Topik: kontrak kerja

  • Wamen ESDM sebut BBM Pertamina yang beredar sudah melalui pengawasan

    Wamen ESDM sebut BBM Pertamina yang beredar sudah melalui pengawasan

    Kami ada mekanisme pengawasan, baik dari sisi jumlah maupun standar terhadap BBM di dalam negeri, baik Pertalite maupun Pertamax

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menyampaikan bahwa bahan bakar minyak (BBM) oleh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina yang beredar di masyarakat sudah melalui pengawasan Kementerian ESDM.

    “Kami ada mekanisme pengawasan, baik dari sisi jumlah maupun standar terhadap bahan bakar minyak yang ada di dalam negeri, baik itu Pertalite maupun Pertamax,” ujar Yuliot ketika ditemui setelah menghadiri Indonesia Energy Outlook 2025 di Jakarta, Kamis.

    Pernyataan tersebut merespons kebijakan Kementerian ESDM terkait pengawasan kualitas BBM yang beredar di dalam negeri dalam periode 2018–2023.

    Saat ini, kata dia, proses hukum di Kejaksaan Agung sedang berjalan. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan oleh Kementerian ESDM adalah mendukung proses hukum dan berusaha untuk meningkatkan pengawasan.

    “Yang bisa kami lakukan adalah pengawasan ke depan,” ucap dia.

    Pernyataan tersebut selaras dengan Wakil Ketua Komisi XII DPR Bambang Haryadi yang menyampaikan bahwa bahan bakar minyak (BBM) Pertamina sudah melalui program sertifikasi dan diuji oleh Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) yang beroperasi di bawah Kementerian ESDM.

    Bambang menjelaskan bahwa proses pengujian produk bahan bakar minyak sudah berlangsung sejak zaman dahulu, sebelum kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023 mencuat.

    Produk yang diuji oleh Lemigas pun bukan hanya BBM yang berasal dari Pertamina. Lemigas juga menguji BBM yang dijual oleh SPBU lainnya seperti Shell, Vivo, maupun BP.

    “Jadi sebenarnya barang-barang ini (BBM) sudah diuji, tidak hanya sekarang. Dari dulu ada peraturannya,” kata Bambang ketika melakukan sidak Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina di Jakarta, Kamis.

    Pernyataan tersebut merespons keresahan masyarakat akibat ramainya pemberitaan terkait BBM jenis Pertalite yang dioplos menjadi Pertamax.

    Kejaksaan Agung menyatakan bahwa dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembelian (pembayaran) untuk RON 92, padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 atau lebih rendah.

    RON 90 tersebut kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi RON 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.

    Kabar tersebut menyusul pengungkapan dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023. Kasus tersebut diduga menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp193,7 triliun.

    Atas hal tersebut, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri menyampaikan bahwa produk Pertamax, jenis BBM dengan angka oktan (research octane number/RON) 92, dan seluruh produk Pertamina lainnya, telah memenuhi standar dan spesifikasi, yang ditentukan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM.

    Simon menjelaskan produk BBM Pertamina secara berkala dilakukan pengujian dan diawasi secara ketat oleh Kementerian ESDM melalui Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi Lemigas

    Pewarta: Putu Indah Savitri
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

  • Menteri ESDM bentuk tim untuk pastikan spesifikasi BBM

    Menteri ESDM bentuk tim untuk pastikan spesifikasi BBM

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Menteri ESDM bentuk tim untuk pastikan spesifikasi BBM
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Rabu, 26 Februari 2025 – 14:07 WIB

    Elshinta.com – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan akan membentuk tim untuk memberi kepastian spesifikasi bahan bakar minyak (BBM) sebagai respons dari keresahan masyarakat soal kualitas BBM.

    “Kami akan menyusun tim dengan baik untuk memberikan kepastian agar masyarakat membeli minyak berdasarkan spesifikasi dan harganya,” ucap Bahlil ketika ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu.

    Terkait dengan pembelian RON 90 dan RON 92, Bahlil menyampaikan pentingnya perbaikan penataan terhadap izin-izin impor BBM. Saat ini, kata dia, Kementerian ESDM membenahinya dengan memberi izin impor BBM untuk 6 bulan, bukan satu tahun sekaligus.

