Istana Respons Purbaya yang Tolak Bayar Utang Kereta Cepat Pakai APBN
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengungkapkan bahwa pemerintah tengah mencari jalan keluar untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) atau Whoosh tanpa menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Hal ini disampaikan Prasetyo merespons sikap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak menggunakan APBN untuk membayar utang proyek kereta cepat.
“Beberapa waktu yang lalu juga sudah dibicarakan untuk mencari skema supaya beban keuangan itu bisa dicarikan jalan keluar,” kata Prasetyo seusai rapat kabinet di kediaman Presiden Prabowo Subianto, Jalan Kertanegara, Jakarta, Minggu (12/10/2025) malam.
Prasetyo menyebutkan, pembayaran utang proyek Whoosh sendiri tidak dibahas dalam rapat di kediaman Prabowo tersebut.
Namun, ia menekankan bahwa Whoosh merupakan moda transportasi yang sangat membantu masyarakat dan harus didukung perkembangannya.
“Karena faktanya kan juga Whoosh, kemudian juga menjadi salah satu moda transportasi yang sekarang sangat membantu aktivitas seluruh masyarakat, mobilitas dari Jakarta maupun ke Bandung dan seterusnya,” kata Prasetyo.
Prasetyo juga kembali menyinggung wacana perpanjangan rute Whoosh hingga Surabaya, Jawa Timur.
“Dan justru kita pengin sebenarnya kan itu berkembang ya, tidak hanya ke Jakarta dan sampai ke Bandung, mungkin juga kita sedang berpikir untuk sampai ke Jakarta, ke Surabaya,” imbuh dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tidak akan menggunakan uang negara alias APBN untuk menanggung utang jumbo proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) atau Whoosh.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) itu kini tengah disorot karena beban utangnya mencapai Rp 116 triliun.
Danantara, sebagai
superholding
BUMN, disebut tengah mencari cara meringankan pembiayaan proyek tersebut, termasuk kemungkinan meminta dukungan dari APBN.
Namun, Purbaya menolak wacana itu karena menurutnnya utang proyek KCIC bukan tanggung jawab pemerintah, melainkan sepenuhnya menjadi urusan BUMN yang terlibat di dalamnya.
Meski mengaku belum menerima permintaan resmi dari Danantara, Purbaya mengingatkan bahwa sejak
superholding
itu terbentuk, seluruh dividen BUMN telah menjadi milik Danantara dan tidak lagi tercatat sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Nilainya disebut bisa mencapai sekitar Rp 80 triliun per tahun.
“Kalau sudah dibuat Danantara, kan mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa Rp 80 triliun atau lebih, harusnya mereka
manage
dari situ. Jangan ke kita lagi (Kemenkeu),” ujar Purbaya dalam Media Gathering APBN 2026 di Bogor, Jumat (10/10/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topik: kereta cepat Jakarta Bandung
-
/data/photo/2025/09/20/68ce256611c99.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Istana Respons Purbaya yang Tolak Bayar Utang Kereta Cepat Pakai APBN Nasional
-

Sudah Benar Prabowo Tidak Talangi Utang Kereta Cepat Warisan Jokowi
GELORA.CO -Langkah pemerintahan Prabowo Subianto yang tidak akan mengambil alih atau menalangi utang proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh warisan Joko Widodo alias Jokowi dianggap sebagai keputusan yang tepat dan patut diapresiasi.
“Keputusan Menteri Keuangan Purbaya yang menegaskan tidak akan mengambil alih atau menalangi utang proyek Whoosh atau kereta cepat Jakarta-Bandung adalah langkah yang tepat dan patut diapresiasi,” kata Koordinator Simpul Aktivis Angkatan 98 alias Siaga 98, Hasanuddin kepada RMOL, Minggu, 12 Oktober 2025.
Menurut Hasanuddin, sikap pemerintah tersebut menunjukkan ketegasan negara dalam menempatkan proyek infrastruktur strategis sebagai urusan business-to-business atau B to B, sehingga tidak menjadi beban fiskal pemerintah atau resiko negara.
“Proyek tersebut adalah tanggung jawab korporasi BUMN terkait, dan menjadi ujian bagi tata kelola profesional serta kemandirian finansial entitas usaha milik negara,” terang Hasanuddin.
Hasanuddin mengatakan, reformasi kelembagaan dan penguatan peran BUMN hanya akan berhasil apabila semangat dasarnya adalah “BUMN menopang negara, bukan negara menopang BUMN”.
