Topik: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

  • Kesal Diganggu saat Main Game dan Disuruh Kerja, Suami Tega Bakar Istri di Sorong – Halaman all

    Kesal Diganggu saat Main Game dan Disuruh Kerja, Suami Tega Bakar Istri di Sorong – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, Sorong – Seorang suami berinisial YM (31) ditangkap setelah diduga melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan membakar istrinya, HS (29), akibat kesal diganggu saat bermain game.

    Peristiwa tragis ini terjadi di Sorong pada 8 Januari 2025, sekitar pukul 09.30 WIT.

    Kanit PPA Satreskrim Polresta Sorong Kota, Ipda Nelfince Rumbino, menjelaskan bahwa insiden tersebut bermula ketika korban meminta suaminya untuk berangkat bekerja sebagai pengemudi ojek online.

    Namun, YM yang tengah asyik bermain game di handphone tidak terima dengan permintaan tersebut.

    “Pelaku kemudian mengambil minyak tanah dan korek api, lalu membakar istrinya,” ungkap Nelfince dalam keterangannya kepada TribunSorong.com pada Jumat, 31 Januari 2025.

    Penanganan Kasus

    Setelah kejadian, laporan langsung masuk ke Polresta Sorong Kota.

    Saat ini, pihak kepolisian masih melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kasus ini.

    Empat barang bukti telah diamankan, termasuk pelaku, dan tiga saksi juga telah dimintai keterangan.

    “Korbannya mengalami luka bakar sekitar 40 persen dan belum bisa dimintai keterangan,” tambah Nelfince.

    Keluarga HS menyatakan bahwa mereka menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus ini kepada pihak kepolisian.

    Mereka berharap pelaku dapat diproses dan dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku.

    (Tribunsorong.com/Safwan)

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Akhir Nasib Briptu Dila Polwan Bakar Suami, Pasrah Divonis 4 Tahun Penjara, Keluarga Korban Kecewa

    Akhir Nasib Briptu Dila Polwan Bakar Suami, Pasrah Divonis 4 Tahun Penjara, Keluarga Korban Kecewa

    TRIBUNJATIM.COM – Akhir nasib Briptu Fadhilatun Nikmah atau Briptu Dila, Polwan yang terbukti bersalah bakar suaminya yang juga seorang polisi.

    Kini Briptu Dila mengaku hanya bisa pasrah setelah divonis hukuman 4 tahun penjara.

    Ia juga memasrahkan semuanya kepada kuasa hukumnya.

    Dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Mojokerto, Kamis (23/1/2025), hakim menjatuhkan vonis 4 tahun penjara ke Briptu Dila.

    Majelis hakim menyatakan Briptu Dila terbukti bersalah karena perbuatannya mengakibatkan korban sekaligus suaminya, Briptu Rian Dwi Wicaksono meninggal dunia.

    Terdakwa Briptu Dila, mengaku, dirinya pasrah menyerahkan sepenuhnya kepada kuasa hukumnya, apakah menerima atau tidak terhadap putusan majelis hakim. 

    “Yang mulia, saya menyerahkan semuanya kepada ibu (Kuasa hukum),” ujar Briptu Dila melalui daring.

    Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim, Ida Ayu Sri Adriyanthi Astuti Widja, mengatakan, terdakwa Briptu Dila terbukti bersalah melakukan kekerasan fisik KDRT yang menyebabkan korban meninggal, sebagaimana disebutkan dalam dakwaan tunggal.

    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa, dengan pidana penjara selama empat tahun,” ucap Majelis Hakim dalam sidang daring di Pengadilan Negeri Mojokerto, Kamis (23/1/2025).

    Briptu Dila dijatuhi hukuman pidana penjara selama empat tahun, dikurangi sejak awal penangkapan sampai terdakwa menjalani masa penahanan.

    “Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani terdakwa, dikenakan seluruh dari pidana yang dijatuhkan,” ungkap hakim Ida Ayu.

    Majelis hakim, Ida Ayu menyebut, dalam putusan inkrah ini terdakwa tetap dilakukan penahanan dan barang bukti kasus KDRT sebagaimana disebutkan dalam dakwaan agar dimusnahkan.

    “Terdakwa tetap ditahan, terdakwa dibebankan biaya perkara sebesar lima ribu rupiah. Demikian putusan dari majelis hakim,” pungkasnya.

    Hakim memberikan tenggang waktu terhadap terdakwa dan kuasa hukumnya menanggapi putusan tersebut.

    “Terdakwa memiliki hak atas menerima putusan, atau mengajukan upaya hukum. Bisa menerima atau pikir-pikir karena masih ada waktu sampai tujuh hari,” kata Ida Ayu.

