Topik: Kekerasan Terhadap Perempuan

  • Logika Keliru Selesaikan Kasus Kekerasan Seksual dengan Pernikahan

    Logika Keliru Selesaikan Kasus Kekerasan Seksual dengan Pernikahan

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menyayangkan banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan diselesaikan secara adat dengan pernikahan antara pelaku dan korban.

    Menurut Sahroni, logika atas penyelesaian secara adat tersebut keliru dan sangat berbahaya terutama terhadap korban karena yang bersangkutan sudah trauma dan kemungkinan besar menerima pernikahan di bawah tekanan.

    “Saya kira logika kearifan lokal yang seperti ini perlu dikoreksi. Ini jelas keliru dan perlu diubah. Kekerasan seksual itu jelas merupakan kejahatan dan ada pidananya, bukan suatu takdir yang seakan dimaklumi begitu saja,” ujar Sahroni kepada wartawan, Rabu (18/12/2024).

    Sahroni juga mengkritik banyak orang tua yang justru mendukung pernikahan pasca terjadi kekerasan seksual. Menurut Sahroni, tidak bisa serta dianggap cara-cara kekeluargaan atau adat bisa menentukan nasib hidup korban kekerasan seksual.

    “Apalagi dari banyak kasus, sang korban justru mendapat tekanan dari orang tua untuk menikahi pelaku. Ini kan salah. Korban kan sudah trauma, jangan justru dinikahkan dengan pelaku,” tandas politikus Nasdem ini.

    Sahroni pun meminta pihak kepolisian mengambil langkah-langkah tegas dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Terutama, kata dia, demi mencegahnya pernikahan paksaan yang kerap terjadi.

    “Maka saya selalu minta polisi terbiasa untuk jemput bola dalam setiap kasus kekerasan seksual. Polisi harus menjadi pihak yang memberikan ketegasan, bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan dan wajib dihukum pidana,” tutur dia.

    “Bayangkan si korban harus menikahi pelaku, dari awal saja sudah kriminal, apalagi ke depannya? Inilah juga menjadi salah satu alasan banyaknya terjadi KDRT dan perbuatan keji di rumah tangga,” tambah Sahroni.

    Sahroni berharap setiap korban dari kasus kekerasan seksual bisa mendapat keadilan yang sesungguhnya. “Korban kasus kekerasan seksual seharusnya mendapat keadilan, bukan paksaan. Polisi harus lindungi korban dari upaya mediasi ‘cuci otak’ yang menyebut menikahi pelaku merupakan solusi,” pungkas Sahroni.

    Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyebut banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang diselesaikan melalui cara adat atau tradisi dengan dinikahkan antara pelaku dan korban. Menurut Kapolri, perlu kajian dan penelitian khusus terkait penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan pernikahan karena pihak pihak yang protes dengan solusi tersebut.

    “Apakah karena itu kemudian diselesaikan dengan tradisi yang ada di wilayah masing-masing, karena memang kadang kala ini juga yang sering didapatkan protes, masalah-masalah tersebut kemudian diselesaikan dengan cara dinikahkan dinikahkan, tetapi pertanyaannya apakah kemudian dengan dinikahkan tersebut kemudian masalah bisa selesai?” ujar Kapolri saat membuka kegiatan Gender Mainstreaming Insight dan Launching Direktorat Tindak Pidana PPA dan PPO Bareskrim Polri di The Tribrata, Jakarta Selatan, Selasa (17/12/2024).

    Menurutnya, hal itu perlu ada penelitian mendalam, sehingga kalau memang ternyata cara-cara seperti itu ternyata tidak cocok, tentunya perlu disiapkan cara yang paling pas.

    “Sehingga di satu sisi yang namanya kekerasan terhadap perempuan terhadap anak betul-betul bisa kita tekan, di sisi lain penyelesaiannya pun juga sesuai dengan apa yang diharapkan oleh perempuan dan anak,” sambung Listyo terkait kasus kekerasan seksual diselesaikan dengan pernikahan.

  • Kapolri Listyo Sigit Sebut PPA dan PPO Wujud Kesetaraan Gender Polri

    Kapolri Listyo Sigit Sebut PPA dan PPO Wujud Kesetaraan Gender Polri

    Bisnis.com, JAKARTA — Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan pembentukan Dirtipid Perlindungan Perempuan Anak (PPA) dan Pidana Perdagangan Orang (PPO) merupakan bentuk dukungan kesetaraan gender di institusi Polri.