Untuk itu, BUMN harus menjadi sumber kemandirian ekonomi nasional, bukan alat kepentingan politik atau proyek penyelamatan korporasi dan bisnis pejabatnya.
Karena kata Hasanuddin, dengan tata kelola yang bersih, profesional, dan berorientasi pada kepentingan publik, BUMN akan menjadi instrumen strategis menuju Indonesia yang berdaulat secara ekonomi dan mandiri secara finansial.
“Hemat kami, dalam masa transisi ini, penegak hukum harus terlibat aktif baik dalam pencegahan maupun penindakan dari upaya mencari untung dari BUMN atau menyebabkan BUMN merugi karena tindakan curang. Dalam hal ini KPK dapat turun secara aktif, diminta ataupun tidak karena merupakan jurisdiksinya, apalagi Presiden Prabowo Subianto telah menyampaikan sikapnya agar BUMN diawasi,” pungkas Hasanuddin.
-

Menkeu Purbaya Tolak APBN Dipakai Bayar Utang Kereta Cepat, Hodari: Geng Solo dan Termul Kepanasan
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengamat media sosial, Hodari, merespons langkah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Dikatakan Hodari, keputusan Purbaya ini menjadi kabar mengejutkan sekaligus langkah yang berani.
Ia menyebut sikap tegas Purbaya menolak keterlibatan APBN dalam menanggung utang proyek tersebut membuat sejumlah pihak yang selama ini mendukung proyek kereta cepat menjadi gerah.
“Ada kabar yang begitu mengejutkan. Bahkan ini geng Solo termul-termul ini kepanasan,” ujar Hodari dikutip pada Minggu (12/10/2025).
Ia menilai, penolakan Menkeu Purbaya terhadap pembebanan APBN merupakan bentuk tanggung jawab agar negara tidak terus menanggung beban utang proyek yang awalnya dijanjikan tidak akan menggunakan uang negara.
“Ternyata Pak Purbaya, begitu kan, ogah yang membayar hutang-hutang kereta cepat yang dibebankan kepada APBN. Dia menolak keras,” lanjutnya.
Hodari kemudian menyinggung kembali janji mantan Presiden Jokowi di awal proyek kereta cepat yang menyebut bahwa pembangunan tersebut tidak akan membebani APBN. Namun, realita yang terjadi justru sebaliknya.
“Jokowi, ke mana Jokowi? Kalau tidak dibebankan APBN, lalu dibebankan kepada siapa? Dibebankan kepada Luhut? Dibebankan kepada Jokowi?,” imbuhnya.
Tidak berhenti di situ, ia juga menilai utang proyek yang mencapai ratusan triliun rupiah dan menyebut kebijakan tersebut telah menekan sejumlah BUMN yang ikut terlibat dalam proyek tersebut.
-

PNBP Nasibmu Kini: Diterpa Gejolak Harga Komoditas, Ditinggal Dividen BUMN
Bisnis.com, BOGOR — Pemerintah mengakui terdapat berbagai tantangan untuk menarik penerimaan negara pada 2026, tidak terkecuali untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Selain volatilitas harga komoditas, otoritas fiskal tahun depan untuk pertama kali tidak akan sama sekali menerima pemasukan PNBP dari dividen BUMN.
Sejatinya, penerimaan dari PNBP tidak sebesar dari porsi penerimaan perpajakan yang meliputi pajak serta bea cukai. Dari total target pendapatan negara Rp3.153,6 triliun, penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp2.693,7 triliun atau lebih dari lima kalinya PNBP yang ditargetkan Rp459,2 triliun.
Staf Ahli Bidang PNBP Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Mochamad Agus Rofiudin memaparkan bahwa seperti halnya pajak dan bea cukai, PNBP turut dipengaruhi oleh volatilitas harga komoditas. Misalnya, terkait dengan perkembangan harga minyak mentah Indoensia (ICP) atau harga batu bara acuan (HBA).
Berdasarkan data Kemenkeu, hal itu bisa terlihat dari perbandingan penerimaan PNBP dengan fluktuasi harga komoditas setidaknya pada 10 tahun belakangan. Saat terjadi commodity boom 2018-2019 maupun 2022-2023, penerimaan PNBP pun ikut naik. Sempat terjadi penurunan pada 2020-2021 akibat pandemi Covid-19.
