Semester I 2025, Kasus Kekerasan terhadap Perempuan-Anak Tembus 13.000
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pemerintah mengatakan angka laporan
kekerasan terhadap perempuan dan anak
tembus 13.000 kasus dalam semesteri pertama tahun 2025 ini.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)
Arifah Choiri
Fauzi mengungkapkan bahwa hingga 7 Juli, total laporan yang diterima Kementerian PPPA telah mencapai lebih dari 13.000 kasus.
“Sejak Januari hingga 14 Juni 2025, jumlah laporan yang masuk tercatat sebanyak 11.800 kasus,” kata Arifah usai Rapat Tingkat Menteri (RTM) Gerakan Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
, di kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
“Kemudian hingga 7 Juli, angka itu melonjak menjadi 13.000,” lanjutnya.
Dia bilang, dengan angka tersebut artinya, dalam waktu dua minggu lebih, terdapat tambahan lebih dari 2.000 kasus.
Arifah juga menyebutkan bahwa bentuk kekerasan terbanyak adalah kekerasan seksual, dengan perempuan sebagai korban paling dominan. Ironisnya, mayoritas kasus terjadi di lingkungan rumah tangga.
“Kasus yang terbanyak adalah kekerasan seksual. Korbannya yang paling banyak adalah perempuan. Dan kemudian lokasi terjadinya yang paling banyak adalah di rumah tangga,” jelas dia.
Arifah menegaskan pentingnya kerja sama lintas kementerian dan lembaga dalam menanggulangi kekerasan ini.
“Kementerian kami tidak bisa berjalan sendiri. Kita perlu kolaborasi erat, karena akar permasalahan ini juga kompleks – mulai dari pola asuh yang keliru, penggunaan gawai tanpa pengawasan, hingga faktor lingkungan keluarga,” jelasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topik: Kekerasan Terhadap Perempuan
-
/data/photo/2024/11/17/67399de5b65c0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Semester I 2025, Kasus Kekerasan terhadap Perempuan-Anak Tembus 13.000 Nasional 10 Juli 2025
-

Wakil Ketua MPR ingatkan semua pihak cegah kekerasan anak dan perempuan
Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan semua pihak untuk terlibat secara aktif dalam upaya pencegahan tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan di tanah air.
“Dampak tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dinilai sejumlah pihak belum mampu ditekan secara signifikan, keterlibatan aktif semua pihak harus ditingkatkan untuk mencegah tindak kekerasan,” kata Rerie, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Dia lantas menuturkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2024 yang mencatat sebanyak 51 persen anak usia 13–17 tahun mengalami kekerasan.
Sementara itu, lanjut dia, Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 mencatat sekitar satu dari empat perempuan pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidupnya.
Untuk itu, Rerie memandang catatan dari survei tersebut harus menjadi dasar pengambilan langkah yang lebih serius dalam upaya mencegah tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan di Indonesia.
Dia menekankan berbagai upaya untuk mewujudkan langkah pencegahan tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan yang lebih efektif harus mampu direalisasikan.
Hal tersebut demi menghadirkan lingkungan tumbuh kembang yang mendukung peningkatan kualitas generasi penerus bangsa.
Rerie menekankan pula sosialisasi masif terkait langkah-langkah membangun kesadaran masyarakat dalam upaya pencegahan tindak kekerasan di lingkungan masing-masing perlu ditingkatkan.
Anggota Komisi X DPR RI itu pun berharap para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah maupun masyarakat dapat berperan aktif dalam merealisasikan lingkungan yang ramah anak dan perempuan demi mewujudkan generasi penerus bangsa yang berdaya saing.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Komisi VIII: Perlu aksi kolektif hadapi data kekerasan perempuan-anak
Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Atalia Praratya mengatakan perlu perhatian serius dan aksi kolektif untuk menghadapi tingginya data kekerasan perempuan dan anak tahun 2025.
