Topik: Kekerasan Terhadap Perempuan

  • Bocah di Garut Jadi Korban Pencabulan Ayah, Paman, dan Kakek, Legislator Lola Nelria: Hak Korban Harus Dipenuhi!

    Bocah di Garut Jadi Korban Pencabulan Ayah, Paman, dan Kakek, Legislator Lola Nelria: Hak Korban Harus Dipenuhi!

    loading…

    Anggota Komisi III DPR Lola Nelria Oktavia buka suara menanggapi kasus pemerkosaan dan pencabulan terhadap seorang bocah di Garut oleh ayah, paman, dan kakek kandung. Foto/Istimewa

    JAKARTA – Anggota Komisi III DPR Lola Nelria Oktavia buka suara menanggapi kasus pemerkosaan dan pencabulan terhadap seorangbocah di Garut oleh ayah, paman, dan kakek kandung. Lola berpendapat, kejadian memilukan itu sebagai bentuk kebiadaban yang tak bisa ditoleransi dan mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak tegas dan cepat.

    “Peristiwa pemerkosaan dan pencabulan yang berulang dan dilakukan bergantian oleh ayah kakek dan paman (uwa’) kandung dari anak tersebut, adalah sebuah kebiadaban,” kata Lola dalam keterangannya, Jumat (11/4/2025)

    Dia mendorong kepolisian untuk tidak hanya berhenti pada penetapan dua tersangka, melainkan menyelidiki kemungkinan adanya pelaku lain serta menuntaskan kasus ini hingga ke akar. Ia mengingatkan agar kasus ini tidak dibiarkan menguap hanya karena sorotan media mereda.

    “Kepolisian harus melakukan penanganan secara serius, menyeluruh, dan cepat. Pelaku harus dihukum maksimal sebagai konsekuensi atas perbuatannya dan sebagai pembelajaran bagi masyarakat lainnya,” tuturnya.

    Tak hanya soal proses hukum, dia juga menyoroti pentingnya pemenuhan hak-hak korban. Ia mengajak seluruh pihak untuk memberikan pendampingan psikologis dan memastikan kondisi kesehatan serta masa depan korban tetap terjaga.

    “Sebagai seorang ibu, saya mengajak semua pihak untuk terlibat dalam memberikan pendampingan psikologis dan memastikan hak-hak korban dapat terpenuhi, terutama berkaitan dengan kondisi kesehatan dan masa depan korban,” ungkap legislator Fraksi Partai Nasdem ini.

    Lebih lanjut, Lola juga mengapresiasi langkah cepat masyarakat Garut yang langsung memeriksakan kondisi korban dan melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib. Menurutnya, keberanian warga untuk melapor patut ditiru agar kasus serupa bisa cepat ditangani dan dicegah.

    “Jangan takut dan jangan ragu melapor peristiwa serupa kepada pihak berwajib agar Penegakan hukum dapat dirasakan menfaatnya oleh masyarakat,” ujar legislator Dapil Jawa Barat XI ini.

    Dia menuturkan, kasus ini sebagai puncak gunung es dari banyak kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di berbagai daerah. Untuk itu, ia mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Komnas Perempuan, dan Polri untuk duduk bersama mencari solusi sistematis.

    “Perlu adanya upaya sistematis untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dan untuk mencegah terjadinya kejadian serupa di kemudian hari. Saya mengajak semua pihak untuk memikirkan cara penanganan terbaik dan tercepat bagi kasus serupa,” kata Wabendum DPP Partai Nasdem ini.

    “Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, menandakan perlu segera dibentuk dan penguatan Satuan Perlindungan Perempuan dan Anak di tingkat dua yakni kabupaten dan kota pada polres-polres se-Indonesia,” pungkasnya.

    (rca)

  • Segera Ambil Langkah Nyata untuk Atasi Peningkatan Kekerasan Berbasis Gender

    Segera Ambil Langkah Nyata untuk Atasi Peningkatan Kekerasan Berbasis Gender

    Jakarta: Berbagai upaya untuk menekan angka kasus kekerasan berbasis gender harus segera dilakukan demi mewujudkan sistem perlindungan yang lebih baik bagi setiap warga negara. 

    “Saya mendorong agar sejumlah peraturan perundang-undangan untuk memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi setiap warga negara, termasuk perempuan, harus benar-benar diterapkan dengan sebaik-baiknya, untuk mengatasi peningkatan kasus kekerasan berbasis gender,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 8 April 2025. 

    Pada awal Maret lalu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis catatan tahunan (catahu) 2024. 

    Hasil catahu tersebut mengungkapkan dari total 445.502 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 2024, tercatat 330.097 kasus kekerasan di antaranya berbasis gender. Terjadi peningkatan 14,17% kasus kekerasan berbasis gender jika dibandingkan dengan tahun lalu yang tercatat 289.111 kasus. 

    Menurut Lestari, hasil catahu Komnas Perempuan tersebut harus menjadi bahan evaluasi terhadap pelaksanaan sejumlah kebijakan terkait perlindungan menyeluruh setiap warga negara. 

    (Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mendorong agar akar permasalahan peningkatan kasus kekerasan berbasis gender bisa segera diidentifikasi dan diatasi. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)

    Rerie, sapaan akrab Lestari, berharap pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan kebijakan tersebut harus segera mengambil langkah nyata untuk menekan peningkatan angka kasus kekerasan berbasis gender itu. 

    Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus Demak, Jepara) itu mendorong agar akar permasalahan peningkatan kasus kekerasan berbasis gender bisa segera diidentifikasi dan diatasi. 

    Baca juga: 3 Juta Lulusan SMA/SMK Nganggur, Kompetensi Lulusan Sekolah Kejuruan Wajib Ditingkatkan

    Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah memberikan perhatian serius terhadap berbagai upaya untuk mewujudkan kebijakan antikekerasan dan sistem perlindungan menyeluruh bagi setiap warga negara.

    Dengan jaminan perlindungan menyeluruh bagi setiap warga negara, tegas Rerie, partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan nasional dapat terus ditingkatkan.

    Jakarta: Berbagai upaya untuk menekan angka kasus kekerasan berbasis gender harus segera dilakukan demi mewujudkan sistem perlindungan yang lebih baik bagi setiap warga negara. 
     