    “Makanya sekarang, izin-izin impor kami terhadap BBM tidak satu tahun sekaligus. Kami buat per enam bulan, supaya ada evaluasi per tiga bulan,” ucap dia.

    Selain itu, produksi minyak yang tadinya diekspor, Bahlil menyampaikan tidak akan lagi diizinkan untuk mengekspor agar minyak mentah yang diproduksi diolah di dalam negeri.

    “Nanti yang bagus, kami suruh blending. Nanti yang tadinya itu nggak bisa diolah di dalam negeri, sekarang kami minta harus diolah di dalam negeri,” ucap Bahlil.

    Pernyataan tersebut merespons keresahan masyarakat akibat ramainya pemberitaan terkait BBM jenis Pertalite yang dioplos menjadi Pertamax.

    Kejaksaan Agung menyatakan bahwa dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembelian (pembayaran) untuk RON 92, padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 atau lebih rendah.

    RON 90 tersebut kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi RON 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.

    Kabar tersebut menyusul pengungkapan dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023. Kasus tersebut diduga menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp193,7 triliun.

    Atas hal tersebut, PT Pertamina (Persero) membantah kabar adanya bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax yang dioplos dengan BBM jenis Pertalite, sekaligus memastikan bahwa Pertamax yang beredar di masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.

    Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso Fadjar menegaskan bahwa produk Pertamax yang sampai ke masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.

    “Kami pastikan bahwa produk yang sampai ke masyarakat itu sesuai dengan speknya masing-masing,” ucap Fadjar ketika ditemui di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (25/2).

    Sumber : Antara

  • Korupsi Oplosan Pertamina Terjadi Antara 2018 – 2023, Dandhy Laksono: Itu Angka Cantik Sebelum Pilpres dan Pemilu

    Korupsi Oplosan Pertamina Terjadi Antara 2018 – 2023, Dandhy Laksono: Itu Angka Cantik Sebelum Pilpres dan Pemilu

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Kasus dugaan korupsi oplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Pertamina terungkap. Terjadi antara 2018 – 2023.

    Hal tersebut menuai sorotan publik. Jurnalis investigasi Dandhy Laksono mengatakan kemungkinan BBM yang dioplos sudah habis.

    “Kasusnya memang terjadi antara 2018-2023. Jadi yang oplosan mungkin sudah habis dikonsumsi rakyat Indonesia,” kata Dandhy dikutip dari unggahannya di X, Kamis (27/2/2025).

    Menurutnya, penting untuk pihak terkait mengakui adanya praktik tersebut. Agar kredibilitasnya bisa dipulihkan.

    “Kalau mau memulihkan kredibilitas, mending jelasin (akui) bahwa selama 5 tahun ada praktik seperti ini,” ujarnya.

    Di sisi lain, Dandhy menggaris bawahi. Bahwa di tahun 2018 dan 2023 ada momen besar setelahnya. Yakni Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dan 2024.

    “Btw, 2018 dan 2023 itu angka cantik sebelum Pilpres dan Pemilu,” terangnya.

    Sebelumnya Kejaksaan Agung mengatakan praktik blending atau oplosan bahan bakar minyak RON 90 menjadi RON 92 dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terjadi pada tahun 2018–2023.

    Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar untuk merespons adanya isu masih adanya bahan bakar minyak (BBM) oplosan yang beredar di masyarakat.

    “Terkait adanya isu oplosan, blending, dan lain sebagainya, untuk penegasan, saya sampaikan bahwa penyidikan perkara ini dilakukan dalam tempus waktu 2018 sampai 2023. Artinya, ini sudah dua tahun yang lalu,” kata Harli di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu.

  • Viral Perusahaan di China Ancam Pecat Karyawan yang Masih Jomblo, Ini Alasannya

    Viral Perusahaan di China Ancam Pecat Karyawan yang Masih Jomblo, Ini Alasannya

    Jakarta

    Ekstrem, perusahaan di China mengancam karyawan-nya yang belum memiliki pasangan atau bercerai untuk segera menikah selambatnya September 2025.

