Topik: Kekerasan Terhadap Perempuan

  • Anggota Komisi I: Penyalahgunaan AI untuk Pelecehan Seksual Bentuk Baru Kejahatan, Harus Diperangi – Halaman all

    Anggota Komisi I: Penyalahgunaan AI untuk Pelecehan Seksual Bentuk Baru Kejahatan, Harus Diperangi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PAN Farah Puteri Nahlia, mengecam keras dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang mahasiswa Universitas Udayana (Unud) dengan modus penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mengedit foto-foto perempuan menjadi konten asusila. 

    Sampai saat ini, jumlah korban yang melapor sebanyak 37 mahasiswi.

    “Kasus ini sangat memprihatinkan. Ini membuktikan bahwa pelecehan seksual tidak lagi terbatas pada ruang fisik. Dunia digital kini menjadi medan baru kekerasan terhadap perempuan. Penyalahgunaan AI untuk merendahkan martabat perempuan bukan sekadar pelanggaran teknologi, tapi bentuk baru kejahatan seksual yang tidak bisa dibiarkan,” kata Farah kepada wartawan Rabu (30/4/2025).

    Farah menyoroti bahwa kasus ini terjadi di tengah maraknya isu pelecehan seksual terhadap perempuan di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir, yang menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan seksual masih menjadi tantangan besar.

    “Maraknya kasus pelecehan seksual menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan masih menghadapi tantangan besar, terutama di ruang-ruang yang seharusnya aman. Kita perlu memastikan bahwa setiap individu merasa terlindungi dan dihormati, baik di dunia nyata maupun digital,” ucapnya.

    Farah mengungkapkan bahwa pelecehan seksual dapat meninggalkan luka yang mendalam bagi para korban, baik secara psikologis, fisik, sosial, maupun politik. 

    Menurutnya, dampak traumatis ini dapat menghambat korban untuk berpatisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat.

    “Kekerasan terhadap perempuan, termasuk pelecehan seksual, juga memiliki implikasi terhadap keamanan nasional, karena menciptakan ketidakstabilan sosial dan menghambat pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas,” ujar Farah.

    Sebagai anggota Komisi I DPR RI yang membidangi urusan pertahanan, keamanan, luar negeri, komunikasi, dan informatika, Farah menegaskan bahwa Komisi I memiliki peran strategis dalam memastikan penyalahgunaan teknologi seperti AI tidak menjadi alat kejahatan, termasuk untuk pelecehan seksual.

    “Penyalahgunaan teknologi, termasuk AI, untuk melakukan pelecehan seksual adalah bentuk kejahatan yang harus diperangi. Saya akan terus mendorong penguatan regulasi dan pengawasan terkait kejahatan siber dan perlindungan data pribadi, termasuk dalam konteks pencegahan pelecehan seksual berbasis teknologi,” ucap Farah.

    Lebih lanjut, Farah menyampaikan dukungan terhadap berbagai program pemerintah dan inisiatif masyarakat sipil dalam meningkatkan literasi digital dan etika bermedia, termasuk Program Prioritas (PP) Tunas dari Kementerian Komunikasi dan Digitalisasi (Kemkomdigi), serta gerakan nasional literasi digital oleh Siberkreasi, Japelidi, Klinik Digital, dan berbagai komunitas warga lainnya.

    “Kita tidak bisa hanya mengandalkan regulasi. Perlu ada gerakan bersama untuk membangun kesadaran kritis masyarakat agar mampu menggunakan teknologi secara etis, bijak, dan bertanggung jawab. Literasi digital harus menjadi benteng utama dalam melindungi masyarakat, terutama perempuan dan anak, dari kejahatan siber,” kata Farah.

    Farah berharap kasus di Universitas Udayana ini menjadi momentum bagi seluruh pihak—pemerintah, institusi pendidikan, keluarga, media, dan masyarakat—untuk bekerja sama membangun ruang digital yang aman, inklusif, dan manusiawi bagi semua.

     

     

     

  • Percepat Pengentasan Kemiskinan Ekstrem, Bupati Kediri Gandeng Fatayat NU

    Percepat Pengentasan Kemiskinan Ekstrem, Bupati Kediri Gandeng Fatayat NU

    Kediri (beritajatim.com) – Bupati Kediri, Hanindhito Himawan Pramana, menekankan pentingnya membangun kolaborasi dalam mensukseskan program pembangunan di daerah, salah satunya dalam upaya pengentasan kemiskinan ekstrem.

    Suksesnya program ini tak bisa dilepaskan dari pembangunan keluarga sebagai unit terkecil masyarakat yang menjadi dasar pembangunan. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah daerah menggandeng Pengurus Cabang (PC) Fatayat NU Kabupaten Kediri dalam melaksanakan program pembangunan keluarga.

    “Secara general (dengan MoU) ini supaya keluarga di kabupaten ini memiliki kualitas dan daya hidup yang baik,” kata Mas Dhito pasca acara penandatanganan nota kesepakatan kerjasama (MoU) di Convention Hall, SLG Kediri.

    Tidak hanya fokus pada pengentasan kemiskinan ekstrem, Mas Dhito menambahkan, kerjasama ini juga meliputi upaya menekan angka stunting di Kabupaten Kediri serta program lain yang berkaitan dengan pembangunan keluarga.

