Sejarah dan Rumitnya Status Kepemilikan Menara Saidah yang Tak Kunjung Direvitalisasi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di antara padatnya arus kendaraan di Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, berdiri sebuah bangunan megah yang seolah terjebak di masa lalu.
Pilar-pilar tinggi bergaya Korintus, patung marmer khas Italia, serta ukiran Eropa klasik kini kusam tertutup debu dan lumut.
Gedung itu adalah
Menara Saidah
, ikon arsitektur era 1990-an yang kini menjelma menjadi simbol stagnasi tata kota Jakarta.
Menara Saidah bukan sekadar gedung, melainkan monumen ambisi modernisasi Jakarta di penghujung dekade 1990-an.
Dibangun oleh PT Hutama Karya dan rampung pada 1998, menara ini menelan biaya sekitar Rp 50 miliar.
Awalnya bernama “Gracindo Building” dan dimiliki oleh Mooryati Soedibyo, pendiri Mustika Ratu.
Kepemilikan gedung kemudian berpindah ke keluarga Saidah Abu Bakar Ibrahim, pemilik Merial Group.
Putranya, Fajri Setiawan, melakukan renovasi besar-besaran dengan menambah jumlah lantai dari 18 menjadi 28 dan mengganti nama menjadi “Menara Saidah”, mengabadikan nama sang ibu.
Dikutip dari Arsip Harian
Kompas
(2 September 1999), gedung ini sempat menjadi kantor berbagai instansi penting, termasuk Sekretariat Panitia Pemilu 1999 (kini KPU) dan Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
Kala itu, Menara Saidah menjadi pusat aktivitas bisnis dan pemerintahan. Bahkan, acara pernikahan artis Inneke Koesherawati dan Fahmi Darmawansyah digelar di sini pada 2004.
Namun, di balik gemerlapnya, fondasi masalah mulai muncul.
Tahun 2007 menjadi titik balik. Satu per satu penyewa hengkang setelah beredar kabar bahwa gedung miring beberapa derajat dan berisiko roboh.
Hingga kini, tak pernah ada pernyataan resmi dari pihak pemilik maupun Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) mengenai kondisi struktur tersebut.
Pihak pengelola PT Gamlindo Nusa membantah isu kemiringan. Mereka menegaskan bahwa pengosongan terjadi semata karena masa sewa
tenant
telah berakhir.
Namun, sejak saat itu, akses ke Menara Saidah ditutup total untuk umum.
Warga sekitar menyebut sempat ada renovasi kecil pada 2015, tetapi berhenti dua bulan kemudian. Rencana pemerintah untuk mengambil alih pada 2016 pun tak pernah terealisasi.
Kini, Menara Saidah hanya dijaga empat satpam, dikelilingi pagar seng berkarat setinggi dua meter bertuliskan besar “
Dilarang Masuk
”.
Menurut Kartika Andam Dewi, Ketua Sub Kelompok Penggunaan Bangunan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (CKTRP) DKI Jakarta, hingga kini belum ada perkembangan berarti terkait status hukum, kondisi bangunan, maupun kepemilikannya.
“Sejauh ini belum ada
update
. Kalau tidak salah, satu atau dua tahun lalu sempat dibahas, tapi bukan di bawah kami. Sampai sekarang belum ada kabar terbaru lagi,” ujar Kartika kepada
Kompas.com
, Jumat (7/11/2025).
Ia menjelaskan, Menara Saidah masih terdaftar sebagai bangunan swasta, bukan aset Pemprov DKI.
Sertifikat Laik Fungsi (SLF) pun kemungkinan sudah tidak berlaku karena bangunan tidak lagi digunakan.
“Karena tidak ada permohonan penggunaan kembali, kami belum melakukan pengecekan lapangan lagi. Pengawasan rutin dilakukan bergilir, dan Menara Saidah kemungkinan baru masuk jadwal pengecekan pada 2026,” lanjutnya.
Artinya, hingga kini tidak ada instansi pemerintah yang aktif memantau kondisi bangunan tersebut.