    Briptu Dila menerima putusan

    Penasehat hukum terdakwa, AKBP Dewa Ayu dan IPTU Tatik dari Bidang Hukum Polda Jatim, mengungkapkan, pihaknya menerima putusan hakim yang menjatuhkan pidana penjara 4 tahun terhadap terdakwa Briptu Dila.

    Dirinya menerima dan tidak melakukan upaya hukum atas pertimbangan dari pimpinan bidang hukum Polda Jatim.

    “Izin yang mulia, setelah kami koordinasi dengan pimpinan di Polda jatim. Kami sepakat untuk menerima (Putusan),” pungkasnya.

    Jaksa Penuntut Umum (JPU) Angga Rizky Bagaskoro dan Ismiranda Dwi Putri, menanggapi hal yang sama atas putusan majelis hakim terkait vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa Briptu Dila.

    “Kami dari jaksa penuntut umum, menerima (Putusan) yang mulia,” tandasnya. 

    Vonis terdakwa Briptu Fadhilatun Nikmah alias FN, tetap sama dengan tuntutan dalam sidang yaitu selama empat tahun atas perbuatannya melakukan KDRT yang menyebabkan korban meninggal dunia.

    Keluarga korban kecewa

    Sebelumnya, keluarga Briptu Rian Dwi Wicaksono mengaku kecewa saat jaksa mangajukan tuntutan 4 tahun penjara terhadap terdakwa Briptu Dila.

    Tindakan tragis yang mengakibatkan kematian Briptu Rian dinilai tidak sebanding dengan hukuman yang diusulkan oleh JPU.

    Kuasa hukum keluarga korban, Haris Eko Cahyono, mengungkapkan bahwa mereka tidak menduga dan sangat terkejut dengan besaran tuntutan tersebut.

    Mereka menyayangkan tuntutan JPU yang hanya empat tahun, lebih rendah dari dakwaan terhadap terdakwa.

    “Pihak keluarga tidak menduga dan sedikit kaget dengan besaran tuntutan 4 tahun yang dikeluarkan oleh JPU,” tegas Eko.

    Keluarga Briptu Rian berkomitmen untuk terus mengawal jalannya persidangan hingga putusan akhir.

    Haris memastikan bahwa mereka akan memantau setiap perkembangan kasus ini.

    “Kami berharap hakim bisa obyektif dalam memutus perkara ini, sehingga memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban,” pungkasnya.

     Melansir Surya.co.id, terdakwa melanggar Pasal 44 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

    Sebelumnya Briptu Dila menjalani sidang perdana yang diadakan secara daring di Pengadilan Negeri Mojokerto pada 22 Oktober 2024.

    Haris menegaskan bahwa ancaman hukuman untuk pasal yang didakwakan adalah maksimal 15 tahun penjara.

    “Kami berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan perbuatan yang sudah dilakukan terdakwa dan memberikan keputusan yang adil,” kata Haris.

    Meski demikian, dalam sidang tuntutan, jaksa mengajukan hukuman 4 tahun penjara untuk Briptu Dila.

    Keterangan terdakwa selama sidang

    Terdakwa Briptu Fadhilatun Nikmah (28) alias FN menangis tersedu saat dihadirkan langsung dalam sidang lanjutan kasus pidana Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus Polwan bakar suami di Mojokerto yang menyebabkan Briptu Rian Dwi Wicaksono meninggal dunia. 

    Briptu Dila terlihat mengenakan baju tahanan, ia didampingi kuasa hukum dan dikawal polisi wanita dari Polda Jatim menuju ruang sidang di Pengadilan Negeri Mojokerto, Selasa (19/11/2024). 

    Sidang dipimpin langsung oleh Ketua Majelis Hakim Ida Ayu Sri Adriyanthi Astuti Widja, bersama dua hakim anggota Jenny Tulak serta Janiati Longli serta Jaksa Penuntut Umum, Angga Rizky Bagaskoro dan Ismiranda Dwi Putri.

    “Sidang dibuka untuk umum, dengan agenda keterangan dari terdakwa (Briptu FN),” kata Ketua Majelis Hakim, Ida Ayu Sri Adriyanthi Astuti Widja. 

    Terdakwa Briptu Dila tak kuasa menahan tangis, saat mengungkapkan kronologi peristiwa tragis yang terjadi di rumah dinas Asrama Polisi (Aspol) Kota Mojokerto, yang menewaskan korban sekaligus suaminya Briptu Rian Dwi Wicaksono.

    Terdakwa bersama saksi sempat menolong korban yang merintih kesakitan akibat luka bakar.

    Saking paniknya, terdakwa berniat mengambilkan minum untuk korban, namun malah menuangkan cairan pembersih lantai dari botol air mineral tanpa label.

    “Saya tidak tahu yang mulia, saya ambilnya di garasi, karena belakangnya dekat dengan cucian. Biasanya ada botol air putih untuk sikat gigi anak,” ujar Briptu Dila.