    Sigit mengatakan Dirtipid PPA dan PPO ini juga merupakan bagian dari komitmen Polri dalam mendukung misi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

    “Bahwa pembentukan Direktorat PPA dan PPO adalah bagian dari wujud nyata bagaimana kita terus mendorong kesetaraan gender,” ujarnya di The Tribrata, Jakarta Selatan, Selasa (17/12/2024).

    Sigit juga mengemukakan bahwa Direktorat Bareskrim teranyar ini harus bisa memberikan perlindungan terhadap perempuan, anak maupun kelompok rentan lainnya.

    Terlebih, saat ini terdapat disparitas yang jauh antara laporan Komnas Perempuan dengan kasus yang ditangani Subdit PPA dan PPO. 

    Berdasarkan data Komnas Perempuan telah mencatatkan ada 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 15.120 kasus kekerasan kepada anak. 

    Sebaliknya, Sigit mencatat kasus kekerasan yang ditangani Unit PPA dan PPO pada kepolisian hanya mencapai 105.475 kasus selama lima tahun terakhir.

    “Sementara selama kurun waktu lima tahun terakhir ini yang ditangani oleh unit subdit PPA dan PPO ada 105.475. Di mana tertinggi adalah KDRT, kemudian pencabulan, kekerasan fisik dan psikis dan pertubuhan serta pemerkosaan,” imbuhnya.

    Dengan demikian, Sigit mengharapkan agar Dirtipid PPA dan PPO itu bisa meningkatkan penanganan kasus terkait dengan anak, perempuan dan kelompok rentan lainnya.

  • Kapolri Heran Ratusan Ribu Kasus Kekerasan Perempuan Tak Ditangani Polri

    Kapolri Heran Ratusan Ribu Kasus Kekerasan Perempuan Tak Ditangani Polri

    Kapolri Heran Ratusan Ribu Kasus Kekerasan Perempuan Tak Ditangani Polri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo heran karena ada ratusan ribu kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), tetapi tidak ditangani oleh Polri.
    Sigit menyebutkan, berdasarkan data Komnas Perempuan, ada 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 15.120 kekerasan anak yang terjadi selama lima tahun terakhir, sedangkan jumlah kasus yang ditangani Polri hanya sekitar 100.000 kasus.
    “Yang ditangani oleh unit Subdit PPA/PPO ada 105.475 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, di mana tertinggi adalah
    KDRT
    , pencabulan, kekerasan fisik dan psikis, persetubuhan, dan pemerkosaan,” kata Sigit di Jakarta Selatan, Selasa (17/12/2024).
    “Yang ditangani unit kami angkanya jauh lebih kecil. Saya tidak tahu
    loss
    -nya di mana atau hilangnya di mana,” ujar Sigit melanjutkan.
    Kapolri mengakui  bahwa ada banyak pihak yang memprotes karena kasus-kasus kekerasan seksual diselesaikan melalui cara-cara tradisional, misalnya menikahkan pelaku dan korban.
    Sigit menilai, cara seperti itu tidak tepat karena belum tentu menyelesaikan masalah.
    “Ini harus diteliti lebih dalam. Cara seperti itu tidak cocok dan harus disiapkan solusi yang paling pas,” kata dia.
    Sigit menekankan, penyelesaian kasus kekerasan harus sesuai dengan harapan korban, serta mengedepankan tindakan tegas dan solusi yang tidak menambah masalah baru.
    “Salah satu solusinya adalah menambah personel
    Polwan
    yang dibekali dengan kemampuan dan kualitas,” kata Sigit.
    “Kehadiran Polwan di lapangan sangat penting, terutama saat situasi kritis. Dengan pendekatan feminisme yang dimiliki Polwan, kehadiran mereka bisa meredam potensi konflik,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Indonesia Darurat Kekerasan Seksual Perempuan dan Anak, Inikah Pemicunya?

    Indonesia Darurat Kekerasan Seksual Perempuan dan Anak, Inikah Pemicunya?

