Topik: Harga minyak dunia

  • Investor Khawatir Kebijakan Trump, Harga Emas Melonjak ke Level Tertinggi, Dolar Melemah

    Investor Khawatir Kebijakan Trump, Harga Emas Melonjak ke Level Tertinggi, Dolar Melemah

    FAJAR.CO.ID — Investor mengkhawatirkan kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dapat memicu perang dagang. Minimnya kepastian rencana kebijakan Trump memicu pelemahan Dolar dan harga emas melonjak mendekati level tertinggi dalam tiga bulan terakhir.

    Kenaikan harga emas terlihat dari perdagangan emas pada Rabu (22/2/2025). Harga emas spot naik 0,4 persen menjadi 2.755,2 Dolar AS per ons.

    Pada perdagangan emas di hari tersebut, emas berjangka Amerika Serikat ditutup menguat 0,4 persen menjadi 2.770,90 Dolar AS per ons.

    Di sisi lain, nilai tukar Dolar pun anjlok. Indeks Dolar (Indeks DXY) pada Rabu tersungkur ke level terendah lebih dari tiga minggu pada awal sesi. Pelemahan nilai Dolar ini membuat emas batangan yang dihargakan dalam greenback lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.

    Senior Portfolio Manager Sprott Asset Management menilai harga emas akan bergerak cepat saat situasi di pasar tidak stabil.

    Dia menilai ada ketidakpastian dengan tarif yang diusulkan dan sejumlah hal lainnya. Dampaknya, perdagangan emas biasanya berkinerja baik ketika ada ketidakpastian yang besar atau bahkan moderat di pasar.

    Ketidakpastian ekonomi dunia juga terjadi pada bursa perdagangan komoditas minyak dunia. Harga minyak dunia mencapai level terendah dalam sepekan pada Rabu 22 Januari 2025. Anjloknya harga minyak dunia dipengaruhi usulan tarif baru dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

    Harga minyak mentah Brent turun 29 sen atau 0,4 persen menjadi 79,00 Dolar AS per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) turun 39 sen atau 0,5 persen menjadi 75,44 Dolar AS per barel.

  • Menjaga Kredibilitas Bank Sentral

    Menjaga Kredibilitas Bank Sentral

    loading…

    Adhitya Wardhono, PhD. Foto/Istimewa

    Adhitya Wardhono, PhD

    Dosen dan peneliti ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Jember. Koordinator Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy” (KeRis Benefitly) – Universitas Jember.

    WACANA kredibilitas bank sentral selalu diarahkan pada aras pemikiran kokohnya konstruksi menjaga stabilitas ekonomi sebuah negara. Sederhananya, ekspektasi masyarakat terhadap kebijakan moneter bisa memengaruhi dinamika ekonomi, terutama ketika suku bunga mendekati batas bawah efektif (effective lower bound/ELB). Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap bank sentral, ekspektasi inflasi bisa menjadi tidak terjangkar. Maka ikutannya adalah menciptakan risiko spiral deflasi atau inflasi yang tak terkendali. Dalam konteks Indonesia, pentingnya kredibilitas Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter sangat relevan, mengingat tantangan ekonomi terus berkembang, baik di level domestik maupun global.

    Situasi ekonomi yang tidak menentu telah Indonesia hadapi, seperti periode taper tantrum pada tahun 2013 lalu. Masa itu, kecenderungan fenomena pelemahan nilai tukar rupiah memicu kenaikan inflasi yang relatif signifikan. BI merespons dengan menaikkan suku bunga acuan secara agresif untuk mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar. Langkah ini menunjukkan pentingnya kebijakan moneter tegas dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan bank sentral. Namun, tantangan tidak berhenti di situ. Seiring berjalannya waktu, tantangan baru muncul, terutama ketika pandemi COVID-19 melanda. BI menurunkan suku bunga acuan hingga ke level terendah dalam sejarah, yaitu 3,5%, untuk mendorong pemulihan ekonomi. Langkah ini mendekati batas bawah efektif, yang berarti bahwa ruang untuk manuver kebijakan moneter konvensional menjadi semakin terbatas.

    Dalam kondisi seperti ini, kredibilitas bank sentral menjadi semakin penting. Ketika ekspektasi inflasi tetap terjangkar, kebijakan moneter yang tidak konvensional, seperti quantitative easing dan forward guidance, bisa menjadi alat yang efektif. Namun, jika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan bank sentral untuk mencapai target inflasi, langkah-langkah tersebut bisa kehilangan efektivitasnya. Dalam kasus Indonesia, BI telah melakukan berbagai upaya untuk menjaga ekspektasi inflasi tetap terkendali, seperti melalui publikasi laporan ekonomi dan komunikasi kebijakan yang transparan. Namun, efektivitas upaya ini sangat bergantung pada seberapa cermat dan taktis BI bisa membangun persepsi publik bahwa langkah-langkahnya tepat dan akan berhasil.