    Dikatakan terdakwa, ia dan korban sempat membuat surat perjanjian jika mengulangi bermain judol akan bercerai, pada 2022 lalu.

    “Kami buat (surat) perjanjian tahun 2022, kalau masih main judi online akan pisah dan ketahuan saat kejadian itu,” ungkap Briptu Dila.

    Kuasa hukum keluarga korban, Haris Eko Cahyono mengatakan, bahwa selama menikah, gaji korban dibawa terdakwa.

    “Ini murni karena masalah ekonomi dan judi online. Korban tidak pernah main perempuan dan ini dibenarkan oleh terdakwa di muka sidang,” jelasnya.

    Ketua Majelis Hakim, Ida Ayu Sri Adriyanthi Astuti Widja mengakhiri sidang dan akan dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda tuntutan, yang dilakukan secara daring.

  • Fenomena Kumpul Kebo Makin Ramai di RI, Kota Terbanyak Bukan Jakarta

    Fenomena Kumpul Kebo Makin Ramai di RI, Kota Terbanyak Bukan Jakarta

    Jakarta, CNBC Indonesia – Belakangan muncul fenomena pasangan muda-mudi tanpa ikatan pernikahan yang tinggal bersama di Indonesia. Hal ini dikenal sebagai istilah ‘Kumpul Kebo’.

    Terbaru, fenomena kumpul kebo juga terjadi di jejeran Aparatur Sipil Negara (ASN). Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Zudan Arif memecat 8 ASN yang dinilai melanggar. 

    Adapunpelanggarannya beragam, mulai dari tidak masuk kerja, penyalahgunaan narkoba, hingga kumpul kebo.

    Sebelumnya, The Conversation melaporkan fenomena kumpul kebo disebabkan adanya pergeseran pandangan terkait relasi dan pernikahan. Saat ini, tidak sedikit anak muda yang memandang pernikahan adalah hal normatif dengan aturan yang rumit.

    Sebagai gantinya, mereka memandang ‘kumpul kebo’ sebagai hubungan yang lebih murni dan bentuk nyata dari cinta. Di wilayah Asia yang menjunjung tinggi budaya, tradisi, serta agama, ‘kumpul kebo’ masih menjadi hal tabu. Kalaupun terjadi, ‘kumpul kebo’ biasanya hanya berlangsung dalam waktu yang singkat dan dinilai sebagai langkah awal menuju pernikahan.

    Di Indonesia, studi pada 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation mengungkapkan bahwa ‘kumpul kebo’ lebih banyak terjadi di wilayah bagian Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Menurut peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, setidaknya ada tiga alasan mengapa pasangan di Manado yang merupakan lokasi penelitiannya memilih untuk ‘kumpul kebo’ bersama pasangan.

    Alasan itu antara lain terkait beban finansial, prosedur perceraian yang terlalu rumit, hingga penerimaan sosial.

    “Hasil analisis saya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi,” ungkap Yulinda beberapa saat lalu.

    “Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9% di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia kurang dari 30 tahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja secara informal,” lanjutnya.

    Akibat Kumpul Kebo

    Yulinda menyebut, pihak yang paling berdampak secara negatif akibat ‘kumpul kebo’ adalah perempuan dan anak. Dalam konteks ekonomi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu, seperti yang diatur dalam hukum terkait perceraian. Dalam kohabitasi, ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberi dukungan finansial berupa nafkah.

    “Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya,” terang Yulinda.

    Sementara itu dari segi kesehatan, ‘kumpul kebo’ dapat menurunkan kepuasan hidup dan masalah kesehatan mental. Sejumlah penyebab dampak negatif akibat kohabitasi adalah minimnya komitmen dan kepercayaan dengan pasangan dan ketidakpastian tentang masa depan.

    Menurut data PK21, sebanyak 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62% mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26% lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

    Lalu, anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga cenderung mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, dan emosional.

    “Anak dapat mengalami kebingungan identitas dan memiliki perasaan tidak diakui karena adanya stigma dan diskriminasi terhadap status ‘anak haram’, bahkan dari anggota keluarga sendiri,” kata Yulinda.

    “Hal ini menyulitkan mereka untuk menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan,” ia menjelaskan.

    (fab/fab)

  • Cilacap Catat 6.738 Kasus Perceraian pada 2024, Ini Faktor Penyebabnya

    Cilacap Catat 6.738 Kasus Perceraian pada 2024, Ini Faktor Penyebabnya

    Liputan6.com, Cilacap – Kasus perceraian di Kabupaten Cilacap didominasi oleh cerai gugat dengan angka mencapai 5.000 kasus sepanjang 2024. Data Pengadilan Agama Kelas 1 A Cilacap menunjukkan tren peningkatan kasus perceraian dibandingkan tahun sebelumnya yakni 5.922 kasus.

