Topik: Kekerasan Terhadap Perempuan

  • Semester I 2025, Kasus Kekerasan terhadap Perempuan-Anak Tembus 13.000
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 Juli 2025

    Semester I 2025, Kasus Kekerasan terhadap Perempuan-Anak Tembus 13.000 Nasional 10 Juli 2025

    Semester I 2025, Kasus Kekerasan terhadap Perempuan-Anak Tembus 13.000
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pemerintah mengatakan angka laporan
    kekerasan terhadap perempuan dan anak
    tembus 13.000 kasus dalam semesteri pertama tahun 2025 ini.
    Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)
    Arifah Choiri
    Fauzi mengungkapkan bahwa hingga 7 Juli, total laporan yang diterima Kementerian PPPA telah mencapai lebih dari 13.000 kasus.
    “Sejak Januari hingga 14 Juni 2025, jumlah laporan yang masuk tercatat sebanyak 11.800 kasus,” kata Arifah usai Rapat Tingkat Menteri (RTM) Gerakan Nasional Anti
    Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
    , di kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
    “Kemudian hingga 7 Juli, angka itu melonjak menjadi 13.000,” lanjutnya.
    Dia bilang, dengan angka tersebut artinya, dalam waktu dua minggu lebih, terdapat tambahan lebih dari 2.000 kasus.
    Arifah juga menyebutkan bahwa bentuk kekerasan terbanyak adalah kekerasan seksual, dengan perempuan sebagai korban paling dominan. Ironisnya, mayoritas kasus terjadi di lingkungan rumah tangga.
    “Kasus yang terbanyak adalah kekerasan seksual. Korbannya yang paling banyak adalah perempuan. Dan kemudian lokasi terjadinya yang paling banyak adalah di rumah tangga,” jelas dia.
    Arifah menegaskan pentingnya kerja sama lintas kementerian dan lembaga dalam menanggulangi kekerasan ini.
    “Kementerian kami tidak bisa berjalan sendiri. Kita perlu kolaborasi erat, karena akar permasalahan ini juga kompleks – mulai dari pola asuh yang keliru, penggunaan gawai tanpa pengawasan, hingga faktor lingkungan keluarga,” jelasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KemenPPPA minta DAK PPA tetap dialokasikan pada 2026-2029

    KemenPPPA minta DAK PPA tetap dialokasikan pada 2026-2029

    Menteri PPPA Arifah Fauzi (kanan) didampingi Wamen PPPA Veronica Tan saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (7/7/2025). ANTARA/Anita Permata Dewi

    KemenPPPA minta DAK PPA tetap dialokasikan pada 2026-2029
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Selasa, 08 Juli 2025 – 06:15 WIB

    Elshinta.com – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak meminta kepada Komisi VIII DPR TI agar Dana Alokasi Khusus Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (DAK PPA) tetap dialokasikan pada tahun 2026 – 2029.

    “Dana Alokasi Khusus Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (DAK PPA), baik fisik maupun nonfisik sudah tidak ada lagi. Padahal DAK PPA tersebut sangat dibutuhkan untuk membantu daerah menyediakan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO),” kata Menteri PPPA Arifah Fauzi saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (7/7).

    Arifah Fauzi menekankan pentingnya anggaran DAK PPA dalam mendukung layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

    Ia mencontohkan ada tiga kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang saat ini membutuhkan anggaran untuk penanganan.

    Pertama, kasus kekerasan yang dialami oleh seorang mahasiswi di Yogyakarta.

    “Seorang mahasiswi yang disiram air keras oleh pacarnya dan sampai saat ini kondisinya masih memprihatinkan. Ketika kami datang ke Yogyakarta 1,5 bulan lalu, dana yang terpakai sudah sebesar Rp400 juta karena korban setiap pekan harus mengganti perban dan ketika mengganti perban harus dibius total karena saking parahnya kondisinya,” kata Menteri Arifatul Choiri Fauzi.

    Kemudian kasus perempuan yang menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh oknum ojek pangkalan di Jawa Barat.

    “Sampai saat ini orang tua korban masih berutang kepada rumah sakit, sampai sekarang belum bisa dilunasi,” kata Arifah Fauzi.

    Teranyar, dalam kasus penelantaran dan kekerasan terhadap anak. Korban anak kini telah menjalani tiga kali operasi di RS Polri Said Sukanto.