Saat ini, ketika terjadi penurunan produksi dan harga migas maupun minerba, PNBP pun ikut melemah. Pada saat terjadi commodity boom terakhir 2023, total realisasi PNBP mencapai Rp612,5 triliun dengan kontribusi utama dari PNBP SDA migas sekitar Rp116 triliun dan SDA nonmigas Rp135 triliun.
Pencapaiannya mulai turun pada 2024. Secara outlook tahun ini, realisasi PNBP 2025 sebesar Rp477,2 triliun. Kontribusi dari PNBP SDA migas dan nonmigas masing-masing sebesar Rp114,6 triliun dan Rp115,5 triliun.
Agus lalu menjelaskan bahwa saat ini terjadi penurunan produksi batu bara karena permintaan global menurun. China, pasar terbesar untuk komoditas RI itu, kini tengah beralih ke energi hijau. Mereka juga disebut membutuhkan batu bara dengan kualitas tinggi, sedangkan kualitas di Indonesia rata-rata rendah.
Sementara itu, ICP juga turun dari 2024 sebesar US$83 per barel menjadi US$70 per barel pada tahun ini. “Tentunya itu pengaruhnya besar. Satu dolar ICP itu pengaruhnya ke penerimaan kita Rp1,6 triliun,” ungkapnya kepada wartawan pada acara Media Gathering APBN 2026, Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025).
Ditinggal Dividen BUMN
Selain harga komoditas, PNBP semakin terdampak dengan pengalihan dividen BUMN ke Danantara sesuai dengan amanat revisi Undang-undang (UU) No.1/2025 tentang BUMN.
Sebelumnya, dividen BUMN masuk ke pos kekayaan negara yang dipisahkan (KND) pada PNBP. Terakhir di 2024, realisasinya Rp86,4 triliun. Sebenarnya, perubahan itu sudah terlihat pada APBN 2025 di mana awalnya ditetapkan PNBP KND sebesar Rp90 triliun, kini realisasinya secara outlook hanya Rp11,8 triliun.
Menurut Agus, hal itu yang menyebabkan realisasi PNBP baru terealisasi Rp306 triliun per Agustus atau terkontraksi 20% (yoy) dari realisasi Agustus 2025 yakni Rp384,1 triliun. Meski demikian, kendati sudah mulai absennya dividen BUMN pada APBN, Agus masih optimistis outlook PNBP Rp477,2 triliun tahun ini masih bisa tercapai.
Sedangkan untuk tahun depan, pemerintah otomatis menurunkan target PNBP keseluruhan menjadi Rp459,2 triliun dari outlook 2025 Rp477,2 triliun. Itu sejalan dengan tidak masuknya lagi dividen ke APBN.
“Karena KND-nya sudah enggak masuk lagi sama sekali. Kalau tahun ini kita masih dapet Rp11,8 triliun dividennya, tahun depan sudah enggak dapat. Atau kalau toh ada, saham pemerintah yang 1% merah putih itu kecil sekali hampir dimasukkan di target Rp1,8 triliun [tahun depan],” jelasnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa juga telah menyinggung soal dividen BUMN yang kini sudah tak lagi masuk ke kas negara. Hal itu disampaikan Purbaya ketika merespons usulan Danantara agar APBN ikut menanggung utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), yang dibawahi BUMN PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI.
Purbaya menilai harusnya Danantara yang saat ini sudah mengelola dividen BUMN memiliki manajemen sendiri untuk pembiayaan. “Harusnya mereka ke situ jangan ke kita lagi, kalau enggak, semua ke kita lagi. Termasuk dividennya, jadi ini kan mau dipisahin swasta sama government. Jangan kalau enak swasta, kalau enggak enak government,” kata Purbaya melalui siaran virtual pada acara Media Gathering APBN 2026, Jumat (10/10/2025).
-

Menkeu Purbaya Tolak APBN Bayar Utang Kereta Cepat China, Jadi Siapa yang Tanggung?
GELORA.CO – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan penolakan tegas terhadap wacana penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menanggung beban utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh.
Purbaya menegaskan, tanggung jawab penyelesaian kewajiban finansial tersebut harus sepenuhnya dikelola oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai holding yang menaungi proyek tersebut.
Pernyataan ini dilontarkan Menkeu Purbaya saat menghadiri Media Gathering di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025).