    Berdasarkan catatan Pengadilan Agama Kelas 1 A Cilacap, dari total 6.738 kasus perceraian, lebih dari 1.600 kasus merupakan cerai talak. Rata-rata sebanyak 30 janda baru tercatat setiap hari di wilayah Kabupaten Cilacap.

    Mengutip dari berbagai sumber, Kecamatan Majenang tercatat sebagai wilayah dengan angka perceraian tertinggi di Kabupaten Cilacap. Fenomena ini tidak terlepas dari berbagai faktor pemicu yang melatarbelakangi keputusan pasangan untuk bercerai.

    Permasalahan ekonomi menjadi salah satu faktor dominan penyebab perceraian di Cilacap. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan rumah tangga dan tekanan finansial berkontribusi pada keretakan hubungan suami istri.

    Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) turut menyumbang angka perceraian yang tinggi. Tindak kekerasan baik fisik maupun psikis yang dialami pasangan mendorong terjadinya pengajuan gugatan cerai, terutama dari pihak istri.

    Hadirnya pihak ketiga dalam rumah tangga juga menjadi pemicu perceraian di Cilacap. Perselingkuhan yang terjadi merusak kepercayaan dan komitmen yang telah dibangun dalam ikatan pernikahan.

    Fenomena judi online (judol) juga turut berperan dalam tingginya angka perceraian. Kecanduan judi online tidak hanya berdampak pada kondisi ekonomi keluarga tetapi juga mengganggu keharmonisan rumah tangga.

    Memasuki tahun 2025, tren perceraian di Cilacap masih menunjukkan angka yang tinggi. Hingga awal tahun telah tercatat 496 kasus perceraian dengan rincian 455 gugatan dan 41 permohonan cerai talak.

    Penulis: Ade Yofi Faidzun

  • Ramai Warga RI Kumpul Kebo, Ini Wilayah Paling Banyak

    Ramai Warga RI Kumpul Kebo, Ini Wilayah Paling Banyak

    Jakarta, CNBC Indonesia – Hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau kerap diistilahkan ‘kumpul kebo’ menjadi fenomena yang menjamur di Indonesia. Banyak pasangan muda-mudi yang melakukan hal tersebut.

    The Conversation menyebut, hal ini disebabkan adanya pergeseran pandangan terkait relasi dan pernikahan. Saat ini, tidak sedikit anak muda yang memandang pernikahan adalah hal normatif dengan aturan yang rumit.

    Sebagai gantinya, mereka memandang ‘kumpul kebo’ sebagai hubungan yang lebih murni dan bentuk nyata dari cinta. Di wilayah Asia yang menjunjung tinggi budaya, tradisi, serta agama, ‘kumpul kebo’ masih menjadi hal tabu. Kalaupun terjadi, ‘kumpul kebo’ biasanya hanya berlangsung dalam waktu yang singkat dan dinilai sebagai langkah awal menuju pernikahan.

    Di Indonesia, studi pada 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation mengungkapkan bahwa ‘kumpul kebo’ lebih banyak terjadi di wilayah bagian Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Menurut peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, setidaknya ada tiga alasan mengapa pasangan di Manado yang merupakan lokasi penelitiannya memilih untuk ‘kumpul kebo’ bersama pasangan.

    Alasan itu antara lain terkait beban finansial, prosedur perceraian yang terlalu rumit, hingga penerimaan sosial.

    “Hasil analisis saya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi,” ungkap Yulinda beberapa saat lalu.

    “Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9% di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia kurang dari 30 tahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja secara informal,” lanjutnya.

    Akibat Kumpul Kebo

    Yulinda menyebut, pihak yang paling berdampak secara negatif akibat ‘kumpul kebo’ adalah perempuan dan anak. Dalam konteks ekonomi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu, seperti yang diatur dalam hukum terkait perceraian. Dalam kohabitasi, ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberi dukungan finansial berupa nafkah.

    “Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya,” terang Yulinda.

    Sementara itu dari segi kesehatan, ‘kumpul kebo’ dapat menurunkan kepuasan hidup dan masalah kesehatan mental. Sejumlah penyebab dampak negatif akibat kohabitasi adalah minimnya komitmen dan kepercayaan dengan pasangan dan ketidakpastian tentang masa depan.

    Menurut data PK21, sebanyak 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62% mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26% lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

    Lalu, anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga cenderung mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, dan emosional.

    “Anak dapat mengalami kebingungan identitas dan memiliki perasaan tidak diakui karena adanya stigma dan diskriminasi terhadap status ‘anak haram’, bahkan dari anggota keluarga sendiri,” kata Yulinda.

    “Hal ini menyulitkan mereka untuk menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan,” ia menjelaskan.