    “Saya mendorong agar sejumlah peraturan perundang-undangan untuk memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi setiap warga negara, termasuk perempuan, harus benar-benar diterapkan dengan sebaik-baiknya, untuk mengatasi peningkatan kasus kekerasan berbasis gender,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 8 April 2025. 
     
    Pada awal Maret lalu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis catatan tahunan (catahu) 2024. 

    Hasil catahu tersebut mengungkapkan dari total 445.502 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 2024, tercatat 330.097 kasus kekerasan di antaranya berbasis gender. Terjadi peningkatan 14,17% kasus kekerasan berbasis gender jika dibandingkan dengan tahun lalu yang tercatat 289.111 kasus. 
     
    Menurut Lestari, hasil catahu Komnas Perempuan tersebut harus menjadi bahan evaluasi terhadap pelaksanaan sejumlah kebijakan terkait perlindungan menyeluruh setiap warga negara. 
     

    (Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mendorong agar akar permasalahan peningkatan kasus kekerasan berbasis gender bisa segera diidentifikasi dan diatasi. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
     
    Rerie, sapaan akrab Lestari, berharap pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan kebijakan tersebut harus segera mengambil langkah nyata untuk menekan peningkatan angka kasus kekerasan berbasis gender itu. 
     
    Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus Demak, Jepara) itu mendorong agar akar permasalahan peningkatan kasus kekerasan berbasis gender bisa segera diidentifikasi dan diatasi. 
     
    Baca juga: 3 Juta Lulusan SMA/SMK Nganggur, Kompetensi Lulusan Sekolah Kejuruan Wajib Ditingkatkan
     
    Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah memberikan perhatian serius terhadap berbagai upaya untuk mewujudkan kebijakan antikekerasan dan sistem perlindungan menyeluruh bagi setiap warga negara.
     
    Dengan jaminan perlindungan menyeluruh bagi setiap warga negara, tegas Rerie, partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan nasional dapat terus ditingkatkan.

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (TIN)

  • Kaum Perempuan yang Punya Beban Ganda Harus Dijaga Kesehatan Mentalnya, Bagaimana Caranya? – Halaman all

    Kaum Perempuan yang Punya Beban Ganda Harus Dijaga Kesehatan Mentalnya, Bagaimana Caranya? – Halaman all

    Kaum Perempuan yang Punya Beban Ganda Harus Dijaga Kesehatan Mentalnya, Bagaimana Caranya? 

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI), dr Imran Pambudi, MPHM menekankan, pentingnya kesehatan mental pada perempuan.

    Sering kali kesehatan mental perempuan terabaikan, namun berdampak besar pada kualitas hidup mereka.

    Kesehatan mental perempuan adalah fondasi  untuk kehidupan yang sehat dan bermakna.

    “Dengan peran beragam yang diemban perempuan baik sebagai pekerja, pengasuh keluarga, pemimpin, maupun anggota masyarakat kesehatan mental mereka memiliki dampak luas tidak hanya pada diri mereka sendiri, tetapi juga pada keluarga dan komunitas,” tutur dr Imran di Jakarta ditulis Jumat (21/3/2025).

    Kesehatan mental perempuan memengaruhi lebih dari individu, yang mana bisa berdampak pada keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.

    Perempuan yang sehat secara mental memiliki peluang lebih besar untuk berkontribusi pada pertumbuhan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.

    Karena itu, mendukung kesehatan mental perempuan adalah investasi dalam masa
    depan yang lebih inklusif dan sejahtera.

    Tema “Accelerate Action” ini dipilih untuk menyoroti kebutuhan mendesak akan langkah
    konkret dalam mendukung perempuan, terutama dalam menjaga dan meningkatkan
    kesehatan mental di antaranya:

    1. Tingginya Beban Gangguan Mental pada Perempuan.

    Menurut WHO, perempuan memiliki prevalensi dua kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki
    untuk mengalami depresi, yang merupakan salah satu penyebab utama disabilitas di seluruh
    dunia.

    Perempuan juga lebih rentan terhadap Penyakit Tidak Menular seperti Hipertensi dan
    Diabetes.

    Banyak perempuan di negara berkembang atau daerah terpencil kesulitan
    mengakses layanan kesehatan mental yang terjangkau.

    Pandemi telah meningkatkan prevalensi gangguan mental seperti kecemasan dan depresi hingga lebih dari 25 persen dalam tahun pertama pandemi.

    Perempuan, terutama mereka yang bekerja di sektor kesehatan atau sebagai pengasuh, menghadapi tekanan emosional yang lebih besar.

    2. Ketidaksetaraan Gender dalam Layanan Kesehatan Mental

    Masih banyak perempuan, terutama di negara berkembang, yang tidak memiliki akses
    memadai ke layanan kesehatan mental, baik karena hambatan ekonomi, stigma sosial,
    maupun ketimpangan struktural.

    Kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan berbasis gender meningkat selama pandemi, yang berdampak langsung pada kesehatan mental perempuan.

    Trauma yang tidak ditangani dapat berkembang menjadi gangguan mental kronis.

    Jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat tiap tahunnya dan lebih 75 persen korbannya adalah Perempuan.

    Perempuan yang menghadapi stigma sosial, baik karena status sosial, pekerjaan, atau kondisi kesehatan mental mereka, sering kali merasa terisolasi.

    Hal ini memperburuk kondisi mental mereka dan menghambat pencarian bantuan.

    3. Dampak Stres Multi-Peran

    Beban ganda atau bahkan multi-peran yang dijalankan perempuan membuat mereka lebih
    rentan terhadap gangguan mental, termasuk kecemasan, depresi, dan kelelahan emosional.

    Ketidakpastian ekonomi global telah memperburuk stres pada perempuan, terutama mereka yang menjadi tulang punggung keluarga.

    Ketimpangan upah dan kehilangan pekerjaan juga meningkatkan risiko gangguan mental. Perempuan di komunitas rentan sering kali menjadi korban utama dampak perubahan iklim dan bencana alam.

    Trauma akibat kehilangan tempat tinggal atau sumber penghidupan dapat memicu gangguan stres pascatrauma (PTSD).

    Bencana banjir yang akhir-akhir ini terjadi di tanah air banyak berimbas pada ibu rumah tangga dengan segala kerepotannya selama banjir maupun pasca kejadian.