    Penandatanganan nota kesepakatan tersebut dilaksanakan berbarengan dengan acara Pelantikan PC Fatayat NU Kabupaten Kediri masa khidmat 2024-2029 dan peringatan Hari Lahir Fatayat NU ke-75.

    Dalam acara tersebut, Mas Dhito yang didampingi Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Kediri, Eriani Annisa Hanindhito, memberikan ucapan selamat kepada Wakil Bupati Dewi Mariya Ulfa yang kembali terpilih menjadi Ketua PC Fatayat NU Kabupaten Kediri.

    “Dan kita doakan semoga Fatayat bisa memberikan manfaat bagi masyarakat Kabupaten Kediri,” ungkap Mas Dhito.

    Sementara itu, Mbak Dewi, sapaan akrab Wakil Bupati, menyampaikan bahwa dengan kolaborasi yang terjalin, tidak hanya fokus pada penanganan kemiskinan dan stunting, tetapi juga memperhatikan isu-isu lain seperti pemberdayaan perempuan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

    “Harapan kami di periode kedua ini bisa memberikan kontribusi yang terbaik bagi masyarakat,” harapnya.

    Untuk mendukung program yang akan dijalankan, dalam acara tersebut Mas Dhito juga menyerahkan bantuan mobil operasional kepada PC Fatayat NU Kabupaten Kediri. [ADV PKP/nm]

  • TP PKK Wonosobo Didorong Jadi Garda Terdepan Tangani Isu Stunting hingga Ketahanan Pangan

    TP PKK Wonosobo Didorong Jadi Garda Terdepan Tangani Isu Stunting hingga Ketahanan Pangan

    TRIBUNJATENG.COM, WONOSOBO – Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat, apresiasi kiprah TP PKK yang telah menjadi mitra strategis pemerintah daerah dalam membangun keluarga berkualitas dari berbagai aspek moral, pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, hingga lingkungan hidup, 

    “Sebagai garda terdepan dalam pembangunan keluarga dan masyarakat, saya berharap seluruh jajaran TP PKK semakin menguatkan sinergi dengan program prioritas pemerintah daerah maupun nasional,” ujar Bupati, Kamis (24/4/2025).

    Selain itu, Bupati Afif menekankan pentingnya peran TP PKK dalam menangani isu-isu strategis seperti stunting, kemiskinan, kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta ketahanan pangan keluarga. 

    “Mari kita nyalakan kembali api perjuangan PKK sebagai mitra strategis pembangunan, beberapa program unggulan yang perlu terus diperkuat di antaranya Posyandu Ketuk Pintu, Pandu Cinta, Paaredi, Aku Hatinya PKK, dan Gerakan Keluarga Sehat dan Tangguh Bencana,” ujar Bupati.

    Sementara itu, Ketua TP PKK Wonosobo, Dyah Afif Nurhidayat menyampaikan komitmennya untuk terus mendorong PKK menjadi organisasi yang adaptif, solutif, dan kolaboratif.

    “Kami siap menjalankan amanah dan memperkuat sinergi dengan pemerintah serta seluruh elemen masyarakat serta mewujudkan keluarga berkualitas dan masyarakat Wonosobo yang lebih sejahtera,” tutur Dyah Afif.

    Ia juga menekankan pentingnya kerja sama lintas organisasi, termasuk dengan Muslimat NU dan Aisyiyah, untuk memperkuat pelatihan dan penugasan paralegal dalam program perlindungan perempuan dan anak.

    “Kami percaya, perubahan besar bisa dimulai dari rumah. Melalui kerja sama dan semangat gotong royong, PKK bisa menjadi katalisator perubahan sosial di tengah masyarakat,” ungkap Dyah. (ima)

  • Kasus Dugaan Eksploitasi OCI, Polri Telusuri Kembali Data yang Pernah Dilaporkan Tahun 1997 – Halaman all

    Kasus Dugaan Eksploitasi OCI, Polri Telusuri Kembali Data yang Pernah Dilaporkan Tahun 1997 – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Polisi kembali menelusuri kasus dugaan eksploitasi yang dialami para korban Oriental Circus Indonesia (OCI).

    Direktur Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak (PPA)-Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPO) Bareskrim Polri Brigjen Pol Nurul Azizah mengatakan kasus tersebut pernah dilaporkan 28 tahun silam.

    “Terkait dengan laporan di tahun 1997 tentu kami masih proses mencari datanya mengingat kejadian sudah sangat lama,” ungkapnya kepada wartawan, Kamis (24/4/2025).

    Polisi juga sudah berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang turut mendampingi para korban.

    Beberapa pertemuan sudah dilakukan untuk memperbarui informasi dan mendalami penanganan kasus ini.

    “Dan kami sudah bersurat ke fungsi yang membidangi (Kemen PPPA),” tandasnya.

    Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso mengungkapkan bahwa kasus dugaan pelanggaran HAM oleh Oriental Circus Indonesia (OCI) mengandung unsur-unsur tindak pidana.

    Termasuk dugaan perdagangan anak, eksploitasi, dan penyiksaan. 

    Komisi XIII pun mendesak agar Polri membuka kembali kasus ini yang sebelumnya telah diberi status SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).