Menurutnya, BPI Danantara memiliki kapasitas finansial yang memadai, terutama dengan adanya aliran dividen BUMN yang kini langsung masuk ke kas holding tersebut.
“Utang Whoosh dibiayai APBN? Saya belum dihubungi soal itu. Tapi yang jelas, kalau memang di bawah Danantara, mereka seharusnya bisa mengelola dengan keuangan mereka sendiri. Jangan ke APBN lagi,” tegas Purbaya.
Pemisahan Jelas Swasta dan Pemerintah
Purbaya menekankan pentingnya memisahkan secara jelas mana tanggung jawab korporasi (swasta) dan mana yang menjadi tanggung jawab pemerintah.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang dijalankan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) adalah proyek business-to-business (B2B) yang kini bernaung di bawah Danantara.
“Harusnya mereka manage dari situ. Karena kalau tidak, ya semuanya ke kita lagi, termasuk dividennya. Jadi, ini kan mau dipisahin swasta sama government (pemerintah),” jelas Menkeu, memperingatkan agar tidak terjadi tumpang tindih beban.
Keputusan ini sepertinya menepis usulan yang sempat muncul dari Chief Operating Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria, yang menyebutkan dua opsi penyelesaian utang, salah satunya potensi penyerahan infrastruktur kepada pemerintah atau suntikan modal tambahan.
Utang proyek Whoosh sendiri mencapai sekitar Rp116 triliun, sebagian besar berasal dari pinjaman China Development Bank.
Meski demikian, Menkeu Purbaya mengaku belum menerima komunikasi resmi dari manajemen Danantara terkait permintaan pembiayaan utang Whoosh yang melibatkan APBN.
“Saya belum dihubungi untuk masalah itu. Nanti begitu ada, akan saya kasih tahu update-nya seperti apa,” pungkasnya.
Danantara Siapkan Dua Opsi untuk KCIC
Chief Operating Officer Danantara, Dony Oskaria, mengungkapkan dua opsi untuk memperkuat keberlanjutan proyek kereta cepat Jakarta–Bandung (KCIC).
Opsi pertama adalah suntikan modal guna menambah ekuitas, sebab pinjaman proyek Whoosh sangat besar.
“Salah satu opsi tentu saja adalah bagaimana kemudian kita menambahkan ekuiti kita, sehingga perusahaan ini menjadi self-sustain,” ujarnya di JCC Senayan, Jakarta, Kamis (9/10).
Menurut Dony, secara operasional, kinerja KAI sebagai induk usaha KCIC sudah positif dengan EBITDA yang mencatat pertumbuhan baik.
Namun, nilai ekuitas masih terlalu kecil dibandingkan besarnya pinjaman yang digunakan untuk membangun proyek tersebut.
Karena itu, Danantara sedang menimbang dua langkah: menambah modal ekuitas atau menyerahkan sebagian aset infrastruktur kepada pemerintah sebagaimana pola industri kereta api lainnya.
“Apakah kemudian kita tambahkan ekuiti, atau memang infrastrukturnya diserahkan kepada pemerintah, ini dua opsi yang kita tawarkan,” jelas Dony.
Ia menegaskan, Danantara berkomitmen agar operasional KCIC tetap berjalan optimal karena memberikan dampak ekonomi yang signifikan, dengan trafik penumpang yang kini mencapai 20.000–30.000 orang per hari.
Selain itu, Danantara juga memperhatikan keberlangsungan bisnis KAI yang melayani 1,4 juta penumpang setiap hari.
Pemerintah tengah menyiapkan sejumlah alternatif, termasuk kemungkinan menjadikan sebagian infrastruktur KCIC sebagai aset negara dengan skema Badan Layanan Umum (BLU).
“Intinya, kita ingin KCIC berjalan dengan baik sekaligus menjaga kualitas layanan kereta api nasional agar semakin meningkat,” pungkas Dony.
-

Purbaya Sentil Utang Whoosh, Kalau Rugi Jangan Ditanggung Pemerintah
GELORA.CO -Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung harus dikelola secara profesional oleh badan usaha yang terlibat, tanpa melibatkan dana publik. Hal tersebut dikatakannya saat merespon usulan Danantara soal restrukturisasi utang PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) ditanggung APBN.
“KCIC di bawah Danantara kan ya. Seharusnya mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri, rata-rata setahun bisa dapat Rp80 triliun atau lebih. Harusnya mereka manage dari situ, jangan sampai kita lagi,” kata Purbaya dalam Zoom Meeting bersama wartawan pada Jumat, 10 Oktober 2025.