    Menyikapi beberapa hal diatas maka perlu adanya langkah-langkah untuk mendukung
    kesehatan mental perempuan di antaranya :

    1. Peningkatan Akses ke Layanan Kesehatan Mental

    Pemerintah dan organisasi non-pemerintah perlu menyediakan layanan kesehatan mental
    yang lebih mudah diakses, khususnya bagi perempuan di komunitas terpinggirkan.

    Pemerintah mempunyai target semua Puskesmas akan mampu memberikan layanan jiwa pada tahun 2027, saat ini baru 40 persen Puskesmas yang mampu memberikan layanan jiwa.

    2. Penghapusan Stigma

    Kampanye edukasi publik sangat penting untuk mengurangi stigma dan meningkatkan
    kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental perempuan.

    3. Pendekatan Holistik

    Memperkuat kesejahteraan perempuan tidak hanya melalui layanan kesehatan mental,
    tetapi juga melalui pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan penguatan hak-hak perempuan.

    4. Dukungan Sosial dan Komunitas

    Membentuk komunitas yang mendukung dan program pemberdayaan perempuan dapat
    membantu mengurangi rasa isolasi sosial dan mendukung kesehatan mental mereka.

    “Hari Perempuan Sedunia 2025 menggarisbawahi pentingnya percepatan aksi dalam mengatasi tantangan kesehatan mental perempuan. Dengan fokus yang lebih mendalam dan komprehensif pada isu ini, kita dapat membantu menciptakan dunia yang lebih setara dan berdaya bagi semua Perempuan di Indonesia untuk mencapai Indonesia Emas 2045,” tutur dia.

  • Diduga Rudapaksa Anak Tiri, Eks Ketua Ormas di Surabaya Diciduk Polisi, Terkuak dari Video Amatir

    Diduga Rudapaksa Anak Tiri, Eks Ketua Ormas di Surabaya Diciduk Polisi, Terkuak dari Video Amatir

    Laporan Wartawan TribunJatim.com, Luhur Pambudi

    TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA – Diduga melakukan perbuatan asusila terhadap anak tirinya, seorang ayah berinisial MR yang juga mantan pimpinan sebuah organisasi masyarakat (Ormas) di Kota Surabaya, ditangkap Anggota Subdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Jatim. 

    Informasinya, penangkapan terhadap MR di kediamannya kawasan Surabaya Selatan dilakukan petugas kepolisian, pada Selasa (11/3/2025) malam. 

    Sempat beredar video amatir berdurasi tak lebih dari 25 detik yang merekam momen eks ketua ormas di Surabaya ditangkap oleh beberapa anggota kepolisian berpakaian sipil pada saat kondisi langit telah gelap. 

    Berdasarkan video tersebut, MR tampak memakai jaket olahraga bermotif tiga garis warna putih pada kedua lengannya, lalu bercelana panjang jeans biru, bersandal selop cokelat, dan bertopi warna cokelat. 

    Ia tampak berjalan menyusuri jalanan gang permukiman rumah warga seraya pundaknya dipegang oleh seorang Polisi berkemeja lengan pendek warna putih. 

    Sepanjang berjalan menyusuri gang tersebut, perangai MR begitu ‘santai’, seraya menundukkan kepala, ia tampak seperti mengapit sebatang rokok pada jemari tangan kanannya, dan sekelebat menghembuskan asap rokok warna putih. 

    Nah, kasus tersebut terbongkar setelah pihak korban menceritakan pengalamannya diperlakukan tak senonoh oleh MR kepada sang ibu kandung. 

    Kabar mengenai perbuatan tercela MR tersebut sudah terlanjur menjadi buah bibir di pihak keluar besar orangtua kandung dari korban. 

    Demi memperoleh kepastian penanganan hukum dan pemulihan kondisi korban yang dirugikan secara fisik, psikis dan material, tak pelak pihak keluarga korban melaporkan perbuatan MR ke pihak Subdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Jatim. 

    Direktur Ditreskrimum Polda Jatim Kombes Pol Framan membenarkan adanya upaya penyelidikan dan penyidikan atas dugaan kasus tersebut hingga berbuah pada penangkapan terhadap Sosok MR. 

    Namun, ia belum merinci mengenai hasil terbaru proses penyidikan atas kasus yang menyeret MR, termasuk mengenai modus dan siasat MR melancarkan perbuatan asusilanya kepada pihak korban, mengingat proses penyidikan tersebut masih bergulir. 

    “Benar (adanya penangkapan terhadap MR atas kasus asusila terhadap anak di bawah umur), silahkan langsung tanya ke kasubdit,” ujarnya saat dihubungi TribunJatim.com, pada Jumat (14/3/2025). 

    Diberitakan TribunJatim sebelumnya, Pemerintah Provinsi Jatim terus melakukan berbagai upaya penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. 

    Selama tiga tahun terakhir, angka kekerasan pada perempuan dan anak berhasil menurun signifikan.

    Penjabat (Pj.) Gubernur Jatim, Adhy Karyono, kala itu, merinci, di tahun 2022, tercatat ada sebanyak 968 kekerasan terhadap perempuan.

    Angka ini kemudian menurun di tahun 2023 menjadi 802 kasus, dan 2024 kembali menurun menjadi 640 kasus. Artinya dalam tiga tahun terakhir menurun sebesar 33,2 persen. 

    Demikian juga dengan angka kekerasan pada anak. Dalam tiga tahun terakhir, penurunan signifikan bisa dicapai sebesar 31,7 persen. 

    Rinciannya, di tahun 2022, angka kekerasan anak terjadi sebanyak 1.561 kasus. Kemudian menurun menjadi 1.386 kasus di tahun 2023, dan kembali menurun di tahun 2022 menjadi 1.065 kasus. 

    Adhy menegaskan, keberhasilan Pemprov Jatim dalam menekan angka kasus kekerasan pada perempuan dan anak dilakukan berkat upaya yang dilakukan secara simultan dengan melibatkan begitu banyak pihak. 

    Diantaranya, melalui pembentukan Satgas Penanganan Masalah Perempuan dan Anak (PMPA). Kemudian Deklarasi 5 Stop yang terdiri dari stop stunting, stop tanpa dokumen kependudukan, stop bullying kekerasan pada perempuan dan anak, stop pekerja anak dan stop perkawinan dini usia.