    Bila tidak, perusahaan akan melalukan pemutusan hubungan kerja. Shuntian Chemical Group, yang berkantor pusat di provinsi Shandong, Tiongkok timur, mengumumkan kebijakan tersebut bulan lalu dalam upaya untuk meningkatkan angka pernikahan di antara karyawannya.

    Perusahaan yang memiliki lebih dari 1.200 karyawan, memberi tahu pekerja yang belum menikah berusia 28 hingga 58 tahun, termasuk mereka yang bercerai, bahwa mereka diharuskan untuk menikah paling lambat 30 September.

    “Jika Anda tidak dapat menikah dan membangun keluarga pada kuartal ketiga, perusahaan akan memutuskan kontrak kerja Anda,” demikian pengumuman perusahaan.

    Perusahaan juga menuding para karyawan yang masih lajang tidak setia dan tidak patuh pada nasihat orang tua untuk menikah.

    Pengumuman itu, muncul di tengah upaya pemerintah China meningkatkan angka pernikahan dan kelahiran, yang menuai kritik secara luas di dunia maya.

    “Bukankah ini hanya alasan lain untuk memecat seorang karyawan?” tulis komentar di platform media sosial China Weibo.

    Seperti diketahui, belakangan China disalip India sebagai negara terpadat di dunia. Sejak itu, pemerintah berupaya membangkitkan minat generasi muda untuk menikah dan memiliki anak dalam menghadapi populasi yang menurun dan menua.

    Jumlah pernikahan baru di China turun seperlima tahun lalu, penurunan terbesar yang pernah tercatat, menurut data pemerintah yang dirilis bulan ini, sementara jumlah penduduk turun tahun lalu untuk tahun ketiga berturut-turut, menjadi 1,408 miliar.

    Menjelang pertemuan parlemen tahunan China minggu depan, seorang penasihat politik nasional telah mengusulkan penurunan usia legal untuk menikah menjadi 18 tahun sebagai salah satu cara untuk membalikkan tren saat ini. Saat ini usia legal untuk menikah di China adalah 22 tahun untuk pria dan 20 tahun untuk wanita, termasuk yang tertinggi di dunia.

    (kna/kna)

  • Kronologi 2 Pejabat jadi Tersangka Baru Korupsi Tata Kelola Minyak, Perintahkan Oplos Ron 90 jadi Pertamax

    Kronologi 2 Pejabat jadi Tersangka Baru Korupsi Tata Kelola Minyak, Perintahkan Oplos Ron 90 jadi Pertamax

    PIKIRAN RAKYAT – Dua orang pejabat Pertamina menjadi tersangka baru dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sma (2019-2023). Mereka diduga memeritahkan proses oplosan pada produk kilang pada jenis RON 88 dengan RON 90 agar menghasilkan RON 92.

    Kejaksaan Agung menyataian temuan adanya pengoplosan Pertamax ini ditemukan tim penyidik berdasarkan temuan alat bukti. Kedua tersangka berinisial MK, Direktur Pemasan Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga dan EC, VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga.

    “Penyidik menemukan tidak seperti itu. Ada RON 90 (setara Pertalite) atau di bawahnya 88 di-blending dengan 92 (setara Pertamax). Jadi RON dengan RON sebagaimana yang sampaikan tadi,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar di Kantor Kejagung, Rabu, 26 Februari 2025 dikutip Pikiran-Rakyat.com dalam laman BBC News Indonesia.

    Kejagung juga menemukan bahwa dua tersangka ini mengetahui dan menyetujui mark up atau penggelembungan Harga kontrak pengiriman yang dilakukan oleh tersangka JF.

    Akibatnya, kata Qohar, Pertamina harus mengeluarkan fee 13% hingga 15% yang disebutnya “melawan hukum”. Uang itu kemudian mengalir ke tersangka lainnya MKAR dan DW, ungkapnya.

    Dalam keterangannya, Kejagung mengungkap bahwa ‘pengoplosan’ atau blending minyak mentah RON 92 dilakukan di terminal dan perusahaan milik MKAR. Pengoplosan ini terjadi di terminal PT Orbit Terminal Merak yang dimiliki bersama-sama oleh Kerry dan tersangka GRJ.