    Jakarta

    Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyebut tren kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak masih tinggi. Terlihat dalam pantauan perbandingan data periode 2016 dan 2024. Lebih dari tiga hingga empat persen perempuan dan anak di Indonesia menjadi korban kekerasan seksual.

    Hal ini menurutnya termasuk kondisi ‘darurat’. Mengingat, perempuan mengisi hampir separuh populasi Indonesia, yakni 49,42 persen, dan anak sebanyak 31,6 persen.

    “Kita menyatakan darurat kekerasan seksual untuk perempuan dan anak,” kata dia dalam Forum Merdeka Barat, Senin (16/12/2024).

    Apa Pemicunya?

    Beberapa faktor di balik tingginya kasus kekerasan seksual anak dan perempuan adalah minimnya ruang aman bagi kelompok tersebut. Terlebih, ada tren nihilnya kepedulian di masyarakat sekitar, sehingga korban seringnya sulit mendapat pertolongan.

    Kedua, berkaitan dengan pola asuh anak. Anak saat ini lebih dekat dengan gadget, tetapi dampaknya tidak selalu positif. Sejumlah contoh kekerasan seksual sering didapatkan dari kedekatan dengan gadget, tanpa pengawasan ketat orangtua.

    “Orangtua hanya tau anaknya sedang belajar di gadget,” tutur dia.

    “Anak-anak kita sekarang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, beberapa kali saya turun ke lokasi kabupaten, atau kota yang ada kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Misalnya di Banyuwangi anak umur 6 tahun mengalami kekerasan seks hingga akhirnya meninggal,” pungkasnya.

    Prevalensi kasus kekerasan terhadap perempuan di usia 15 tahun ke atas dari pasangan juga terpantau tinggi. Kekerasan fisik dialami 1,8 persen dari populasi, sementara angka kekerasan seksual relatif lebih tinggi yakni 1,9 persen.

    Pada kasus kekerasan emosional, KemenPPPA juga mencatat angka tinggi korban sebanyak 4,1 persen. Namun, dari segala aspek, dua jenis kekerasan tertinggi yang dialami perempuan dari pasangan adalah persoalan ekonomi dan pembatasan aktivitas.

    (naf/kna)

  • Perempuan dan Anak Punya Peran Vital Ciptakan Generasi Emas 2045

    Perempuan dan Anak Punya Peran Vital Ciptakan Generasi Emas 2045

    Jakarta, Beritasatu.com – Perempuan dan anak memiliki peran vital dalam mewujudkan visi besar Indonesia Emas 2045. Kesetaraan gender menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam menciptakan masyarakat yang adil, berdaya saing, dan inklusif.

    Plt Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) Molly Prabawaty mengatakan, pemerintah berkomitmen dalam menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan melalui program ruang bersama Indonesia. 

    Inisiatif tersebut merupakan langkah strategis pemerintah yang bertujuan mendorong pengarusutamaan gender, memberdayakan perempuan, dan melindungi anak.

    “Dengan memberdayakan perempuan, kita dapat menciptakan generasi emas yang berdaya saing dan mampu membawa kesejahteraan bagi keluarga dan bangsa,” ujarnya dalam dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertema “Perempuan Menyapa, Perempuan Berdaya, Menuju Indonesia Emas” di kantor Kemenkomdigi, Jakarta, Senin (16/12/2024).

    Ia menekankan bahwa peran perempuan tidak hanya terbatas sebagai pilar keluarga, tetapi juga sebagai agen perubahan di masyarakat. Karena itu, pemerintah berkomitmen memperluas akses perempuan terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan sosial. 

    Langkah ini diharapkan dapat mendorong terciptanya kesetaraan gender yang lebih baik dan berkontribusi langsung pada pembangunan bangsa.

    Molly turut mengapresiasi data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan adanya tren positif berupa penurunan ketimpangan gender nasional selama lima tahun terakhir.

    Selain itu, prevalensi kekerasan terhadap anak juga tercatat mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai kebijakan pemerintah, didukung oleh kolaborasi dengan berbagai pihak, telah mulai memberikan hasil yang signifikan.

    Namun demikian, Molly tidak menutup mata terhadap berbagai tantangan yang masih dihadapi. Ia menyoroti beberapa masalah yang kompleks, seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak, kasus bullying, pekerja anak, hingga perempuan atau anak yang menjadi pelaku kejahatan.

