Topik: Harga minyak dunia

  • 3 Penguasa Minyak Dunia Beda Pandangan Soal Harga, AS Ogah Naik Tinggi

    3 Penguasa Minyak Dunia Beda Pandangan Soal Harga, AS Ogah Naik Tinggi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Tiga negara pemilik produksi minyak terbesar di Dunia ternyata punya cara pandang yang berbeda mengenai harga komoditas itu. Tiga negara itu adalah Amerika Serikat (AS), Rusia dan juga Arab Saudi.

    Berkaca dari konflik yang terjadi di Timur Tengah belakangan ini, tentunya akan memiliki dampak terhadap harga minyak mentah dunia. Apalagi, Iran berencana menutup Selat Hormuz-selat peredaran minyak, LNG hingga BBM.

    Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Periode 2016-2019 Arcandra Tahar mengungkapkan, dari konflik Timur Tengah, memiliki dampak atas harga minyak dunia.

    Nah, sementara ada tiga negara penghasil minyak terbesar di Dunia yang memiliki sudut pandang berbeda mengenai harga. “Tiga negara, yang tiga terbesar, Amerika, Rusia, dan Arab Saudi, itu punya karakter yang berbeda dalam melihat harga minyak,” jelasnya kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Selasa (24/6/2025).

    Khusus AS, kata Arcandra, negara tersebut melihat harga minyak dunia tidak boleh berada di bawah level US$ 70 per barel, namun tidak boleh juga melebihi level US$ 100 per barel. Alasannya, titik impas penjualan minyak oleh Negeri Paman Sam tersebut berada di level US$ 40-50 per barel, sedangkan negara tersebut tidak memberikan subsidi terhadap minyak mentah.

    “Sewaktu pengumuman tarif kemarin harga di US$ 63-65. Wah, itu bisa limbung. Yang independent all company di Amerika bisa limbung. Tapi, menurut feeling saya, Amerika juga tidak menginginkan negara-negara US$ 100. Kenapa? Karena di sana tidak ada subsidi. Setiap harga yang tinggi itu masuk ke market dan masyarakat menanggung itu. Mereka sedang berjuang melawan inflasi,” ujarnya.

    Sementara Rusia menginginkan harga bisa lebih dari US$ 100 per barel. Kenapa? Karena Negeri Beruang Merah tersebut memiliki ongkos produksi yang lebih murah yakni US$ 30 per barel. Ditambah lagi adanya subsidi untuk produksi minyak.

    “Kalau harga, dia biasanya ngasih diskon sekarang itu bisa US$ 20-30 (per barel), kalau dia kasih diskon US$ 30, harga produksi US$ 30, tambah diskon US$ 30 berarti dia harus menjual minimum US$ 60, maka dia juga tidak mau harga di bawah US$ 75. Terlalu tipis buat Rusia, karena harga diskon tadi. Tapi kalau di atas US$ 100 dia oke. Jauh, semakin tinggi semakin oke, karena dia harus ngasih diskon tadi US$ 20-30 per barrel. Jadi kalau di atas US$ 100, dia oke sekali,” paparnya.

    Terakhir, Arab Saudi dalam melihat harga minyak mentah dunia berbeda dibandingkan kedua negara yang sudah disebutkan. Arcandra mengungkapkan Arab tidak memiliki masalah sama sekali terhadap harga minyak. Hal itu dinilai lantaran biaya produksi minyak mentah di negara tersebut di bawah US$ 20 per barel yang artinya jika harga minyak dunia anjlok, Arab tidak khawatir akan hal tersebut.

    Jika harga minyak melonjak mencapai US$ 100 per barel, Arab juga tidak masalah lantaran kebutuhan minyak di negara tersebut sedikit.

    “Arab Saudi, ini Arab Saudi ini yang sangat robust. Atas boleh, bawah boleh, karena ongkos produksinya belasan dolar per barrel. US$ 10-11 atau berapa. Jadi kalau harga US$ 20 pun, US$ 30 pun, Arab Saudi masih oke. Di atas US$ 100 pun tidak apa-apa, karena apa? Dia subsidi di sana. Kebutuhan di dalam negeri kecil. Jadi rakyatnya pun, kalau di atas US$ 110-120, dia oke,” tandasnya.

    Berdasarkan data Refinitiv pukul 10:00 WIB, harga Brent kontrak Agustus 2025 berada di US$ 69,71 per barel, ambles 2,48% dari sehari sebelumnya. Sementara itu, minyak mentah acuan AS, WTI, juga longsor ke US$ 66,71 per barel, merosot 2,63% dibandingkan Senin. Ini menjadi kelanjutan dari aksi jual brutal pada perdagangan sebelumnya, di mana kedua kontrak minyak sempat anjlok lebih dari 7%.

    Hal itu setelah Donald Trump mengumumkan adanya gencatan senjata antara Israel dan Iran, harga minyak dunia pun kembali melesu, setelah beberapa hari lalu mengalami lonjakan, terutama sejak perang kedua negara tersebut pecah.

    Dalam pengumuman resminya, Trump menyebut bahwa kesepakatan damai akan berlangsung bertahap: dimulai oleh Iran, disusul oleh Israel 12 jam kemudian. Pengumuman Trump ini memupus kekhawatiran pasar akan gangguan pasokan dari kawasan Timur Tengah.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Harga Minyak Dunia Hari Ini 24 Juni 2025 Tergelincir, Apa Penyebabnya? – Page 3

    Harga Minyak Dunia Hari Ini 24 Juni 2025 Tergelincir, Apa Penyebabnya? – Page 3

    Media pemerintah Iran melaporkan pada Minggu, parlemen Iran telah mendukung penutupan selat itu. Namun, keputusan akhir untuk menutup selat itu berada di tangan dewan keamanan nasional Iran, menurut menurut laporan itu.

    Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio telah memperingatkan Iran agar tidak berupaya menutup selat itu. “Itu akan menjadi bunuh diri ekonomi bagi Iran karena ekspor mereka melewati Selat Hormuz itu,” ujar Rubio.

    “Kami masih memiliki opsi untuk mengatasinya,” Rubio menambahkan.

    “Itu akan lebih merugikan ekonomi negara lain daripada ekonomi kami. Saya pikir, itu akan menjadi eskalasi besar-besaran yang akan membutuhkan respons, tidak hanya dari kami, tetapi juga dari negara lain,” ia menambahkan.

    Berdasarkan data Kpler, Iran mengekspor 1,84 juta barel per hari bulan lalu, dengan sebagian besar dijual ke China. Adapun menurut laporan pasar minyak bulanan OPEC yang dirilis pada Juni, Iran memproduksi 3,3 juta barel per hari pada Mei.

    Rubio meminta China memakai pengaruhnya untuk mencegah Teheran menutup selat itu. Sekitar setengah dari impor minyak mentah China melalui perairan berasal dari Teluk Persia, menurut Kpler.

    “Saya mendorong pemerintah China di Beijing untuk menghubungi mereka tentang hal itu karena mereka sangat bergantung pada Selat Hormuz untuk minyak mereka,” kata Rubio.

  • Harga Minyak Dikhawatirkan Naik Lagi, Bahlil: Berdoa Saja Supaya Stabil

    Harga Minyak Dikhawatirkan Naik Lagi, Bahlil: Berdoa Saja Supaya Stabil

    Jakarta

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia bicara terkait fluktuasi harga minyak dunia imbas memanasnya Israel-Iran dan ikut campurnya Amerika Serikat (AS) dalam konflik tersebut.

    Bahlil mengatakan bahwa pada beberapa waktu lalu harga minyak dunia mencapai level US$ 78 per barel. Namun, saat ini harga minyak dunia kembali turun ke level US$ 67 per barel.

    Ia mengatakan bahwa harga minyak dunia saat ini masih berada di bawah asumsi APBN 2025, yaitu US$ 82 per barel. Hal ini menunjukkan harga minyak masih masuk dalam perhitungan pemerintah.

    “Kemarin ketika terjadi Israel dan Iran, itu sempat khawatir kita. Beberapa menteri ekonomi di dunia, termasuk menteri energinya, kami juga berkomunikasi. Asumsi APBN kita itu kan, harga per barel-nya itu US$ 82 dolar per barel, tapi kalau di atas US$ 82 barel itu pasti akan ada perhitungan baru,” katanya dalam acara Jakarta Geopolitik Forum IX di Jakarta, Selasa (24/6/2025).

    Meski demikian, Bahlil mengatakan bahwa dinamika geopolitik dunia saat ini masih sangat dinamis, sehingga perubahan harga minyak sewaktu-waktu dapat terjadi.

    “Dinamika di Timur Tengah sampai dengan tadi saya berangkat ke sini, saya mengikuti perkembangannya dengan jaringan yang saya punya, masih apa ya, dinamis, naik turun, naik turun,” katanya.

    Dengan kondisi tersebut, Bahlil bilang, tidak ada negara manapun di dunia yang bisa membantu. Hal ini karena semua negara akan lebih memikirkan kepentingannya masing-masing.

    “Hampir semua. Nah, terkait dengan ini, kita doakan aja agar perang ini selesailah. Supaya harganya bisa stabil,” jawab Bahlil ketika ditanya langkah antisipasi pemerintah jika harga minyak dunia kembali naik.

    Sementara itu, terkait dengan antisipasi rencana Iran menutup Selat Hormuz, Bahlil mengatakan, akan rapat dengan PT Pertamina (Persero) membahas langkah menjaga pasokan energi di Indonesia tetap terjaga dalam kondisi global yang tidak menentu.

    “Saya besok juga ada rapat dengan Pertamina untuk membahas berbagai langkah-langkah taktis dalam menghadapi dinamika global, khususnya kepada ketersediaan energi kita, karena menyangkut dengan selat hormus ini harus kita hitung baik,” kata Bahlil.

    (ara/ara)

  • Begini Dampak Serius bagi Indonesia Jika Selat Hormuz Lumpuh – Page 3

    Begini Dampak Serius bagi Indonesia Jika Selat Hormuz Lumpuh – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Pengamat energi dari Universitas Indonesia, Iwa Garniwa, menilai Indonesia akan terkena imbas serius jika penutupan Selat Hormuz yang dilakukan Iran berlangsung lama.

    Sebab, hampir seluruh pasokan minyak Indonesia berasal dari impor, dan harga di pasar global akan sangat menentukan biaya energi dalam negeri.

    “Jika harga minyak dunia melonjak tajam akibat krisis di Selat Hormuz, Indonesia sebagai negara importir bersih akan menghadapi beberapa dampak, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak di dalam negeri,” kata Iwa kepada Liputan6.com, Selasa (24/6/2025).

    Penutupan Selat Hormuz bukan persoalan sepele. Jalur ini menjadi penghubung utama ekspor minyak dari negara-negara produsen utama seperti Arab Saudi, Iran, Kuwait, dan Uni Emirat Arab ke pasar internasional. Diperkirakan sekitar 20 persen dari total pasokan minyak dunia mengalir melalui selat ini setiap harinya.

