Topik: KUHP

  • Erick Thohir Bisa jadi Tersangka Buntut Pengangkatan Silfester sebagai Komisaris ID Food

    Erick Thohir Bisa jadi Tersangka Buntut Pengangkatan Silfester sebagai Komisaris ID Food

    GELORA.CO –  Dengan diangkatnya Silfester Matutina sebagai menjadi Komisaris Independen di ID Food megancam posisi Erick Thohir.

    Oegroseno menyampaikan jika Erick Thohir dapat menjadi tersangka tindak pidana korupsi buntut pengangkatan Silfester Matutina sebagai Komisaris ID Food.

    Pasalnya saat diangkat menjadi komisaris ID Food, status Silfester merupakan tersangka atas kasus pencemaran nama baik yang terkait dengan Jusuf Kalla.

    Hal tersebut berdasarkan Mahkamah Agung Nomor 287 K/Pid/2019 tanggal 20 Mei 2019 dengan status berkekuatan hukum tetap menyatakan terdakwa Silfester Matutina bersalah melakukan tindak pidana memfitnah yang terkait dengan Jusuf Kalla yang merupakan Mantan Wakil Presiden RI.

    Berdasarkan putusan tersebut, Oegroseno yang merupakan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia pada tahun 2013–2014, menyampaikan jika dapat terseretnya Erick Thohir sebagai tersangka berdasarkan pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999.

    “Menteri BUMN Erick Thohir dapat menjadi tersangka tindak pidana korupsi sesuai pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999, karena telah memperkaya orang lain dengan mengangkat terpidana Silfester Matutina sebagai Komisaris ID Food,” tulisnya di akun instagram @oegroseno_official.

    Adapun pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 yang berbunyi, ‘Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’.

    “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000 dan paling banyak Rp1.000.000.000,” tulis pasal tersebut.

    Sedangkan pengangkatan Silfester menjadi Komisaris Independen di salah satu BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Holding Pangan di Indonesia yaitu ID FOOD atau PT Rajawali Nusantara Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN No. SK-58/MBU/03/2025 yang diterbitkan pada 18 Maret 2025 lalu.

    Selain itu, Oegroseno juga menyampaikan bahwa BUMN bisa melaporkan Silfester Matutina dengan pasal 310 KUHP yaitu pencemaran nama baik.

    Mahfud: Dalam Hukum Pidana Tidak Ada Perdamaian

    Selain Oegroseno, Mahfud MD yang merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara yang juga mantan Menko Polhukam, Ketua MK, Anggota DPR, dan Menhan menyampaikan jika yang sudah inkracht tak bisa didamaikan dan harus eksekusi.

    Hal ini disampaikan oleh Mahfud setelah melihat Silfester yang mengatakan jika dirinya telah berdamai dengan Jusuf Kalla.

    Menurut Mahfud dalam hukum pidana tidak ada perdamaian dan Silfester harus menjalani hukuman yang telah inkracht tersebut.

    Mahfud menyampaikan bahwa kasus Sisfester adalah kasus yang serius karena mencerminkan penegakan hukum di Indonesia.

    “Gak mungkin Kejaksaan tidak tahu karena dia yang nuntut, ini pasti ada yang main di belakangnya,” ungkap Mahfud dalam podcastnya.

    “Seorang terhukum pidana musuhnya adalah negara, bukan orang, makanya tidak ada damai,” tegas Mahfud.

    “Silfester harus dipanggil dan dieksekusi, kalau tidak begitu untuk apa ada Kejaksaan Agung,” tutupnya.

  • Kronologi Pemuda Tewas Dikeroyok karena Diduga Mencuri, Salah Satu Pelaku Polisi Polda Sulteng

    Kronologi Pemuda Tewas Dikeroyok karena Diduga Mencuri, Salah Satu Pelaku Polisi Polda Sulteng

    Pengeroyokan dilakukan karena sebelumnya korban diduga melakukan pencurian di sebuah perusahaan.

    “Barang bukti yang telah kami amankan di antaranya satu unit mobil merek Wuling warna hitam, satu buah selang sepanjang sekitar 1,93 meter, serta satu celana boxer warna hitam milik korban. Kami telah memeriksa 18 orang saksi,” ujarnya.

    Akibat perbuatan mereka, keempat tersangka telah ditahan dan dijerat Pasal 170 Ayat (2) ke-3 KUHP atau Pasal 351 Ayat (3) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana minimal 7 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.

  • Hitungan MAKI Korupsi Kuota Haji Era Yaqut Merugikan Negara Rp1 Triliun

    Hitungan MAKI Korupsi Kuota Haji Era Yaqut Merugikan Negara Rp1 Triliun

    GELORA.CO – Berdasarkan perhitungan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah Haji di Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2023-2024 atau diera Presiden ke-7 RI, Joko Widodo alias Jokowi diduga merugikan keuangan negara mencapai hampir Rp1 triliun.

    Hal itu disampaikan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman yang bersyukur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya meningkatkan penyelidikan dugaan korupsi kuota haji ke tahap penyidikan.

    “Prinsipnya saya apresiasi, karena proses ini saya pernah mengajukan gugatan terhadap KPK karena awal-awalnya agak lemot, tapi habis kita gugat ya terus kemudian berjalan cepat penyelidikannya agak ngebut, dan kemudian Alhamdulillah sekarang sudah penyidikan,” kata Boyamin kepada RMOL, Minggu, 10 Agustus 2025.

    Boyamin mengatakan, dirinya juga pernah melaporkan dugaan korupsi kuota haji tersebut kepada KPK. Bahkan, MAKI sudah membeberkan nilai perhitungan korupsinya.

    Di mana kata Boyamin, pada 2023 lalu, pemerintah Indonesia mendapatkan kuota tambahan haji sebanyak 20 ribu. Berdasarkan UU 8/2019, kuota itu seharusnya dibagi 92 persen untuk haji reguler, dan 8 persen untuk haji khusus. Namun nyatanya dibagi 50 persen untuk haji khusus, dan 50 persen untuk haji reguler.

    “Jelas itu melanggar UU, saya juga ikut melaporkan berkaitan dengan kuota itu. Karena dari penelusuran saya, perorang yang dapat kuota tambahan itu dikenakan uang 5 ribu dolar. Itu berarti kan hampir Rp75 juta per orang,” terang Boyamin.