Data perizinan lama bahkan disebut telah “terkubur” dalam arsip yang belum dibuka kembali.
Pengamat tata kota Yayat Supriatna menilai, kasus Menara Saidah mencerminkan kegagalan tata kelola aset di Jakarta.
“Masalah utamanya bukan sekadar bangunan miring atau tidak, tapi soal kepastian hukum dan tanggung jawab pengelolaan,” katanya.
Menurutnya, lokasi Menara Saidah yang strategis, diapit jalur LRT, KRL, dan TransJakarta, seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai simpul transit atau kawasan hunian vertikal modern.
“Kalau direvitalisasi, bisa jadi pusat
co-housing
atau apartemen terjangkau bagi generasi muda yang membutuhkan akses transportasi publik,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan, langkah revitalisasi baru bisa dilakukan jika status kepemilikan dan kelayakan struktur bangunan telah jelas.
“Sebelum bicara pemanfaatan, harus
clear and clean
dulu. Apakah ada sengketa utang, piutang, atau korporasi yang belum selesai? Karena selama itu belum dituntaskan, pemerintah juga tidak bisa masuk,” tambah Yayat.
Penelusuran
Kompas.com
memperlihatkan kontras mencolok. Dari luar, Menara Saidah tampak gagah; tetapi di balik pagar seng pembatas, yang terlihat hanyalah puing, rumput liar, dan debu.
Lobi megah dengan enam pilar besar kini lusuh, catnya pudar, dan atapnya berlumut.
Patung-patung marmer Eropa klasik masih ada, dua bust laki-laki dan satu patung singa putih, kini tertutup debu tebal.
Lift tak berfungsi, kabel menggantung, dan tangga menuju lantai atas lembap serta gelap.
Menurut Juliadi (40), satpam yang menjaga sejak 2014, bangunan dijaga empat orang secara bergantian.
“Kami jaga biar enggak ada yang masuk sembarangan. Kadang ada anak muda atau mahasiswa penasaran mau lihat ke dalam. Tapi enggak boleh, bahaya,” katanya.
Selama 10 tahun bertugas, ia belum pernah melihat tinjauan resmi dari pemerintah.
“Pernah dengar mau direvitalisasi, tapi enggak jadi-jadi. Pemerintah juga belum pernah datang langsung ke sini,” ujarnya.
Di permukiman belakang menara, kehidupan berjalan biasa. Warga sudah terbiasa melihat gedung besar itu sebagai pemandangan sehari-hari, meski menyimpan rasa kecewa dan harapan.
Siti (45), pedagang nasi uduk, bercerita bagaimana ekonomi lesu setelah gedung itu kosong.
“Dulu waktu masih ramai, saya bisa jual dua panci nasi uduk, sekarang paling separuh,” ujarnya.
“Sayang banget ya, bangunan segede itu nganggur. Kalau bisa dimanfaatin lagi kan enak, buat kantor pemerintah kek, atau pusat UMKM,” tambahnya.
Puji (29), pengemudi ojek
online
, menilai bangunan itu membuat kawasan tampak “setengah jadi.”
“Catnya udah pudar, kaca banyak yang retak. Padahal di seberangnya banyak gedung baru. Ini kayak simbol Jakarta yang setengah maju, setengah berantakan,” katanya.
Tio (41), karyawan swasta, menyebut Menara Saidah sebagai “monumen kegagalan tata kota.”
“Waktu awal 2000-an, gedung ini kebanggaan. Sekarang dibiarkan kayak bangkai. Pemerintah kayak enggak tahu harus ngapain,” ujarnya.
Bagi Wati (60), warga lama di sekitar gedung, ketidakjelasan sudah berlangsung terlalu lama.
“Kami enggak tahu siapa pemiliknya, siapa yang harus tanggung jawab. Pemerintah juga enggak pernah datang bahas. Jadinya kayak dibiarkan aja begitu,” katanya.