Adapun data yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan dan Perlindungan Anak (PPPA) tersebut menunjukkan bahwa dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2025, tercatat sebanyak 13.845 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Angka ini adalah pengingat yang menyakitkan bahwa perjuangan kita untuk menciptakan lingkungan yang aman dan setara bagi perempuan masih jauh dari kata selesai,” ujar Atalia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Ia menyampaikan keprihatinan mendalam karena setiap angka di dalam data tersebut merepresentasikan kisah pilu, trauma, dan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak bisa diabaikan.
Di sisi lain, Atalia berpendapat bahwa terjadinya kekerasan terhadap perempuan sering kali berhubungan dengan ketidakberdayaan ekonomi, sehingga program pemberdayaan ekonomi perempuan juga menjadi kunci untuk meningkatkan kemandirian dan daya tawar mereka agar lebih terlindungi dari potensi kekerasan.
Kendati demikian, dia mengapresiasi kerja keras Kementerian PPPA dalam mendata dan merilis informasi tersebut, yang merupakan langkah krusial dalam memahami skala permasalahan, namun turut menekankan pentingnya respons yang lebih komprehensif dan terkoordinasi dari semua pihak.
Menurutnya, data yang dirilis tidak hanya menunjukkan jumlah kasus, tetapi juga mengindikasikan adanya gunung es permasalahan yang lebih besar.
“Banyaknya kasus kekerasan, sayangnya, masih belum terungkap atau dilaporkan karena berbagai faktor, mulai dari rasa takut, stigma sosial, hingga minimnya akses terhadap keadilan,” ungkapnya.
Anggota komisi yang membidangi isu agama, sosial, serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak itu turut menyoroti perlunya penguatan sistem pelaporan dan penjangkauan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Ditambahkan bahwa pemerintah dan masyarakat perlu terus berupaya memperkuat sistem pelaporan yang mudah diakses, aman, dan responsif.
Untuk itu, Atalia menekankan pentingnya untuk memastikan bahwa para korban merasa aman untuk melapor dan mendapatkan pendampingan yang mereka butuhkan.
Hal tersebut, kata dia, termasuk peningkatan kapasitas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan layanan pengaduan lainnya di seluruh wilayah.
“Kekerasan adalah hasil dari pola pikir dan konstruksi sosial yang salah. Oleh karena itu, edukasi dan pencegahan harus dimulai sejak dini di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat,” tutur Atalia.
Dengan demikian, dia berharap seluruh pihak harus bisa mengajarkan kesetaraan gender, membangun budaya saling menghormati, dan menolak segala bentuk diskriminasi serta kekerasan.
Selain itu, dikatakan bahwa berbagai program edukasi tentang persetujuan, hak-hak perempuan, dan cara-cara melaporkan kekerasan harus diintensifkan.
Ia pun berharap agar pelaku kekerasan harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Penegakan hukum yang adil dan konsisten, sambung dia, akan memberikan efek jera serta menjamin keadilan bagi para korban.
Dirinya menambahkan bahwa penting pula untuk meningkatkan pemahaman dan sensitivitas aparat penegak hukum terhadap isu kekerasan berbasis gender.
“Kita tidak bisa berjalan sendiri. Tokoh agama, tokoh adat, organisasi masyarakat, mahasiswa, dan komunitas punya peran vital dalam mengubah narasi dan mendukung korban,” ucap dia.
Untuk itu, ia mengajak seluruh pihak untuk membangun lingkungan yang suportif, di mana korban berani bersuara dan mendapatkan dukungan penuh dari sekitar.
