwa tidak diperkaya ataupun diuntungkan,” kata Jaksa.
    Namun, Jaksa menyebut bahwa Tom Lembong telah memperkaya orang lain atau korporasi.
    “Namun, perbuatan terdakwa dalam memberikan penugasan kepada PT PPI, Inkopkar, Inkoppol, dan Puskopol, serta pemberian persetujuan impor kepada 8 pabrik gula rafinasi dan PT Kebun Tebu Mas yang dilakukan secara melawan hukum telah memperkaya atau memberi keuntungan kepada orang lain atau korporasi,” ujar Jaksa.
    Jaksa meminta hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat untuk menolak pleidoi atau nota pembelaan Tom Lembong.
    “Menyatakan pembelaan yang diajukan terdakwa dan penasihat hukum terdakwa tidak dapat diterima,” kata Jaksa.
    Jaksa juga meminta hakim untuk tetap mengabulkan surat tuntutan Penuntut Umum yang telah dibacakan pada persidangan sebelumnya, pada hari Jumat, 4 Juli 2025.
    “Menghukum terdakwa sebagaimana telah kami nyatakan dalam surat tuntutan Penuntut Umum,” ujarnya.
    Jaksa menuntut Tom Lembong dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan.
    Tindakan Tom Lembong dinilai merugikan keuangan negara sebesar Rp 578 miliar, termasuk memperkaya para pengusaha gula swasta.
    Usai sidang, Tom Lembong menilai replik yang disampaikan jaksa masih tetap dalam upaya untuk memutarbalikkan aturan.
    “Ya, balik lagi, tetap bersikeras untuk memutarbalikkan peraturan. Aturan mengatakan, dilarang bawa masuk ke dalam pesawat korek api, terus saya dipidanakan karena bawa masuk ke dalam pesawat, korek telinga,” kata dia.
    “Kalau saya lihat dalam repliknya hari ini, kalau jaksa sudah masuk lubang, malah gali makin dalam, bukannya keluar dari lubang,” sambungnya.
    Terkait jaksa yang membantah bahwa kasus impor gula tersebut bukan bagian dari politisasi, Tom mengatakan bahwa selama menjalani 20 kali persidangan, tidak ada satu pun keterangan dari saksi atau ahli yang membuktikan tuduhan jaksa kepadanya.
    Karenanya, Tom menilai kasus dugaan korupsi yang dialamatkan kepadanya sulit disebutkan hanya sebatas proses hukum.
    “Jadi sulit kalau kita mau simpulkan bahwa ini murni soal hukum atau keadilan. Berarti harus ada faktor lain, harus ada motivasi lain, ya kan,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Nilai Ada Ketidaksinkronan RUU KUHAP dengan UU KPK – Page 3

    KPK Nilai Ada Ketidaksinkronan RUU KUHAP dengan UU KPK – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai ada ketidaksinkronan antara Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dengan UU KPK.

    Oleh sebab itu, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan bahwa lembaga antirasuah tersebut sempat menggelar diskusi kelompok terpumpun (FGD).

    “Benar, pada Kamis (10/7), KPK menggelar FGD dengan para ahli hukum untuk membahas terkait implikasi rancangan KUHAP, yang di mana beberapa pasalnya tidak sinkron dengan tugas dan kewenangan KPK yang telah diatur dalam UU,” ujar Budi seperti dilansir Antara.

    Lebih lanjut Budi menjelaskan bahwa UU yang dimaksud adalah UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Sementara itu, dia mengatakan bahwa para ahli hukum dalam FGD tersebut mendukung penuh adanya pengaturan lex specialis dalam RUU KUHAP terkait penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagaimana yang dilakukan KPK selama ini.

    “Yang mana korupsi dipandang sebagai extraordinary crime, dan juga menjadi lex specialis dalam KUHP. Terlebih, kewenangan KPK dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan juga telah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi,” katanya.

     

  • Tiga Pelaku Komplotan Jambret Rp 300 Juta di Depok Masih Buron
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        11 Juli 2025

    Tiga Pelaku Komplotan Jambret Rp 300 Juta di Depok Masih Buron Megapolitan 11 Juli 2025