“Kalau enggak bisa difungsikan lagi, ya paling tidak dirapikan. Jangan dibiarkan kumuh begitu, bikin kesan Jakarta ini kayak kota yang enggak dirawat,” imbuhnya.
Menara Saidah hanyalah satu dari puluhan gedung tidur di Jakarta yang belum tersentuh kebijakan revitalisasi.
Data Pemprov DKI pada 2024 mencatat sedikitnya 19 bangunan bertingkat tak lagi difungsikan, sebagian besar berada di koridor bisnis lama.
Namun, Menara Saidah menonjol karena letaknya strategis dan nilai historisnya tinggi.
Sayangnya, ketidakjelasan kepemilikan, sengketa bisnis, dan status hukum membuatnya mandek.
“Pemerintah tidak bisa begitu saja mengambil alih karena ini milik swasta. Tapi di sisi lain, tidak ada pihak yang aktif menjaga agar tidak membahayakan,” kata Yayat Supriatna.
Fenomena ini menyoroti lemahnya mekanisme pengawasan aset swasta yang mangkrak.
Banyak bangunan kosong luput dari prioritas, padahal berdampak besar terhadap estetika kota dan kehidupan sosial warga.
Kini, Menara Saidah bukan lagi menara bisnis, melainkan menara kenangan, saksi bisu laju pembangunan kota yang terus berjalan tanpa arah yang jelas. Di balik pagar sengnya, waktu seolah berhenti.
“Kalau bisa, jangan dibiarkan terus. Sayang, gedungnya bagus. Tapi sekarang cuma jadi cerita,” ujar Siti.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topik: KEK
-
/data/photo/2025/11/07/690ddbb7b8971.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
7 Sejarah dan Rumitnya Status Kepemilikan Menara Saidah yang Tak Kunjung Direvitalisasi Megapolitan
-

KEK Tanjung Lesung didorong jadi destinasi wisata unggulan
Serang (ANTARA) – Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung, Pandeglang, Banten, didorong menjadi destinasi wisata unggulan nasional melalui penyelenggaraan Exciting Banten Festival 2025 yang sukses menarik lebih dari 2.000 pengunjung.
Wakil Gubernur Banten, A. Dimyati Natakusuma, di Serang, Minggu, mengatakan festival tersebut dinilai menjadi momentum penting untuk memperkuat posisi Banten sebagai destinasi wisata, sekaligus membuktikan potensi KEK Tanjung Lesung.
“Ini adalah momentum untuk memperkenalkan kekayaan wisata, budaya, dan ekonomi kreatif Banten kepada masyarakat luas,” katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa melalui festival ini, ingin memperkuat sinergi antardaerah dalam mengembangkan sektor pariwisata. Banten memiliki potensi luar biasa yang harus terus didorong agar mampu bersaing secara nasional bahkan internasional.
Ia juga mengapresiasi kolaborasi pengembangan KEK Tanjung Lesung yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Nasional. Pemilihan lokasi ini juga bertujuan strategis untuk mempromosikan Tanjung Lesung sebagai destinasi kebanggaan.
“Melalui festival ini, kami mengajak seluruh pemangku kepentingan pariwisata untuk berkolaborasi dan turut mempromosikan Tanjung Lesung sebagai destinasi unggulan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Banten West Java, Poernomo Siswoprasetijo, selaku pengelola kawasan, menegaskan bahwa KEK Tanjung Lesung memiliki potensi besar untuk terus tumbuh.
“Melalui festival ini pula terlihat bahwa KEK Tanjung Lesung memiliki potensi luar biasa untuk terus tumbuh sebagai destinasi wisata unggulan nasional,” ungkapnya.
Poernomo menambahkan, festival ini juga terbukti berdampak langsung terhadap perekonomian lokal, ditandai dengan peningkatan signifikan jumlah kunjungan hotel, restoran, dan pelaku wisata di kawasan tersebut.
“Kami bangga dapat menjadi tuan rumah. Semoga ke depan Tanjung Lesung terus menjadi ikon wisata bahari dan budaya Banten yang berkelas dunia,” tambahnya.