Purbaya menegaskan pemerintah ingin mengakhiri praktik yang membuat negara menanggung risiko dari proyek komersial. Menurutnya, peran antara entitas bisnis dan pemerintah perlu dipisah agar risiko finansial tidak kembali ditanggung negara
“Jangan kalau untung swasta, kalau rugi pemerintah. Itu yang mau kita ubah,” ujarnya.
Sebelumnya Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Suminto juga memastikan pemerintah sama sekali tidak memiliki utang dalam proyek PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) tersebut.
“Kereta Cepat Jakarta-Bandung itu kan business to business, jadi untuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung itu tidak ada utang pemerintah. Tidak ada utang pemerintah, karena dilakukan oleh badan usaha, konsorsium badan usaha Indonesia dan Cina (KCIC), di mana konsorsium Indonesianya dimiliki oleh PT KAI,” kata Suminto di Bogor, Jawa Barat pada Jumat, 10 Oktober 2025
Kereta Cepat Jakarta-Bandung digarap oleh KCIC, perusahaan patungan antara konsorsium BUMN dan konsorsium perusahaan perkeretaapian China. Skema pembiayaannya murni berbasis bisnis dengan porsi kepemilikan 60 persen oleh Indonesia melalui Pilar Sinergi Indonesia, yang terdiri atas PT KAI, Wijaya Karya, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara, serta 40 persen oleh pihak Tiongkok.
-

Purbaya Sentil Danantara: Dividen Masuk, Giliran Enggak Enak Pemerintah
Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kembali menyindir Danantara yang ingin memibatkan pemerintah ikut menanggung utang dari proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).
Apalagi, lanjutnya, dividen dari BUMN kini sudah masuk ke Danantara dan tidak lagi masuk ke penerimaaan negara dalam bentuk PNBP. Nilainya bisa mencapai Rp80 triliun
Purbaya mengatakan belum dihubungi Danantara terkait dengan usulan dimaksud. Akan tetapi, dia menyebut harusnya KCIC yang dibawahi Danantara sudah memiliki manajemen sendiri untuk pembiayaan.
“Harusnya mereka ke situ jangan ke kita lagi, kalau enggak, semua ke kita lagi. Termasuk dividennya, jadi ini kan mau dipisahin swasta sama government. Jangan kalau enak swasta, kalau enggak enak government,” kata Purbaya melalui siaran virtual pada acara Media Gathering APBN 2026, Jumat (10/10/2025).
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kemenkeu, Suminto turut memastikan bahwa utang proyek KCJB yang juga termasuk pembengkakan biaya atau cost overrun bukan utang pemerintah pusat.
“Kereta Cepat Jakarta Bandung itu kan business-to-business. Jadi untuk Kereta Cepat Jakarta Bandung itu tidak ada utang pemerintah,” jelasnya pada acara Media Gathering APBN 2026 di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025).
Untuk diketahui, proyek tersebut dimiliki oleh konsorsium badan usaha Indonesia dan China yakni PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Dalam hal ini, pemegang saham Indonesia melalui BUMN yang dipimpin oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI.
Pembiayaan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung, atau kini bernama Whoosh, memiliki porsi dari ekuitas permodalan konsorsium dan pinjaman utang. Dalam hal ini, utang diajukan kepada China Development Bank (CDB).
“Jadi tidak ada pinjaman pemerintah,” tegas Suminto.
Sebelumnya, Danantara selaku superholding BUMN mengusulkan sejumlah opsi di antaranya pemanfaatan peran APBN dalam menanggung utang proyek KCJB. Salah satunya dengan menyerahkan infrastruktur prasarana Kereta Cepat ke pemerintah.
Untuk diketahui, sarana perkeretaapian biasanya dimiliki oleh badan usaha. Apabila di Indonesia, yakni berarti KAI. Sementara itu, prasarana seperti stasiun dikelola oleh pemerintah, yakni Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Adapun selama ini sarana dan prasarana Kereta Cepat atau Whoosh ditanggung keseluruhan oleh KCIC. Menurut COO Danantara Dony Oskaria, sudah ada beberapa alternatif solusi yang disampaikan ke Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, serta Menteri Perhubungan. Salah satunya adalah dengan menjadikan sebagian infrastruktur KCIC dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU).