Atalia menegaskan komitmen Fraksi Golkar di DPR untuk terus mengawal isu tersebut melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
“Kami akan terus mendorong pemerintah untuk mengalokasikan anggaran yang memadai, memperkuat regulasi yang ada, dan memastikan implementasi kebijakan yang efektif demi tercapainya Indonesia, yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan,” ujar Atalia menambahkan.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
/data/photo/2025/04/30/6811ade9efe0d.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
UPTD PPA Jateng Terima 50 Aduan Sepanjang 2025, Mayoritas Kekerasan Seksual dan KBGO Regional 24 Juni 2025
UPTD PPA Jateng Terima 50 Aduan Sepanjang 2025, Mayoritas Kekerasan Seksual dan KBGO
Tim Redaksi
SEMARANG, KOMPAS.com
– Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Tengah menerima sekitar 50
kasus kekerasan
yang masuk melalui pengaduan langsung sepanjang tahun 2025.
Angka tersebut belum termasuk tambahan kasus yang dirujuk dari 35 kabupaten/kota di wilayah tersebut.
Kepala
UPTD PPA Jateng
, Eka Suprapti, menjelaskan bahwa data kasus
kekerasan seksual
hampir mencapai separuh dari total pengaduan langsung yang diterima.
“Data kasus kekerasan seksual memang hampir separuh dari total pengaduan langsung yang masuk ke kami. Tapi jumlah keseluruhan bisa lebih banyak (dari 50) karena kami juga menangani rujukan dari luar (kabupaten/kota),” ungkapnya di kantornya pada Selasa (24/6/2025).
Eka menyoroti bahwa kasus kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender online (
KBGO
) masih mendominasi laporan yang diterima oleh UPTD PPA.
“Hampir separuh pengaduan yang masuk hingga pertengahan tahun ini berkaitan dengan KBGO. Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, tren tertinggi masih kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Ini marak sekali,” imbuhnya.
Menurut Eka, jenis kejahatan ini sering kali bermula dari kedekatan hubungan pertemanan di media sosial yang berkembang menjadi tindakan manipulatif atau grooming terhadap korban.
“Dalam banyak kasus, pelaku mengajak korban, terutama anak-anak, untuk berhubungan seksual dan merekam secara diam-diam. Di samping itu, meminta korban mengirim video tubuhnya. Berikutnya rekaman itu disalahgunakan untuk mengancam atau memaksa korban mengikuti kemauan pelaku,” jelasnya.
Eka juga menekankan bahwa penggunaan media digital tanpa pengawasan menjadi celah terjadinya kekerasan berbasis daring.
“Kami masih sangat membutuhkan kerja sama dengan kepolisian, terutama yang kaitannya dengan siber. Karena banyak platform media sosial yang disalahgunakan,” tuturnya.
Saat ini, kepolisian berencana membentuk satuan khusus yang menangani kejahatan siber, termasuk KBGO.
Eka berharap langkah tersebut dapat memperkuat upaya pelacakan dan penindakan terhadap pelaku kekerasan berbasis daring.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

DKI ingatkan peluang terjadinya kekerasan berbasis gender via daring
Jakarta (ANTARA) – Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mengingatkan masyarakat bahwa ada peluang terjadinya kekerasan berbasis gender via daring, sehingga diharapkan masyarakat waspada.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan Dinas PPAPP DKI Jakarta, Evi Lisa di Jakarta, Senin menyebutkan kekerasan berbasis gender secara daring antara lain doxing atau penyebaran informasi pribadi pada publik tanpa izin, pelecehan siber, dan penyebaran konten intim nonkonsensual.
Adapun sebabnya, karena berbagai faktor, termasuk kurangnya literasi digital, ketidaksetaraan gender, dan penyalahgunaan teknologi.
Oleh karena itu, Evi dalam talkshow bertema “Suara Digital, Aksi Nyata : Bersama Mencegah Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak” mengatakan kolaborasi strategis antara pemerintah, media massa, serta penggiat media sosial merupakan hal penting untuk mencegah dan menanggulanginya.
“Peran mereka (media massa dan penggiat medsos) sangat vital, bukan hanya dalam menyampaikan informasi, tetapi juga dalam membentuk opini publik, membangun empati, dan menumbuhkan kesadaran masyarakat agar tidak abai terhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Evi.