Exciting Banten Festival 2025 dimeriahkan berbagai kegiatan untuk menunjukkan keragaman potensi KEK Tanjung Lesung, mulai dari tour jip Banten bersama Indonesia Offroad Federation (IOF) untuk mempromosikan adventure tourism, hingga catur wisata dari Percasi dan pertandingan tinju yang didukung Pertina Banten.
Pewarta: Desi Purnama Sari
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
Kemenhub Ungkap Ongkos Mahal Tantangan Utama Logistik Indonesia
Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengungkapkan tantangan besar logistik yang masih Indonesia hadapi, dan perlu penyelesaian secara bersama-sama seluruh stakeholder.
Direktur Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda Kemenhub Risal Wasal menuturkan, saat ini, potensi Indonesia sangat besar dalam mobilitas dan angkutan barang, dengan memiliki 391 terminal, 669 stasiun, 353 pelabuhan, dan 257 bandara.
Meski demikian, masih menjadi tantangan dalam mengangkut dan mendistribusikan barang ke seluruh wilayah Nusantara. Termasuk soal biaya yang lebih efisien dan murah.
“Tantangan pertama kita, bagaimana mobilitas barang dan orang yang efisien terhubung berkelanjutan,” ujarnya dalam malam penghargaan BILA 2025 di Hotel Borobudur, Rabu (5/11/2025).
Padahal, sektor transportasi dan pergudangan tumbuh rata-rata 19,07% selama 5 tahun terakhir. Capaian tersebut jauh ebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional.
“Ini bukti nyata bahwa sektor logistik merupakan salah satu tulang punggung perekonomian di Indonesia. Namun demikian, kita juga masih menghadapi tantangan yang harus kita jawab bersama,” tambah Risal.
Saat ini pun, Indonesia memiliki 10 kota metropolitan, 71 daerah 3TP (tertinggal, terdepan, terluar, dan perbatasan), 17 kawasan industri, 25 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), 10 Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP), yang perlu dihubungkan.
Tantangan lainnya, yakni dalam pengembangan sektor transportasi multimoda untuk industri logistik.
Dirinya tidak menampik, bahwa saat ini infrastruktur multimoda yang ada belum betul-betul terintegrasi pada moda-moda lainnya, seperti darat, laut, maupun udara.
Sementara Tol Laut, yang digadang-gadang bakal mempermudah arus barang di wilayah 3T, justru mengalami masalah baru. Tak jarang kapal-kapal yang beroperasi sebagai Tol Laut tidak tepat waktu, sehingga barang yang diangkut terbengkalai.
Di samping itu, Logistic Performance Index (LPI) pun masih menjadi pekerjaan rumah yang menjadi perhatian besar. LPI Indonesia masih berada di angka 3,0. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan beberapa negara Asean, misalnya Singapura 4,3, Malaysia 3,6, Thailand 3,5, Filipina 3,3, dan Vietnam 3,3.
“Ini tantangan kita bersama bagaimana kita menaikkan daripada logistik performance index Indonesia,” tambahnya.
Risal menegaskan bahwa Kementerian Perhubungan berkomitmen untuk menjawab tantangan tersebut, sekaligus mendorong sisi transportasi yang efisien, terhubung, terindikasi, berdaya saing di seluruh Indonesia.
Kementerian Perhubungan pun terus mendorong langkah-langkah transformasi logistik nasional dengan lima pilar utama integrasi multimoda.
Pertama, melalui integrasi kelembagaan antara stakeholder terkait. Kedua, integrasi fisik dari simpul logistik, mulai dari pelabuhan, bandara, dry port, dan terminal multimoda. Ketiga, Integrasi pembayaran pengangkutan hingga karantina dan pajak.
Keempat, integrasi jaringan berupa jaringan transportasi darat, kereta api barang, laut, dan udara. Terakhir, integrasi infromasi.