“Beberapa infrastructure-nya mungkin kita pikirkan juga apakah ini akan kita jadikan BLU dan sebagainya. Ini beberapa opsi, tetapi intinya adalah kita ingin KCIC-nya berjalan dengan baik karena ini dimanfaatkan oleh masyarakat banyak,” terangnya kepada wartawan, dikutip Jumat (10/10/2025).
Namun demikian, Dony menyebut saat ini Danantara masih menunggu keputusan pemerintah. Dia menyebut pihaknya telah menyampaikan opsi-opsi yang ada. Terdapat opsi lain, lanjutnya, yakni untuk menyuntikkan lagi dana ke KAI guna menambah permodalan perseroan di KCIC.
“Apakah kemudian kita tambahkan equity yang pertama. Atau kemudian memang ini kita serahkan infrastrukturnya seperti industri kereta api yang lain infrastrukturnya itu milik pemerintah. Nah ini dua opsi inilah yang kita coba,” ujar pria yang juga Kepala BP BUMN itu.
-

Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh ke China Jadi Bom Waktu, Purbaya Ogah Bayarkan Pakai Duit APBN
GELORA.CO – Membengkaknya utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh ke China bisa menjadi bom waktu.
Proyek kereta cepat yang resmi beroperasi sejak 2 Oktober 2023 ini mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau setara Rp 19,54 triliun.
Untuk menutup biaya tersebut, proyek ini mendapat pinjaman dari China Development Bank (CDB) sebesar 230,99 juta dollar AS dan 1,54 miliar renminbi, atau totalnya setara Rp 6,98 triliun.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak pembayaran utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Hal ini merespons opsi yang disampaikan Chief Operating Officer (COO) Danantara Dony Oskaria terkait pembayaran utang PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) oleh pemerintah.
“Yang jelas sekarang saya belum dihubungi tentang masalah itu, tapi kalau ini kan KCIC di bawah Danantara kan, kalau di bawah Danantara kan mereka sudah punya manajemen sendiri, punya deviden sendiri,” ujar Purbaya saat Media Gathering di Bogor, Jumat (10/10/2025).
Terlebih menurut Purbaya, Danantara dalam satu tahun mengantongi sebesar Rp 80 triliun dari deviden.
Sehingga sepatutnya bisa teratasi tanpa harus pembiayaan dari pemerintah.
“Jangan kita lagi, karena kan kalau enggak ya semua kita lagi termasuk devidennyya. Jadi ini kan mau dipisahin swasta sama goverment,” tegas dia.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto mengatakan, utang kereta cepat ini bentuknya business to business.
Artinya tidak ada utang pemerintah.
“Tidak ada utang pemerintah, karena dilakukan oleh badan usaha, konsorsium badan usaha Indonesia dan China, dimana konsorsium Indonesianya dimiliki oleh PT KAI,” tegas Suminto.
Sebagai informasi, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang resmi beroperasi sejak 2 Oktober 2023 mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 19,54 triliun.
Untuk menutup pembengkakan biaya tersebut, proyek ini memperoleh pinjaman dari China Development Bank (CDB) senilai 230,99 juta dollar AS dan 1,54 miliar renminbi, dengan total setara Rp 6,98 triliun.
PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), pengelola kereta cepat Whoosh, merupakan perusahaan patungan antara konsorsium Indonesia PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dengan kepemilikan saham 60 persen, dan konsorsium China Beijing Yawan HSR Co. Ltd yang memegang 40 persen saham.
Komposisi pemegang saham PSBI saat ini adalah:
– PT Kereta Api Indonesia (Persero): 51,37 persen
– PT Wijaya Karya (Persero) Tbk: 39,12 persen
– PT Jasa Marga (Persero) Tbk: 8,30 persen
– PT Perkebunan Nusantara I: 1,21 persen
–
Proyek ini memberikan tekanan besar terhadap kinerja keuangan PT KAI (Persero). Utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang ditanggung melalui konsorsium KCIC mencapai Rp 116 triliun atau sekitar 7,2 miliar dollar AS.
Jumlah tersebut sudah termasuk pembengkakan biaya dan menjadi beban berat bagi PT KAI dan KCIC, yang masih mencatatkan kerugian pada semester I-2025.
KAI alami kerugian akibat kereta cepat
Belakangan PT KAI (Persero) mengalami kerugian akibat harus menanggung kereta cepat Whoosh.