    “Seorang anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya, yang sekarang ada di RS Polri. Per tanggal 3 Juni, biaya yang sudah dipakai adalah sebesar Rp157 juta. Anak ini tidak diketahui orang tuanya di mana sehingga kami harus mengambil alih apapun yang terjadi harus diselesaikan dulu, diprioritaskan dulu kesehatannya,” kata Arifah Fauzi.

    Sumber : Antara

  • Wakil Ketua MPR ingatkan semua pihak cegah kekerasan anak dan perempuan

    Wakil Ketua MPR ingatkan semua pihak cegah kekerasan anak dan perempuan

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan semua pihak untuk terlibat secara aktif dalam upaya pencegahan tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan di tanah air.

    “Dampak tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dinilai sejumlah pihak belum mampu ditekan secara signifikan, keterlibatan aktif semua pihak harus ditingkatkan untuk mencegah tindak kekerasan,” kata Rerie, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Dia lantas menuturkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2024 yang mencatat sebanyak 51 persen anak usia 13–17 tahun mengalami kekerasan.

    Sementara itu, lanjut dia, Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 mencatat sekitar satu dari empat perempuan pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidupnya.

    Untuk itu, Rerie memandang catatan dari survei tersebut harus menjadi dasar pengambilan langkah yang lebih serius dalam upaya mencegah tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan di Indonesia.

    Dia menekankan berbagai upaya untuk mewujudkan langkah pencegahan tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan yang lebih efektif harus mampu direalisasikan.

    Hal tersebut demi menghadirkan lingkungan tumbuh kembang yang mendukung peningkatan kualitas generasi penerus bangsa.

    Rerie menekankan pula sosialisasi masif terkait langkah-langkah membangun kesadaran masyarakat dalam upaya pencegahan tindak kekerasan di lingkungan masing-masing perlu ditingkatkan.

    Anggota Komisi X DPR RI itu pun berharap para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah maupun masyarakat dapat berperan aktif dalam merealisasikan lingkungan yang ramah anak dan perempuan demi mewujudkan generasi penerus bangsa yang berdaya saing.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Polda di Seluruh Indonesia Segera Miliki Direktorat Baru TPPO dan PPA

    Polda di Seluruh Indonesia Segera Miliki Direktorat Baru TPPO dan PPA

    Sidoarjo, Beritasatu.com – Pemerintah menyetujui pembentukan direktorat khusus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) serta perlindungan perempuan dan anak (PPA) di tingkat polda seluruh Indonesia, karena tingginya kasus kejahatan. 

    “Kami baru saja menyetujui pembentukan direktorat TPPO dan PPA di tingkat polda di seluruh Indonesia. Dengan tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, sudah seharusnya ada penanganan yang lebih fokus dan terstruktur,” kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Rini Widyantini.

    Hal ini disampaikan Rini saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Polresta Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (3/7/2025) sore. Sidak ini dilakukan untuk memantau layanan publik di lingkungan Polri, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan perempuan dan anak. 

    Dalam kunjungannya ke Unit PPA Satreskrim Polresta Sidoarjo dan Mal Layanan Polri, Rini menegaskan pemerintah mendukung penuh langkah Bareskrim Mabes Polri untuk membentuk direktorat khusus TPPO dan PPA di seluruh polda.

    Rini mengapresiasi terhadap pelayanan Unit PPA Polresta Sidoarjo yang dinilai responsif dan peduli terhadap korban kekerasan. Dalam kunjungannya, Rini sempat menyapa dan berdialog langsung dengan seorang anak korban kekerasan yang sedang menjalani pemeriksaan.

    Kapolresta Sidoarjo Kombes Pol Christian Tobing menyambut baik kunjungan menpan RB dan menegaskan pihaknya akan terus meningkatkan pelayanan, terutama dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

    “Ada pengecekan langsung tadi terhadap layanan unit PPA dan Mal Pelayanan Publik Polri. Ini menjadi dorongan bagi kami untuk terus berbenah dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat,” ungkapnya.

    Dengan adanya persetujuan ini, diharapkan setiap polda di Indonesia akan segera memiliki struktur khusus yang menangani TPPO dan PPA secara profesional dan berkelanjutan.

  • Komisi VIII: Perlu aksi kolektif hadapi data kekerasan perempuan-anak

    Komisi VIII: Perlu aksi kolektif hadapi data kekerasan perempuan-anak

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Atalia Praratya mengatakan perlu perhatian serius dan aksi kolektif untuk menghadapi tingginya data kekerasan perempuan dan anak tahun 2025.