    “Permasalahan ini sangat kompleks dan membutuhkan penanganan holistik dari berbagai pemangku kepentingan,” jelasnya.

    Molly mengatakan, momentum peringatan Hari Ibu ke-96 pada 22 Desember 2024 mendatang menjadi kesempatan penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap peran perempuan dalam pembangunan bangsa. 

    Molly menegaskan bahwa penghormatan terhadap perjuangan perempuan harus terus dilakukan, tidak hanya sebagai simbol, tetapi juga sebagai bentuk pengakuan terhadap kontribusi nyata mereka dalam berbagai aspek kehidupan.

    Ia juga mengingatkan pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan anak-anak. Lingkungan yang sehat, menurutnya, akan menjadi fondasi dalam membangun generasi emas yang siap menghadapi tantangan global.

    “Kunci untuk menghadapi tantangan global adalah kolaborasi. Semua pihak harus bersinergi agar pembangunan bisa berjalan inklusif dan berkelanjutan,” ujar Molly.

    Dia juga mengajak berbagai elemen, termasuk media, akademisi, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil, untuk turut mendukung agenda pemberdayaan perempuan sebagai bagian dari persiapan menuju Indonesia Emas 2045.

    Puncak acara peringatan Hari Ibu akan dilaksanakan pada 22 Desember 2024. Selain menjadi momen refleksi terhadap perjuangan perempuan dari masa ke masa, acara ini juga akan menjadi ajang peluncuran awal (soft launching) program ruang bersama Indonesia. 

    Program tersebut diharapkan mampu memperkuat langkah-langkah strategis pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi perempuan dan anak.

  • Kinerja Polri dalam Penanganan Kasus Agus Buntung Diapresiasi

    Kinerja Polri dalam Penanganan Kasus Agus Buntung Diapresiasi

    loading…

    Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia Ratna Batara Munti mengapresiasi langkah cepat Polri dalam menangani kasus kekerasan seksual yang melibatkan IWAS atau dikenal Agus Buntung. Foto/Istimewa

    JAKARTA – Langkah cepat Polri dalam menangani kasus kekerasan seksual yang melibatkan IWAS atau dikenal Agus Buntung diapresiasi oleh Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia Ratna Batara Munti. Ratna mengatakan, percepatan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam proses penyidikan dan penyelidikan menunjukkan komitmen Polri untuk menangani kasus kekerasan seksual dengan serius.

    “Kami mengapresiasi kinerja Polri yang telah bekerja cepat dalam menangani kasus Agus. Proses penyelidikan yang dilakukan tidak memakan waktu lama, bahkan tersangka sudah ditetapkan dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini tentunya memberi harapan kepada para korban bahwa kasus kekerasan seksual dapat diproses secara cepat dan adil,” ujar Ratna dalam acara diskusi di auditorium Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (16/12/2024).

    Ratna juga menyatakan bahwa pihaknya berharap agar hak-hak korban, yang sudah berani melapor, dapat sepenuhnya dipenuhi sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Selain itu, Ratna menyoroti pentingnya perhatian khusus terhadap tersangka yang merupakan individu dengan disabilitas.

    Menurutnya, penanganan terhadap tersangka disabilitas harus tetap mengacu pada undang-undang terkait, agar hak-hak tersangka juga tetap dihormati, sambil memastikan proses hukum tetap berjalan.

    “Walaupun tersangka berasal dari kelompok disabilitas, kami berharap agar penanganannya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang disabilitas yang ada. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap individu, baik korban maupun tersangka, mendapat perlakuan yang sesuai dengan hak-haknya,” ujar Ratna.

    Ratna juga menyoroti pentingnya pembentukan Ddrektorat baru di Polri, yaitu Direktorat Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang diharapkan bisa mempercepat penanganan kasus-kasus serupa di masa depan. Ia mengungkapkan bahwa meskipun sudah ada upaya penanganan, di lapangan masih banyak ditemui kelambanan dalam proses hukum terhadap kasus kekerasan seksual, yang sering kali membuat korban merasa terabaikan.