    Tiga Pelaku Komplotan Jambret Rp 300 Juta di Depok Masih Buron
    Tim Redaksi
    DEPOK, KOMPAS.com –
    Polisi memburu pria berinisial I dan dua orang tidak dikenal (OTK) yang kabur dalam aksi komplotan jambret senilai Rp 300 juta di depan Bengkel Final Gear, Jalan Parung Ciputat, Bojongsari, Kota
    Depok
    .
    “Ada tiga pelaku lagi yang kami berkomitmen untuk (tangkap) demi mengungkap kasus ini secara terang benderang,” kata Kapolsek Bojongsari Komisaris Fauzan Thohari, dalam jumpa pers, Jumat (11/7/2025).
    Fauzan menyampaikan, insiden yang terjadi pada Kamis (10/7/2025) bermula saat korban berinisial U berangkat ke bank untuk mengambil uang Rp 300 juta.
    Proses transaksi di bank berlangsung sekitar dua jam sebelum korban kembali ke rumahnya di daerah Pengasinan, Sawangan, menggunakan mobil Toyota Rush.
    “Pada saat melintas di depan Polsek Parung, ada pengendara sepeda motor memberitahu bahwa ban mobil bocor,” ungkapnya.
    Hal itu tentu membuat korban dan seorang saksi yang bersamanya di mobil mencari lokasi untuk menepi. Korban memilih memberhentikan kendaraannya di depan bengkel.
    “Korban bersama saksi turun dari mobil yang aman. Sesaat setelah turun mobil, seorang security berteriak ‘maling, maling!’ karena melihat ada pelaku mengambil tas dari dalam mobil,” ujar Fauzan.
    Teriakan itu membuat warga setempat langsung mengejar dan menangkap dua pelaku berinisial N (29) dan R (58).
    Kedua pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polsek Bojongsari dan dikenakan Pasal 363 KUHP dengan ancaman maksimal tujuh tahun penjara.
    Adapun barang bukti yang diamankan meliputi satu unit motor Suzuki Satria FU Nopol B 4880 TAH, satu unit Yamaha Jupiter MX Nopol B 3359 KLC, dua tas selempang, satu unit ponsel Samsung, satu unit ponsel Oppo, dompet hitam, satu buah BPKB dan STNK motor Satria, dua buah KTP pelaku, satu unit ponsel Nokia, satu unit ponsel Redmi, satu jam tangan, dan dua kartu ATM.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Masuk Babak Baru, Polisi Temukan Unsur Pidana

    Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Masuk Babak Baru, Polisi Temukan Unsur Pidana

    Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Masuk Babak Baru, Polisi Temukan Unsur Pidana
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Polda Metro Jaya
    resmi meningkatkan status perkara dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo (
    Jokowi
    ) dari penyelidikan menjadi penyidikan.
    Keputusan ini diambil setelah gelar perkara yang dilakukan pada Kamis (10/7/2025), menyusul ditemukannya unsur pidana dalam kasus tersebut.
    “Satu laporan dari pelapor Ir HJW, dalam gelar perkara disimpulkan ditemukan dugaan peristiwa pidana sehingga perkaranya ditingkatkan ke tahap penyidikan,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, Jumat (11/7/2025).
    Ade Ary menyatakan, penyidik Subdirektorat Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum kini menangani total enam laporan terkait tudingan tersebut.
    Menurut Ade Ary, laporan yang dimaksud merupakan aduan Presiden Jokowi sendiri, yang sebelumnya melaporkan kasus pencemaran nama baik dan fitnah ke Polda Metro Jaya pada 30 April 2025.
    Laporan itu terdaftar dengan nomor LP/B/2831/IV/2025/SPKT/
    POLDA METRO JAYA
    .
    Dalam laporan tersebut, Jokowi menyebut lima nama, yakni Roy Suryo Notodiprojo, Rismon Hasiholan Sianipar, Eggi Sudjana, Tifauzia Tyassuma, dan Kurnia Tri Royani.
    Meski begitu, status mereka masih sebagai terlapor karena proses pembuktian masih berlangsung.
    Tak hanya itu, terdapat lima laporan lainnya yang merupakan pelimpahan dari tingkat polres.
    Tiga dari laporan itu juga naik ke tahap penyidikan dengan objek perkara penghasutan.
    “Lima laporan terbagi dua. Yang tiga LP sudah ditemukan dugaan peristiwa pidana sehingga naik ke tahap penyidikan. Dan dua laporan lainnya sudah dicabut dan pelapor tidak memenuhi undangan klarifikasi,” kata Ade Ary.
    Namun demikian, polisi tetap akan menyelidiki dua laporan terakhir untuk memastikan kepastian hukumnya.
    Barang bukti yang diserahkan Jokowi mencakup satu flashdisk berisi 24 tautan video YouTube, tangkapan konten dari media sosial X, fotokopi ijazah dan legalisirnya, fotokopi sampul skripsi, serta lembar pengesahan.
    Dalam kasus ini, Jokowi menjerat para terlapor dengan sejumlah pasal, di antaranya Pasal 310 dan 311 KUHP, serta pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), termasuk Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4).
    Secara total, penyidik kini tengah menangani dua pokok perkara utama yak i pencemaran nama baik dan penghasutan, serta penyebaran berita bohong yang menyeret nama kepala negara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kasus Fitnah Ijazah Jokowi Palsu Naik Penyidikan, Polisi: Tinggal Ungkap Tersangka

    Kasus Fitnah Ijazah Jokowi Palsu Naik Penyidikan, Polisi: Tinggal Ungkap Tersangka

    GELORA.CO – Polda Metro Jaya meningkatkan status kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) ke tahap penyidikan. Artinya, penyidik Subdit Keamanan Negara Kamneg Ditreskrimum mengantongi unsur pidana dan segera menetapkan tersangka.