    Adapun data yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan dan Perlindungan Anak (PPPA) tersebut menunjukkan bahwa dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2025, tercatat sebanyak 13.845 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

    “Angka ini adalah pengingat yang menyakitkan bahwa perjuangan kita untuk menciptakan lingkungan yang aman dan setara bagi perempuan masih jauh dari kata selesai,” ujar Atalia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

    Ia menyampaikan keprihatinan mendalam karena setiap angka di dalam data tersebut merepresentasikan kisah pilu, trauma, dan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak bisa diabaikan.

    Di sisi lain, Atalia berpendapat bahwa terjadinya kekerasan terhadap perempuan sering kali berhubungan dengan ketidakberdayaan ekonomi, sehingga program pemberdayaan ekonomi perempuan juga menjadi kunci untuk meningkatkan kemandirian dan daya tawar mereka agar lebih terlindungi dari potensi kekerasan.

    Kendati demikian, dia mengapresiasi kerja keras Kementerian PPPA dalam mendata dan merilis informasi tersebut, yang merupakan langkah krusial dalam memahami skala permasalahan, namun turut menekankan pentingnya respons yang lebih komprehensif dan terkoordinasi dari semua pihak.

    Menurutnya, data yang dirilis tidak hanya menunjukkan jumlah kasus, tetapi juga mengindikasikan adanya gunung es permasalahan yang lebih besar.

    “Banyaknya kasus kekerasan, sayangnya, masih belum terungkap atau dilaporkan karena berbagai faktor, mulai dari rasa takut, stigma sosial, hingga minimnya akses terhadap keadilan,” ungkapnya.

    Anggota komisi yang membidangi isu agama, sosial, serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak itu turut menyoroti perlunya penguatan sistem pelaporan dan penjangkauan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

    Ditambahkan bahwa pemerintah dan masyarakat perlu terus berupaya memperkuat sistem pelaporan yang mudah diakses, aman, dan responsif.

    Untuk itu, Atalia menekankan pentingnya untuk memastikan bahwa para korban merasa aman untuk melapor dan mendapatkan pendampingan yang mereka butuhkan.

    Hal tersebut, kata dia, termasuk peningkatan kapasitas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan layanan pengaduan lainnya di seluruh wilayah.

    “Kekerasan adalah hasil dari pola pikir dan konstruksi sosial yang salah. Oleh karena itu, edukasi dan pencegahan harus dimulai sejak dini di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat,” tutur Atalia.

    Dengan demikian, dia berharap seluruh pihak harus bisa mengajarkan kesetaraan gender, membangun budaya saling menghormati, dan menolak segala bentuk diskriminasi serta kekerasan.

    Selain itu, dikatakan bahwa berbagai program edukasi tentang persetujuan, hak-hak perempuan, dan cara-cara melaporkan kekerasan harus diintensifkan.

    Ia pun berharap agar pelaku kekerasan harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Penegakan hukum yang adil dan konsisten, sambung dia, akan memberikan efek jera serta menjamin keadilan bagi para korban.

    Dirinya menambahkan bahwa penting pula untuk meningkatkan pemahaman dan sensitivitas aparat penegak hukum terhadap isu kekerasan berbasis gender.

    “Kita tidak bisa berjalan sendiri. Tokoh agama, tokoh adat, organisasi masyarakat, mahasiswa, dan komunitas punya peran vital dalam mengubah narasi dan mendukung korban,” ucap dia.

    Untuk itu, ia mengajak seluruh pihak untuk membangun lingkungan yang suportif, di mana korban berani bersuara dan mendapatkan dukungan penuh dari sekitar.