    “Kami berharap dengan adanya direktorat baru ini, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat lebih cepat dan efisien. Harus ada kemajuan yang nyata dalam sistem penanganan kasus kekerasan seksual, agar korban bisa mendapatkan keadilan tanpa harus menunggu terlalu lama,” tegas Ratna.

    Ratna juga mengingatkan pentingnya perspektif baru di tubuh Polri, khususnya di Direktorat PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) dan PPO (Pelayanan dan Pengaduan Online), untuk terus fokus dalam memberikan pelayanan terbaik bagi korban kekerasan seksual di Indonesia.

    “Kami berharap Polri, khususnya Direktorat baru ini, terus membangun perspektif yang lebih sensitif terhadap masalah kekerasan seksual dan memberikan pelayanan yang optimal untuk korban di masa yang akan datang,” pungkasnya.

    (rca)

  • Jumlah Women Crisis Center Menurun Saat Kekerasan Perempuan Marak

    Jumlah Women Crisis Center Menurun Saat Kekerasan Perempuan Marak

    Jakarta, Beritasatu.com – Meskipun kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia semakin marak, jumlah Women Crisis Center (WCC) justru mengalami penurunan. Fenomena ini mendapat perhatian dari Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), yang menyatakan bahwa hal ini perlu segera dibenahi.

    “Saat ini, sudah ada lebih dari 4.500 universitas yang memiliki satuan tugas (satgas) anti kekerasan, banyak pula undang-undang yang mengatur tentang kekerasan terhadap perempuan, tetapi jumlah Women Crisis Center malah menurun. Ini kan aneh,” ungkap Sita Supomo, Direktur Eksekutif IKa, Jakarta, Sabtu (14/12/2024).

    Komnas Perempuan mencatat adanya kemajuan dalam hal legislasi terkait perlindungan perempuan, terutama setelah pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Tahun 2022. UU ini memberikan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual online. Meski demikian, mereka menilai masih banyak yang perlu diperbaiki, termasuk dengan membuat aturan turunan yang memfasilitasi korban.

    “Walaupun sudah ada UU yang melingkupi kasus kekerasaan pada perempuan, masih ada UU lain yang masih belum disahkan selama bertahun-tahun. Ditambah dengan jumlah kasus yang tetap tinggi,” ujar Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan.

    Lebih lanjut, Andy menyoroti bahwa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang telah menunggu pengesahan selama hampir dua dekade, masih belum juga disahkan.

    “Ini sangat memprihatinkan, mengingat sektor pekerja rumah tangga banyak sekali melibatkan perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan,” Andy menambahkan.

    Komnas Perempuan juga mengungkap angka yang sangat mencemaskan, yaitu setiap jam ada setidaknya 33 perempuan yang menjadi korban kekerasan di Indonesia.

    Kekerasan ini bisa terjadi di rumah, sekolah, tempat kerja, atau bahkan di ruang publik. Sayangnya, banyak korban yang tidak melapor, sehingga angka yang tercatat jauh lebih sedikit dibanding kenyataannya.

    Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, IKa membuka penggalangan dana untuk mendirikan lebih banyak Women Crisis Center (WCC) di berbagai daerah. WCC sangat dibutuhkan untuk memberikan fasilitas dan pendampingan kepada perempuan korban kekerasan dan pelecehan, serta membantu mereka mendapatkan akses terhadap layanan hukum dan kesehatan.

    Selain itu, delegasi Uni Eropa (EU) untuk Indonesia juga mendukung kampanye Komnas Perempuan dalam melawan kekerasan berbasis gender. Salah satunya adalah kampanye global “16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” yang telah dilaksanakan sejak 25 November hingga 10 Desember setiap tahunnya. Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai isu kekerasan terhadap perempuan dan kesetaraan gender.
     