    Dengan menetapkan dua tersangka baru, maka sejauh ini sudah ada sembilan orang tersangka dalam kasus ini.

    Siapa Saja Tersangka Kasus Korupsi Pertamina?

    Kejagung menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp193,7 triliun, mereka adalah:

    Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S

    RS, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; ⁠SDS, Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; ⁠YF, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping; AP, VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International; MKAR, Beneficially Owner PT Navigator Khatulistiwa; ⁠DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT. Jenggala Maritim; GRJ, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak.

    Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengatakan, penetapan tersangka itu usai penyidik memeriksa 96 saksi dan dua orang saksi ahli. Usai ditetapkan sebagai tersangka, semua tersangka langsun ditahan.

    Bagaimana Modus Korupsi Ini?

    Modus para tersangka yaitu mengondisikan produksi minyak bumi dalam negeri menjadi berkurang dan tidak memenuhi nilai ekonomis sehingga perlu impor dan melakukan mark up kontrak pengiriman minyak impor.

    Selain itu, modus lainnya adalah mengoplos impor minyak mentah RON 90 (setara Pertalite) dan kualitas di bawahnya menjadi RON 92 (Pertamax).

    “Jadi dia (tersangka) mengimpor RON 90, 88, dan di bawah RON 92. Hasil impor ini dimasukkan dulu ke storage di Merak (Banten). Nah, lalu di-blended [campur] lah di situ supaya kualitasnya itu jadi trademark-nya (merek dagang) RON 92,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar saat dihubungi BBC News Indonesia, Selasa, 25 Februari 2025.

    Atas perbuatan itu, para tersangka disangkakan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan dari kuasa hukum para tersangka.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Dirut Pertamina tegaskan kualitas Pertamax sesuai standar

    Dirut Pertamina tegaskan kualitas Pertamax sesuai standar

    BBM Pertamina secara berkala dilakukan pengujian dan diawasi secara ketat oleh Kementerian ESDM melalui Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS)

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri menegaskan produk Pertamax, jenis BBM dengan angka oktan (research octane number/RON) 92, dan seluruh produk Pertamina lainnya, telah memenuhi standar dan spesifikasi, yang ditentukan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM.

    “Kami pastikan operasional Pertamina saat ini berjalan lancar dan terus mengoptimalkan layanan, serta menjaga kualitas produk BBM kepada masyarakat,” kata Simon di Jakarta, Kamis.

    Simon menjelaskan produk BBM Pertamina secara berkala dilakukan pengujian dan diawasi secara ketat oleh Kementerian ESDM melalui Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS).

    Simon mengatakan Pertamina menghormati proses penyidikan yang sedang dilakukan Kejaksaan Agung atas tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina dalam kurun 2018-2023.

    Ia pun memastikan selama proses penyidikan tersebut, operasional Pertamina dalam melayani kebutuhan BBM kepada masyarakat tetap berjalan dengan lancar.

    Pertamina, lanjutnya, sebagai induk perusahaan dari berbagai lini bisnis energi, terus berupaya untuk meningkatkan kinerja tata kelola yang baik (good corporate governance) di dalam Pertamina Group, antara lain melalui sinergi yang lebih kuat dengan Kejaksaan Agung.

    Simon mengapresiasi kepercayaan dan dukungan semua pihak terhadap kualitas produk-produk Pertamina selama ini, serta meminta agar masyarakat tenang dan tidak terprovokasi dengan berbagai isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

    Pernyataan tersebut merespons keresahan masyarakat akibat ramainya pemberitaan terkait BBM jenis Pertalite yang dioplos menjadi Pertamax.

    Kejaksaan Agung menyatakan bahwa dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembelian (pembayaran) untuk RON 92, padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 atau lebih rendah.

    RON 90 tersebut kemudian dilakukan pencampuran (blending) di penyimpanan atau depo untuk menjadi RON 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.

    Kabar tersebut menyusul pengungkapan dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tahun 2018-2023. Kasus tersebut diduga menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp193,7 triliun.

    Atas hal tersebut, Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso Fadjar menegaskan produk Pertamax yang sampai ke masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.