    Hal itu disampaikannya usai audiensi Komisi XIII DPR bersama eks pegawai OCI, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kementerian HAM.

    “Ada banyak tindakan kejahatan yang terjadi terkait kasus ini. Misalnya, ditemukan bahwa sejak umur bayi, ada yang usia 2 tahun, 5 tahun, mereka diperdagangkan, katakanlah oleh oknum orang tuanya ke OCI dan dieksploitasi untuk bekerja sebagai pemain sirkus,” kata Sugiat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/4/2025).

    Sugiat mengungkapkan, dari berbagai keterangan para korban, ditemukan indikasi kuat adanya penyiksaan dan berbagai bentuk kekerasan lainnya yang dialami mereka selama bertahun-tahun.

    Bahkan, para korban telah memperjuangkan keadilan sejak tahun 1997, namun belum mendapatkan kejelasan hukum hingga kini.

    “Dan dari beberapa penjelasan mereka, ternyata banyak sekali tindak kejahatan, penyiksaan, dan sebagainya. Mereka sudah melakukan pencarian keadilan sejak tahun 1997,” ujarnya.

    Komisi XIII telah menyepakati untuk mendorong Polri membuka kembali penyelidikan kasus tersebut, dengan pintu masuk pada indikasi perdagangan manusia. 

    Sugiat mengakui bahwa untuk pembuktian kekerasan fisik mungkin sudah sulit, mengingat kasus ini terjadi puluhan tahun lalu.

    “Kalau pintu masuknya adalah tadi saya katakan, bisa saja terkait dengan kejahatan perdagangan manusia. Kalau penyiksaan fisik karena sudah 28 tahun, mungkin agak sulit menemukan bukti-bukti atau visum. Tapi OCI dan eks-karyawan ini sudah sepakat bahwa sejak umur bayi mereka sudah diperdagangkan di OCI. Saya pikir itu bisa jadi pintu masuk,” kata Sugiat.

    Ia juga menekankan pentingnya kehadiran negara dalam proses pemulihan para korban yang selama ini merasa ditelantarkan dan dieksploitasi sejak anak-anak.

    “Kehadiran negara dalam proses pemulihan itu penting. Mereka rakyat Indonesia, mereka sejak dari umur bayi sudah ditelantarkan dan dieksploitasi oleh oknum OCI. Saya pikir harus ada kehadiran negara untuk proses pemulihan itu,” ujar Sugiat.

    Menurutnya, berdasarkan keterangan korban, kuasa hukum, serta hasil investigasi dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan, kasus ini sudah layak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.

    “Kalau dilihat dari temuan, saya pikir sudah dijelaskan kuasa hukum, para korban, dan dikuatkan oleh temuan investigasi Komnas HAM dan Komnas Perempuan, ini pelanggaran HAM berat,” ucapnya.

    Sebagai tindak lanjut, Komisi XIII sepakat untuk berkolaborasi antara Kementerian HAM sebagai leading sector bersama Komnas HAM dan Komnas Perempuan guna mendorong Polri membuka kembali kasus ini.

    Kekerasan dan Pelecehan

    Sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) mengungkapkan pengalaman pahit mereka menjadi korban kekerasan fisik, eksploitasi, hingga pelecehan seksual selama bertahun-tahun terlibat dalam pertunjukan.

    Pengakuan ini mereka sampaikan di hadapan Komisi XIII DPR RI pada Rabu (23/4/2025).

    Rapat Dengar Pendapat (RDP) ini menghadirkan perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

    Fifi Nurhidayah, korban yang hadir dalam audiensi, menuturkan bahwa ia dibawa ke OCI oleh Frans Manansang sejak usia belia, ia bahkan tidak mengetahui pasti umurnya saat itu.

    Kekerasan fisik seperti pukulan, tendangan, dan cambukan rotan, menjadi bagian tak terpisahkan dari kesehariannya jika ia gagal menampilkan pertunjukan dengan baik.

    Akibat penyiksaan yang terus-menerus selama bertahun-tahun, membuat Fifi akhirnya melarikan diri dari Taman Safari.

    Namun, pelariannya hanya berlangsung tiga hari sebelum ia ditangkap kembali oleh pihak keamanan dan dibawa pulang.

    Akibat pelarian itu, ia mengaku mendapatkan hukuman berupa setruman di badan hingga alat kelamin, yang kemudian membuatnya mengompol.

    “Setelah saya melarikan diri, 3 hari saya menghirup udara luar, saya ditangkap lagi dengan security. Di tengah jalan saya dipukulin, dikata-katain kasar seperti binatang. Sampai rumah saya dimasukkan ke kantor dan saya disetrum pakai setruman gajah. Sampai saya lemas. Sampai alat kelamin saya disetrum. Akhirnya saya jatuh, saya lemas, saya minta ampun, saya sakit. Tapi dia tidak mendengarkan omongan saya, malah dia menambahkan pukulan itu,” ungkap Fifi dengan suara bergetar.

    “Setelah itu, saya jatuh lemas, ditarik lagi rambut saya, dijedotin ke dinding, dan saya ditampar. Akhirnya saya ngompol di situ. Setelah itu, saya dirantai selama 2 minggu, dipasung. Setelah 2 minggu dipasung, saya dibebaskan. Dan seperti biasa, saya latihan seperti biasa,” lanjutnya.