    Dia menuturkan, jika kondisi ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama mulai dari beberapa minggu hingga berbulan-bulan pasar energi akan memasuki masa turbulensi.

    Alhasil, negara-negara pengimpor akan mencari pasokan dari sumber lain yang lebih mahal dan jauh, sehingga turut mendongkrak harga.

    “Hal ini akan menyebabkan penurunan pasokan minyak global, yang dapat memicu kenaikan harga minyak dunia. Dan tentunya Indonesia yang akan mendapatkan dampaknya. Potensi harga minyak dunia mencapai USD 100-130 per barel,” ujarnya.

  • Puan Imbau Negara Lain Tak Perkeruh Konflik Iran-Israel
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        24 Juni 2025

    Puan Imbau Negara Lain Tak Perkeruh Konflik Iran-Israel Nasional 24 Juni 2025

    Puan Imbau Negara Lain Tak Perkeruh Konflik Iran-Israel
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua DPR RI
    Puan Maharani
    mengimbau negara-negara lain untuk tidak memperkeruh situasi di tengah memanasnya konflik antara Iran dan Israel, yang kini turut melibatkan Amerika Serikat (AS).
    Ketegangan meningkat setelah Amerika Serikat menyerang
    fasilitas nuklir Iran
    .
    Setelahnya, Iran meluncurkan serangan balasan ke pangkalan militer AS di Qatar.
    “Sebaiknya kedua belah pihak menahan diri dan begitu juga negara-negara lain untuk mengimbau agar permasalahan yang terjadi di antara kedua negara bisa diselesaikan dengan baik dan jangan kemudian lebih memperkeruh suasana,” kata Puan, dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Selasa (24/6/2025).
    Puan mengingatkan bahwa prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif tidak dijalankan secara serampangan.
    Dia bilang, pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan sikap resmi.
    Namun, sikap yang diambil harus tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap posisi Indonesia.
    “Bahwa kita politiknya bebas aktif, nanti biar pemerintah yang menyampaikan apa sikap politik bebas aktif dari pemerintah, namun jangan sampai merugikan politik dan situasi geografis Indonesia,” kata Puan.
    Puan meminta pemerintah untuk menyiapkan mitigasi terhadap dampak langsung dari memanasnya situasi
    geopolitik global
    , termasuk potensi lonjakan harga minyak dunia akibat diblokadenya Selat Hormuz, jalur utama perdagangan minyak dan gas internasional.
    “Apa yang akan kita lakukan terkait dengan hal tersebut tentu saja ke depan ini dalam waktu dekat pemerintah bersama DPR akan segera membahas terkait dengan rancangan APBN 2026,” kata Puan.
    “Pemerintah harus segera memitigasi perkembangan ini, tentu saja terkait dengan kurs rupiah, subsidi BBM, dan hal-hal lain yang terkait dengan perkembangan situasi global,” tambah dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Perang Iran-Israel, Apakah Keterlibatan AS Bakal Picu Perang Dunia III?

    Perang Iran-Israel, Apakah Keterlibatan AS Bakal Picu Perang Dunia III?

    Jakarta

    Khalayak dunia, termasuk Indonesia, khawatir konflik Iran-Israel akan meningkat menjadi Perang Dunia III setelah Amerika Serikat menyerang tiga fasilitas nuklir Iran pada Minggu (22/06). Namun, para pengamat mengatakan Perang Dunia III belum tentu akan terjadi dan masyarakat diimbau “tidak perlu khawatir”.

    Meski AS sudah terlibat dalam konflik Iran-Israel, dosen hubungan internasional Universitas Padjajaran, Dina Sulaeman, menilai “belum ada eskalasi yang mengarah ke perang yang lebih besar”.

    Pengamat geopolitik dan hubungan internasional, Dian Wirengjurit, mengimbau warga “tidak perlu khawatir” sebab para pemimpin dunia akan melakukan “upaya diplomasi” agar konflik tidak meningkat dan memakan lebih banyak korban.

    Uni Eropa, Kerajaan Bersatu (United Kingdom/UK), Jepang, Prancis, Qatar, Arab Saudi, dan negara-negara lainnya, meminta Iran dan Israel untuk kembali ke jalur diplomasi.

    Pascaserangan AS, Iran meluncurkan serangan balasan ke Israel. Menteri luar negeri Iran juga tengah berada di Moskow untuk melakukan pembicaraan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin tentang “tantangan dan ancaman bersama”.

    Apakah serangan AS bisa memicu Perang Dunia III?

    Dua pakar geopolitik dan hubungan internasional, Dina Sulaeman dan Dian Wirengjurit, sama-sama memprediksi Perang Dunia III tidak akan pecah setelah AS menyerang Iran untuk membela Israel.

    Dian Wirengjurit, yang menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk Iran pada 2012-2016, menilai “tidak mungkin” perang dunia sampai terjadi.

    Menurut dia, negara-negara lainnya apalagi yang berada di kawasan tidak akan rela wilayahnya dijadikan arena peperangan, apalagi mereka “tidak jadi pemain”.

    Api membubung ke langit setelah serangan Israel terhadap depot minyak Shahran pada 15 Juni 2025 di Teheran, Iran. (Getty Images)

    Oleh sebab itu, dia mengimbau masyarakat untuk tidak terlalu khawatir karena “dunia pun tidak akan diam saja” jika konflik dua negara ini terus meningkat.