    Atalia menegaskan komitmen Fraksi Golkar di DPR untuk terus mengawal isu tersebut melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

    “Kami akan terus mendorong pemerintah untuk mengalokasikan anggaran yang memadai, memperkuat regulasi yang ada, dan memastikan implementasi kebijakan yang efektif demi tercapainya Indonesia, yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan,” ujar Atalia menambahkan.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • UPTD PPA Jateng Terima 50 Aduan Sepanjang 2025, Mayoritas Kekerasan Seksual dan KBGO
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        24 Juni 2025

    UPTD PPA Jateng Terima 50 Aduan Sepanjang 2025, Mayoritas Kekerasan Seksual dan KBGO Regional 24 Juni 2025

    UPTD PPA Jateng Terima 50 Aduan Sepanjang 2025, Mayoritas Kekerasan Seksual dan KBGO
    Tim Redaksi
    SEMARANG, KOMPAS.com
    – Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Tengah menerima sekitar 50
    kasus kekerasan
    yang masuk melalui pengaduan langsung sepanjang tahun 2025.
    Angka tersebut belum termasuk tambahan kasus yang dirujuk dari 35 kabupaten/kota di wilayah tersebut.
    Kepala
    UPTD PPA Jateng
    , Eka Suprapti, menjelaskan bahwa data kasus
    kekerasan seksual
    hampir mencapai separuh dari total pengaduan langsung yang diterima.
    “Data kasus kekerasan seksual memang hampir separuh dari total pengaduan langsung yang masuk ke kami. Tapi jumlah keseluruhan bisa lebih banyak (dari 50) karena kami juga menangani rujukan dari luar (kabupaten/kota),” ungkapnya di kantornya pada Selasa (24/6/2025).
    Eka menyoroti bahwa kasus kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender online (
    KBGO
    ) masih mendominasi laporan yang diterima oleh UPTD PPA.
    “Hampir separuh pengaduan yang masuk hingga pertengahan tahun ini berkaitan dengan KBGO. Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, tren tertinggi masih kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Ini marak sekali,” imbuhnya.

    Menurut Eka, jenis kejahatan ini sering kali bermula dari kedekatan hubungan pertemanan di media sosial yang berkembang menjadi tindakan manipulatif atau grooming terhadap korban.
    “Dalam banyak kasus, pelaku mengajak korban, terutama anak-anak, untuk berhubungan seksual dan merekam secara diam-diam. Di samping itu, meminta korban mengirim video tubuhnya. Berikutnya rekaman itu disalahgunakan untuk mengancam atau memaksa korban mengikuti kemauan pelaku,” jelasnya.
    Eka juga menekankan bahwa penggunaan media digital tanpa pengawasan menjadi celah terjadinya kekerasan berbasis daring.
    “Kami masih sangat membutuhkan kerja sama dengan kepolisian, terutama yang kaitannya dengan siber. Karena banyak platform media sosial yang disalahgunakan,” tuturnya.
    Saat ini, kepolisian berencana membentuk satuan khusus yang menangani kejahatan siber, termasuk KBGO.
    Eka berharap langkah tersebut dapat memperkuat upaya pelacakan dan penindakan terhadap pelaku kekerasan berbasis daring.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DKI ingatkan peluang terjadinya kekerasan berbasis gender via daring

    DKI ingatkan peluang terjadinya kekerasan berbasis gender via daring

    Jakarta (ANTARA) – Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mengingatkan masyarakat bahwa ada peluang terjadinya kekerasan berbasis gender via daring, sehingga diharapkan masyarakat waspada.

    Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan Dinas PPAPP DKI Jakarta, Evi Lisa di Jakarta, Senin menyebutkan kekerasan berbasis gender secara daring antara lain doxing atau penyebaran informasi pribadi pada publik tanpa izin, pelecehan siber, dan penyebaran konten intim nonkonsensual.

    Adapun sebabnya, karena berbagai faktor, termasuk kurangnya literasi digital, ketidaksetaraan gender, dan penyalahgunaan teknologi.

    Oleh karena itu, Evi dalam talkshow bertema “Suara Digital, Aksi Nyata : Bersama Mencegah Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak” mengatakan kolaborasi strategis antara pemerintah, media massa, serta penggiat media sosial merupakan hal penting untuk mencegah dan menanggulanginya.

    “Peran mereka (media massa dan penggiat medsos) sangat vital, bukan hanya dalam menyampaikan informasi, tetapi juga dalam membentuk opini publik, membangun empati, dan menumbuhkan kesadaran masyarakat agar tidak abai terhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Evi.

    Dia mengatakan pemberitaan yang tidak berpihak pada korban, sensasional, atau mengandung bias gender seringkali menimbulkan reviktimisasi (trauma karena pernah jadi korban).

    Oleh karenanya, Evi berharap edukasi melalui talkshow yang mengundang berbagai unsur masyarakat, termasuk media dapat membentuk opini publik yang membangun empati dan menumbuhkan kesadaran masyarakat agar tidak abai terhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan anak.