    “Kami pastikan bahwa produk yang sampai ke masyarakat itu sesuai dengan speknya masing-masing,” ucap Fadjar ketika ditemui di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (25/2/2025).

    Pewarta: Putu Indah Savitri
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Kejagung: Bos Pertamina Patra Niaga Perintahkan Oplos Pertamax

    Kejagung: Bos Pertamina Patra Niaga Perintahkan Oplos Pertamax

    Bisnis.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap fakta baru dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode 2018-2023. Kejagung menduga dua tersangka baru, yang merupakan bos PT Pertamina Patra Niaga, memerintahkan oplos Pertamax.  

    Sebelumnya, dua tersangka baru itu yakni Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya (MK) dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne (EC).

    Dirdik Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar mengatakan Maya dan Edward berperan melakukan pembelian bahan bakar RON 90 atau lebih rendah atas persetujuan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS), yang telah ditetapkan sebagai tersangka. 

    Hanya saja, Qohar mengatakan pembelian bahan bakar itu tidak sesuai perencanaan. Sebab, kata dia, seharusnya pembelian itu dilakukan untuk pembelian RON 92 atau sejenis Pertamax.

    “Sehingga menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi tidak sesuai dengan kualitas barang,” ujarnya di Kejagung, Rabu (26/2/2025) malam.

    Selanjutnya, Maya juga diduga telah memerintahkan Edward untuk melakukan blending produk kilang jenis RON 88 Premium dengan RON 92 agar dapat menghasilkan RON 92.

    Kegiatan blending bahan bakar itu dilakukan di PT Orbit Terminal milik tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) atau yang dijual dengan harga RON 92.

    “Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core bisnis PT Pertamina Patra Niaga,” tambahnya.

    Kemudian, Maya dan Edward juga diduga melakukan pembayaran impor produk kilang yang seharusnya dapat menggunakan metode term atau pemilihan langsung. 

    Namun dalam pelaksanaannya, kedua tersangka justru menggunakan metode spot atau penunjukan langsung sehingga PT Pertamina Patra Niaga harus membayar impor produk kilang dengan harga yang tinggi kepada mitra usaha/DMUT.

    Selain itu, Kejagung mengatakan Maya dan Edward juga mengetahui dan menyetujui soal mark up kontrak shipping Dirut PT Pertamina Internasional Shipping Yoki Firnandi (YF). 

    Perbuatan itu kemudian telah membuat PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee sebesar 13%-15% kepada PT Navigator Khatulistiwa yang diketahui melawan hukum.

    “Fee tersebut diberikan kepada Tersangka MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa dan Tersangka DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa,” pungkasnya.

    Atas perbuatan itu, Maya dan Edward disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No.31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20/2001 tentang Perubahan Atas UU RI No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

    Penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung sedang melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada tahun 2018–2023.

    Pada Senin (24/2), penyidik menetapkan tujuh orang tersangka baru dalam kasus ini, yaitu Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, dan Yoki Firnandi (YF) selaku PT Pertamina International Shipping.

    Tersangka lainnya, yakni Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

    Kejagung menjelaskan posisi kasus ini adalah pada periode tahun 2018–2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.

  • Kejagung Tetapkan 2 Tersangka Baru di Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak

    Kejagung Tetapkan 2 Tersangka Baru di Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak

    PIKIRAN RAKYAT – Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan identitas dua tersangka baru dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023.

    Penetapan ini menambah daftar tersangka menjadi sembilan orang. Berikut ini dua tersangka baru yang ditahan oleh Kejagung:

    Maya Kusmaya (MK): Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga.

    Edward Corne (EC): VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga.

    Proses Penetapan Tersangka

    Penetapan kedua tersangka ini dilakukan setelah Kejagung melakukan penyidikan kepada keduanya, yang sebelumnya berstatus sebagai saksi.

    “Terhadap dua orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan surat perintah nomor 19/F.2/FD.2/02/2025 tanggal 26 Februari 2025. Ini untuk tersangka Maya Kusmaya. Sedangkan untuk tersangka Edward Corne berdasarkan penetapan tersangka nomor 20/F.2/FD.2/02/2025 tanggal 26 Februari 2025,” papar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar.