    Selain itu juga dilakukan advokasi dan sosialisasi terhadap guru BK di sekolah-sekolah baik jenjang SMP maupun SMA. Serta melakukan advokasi dan sosialisasi forum anak Jawa Timur. 

    “Kita juga memiliki sistem pelaporan on call one stop service di call center POS Sayang Perempuan dan Anak (SAPA), yang mana call center ini melayani bullying, perdagangan anak, pernikahan dini usia, eksploitasi seksual dan ekonomi dan juga kekerasan pada perempuan dan anak,” ujar Adhy, pada awak media di Surabaya, Rabu (30/10/2025). 

    Lebih lanjut dijelaskan, Pemprov Jatim juga memiliki Layanan Perempuan dan Anak Dalam Kasus Kekerasan (Lapor Pak), melalui hotline telepon dan whatsapp yang melingkupi mulai pengaduan hingga penanganan. Bahkan, juga bisa datang langsung ke kantor layanan di kantor UPT Perlindungan Perempuan dan Anak DP3AK Prov. Jatim di Jalan Arjuno No. 88 Surabaya.

    Lapor Pak ini, melayani pengaduan masyarakat, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, pendampingan korban, mediasi, layanan rumah anak atau shelter, pemberdayaan perempuan, hingga pemenuhan hak anak. Khusus, bagi perempuan ojek online, Pemprov Jatim memiliki layanan Gerakan Sayang Perempuan Ojek Online (Gaspol).

    Di samping itu, Pemprov Jatim juga memberikan bantuan modal usaha bagi perempuan, dan bantuan spesifik dan biakes maskin kepada perempuan dalam keadaan darurat serta perempuan dan anak korban kekerasan. 

    “Kami juga mendorong kab/kota se-Jatim untuk membentuk UPTD PPA untuk memasifkan upaya pencegahan penanganan kekerasan pada perempuan dan anak. Juga mendorong kab/kota untuk membentuk RAD Pencegahan Perkawinan Anak (PPA),” tukas Adhy.

    Tidak sampai di sana, Adhy menegaskan bahwa dua tahun terakhir, angka data dispensasi kawin yang dikabulkan menurut pendidikan calon pengantin Jatim juga menurun signifikan.

    Untuk dispensasi kawin Jatim jenjang SD di tahun 2023 mencapai 3.339 orang, di tahun 2024 turun menjadi 1.867 orang. Kemudian untuk dispensasi kawin untuk jenjang SMP di tahun 2023 mencapai 6.103 orang, di tahun 2024 menurun menjadi 3.221 orang. 

    Dan untuk dispensasi kawin jenjang SMA, di tahun 2023 di Jatim ada 3.130 orang, di tahun 2024 menurun menjadi 1.686 orang.

    Ditegaskan Adhy, untuk menghentikan siklus kekerasan, semua pihak perlu bertanggung jawab, termasuk individu, keluarga, dan masyarakat. 

    Bahwa semua harus menciptakan lingkungan yang aman bagi semua orang, melaporkan jika menemukan indikasi kekerasan, dan membantu mengurangi kerentanan anak, serta mencegah keberulangan kasus. 

  • Menyoal Sunat Perempuan di RI Serta Dampaknya Terhadap Kesehatan

    Menyoal Sunat Perempuan di RI Serta Dampaknya Terhadap Kesehatan

    Jakarta

    Salah satu bentuk kekerasan seksual pada perempuan adalah praktik Pelukaan atau Pemotongan Genitalia Perempuan (P2GP), yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C), atau lebih umum disebut sunat perempuan di masyarakat.

    Di Indonesia, P2GP dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari pemotongan sebagian atau seluruh klitoris hingga pelukaan dengan cara goresan, cubitan, jepitan koin, sayatan, atau menggunakan patokan ayam. Meskipun tidak dianjurkan secara medis, praktik ini muncul karena faktor budaya, sosial, dan kepercayaan.

    Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Prof Alimatul Qibtiyah mengatakan pihaknya telah melakukan sejumlah penelitian terkait sunat perempuan, salah satunya penelitian bersama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) pada 2017 di 10 provinsi di Indonesia.

    Penelitian tersebut menemukan bahwa banyak praktik sunat perempuan di Indonesia dilakukan karena pengaruh pemahaman agama.

    “Salah satu di antara temuannya adalah 92 persen itu orang melakukan sunat perempuan itu karena dipengaruhi oleh paham agama,” tegas Prof Ali, sapaannya, saat ditemui di UN Office, Jakarta Pusat, Selasa (11/3/2025).

    “Kalau dari hasil pemantauannya Komnas Perempuan masih banyak terjadi dengan berbagai macam cara, termasuk juga yang simbolis yang dipotong kunyit itu juga ada. Misalnya alat-alat yang digunakan itu ya ada yang pakai gabah, gabah beras yang nyantil itu, ada yang pakai patok ayam,” lanjutnya lagi.

    1. Prevalensi Sunat Perempuan di Dunia dan Indonesia

    Berdasarkan laporan global United Nations Children’s Fund (UNICEF) 2024, lebih dari 230 juta perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia telah mengalami P2GP. Sementara itu United Nations Population Fund (UNFPA) memperkirakan bahwa 68 juta anak perempuan berisiko mengalami sunat perempuan antara tahun 2015 hingga 2030.

    Di Indonesia, Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 mencatat bahwa 46,3 persen perempuan berusia 15 hingga 49 tahun pernah menjalani sunat perempuan. Survei ini dilakukan di 178 kabupaten/kota, dengan jumlah sampel yang ditargetkan sebanyak 14.240 rumah tangga di 1.424 blok sensus.

    Survei ini melibatkan perempuan berusia 15 hingga 64 tahun, yang diwajibkan memberikan jawaban secara langsung tanpa perwakilan. Hasil survei menunjukkan bahwa praktik sunat perempuan lebih banyak terjadi di wilayah perkotaan dibandingkan di pedesaan.

    Jika dibandingkan dengan data dari SPHPN 2021, kasus sunat perempuan di Indonesia mengalami penurunan pada 2024. Pada tahun 2021, 55 persen perempuan berusia 15 hingga 49 tahun tercatat pernah mengalami praktik ini.