    Dia mengingatkan kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan isu yang sangat serius, yang terus terjadi di berbagai ranah, termasuk dalam ruang digital.

    “Kami ingin mendorong hadirnya ekosistem digital yang aman, adil, dan berperspektif gender, di mana perempuan dan anak bisa merasa terlindungi, baik di dunia nyata maupun di dunia digital,” ujar Evi.

    Berdasarkan data SAFEnet Indonesia, pada 2024 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Indonesia naik empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 118 kasus di triwulan I 2023 menjadi 480 kasus pada triwulan I 2024.

    Korban KBGO pada rentang usia 18-25 tahun menjadi kelompok terbanyak, yaitu 272 kasus atau 57 persen dan diikuti anak-anak rentang usia di bawah 18 tahun dengan 123 kasus atau 26 persen.

    Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengingatkan, kasus yang muncul terkait dengan pelecehan dan eksploitasi seksual perempuan maupun anak secara online merupakan salah satu bentuk KBGO yang mudah terjadi dan bisa menimpa siapapun.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pria Bunuh 3 Mahasiswi di Sumbar, Komnas Perempuan Duga Femisida

    Pria Bunuh 3 Mahasiswi di Sumbar, Komnas Perempuan Duga Femisida

    Jakarta

    Pria bernama Satria Johanda alias Wanda (25) tega membunuh dan memutilasi wanita inisial SA (25) di Padang Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar). Pelaku juga diduga membunuh dua mahasiswi lainnya dan membuang jasad korban ke dalam sumur.

    Komnas Perempuan ikut menyoroti kasus dugaan pembunuhan itu. Komisioner Komnas Perempuan, Rr. Sri Agustini, menilai kasus ini salah satu bentuk kekerasan berbasis gender.

    “Mengenai kasus 3 mahasiswi yang diduga dibunuh oleh SJ di Padang Pariaman, apabila menilik pada ketiga korban yang secara jenis kelamin dan gender adalah perempuan, serta cara terduga pelaku melakukan pembunuhannya secara sadis, maka pembunuhan yang dilakukan pelaku terhadap korban merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan berbasis gender,” kata Sri kepada wartawan, Senin (23/6/2025).

    Sri kemudian menyinggung femisida dalam kasus ini. Menurutnya, jika pelaku dan korban memiliki relasi, maka kasus ini kemungkinan bagian dari femisida.

    “Apabila motif dari terduga pelaku sudah selesai didalami oleh penyidik, dan relasi antara terduga pelaku dengan ketiga korban terungkap, tidak menutup kemungkinan kasus ini merupakan bagian dari femisida,” tutur dia.

    Sri mengatakan bahwa Komnas Perempuan merumuskan pengertian dari femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan secara sengaja karena jenis kelamin atau gendernya, yang didorong superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan, rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa, dan sadistik. Komnas Perempuan juga memilah femisida berdasar niat pembunuhan ke dalam dua jenis.

    Sri menyebut kasus pembunuhan di Padang Parimanan ini bisa diduga sudah direncanakan pelaku. Kini, Komnas Perempuan menunggu pendalaman polisi terkait motif dari pelaku.

    “Dari Kasus terduga pelaku SJ yang melakukan pembunuhan berlanjut kepada tiga korban yang berjenis kelamin dan bergender perempuan secara sadis, patut diduga sudah direncanakan yang artinya dilakukan secara sengaja, untuk itu apabila nanti dari motifnya teridentifikasi sebagai femisida, bisa dikategorikan sebagai femisida langsung,” tutur dia.

    Ratusan Kasus Femisida Sejak 2019

    “Komnas Perempuan melakukan pemantauan terhadap berita media daring sepanjang 2019 tentang femisida mencatat jumlah yang memprihatinkan, yakni 145 kasus. Jumlah ini baru sebatas kasus femisida yang diliput oleh media massa, belum terhitung yang tidak diberitakan,” ucap dia.

    “Lima peringkat teratas untuk relasi pelaku dengan korbannya itu suami (48 kasus) yang menunjukkan bahwa sebagian besar femisida dilakukan oleh suami terhadap istri. Selanjutnya, relasi pertemanan (19 kasus), relasi pacaran (13 kasus), kerabat dekat (7 kasus), dan belum diketahui (21 kasus),” imbuhnya.