    Bahkan kata Boyamin, pihaknya menduga bahwa uang-uang tersebut masuk ke konsorsium yang mengelola biro-biro travel.

    “Nah diduga uang itu juga mengalir kepada oknum. Karena rumusan seperti itu maka saya dorong terus untuk segera penyidikan, dan saya juga sudah menyetor nama-nama travel yang diduga menerima alokasi-alokasi kuota tambahan yang tidak semestinya itu,” jelas Boyamin.

    Jika dihitung kata Boyamin, 10 ribu kuota yang dibagi ke haji khusus dikali Rp75 juta per kuota, maka tembus Rp750 miliar.

    “Minimal Rp500 miliar, bisa hingga Rp1 triliun,” ungkap Boyamin.

    Untuk itu, Boyamin berharap KPK juga menerapkan ke Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam perkara kuota haji ini.

    “Karena uang tadi kemudian mengalir ke mana-mana. Selain juga dipakai oleh travel sekian yang kebutuhan rill, tetapi kan juga mengalir ke mana-mana, maka harus dikenakan pencucian uang kepada pihak-pihak yang terlibat untuk melacak aliran uang itu kemana bisa diambil dan bisa diserahkan ke negara. Dan kami tetap mengawal itu, nanti kalau lemot lagi ya kita gugat praperadilan, kita pantau terus kita kawal terus,” pungkas Boyamin.

    Pada Sabtu dinihari, 9 Agustus 2025, KPK resmi mengumumkan bahwa sejak Jumat, 8 Agustus 2025, KPK sudah meningkatkan dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan perkara dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah Haji di Kemenag era Yaqut Cholil Qoumas.

    “Perkara haji, KPK telah menaikkan status penyelidikan terkait penentuan kuota dan penyelenggaran ibadah haji pada Kemenag tahun 2023-2024 ke tahap penyidikan,” kata Asep kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Sabtu dinihari, 9 Agustus 2025.

    Dalam perkara ini, KPK menggunakan sangkaan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

    Sebelumnya, Asep menjelaskan, di dalam Pasal 64 Ayat 2 UU 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pembagian kuota haji adalah sebesar 92 persen untuk kuota reguler, dan 8 persen untuk kuota khusus. Namun nyatanya, 20 ribu kuota tambahan dari pemerintah Arab Saudi malah dibagi menjadi 50 persen – 50 persen.

    “Tadi ada di UU diatur 92 persen, 8 persen gitu kan. Kenapa bisa 50-50 dan lain-lain. Dan prosesnya juga kan itu alur perintah. Dan kemudian juga kan ada aliran dana yang dari pembagian tersebut gitu,” kata Asep kepada wartawan, Rabu malam, 6 Agustus 2025.

    Dalam perkara ini, KPK sudah melakukan permintaan terhadap beberapa pihak terkait ketika dalam proses penyelidikan.

    Pada Kamis, 7 Agustus 2025, KPK telah memeriksa mantan Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas. Dia diperiksa selama hampir 5 jam.

    Pada Selasa, 5 Agustus 2025, tim penyelidik telah memeriksa 3 orang, yakni Direktur Jenderal (Dirjen) Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Hilman Latief, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (DPP AMPHURI) Muhammad Farid Aljawi, dan Ketua Umum Kesatuan Travel Haji Umrah Indonesia (Kesthuri) Asrul Aziz.

    Pada Senin, 4 Agustus 2025, tim penyelidik juga telah melakukan pemeriksaan terhadap tiga orang, yakni Rizky Fisa Abadi, Muhammad Agus Syafi, Abdul Muhyi. Ketiganya merupakan pejabat di Kemenag.

    Pada Selasa, 8 Juli 2025, tim penyelidik sudah melakukan pemeriksaan terhadap Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH), Fadlul Imansyah.

    Tim penyelidik KPK sebelumnya juga telah memeriksa pendakwah Khalid Basalamah pada Senin, 23 Juni 2025. Dia didalami soal pengelolaan ibadah haji.

  • Ini Alasan KPK Pakai Sprindik Umum di Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji Era Yaqut

    Ini Alasan KPK Pakai Sprindik Umum di Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji Era Yaqut

    GELORA.CO -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih memerlukan waktu untuk mengumpulkan bukti yang lebih banyak terkait dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah Haji di Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2023-2024.

    Hal itu disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu saat memberikan alasan KPK masih menggunakan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Umum dalam perkara dugaan korupsi kuota haji ini. Mengingat, KPK belum menetapkan tersangka ketika menggunakan Sprindik Umum.

    “Kami penyidik memilih untuk menggunakan sprindik umum itu karena kami masih ingin mendalami beberapa peran dari beberapa pihak,” kata Asep seperti dikutip RMOL, Minggu, 10 Agustus 2025.

    Sehingga kata Asep, dengan adanya Sprindik Umum ini, KPK lebih leluasa untuk mengumpulkan bukti dan informasi yang lebih banyak.

    “Karena tentu saja pada proses penyelidikan ini ada keterbatasan, di mana dalam penyelidikan belum bisa melakukan upaya paksa penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya. Sehingga kami melihat, kami perlu mengumpulkan bukti yang lebih banyak untuk menentukan nanti siapa yang menjadi tersangkanya,” pungkas Asep.

    Pada Sabtu dinihari, 9 Agustus 2025, KPK resmi mengumumkan bahwa sejak Jumat, 8 Agustus 2025, KPK sudah meningkatkan dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan perkara dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah Haji di Kemenag era Yaqut Cholil Qoumas.

    “Perkara haji, KPK telah menaikkan status penyelidikan terkait penentuan kuota dan penyelenggaran ibadah haji pada Kemenag tahun 2023-2024 ke tahap penyidikan,” kata Asep kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Sabtu dinihari, 9 Agustus 2025.

    Dalam perkara ini, KPK menggunakan sangkaan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

    Sebelumnya, Asep menjelaskan, di dalam Pasal 64 Ayat 2 UU 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pembagian kuota haji adalah sebesar 92 persen untuk kuota reguler, dan 8 persen untuk kuota khusus. Namun nyatanya, 20 ribu kuota tambahan dari pemerintah Arab Saudi malah dibagi menjadi 50 persen – 50 persen.