    Bertahun-tahun kemudian, Fifi akhirnya menemukan celah untuk kabur dan meninggalkan Taman Safari dengan bantuan sang mantan kekasih.

    Hingga sekarang, menurut Fifi, rangkaian peristiwa di Taman Safari masih membekas dan meninggalkan trauma mendalam.

    Dalam kesempatan yang sama, Ida mengatakan bahwa ia pernah terjatuh dari ketinggian 13-14 meter saat melakukan atraksi di Bandar Lampung pada tahun 1989.

    Ironisnya, setelah jatuh, pihak sirkus tidak langsung membawanya ke rumah sakit.

    Ia mengaku hanya dipijat di belakang panggung.

    “Setelah kira-kira beberapa jam (setelah jatuh) baru saya dibawa ke rumah sakit. Kejadiannya di Bandar Lampung. Satu malaman saya menunggu rasa sakit, belum ditangani sama dokter. Pagi baru mendapat penanganan, di-gips. Di-gips itu saya sudah tidak merasa sakit, karena mungkin dibius ya,” katanya.

    Setelah di gips, Ida dibawa ke Jakarta oleh pihak OCI untuk menjalani operasi dan terapi.

    Ia kemudian tak lagi menjadi pemain sirkus.

    Dalam keterbatasan fisik, Ida kemudian bekerja dalam naungan manajemen Taman Safari dengan kondisi menggunakan kursi roda.

    Pada tahun 1997 ia akhirnya mengajukan diri untuk keluar dari Taman Safari.

    “Sekitar tahun 1997 saya lalu izin keluar. Saya sudah tidak mau ikut lagi di situ. Setelah saya keluar, saya diminta buat surat pengunduran diri. Padahal saya pikir untuk apa saya bikin, karena saya sebetulnya kan bagian dari keluarga katanya. Tapi saya dipaksa membuat surat sebelum saya meninggalkan Taman Safari. Jadi setelah saya tanda tangan, saya diizinkan keluar, tapi saya tidak menerima apa-apa. Jadi saya keluar, tidak dapat satu rupiah pun, saya keluar meninggalkan Taman Safari pada saat itu seperti itu gitu,” katanya.

    Lisa, mantan pemain sirkus OCI lainnya, mengungkapkan bagaimana pihak OCI tidak mengizinkannya untuk bertemu keluarga kandungnya.

    Menurut pengakuannya, istri dari Yansen, seorang pengelola sirkus, mengatakan bahwa Lisa adalah anak yang dijual oleh orang tuanya.

    “Setelah usia saya 12 tahun, saya minta sama Pak Tony untuk dipertemukan dengan keluarga saya. Tapi Tony bilang, nanti suatu saat kalau kamu ada waktunya, kamu akan saya pertemukan. Setelah 15 tahun, saya juga minta lagi dengan Ibu Yansen. Kita panggil dia Sausau. Sau, saya ingin ketemu orang tua saya. Sausau terus bilang, kamu itu dijual. Kamu itu anak yang dijual. Saya sedih dari saat itu,” ungkapnya.

    Lisa juga mengaku bahwa ia tidak diizinkan untuk memiliki KTP pada usia 17 tahun.

    Ia akhirnya berhasil keluar dari sirkus pada usia 19 tahun setelah memiliki seorang pacar, namun hingga kini ia tak tahu asal usul keluarganya dan tidak menerima upah sepeserpun selama menjadi pemain sirkus.

    “Sampai sekarang saya pun belum bisa ketemu orang tua saya. Identitas saya juga tidak tahu. Dari mana saya, nama orang tua saya itu siapa,” imbuh Lisa.

  • Hadiri Peluncuran Puspa Daya, Keluarga Korban Kekerasan Seksual Akui Advokasi Perindo Gratis

    Hadiri Peluncuran Puspa Daya, Keluarga Korban Kekerasan Seksual Akui Advokasi Perindo Gratis

    loading…

    Ristiani, perwakilan keluarga korban pelecehan seksual, memberikan keterangan kepada media usai menghadiri peluncuran organisasi sayap Partai Perindo, Puspa Daya di Kantor DPP Partai Perindo, Senin (21/4/2025). FOTO/ACHMAD AL FIQRI

    JAKARTA Partai Perindo resmi meluncurkan Pusat Layanan Perlindungan Perempuan, Anak, Disabilitas, dan Pemberdayaan ( Puspa Daya ) di Hari Kartini, Senin (21/4/2025) siang. Sejumlah korban kekerasan seksual menyambut positif peluncuran tersebut.

    Ristiani, misalnya, perwakilan keluarga korban pelecehan seksual. Anaknya, sempat mendapat bantuan advokasi atas kasus pelecehan seksual dari Partai Perindo.

    Ia berterima kasih pada Perindo lantaran telah mengadvokasi perkara anaknya.

    “Saya berterima kasih sekali pada Partai Perindo, kasus saya sudah selesai, pelaku dihukum 9 tahun atas kasus pelecehan seksual kepada anak,” kata Ristiani saat ditemui di Kantor DPP Partai Perindo, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025).

    Apalagi, kata Ristiani, dukungan advokasi Partai Perindo tak dipungut biaya. “Proses hukum semua sampai persidangan hingga putusan, semua gratis dari Partai Perindo,” ucapnya.