Fakta tersebut diungkap langsung oleh mantan Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo
Hal tersebut dia ungkapkan dalam diskusi Meet The Leaders di Jakarta, Sabtu (20/9/2025).
“Itu kereta cepat sudah sejak lama saya kira akan bermasalah, pasti akan ada masalah besar,” katanya.
Didiek mengatakan dirinya sudah sejak lama mengendus studi kelayakan (feasibility study/FS) kereta cepat akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
“Saya di korporasi cukup lama, mengenal infrastruktur cukup banyak, begitu baca FS itu, asumsi-asumsi itu sudah langsung saya tangkap kalau ini akan jadi masalah besar,” ujar Didiek.
Hanya saja proyek besar tersebut tetap berjalan dengan berlandaskan multidisiplin dan menggandeng berbagai pemangku kepentingan.
Akhirnya proyek kereta cepat Whoosh pun berhasil diresmikan pada bulan Oktober 2023 silam.
Didiek bilang, proyek kereta cepat Whoosh dibangun dengan menggandeng enam kontraktor dari China dan satu dari Indonesia.
Studi kelayakan berlangsung dua tahap.
Adapun berdasarkan catatan Kompas.com, studi kelayakan kereta cepat Whoosh Jakarta-Bandung ini berlangsung selama dua tahap.
Tahap pertama mulai 28 Januari 2014 hingga April 2015 untuk membahas perencanaan dasar kereta tersebut.
Tahap kedua berlangsung dari April 2015 hingga Desember 2015 guna menggodok detail kalkulasi biaya pembangunannya.
Perkiraan awal, proyek kereta cepat ini akan membutuhkan investasi hingga Rp 56 triliun.
Dana tersebut termasuk untuk membangun jalur kereta sepanjang 133 kilometer dan pengadaan kereta cepatnya.
Beban itu membuat PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan konsorsium BUMN yang terlibat kewalahan menanggung kerugian.
Sebelumnya Direktur Utama KAI Bobby Rasyidin menyatakan, kereta cepat Whoosh ini pun menjadi “Bom Waktu” bagi perseroan.
Pihaknya pun tengah menyiapkan langkah untuk membahas utang proyek tersebut bersama Badan Pengelola Investasi Daya Anggara Nusantara (BPI Danantara).
“Kami akan koordinasi dengan Danantara untuk masalah KCIC ini, terutama kami dalami juga. Ini bom waktu,” kata Bobby dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/8/2025).
-

Purbaya Ogah APBN Ikut Nanggung Beban Utang Kereta Cepat
Jakarta –
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tidak mau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ikut menanggung beban utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (whoosh) yang dikelola PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Purbaya mengatakan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai holding BUMN harusnya bisa mengelola itu karena saat ini dividen langsung masuk ke kasnya.
Sebelumnya, dividen BUMN berada di bawah Kementerian Keuangan melalui pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berupa kekayaan negara yang dipisahkan (KND).
“Kan KCIC di bawah Danantara kan, kalau di bawah Danantara kan mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa Rp 80 triliun atau lebih. Harusnya mereka manage dari situ, jangan ke kita lagi, karena kalau enggak, ya, semuanya ke kita lagi, termasuk dividennya,” kata Purbaya secara online dalam Media Gathering di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025).
Purbaya menilai tidak adil jika APBN harus menanggung utang Whoosh. Pasalnya hasil penerimaan BUMN berupa dividen sudah dikelola Danantara.
“Jadi ini kan mau dipisahin swasta sama government, ya jangan kalau enak swasta, kalau nggak enak government, saya pikir begitu,” tegas Purbaya.
Meski begitu, Purbaya mengaku dirinya belum diajak diskusi langsung oleh manajemen Danantara terkait permintaan untuk APBN kelola utang Whoosh.
“Saya belum dihubungi untuk masalah itu sih. Nanti begitu ada, saya kasih tau updatenya seperti apa,” ujar Purbaya.
Dua Skema Penyelesaian Utang Kereta Cepat
Sebelumnya, Chief Operating Officer (COO) Danantara Dony Oskaria mengatakan pihaknya telah menyiapkan beberapa skema untuk membenahi utang Whoosh. Salah satu opsinya yakni menyerahkan infrastruktur PT KCIC kepada pemerintah.