Dia mengatakan pemberitaan yang tidak berpihak pada korban, sensasional, atau mengandung bias gender seringkali menimbulkan reviktimisasi (trauma karena pernah jadi korban).
Oleh karenanya, Evi berharap edukasi melalui talkshow yang mengundang berbagai unsur masyarakat, termasuk media dapat membentuk opini publik yang membangun empati dan menumbuhkan kesadaran masyarakat agar tidak abai terhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dia mengingatkan kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan isu yang sangat serius, yang terus terjadi di berbagai ranah, termasuk dalam ruang digital.
“Kami ingin mendorong hadirnya ekosistem digital yang aman, adil, dan berperspektif gender, di mana perempuan dan anak bisa merasa terlindungi, baik di dunia nyata maupun di dunia digital,” ujar Evi.
Berdasarkan data SAFEnet Indonesia, pada 2024 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Indonesia naik empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 118 kasus di triwulan I 2023 menjadi 480 kasus pada triwulan I 2024.
Korban KBGO pada rentang usia 18-25 tahun menjadi kelompok terbanyak, yaitu 272 kasus atau 57 persen dan diikuti anak-anak rentang usia di bawah 18 tahun dengan 123 kasus atau 26 persen.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengingatkan, kasus yang muncul terkait dengan pelecehan dan eksploitasi seksual perempuan maupun anak secara online merupakan salah satu bentuk KBGO yang mudah terjadi dan bisa menimpa siapapun.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Syaiful Hakim
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
/data/photo/2025/06/17/6850e2d87220f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Menteri PPPA Terima 11.850 Kasus Kekerasan Sepanjang 2025, Korban Didominasi Perempuan
Menteri PPPA Terima 11.850 Kasus Kekerasan Sepanjang 2025, Korban Didominasi Perempuan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengungkapkan telah menerima laporan 11.850
kasus kekerasan
sepanjang Januari hingga 12 Juni 2025.
Korban kasus kekerasan yang masuk ke dalam data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (
Simfoni PPA
) ini mencapai sekitar 12.000 orang.
“Data Simfoni dari kementerian kami, dari Januari – 12 Juni 2025 sudah terlaporkan sebanyak 11.850 kasus kekerasan yang korbannya adalah 12.000 sekian,” kata Arifah di Gedung Heritage, Kantor Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
Arifah menuturkan, korban didominasi oleh perempuan yang mencapai sekitar 10.000 orang. Sedangkan sisanya, sekitar 2.000 korban adalah laki-laki.
“Dari jumlah kekerasan yang paling banyak adalah kekerasan seksual, lokasi terbanyak ada dalam ranah rumah tangga,” ucap dia.
Kekerasan terhadap perempuan juga terbukti dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional tahun 2024, yang menunjukkan satu dari empat perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan.
Menurut Arifah, kondisi ini perlu menjadi perhatian saat pemerintah mendorong pembangunan dan pemberdayaan keluarga tangguh.
Lebih lanjut ia menyampaikan, kekerasan juga terjadi karena penggunaan gadget untuk anak-anak yang tidak bijaksana.
Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Tahun 2024 mengungkap, satu dari dua anak Indonesia pernah mengalami kekerasan.
Hal ini dibarengi dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2024 yang menunjukkan sebanyak 39,71 persen anak dalam usia dini sudah menggunakan telepon seluler dan 35,57 persen sudah menggunakan akses internet.
“Penyebab kekerasan terjadi karena pola asuh dalam keluarga sangat mendominasi. Kedua adalah penggunaan gadget yang tidak bijaksana, dan yang ketiga adalah faktor lingkungan,” jelas Arifah.
“Jadi faktor keluarga ini mempunyai peran yang sangat penting bagaimana anak-anak kita, keluarga-keluarga kita bisa terhindar dari kekerasan baik dalam rumah tangga maupun di ranah publik,” tandasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.



/data/photo/2025/04/26/680cdab682e43.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)