    Kendati demikian, Ristiani berharap, Partai Perindo semakin sukses dalam mengadvokasi kekerasan terhadap perempuan, anak dan disabilitas.

    “Semoga makin maju lagi, makin sukses dalam (pendampingan) kasus anak, perempuan dan disabilitas,” pungkasnya.

    Sementara itu, Kamaludin selaku perwakilan keluarga korban pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur juga berharap, Perindo bisa membantu korban kekerasan seksual lainnya.

    “Kami berharap pada Partai Perindo khususnya Puspa Daya lebih banyak membantu korban seperti kami ini agar kami mendapat keadilan,” kata Kamaludin.

    (abd)

  • Negara dan Perempuan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        21 April 2025

    Negara dan Perempuan Nasional 21 April 2025

    Negara dan Perempuan
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    SETIAP
    21 April, kita merayakan nama
    Kartini
    . Sekolah-sekolah penuh kebaya. Kantor-kantor menggelar lomba menghias tumpeng. Pidato-pidato menyebut
    perempuan
    sebagai tiang bangsa, penyangga keluarga, pejuang ganda yang tabah.
    Namun Kartini, jika bisa hadir sejenak hari ini, mungkin tak akan tersenyum. Ia akan bertanya: “Sudahkah negara benar-benar berpihak kepada perempuan?”
    Karena peringatan bukan soal bunga dan busana. Ia soal warisan pemikiran. Kartini bukan selebrasi, tapi protes yang ditulis dalam surat. Bukan simbol, tapi suara dari yang dibungkam.
    Dan jika kita ingin sungguh-sungguh menghormatinya, maka kita harus melihat hubungan perempuan dan negara dengan mata yang jujur.
    Setiap kali negara berbicara tentang perempuan, yang terdengar bukan suara, tapi gema. Gema dari ruang-ruang sidang yang disterilkan dari pengalaman perempuan.
    Gema dari podium seremonial yang gemar memuji perempuan sebagai “pilar bangsa”, tetapi tak pernah menanyakan bagaimana rasanya menjadi pilar yang terus retak karena beban struktural.
    Dalam pidato-pidato resmi, perempuan dipanggil dengan kata hormat: ibu, bunda,
    kartini
    , srikandi. Namun dalam kebijakan dan hukum, suara mereka tereduksi menjadi angka, program, dan indikator.
    Negara mencintai perempuan dalam bentuk simbolik, tetapi gagal mencintai mereka sebagai subjek yang hidup dalam tubuh dan luka.
    Perempuan
    di republik ini telah lama tahu: negara bisa hadir, tapi tak selalu berpihak.
    Kita hidup di negara yang rajin menyusun strategi kesetaraan gender—mulai dari RPJMN, Renstra Kementerian PPPA, hingga SDG’s Goal 5. Namun, perempuan tetap saja menjadi kelompok yang paling sering dilupakan dalam pengambilan keputusan.
    Lihat bagaimana penyusunan UU penting seperti Omnibus Law Cipta Kerja dilakukan tanpa melibatkan buruh perempuan yang terdampak langsung oleh deregulasi.
    Lihat bagaimana revisi KUHP diloloskan dengan pasal-pasal kesusilaan yang bisa menghukum korban, bukannya pelaku. Lihat bagaimana RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dibiarkan menggantung selama dua dekade.
    Negara bicara dalam bahasa birokrasi. Perempuan bicara dari perut yang lapar, rahim yang dilecehkan, tubuh yang dijadikan instrumen politik moral. Dan dua bahasa ini tak pernah sungguh-sungguh disambungkan.
    Setiap tahun Komnas Perempuan merilis Catatan Tahunan. Angka kekerasan seksual naik. Kekerasan dalam rumah tangga tetap tinggi.
    Kasus perkawinan anak merayap di bawah karpet adat. Namun, negara tak bergerak secepat data. Ia sibuk menyusun rencana aksi, menyusun forum lintas kementerian, menyusun draft, draft, dan draft.
    Kita tahu negara tak buta. Ia punya semua alat—BPS, KemenPPPA, LSM, bahkan teknologi big data. Namun, masalahnya bukan pada ketidaktahuan. Masalahnya pada ketidakpedulian.
    Karena bagi negara, perempuan sering hanya dihitung saat dibutuhkan. Dalam pemilu sebagai pemilih. Dalam statistik sebagai penerima bansos. Dalam pembangunan sebagai target, bukan subjek.
    Dari total 48 menteri dalam kabinet pemerintahan saat ini, hanya 5 yang perempuan. Dari 481 kepala daerah hasil Pilkada terakhir, hanya 43 yang perempuan.
    Dan di DPR RI, dari 580 anggota, hanya 127 yang perempuan—itu pun sebagian besar berasal dari lingkaran politik dinasti atau keluarga elite partai.