    (fab/fab)

  • Istri Meninggal di Palembang Diduga karena Disekap Suami, Badan Kurus Tinggal Tulang Berbalut Kulit – Halaman all

    Istri Meninggal di Palembang Diduga karena Disekap Suami, Badan Kurus Tinggal Tulang Berbalut Kulit – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Keluarga SPS, seorang wanita berusia 25 tahun yang meninggal dunia di Palembang, Sumatra Selatan mengungkapkan duka mendalam dan menuding suaminya, WS (26), sebagai penyebab kematian yang diduga akibat penelantaran dan penyekapan.

    Keluarga telah melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian, berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), khususnya Pasal 49.

    Menurut keterangan keluarga, SPS telah disekap dalam kamar selama lebih dari tiga bulan.

    Ayah SPS, Sutrano (56), mengungkapkan terakhir kali ia bertemu dengan putrinya pada bulan Oktober 2024, dan saat itu SPS dalam kondisi sehat.

    Saat datang rumah, lanjut Sutrano, anaknya saat itu tidak banyak bercerita, ini dikarenakan oleh ada terlapor dan sore pulang ke rumah.

    “Posisi SPS tidak banyak cerita pak. Baik ke saya maupun kepada saudara saudaranya. Sore pulang pulang ke rumah,” katanya saat ditemui di kediamannya di  Jalan Mataram Ujung RT 37/01 Kelurahan Kemas Rindo Kecamatan Kertapati, Palembang, Senin (27/1/2025).  

    Setelah menerima kabar SPS terbaring lemah pada 21 Januari 2025, Sutrano dan keluarganya segera menuju rumah SPS.

    “Saat itu lah kami melihat langsung keadaan Sindi, miris pak keadaannya, hal ini membuat kami menaruh rasa curiga,” tambahnya.

    Mirisnya lagi, melihat kondisi sang anak seperti ‘bangkai hidup’, dengan rambut gimbal banyak kutu, badan kurus tinggal tulang berbalut kulit.

    “Dilihat dari sini seperti tidak diurus saat anak saya sedang sakit, ditelantarkan. Kita juga pasti bertanya sakit anak saya oleh apa,” ungkapnya. 

    SPS segera dibawa ke RS Hermina, namun nyawanya tidak bisa diselamatkan dan dinyatakan meninggal dunia pada 23 Januari 2025.

    Purwanto (32), kakak SPS, menyatakan mereka melaporkan kejadian ini ke Polrestabes Palembang setelah dokter di rumah sakit menyarankan untuk melaporkan kasus tersebut.

    “Kalau kami pihak keluarga berharap terlapor ini diadili pak. Karena sudah melakukan penelantaran hingga korban meninggal dunia. Apalagi sudah di sekap di kamar,” tegas Purwanto.

    Kapolsek Kertapati, Iptu Angga Kurniawan, mengonfirmasi pihaknya telah menerima laporan dan melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). 

    “Pelaku sudah kami amankan dan diserahkan ke Polrestabes Palembang. Saat ini, kasus ini ditangani oleh Satreskrim,” ujarnya.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Suami yang Diduga 3 Bulan Sekap dan Telantarkan Istri di Sumsel Dibebaskan, Ini Tanggapan Keluarga – Halaman all

    Suami yang Diduga 3 Bulan Sekap dan Telantarkan Istri di Sumsel Dibebaskan, Ini Tanggapan Keluarga – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG – Polisi membebaskan WS (25), suami yang diduga menyekap istrinya, SPS (24), hingga ditemukan kurus kering dan meninggal dunia.

    Purwanto (32), kakak kandung korban, mengatakan bahwa WS sempat ditangkap setelah dirinya membuat laporan pada Rabu (27/1/2025).

    Namun, pelaku yang diperiksa selama 1×24 jam dibebaskan karena dianggap tidak cukup bukti. 

    Kasus tersebut terjadi di Palembang, Sumatra Selatan (Sumsel).

    “Katanya saat itu tidak cukup alat bukti, sehingga WS ini dibebaskan. Kami berharap polisi segera melakukan penangkapan terhadap WS ini, karena dialah penyebab adik saya meninggal karena disekap,” ujar Purwanto, Senin (27/1/2025).

    Menurut Purwanto, kondisi rumah tangga SPS memang tidak harmonis selama satu tahun terakhir.

    Korban sempat mengeluhkan bahwa WS berubah sikap dan enggan menafkahinya.

    Saat ditemukan di rumah kontrakan mereka di Jalan Abi Kusno, Kecamatan Kertapati, Palembang, kondisi SPS sangat mengenaskan. Tubuhnya kurus kering, mengeluarkan bau tidak sedap, dan penuh kutu.

    “Sebelum adik saya meninggal, dia bilang bahwa dia (suaminya) sudah jahat. Omongan itu kami rekam untuk jadi bukti melapor ke polisi,” tambah Purwanto.

    Tindak lanjut kasus 

    Kapolrestabes Palembang, Kombes Pol Harryo Sugihhartono, memastikan kasus ini masih dalam tahap penyidikan.