    “Tadi ada di UU diatur 92 persen, 8 persen gitu kan. Kenapa bisa 50-50 dan lain-lain. Dan prosesnya juga kan itu alur perintah. Dan kemudian juga kan ada aliran dana yang dari pembagian tersebut gitu,” kata Asep kepada wartawan, Rabu malam, 6 Agustus 2025.

    Dalam perkara ini, KPK sudah melakukan permintaan terhadap beberapa pihak terkait ketika dalam proses penyelidikan.

    Pada Kamis, 7 Agustus 2025, KPK telah memeriksa mantan Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas. Dia diperiksa selama hampir 5 jam.

    Pada Selasa, 5 Agustus 2025, tim penyelidik telah memeriksa 3 orang, yakni Direktur Jenderal (Dirjen) Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Hilman Latief, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (DPP AMPHURI) Muhammad Farid Aljawi, dan Ketua Umum Kesatuan Travel Haji Umrah Indonesia (Kesthuri) Asrul Aziz.

    Pada Senin, 4 Agustus 2025, tim penyelidik juga telah melakukan pemeriksaan terhadap tiga orang, yakni Rizky Fisa Abadi, Muhammad Agus Syafi, Abdul Muhyi. Ketiganya merupakan pejabat di Kemenag.

    Pada Selasa, 8 Juli 2025, tim penyelidik sudah melakukan pemeriksaan terhadap Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH), Fadlul Imansyah.

    Tim penyelidik KPK sebelumnya juga telah memeriksa pendakwah Khalid Basalamah pada Senin, 23 Juni 2025. Dia didalami soal pengelolaan ibadah haji

  • Kriminal sepekan, mutasi Kapolda Metro lalu Fariz RM dituntut 6 tahun

    Kriminal sepekan, mutasi Kapolda Metro lalu Fariz RM dituntut 6 tahun

    Jakarta (ANTARA) – Sejumlah berita seputar kriminal di Jakarta selama sepekan terakhir antara lain mutasi Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto, BBM campur solar, hingga Fariz RM siap jalani persidangan usai dituntut enam tahun penjara.

    Berikut rangkumannya:

    1. Kapolri mutasi tujuh Kapolda termasuk Polda Metro Jaya

    Jakarta (ANTARA) – Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo memutasikan tujuh Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) termasuk Polda Metro Jaya.

    “Iya, benar (ada mutasi Perwira Tinggi Polri),” kata Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

    Baca selengkapnya di sini

    2. Puluhan motor rusak akibat isi BBM campur solar di SPBU Jakbar

    Jakarta (ANTARA) – Sebanyak 25 unit sepeda motor diduga rusak akibat mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite tercampur solar pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) 34.116.12 Pertamina di Kembangan, Jakarta Barat (Jakbar).

    “Sekitar 25 motor tapi belum dicek lagi. Kerusakan antara lain ganti busi, injeksi, ganti oli. Tapi itu kurang lebih cuman tiga motor aja, selebihnya itu kuras tangki,” kata pegawai bengkel motor di dekat SPBU itu, Della di Jakarta, Selasa.

    Baca selengkapnya di sini

    3. Empat pelajar di Jakarta Utara jadi tersangka penyiram air keras

    Jakarta (ANTARA) – Unit Reserse Kriminal Polsek Tanjung Priok menetapkan empat pelajar berinisial AR,YA, JBS dan MA sebagai tersangka penyiram air keras terhadap pelajar berinisial AP (17) di Jalan Sungai Bambu, Tanjung Priok, Jakarta Utara pada Jumat (1/8).

    “Keempat tersangka dijerat Pasal 80 UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan pasal 170 ayat 2 kedua KUHP Jo Pasal 55 ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman penjara maksimal sembilan tahun,” kata Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Tanjung Priok AKP Handam Samudro di Jakarta, Senin.

    Baca selengkapnya di sini

    4. Penipu jual-beli Vespa di Bekasi dapat Rp2 miliar dari 66 korbannya

    Jakarta (ANTARA) – Pria berinisial AWP (39) melakukan penipuan jual-beli Vespa di Bekasi meraup Rp2 miliar dari 66 korbannya.

    “Kurang lebih 66 korban dengan total kerugian Rp2.024.262.000,” kata Kapolres Metro Bekasi Kota Kombes Polisi Kusumo Wahyu Bintoro dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

    Baca selengkapnya di sini

    5. Fariz RM siap jalani persidangan usai dituntut enam tahun penjara

    Jakarta (ANTARA) – Terdakwa Fariz Roestam Munaf (Fariz RM) menyatakan siap menjalani proses persidangan atas kasus penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya (narkoba) jenis sabu usai dituntut enam tahun penjara.

    “Saya ikuti prosesnya,” kata Fariz kepada wartawan usai sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.

    Baca selengkapnya di sini

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • PT Jakarta Ringankan Hukuman James Tamponawas di Kasus Emas Ilegal: Karena Usia Lanjut
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        9 Agustus 2025

    PT Jakarta Ringankan Hukuman James Tamponawas di Kasus Emas Ilegal: Karena Usia Lanjut Nasional 9 Agustus 2025