    “Geopolitik itu bukan kayak membalikkan tangan. Kalau di sana perang, kita terseret perang. Kalau di sana krisis, kita terseret krisis. Kita aman tenteram puluhan tahun juga krisis terus terjadi setiap waktu,” ujarnya.

    Apa indikasi konflik akan pecah menjadi Perang Dunia III?

    Perang dunia akan terjadi ketika konflik sudah melibatkan “aktor” dari banyak negara di kawasan yang berbeda, kata Dina Sulaeman yang juga menjabat sebagai direktur Indonesia Center of Middle East Studies.

    Keterlibatan AS pun tidak mengindikasikan bahwa perang ini akan berkembang menjadi perang dunia.

    Apalagi, menurut Dina, serangan yang diluncurkan AS untuk membantu Israel dalam konflik dengan Iran hanya merupakan “serangan terbatas” dan “bukan serangan besar-besaran”.

    Dina dan Dian menyebut Perang Dunia III bisa terjadi ketika AS melakukan serangan besar-besaran dan negara-negara lain seperti Rusia dan China yang juga sekutu Iran mulai terlibat langsung.

    “Kalau misalnya betul-betul serangan yang besar-besaran dan Iran juga, misalnya, menutup Selat Hormuz, itu kepentingan Rusia maupun China akan terganggu. Nah, mungkin pada saat itu juga akan ada intervensi,” kata Dina.

    Lantas, apa arti keikutsertaan AS dalam konflik Iran-Israel?

    “Amerika Serikat sendiri doktrin kebijakan luar negerinya itu adalah mengamankan Israel, jadi keamanan nasional Amerika sama dengan keamanan nasional Israel. Itulah sebabnya pemerintah Amerika Serikat sejak lama, bukan hanya Trump saja, betul-betul berusaha menekan pemerintahan-pemerintahan yang terlihat berbahaya buat Israel,” kata Dina memaparkan.

    Sebelumnya, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, berulang kali meyakinkan Presiden AS Donald Trump untuk menyerang Iran yang menurut Israel sedang mengembangkan senjata nuklir.

    Pada Minggu (22/06), Trump meluncurkan serangan ke tiga fasilitas nuklir Iran di Fordo, Natanz, dan Isfahan. Dia mengungkapkan alasannya menyerang fasilitas nuklir Iran melalui pidatonya.

    “Tujuan kami adalah untuk menghancurkan kapasitas pengayaan nuklir Iran dan menghentikan ancaman nuklir yang ditunjukkan oleh negara pendukung teror nomor satu di dunia,” kata Trump.

    Dia juga memperingatkan Iran untuk menghentikan perang dengan Israel, “Jika tidak serangan di masa depan akan jauh lebih besar dan lebih mudah”.

    Bagaimana situasi saat ini?

    Iran telah meluncurkan serangan balasan ke Israel dan Israel juga menyerang Iran.

    Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, langsung mengunjungi Moskow pada Senin (23/06), meminta Presiden Vladimir Putin agar memberikan lebih banyak bantuan dari Rusia pascaserangan AS.

    Dalam sambutannya yang disiarkan langsung di televisi, Presiden Putin mengatakan serangan AS “sama sekali tidak beralasan” dan “tidak dapat dibenarkan”.

    “Saya sangat senang Anda berada di Moskow hari ini. Ini memberi kita kesempatan untuk membahas semua topik yang sulit ini dan berpikir bersama bagaimana menemukan jalan keluar dari situasi saat ini,” Putin menambahkan.

    Awal tahun ini presiden Iran dan Rusia menandatangani “perjanjian kemitraan strategis komprehensif”. Namun, itu bukan aliansi militer dan tidak mewajibkan Rusia untuk membela Teheran.

    Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China menekankan bahwa “Teluk Persia dan perairan di sekitarnya merupakan rute perdagangan internasional yang penting”.

    Oleh sebab itu, China mendesak masyarakat internasional untuk “mengintensifkan upaya untuk mendorong de-eskalasi ketegangan”.

    Selain merapat ke Rusia, saat ini Iran juga tengah bersiap menutup Selat Hormuz, jalur perdagangan minyak paling vital di dunia sebagai langkah selanjutnya dalam konflik ini.

    Uni Eropa mendesak Iran untuk tidak memblokir Selat Hormuz. AS bahkan juga meminta China untuk membujuk Teheran agar tidak menutup rute pelayaran utama tersebut.

    Analis mengatakan bahwa bagi Iran, menutup Selat Hormuz merupakan bentuk “daya cegah”mirip dengan kepemilikan senjata nuklir.

    Artinya, pihak luar akan berpikir beberapa kali untuk bertikai dengan Iran karena Teheran mampu menutup Selat Hormuz yang kemudian akan mengganggu perekonomian.

    Bagaimana dampak konflik Iran-Israel untuk Indonesia?

    Indonesia akan merasakan dampak konflik Iran-Israel ketika Selat Hormuz benar-benar ditutup. Jika hal itu terjadi, suplai-suplai minyak dari Timur Tengah tidak bisa keluar dan masuk ke pasar internasional.

    Akibatnya, harga minyak dunia akan naik drastis, menyebabkan harga komoditas lainnya juga naik. Indonesia, sebagai negara pengimpor minyak, tentu akan merasakan dampaknya.

    Harga BBM dan komoditas lainnya juga pasti akan naik.

    Menurut Dian Wirengjurit, tidak ada hal yang bisa lakukan selain menghadapinya karena “tidak ada yang bisa menghindari” dampak ini.

    “Enggak ada yang bisa mengatasi kecuali di pusatnya sana, di Timur Tengahnya, damai, Hormuz dibuka, ya mengalir lagi,” ujar Dian.