    “Prevalensi P2GP atau sunat perempuan di Indonesia pada tahun 2024 itu 46,3 persen, dibandingkan tahun 2021 itu 55 persen. Meskipun ada penurunan dibandingkan 2021, penurunan ini belum signifikan dan masih ada tantangan untuk mencapai target SDGs 5.3.2,” kata Fadilla D Putri, Programme Officer for Gender UNFPA.

    2. Dampak Sunat Perempuan atau P2GP pada Kesehatan

    Sunat perempuan tidak memiliki manfaat kesehatan dan justru dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Praktik ini melibatkan pengangkatan jaringan genital wanita yang sehat dan normal, sehingga mengganggu fungsi alami tubuh.

    Sunat perempuan juga dapat meningkatkan risiko gangguan psikologis serta masalah kesehatan reproduksi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Komplikasi jangka pendek yang mungkin terjadi meliputi nyeri hebat, syok, perdarahan, tetanus, infeksi, retensi urine, infeksi luka, infeksi saluran kemih, hingga demam.

    Sementara itu, komplikasi jangka panjang dapat mencakup gangguan selama persalinan, anemia, pembentukan kista dan abses, munculnya bekas luka keloid, kerusakan pada uretra, hubungan seksual yang menyakitkan, disfungsi seksual, hipersensitivitas area genital, serta dampak psikologis yang berkepanjangan.

    “Yang sangat ekstrem kayak di Afrika, mohon maaf ya, kalau klitoris itu kan semacam seperti memberikan sensasi kepada perempuan atas kenikmatan dan seksualnya. Kalau diambil otomatis hilang,” kata dr Fabiola Tazrina Tazir, Direktur Bina Kesehatan Reproduksi, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dalam acara yang sama.

    “Ada juga yang hanya ditoreh atau diambil sedikit, artinya di klitoris itu akan ada jaringan parut. Kalau jaringan parut, otomatis dia saraf-sarafnya tidak sesensitif ketika dia sehat. Jadi otomatis juga mempengaruhi sensasi seksual sendiri yang dirasakan oleh perempuan,” katanya lagi.

    Dampak kesehatan akibat sunat perempuan atau P2GP juga dirasakan oleh Melody (bukan nama sebenarnya) (29), perempuan asal Makassar yang saat ini bekerja menjadi karyawan swasta di Jakarta.

    Melody mengaku pernah menjalani sunat perempuan saat berusia enam atau tujuh tahun. Menurutnya, praktik tersebut dilakukan karena adat di wilayahnya, dengan tujuan agar perempuan yang disunat tidak menjadi ‘nafsuan’ saat dewasa.

    Akibat praktik tersebut, Melody mengaku mengalami masalah kesehatan, seperti rasa sakit saat berkemih. Selain itu, ia juga mengalami gangguan psikologis akibat pengalaman tersebut.

    “Praktik ini tuh sayangnya sampai sekarang sih masih dilakukan di beberapa daerah, meski medis juga udah bilang nggak ngaruhnya,” kata Melody saat dihubungi detikcom, Rabu (12/3).

    “Karena aku sudah tahu kalau praktik sunat perempuan ini turns out membahayakan buat perempuan, sebisa mungkin aku putus rantainya, seenggaknya di keluargaku,” ucapnya lagi.

    Senada dengan Melody, Karin (bukan nama sebenarnya), seorang wanita berusia 28 tahun asal Bekasi, juga mengalami praktik tersebut saat baru berusia seminggu. Ia disunat dengan alasan yang sama, yaitu agar tidak menjadi “nafsuan” saat dewasa.

    Menurut pengakuan orang tuanya, saat masih bayi, Karin sering menangis karena merasakan sakit saat berkemih.

    “Pas dibasuh abis buang air kecil nangis gitu, mungkin perih ya, pas pipis juga nangis gitu,” katanya.

    3. Bagaimana Regulasi Sunat Perempuan di RI?

    Pada April 2024, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Regulasi ini secara eksplisit melarang praktik sunat perempuan. Larangan tersebut tercantum dalam Pasal 102 huruf a, yang menyatakan bahwa upaya kesehatan reproduksi bagi bayi, balita, dan anak prasekolah harus mencakup langkah untuk menghapus praktik sunat perempuan.

    Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga kesehatan reproduksi dan melindungi hak-hak anak perempuan. Sunat perempuan dianggap tidak memiliki manfaat medis dan justru dapat menimbulkan risiko kesehatan.

    Meskipun regulasi ini telah diterbitkan, praktik sunat perempuan masih ditemukan di beberapa daerah. Faktor budaya serta kurangnya sosialisasi mengenai bahaya dan larangan praktik ini menjadi tantangan utama dalam implementasi aturan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan upaya edukasi yang lebih luas kepada masyarakat agar peraturan ini dapat diterapkan secara efektif.

    “Praktik P2GP, termasuk bentuk-bentuk medis dan simboliknya, harus dihapuskan secara bertahap, terutama jika praktik tersebut berakar pada diskriminasi berbasis gender,” kata Dessy Andriani, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) saat ditemui di kantor UN Office, Jakarta, Rabu (12/3).

    “Untuk mengatasi masalah ini, kita memerlukan pendekatan multisektoral yang komprehensif, sehingga ini bukan upaya satu sektor saja. Oleh karena itu, penting bagi kita meningkatkan kolaborasi dan koordinasi di antara semua pemangku kepentingan terkait untuk memastikan respons yang holistik dan berkelanjutan,” lanjutnya.

    (suc/up)

  • Perempuan Indonesia Masih Sulit Penuhi Hak Dasar Kesehatan dan Pendidikan – Halaman all

    Perempuan Indonesia Masih Sulit Penuhi Hak Dasar Kesehatan dan Pendidikan – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA — Perempuan di Indonesia masih mengadapi kesulitan memenuhi
    hak dasar seperti kesehatan hingga pendidikan.

    Diperlukan kolaborasi bersama pemerintah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, LSM dan akademisi untuk memenuhi hak dasar perempuan.

    Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas Kementerian Kesehatan RI dr. Maria Endang Sumiwi, MPH, mengatakan, tantangan untuk memenuhi hak dasar perempuan dimulai dari permasalahan pemenuhan gizi, risiko penyakit tidak menular, kesehatan reproduksi, kematian ibu, kesehatan jiwa, serta permasalahan kekerasan perempuan dan anak.