    Di negeri dengan lebih dari separuh penduduknya adalah perempuan, keterwakilan dalam pengambilan keputusan masih tersandera sistem patriarkis dan pragmatisme politik elektoral.
    Dalam sistem politik yang maskulin, kebijakan menjadi bias maskulin. Perempuan masuk dalam kategori “penerima manfaat”, tapi jarang dilibatkan dalam proses perumusan. Mereka dicatat, tapi tak pernah diajak bicara.
    Negara senang mengatur tubuh perempuan—dari cara berpakaian hingga urusan moral—tapi enggan melindungi tubuh yang disakiti.
    Kekerasan terhadap perempuan bukan sekadar tindakan individual. Ia adalah bentuk kegagalan negara melindungi warganya. Ia adalah cermin sistemik dari relasi kuasa yang timpang.
    Ketika seorang perempuan diperkosa di rumah, dan aparat menyuruhnya “memaafkan demi keluarga”—itu adalah kekerasan negara.
    Ketika seorang PRT dianiaya majikan, dan negara tidak memiliki payung hukum untuk membelanya—itu adalah kekerasan negara.
    Ketika seorang mahasiswi dilecehkan dosen, dan kampus bungkam karena pelaku adalah guru besar—itu adalah kekerasan negara.
    Karena negara yang membiarkan, sama saja dengan negara yang melakukan.
    UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah langkah penting. Namun, satu undang-undang tak cukup jika sistem hukum dan budaya aparatnya masih misoginis. UU TPKS adalah jendela, tapi dinding ruang keadilan masih gelap.
    Kita menyaksikan, bahkan setelah UU TPKS disahkan, proses hukum terhadap pelaku kekerasan seksual masih lambat, berbelit, dan sering menjatuhkan korban dalam reviktimisasi.
    Seolah korban harus membuktikan bukan hanya ia disakiti, tetapi bahwa ia layak untuk diselamatkan.
    Negara hadir lewat undang-undang. Perempuan butuh negara yang hadir lewat pendampingan, perlindungan, dan keberpihakan di ruang sidang.
    Di banyak tempat, negara justru hadir untuk mengatur tubuh perempuan—bukan melindunginya. Kita lihat itu dalam regulasi berpakaian, pengawasan moral terhadap konten perempuan, bahkan dalam pembatasan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi.
    Tubuh perempuan dianggap “milik bersama”. Negara merasa berhak ikut mengatur, mengawasi, bahkan menghakimi. Namun, saat tubuh itu dilukai, negara sering lambat, kaku, dan diam.
    Perempuan yang ingin aborsi karena pemerkosaan, harus menghadapi prosedur medis dan hukum yang panjang. Sementara pelaku pemerkosaan bisa bebas karena “tidak cukup alat bukti”. Negara seolah lebih khawatir pada moral publik daripada pada penderitaan warganya.
    Kita tak sedang menuntut negara menjadi feminis. Tapi kita menuntut negara belajar mendengar. Bukan dengan menyusun program dari balik meja, tetapi dengan turun, menyelami, dan mengakui bahwa luka perempuan adalah luka bangsa.
    Negara yang setara gender bukan negara yang menambah kuota perempuan, lalu merasa selesai. Namun, negara yang mengubah cara kerja: dari vertikal menjadi partisipatif, dari prosedural menjadi empatik.
    Negara yang adil gender bukan negara yang memuji perempuan sebagai ibu, tetapi memperlakukan mereka sebagai warga negara seutuhnya: dengan hak, suara, dan agensi.
    Kartini, jika hidup hari ini, mungkin tidak bangga. Karena namanya dijadikan simbol, tapi pemikirannya tidak dijalankan.
    Ia menulis tentang kesetaraan, tapi negara masih bicara soal kodrat. Ia menulis tentang pendidikan dan kebebasan, tapi negara masih mengatur pakaian dan perilaku perempuan.
    Kartini tidak meminta perempuan disayangi. Ia meminta mereka dihormati. Dan penghormatan itu tidak lahir dari bunga di pundak, tapi dari perlindungan yang nyata.
    Kesetaraan gender bukan soal pilihan politik. Ia adalah mandat konstitusi. Negara yang abai pada perempuan adalah negara yang melanggar keadilan sosial.
    Karena itu, negara tak boleh netral. Dalam dunia yang timpang, netralitas adalah keberpihakan pada yang kuat.
    Perempuan telah berjalan jauh tanpa negara. Kini saatnya negara berjalan bersama mereka. Bukan di depan, bukan di belakang—tapi di samping. Dengan telinga terbuka dan hati yang bersedia berubah.
    Karena perempuan tidak butuh pujian. Mereka butuh negara yang hadir dan berpihak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komnas Perempuan: Kasus Pelecehan Seksual di Fasilitas Kesehatan Fenomena Gunung Es – Halaman all