    Total Tersangka

    Dengan penetapan ini, hingga Rabu, 26 Februari 2025 malam, telah ditetapkan 9 tersangka atas kasus dugaan tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang.

    Dampak dan Kerugian Negara

    Kasus korupsi ini diduga telah menyebabkan kerugian negara yang sangat signifikan. Menurut informasi yang didapat, kerugian negara mencapai angka Rp193,7 Triliun. Rincian dari kerugian tersebut antara lain:

    Kerugian dari kegiatan ekspor minyak mentah yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, dengan jumlah kerugian mencapai Rp35 Triliun.

    Kerugian dari kegiatan impor minyak mentah melalui DMUT/Broker, dengan jumlah kerugian mencapai Rp2,7 Triliun.

    Kejaksaan Agung menegaskan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus ini dan menyeret semua pihak yang terlibat ke meja hijau. Upaya penegakan hukum ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang.

    Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya di sektor energi. Masyarakat berharap agar proses hukum berjalan dengan adil dan transparan, serta memberikan hasil yang optimal bagi kepentingan negara.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Kejagung Ungkap Peran 2 Tersangka Baru di Kasus Korupsi Minyak Mentah

    Kejagung Ungkap Peran 2 Tersangka Baru di Kasus Korupsi Minyak Mentah

    loading…

    Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar dan Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar (kanan) dalam jumpa pers di Kejagung. Foto/Danandaya

    JAKARTA Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan 2 tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Tahun 2018-2023. Adapun dua tersangka baru ini yakni Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga dan Edward Corne selaku VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga.

    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar menjelaskan, dalam perkara ini Maya dan Edward melakukan pembelian RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92 atas persetujuan tersangka RS. Sehingga, hal itu menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi tidak sesuai dengan kualitas barang.

    “Kemudian tersangka MK memerintahkan dan atau memberikan persetujuan kepada tersangka EC untuk melakukan blending produk kilang jenis RON 88 (premium) dengan RON 92 (pertamax) di terminal (storage) PT Orbit Terminal Merak milik tersangka MKAR dan tersangka GRJ atau yang dijual dengan harga RON 92,” kata Qohar dikutip Kamis (27/2/2025).

    “Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core business PT Pertamina Patra Niaga,” sambung dia.

    Selanjutnya, Maya dan Edward melakukan pembayaran impor produk kilang menggunakan metode spot atau penunjukan langsung (harga yang berlaku saat itu). Padahal, kata dia, metode pembayaran yang seharusnya digunakan adalah term atau pemilihan langsung (waktu berjangka) sehingga diperoleh harga wajar.

    Alhasil, PT Pertamina Patra Niaga membayar impor produk kilang dengan harga yang tinggi kepada mitra usaha atau DMUT. “Tersangka MK dan tersangka EC mengetahui dan menyetujui adanya mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, sehingga PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee sebesar 13 persen sampai dengan 15 secara melawan hukum,” ujar dia.

    “Dan fee tersebut diberikan kepada tersangka MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa dan Tersangka DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa,” imbuhnya.

    Sebagai informasi, dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 9 orang sebagai tersangka. Tujuh tersangka yang lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional.

    YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shiping, AP selaku VP Feed stock Management PT Kilang Pertamina International, MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, ⁠DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan ⁠YRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Mera.

    Dalam kasus ini, Kejagung menyebutkan total kerugian keuangan negara mencapai Rp193,7 triliun.

    (rca)

  • Pertamax Periode 2018-2023 Hasil Oplosan?

    Pertamax Periode 2018-2023 Hasil Oplosan?