    “Tidak bisa dengan upaya sendiri, perlu kolaborasi lintas kementerian, seperti dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia, BKKBN serta berbagai lembaga lainnya, termasuk pihak swasta dan komunitas,” ujar dia dalam konferensi nasional perempuan di Jakarta, Selasa (11/3/2025.

    Melalui upaya komprehensif yang menggunakan pendekatan siklus hidup, maka diharapkan dapat memenuhi hak – hak kesehatan perempuan dan mendukung terciptanya perempuan yang berdaya dan kesetaraan gender.

    Di kegiatan yang sama Wakil Menteri PPA Veronica Tan menegaskan,  pemerintah berkomitmen mendukung kesetaraan gender dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perempuan serta melibatkan laki – laki sebagai mitra strategis.

    “Saya percaya, ketika perempuan mendapatkan kesempatan yang setara, berdaya dalam berbagai sektor baik itu pendidikan, ekonomi, maupun politik— perempuan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan bangsa,” tutur Veronica Tan.

    Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 2025, Farid Nila Moeloek (FNM) Society bersama dengan United Nations Population Fund (UNFPA), didukung oleh Takeda, menyelenggarakan Women National Conference yang bertema “Perempuan Sehat dan Berdaya, Menuju Kesetaraan Global”.

    Konferensi ini merupakan sebuah wujud nyata upaya kolektif dan kolaborasi lintas sektor untuk peningkatan kesetaraan gender di Indonesia.

    Ketua FNM Society Prof. Dr. dr. Nila Moeloek, Sp.M(K) menyadari bahwa pemberdayaan perempuan di Indonesia masih menghadapi tantangan besar.

    Dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa, hampir 50 persen di antaranya adalah perempuan. Jumlah ini mencerminkan potensi luar biasa, tetapi juga menunjukkan bahwa kesenjangan gender yang masih ada perlu segera diatasi.

    Tantangan ini tidak hanya terletak pada skala yang besar, tetapi juga pada bagaimana memastikan setiap perempuan, di mana pun mereka berada, memiliki akses yang sama terhadap kesempatan, kesehatan, dan perlindungan.

    “Pemberdayaan perempuan bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau organisasi tertentu—ini adalah tugas kita bersama,” ujar Prof Nila.

    Ketika perempuan semakin kuat, bukan hanya
    dirinya yang maju, tetapi juga ekonomi tumbuh, kesehatan membaik, dan kesejahteraan masyarakat semakin terangkat.

    Perempuan Harus Semakin Sejahtera

    UNFPA Indonesia Representative Hassan Mohtashami menjelaskan, semakin sejahtera perempuan dan anak perempuan, maka keluarga, komunitas, dan dunia secara keseluruhan juga akan mengalami hal yang sama.

    Meskipun telah terjadi banyak kemajuan, tantangan masih ada.

    Ketimpangan gender, akses layanan kesehatan yang terbatas, serta kekerasan terhadap perempuan masih menjadi penghalang bagi banyak perempuan untuk mencapai potensi penuh mereka.

    Melalui inisiatif seperti Women at the Center Project, UNFPA terus bekerja untuk memastikan setiap perempuan mendapatkan akses layanan kesehatan reproduksi yang aman dan berkualitas serta bisa menentukan masa depannya sendiri.

    Sebagai salah satu mitra penyelenggaraan acara Konferensi Nasional Perempuan ini, Takeda menyampaikan komitmennya secara global untuk kemajuan dan pemberdayaan perempuan.

    “Kami menyadari  keberagaman, kesetaraan, dan inklusi bukan sekadar inisiatif, tetapi telah menjadi bagian dari DNA kami selama lebih dari 240 tahun, termasuk lebih dari 50 tahun di Indonesia,” tutur Corporate Strategy Officer & CEO Chief of Staff, Takeda Pharmaceuticals Akiko Amakawa.

    Pihaknya percaya bahwa akses kesehatan yang berkelanjutan harus menjadi hak semua orang, dan itulah mengapa kami aktif dalam berbagai area terapi, termasuk onkologi, penyakit langka, penyakit gastrointestinal, kesehatan konsumen, dan dengue.

     

  •  Kronologi Turis Israel Diperkosa Ramai-ramai di India – Halaman all

     Kronologi Turis Israel Diperkosa Ramai-ramai di India – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, INDIA –  Seorang turis asal Israel berusia 27 tahun diperkosa di dekat Danau Sanapur, Hampi, Karnataka, India pada Kamis (6/3/2025) malam.  

    Seorang petugas homestay asal India (29) juga menjadi korban pemerkosaan dalam kejadian itu.

    Kepala Kepolisian Distrik Koppal, Ram L. Arasiddi, mengatakan lima orang yang terdiri dari dua wanita dan tiga pria menjadi korban serangan oleh sekelompok pria tak dikenal. 

    Dua diantaranya adalah wisatawan asing yakni seorang pria asal Amerika Serikat dan seorang wanita dari Israel.  

    “Lima orang, dua di antaranya adalah wanita dan tiga pria, diserang oleh tiga penjahat yang datang di dekat Danau Sanapur. (Mereka) menyerang tiga pria dan juga melakukan pelecehan seksual terhadap dua wanita,” kata Arasiddi dikutip dari Reuters, Sabtu (8/3/2025).

    Menurut keterangan polisi, para pelaku yang mengendarai sepeda motor awalnya mendekati para wisatawan dengan alasan meminta bensin dan uang sebesar 100 rupee (sekitar Rp 19 ribu). 

    Ketika permintaan mereka ditolak, para pelaku berubah agresif, menyerang para korban secara fisik, mendorong para pria ke dalam danau, dan kemudian memperkosa kedua wanita. 

    “Karena tidak mengenal mereka, petugas homestay mengatakan bahwa mereka tidak memiliki uang. Para pelaku terus memaksa hingga salah satu wisatawan pria asal Odisha, India memberikan mereka 20 rupee (Rp 4.000). Namun, tiga pelaku mulai berdebat dan mengancam akan memukuli mereka dengan batu,” ucap polisi.  

    Dua wisatawan pria yaitu satu dari Amerika Serikat dan satu dari Maharashtra berhasil melarikan diri, sementara wisatawan asal Odisha ditemukan tewas pada Sabtu pagi.  