-

Video Ini 23 Produk Skincare Berbahaya! Picu Kanker-Ginjal Rusak
Badan Pengawasan Obat dan Makanan nemuin 23 produk kosmetik berbahaya. Tahu ga isinya bukan bahan skincare lho, tapi campuran bahan kimia berbahaya, kek merkuri, hidrokuinon, sampe pewarna ilegal yang bisa bikin iritasi, rusak kulit, bahkan ganggu organ dalam. Nah semua temuan itu didapat dari periode Juli- September 2025.
-

Joget-joget Anggota Dewan Bikin Kesel Rakyat
GELORA.CO -Ahli Media Sosial (Medsos) Ismail Fahmi dihadirkan sebagai saksi dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR terkait perkara lima anggota DPR nonaktif buntut aksi unjuk rasa 25–31 Agustus 2025 lalu.
Dalam kesaksiannya, Ismail menyoroti reaksi publik terhadap video sejumlah anggota DPR yang berjoget di tengah isu kenaikan gaji.
Menurutnya, kemarahan masyarakat bukan semata karena nominal kenaikan gaji, melainkan karena tindakan berjoget yang dianggap tidak sensitif terhadap kondisi rakyat.
“Dalam kasus kemarin yang kita lihat itu masyarakat itu tersentuhnya di mana? Yang saya lihat joget-jogetnya itu bikin kesel banget, bukan soal angka (kenaikan gaji),” ujar Ismail di Ruang Sidang MKD DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin, 3 November 2025.
Ia menyebut, bagi masyarakat, kenaikan gaji anggota DPR, berapapun nominalnya, memiliki makna besar karena kondisi ekonomi rakyat sedang sulit.
“Mau Rp1 juta kek, Rp3 juta. Rp3 juta buat saya kecil sekali, tapi buat masyarakat itu sudah kenaikan. Pada saat kami sulit Rp3 juta itu gede pak, tapi buat anggota DPR enggak besar, harusnya bisa lebih dari itu buat joget,” kata Ismail.
Namun demikian, Founder Drone Emprit itu berpandangan bahwa persoalan utama bukan pada angka, tetapi pada emosi publik yang tersulut oleh simbol-simbol seperti joget tersebut.
“Emosi ini harus diberesin. Pada saat klarifikasi diberesin emosi juga enggak? Apa yang masuk di masyarakat soal angkanya tadi atau joget-joget?” ucapnya.
Atas dasar itu, menurut Ismail, klarifikasi dari pihak DPR ke publik seharusnya juga mempertimbangkan aspek emosional agar pesan yang disampaikan bisa diterima dengan baik.
“Nah ini yang nempel di masyarakat, itu harus diluruskan. Misalnya ‘jogetnya itu bukan karena naik’ tetapi emosi dilawan dengan emosi, dengan faktual,” jelasnya.
Ia mencontohkan, klarifikasi bisa disampaikan dengan menjelaskan konteks kejadian, misalnya bahwa ada anggota yang bernyanyi atau bersuka cita karena hal lain, bukan karena kenaikan gaji.
“Jadi, ketika klarifikasi kita siapkan juga klarifikasi yang menyentuh emosi. Jadi instead of emosinya itu gara-gara naik gaji, kita balik emosinya karena menghargai, pasti masyarakat ada yang mendukung nanti,” demikian Ismail.
Sejumlah saksi-ahli yang dihadirkan dalam sidang MKD DPR di antaranya Deputi Persidangan Setjen DPR Suprihartini; Koordinator Orkestra Letkol Suwarko; Ahli Media Sosial Ismail Fahmi; Ahli Kriminologi Prof Dr Adrianus Eliasta; Ahli Hukum Satya Adianto; Ahli Sosiologi Trubus Rahadiansyah; Ahli Analisis Perilaku Gustia Ayudewi; dan Wakil Koordinator Wartawan Parlemen Erwin Siregar
-

DPR RI minta ANTARA, TVRI dan RRI perdalam informasi pariwisata Bali
Denpasar (ANTARA) – Komisi VII DPR RI meminta Perusahaan Umum Lembaga Kantor Berita Nasional (Perum LKBN) ANTARA, Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI dan LPP RRI memperdalam diseminasi informasi publik terkait potensi pariwisata dan ekonomi kreatif di Bali.