    Komnas Perempuan: Kasus Pelecehan Seksual di Fasilitas Kesehatan Fenomena Gunung Es – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan, kasus pelecehan seksual di fasilitas kesehatan merupakan fenomena gunung es.

    Kasus tersebut kerap terjadi dan berulang di berbagai rumah sakit.

    Sayangnya, jumlah korban yang berani melaporkan sangat dikit.

    Komisioner Komnas Perempuan Dahlia Madanih mengatakan, rasa takut dengan ancaman pelaku, rasa malu, dianggap membuka aib, hingga kekhawatiran akan kriminalisasi menjadi faktor utama yang menghambat pelaporan.

    Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024, kekerasan seksual di ranah publik menempati jumlah yang tinggi, mencapai 1830 kasus, dengan tiga di antaranya terjadi di fasilitas kesehatan. 

    “Ini fakta, mengingat fasilitas kesehatan seharusnya menjadi ruang aman bagi semua penggunanya, terlebih pelaku adalah dokter yang terikat sumpah dan etika profesi,” kata dia dalam siaran pers yang ditulis di Jakarta, Sabtu (19/4/2025).

    Komnas Perempuan menyampaikan dukungan kepada korban yang langsung berani bicara dan melaporkan peristiwa yang dialaminya ke kepolisian.

    “Ini masa-masa sulit bagi korban, apalagi mengalami kekerasan seksual di tempat yang semestinya didedikasikan untuk penyembuhan dan perawatan, sungguh di luar nalar dan kemanusiaan, dan pasti sangat berat untuk korban dan keluarganya,” ujar Dahlia.

    Menanggapi kasus ini, Komnas Perempuan merekomendasikan Menteri Kesehatan untuk segera menetapkan kebijakan ‘Zona Tanpa Toleransi’ terhadap kekerasan, termasuk kekerasan seksual, di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia.

    Peristiwa ini harus menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap jaminan ruang aman di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya sebagai ruang publik.

    Di kesempatan berbeda, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menyatakan,  fasilitas pelayanan kesehatan juga harus menjadi ruang yang aman, profesional, dan bebas dari kekerasan dalam bentuk apapun, baik bagi pasien maupun bagi seluruh tenaga yang bekerja di dalamnya.

    Komitmen terhadap pelayanan yang berintegritas tidak hanya terwujud dalam penegakan sanksi, tetapi juga melalui pencegahan. Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) mengecam segala bentuk perundungan, pelecehan seksual, dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.

  • Sinergi Perempuan Indonesia Maju dengan Kementerian PPPA untuk Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

    Sinergi Perempuan Indonesia Maju dengan Kementerian PPPA untuk Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

    Liputan6.com, Jakarta – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menerima audiensi dari organisasi Perempuan Indonesia Maju (PIM) yang dipimpin oleh Ketua Umum Lana T. Koentjoro di kediaman Menteri, kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan, Selasa (15/4/2025).

    Dalam audiensi tersebut, PIM menyampaikan komitmennya untuk terus mendukung dan berkolaborasi dengan Kementerian PPPA dalam mendorong pemberdayaan perempuan di berbagai sektor, dengan tujuan utama meningkatkan pembangunan secara inklusif dan berkelanjutan.

    Ketua Umum PIM, Lana T. Koentjoro,SH, MH. menjelaskan bahwa pertemuan ini menjadi momentum penting untuk memperkuat sinergi antara pemerintah dan organisasi masyarakat, terutama dalam isu-isu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang terjadi di berbagai daerah.

    “Kami mengapresiasi Ibu Menteri yang telah berkenan menerima jajaran pengurus PIM dari berbagai provinsi, yang datang dengan membawa beragam persoalan khas dari daerah masing-masing. Kami berharap Kementerian PPPA dapat menjadi mitra strategis yang bersinergi dengan PIM, mulai dari tingkat pusat hingga ke provinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian, program-program Kementerian PPPA dapat terimplementasi secara lebih efektif melalui jaringan PIM yang telah terbentuk di berbagai daerah. Saya berharap pertemuan ini dapat segera ditindaklanjuti melalui kerja sama konkret antara Kementerian dan para Ketua DPD PIM,” ujar Ketua Umum PIM, Lana T. Koentjoro.

    Menteri PPPA, Arifah Fauzi, menegaskan bahwa Kementerian yang ia pimpin memiliki tiga program prioritas, yakni Three Ends, Ruang Bersama Indonesia, dan Satu Data Perempuan. Program-program ini menjadi fondasi dalam mengatasi berbagai permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta mendorong kesetaraan dan perlindungan yang lebih merata.

    “Kami menyambut baik kerja sama yang dibangun bersama PIM. Masukan dari daerah sangat penting bagi kami dalam merumuskan kebijakan yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, khususnya perempuan dan anak,” ujar Menteri Arifah.

    Ia juga menyampaikan pentingnya membangun kolaborasi lintas organisasi perempuan untuk memperkuat pelaporan kasus kekerasan, memperluas akses layanan KB dan kesehatan reproduksi, serta meningkatkan pendampingan terhadap kelompok perempuan dan anak yang rentan.

    Turut hadir dalam audiensi ini jajaran pengurus DPP PIM seperti Sekretaris Umum Dr. Rahajeng Widya, Bendahara Umum Anna Naomi, Wakil Ketua Umum Bidang Humas Kaajel Dilon, dan Ketua Bidang Organisasi Puriganilawati.

    Selain itu, beberapa Ketua DPD PIM dari berbagai provinsi turut hadir, di antaranya: Prof Marniati (Aceh), Helen Ganefo (Sumatera Selatan), Baiq Diyah (NTB), Ida Sumantri (Banten), Osye Anggandari (Jawa Barat), Yusniar Asrina (Sulawesi Tenggara), Ida Noor Haris (Sulawesi Selatan), Azizah Rosak (Lampung), Baby Jean (Bekasi).

    Dengan adanya pertemuan ini, baik Kementerian PPPA maupun PIM berharap akan terjalin kerja sama yang dapat memperkuat pelaksanaan program-program strategis dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak di seluruh Indonesia.