    PT Jakarta Ringankan Hukuman James Tamponawas di Kasus Emas Ilegal: Karena Usia Lanjut
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengadilan Tinggi Jakarta meringankan hukuman James Tamponawas (71), terdakwa dari pihak swasta dalam kasus korupsi logo atau cap emas ilegal PT Antam Tbk periode 2010-2022.
    Di tingkat pertama, James divonis pidana penjara selama sembilan tahun. Namun di tingkat banding, meski majelis hakim sependapat dengan pertimbangan hukum majelis hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta, hukuman James diringankan menjadi tujuh tahun.
    “Kecuali mengenai penjatuhan pidana (strafmaat) yang dijatuhkan terhadap Terdakwa dengan pertimbangan bahwa usia dari Terdakwa yang telah lanjut,” ucap Hakim Ketua Teguh Harianto melansir
    Antara
    , Sabtu (9/8/2025).
    Namun terkait pidana denda, Hakim Ketua menyatakan pihaknya sependapat dengan vonis sebelumnya, yakni sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama empat bulan.
    Tetapi terkait penjatuhan pidana tambahan, khususnya mengenai subsider pengganti penjaranya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak sependapat sehingga menjatuhkan subsider yang lebih berat, yakni pidana tambahan berupa uang pengganti Rp 119,27 miliar subsider enam tahun penjara, dari yang sebelumnya subsider 4 tahun penjara.
    “Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi memandang adil apabila subsider untuk uang pengganti menjadi sama dengan tuntutan penuntut umum,” kata Teguh.
    Dengan demikian, Hakim Ketua menyatakan James telah melanggar Pasal 2 Juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Dalam kasus dugaan korupsi tata kelola emas, James bersama enam pihak swasta lainnya beserta enam orang mantan pejabat Antam, telah melakukan tindak pidana korupsi sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 3,31 triliun.
    Keenam pihak swasta dimaksud meliputi Gluria Asih Rahayu, Ho Kioen Tjay, Djudju Tanuwidjaja, Lindawati Efendi, Suryadi Lukmantara, dan Suryadi Jonathan.
    Sementara keenam orang mantan pejabat Antam dimaksud adalah Vice President (VP) Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) Antam periode 2008–2011 Tutik Kustiningsih, VP UBPP LM Antam periode 2011–2013 Herman, serta Senior Executive VP UBPP LM Antam 2013–2017 Dody Martimbang.
    Kemudian, General Manager (GM) UBPP LM Antam periode 2017–2019 Abdul Hadi Aviciena, GM UBPP LM Antam periode 2019–2020 Muhammad Abi Anwar, serta GM UBPP LM Antam periode 2021–2022 Iwan Dahlan.
    Akibat perbuatan korupsi para terdakwa, negara mengalami kerugian hingga Rp3,31 triliun karena perbuatan tersebut telah memperkaya beberapa pihak, yakni Lindawati senilai Rp 616,94 miliar, Suryadi Lukmantara sebesar Rp 444,93 miliar, Suryadi Jonathan sebanyak Rp 343,41 miliar, serta James sebesar Rp 119,27 miliar.
    Lalu, memperkaya Djuju sebesar Rp 43,33 miliar, Ho senilai Rp 35,46 miliar, Gluria sebanyak Rp 2,07 miliar, serta pihak pelanggan lainnya (perorangan, toko emas, perusahaan) non-kontrak karya sebesar Rp 1,7 triliun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Fakta-fakta Baru Dana Kasus CSR BI-OJK, Banyak Komisi XI DPR Terlibat

    Fakta-fakta Baru Dana Kasus CSR BI-OJK, Banyak Komisi XI DPR Terlibat

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mendalami aliran dana CSR BI-OJK. Tersangka yang diperiksa KPK menyebutkan bahwa banyak anggota Komisi XI juga mendapatkan dana tersebut.

    Hal itu disampaikan oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu saat konferensi pers penetapan tersangka terkait dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) program CSR BI dan OJK

    “Bahwa menurut pengakuan tersangka ST, sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut,” kata Asep, Kamis (7/8/2025).

    Asep menekankan penyidik akan mengembangkan kasus tersebut untuk menemukan fakta-fakta baru. Adapun aliran dana CSR BI-OJK dibahas dalam rapat tertutup di DPR.
    “Tentunya kami akan mendalami keterangan dari saudara ST ini siapa saja yang menerima dana bantuan sosial dari Komisi XI ini,” jelas dia.

    Dari hasil penyidikan sementara, KPK menemukan ada dugaan korupsi dalam penyaluran dana CSR BI-OJK. Selain tersangka ST (Satori), KPK juga menetapkan HG (Heri Gunadi). Keduanya merupakan anggota Komisi XI periode 2019-2024. Mereka menggunakan uang untuk kebutuhan pribadi seperti membangun rumah makan hingga showroom.

    Asep menuturkan, HG diduga menerima Rp15,8 miliar yang digunakan untuk kebutuhan pribadi, seperti seperti pembangunan rumah, pengelolaan outlet minuman, hingga pembelian tanah dan kendaraan.

    Sementara total ST menerima uang Rp12,52 miliar. Uang itu digunakan untuk deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, hingga pembelian kendaraan.

    Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 B UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

    Selain itu, mereka juga dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-(1) KUHP.

  • Tersangka Kasus Korupsi CSR BI-OJK, Berakhir di DPR?

    Tersangka Kasus Korupsi CSR BI-OJK, Berakhir di DPR?

    Bisnis.com, JAKARTA – Tersangka kasus korupsi CSR Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai terkuak. KPK mendapati tersangka berasal dari anggota DPR yang menyelewengkan dana.

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan penyidik sedang mengembangkan kasus tersebut untuk menemukan fakta-fakta baru. KPK menetapkan dua anggota DPR sebagai tersangka terkait dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) program CSR BI dan OJK

    “Bahwa menurut pengakuan ST, sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut,” kata Asep, Kamis (7/8/2025).

    Temuan KPK adalah 2 anggota Komisi XI periode 2019-2024 ditetapkan tersangka terduga kasus pencucian uang yakni Heri Gunawan alias HG dan Satori alias ST. Mereka menggunakan uang untuk kebutuhan pribadi seperti membangun rumah makan hingga showroom.

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan HG menerima total uang Rp15,58 miliar, sedangkan ST sebesar Rp12,52 miliar.

    “Penyidik telah menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang cukup dan kemudian dua hari ke belakang menetapkan dua orang tersangka sebagai berikut yaitu HG anggota Komisi XI periode 2019-2024, kemudian ST anggota Komisi XI periode 2019-2024,” ujar Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada konferensi pers, Kamis (7/8/2025).

    Asep menyebutkan HG dan ST mengantongi total uang yang berbeda. HG menerima Rp15,86 miliar, sedangkan ST Rp12,52 miliar. Uang korupsi CSR BI dan OJK, diduga digunakan untuk keperluan pribadi, bukan penyaluran kegiatan sosial sebagaimana ketentuan yang berlaku. 

    Lebih rinci, tersangka HG menggunakan dana tersebut untuk pembangunan rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian mobil.