    Kasus ini telah didaftarkan di Kepolisian Pedesaan Gangavathi dengan tuduhan pemerasan, perampokan, pemerkosaan berkelompok, dan percobaan pembunuhan.  

    Saat ini, dua wanita korban serangan tersebut sedang menjalani perawatan medis di rumah sakit pemerintah.  

    Pelaku ditangkap

    Polisi Koppal menangkap dua orang pelaku pada hari Sabtu (8/3/2025).

    Terdakwa ketiga masih bebas, dan tim khusus telah dikerahkan untuk memburunya.

    Tersangka yang ditangkap telah diidentifikasi sebagai Mallesh alias Handi Malla yang berusia 22 tahun dan Chetan Sai Sillekyatar yang berusia 21 tahun.

    Keduanya penduduk Sainagar di taluk Gangavathi, distrik Koppal—sekitar 350 km dari Bengaluru.

    Dalam konferensi pers, Inspektur Polisi Koppal Ram L Arasiddi mengatakan serangan itu terjadi sekitar pukul 10.30 malam pada hari Kamis ketika para korban, bersama dengan tiga wisatawan pria, sedang mengamati bintang di dekat Kanal Tepi Kiri Tungabhadra.

     “Mereka mendorong ketiga wisatawan pria itu ke dalam kanal sebelum melakukan kekerasan seksual terhadap kedua wanita itu,” kata SP.

    “Dua dari terdakwa memperkosa beramai-ramai operator wisma, sementara wisatawan Israel itu diperkosa oleh salah satu dari mereka. Para korban selamat tidak saling kenal sebelumnya dan telah bertemu di wisma itu,” imbuhnya lebih lanjut.

    Rekan seperjalanan ditemukan tewas

    Para wisatawan pria—Daniel dari AS dan Pankaj dari Maharashtra—berhasil berenang kembali ke tempat aman dengan saling membantu.

    Namun, korban ketiga, Bibash dari Odisha hilang. 

    “Jasadnya ditemukan di kanal pada Sabtu pagi,” SP mengonfirmasi.

    Korban yang diidentifikasi sebagai Bibash dari Puri, telah berusaha untuk melerai penyerangan seksual tersebut.

    Sementara teman-temannya berhasil melarikan diri, ia tenggelam.

    Jasadnya ditemukan oleh polisi Karnataka pada Sabtu.

    Menurut FIR yang diajukan di Kantor Polisi Pedesaan Gangavathi pada Jumat malam, para penyerang juga mencuri tas pemilik rumah penginapan yang berisi dua ponsel dan uang tunai Rs 9.500 sebelum melarikan diri dengan sepeda motor mereka.

    Para korban, termasuk empat tamu dan pemilik rumah penginapan, telah menginap di properti tersebut setelah tiba pada tanggal yang berbeda.

    Kasus pemerkosaan di India

    Serangan ini memicu kekhawatiran akan keselamatan wisatawan di Hampi, sebuah situs warisan dunia UNESCO yang menjadi destinasi populer bagi turis domestik maupun internasional.  

    Kejadian ini menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap perempuan di India. 

    Tahun lalu, seorang turis asal Spanyol menjadi korban pemerkosaan berkelompok di negara bagian Jharkhand. 

    Sementara itu, seorang pria berusia 31 tahun, pada bulan lalu, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas kasus pemerkosaan dan pembunuhan seorang turis asal Irlandia, Danielle McLaughlin, di Goa pada 2017.  

    Menurut Biro Catatan Kejahatan Nasional India, terdapat 31.516 kasus pemerkosaan yang dilaporkan pada tahun 2022, meningkat 20 persen dibanding tahun sebelumnya. 

    Namun, angka sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi karena stigma sosial yang membuat banyak korban enggan melaporkan kejadian yang mereka alami.  

    Sumber: Reuters/Times of India

     

  • International Women’s Day 2025, Kasus Kekerasan Perempuan di RI Masih Tinggi

    International Women’s Day 2025, Kasus Kekerasan Perempuan di RI Masih Tinggi

    Jakarta

    International women’s day atau Hari Perempuan Internasional diperingati setiap 8 Maret. Perayaan Hari Perempuan Internasional ini menyoroti pentingnya kesetaraan dan pemberdayaan perempuan dalam semua aspek termasuk kesehatan.

    Di tahun 2025, PBB memperingati IWD dengan tema “For ALL women and girls: Rights. Equality. Empowerment atau Untuk semua perempuan dan anak perempuan: Hak. Kesetaraan. Pemberdayaan.

    Berkaca dari situasi perempuan saat ini, ketimpangan gender masih banyak mereka alami. Terlebih dari kasus kekerasan terhadap perempuan baik kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga juga masih marak.

    Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ada 330.097 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan sepanjang 2024.

    “Dari 289.111 menjadi 330.097 sehingga dari data kemarin meningkat sekitar 14,17 persen dari tahun sebelumnya,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah dalam siaran di Youtube Komnas Perempuan, Jumat (7/3/2025).

    Dalam data tersebut juga dipaparkan mengenai kekerasan berbasis gender yang paling sering dialami perempuan. Kekerasan terhadap Istri (KTI) merupakan jumlah yang tertinggi sebanyak 674 kasus disusul dengan Kekerasan Mantan Pacar (KMP) sebanyak 618 kasus, dan Kekerasan dalam Pacaran (KDP) sebanyak 360 kasus.

    Kasus femisida juga masih terjadi di Indonesia. Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.

    Pemantauan Komnas Perempuan terhadap berita media daring sepanjang 2019 tentang femisida mencatat jumlah yang memprihatinkan, yakni 145 kasus. Berdasarkan data PBB, 80 persen dari pembunuhan terencana terhadap perempuan dilakukan oleh orang terdekatnya.

    Momen Merayakan Perempuan

    International Women’s Day bukan hanya bentuk penghormatan terhadap perjuangan perempuan dalam meraih kesetaraan gender tetapi juga menyoroti pentingnya perlindungan bagi perempuan dari kekerasan.

    Sekjen PBB Antonio Gutteres mengatakan meski perempuan semakin berperan setiap tahunnya, kekerasan, diskriminasi dan kesenjangan masih menghantui mereka. Faktanya setiap sepuluh menit, seorang wanita dibunuh oleh pasangannya atau anggota keluarganya.