    Pertamax Periode 2018-2023 Hasil Oplosan?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Agung menegaskan adanya temuan
    Pertamax
    yang dioplos dalam konstruksi kasus dugaan
    korupsi tata kelola minyak mentah
    dan produk kilang pada PT
    Pertamina
    Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar menegaskan temuan adanya pengoplosan atau blending Pertamax ini ditemukan penyidik berdasarkan alat bukti yang terkumpul.
    Penegasan itu disampaikan Qohar untuk membantah pembelaan PT
    Pertamina Patra Niaga
    bahwa tidak ada praktik
    blending
    Pertamax dengan jenis lain yang lebih rendah.
    “Tetapi penyidik menemukan tidak seperti itu. Ada RON 90 (Pertalite) atau di bawahnya 88 di-
    blending
    dengan 92 (Pertamax). Jadi RON dengan RON sebagaimana yang sampaikan tadi,” katanya di Kantor
    Kejagung
    , Rabu (26/2/2025).
    Dia mengatakan, temuan ini juga diperkuat oleh keterangan saksi yang diperiksa penyidik.
    Bahkan, menurut Qohar, bahan bakar minyak (BBM) oplosan tersebut dijual dengan harga Pertamax.
    “Jadi hasil penyidikan, tadi saya sampaikan itu. RON 90 atau di bawahnya itu tadi fakta yang ada, dari keterangan saksi RON 88 di-
    blending
    dengan (RON) 92. Dan dipasarkan seharga (RON) 92,” ujar Qohar.
    Terkait kepastian hal ini, pihaknya akan meminta ahli untuk meneliti hal tersebut.
    “Nanti ahli yang meneliti. Tapi fakta-fakta alat bukti yang ada seperti itu. Keterangan saksi menyatakan seperti itu,” kata Qohar.
    PT Pertamina Patra Niaga sebelumnya membantah temuan Kejagung terkait adanya pengoplosan Pertamax dan Pertalite dalam pengadaan dan pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) untuk masyarakat.
    Pelaksana Tugas Harian (Plh) Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, memastikan bahwa produk BBM yang dijual di SPBU sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan untuk masing-masing produk.
    “Dengan tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan, izin kami memberikan penjelasan terkait isu yang berkembang di masyarakat, khususnya soal kualitas BBM RON 90 dan RON 92,” kata Ega dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI di Gedung DPR RI, Rabu (26/2/2025).
    “Kami berkomitmen dan kami berusaha memastikan bahwa yang dijual di SPBU untuk RON 92 adalah sesuai dengan RON 92, yang RON 90 sesuai dengan RON 90,” ujarnya lagi.
    Ega menjelaskan bahwa Pertamina Patra Niaga memeroleh pasokan bensin dari dua sumber, yakni kilang dalam negeri dan pengadaan dari luar negeri.
    Menurut dia, baik Pertalite (RON 90) maupun Pertamax (RON 92) sudah diterima dalam bentuk akhir sesuai dengan standar masing-masing.
    “Kami menerima itu sudah dalam bentuk RON 90 dan RON 92, tidak dalam bentuk RON lainnya. Jadi, untuk Pertalite kita sudah menerima produk, baik dari kilang maupun dari luar negeri, itu adalah bentuk RON 90,” kata Ega.
    “Untuk 92 juga sudah dalam bentuk RON 92, baik dari kilang Pertamina maupun pengadaan dari luar negeri,” ujarnya lagi.
    Namun, Ega mengakui adanya proses tambahan aditif pada BBM jenis Pertamax. Hanya saja, penambahan zat tersebut bukan berarti terjadi pengoplosan dengan Pertalite.
    Sebab, BBM RON 90 dan 92 yang diterima Pertamina masih dalam kategori
    best fuel
    dan tanpa memiliki tambahan aditif apa pun.
    “Di Patra Niaga, kita terima di terminal itu sudah dalam bentuk RON 90 dan RON 92, tidak ada proses perubahan RON. Tetapi yang ada untuk Pertamax, kita tambahan aditif. Jadi di situ ada proses penambahan aditif dan proses penambahan warna,” ungkap Ega.
    Ega menekankan bahwa proses injeksi tersebut adalah proses umum dalam industri minyak untuk meningkatkan kualitas produk.
    “Proses ini adalah proses injeksi
    blending
    . Proses
    blending
    ini adalah proses yang umum dalam produksi minyak yang merupakan bahan cair. Ketika kita menambahkan proses blending ini, tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai daripada produk tersebut,” kata Ega.
    “Jadi
    best fuel
    RON 92 ditambahkan aditif agar ada
    benefit
    -nya, penambahan
    benefit
    untuk performa dari produk-produk ini,” ujarnya lagi.
    Setelah melakukan penggeledahan dan pemeriksaan kepada para saksi, Kejagung kembali menetapkan dua orang tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi minyak mentah.