    Selanjutnya, ST menerima Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI.

    Asep menuturkan tersangka ST menggunakan uang kegiatan sosial untuk deposito pribadi, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, dan pembelian aset lainnya

    Meski telah menetapkan tersangka, Asep mengatakan penyidik masih melakukan pendalaman kasus karena diduga ada pihak-pihak lain yang terlibat.

    “Tentunya kami akan mendalami keterangan dari saudara ST ini siapa saja yang menerima dana bantuan sosial dari Komisi XI ini,” jelas dia.

    Adapun KPK menjerat tersangka dengan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.

    Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

    Kronologi Dana CSR BI dan OJK, Mengalir ke Yayasan Fiktif 

    Kejahatan korupsi terselubung ini bermula dari pembentukan Panitia Kerja (Panja) Komisi XI DPR untuk membahas pendapatan dan pengeluaran anggaran mitra kerja, termasuk BI dan OJK. Mereka membahas ini dalam rapat-rapat tertutup sejak 2020.

    Anehnya, sejak 2020, pembahasan dan kesepakatan penyaluran dana CSR dari OJK dan BI untuk kegiatan sosial juga lahir di dalam rapat tertutup. BI mengalokasikan sekitar 10 kegiatan per tahun, sedangkan OJK 18–24 kegiatan CSR. 

    Namun, menurut KPK, alokasi tersebut justru menjadi celah. HG dan ST diduga memanfaatkan yayasan yang mereka kelola—empat milik HG dan delapan milik ST—sebagai penampung dana. Proposal diajukan, dana dicairkan, lalu mengalir ke rekening pribadi atau rekening baru yang dibuka oleh staf kepercayaan mereka.

    “Uang yang seharusnya untuk memperbaiki rumah rakyat, pendidikan, atau kesehatan, malah digunakan untuk kepentingan pribadi,” ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Jakarta, Kamis (7/8/2025).

    Dari hasil penyidikan, HG menerima total Rp15,86 miliar, yang terdiri dari Rp6,26 miliar dari BI, Rp7,64 miliar dari OJK, dan Rp1,94 miliar dari mitra kerja lainnya.

    Uang ini digunakan HG untuk membangun rumah makan, membeli mobil, tanah, bangunan, hingga mengelola outlet minuman.

    ST, di sisi lain, mengantongi Rp12,52 miliar: Rp6,30 miliar dari BI, Rp5,14 miliar dari OJK, dan Rp1,04 miliar dari mitra kerja lain. Modusnya lebih rumit sebab dia meminta salah satu bank menyamarkan transaksi deposito sehingga pencairan tak terdeteksi di rekening koran.

    “Dana itu kemudian dipakai untuk membeli tanah, membangun showroom, hingga kendaraan bermotor,” ujar Asep. 

    KPK belum berhenti pada dua nama ini. Penyidik tengah menelusuri kemungkinan keterlibatan pejabat BI, OJK, dan anggota DPR lain. Sejumlah saksi sudah dipanggil, termasuk mantan pejabat BI, pejabat aktif OJK, dan anggota DPR dari berbagai fraksi.

    Bahkan, ruang kerja Gubernur BI Perry Warjiyo sempat digeledah pada Desember 2024. Meski begitu, Perry hingga kini belum dipanggil untuk dimintai keterangan. BI sendiri menyatakan menghormati proses hukum dan berkomitmen mendukung penyidikan.

    “Kami akan mendalami peran gubernur BI, deputi gubernur, juga pihak OJK. Tidak menutup kemungkinan ada temuan tindak pidana korupsi lainnya,” kata Asep.

    Kasus ini menyoroti lemahnya pengawasan dana CSR di lembaga negara. Dana yang diharapkan menjadi motor kegiatan sosial ternyata rawan diselewengkan lewat pertanggungjawaban fiktif.

    Contoh yang diungkap KPK: satu proposal pengajuan dana PSBI senilai Rp250 juta untuk membangun 50 rumah rakyat, namun di lapangan hanya terbangun 8–10 unit. Sisa anggaran miliaran rupiah menguap.

    Pengamat tata kelola publik menilai skema penyaluran melalui yayasan tanpa verifikasi independen membuat program CSR rentan menjadi “ladang basah” bagi oknum.

    “Tanpa transparansi dan kontrol publik, dana sosial bisa berubah menjadi dana pribadi,” ujar seorang akademisi.

  • Dapat Info Silfester Lulusan Universitas Tertutup, Mahfud MD: Artinya Universitasnya Sudah Ditutup

    Dapat Info Silfester Lulusan Universitas Tertutup, Mahfud MD: Artinya Universitasnya Sudah Ditutup

    GELORA.CO  — Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan soal tidak dieksekusinya Ketua Umum Solidaritas Merah Putih yang juga relawan Jokowi, Silfester Matutina usai divonis 1 tahun 6 bulan penjara dalam kasus fitnah ke Jusuf Kalla (JK) pada 2019 lalu, hingga kini atau 6 tahun kemudian, membuat banyak orang yang bertanya kepadanya.

    Apalagi kata Mahfud, saat itu dirinya menjabat sebagai Menko Polhukam yakni tepatnya mulai Oktober 2019 sampai 2024.

    Mahfud MD menjadi orang sipil pertama yang menjabat Menko Polhukam dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia.

    Sselama Mahfud MD menjabat Menko Polhukam dan hingga kini, rupanya Silfester Matutina lolos dari eksekusi kasus fitnah yang sudah berkekuatan hukum tetap

    Mahfud MD menjelaskan saat Silfester divonis dalam kasus firnah Jusuf Kalla yakni pada Mei 2019, saat itu dirinya belum menjadi menteri.

    Sebab Mahfud baru diangkat menjadi menteri Oktober 2019.

    Sehingga Mahfud mengaku tidak tahu soal kasus Silfester saat itu.

    “Saya, di 2019 vonis itu belum jadi menteri. Ketika sudah menjadi menteri, kasus ini tidak muncul. Tidak menjadi persoalan publik, sehingga bukan urusan Menko untuk mencari-cari hal yang tidak menjadi masalah,” kata Mahfud di tayangan YouTube, Kompas TV malam, 6 Agustus 2025.

    Menurutnya soal kasus Silfester kala itu tidak menjadi perhatian publik.