    Sri mengungkapkan bahwa dari data tersebut dapat dilihat bahwa relasi pelaku dengan korban sebagian besar masih berada dalam ranah relasi personal. Dia juga menyinggung soal pola kasus.

    “Terdapat pola yang sama, yakni sadisme berlapis terhadap perempuan dengan dianiaya, diperkosa, dibunuh dan ditelanjangi dan bahkan dimutilasi. Dari perspektif kekerasan berbasis gender, penelanjangan dan mutilasi korban yang telah menjadi mayat menunjukkan tindak pelucutan harkat dan martabat korban,” pungkasnya.

    Pelaku Ditetapkan Tersangka

    Pria berinisial SJ, tersangka pembunuhan yang memutilasi korbannya di Padang Pariaman, Sumatera Barat, masih diperiksa polisi secara intensi. Pelaku mengaku memutilasi korban dalam 10 potongan.

    Berdasarkan pengakuan sementara pelaku, korban dihabisi gara-gara persoalan hutang. Usai dihabisi, pelaku lalu memutilasi korbannya hingga menjadi 10 potongan.

    Adapun identitas korban yang dihabisi itu disebut-sebut bernama SA (25). Namun polisi belum bisa memastikan, karena masih menunggu proses autopsi dari RS Bhayangkara.

    “Sesuai pengakuan, pembunuhan dilakukan pada hari Minggu, 15 Juni 2025 pukul 3 sore. Tersangka pelaku adalah sekuriti salah satu perusahaan,” kata Kapolres Padang Pariaman, AKBP Ahmad Faisol Amir, dilansir detikSumut, Kamis (19/6).

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Menteri PPPA Terima 11.850 Kasus Kekerasan Sepanjang 2025, Korban Didominasi Perempuan

    Menteri PPPA Terima 11.850 Kasus Kekerasan Sepanjang 2025, Korban Didominasi Perempuan

    Menteri PPPA Terima 11.850 Kasus Kekerasan Sepanjang 2025, Korban Didominasi Perempuan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengungkapkan telah menerima laporan 11.850
    kasus kekerasan
    sepanjang Januari hingga 12 Juni 2025.
    Korban kasus kekerasan yang masuk ke dalam data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (
    Simfoni PPA
    ) ini mencapai sekitar 12.000 orang.
    “Data Simfoni dari kementerian kami, dari Januari – 12 Juni 2025 sudah terlaporkan sebanyak 11.850 kasus kekerasan yang korbannya adalah 12.000 sekian,” kata Arifah di Gedung Heritage, Kantor Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
    Arifah menuturkan, korban didominasi oleh perempuan yang mencapai sekitar 10.000 orang. Sedangkan sisanya, sekitar 2.000 korban adalah laki-laki.
    “Dari jumlah kekerasan yang paling banyak adalah kekerasan seksual, lokasi terbanyak ada dalam ranah rumah tangga,” ucap dia.
    Kekerasan terhadap perempuan juga terbukti dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional tahun 2024, yang menunjukkan satu dari empat perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan.
    Menurut Arifah, kondisi ini perlu menjadi perhatian saat pemerintah mendorong pembangunan dan pemberdayaan keluarga tangguh.
    Lebih lanjut ia menyampaikan, kekerasan juga terjadi karena penggunaan gadget untuk anak-anak yang tidak bijaksana.
    Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Tahun 2024 mengungkap, satu dari dua anak Indonesia pernah mengalami kekerasan.
    Hal ini dibarengi dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2024 yang menunjukkan sebanyak 39,71 persen anak dalam usia dini sudah menggunakan telepon seluler dan 35,57 persen sudah menggunakan akses internet.
    “Penyebab kekerasan terjadi karena pola asuh dalam keluarga sangat mendominasi. Kedua adalah penggunaan gadget yang tidak bijaksana, dan yang ketiga adalah faktor lingkungan,” jelas Arifah.
    “Jadi faktor keluarga ini mempunyai peran yang sangat penting bagaimana anak-anak kita, keluarga-keluarga kita bisa terhindar dari kekerasan baik dalam rumah tangga maupun di ranah publik,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98