    Yang bisa dilakukan hanya “mengetatkan ikat pinggang”.

    Di mana posisi Indonesia dalam konflik Iran-Israel?

    Indonesia belum menyampaikan sikap resmi terhadap konflik Iran-Israel. Namun, Presiden Prabowo Subianto sudah menyampaikan pendapatnya beberapa hari lalu.

    Prabowo menilai pengaruh Rusia lebih besar di kawasan itu, khususnya dengan pemerintah Iran. Dia menegaskan semua negara ingin mencari solusi dalam dan menurunkan suhu konflik yang semakin memanas.

    “Kita ingin semua turunkan suhu. Kita ingin cari penyelesaian jalan keluar yang damai untuk semua pihak,” kata Prabowo, dilansir dari Detik.com.

    Menurut para ahli, Indonesia memang tidak punya “pengaruh” yang cukup untuk berperan sebagai mediator perdamaian dalam konflik ini, tidak seperti Rusia dan China.

    Bahkan, Dian menyebut modal Indonesia sebagai negara Islam terbesar pun “sudah tidak laku”.

    “Kita enggak punya leverage [pengaruh], benahi dalam negeri kita dulu, baru kita bisa dianggap,” kata Dian.

    “Coba lihat China, faksi-faksi Palestina pun diundang ke Beijing datang, padahal dia bukan negara Islam, malah sosial komunis. Yang damaikan Iran sama Arab Saudi siapa? China. Kita yang katanya non-blok, OKI [Organisasi Kerja sama Islam] segala macam, mana? Enggak didengar,” dia menambahkan.

    Meski begitu, bukan berarti tidak ada yang bisa dilakukan oleh Indonesia.

    Menurut Dina Sulaeman keikutsertaan Indonesia dalam proses-proses perdamaian juga ada manfaatnyasemakin banyak suara yang bergabung dalam proses perdamaian tentu lebih baik.

    Dina juga bilang, Indonesia bisa melakukan tekanan ekonomi untuk menyelesaikan konflik Iran-Israel ini, yang disebut Dina akarnya berada di konflik Palestina-Israel.

    “Di level negara, bisa melakukan penundaan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang memang terbukti memberikan suplai logistik ke militer Israel, Cara ini pernah berhasil ketika dulu komunitas internasional berusaha melemahkan Rezim Apartheid Afrika Selatan Di tahun 80an,” ujar Dina.

    Namun, memberikan tekanan ekonomi itu juga “membutuhkan keberanian”, Dina mengingatkan. Sebab, akan ada dampak yang harus ditanggung.

    Meskipun Indonesia memiliki doktrin kebijakan luar negeri bebas aktif dan non-blok, Undang-Undang Dasar 1945 tetap mengamanatkan Indonesia menjaga perdamaian dunia dan melawan penjajahan.

    Jadi, menurut Dina, “kita harus tetap berpihak dalam membantu pihak-pihak yang memang sedang mengalami penjajahan”.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Perang Menggila, Warga RI Diminta Untuk Hemat BBM

    Perang Menggila, Warga RI Diminta Untuk Hemat BBM

    Jakarta, CNBC Indonesia – Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengimbau agar masyarakat berhemat dalam mengonsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM). Pasalnya, dunia kini tengah mengalami gejolak, khususnya memanasnya konflik di Timur Tengah, perang antara Israel dan Iran, yang juga melibatkan Amerika Serikat.

    Perang di Timur Tengah ini telah berdampak pada lonjakan harga minyak mentah dunia. Harga minyak mentah dunia bahkan diprediksi akan naik hingga US$ 100 per barel bila Selat Hormuz, yang merupakan perlintasan 20% pasokan minyak mentah dan BBM dunia, ditutup oleh Iran.

    Indonesia sebagai negara net importir minyak akan terdampak dengan kondisi ini. Kondisi ini diperparah dengan kondisi cadangan BBM nasional yang “hanya” cukup untuk kurang dari 30 hari operasional.

    Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman membeberkan bahwa saat ini Indonesia memiliki cadangan operasional BBM untuk jangka waktu 19-29 hari mendatang.

    “Alhamdulillah per 16 Juni 2025, stok Pertalite aman, sekitar 21 hari, Pertamax sekitar 29 hari, dan Solar sekitar 19 hari,” ungkap Saleh kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (24/6/2025).

    Kendati dinilai masih dalam status aman, nampaknya masyarakat Indonesia masih harus berhemat dalam mengonsumsi BBM. Hal ini dikhawatirkan karena potensi terjadinya gangguan pasokan minyak dan BBM akibat gangguan atau bahkan ditutupnya Selat Hormuz.

    Bahkan, terdapat pula potensi kenaikan harga BBM dan LPG di dalam negeri.

    Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna memperingatkan potensi pembengkakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terhadap subsidi BBM dan LPG di Indonesia.

    “Resiko peningkatan subsidi semakin membengkak dan lagi-lagi mengingatkan pentingnya Indonesia bergeser menuju kendaraan listrik. Biaya yang membengkak tersebut akan membebani kantong masyarakat ataupun APBN,” katanya kepada CNBC Indonesia, Senin (23/6/2025).

    Dengan begitu, Putra menekankan pentingnya peran pemerintah untuk segera mencari jalan keluar terhadap potensi kenaikan harga BBM dan LPG. Salah satunya dengan program elektrifikasi yang dinilai bisa meringankan beban APBN.