    “Kalau pada saat itu menjadi masalah, pasti saya suruh tangkap itu. Karena ini, baru muncul sesudah terjadi perubahan politik,” kata Mahfud.

    Menurut Mahfud dirinya baru tahu tentang Silfester, dengan dua kali melihat melalui televisi.

    “Pertama waktu dia mau berkelahi dengan Rocky Gerung. Itu yang bilang, Waduh, ini saya fakultas Hukum juga, saya pengacara. Terus saya tanya universitas mana dia,” kata Mahfud.

    Mahfud mengatakan lalu ada yang bilang kepadanya Silfester lulusan Universitas Terbuka.

    “Ada yang bilang itu dari Universitas tertutup, gitu. Universitas tertutup itu artinya Universitas sudah ditutup,” kata Mahfud.

    Bahkan kata Mahfud dirinya sama sekali tidak membicarakan Silfester saat itu karena memang tidak menjadi perhatiannya.

    “Terakhir saya baru tahu kalau dia itu narapidana, terpidana itu, sesudah ribut dengan Roy Suryo di debat Televisi. Roy Suryo bilang kamu itu narapidana, kamu terpidana tapi belum masuk. Saya baru tahu itu di situ,” kata Mahfud.

    Menurutnya saat itu ia mencari sumber soal informasi tudingan Roy Suryo ke Silfester.

    “Ternyata betul ada Direktori putusan MA nomor 287 tanggal 20 Mei tahun 2019. Ini sebelum saya jadi menteri nih. Dia sudah divonis inkrah dan sekarang mengaku sudah menjalani proses hukum. Kita tanya proses hukum apa? Inkrah itu kecuali masuk penjara,” ujar Mahfud.

    Mahfud mengatakan sekalipun Jusuf Kalla memaafkan karena kasus ini inkrah maka Silfester mesti menjalani hukuman.

    “Damai itu urusan pribadi. Kalau orang terpidana itu musuhnya bukan orang yang menjadi korban. Tetapi musuh orang terpidana itu adalah negara,” kata Mahfud.

    Menurut Mahfud negara itu diwakili oleh kejaksaan.

    “Jadi kalau ditanyakan siapa yang melindungi? Saya menyalahkan kejaksaan gitu. Siapa menyuruh kejaksaan? Ya, kita tidak tahu kan gitu kan. Pasti harus diasumsikan kejaksaan ini tahu,” kata Mahfud,

    Mahfud mengaku memiliki data tahuh 2025 sejumlah orang yang hendak menghindari hukuman ditangkap kejaksaan.

    “Masa ini yang riwa-riwi di depan hidung kita gak ditangkap. Kan Kejaksaan tuh punya tim tabur namanya tim tangkap buronan atau tim tangkap orang kabur. Tim ini yang nangkap orang-orang ini tadi. Nah, oleh sebab itu kejaksaan harus segera melakukan eksekusi atas ini ya,” kata Mahfud.

    Sebenarnya, menurut Mahfud eksekusi harus langsung dijemput tanpa  usah dipanggil lagi.

    “Orang ini sudah 6 tahun lolos gitu kan,” kata Mahfud.

    Mahfud menjelaskan akan menyatakan secara formal Silfester tidak ditangkap karena kejaksaan melindungi.

    “Melindungi dalam bentuk apa? Lalai. Kalau betul-betul melindungi secara sengaja pasti ada yang menyuruh. Kemungkinannya ada atasan yang membacking, kemungkinannya suap. Apalagi coba? Nah, untuk mengusut ini logika umum. Kejaksaan dong harus bertanggung jawab kepada publik,” ujarMahfud.

    Menurut Mahfud untuk dirunut siapa pihak yang membuat Silfester tidak dieksekusi bisa ditelusuri,

    “Siapa pejabatnya, kenapa ini tidak segera dieksekusi gitu? Nanti akan ketemu itu siapa yang memesan. Apakah ini pemain politik atau pemimpin pemerintahan, menteri atau apa,” kata Mahfud.

    “Itu harus diusut, karena ini bahaya kalau ini dibiarkan. Orang boleh bertanya seperti Anda bertanya tadi loh. Pak Mahfud, Anda kok diam saja pada saat Anda di situ (jabat Menko Polhukam)?” katanya.

    “Loh kasus ini gak muncul. Kalau saya sudah tahu saat itu, muncul ya, saya pasti berteriak agar segera dieksekusi. Menteri kok gak tahu? Ya gak tahu. Itu kan bukan urusan Menko, untuk tahu semua urusan yang ada dari Sabang sampai Merauke,” kata Mahfud.

    Menurutnya urusan Menko Polhuka yang muncul dan menjadi problem pelaksanaan di lapanhan.

    “Urusan Menko itu hanya muncul dan menjadi problem pelaksanaan di lapangan, konflik sehingga dikoordinasikan. Kalau ini gak ada. Tiba-tiba muncul sekarang, sesudah terjadi pergantian politik,” kata Mahfud.

    Mahfud mengatakan seorang Menko itu tidak harus tahu semuanya.

    “Kecuali ada laporan di saat itu atau muncul sebagai isu yang panas di tengah-tengah masyarakat. Baru seorang Menko itu mengkoordinasikan agar semua jalan,” ujar Mahfud.

    Menurut Mahfud, Silfester tidak perlu lagi dipanggil melainkan langsung dijemput paksa. 

    “Tangkap dulu, atau jebloskan dulu ini eksekusi si Matutina ini,” katanya.

     Kemudian, kata Mahfud, Kejaksaan Agung harus mengadakan penyelidikan ke dalam dan menjelaskan kepada publik.

    Minta Amnesti

    Sementara itu Wakil Ketua Umum Relawan pro-Jokowi (Projo) Freddy Damanik memohon ke Presiden Prabowo agar juga memberikan amnesti ke Silfester Matutina seperti yang diberikan ke Hasto Kristiyanto dan ribuan napi lainnya serta abolisi ke Tom Lembong.

    “Justru tadi juga saya mau menyampaikan, yang sekarang kasus yang seperti ini banyak yang diamnesti oleh Presiden Prabowo ya. Apalagi konteksnya ini adalah selaku pelapor yang melaporkan, ya sudah memaafkan,” kata Freddy dalam acara Kompas Petang di akun YouTube Kompas TV, Rabu (6/8/2025).