  • Perempuan dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tak Boleh Terviktimisasi

    Perempuan dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tak Boleh Terviktimisasi

    Perempuan dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tak Boleh Terviktimisasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Brigjen Pol Desy Andriani, Direktur Tindak Pidana terhadap Perempuan dan Anak (PPA) serta Pidana Perdagangan Orang (PPO)
    Polri
    , menegaskan bahwa anak dan perempuan yang berhadapan dengan hukum tidak boleh menjadi korban atau terviktimisasi.
    Fenomena
    kekerasan terhadap perempuan
    dan anak yang semakin meningkat menjadi perhatian serius bagi pihak kepolisian.
    “Melihat fenomena yang ada, kita harus memperhatikan tentang penghargaan terhadap hak asasi manusia, termasuk juga dalam penggunaan literasi yang tidak membuat semakin terviktimisasi,” ujar Desy dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jumat (13/12/2024).
    Desy menekankan pentingnya saran dan masukan dalam penguatan direktorat PPA-PPO.
    Pihaknya telah menyusun petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan perempuan, anak, dan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
    “Kita angkat juga bagaimana perempuan berhadapan dengan hukum, anak berhadapan dengan hukum, dan disabilitas berhadapan dengan hukum,” jelasnya.
    Dokumen tersebut diharapkan menjadi pedoman bagi penyidik di tingkat Polda hingga Polres, sehingga penanganan kasus dapat dilakukan secara konsisten dan profesional.
    Desy juga berkomitmen untuk mencari solusi alternatif dalam penyidikan agar tidak terjadi bias.
    “Ini menjadi tugas kita bersama, melalui forum-forum tentunya nanti secara berkala, kita akan mencarikan sebuah solusi-solusi alternatif agar dalam konteks penyidikan tidak membuat bias,” ungkapnya.
    Dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi, dan organisasi non-pemerintah (NGO), Desy berharap upaya ini dapat memperkuat perlindungan terhadap perempuan dan anak dalam sistem hukum.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Perempuan dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tak Boleh Terviktimisasi

    Strategi Polri Perkuat Upaya Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

    Strategi Polri Perkuat Upaya Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Direktur Tindak Pidana terhadap Perempuan dan Anak (PPA) serta Pidana Perdagangan Orang (PPO)
    Polri
    Brigjen Pol Desy Andriani mengatakan, pihaknya terus berupaya untuk memperkuat upaya penanganan kekerasan terhadap perempuan, anak, dan kelompok rentan.
    Hal ini dilakukan dengan berkolaborasi bersama dengan kementerian lembaga dan juga dengan seluruh stakeholder, para akademisi, praktisi, dan juga para Non-Governmental Organization atau NGO.
    “Ini merupakan sebuah langkah baik untuk menjadikan ini sebuah ruang bersama bagi kita semua dalam memberikan sebuah solusi terhadap permasalahan perempuan dan anak dan kelompok rentan lainnya,” kata Desy di Bareskrim Polri, Jumat (13/12/2024).
    Desy mengatakan, pembentukan ruang bersama menjadi langkah awal untuk menciptakan solusi menyeluruh dari hulu ke hilir. Ini dinilai penting, terutama untuk menangani kelompok rentan lainnya.
    “Kita inginkan forum ini memberikan sebuah program-program yang tepat sasaran melakukan pemberdayaan terhadap perempuan dan anak, khususnya dalam aspek pencegahan dan terutama juga terhadap permasalahan yang terjadi,” ujarnya.
    Dia bilang, program yang tepat sasaran diharapkan dapat mendorong perspektif yang sama, yakni memberikan sebuah solusi sehingga dalam konteks skema kerja sama pentahelix di mana semua turut serta memberikan sebuah solusi.
    Namun demikian, saat ini Direktorat PPA/PPO sedang menghadapi tantangan berupa sinkronisasi data.
     