    “Hal seperti ini terus berulang dan memerlukan cara pandang yang lebih jauh – terus berusaha mengganti peran BBM dan LPG dengan elektrifikasi kendaraan dan dapur serta membuat cadangan BBM yang lebih kuat,” tambahnya.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor minyak dan gas bumi (migas) sebesar US$ 36,27 miliar pada 2024, naik dari US$ 35,83 miliar pada 2023.

    Impor migas sepanjang 2024 tersebut terdiri dari impor minyak mentah yang tercatat mencapai US$ 10,35 miliar, turun tipis dari US$ 11,14 miliar pada 2023. Kemudian, impor produk minyak seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) tercatat mencapai US$ 25,92 miliar, naik dari US$ 24,68 miliar pada 2023.

    Asal tahu saja, harga minyak dunia melonjak tajam pada perdagangan Senin pagi (23/6/2025) setelah Iran secara resmi menutup Selat Hormuz, menyusul serangan udara Amerika Serikat (AS) terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran, Fordow, Natanz, dan Isfahan.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Waswas Industri Manufaktur RI Kala Konflik Iran Vs Israel Memanas

    Waswas Industri Manufaktur RI Kala Konflik Iran Vs Israel Memanas

    Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri manufaktur Tanah Air turut mewaspadai memanasnya konflik di Timur Tengah. Eskalasi tensi geopolitik ini dikhawatirkan dapat berdampak pada gangguan rantai pasok dan meningkatnya biaya impor bahan baku.

    Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) mulai waswas dengan tren kenaikan harga minyak dunia imbas meningkatnya ketegangan konflik Iran dan Israel, serta keterlibatan Amerika Serikat (AS). Potensi lonjakan harga minyak bakal membuat harga bahan baku, seperti nafta turut melambung.

    Apalagi, pemerintah Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz, jalur vital perdagangan minyak dunia.

    “Kalau itu [harga minyak] ke angka US$80–US$100 dengan cepat, masuk ke US$80 saja itu artinya nanti semua harga petrokimia akan berubah,” ujar Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono kepada Bisnis, Senin (23/6/2025).

    Goldman Sachs memperkirakan harga minyak mentah jenis Brent dapat melonjak sementara hingga US$110 per barel apabila arus minyak melalui Selat Hormuz—jalur vital pengiriman sekitar 20% minyak dunia—terpangkas setengahnya selama 1 bulan.

    Sejak konflik Iran-Israel yang dimulai pada 13 Juni 2025, harga minyak jenis Brent telah naik sekitar 13%, sedangkan minyak West Texas Intermediate (WTI) naik sekitar 10%. Adapun, pada perdagangan Senin (23/6/2025), harga minyak Brent berada di level US$71,48 per barel dan WTI di level US$68,51 per barel.

    Menurut Fajar, jika terjadi penutupan Selat Hormuz, potensi lonjakan harga minyak hingga US$100 per barel menjadi ancaman nyata. Hal ini juga memengaruhi harga nafta di pasar.

    Kenaikan harga minyak dapat berdampak ke harga nafta yang diproyeksi naik US$50 per ton dan polimer US$10-20 per ton. Nafta, sebagai bahan baku utama industri, sangat bergantung pada impor dari Timur Tengah.

    “Kalau nafta itu mungkin 80% lah dari sana. Meski polimer hanya 30% bergantung pada pasokan luar, gangguan suplai tetap bisa memicu kelangkaan,” ujarnya.

    Kenaikan harga tersebut dapat berdampak ke ongkos produksi barang turunan dari petrokimia, seperti plastik, kemasan, hingga tekstil.

    Dalam hal ini, pengusaha membidik pasar tradisional untuk menjaga serapan bahan baku. Menurut Fajar, pasar tradisional kemasan plastik memiliki potensi serapan 41%

    Di sisi lain, Inaplas tetap mewaspadai ancaman serbuan produk impor murah dari China yang melibas pasar domestik. Hal ini telah membuat sejumlah pabrikan gulung tikar.

    “Ini industri PET [polyethylene terephthalate] sudah ada yang tutup satu. Ini sudah mulai mengkhawatirkan juga,” tuturnya.

    Pelaku industri juga meminta pemerintah untuk lebih tegas mengatur lalu lintas impor. Apalagi, utilitas sejumlah industri nasional saat ini yang terus menurun.

    Kekhawatiran juga dirasakan oleh Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur mengatakan, eskalasi konflik Iran-Israel berpotensi mengganggu jalur pelayaran internasional di Timur Tengah, Asia Tengah, hingga sebagian Asia Timur. 

    “Ini berdampak pada rantai pasok global, termasuk pengadaan bahan baku dan distribusi produk furnitur dan kerajinan Indonesia ke luar negeri,” kata Sobur.

    Apalagi, Sobur menuturkan bahwa bahan baku penting untuk industri furnitur masih berasal dari luar negeri, seperti lem khusus, bahan finishing, atau logam komponen. 

    Dengan adanya ketegangan geopolitik ini dipastikan mengganggu pengiriman barang karena perubahan jalur pelayaran dan kenaikan biaya asuransi logistik. 

    “Untuk itu, pelaku industri sudah mulai mencari alternatif bahan lokal dan regional [Asean] guna mengurangi ketergantungan dan menekan biaya produksi,” ujarnya. 

    Di sisi lain, dia menyoroti kenaikan biaya logistik dan risiko gangguan pasok. Menurut dia, biaya pengapalan global saat ini sudah menunjukkan kecenderungan naik dan apabila konflik berlarut, maka akan ada lonjakan lebih lanjut. 