    “Nah, kalau konteks amnesti berarti lebih empermudah dong ya,” tambahnya.

    Sebab kata Freddy, sebelumnya Prabowo memberikan abolisi ke Tom Lembong dan amnesti ke Hasto Kristiyanto serta ribuan napi lainnya dengan tujuan persatuan Indonesia.

    “Ini kan kasusnya juga mirip, politik ya. Katakanlah menyerang Pak JK ya. Jadi sangat-sangat ada harapan, sangat ada potensi untuk kasus-kasus seperti Bang Silfester ini untuk di amnesti juga. Toh ini masih range waktu 17 Agustus, memang waktunya,” kata Freddy.

    Karenanya Freddy percaya Silfester tahu apa yag harus dilakan ke depan dan pasti bertanggung jawab atas kasus tersebut.

    “Amnesti itu harapan saya dari pribadi, dan teman-teman yang lain juga berharap seperti itu,” kata Freddy.

    Apalagi kata Freddy dalam hal ini Jusuf Kalla sudah memaafkan namun proses hukum memang harus terus berjalan.

    “Jadi artinya Pak JK secara pribadi sudah tidak masalah dengan kasus ini, tetapi proses hukum berjalan dan berakhir di putusan kasasi. Itu realita, itu fakta hari ini,” kata Freddy.

    Menurutnya jika Roy Suryo dan kawan-kawan mendorong Silfester dieksekusi itu adalah hak mereka.

    “Tetapi saya sekali lagi mau menyampaikan, bahwa banyak yang lainnya sudah mendapat amnesti dan abolisi. Saya sebagai pribadi temannya Silfester juga ya, memohon kepada Pak Presiden kalau memang bisa Pak, Silfester diberikan amnesti,” kata Freddy.

    Sementara teknisnya kata Freddy itu terserah bisa dilakukan dengan berbagai cara. Apakah misalnya kata dia, dieksekusi dulu selama 24 jam lalu dibebaskan.

    “Itu secara teknislah, tetapi saya pribadi sekali, saya memohon kepada Pak Presiden agar diberikan amnesti kepada saudara Silfester,” katanya.

    Sementara itu Roy Suryo yang juga ikut menjadi nara sumber dalam tayangan tersebut, menilai sejak awal Silfester adalah pengecut, karena selama 6 tahun lolos dari eksekusi pidana penjara yang harusnya dijalani.

    “Orang pengecut kok mau dimaafkan. Pendapat saya ya terserah Pak Prabowo ya. Karena itu kebesaran hati Pak Prabowo. Tapi artinya masyarakat bisa menilai lah, orang yang melarikan diri dari kenyataan 6 tahun,” kata Roy.

    Menurut Roy, bisa jadi selama 6 tahun itu, Silfester tidak dieksekusi karena ada orang besar yang melindungi.

    “Makanya sekarang kalau orang itu sudah enggak ada ya, sekarang sudahlah eksekusi,” kata Roy.

    Sebelumnya Kejaksaan Agung (Kejagung) buka suara terkait belum ditahannya Silfester Matutina dalam kasus fitnah terhadap Jusuf Kalla, padahal sudah divonis sejak 2019 lalu. 

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna, mengungkapkan Silfester bakal diperiksa oleh Kejari Jakarta Selatan, Senin (4/8/2025).

    Dia mengatakan, jika Silfester tidak memenuhi panggilan, dipastikan akan ditahan. 

    “Informasi dari pihak Kejari Jakarta Selatan, diundang yang bersangkutan. Kalau enggak diundang ya silakan (dieksekusi atau ditahan). Harus dieksekusi,” katanya di Gedung Kejagung, Jakarta, Senin siang.

    Anang menegaskan, karena vonis telah inkrah, maka tidak ada alasan untuk tidak menahan Silfester.

    “Harus segera (ditahan) kan sudah inkrah. Kita nggak ada masalah semua,” ujarnya.

    Dalam kasus itu Silfester dilaporkan kuasa hukum Jusuf Kalla ke Bareskrim Polri pada Mei 2017.

    Silfester dianggap melontarkan fitnah dan pencemaran nama baik terhadap Kalla atas orasinya.

    Dua tahun berselang atau pada 2019, Silfester divonis 1,5 tahun penjara atas kasus tersebut.

    Namun, sampai saat ini Silfester belum menjalani vonis hukumannya yang diterimanya.

    Dalam laman resmi Mahkamah Agung (MA), Silfester Matutina divonis 1 tahun 6 bulan atas kasus pidana umum pada 2019.

    Putusan Mahkamah Agung Nomor 287 K/Pid/2019 dibacakan pada 20 Mei 2019, dengan Hakim Ketua H Andi Abu Ayyub Saleh, Hakim Anggota H Eddy Army dan Gazalba Saleh.

     

    Dalam Putusan MA ini disebutkan Silfester dikenakan dakwaan pertama Pasal 311 Ayat 1 KUHP dan dakwaan kedua Pasal 310 Ayat 1 KUHP.

    Belakangan, pakar telematika, Roy Suryo, mendesak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) segera mengeksekusi Silfester atas kasus yang menjeratnya beberapa tahun lalu.

    Kampus Silfester

    Silfester Matutina disebut menyelesaikan pendidikannya di Universitas Wiraswasta Indonesia.

    Hal itu diinformasikan oleh akun X @BajerDhuafa.

    Ia juga menginformasikan bahwa ternyata kampus tempat Silfester Matutina kuliah ini hanya ssebuah ruko berlantai 3. 

    Dilansir dari situs Kemendikbud, Universitas Wiraswasta Indonesia merupakan perguruan tinggi swasta yang beralamat di Jalan Jatinegara Barat No. 157 Rt/Rw 011/003, Kelurahan Bali Mester, Jatinegara, Jakarta Timur.

    Seorang pengguna Twitter bahkan membagikan tangkapan layar nama Silfester Matutina tercatat sebagai mahasiswa program Ilmu Hukum angkatan 2016, di Universitas tersebut.