Artinya KCIC akan mengubah model bisnisnya menjadi operator tanpa kepemilikan infrastruktur (asset-light). Dengan demikian, utang infrastruktur itu akan beralih ke pemerintah dan menjadi beban APBN.
Opsi yang pertama adalah berupa penyertaan modal baru kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. Ini dimaksudkan agar perusahaan lebih mandiri secara keuangan sehingga beban bunga dan kewajiban pembayaran utang diharapkan bisa lebih proporsional.
“Apakah kemudian kita tambahkan equity yang pertama, atau kemudian memang ini kita serahkan infrastrukturnya sebagaimana industri kereta api yang lain, infrastrukturnya itu milik pemerintah,” tutur Dony kepada wartawan di JICC Senayan, Jakarta, Kamis (9/10).
(aid/hns)
-

Kemenkeu Tegaskan Utang Proyek KA Cepat Jakarta-Bandung Tak Usik APBN
Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah memastikan, beban utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh tak mengganggu kondisi APBN pemerintah pusat. Hal ini ditegaskan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Suminto.
“Jadi Kereta Cepat Jakarta-Bandung tidak ada utang pemerintah,” ucap Suminto di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025).
Suminto mengatakan, proyek yang dijalankan sejak 2016 itu murni dilakukan melalui skema business to business, sehingga tidak ada uang pemerintah yang masuk.
“Karena waktu itu dilakukan badan usaha, Konsorsium Badan Usaha Indonesia dan China. Konsorsium Indonesia nya di lead oleh PT KAI,” tegas Suminto.
Sebagaimana diketahui, pengelolaan utang proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung kini memasuki babak baru, setelah Danantara tengah berupaya bernegosiasi dengan China untuk reformasi beban utang yang ditanggung PT KAI.
“Sedang berjalan dengan pihak China, baik dengan pemerintah China, sedang berjalan,” ujarnya saat ditemui di JCC Senayan Jakarta, Rabu (8/10).
Rosan mengatakan, solusi yang diperlukan pada persoalan proyek ini bukan hanya restrukturisasi, melainkan reformasi.
“Kita maunya bukan restrukturisasi (yang mungkin menyisakan potensi masalah) di kemudian hari, kita mau melakukan reformasi secara keseluruhan,” ungkapnya.
Harapannya, dengan adanya reformasi, setelah dilakukan restrukturisasi tidak akan terjadi lagi persoalan serupa.
“Jadi begitu kita restrukturisasi, ke depannya tidak akan terjadi lagi hal-hal seperti ini, seperti keputusan default (gagal bayar) dan lain-lain,” imbuhnya.
COO Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) Dony Oskaria sebelumnya mengaku sudah bertemu dengan manajemen PT KAI (Persero) untuk melakukan restrukturisasi utang kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh.
“Sudah, sudah (bertemu),” ujarnya saat ditemui di gedung Smesco Jakarta, Jumat (22/8/2025).
Dony mengatakan, rencana pembayaran utang proyek kereta cepat kepada sejumlah BUMN yang terbebani sedang dalam penjajakan. Hal tersebut juga masuk dalam RKAP Danantara tahun ini. Meskipun, Ia belum dapat memaparkan terkait skema maupun mekanismenya.
“Ini kan sedang dijajaki ya, sedang kita lakukan penjajakan, tentu akan kita bereskan proses itu, seperti mana tadi kemarin kan juga Dirut KAI juga sudah menyampaikan di DPR,” sebutnya.
Seperti diketahui, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh kini menjadi beban keuangan PT Kereta Api Indonesia (Persero). Direktur Utama KAI Bobby Rasyidin mengatakan, rasio keuangan yang membandingkan antara jumlah utang dengan jumlah ekuitas. Debt to Equity Ratio (DER) hingga semester I tahun 2025 naik dari 1,2 kali itu menjadi 1,3 kali.
“Kalau kita lihat juga total debt penugasan versus dengan non-penugasan, itu tahun 2025 semester I itu (utang) Rp 46,5 triliun itu naik dibandingkan di tahun 2024 semester I Rp 43,2 triliun,” ujarnya dalam rapat dengan Komisi VI di gedung DPR RI Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Sementara, total ekuitas KAI hingga semester I tahun ini juga naik dari Rp 32 triliun menjadi Rp 36,6 triliun.
Utang proyek kereta cepat juga mendapat sorotan dari pada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi VI karena membebani keuangan BUMN transportasi kereta api tersebut.
(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]