    Dalam hal ini, dia memperkirakan akan terjadi peningkatan biaya logistik dan pengadaan bahan baku hingga 15%–20% jika konflik ini meluas dan berdampak pada distribusi kontainer global.

    Tak hanya itu, konflik panas Iran dan Israel ini juga dapat memicu fluktuasi biaya produksi karena harga energi. Terlebih, harga minyak mentah dunia sangat sensitif terhadap konflik Timur Tengah. 

    “Jika harga energi naik, maka akan ada efek domino terhadap harga resin, plastik, logistik, dan bahan pendukung lain, yang akan mendorong naiknya biaya produksi secara menyeluruh dalam industri mebel dan kerajinan nasional,” jelasnya. 

    Untuk itu, pengusaha anggota HIMKI sedang mempersiapkan dua langkah utama, pertama yaitu diversifikasi pasar ekspor, termasuk mengincar negara-negara non-tradisional di Afrika, Asia Selatan, dan Eropa Timur.

    Kedua, re-orientasi pasar domestik, karena bila ekspor melambat akibat ketegangan atau tarif tinggi, pasar dalam negeri akan menjadi buffer penting untuk menjaga keberlangsungan produksi.

    Diversifikasi Impor Bahan Baku

    Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira mengatakan, konflik geopolitik Timur Tengah bukan sekadar ancaman, tetapi peringatan keras untuk mempercepat transformasi industri nasional agar lebih tangguh dan mandiri. 

    “Ya, konflik geopolitik di Timur Tengah—khususnya ancaman atas Selat Hormuz dan Laut Merah—telah mengganggu stabilitas rantai pasok global, termasuk ke Indonesia. Hipmi melihat ini sebagai sinyal kuat untuk mempercepat resiliency supply chain nasional,” kata Anggawira kepada Bisnis, Senin (23/6/2025). 

    Bahan baku komoditas maupun energi dinilai cukup bergantung pada jalur pelayaran Timur Tengah yang membuat industri nasional sangat rentan terhadap eskalasi geopolitik.

    Menurut Anggawira, impor bahan baku berpotensi terganggu, baik dari sisi keterlambatan hingga harga yang naik tajam. Adapun, industri pengguna gas, logam, dan petrokimia menjadi yang paling terdampak. 

    “Sudah terlihat adanya peningkatan biaya asuransi pelayaran dan ketidakpastian waktu pengiriman,” jelasnya. 

    Bahkan, dia juga mencatat bahwa UMKM industri makanan dan tekstil mulai mengalami lonjakan harga bahan baku. Hal ini menekan margin dan meningkatkan risiko inflasi biaya produksi.

    “Kami mendorong diversifikasi sumber bahan baku serta pembinaan industri hulu nasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap barang setengah jadi dari luar negeri. Saat ini adalah momentum tepat untuk memperkuat ekosistem substitusi impor berbasis produksi lokal,” jelasnya. 

    Di sisi lain, kenaikan harga minyak dunia yang dipicu situasi geopolitik saat ini juga berdampak domino terhadap harga BBM industri, logistik, dan tarif energi. Pelaku industri pengguna energi intensif seperti pupuk, baja, dan keramik mulai tertekan. 

    “Hipmi mendorong pemerintah untuk menjaga kestabilan harga energi domestik, termasuk memastikan implementasi harga gas industri yang kompetitif [HGBT] dan mempercepat pengembangan energi domestik berbasis LNG dan gas pipa,” tuturnya. 

    Lebih lanjut, pengusaha saat ini melakukan strategi adaptif seperti meningkatkan buffer stock bahan baku, merancang ulang kontrak pembelian secara fleksibel, menyusun strategi lindung nilai (hedging) atas nilai tukar, menyesuaikan siklus produksi, dan mempercepat ekspansi pasar domestik dan Asean.

    Namun, pihaknya juga meminta pemerintah untuk turun tangan mempercepat substitusi impor dan penguatan industri hulu nasional, khususnya bahan baku industri, menjaga stabilisasi harga energi dan logistik melalui instrumen fiskal dan BUMN strategis. 

    Kemudian, reformasi logistik pelabuhan dan kepabeanan untuk mempercepat arus bahan baku, penguatan diplomasi ekonomi untuk membuka jalur pasok dan pasar baru, dan mendorong konsolidasi industri energi dan mineral nasional, agar kita lebih siap menghadapi risiko geopolitik global. 

  • Rupiah melemah seiring eskalasi konflik di Timur Tengah

    Rupiah melemah seiring eskalasi konflik di Timur Tengah

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Rupiah melemah seiring eskalasi konflik di Timur Tengah
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 23 Juni 2025 – 18:34 WIB

    Elshinta.com – Pengamat mata uang sekaligus Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi menganggap pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah pada Senin, dipengaruhi eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah.

    Kondisi ini dinilai mengancam stabilitas pasokan minyak global dan inflasi yang akan meningkat.

    “Pasar terus merespons negatif kondisi global yang terus meningkat akibat eskalasi di Timur Tengah terus memanas setelah AS (Amerika Serikat) ikut bersama Israel melakukan penyerangan terhadap fasilitas nuklir Iran, yang membuat harga minyak mentah melambung tinggi,” ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.

    Saat ini, Indonesia diperkirakan mengimpor minyak mentah sebanyak 1 juta barel per hari untuk memenuhi kebutuhan konsumsi bahan bakar minyak (BBM).