    2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98

    2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Koalisi Masyarakat Sipil
    Melawan Impunitas mengecam keras pernyataan Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    yang dinilai menyesatkan dan merendahkan perjuangan para korban kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998.
    “Pertama, ia menyatakan bahwa tidak terdapat bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk
    perkosaan massal
    , dalam peristiwa tersebut,” kata Koalisi, dilansir siaran pers di situs web KontraS, Senin (16/6/2025).
    Kecaman tersebut disampaikan dalam pernyataan bersama yang dirilis pada 12 Juni 2025, menanggapi pernyataan Fadli dalam video wawancara bertajuk “Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah” yang tayang di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni 2025.
    Poin kedua yang disoroti Koalisi, Fadli Zon mengeklaim bahwa isu tersebut hanyalah “rumor” dan tidak pernah tercatat dalam buku sejarah.
    Pernyataan ini dinilai merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, khususnya kekerasan terhadap perempuan.
    Koalisi menilai pernyataan tersebut juga melecehkan kerja-kerja investigatif Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM yang telah mendokumentasikan secara rinci berbagai bentuk kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998, termasuk perkosaan massal terhadap perempuan, mayoritas dari etnis Tionghoa.
    Menurut laporan akhir TGPF pada 23 Oktober 1998, ditemukan setidaknya 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan disertai penganiayaan, serta puluhan korban serangan dan pelecehan seksual lain di Jakarta, Medan, Surabaya, dan sejumlah wilayah lainnya.
    TGPF juga mencatat bahwa sebagian besar kekerasan seksual yang terjadi adalah “gang rape”, dilakukan oleh beberapa pelaku secara bergantian dan kerap disaksikan orang lain.
    Koalisi menyebut bahwa pernyataan Fadli Zon mengingkari bukti-bukti tersebut dan berpotensi memperkuat budaya impunitas atas pelanggaran berat HAM masa lalu.
    Lebih dari itu, sikap tersebut juga dianggap sebagai upaya sistematis untuk menghapus narasi kekerasan seksual Mei 1998 dari sejarah resmi Indonesia.
    “Pernyataan Fadli Zon mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dengan cara meniadakan narasi tentang peristiwa kekerasan seksual Mei 1998 dan pelanggaran berat HAM lainnya dari buku-buku sejarah yang sedang direvisi,” ungkap koalisi.
    Negara pun disebut mengalami kemunduran dalam menjamin perlindungan kepada perempuan jika sepakat dengan pernyataan Fadli Zon.
    Koalisi juga mengkritik peran Fadli Zon yang saat ini memimpin proyek revisi penulisan sejarah nasional dan menjabat sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK).
    Jabatan strategis ini dinilai memberi Fadli ruang untuk mengarahkan narasi sejarah nasional, termasuk potensi rehabilitasi politik terhadap figur-figur kontroversial dari era Orde Baru.
    Salah satu kekhawatiran Koalisi adalah menguatnya kembali wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto.
    Padahal, Soeharto dinilai sebagai tokoh sentral dalam berbagai pelanggaran HAM berat dan praktik korupsi selama masa kepemimpinannya.
    “Fadli Zon secara terbuka pernah menyatakan bahwa Soeharto layak mendapat gelar pahlawan. Ini jelas bertolak belakang dengan fakta sejarah dan menyinggung rasa keadilan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu,” tutur koalisi.
    Dalam pernyataan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menyampaikan sejumlah tuntutan:
    1. Menuntut Fadli Zon mencabut pernyataannya dan meminta maaf secara terbuka kepada para korban kekerasan seksual Mei 1998.
    2. Mendesak pembatalan pengangkatan Fadli Zon sebagai Ketua GTK (Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan -red)
    3. Meminta Kementerian Kebudayaan menghentikan proyek penulisan sejarah nasional yang dinilai tidak partisipatif dan berpotensi ahistoris.
    4. Menolak segala bentuk upaya rehabilitasi politik terhadap tokoh-tokoh bermasalah dari Orde Baru, termasuk wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.
    5. Mendesak Jaksa Agung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM sesuai UU Pengadilan HAM.
    6. Menegaskan pentingnya menjaga hasil kerja TGPF, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan sebagai pijakan sejarah bangsa yang adil dan bermartabat.
    Sebelumnya, banyak pihak mengecam pernyataan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998 lalu.
    Dalam wawancara bersama IDN Times, Fadli Zon mengeklaim peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya.
    Menurutnya, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
    Fadli mengaku pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang pernah memberikan keterangan ada pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 98.
    “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu,” ujar Fadli Zon.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.