    Ke depannya, penerapan infrastruktur dan teknologi diharapkan dapat mendukung kerja Direktorat PPA/PPO.
    “Kita menghadapi tantangan besar dalam pengumpulan dan sinkronisasi data. Selain itu, terminologi dan klasifikasi kasus juga sering menjadi kendala, seperti pada kasus kekerasan seksual berbasis daring,” tambahnya.
    Pemerhati Kepolisian Poengky Indarti menyambut positif pembentukan direktorat ini.
    Menurutnya, keberadaan direktorat yang dipimpin oleh polisi wanita sangat penting mengingat perempuan mendominasi hampir 50 persen populasi Indonesia.
    “Penanganan kasus
    kekerasan terhadap perempuan dan anak
    memerlukan empati yang tinggi. Dengan keterlibatan Polwan, diharapkan pendekatan yang lebih sensitif dapat dilakukan,” jelas Poengky.
    Poengky juga menyoroti pentingnya sinergi antara Polri dengan universitas dan lembaga medis dalam menangani kendala teknis, seperti visum.
    “Kerja sama ini penting agar kasus kekerasan dapat ditangani dengan cepat dan efisien,” tambahnya.
    Sementara itu, Kepala Biro Labdokkes Pusdokkes Polri, Brigjen Pol dr. Sumy Hastry Purwanty, menggarisbawahi pentingnya penyediaan layanan medis dan psikologis yang terpadu bagi korban kekerasan.
    “Kami terus membimbing dokter di Polda hingga Polres untuk menangani korban kekerasan. Standar operasional sudah diperbarui,” jelas Sumy Hastry.
    “Kami juga memastikan pemeriksaan korban tidak dipungut biaya. Bahkan, lab DNA kami siap mendukung identifikasi cepat untuk menghindari pelaku kabur,” lanjut Sumy.
    Dia juga memastikan adanya dukungan psikolog dan psikiater yang terus dioptimalkan. Dengan begitu kebutuhan yang terkait dengan kesehatan para korban kekerasan bisa dilakukan dalam satu tempat.
    “Dukungan psikolog dan psikiater juga dioptimalkan. Korban tidak hanya mendapatkan layanan medis, tetapi juga konsultasi psikologis agar trauma dapat ditangani dengan baik,” tegas dia.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Fatayat NU Tegaskan Siap Dukung Program Prabowo-Gibran untuk Berdayakan Perempuan

    Fatayat NU Tegaskan Siap Dukung Program Prabowo-Gibran untuk Berdayakan Perempuan

    Fatayat NU Tegaskan Siap Dukung Program Prabowo-Gibran untuk Berdayakan Perempuan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengurus Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (
    NU
    ), sayap organisasi NU menggelar konferensi besar 2024 yang akan berlangsung pada 13-15 Desember 2024 di Jakarta.
    Ketua PP
    Fatayat NU
    Margaret Aliyatul Maimunah mengatakan, isu perlindungan dan pemberdayaan perempuan menjadi salah satu agenda utama yang akan dibahas.
    Hal tersebut sejalan dengan pesan yang dititipkan oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ketika membuka secara resmi rangkaian Konferensi Besar Fatayat NU pada Jumat (13/12/2024).
    “Kami akan melakukan penguatan untuk lembaga pendamping bagi perempuan dan anak korban kekerasan, yang kami sebut dengan LKP3A,” ujar Margaret kepada wartawan, Jumat (13/12/2024).
    Di samping itu, kata Margaret, Konferensi Besar Fatayat NU juga akan membahas isu strategis untuk penguatan dan keberlanjutan organisasi.
    Dengan begitu, Margaret berharap Fatayat NU bisa menghadirkan program-program yang bermanfaat untuk kepentingan bangsa dan negara.
    “Kami berharap dari organisasi yang digdaya ini, Fatahat NU bisa melahirkan perempuan-perempuan berdaya, yang nantinya akan berkarya, memberikan kebermanfaatan bagi Indonesia,” kata Margaret.
    Ia menegaskan bahwa Fatayat Nahdlatul akan mendukung penuh program-program pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, khususnya yang berkaitan dengan pemberdayaan serta perlindungan perempuan dan anak.
    “Kami
    fatayat NU
    menyatakan siap mendukung dan men
    -support
    apa yang menjadi program pemerintah di bawah Presiden Bapak Prabowo, dan juga Wakil Presiden Mas Gibran,” ungkap Margaret.
    “Apa pun itu kami pasti akan mendukung program-program, terutama yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Karena itu adalah koor organisasi Fatayat NU,” katanya. 
    Gibran Rakabuming Raka secara resmi membuka Konferensi Besar Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) 2024, Jumat (13/12/2024) di Hotel Aryaduta, Menteng, Jakarta Pusat.
    Dalam pidatonya, Gibran berpesan agar konferensi yang digelar Fatayat NU bisa membahas berbagai hal-hal strategis, salah satunya mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan.
    “Saya titip mohon Fatayat NU bisa jadi shelter yang nyaman untuk melindungi perempuan dari kekerasan fisik, mental, dan seksual yang kadang lambat ditangani karena tidak ada laporan,” ungkap Gibran.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.