    Tak tanggung-tanggung, dua tersangka itu merupakan petinggi sekaligus anak buah Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Niaga.
    Kedua tersangka baru ini adalah Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
    Maya dan Edward juga terlibat dalam proses perencanaan serta pelaksanaan
    blending
    atau pengoplosan Pertamax alias RON 92 dengan minyak mentah yang lebih rendah kualitasnya.
    “Kemudian, tersangka MK memerintahkan dan atau memberikan persetujuan kepada EC untuk melakukan blending produk kilang pada jenis RON 88 dengan RON 90 agar dapat menghasilkan RON 92,” jelas Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kartika Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (26/2/2025).
    Pengoplosan ini terjadi di terminal PT Orbit Terminal Merak yang merupakan milik tersangka MKAR, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa dan tersangka GRJ yang merupakan Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
    Atas persetujuan dari tersangka, Riva Siahaan (RS), Maya dan Edward melakukan pembelian RON 90 atau yang lebih rendah dengan harga RON 92.
    Minyak yang dibeli ini kemudian dioplos oleh kedua tersangka sehingga menjadi RON 92 alias Pertamax.
    “Tersangka MK dan EC atas persetujuan tersangka RS melakukan pembelian RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92 sehingga menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi dan tidak sesuai dengan kualitas barang,” kata Qohar.
    Proses pembelian dan pengoplosan yang dilakukan oleh kedua tersangka ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan tata cara bisnis PT Pertamina Patra Niaga.
    Lebih lanjut, Maya dan Edward disebut melakukan pembayaran impor produk kilang menggunakan metode pemilihan penunjukan langsung. Padahal, metode pembayaran bisa dilakukan dengan term atau dalam jangka panjang yang harganya dibilang wajar.
    “Tetapi, dalam pelaksanaannya menggunakan metode spot atau penunjukan langsung harga yang berlaku saat itu sehingga PT
    Pertamina Patra niaga
    membayar impor produk kilang dengan harga yang tinggi kepada mitra usaha,” ujar Qohar.
    Tak hanya itu, Maya dan Edward juga disebut mengetahui serta menyetujui
    mark up
    atau penggelembungan harga kontrak
    shipping
    atau pengiriman yang dilakukan oleh tersangka JF selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping.
    Akibatnya, PT Pertamina Patra Niaga harus mengeluarkan biaya atau fee senilai 13-15 persen secara melanggar hukum yang akhirnya memberikan keuntungan kepada tersangka MKAR dan tersangka DW.
    Atas perbuatan, Maya, Edward, dan tujuh orang tersangka lainnya, negara mengalami kerugian hingga Rp 193,7 triliun.
    Namun Kejagung meminta publik tidak panik.  Sebab, praktik pengoplosan itu diduga terjadi dalam rentang kasus dugaan korupsi ini berlangsung, yaitu antara 2018-2023.
    Artinya, Pertamax yang beredar dan dikonsumsi masyarakat di tahun 2024 ke atas sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.
    “Jadi, jangan ada pemikiran di masyarakat bahwa seolah-olah minyak yang digunakan sekarang itu adalah minyak oplosan. Nah, itu enggak tepat,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar saat ditemui di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu.
    Harli menjelaskan, berdasarkan hasil temuan sementara, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan membeli dan membayar minyak RON 92.
    Namun, minyak yang datang justru jenis RON 90 dan 88.
    “Fakta hukum yang sudah selesai (peristiwanya) bahwa RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga itu melakukan pembayaran terhadap pembelian minyak yang RON 92, berdasarkan
    price list
    -nya. Padahal, yang datang itu adalah RON 88 atau 90,” kata Harli.
    Saat ini, penyidik juga masih mendalami apakah minyak RON 88 dan RON 90 yang dibeli pada tahun 2018-2023, langsung didistribusikan kepada masyarakat atau tidak.
    “Kami kan harus mengkaji berdasarkan bantuan ahli. Misalnya, kalau yang datang RON 90, RON 90 itu kan Pertalite. Nah, apakah Pertalite ini juga sewaktu diimpor langsung didistribusi?” ujar Harli.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.