“Ketiga media itu kami harapkan menjadi pilar diseminasi informasi publik,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty di sela kunjungan kerja dan diskusi dengan ANTARA, TVRI dan RRI di Denpasar, Bali, Jumat.
Ada pun sektor di Pulau Dewata yang perlu diperdalam diseminasi informasinya kepada publik di antaranya potensi wisata medis dan desa wisata sehingga menarik kunjungan wisatawan dan memberikan pemerataan ekonomi di Bali.
Destinasi wisata medis itu saat ini dapat diakses di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sanur, Denpasar salah satunya fasilitas di Bali International Hospital (BIH), rumah sakit yang menjadi bagian Holding Rumah Sakit BUMN Pertamina Bina Medika Indonesia Healthcare Corporation (IHC).
Layanan unggulan di BIH yaitu jantung, kanker, syaraf, pencernaan dan tulang dengan dilengkapi teknologi canggih.
Tak hanya itu, ada juga klinik terapi sel dari Jerman, Bali Beach Hotel, gedung konvensi yang sudah beroperasi.
Sedangkan dalam tahap konstruksi yakni pembangunan 20 klinik untuk operasi kosmetik, transplantasi rambut, hingga layanan antipenunaan dini.
Ada juga dalam tahap perencanaan yakni layanan stem sel, rumah sakit dan klinik mata, layanan bayi tabung dan fasilitas lainnya.
Hadirnya fasilitas kesehatan kelas dunia itu di KEK Sanur diharapkan menekan devisa yang menguap keluar negeri yang diperkirakan per tahun mencapai Rp150 triliun dengan jumlah orang Indonesia berobat atau mengakses layanan kesehatan ke luar negeri per tahun diperkirakan mencapai dua juta orang.
“Tidak perlu jauh-jauh ke Korea, Brasil untuk operasi kecantikan, ada 15 merek kecantikan terbaik yang didatangkan ke Indonesia yaitu Bali,” ucapnya.
Potensi lain di Bali yakni desa wisata yang perlu diperbanyak dan memperdalam informasi potensi pariwisata tersebut.
Total hingga saat ini ada 238 desa wisata tersebar di sembilan kabupaten/kota di Bali dengan ciri khas dan keunikan tersendiri.
Desa wisata itu di antaranya bahkan mendapatkan penghargaan dunia misalnya Desa Jatiluwih di Kabupaten Tabanan yang masuk 55 desa wisata di dunia dengan predikat terbaik pada 2024 dari Organisasi PBB bidang Pariwisata Dunia, UNWTO atau UN Tourism.
Kemudian terbaru, Desa Wisata Pemuteran di Kabupaten Buleleng meraih predikat bergengsi “Best Tourism Village 2025” dari UN Tourism.
“Desa wisata itu menjadi destinasi baru untuk pariwisata di Bali sehingga tidak terjadi penumpukan di satu titik saja,” ucapnya.
Dalam pertemuan itu dipimpin Ketua Komisi VII DPR RI Saleh Partaonan Daulay, serta tiga Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty, Chusnunia Chalim, dan Lamhot Sinaga, serta dihadiri jajaran Anggota Komisi VII DPR RI lainnya.
Sementara itu, dari ANTARA dihadiri Direktur Pemberitaan Irfan Junaidi, Kepala Biro Bali Widodo Suyamto Jusuf, dari LPP TVRI yakni Direktur Utama Imam Brotoseno, Direktur Teknik Bernadus Satrio Dharmanto, dan Kepala Stasiun Bali I Gede Mustito, kemudian dari LPP RRI yakni Direktur Utama Hendrasmo, Direktur Keuangan Muhammad Fauzan, dan Kepala Stasiun Denpasar Taufan Pamungkas.
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.