    Pihaknya tengah mengejar WS yang diduga sebagai pelaku penyekapan.

    “Kasus sedang penyidikan dan sedang dalam penangkapan suaminya,” kata Harryo saat dikonfirmasi.

    Terkait pembebasan WS yang sebelumnya sempat ditangkap, Harryo mengaku akan mengecek kembali alasan tersebut ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).

    “Nanti saya cek ke unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA),” jelasnya.

    Sebelumnya, Kapolsek Kertapati, Iptu Angga Kurniawan, mengatakan WS telah diamankan dan olah tempat kejadian perkara (TKP) sudah dilakukan.

    Kasus ini kini dilimpahkan ke Satreskrim Polrestabes Palembang untuk penanganan lebih lanjut. 

    “Untuk pelaku sudah kita amankan dan saat ini telah diserahkan ke Polrestabes Palembang. Kasus ini sudah ditangani Satreskrim Polrestabes Palembang,” ungkap Angga.

    Kecurigaan keluarga

    Keluarga sebelumnya melaporkan suami korban ke polisi terkait Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

    Menurut keluarga, SPS disekap di dalam kamar lebih kurang 3 bulan. Korban sebenarnya sempat dibawa ke rumah sakit. Namun, nyawa korban tidak tertolong.

    Sutrano (56) ayah SPS mengatakan curiga atas kematian putrinya.

    “Hingga hari ini saya selaku orangtua korban, masih teringat dengan anak saya itu pak, ada yang janggal atas kematian anak saya,” ungkap Sutrano didampingi anaknya Purwanto (32) saat ditemui di kediamannya, Palembang, Senin (27/1/2025). 

    Sutrano mengatakan, terakhir kali dirinya bertemu dengan korban pada bulan Oktober 2024.

    “Saat itu keadaan SPS masih normal (kondisinya sehat-red), dan saat datang ke rumah Sindi memakai cadar,” ungkapnya.

    Saat datang rumah, lanjut Sutrano, anaknya saat itu tidak banyak bercerita disebabkan suaminya sore pulang ke rumah.

    “Posisi SPS tidak banyak cerita. Baik ke saya maupun kepada saudara saudaranya. Sore pulang pulang ke rumah,” katanya. 

    Setelah itu, sambung Sutrano, mereka pun (keluarga-red), hingga kontak dan tidak pernah lagi berhubungan dengan anak ketiga itu. 

    “Kami dapat kabar SPS ini terbaring lemah pada Selasa (21/1/2025), sekitar pukul 18.00, ditelepon terlapor, saat itu lah saya tahu, dan langsung ke rumah,” katanya.

    Lebih jauh Sutrano mengatakan, setelah mendapatkan kabar tersebut, dirinya dan anak laki-laki langsung menuju rumah Sindi.

    “Saat itu lah kami melihat langsung keadaan Sindi, miris pak keadaannya, hal ini membuat kami menaruh rasa curiga,” katanya kembali.

    Sutrano curiga karena tetangga yang membopong korban ke dalam mobil hendak ke RS Hermina.

    “Bukan suaminya terlapor yang mengangkat Sindi (membopong-red), ke dalam mobil tetapi tetangganya saat itu, ” katanya.

    Mirisnya lagi, melihat kondisi sang anak seperti buntang hidup berbau busuk, dengan rambut gimbal banyak kutu, badan kurus tinggal tulang berbalut kulit.

    “Dilihat dari sini seperti tidak diurus saat anak saya sedang sakit, ditelantarkan. Kita juga pasti bertanya sakit anak saya oleh apa,” ungkapnya. 

    Ketika di rumah sakit, dokter menganjurkan keluarga membuat laporan polisi. (Kompas.com/Tribun Sumsel).

  • Diduga Disekap dan Ditelantarkan Suami

    Diduga Disekap dan Ditelantarkan Suami

    GELORA.CO –  Seorang ibu rumah tangga (IRT) Sindi Purnama Sari atau SPS (25) meninggal dunia diduga akibat disekap dan ditelantarkan suaminya, Wahyu Saputra (26).

    Kasus memilukan tersebut terjadi di Palembang, Sumatra Selatan (Sumsel).

    Keluarga kemudian melaporkan suami korban ke polisi terkait Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

    Menurut keluarga, SPS disekap di dalam kamar lebih kurang 3 bulan. Korban sebenarnya sempat dibawa ke rumah sakit. Namun, nyawa korban tidak tertolong.

    Sutrano (56) ayah SPS mengatakan curiga atas kematian putrinya.

    “Hingga hari ini saya selaku orangtua korban, masih teringat dengan anak saya itu pak, ada yang janggal atas kematian anak saya,” ungkap Sutrano didampingi anaknya Purwanto (32) saat ditemui di kediamannya, Palembang, Senin (27/1/2025). 