    “612 juta perempuan dan anak perempuan hidup di bawah bayang-bayang konflik bersenjata, di mana hak-hak mereka terlalu sering dianggap dapat dikorbankan,” kata Gutteres dikutip dari laman UN, Sabtu (8/3).

    Melihat hal tersebut, PBB meluncurkan Global Digital Compac tuntuk menutup kesenjangan digital gender, melawan pelecehan dan memastikan perempuan dan anak perempuan di mana saja dapat mengakses manfaat dari peluang ekonomi global yang berkembang pesat.

    (kna/kna)

  • Peringati Hari Perempuan Internasional, Sekjen PBB: Saat Perempuan Bangkit, Semua Akan Berkembang – Halaman all

    Peringati Hari Perempuan Internasional, Sekjen PBB: Saat Perempuan Bangkit, Semua Akan Berkembang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres turut memperingati Hari Perempuan Internasional 2025.

    Dalam semua pesan tertulis, Guterres menyerukan bahwa saat perempuan bangkit, semua hal akan berkembang.

    “Ketika perempuan dan anak perempuan dapat bangkit, kita semua akan berkembang. Bersama-sama, mari kita teguh dalam mewujudkan hak, kesetaraan dan pemberdayaan menjadi kenyataan bagi semua perempuan dan anak perempuan, untuk semua orang, di mana saja,” kata dia dikutip di Jakarta, Jumat (7/3/2025).

    Ia mengatakan, sejak konferensi besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di Beijing 30 tahun lalu, telah banyak mengubah hak-hak perempuan – dan menegaskan kembali hak-hak tersebut sebagai hak asasi manusia.

    “Sejak saat itu, perempuan dan anak perempuan telah menghancurkan penghalang, menantang stereotip, dan menuntut tempat yang seharusnya mereka miliki. Mulai dari penolakan, kekerasan, diskriminasi dan ketidaksetaraan ekonomi merupakan kengerian zaman dahulu,” ujar dia.

    Meski demikian di zaman yang serba canggih ini, ada ancaman baru bagi perempuan.

    Seperti ketidaksetaraan ke dalam ruang online, dimana kini menjadi arena baru pelecehan dan penyalahgunaan.

    Perempuan harus memiliki kesempatan kerja yang setara, menutup kesenjangan upah gender serta mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.

    “Ketika pintu kesempatan yang setara terbuka bagi perempuan dan anak perempuan, semua orang akan meraih kemenangan. Masyarakat yang setara itu lebih makmur dan damai dan merupakan fondasi dari pembangunan berkelanjutan,” harap dia. (Rina Ayu)

  • Eks Menteri hingga Komnas Perempuan Kecam Ide Naturalisasi Ahmad Dhani

    Eks Menteri hingga Komnas Perempuan Kecam Ide Naturalisasi Ahmad Dhani

    Jakarta, Beritasatu.com – Berbagai elemen masyarakat mulai dari mantan menteri, anggota DPD, hingga Komnas Perempuan mengecam ide naturalisasi Ahmad Dhani yang dianggap kebablasan. Ide ini dinilai melecehkan perempuan dan merendahkan nasionalisme.

    Diketahui, dalam rapat dengar pendapat DPR Komisi X dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) serta PSSI pada Rabu (5/3/2025), Ahmad Dhani mengusulkan agar pemain sepak bola asing berusia di atas 40 tahun yang akan dinaturalisasi dijodohkan dengan warga negara Indonesia (WNI).

    “Pemain bola di atas 40 tahun yang mau dinaturalisasi dan mungkin yang duda, kita carikan jodoh di Indonesia,” kata Dhani dalam rapat tersebut. Menurutnya, pernikahan ini dapat menghasilkan keturunan berbakat sepak bola yang nantinya bisa memperkuat tim nasional Indonesia.

    Ide Naturalisasi Ahmad Dhani kemudian tersiar luas dan langsung menuai respons negatif karena dianggap tidak pantas. Bahkan, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ikut berkomentar.

    “Apa yang dikatakan seseorang mencerminkan apa isi kepalanya,” tulis Susi Pudjiastuti singkat melalui akun X miliknya.

    Anggota DPD asal Bali, Niluh Djelantik, juga ikut mengkritik Ahmad Dhani. Senada dengan Susi Pudjiastuti, ia menyayangkan pernyataan Ahmad Dhani tersebut.

    “Halo @ahmaddhaniofficial, mohon jangan diulangi lagi pernyataan yang merendahkan martabat perempuan. Urusan lahir, jodoh, dan mati di tangan Tuhan,” ujar Niluh.

    Senator tersebut mengingatkan Ahmad Dhani untuk tidak ikut campur dalam masalah jodoh pemain naturalisasi, karena tugasnya di DPR RI adalah mewakili rakyat.

    “Jalankan saja tugasmu sebagai wakil rakyat, perjuangkan hak mereka melalui UU dan kebijakan. Urusan jodoh biar mereka yang atur,” tuturnya.

    Terbaru, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mengecam pernyataan bernada seksis yang disampaikan oleh Ahmad Dhani. Pernyataan tersebut dinilai melecehkan perempuan, merendahkan martabat bangsa, serta mengandung unsur rasisme.

    “Komnas Perempuan mengecam pernyataan anggota DPR Ahmad Dhani. Pernyataannya merendahkan perempuan dengan menempatkan mereka hanya sebagai alat reproduksi dan pelayan seksual bagi suami,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani.

    Menurut Andy, pernyataan seksis semacam ini bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam mewujudkan kesetaraan serta keadilan gender. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), serta selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya Tujuan 5 mengenai kesetaraan gender.

    CEDAW menegaskan bahwa pejabat publik, termasuk pembuat kebijakan, memiliki tanggung jawab untuk tidak melakukan tindakan diskriminatif terhadap perempuan serta mengambil langkah konkret guna menghapuskan segala bentuk diskriminasi.

    Ide Naturalisasi Ahmad Dhani dinilai berpotensi melanggar hak asasi perempuan, mencoreng citra DPR, serta merusak kehormatan dan kredibilitas Komisi X yang juga membidangi sektor pendidikan. Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendorong Majelis Kehormatan Dewan (MKD) untuk menindaklanjuti permasalahan ini.