    “Di tahap penyidikan adalah tujuannya untuk mengungkap siapa, membuat terang peristiwa pidana, dan mengungkap siapa tersangkanya dan inilah di tahap kedua sekarang ini,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat, 11 Juli 2025.

    Di samping itu, Ade Ary belum memastikan waktu pemeriksaan lanjutan terhadap saksi di tahap penyidikan. Baik saksi pelapor, yaitu Jokowi, hingga terlapor, yaitu Roy Suryo cs.

    “Tentunya saksi-saksi, korban, saksi-saksi dari pihak korban kemudian nanti ada dugaan terlapor dan lain sebagainya saksi-saksi dari pihak terlapor itu akan dilakukan pemeriksaan dalam tahap penyidikan yang diawali pengiriman surat panggilan untuk seseorang hadir sebagai saksi dan sebagainya,” jelas mantan Kapolres Metro Jakarta Selatan itu

     

    Jokowi melaporkan lima orang ke Polda Metro Jaya atas dugaan pencemaran nama baik dan penghinaan serta fitnah atas tudingan memilki ijazah palsu. Mereka ialah Pakar Telematika Roy Suryo, Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Eggi Sudjana, Ahli Digital Forensik Rismon Hasiholan Sianipar, Dokter Tifauziah Tyassuma, dan Kurnia Tri Royani.

    Laporan dibuat Jokowi langsung di Polda Metro Jaya pada Rabu, 30 April 2025. Para terlapor dipersangkakan Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE dan atau Pasal 28 ayat 3 Jo Pasal 45A ayat 3 UU ITE.

    Di samping itu, Biro Wassidik Polri belum membeberkan hasil gelar perkara khusus atas kasus dugaan ijazah Jokowi di Bareskrim Polri. Gelar khusus yang dilaksanakan Rabu, 9 Juli 2025 atas permintaan TPUA.

    Gelar ini dilakukan karena TPUA masih tidak terima dengan hasil penyelidikan Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Yakni menyimpulkan ijazah Jokowi asli.

  • Di Tengah Polemik Dugaan Ijazah Palsu, Tere Liye Beber Sejumlah Kebohongan Jokowi Selama Menjabat

    Di Tengah Polemik Dugaan Ijazah Palsu, Tere Liye Beber Sejumlah Kebohongan Jokowi Selama Menjabat

    “Apakah itu betulan ‘bohong’? Jika kalian tanya ke ahli, pengamat, atau tanyakan ke AI, maka jawabannya, ‘tidak’. Karena itulah pekerjaan politisi. Membual. Jualan halu. Seolah punya ideologi, prinsip, tapi sejatinya tidak. Kosong saja. Dan fansnya, bukan main, menelan habis2an setiap ocehannya,” sindir Tere Liya.

    Itulah politisi. Nah, apes bagi Indonesia, dalam kasus politisi2 ini, dia tidak hanya sedang ‘membual’. Sy tidak lelah mengingatkan sejak tahun 2012 soal ini. Apesnya, kalian percaya politisi2 ini bisa bekerja, padahal pencitraan. Itulah masalahnya.

    “Seriusan my friend, datanglah ke Beijing, Shanghai. Tahun 1997, China di bawah kita GDP per kapitanya. Hari ini, bahkan dengan penduduk lebih banyak, susah diurus, China melesat berkali lipat. Karena sejelek-jeleknya politisi di sana, lumayan bisa kerja,” tambahnya.

    Hari ini, Indonesia itu surganya KKN model baru. Saat jabatan dibagi-bagikan ke orang-orang yang tidak bisa bekerja. “Bahkan sarjana agama pun, bisa dikasih jabatan tambang. Ambyarnya kebangetaaan,” tutup Tere Liye.

    Sebelumnya diberitakan, Kasus terkait ijazah mantan Presiden Jokowi kembali memasuki babak baru. Polda Metro Jaya resmi meningkatkan status kasus dugaan pencemaran nama baik atau fitnah ke tahap penyidikan.

    Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, mengungkapkan, penyidik telah melakukan gelar perkara pada Kamis (10/7/2025) pukul 18.45 WIB.

    Gelar perkara ini membahas enam laporan polisi (LP) terkait kasus tersebut.

    “Ada satu LP terkait dugaan pencemaran nama baik atau fitnah sebagaimana diatur dalam Pasal 310, 311 KUHP dan UU ITE. Laporan itu dibuat oleh saudara IR HJW,” ujar Kombes Ade Ary kepada wartawan, Jumat (11/7/2025).