    Dari laman bisnis.com menyebutkan saat di cek di akun PDDIKTIK, nama Silfester Matutina merupakan mahasiswa yang lulus dari Universitas Mahasiswa Indonesia tahun 2019/2020.

    Silfester Matutina, dalam data PPDIKTI tersebut masuk sebagai mahasiswa baru dan menyelesaikan pendidikannya tepat waktu.

    Dilansir dari situs Kemendikbud, Universitas Wiraswasta Indonesia merupakan perguruan tinggi swasta yang beralamat di Jalan Jatinegara Barat, Kelurahan Bali Mester, Jatinegara, Jakarta Timur.

    Meski demikian jika dilihat dari penelusuran di Google, Universitas Wiraswasta Indonesia beralamat di Jl. Graha Kartika Pratama, Bojong Baru, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

    Sementara dilansir dari akun Instagram Universitas, perguruan tinggi ini menawarkan dua program studi yakni S1 Ilmu Hukum dan S1 Manajemen.

    Biaya pendidikan yang ditawarkan juga cukup terjangkau yakni sekitar Rp600.000 per bulan.

    Universitas Wiraswasta Indonesia sendiri tidak terlalu aktif di media sosial. Akun Instagramnya @univ.wiraswasta_ mengunggah postingan terakhir pada 24 Mei 2023 lalu.

    Di kolom komentar unggahan universitas, beberapa netizen menyerbu dengan komentar yang menyinggung Silfester Matutina.

    Berdasarkan informasi dari akun Instagram universitas tersebut, ternyata ditemukan banyak keluhan tentang tindak penipuan yang terjadi.

    Bahkan kampus ini diketahui juga telah dicabut izinnya oleh Dikti.

    Universitas Wiraswasta Indonesia atau UWI mendapatkan sanksi administratif berat berupa pencabutan izin pendirian perguruan tinggi karena telah melakukan pelanggaran pada tahun 2022-2023.

    Tidak dijelaskan lebih lanjut tentang pelanggaran apa yang telah dilanggar oleh universitas ini

  • Tanggapi Surya Paloh, KPK Anggap OTT Bupati Kolaka Timur Sesuai Aturan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        9 Agustus 2025

    Tanggapi Surya Paloh, KPK Anggap OTT Bupati Kolaka Timur Sesuai Aturan Nasional 9 Agustus 2025

    Tanggapi Surya Paloh, KPK Anggap OTT Bupati Kolaka Timur Sesuai Aturan
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang mempersoalkan terminologi operasi tangkap tangan (OTT) dalam penangkapan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis (ABZ). KPK menganggap OTT Bupati Abdul Azis telah sesuai aturan.
    “Tangkap tangan itu sendiri misalkan karena ditemukan pada saat terjadinya tindak pidana orang itu, atau sesaat setelahnya diteriakkan oleh khalayak ramai bahwa dia adalah pelakunya, atau pada saat ditemukan bukti-bukti padanya,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (9/8/2025) dini hari.
    Menurut Asep, KPK mulanya menerbitkan surat perintah penyelidikan kasus dugaan korupsi terkait pembangunan rumah sakit umum daerah di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, pada awal 2025.
    Pada pertengahan Juli 2025 hingga beberapa waktu lalu, kata dia, KPK mendapatkan informasi terjadi peningkatan komunikasi dan terdapat proses penarikan sejumlah uang untuk diberikan kepada sejumlah pihak.
    “Menindaklanjuti hal tersebut, kami melakukan atau membagi tim menjadi tiga tim,” katanya.
    Tiga tim tersebut bertugas untuk melakukan OTT di tiga lokasi, yakni Jakarta; Kendari, Sulawesi Tenggara; dan Makassar, Sulawesi Selatan.
    “Jakarta disentuh dulu dapat orangnya, kemudian di Kendari disentuh dulu dapat orangnya. Dari situ didapatkan informasi bahwa penyerahan uang maupun barang kemudian juga perintah-perintah yang diberikan itu kepada saudara ABZ juga. Walaupun memang dari informasi awal sudah kami ketahui,” ujarnya.
    “Informasi tambahan dari para terduga yang kami amankan di Jakarta maupun Kendari membuat kami sangat yakin bahwa saudara ABZ ini adalah juga terduga yang harus kami amankan. Untuk itu, tim yang ada di Makassar bergerak untuk melakukan kegiatan tangkap tangan kepada saudara ABZ,” tambah dia.
    Sebelumnya, Surya Paloh setelah menghadiri Rakernas NasDem di Makassar, Jumat (8/8), menginstruksikan kadernya di Komisi III DPR RI untuk memanggil KPK dalam rapat dengar pendapat dan memperjelas terminologi OTT.
    Menurut dia, OTT semestinya merupakan peristiwa penangkapan yang terjadi di satu tempat, dan ada transaksi antara pemberi dan penerima yang melanggar norma hukum.
    “Akan tetapi, kalau yang satu melanggar normanya di Sulawesi Utara, katakanlah si pemberi, dan yang menerima di Sulawesi Selatan, ini OTT apa? OTT plus?,” katanya.
    Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah sakit umum daerah (RSUD) Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara (Sultra).
    Abdul Azis ditetapkan sebagai tersangka bersama empat orang lainnya usai serangkaian Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Sulawesi Tenggara (Sultra), Jakarta, dan Sulawesi Selatan (Sulsel) pada Kamis (7/8/2025).
    Di antaranya, Andi Lukman Hakim selaku PIC Kemenkes untuk Pembangunan RSUD; Ageng Dermanto selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek Pembangunan RSUD di Kolaka Timur; Deddy Karnady selaku pihak swasta PT PCP; dan Arif Rahman selaku pihak swasta PT PCP.
    “Menetapkan lima orang tersangka sebagai berikut: ABZ (Bupati Kolaka Timur Abdul Azis), ALH (Andi Lukman Hakim), AGD (Ageng Dermanto), DK (Deddy Karnady), AR (Arif Rahman),” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, pada Sabtu (9/8/2025).
    Bupati Kolaka Abdul Azis, Andi Lukman Hakim, dan Ageng Dermanto selaku tersangka penerima suap dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sementara itu, para tersangka pemberi suap, yakni Deddy Karnady dan Arif Rahman, dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.