  • Gadis Minahasa di Bawah Umur Jadi Korban Kekerasan Seksual Saudara Tiri

    Gadis Minahasa di Bawah Umur Jadi Korban Kekerasan Seksual Saudara Tiri

    Liputan6.com, Manado – – Polsek Mapanget mengamankan seorang pelaku kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur pada Minggu (6/4/2025) lalu. Pelaku berinisial KIT (21), tidak memiliki pekerjaan tetap dan beralamat di Kelurahan Buha, Kecamatan Mapanget, Kota Manado, Sulut.

    Sementara itu, korban pemerkosaan, AVS (14), merupakan warga Desa Popo, Kecamatan Tombariri, Kabupaten Minahasa, Sulut. Diketahui, antara korban dan pelaku merupakan saudara tiri.  

    Berdasarkan informasi yang diperoleh, peristiwa ini terjadi pada Sabtu (5/4/2025), pukul 22.35 Wita, di rumah korban di Kelurahan Buha.

    Kronologi kejadian bermula saat korban dan pelaku, yang pada saat itu hanya berdua di rumah, hendak beristirahat. Saat korban tertidur, pelaku mulai melakukan aksi bejatnya.

    Pelaku mengajak korban ke kamar dan memaksanya berhubungan badan. Korban sempat menolak dan mengancam akan memberitahu ibu mereka, tetapi pelaku tetap melancarkan aksinya.

    Aksi ini akhirnya terbongkar setelah korban melaporkan ke keluarganya. Aparat polisi yang menerima laporan dari keluarga kemudian bergerak cepat mengamankan pelaku.

    “Setelah diamankan, pelaku diserahkan ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Manado untuk proses hukum lebih lanjut,” ujar Kapolresta Manado Kombes Pol Julianto P Sirait melalui Kasie Humas Iptu Agus Haryono.

    Dia mengatakan, kasus ini menjadi perhatian serius pihak Kepolisian mengingat korban masih di bawah umur, dan adanya hubungan keluarga antara pelaku dan korban.

    “Kami mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan setiap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujarnya.

  • Komnas Perempuan: Korban Perkosaan Dokter Priguna Berhak Lakukan Aborsi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        12 April 2025

    Komnas Perempuan: Korban Perkosaan Dokter Priguna Berhak Lakukan Aborsi Nasional 12 April 2025

    Komnas Perempuan: Korban Perkosaan Dokter Priguna Berhak Lakukan Aborsi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (
    Komnas Perempuan
    ) menyatakan bahwa para korban perkosaan oleh Priguna Anugerah berhak menggugurkan kehamilan.
    Priguna adalah dokter anestesi dari Program Spesialis Universitas Padjajaran yang bertugas di RS Hasan Sadikin Bandung yang memerkosa keluarga pasien.
    Hal ini merujuk pada Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
    “Berhak menggugurkan kandungannya sebelum 14 minggu. Berdasarkan Pasal 75 ayat 2 UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer, dalam keterangannya, Sabtu (12/4/2025).
    Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali dalam kondisi tertentu, termasuk kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban.
    Chatarina juga menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengatur lebih lanjut mengenai aborsi akibat perkosaan.
    “Aborsi karena perkosaan hanya boleh dilakukan paling lama 40 hari sejak hari pertama haid terakhir,” jelasnya.
    Selain itu, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk menetapkan kebijakan “Zona Tanpa Toleransi” terhadap kekerasan di seluruh fasilitas layanan kesehatan di Indonesia.
    Komnas Perempuan juga mendorong RSHS untuk mengambil langkah konkret dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual dalam bentuk apapun agar kejadian serupa tidak terulang.
    Peristiwa perkosaan ini diharapkan menjadi momentum untuk evaluasi menyeluruh terhadap jaminan ruang aman di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.
    Komnas Perempuan menegaskan bahwa rumah sakit harus menjadi tempat yang bebas dari kekerasan, baik bagi tenaga kesehatan maupun pasien dan keluarganya.
    Sebagai informasi, Priguna Anugerah memperkosa keluarga pasien pada pertengahan Maret 2025 di salah satu ruangan lantai 7 gedung RSHS.
    Pada saat itu, pelaku yang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi Unpad meminta korban untuk menjalani
    crossmatch
    .
    Alasan yang digunakan pelaku adalah mencocokkan jenis golongan darah yang akan ditransfusikan kepada orang lain.
    Ketika didatangi oleh pelaku, korban sedang menjaga ayahnya yang menjalani perawatan dan membutuhkan transfusi darah.
    Pelaku memerkosa korban dalam keadaan tidak sadarkan diri. Berdasarkan pengakuan korban, ia merasakan nyeri di bagian tangan yang telah diinfus dan area kemaluan setelah siuman.
    Korban akhirnya menjalani visum dan hasilnya terdapat cairan sperma di area kemaluan.
    Pihak keluarga tidak tinggal diam mengetahui hal tersebut dan melaporkan peristiwa yang dialami korban ke Polda Jabar.
    Setelah Polda Jabar menerima laporan dari keluarga korban, polisi menangkap dan menahan pelaku pada Minggu (23/3/2025).
    Setelah kasus ini terungkap, diketahui ada dua korban lainnya yang turut melapor peristiwa yang sama.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.