    Sutrano mengatakan, terakhir kali dirinya bertemu dengan korban pada bulan Oktober 2024.

     

    “Saat itu keadaan SPS masih normal (kondisinya sehat-red), dan saat datang ke rumah Sindi memakai cadar,” ungkapnya.

    Saat datang rumah, lanjut Sutrano, anaknya saat itu tidak banyak bercerita disebabkan suaminya sore pulang ke rumah.

    “Posisi SPS tidak banyak cerita. Baik ke saya maupun kepada saudara saudaranya. Sore pulang pulang ke rumah,” katanya. 

    Setelah itu, sambung Sutrano, mereka pun (keluarga-red), hingga kontak dan tidak pernah lagi berhubungan dengan anak ketiga itu. 

    “Kami dapat kabar SPS ini terbaring lemah pada Selasa (21/1/2025), sekitar pukul 18.00, ditelepon terlapor, saat itu lah saya tahu, dan langsung ke rumah,” katanya.

    Lebih jauh Sutarno mengatakan, setelah mendapatkan kabar tersebut, dirinya dan anak laki-laki langsung menuju rumah Sindi.

    “Saat itu lah kami melihat langsung keadaan Sindi, miris pak keadaannya, hal ini membuat kami menaruh rasa curiga,” katanya kembali.

    Sutarno curiga karena tetangga yang membopong korban ke dalam mobil hendak ke RS Hermina.

    “Bukan suaminya terlapor yang mengangkat Sindi (membopong-red), ke dalam mobil tetapi tetangganya saat itu, ” katanya.

    Mirisnya lagi, melihat kondisi sang anak seperti buntang hidup berbau busuk, dengan rambut gimbal banyak kutu, badan kurus tinggal tulang berbalut kulit.

    “Dilihat dari sini seperti tidak diurus saat anak saya sedang sakit, ditelantarkan. Kita juga pasti bertanya sakit anak saya oleh apa,” ungkapnya. 

    Ketika di rumah sakit, dokter menganjurkan keluarga membuat laporan polisi.

    Kata-kata terakhir korban

    Saat dirawat di ruang ICU, korban dengan napas terengah mengucapkan kata-kata ke kakaknya. 

    “Wahyu  jahat, dia jahat, dia selalu ngancam, Saya mau pulang. Ini kata kata terakhir dia saat dirawat di ICU RS Hermina, Palembang,” ungkap Purwanto (32), kakak korban.

    Purwanto mengatakan, permasalahan Sindi dan Wahyu Saputra (26 tahun) suaminya. diketahui keluarga pada bulan Februari 2024.

    Saat itu kedua orangnya kangen kepada Sindi Lantaran tidak kunjung datang  dan menyuruh Putra (30) kakak SPS menjemputnya.

    “Aku jemput dia pak. Dari rumahnya tetapi saat itu suaminya tidak ikut ,” ungkap Putra.

    Lanjut Putra, sesampai di rumah Sindi ini bercerita tidak diberikan makan oleh sang suami.

    Bahkan setiap masak dalam sehari Sindi diperintahkan suaminya hanya masak nasi 1 canting saja. 

    “Jadi dari cerita Sindi, dia ini tidak diberikan makan. Dan jika masak di rumah hanya Masak nasi 1 canting dan hanya untuk suaminya saja,” ungkap Putra seperti cerita Sindi. 

    Mendengar hal tersebut, lanjut Putra, membuat keluarga kasihan dan menyuruh Sindi agar tinggal di rumah.

    “Tetapi Sindi sorenya langsung dijemput oleh sang suaminya. Kami pun tidak bisa berbuat banyak,” katanya sambil Sindi mau diajak pulang. 

    Berselang beberapa hari, sambung Seminggu, pihak keluarga kembali jemput Sindi dan mengajak agar tidur dirumah.

    “Nah saat itu Sindi mau tidur di rumah. Kemudian setelah nginap di rumah 1 hari, kembali suaminya menjemput ,” katanya. 

    Saat itulah, terkuak, sesampai di rumahnya Sindi pun mengirim pesen singkat lewat WhatsApp kepada kakak perempuannya.

    Berikut isinya:

    “Iyo yuk bantu doanya juga yuk kalo Bae nak berubah nian budak itu. Kalo dia masih dak berubah juga ke depa nyo aku janji aku langsung balek ke rumah ibu tanpa di jemput” ucap Sindi seperti isi pesan WhatsApp nya. 

    “Maafke aku tim mungkin aku sudah ngecewake Ayuk sama mas putra dan yang lain dengan ngasih dia kesempatan lagi. Bantu doa yuk aku mohon supaya kalau Bae kali ini segalo sifat jahat Dio itu keluar dari badannya. Aku minta ridho nya yuk. Mohon niab kalu bae duo berubah . Alhamdulillah sekarang dia lah ngojek maxim kalua Bae ini bertahan lama Idak angkat tai ayam,” katanya. 