    Ancaman terbesar dari konflik ini terhadap ekonomi Tanah Air berasal dari potensi lonjakan harga minyak dunia, mengingat Indonesia bukan lagi eksportir minyak bersih, sehingga setiap kenaikan harga minyak mentah secara langsung berdampak pada biaya impor dan tekanan terhadap neraca perdagangan.

    Sebagaimana diungkapkan peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, ancaman terbesar dari konflik ini terhadap ekonomi Indonesia berasal dari potensi lonjakan harga minyak dunia.

    Indonesia disebut bukan lagi eksportir minyak bersih, sehingga setiap kenaikan harga minyak mentah secara langsung berdampak pada biaya impor dan tekanan terhadap neraca perdagangan.

    Dampak lanjutan yang paling cepat terasa adalah pada nilai tukar (kurs) rupiah.

    Ketika harga minyak naik dan ketidakpastian global meningkat, lanjutnya, investor cenderung menarik dana dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk dialihkan ke berbagai aset safe haven seperti dolar Amerika Serikat (AS) atau emas. Hal ini berakibat pada pelemahan kurs rupiah.

    Pelemahan rupiah kemudian dianggap akan membawa implikasi fiskal yang cukup serius, terutama terhadap beban subsidi pemerintah.

    Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari Senin di Jakarta melemah sebesar 96 poin atau 0,58 persen menjadi Rp16.492 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.397 per dolar AS.

    Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada hari ini juga melemah ke level Rp16.484 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.399 per dolar AS.

    Sumber : Antara

  • Ekonomi AS Diprediksi Terguncang Imbas Ikut Campur Perang Israel Vs Iran

    Ekonomi AS Diprediksi Terguncang Imbas Ikut Campur Perang Israel Vs Iran

    Jakarta

    Dampak perang Israel Vs Iran akan dirasakan juga oleh Amerika Serikat (AS). Apalagi, setelah AS mengebom fasilitas nuklir di Iran

    Gubernur Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell mengatakan kenaikan harga minyak imbas konflik timur tengah akan terjadi.

    Meski begitu, pihaknya kini terus melakukan pemantauan terkait dampak ekonomi yang akan ditimbulkan dari hal tersebut.

    “Apa yang biasanya terjadi ketika terjadi gejolak di Timur Tengah adalah lonjakan harga energi, tetapi biasanya akan kembali turun,” ujarnya dikutip dari CNN, Senin (23/6/2025).

    “Hal-hal seperti itu umumnya tidak berdampak lama terhadap inflasi, meskipun tentu saja pada tahun 1970-an dampaknya sangat besar karena adanya serangkaian guncangan besar,” tambah Powell.

    Powel mengatakan kondisi ekonomi AS saat ini lebih kuat dan tidak terlalu bergantung pada minyak luar negeri, berbeda dengan era 1970-an ketika krisis minyak sempat memicu inflasi besar.

    “Ekonomi AS saat ini jauh lebih tidak bergantung pada minyak asing dibandingkan tahun 1970-an,” kata Powell

    Berbeda dengan Powel, para ekonom tidak sepenuhnya yakin konflik ini tidak membawa risiko besar bagi ekonomi AS. Ekonom JPMorgan yang menyatakan, ekonomi AS dan global diperkirakan akan menghadapi beberapa guncangan besar tahun ini imbas pecahnya perang di Timur Tengah.

    Kepala Ekonom Internasional di ING James Knightley, mengatakan konflik Iran-Israel akan menyebabkan lonjakan harga minyak yang dapat dirasakan langsung oleh konsumen AS jika Selat Hormuz ditutup.

    “Salah satu dampak paling langsung bagi konsumen AS akan terjadi jika Selat Hormuz ditutup, yang dapat menyebabkan lonjakan tajam biaya energi karena terganggunya aliran minyak dan gas yang dikirim lewat laut,” terang James.

    Kepala Strategi Ekonomi Morgan Stanley Ellen Zentner meramalkan ekonomi AS akan melambat akibat sentimen tarif impor yang tinggi dan kenaikan harga minyak dunia akibat memanasnya perang Timur Tengah.

    “Dapat memberikan tekanan ke bawah yang kuat pada kemampuan rumah tangga untuk berbelanja, dan itu dapat memperlambat PDB lebih jauh,” ujar Ellen dikutip dari Reuters, Senin (23/6/2025).

    Lembaga Informasi Energi AS (EIA) baru-baru ini menyebut Selat Hormuz yang menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman merupakan salah satu titik pengiriman minyak paling penting di dunia.

    Tahun lalu, jumlah minyak yang melewati jalur ini rata-rata mencapai 20 juta barel per hari, atau sekitar 20% dari konsumsi global cairan minyak bumi.

    “Pilihan alternatif untuk mengalirkan minyak jika selat ini ditutup sangat terbatas,” ungkap EIA dalam sebuah artikel online hari Senin.

    Di sisi lain, meski kenaikan harga akibat tarif impor belum terlihat jelas dalam laporan inflasi resmi AS, para ekonom percaya bahwa itu hanya soal waktu.

    Setelah ekonomi global mulai pulih dari pandemi, inflasi pun melonjak di banyak negara. Kondisi ini semakin diperburuk oleh perang Rusia-Ukraina yang membuat harga gas melonjak dan inflasi naik lebih tinggi lagi.

    Situasi serupa bisa saja terulang jika harga minyak dan bensin kembali naik akibat konflik Israel-Iran.

    “Dengan harga barang-barang yang sudah mulai naik karena tarif impor, lonjakan harga bensin akan makin menekan pengeluaran rumah tangga. Ini bisa membuat ekonomi melambat lebih dalam,” kata Knightley

    (hns/hns)