    (Iya yuk, bantu doanya juga yuk, kalau saja mau berubah orang itu (Wahyu). Kalau dia masih tidak berubah juga ke depannya saya janji langsung pulang ke rumah ibu tanda dijemput), ujarnya. 

    Maafkan saya mungkin sudah mengecewakan ayuk sama Mas Putra dan yang lain dengan ngasih dia (Wahyu) kesempatan lagi. Bantu doa yuk saya mohon supaya kalau saja kali ini segala sifat jahat dia keluar dari badannya. Saya minta ridhonya yuk, mohon sekali kalau saja kali ini dia berubah. Alhamdulillah sekarang dia sudah ngojek maxim, kalau saja ini bertahan lama),” ujarnya.

  • Kasus KDRT di Pamekasan Turun, Tapi Pelecehan Relatif Tinggi

    Kasus KDRT di Pamekasan Turun, Tapi Pelecehan Relatif Tinggi

    Pamekasan (beritajatim.com) – Angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan pada 2024 di kabupaten Pamekasan mengalami penurunan signifikan dibanding kasus serupa pada 2023 silam.

    Berdasar data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Pamekasan, terdapat sebanyak 18 kasus KDRT pada 2023, dan turun menjadi 6 kasus serupa pada 2024.

    “Angka kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa pada 2024, turun signifikan dibanding 2023. Tercatat dari 18 kasus pada 2023, turun menjadi 6 kasus pada 2024,” kata Kepala DP3AP2KB Pamekasan, Munapik, Senin (27/1/2025).

    Hanya saja, kasus pelecehan dan penelantaran perempuan pada 2024 relatif masih cukup tinggi dengan total 14 kasus. “Namun angka ini mengalami penurunan signifikan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan total sebanyak 42 kasus,” ungkapnya.

    “Namun kasus kekerasan pada anak perempuan justru mengalami peningkatan pada 2024, yakni sebanyak 15 kasus berdasar laporan yang kami terima. Angka ini lebih tinggi dibanding kasus serupa pada 2023 yang tercatat 10 kasus, mayoritas kasus pelecehan seksual,” imbuhnya.

    Tidak hanya itu, pihaknya juga tengah memperhatikan serius tentang kasus yang melibatkan anak laki-laki. “Pada 2024, tercatat 3 kasus yang melibatkan anak laki-laki sebagai pelaku. Seperti kasus pencurian hingga kasus penyalahgunaan narkoba,” jelasnya.

    “Sedangkan pada 2023, tercatat sebanyak 9 kasus yang didominasi kekerasan fisik dan pencurian. Hal ini tentunya menjadi perhatian kami untuk melaksanakan program edukasi dan penyuluhan di tingkat keluarga,” imbuhnya.

    Tidak hanya itu, pihaknya juga menilai sangat penting untuk kembali menggalakkan komunitas untuk meningkatkan kesadaran pentingnya perlindungan pada perempuan dan anak. “Sehingga kolaborasi lintas sektor akan terus diperkuat guna menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan dan anak di Pamekasan,” pungkasnya. [pin/ian]

  • Pernah Menikah Siri dengan Aurelie Moeremans, Roby Tremonti: Ditentang Keluarganya

    Pernah Menikah Siri dengan Aurelie Moeremans, Roby Tremonti: Ditentang Keluarganya

    Jakarta, Beritasatu.com – Aktor Roby Tremonti mengaku, terpaksa menikah siri dengan Aurelie Moeremans lantaran ditentang oleh keluarga Aurelie Moeremans.

    “Kalau dibilang tidak menikah secara sah karena saat itu ramai pernikahan kami berdua tidak disetujui orang tuanya,” ucap Roby Tremonti dikutip dari channel YouTube, Sabtu (25/1/2025).

    Roby Tremonti juga membantah pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama hidup bersama Aurelie Moeremans.

    “Jujur ya kabar itu (KDRT) sangat mengganggu kehidupan saya. Jadi sangat menyayangkan saja isu itu beredar di masyarakat,” lanjutnya.

    Roby Tremonti mengaku, kejujuran yang diutarakan dari hatinya bukan bermaksud untuk menghancurkan rumah tangga Aurelie Moeremans.

    “Supaya netizen tidak nyinyir lagi sama gue. Kalau ditanya pernah menikah terus terang iya pernah. Namun, intinya sekarang sudah bilang tidak ada maksud untuk mengganggu kehidupan Aurelie Moeremans,” lanjutnya.

    “Saya bicara di sini adalah untuk memberikan klarifikasi. Dia sudah bahagia dengan suaminya, saya senang dan tidak ada niat untuk ribut. Dia sudah bahagia, saya doakan biar cepat dapat momongan,” ungkap Roby Tremonti memilih menikah siri karena tidak mendapat persetujuan dari orang tua Aurelie Moeremans.