    Ekspektasi inflasi yang terjangkar adalah kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi, terutama di tengah ketidakpastian global. Tantangan ini semakin relevan mengingat tekanan inflasi yang sering kali bersumber dari luar negeri, seperti kenaikan harga minyak dunia atau gangguan pada rantai pasok global. Ketika tekanan eksternal seperti ini muncul, masyarakat cenderung lebih sensitif terhadap langkah-langkah kebijakan yang diambil oleh BI. Jika kebijakan tersebut tidak diiringi dengan komunikasi yang efektif, risiko ekspektasi inflasi menjadi tidak terjangkar akan meningkat, yang pada akhirnya bisa memperburuk kondisi ekonomi.

    Keberhasilan BI dalam menjaga kredibilitasnya juga tercermin dari bagaimana ia menangani dinamika nilai tukar rupiah. Indonesia sering kali menghadapi volatilitas nilai tukar yang tinggi. Beberapa tahun terakhir, BI telah berhasil menjaga stabilitas rupiah melalui kombinasi intervensi pasar, pengelolaan cadangan devisa, dan kebijakan suku bunga. Namun, stabilitas nilai tukar bergantung pada langkah teknis dan persepsi pasar terhadap kemampuan BI mengelola tekanan eksternal. Jika ekspektasi terhadap stabilitas rupiah terjaga, volatilitas pasar bisa diminimalkan, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi investasi dan pertumbuhan ekonomi.

    Namun, tantangan yang dihadapi BI tidaklah sederhana. Ketika dunia menghadapi krisis global seperti pandemi COVID-19, tantangan kredibilitas menjadi lebih kompleks. Penurunan suku bunga secara drastis dan kebijakan tidak konvensional sering menimbulkan kekhawatiran, seperti risiko inflasi di masa depan atau sulitnya bank sentral menarik kembali likuiditas yang telah disuntikkan ke perekonomian.

    Dalam konteks Indonesia, kebijakan moneter longgar selama pandemi telah membantu mendorong pemulihan ekonomi, tetapi juga menciptakan tantangan baru terkait stabilitas harga di masa depan. Oleh karena itu, langkah-langkah komunikasi kebijakan yang efektif menjadi sangat penting untuk mengelola ekspektasi masyarakat dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

  • Harga Minyak Dunia Melesat Selama Sepekan Imbas Sanksi AS ke Rusia – Page 3

    Harga Minyak Dunia Melesat Selama Sepekan Imbas Sanksi AS ke Rusia – Page 3

    Sebelumnya, harga minyak turun pada Kamis, 16 Januari 2025. Koreksi harga minyak terjadi seiring milisi Houthi Yaman akan hentikan serangan terhadap kapal-kapal di Laut Merah.

    Selain itu, investor juga mencermati data penjualan eceran Amerika Serikat (AS) yang kuat. Demikian mengutip dari Yahoo Finance, Jumat (17/1/2025).

    Harga minyak Brent berjangka ditutup melemah 74 sen atau 0,9 persen ke posisi USD 81,29 per barel, setelah naik 2,6 persen pada sesi sebelumnya ke harga tertinggi sejak 26 Juli.

    Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) merosot USD 1,36 atau 1,7 persen menjadi USD 78,68 per barel, usai naik 3,3 persen pada Rabu ke level tertinggi sejak 19 Juli. Harga minyak mentah AS turun lebih dari USD 2 pada beberapa waktu selama sesi tersebut.

    Sementara itu, pejabat keamanan maritim memperkirakan milisi Houthi akan mengumumkan serangannya terhadap kapal-kapal di Laut Merah. Hal ini setelah kesepakatan gencatan senjata dalam perang di Gaza antara Israel dan kelompok militant Palestina Hamas.

    Serangan tersebut telah menganggu pengiriman global, dan memaksa perusahaan untuk melakukan perjalanan yang lebih jauh dan lebih mahal di sekitar Afrika Selatan selama lebih dari setahun.

    “Perkembangan Houthi dan gencatan senjata di Gaza membantu kawasan tersebut tetap tenang, mengurangi sebagian premi keamanan dari harga minyak,” ujar Partner Again Capital, John Kilduff.

    “Ini semua tentang aliran minyak,” Kilduff menambahkan.

    Namun, investor tetap berhati-hati karena pemimpin Houthi mengatakan kelompoknya akan memantau penerapan kesepakatan gencatan senjata dan melanjutkan serangannya terhadap kapal atau Israel jika kesepakatan itu dilanggar.

    “Gencatan senjata di Jalur Gaza akan dimulai pada Minggu sesuai rencana, meskipun negosiator perlu menyelesaikan “masalah yang belum terselesaikan,” ujar Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken.

  • Harga Minyak Dunia Melesat Selama Sepekan Imbas Sanksi AS ke Rusia – Page 3

    Akhirnya Harga Minyak Tembus USD 80, Ini Penyebabnya – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Harga minyak memperpanjang kenaikan untuk sesi ketiga pada perdagangan hari Senin, dengan minyak mentah Brent naik di atas USD 80 per barel ke level tertinggi dalam lebih dari empat bulan. Kenaikan harga minyak dunia ini didorong oleh sanksi Amerika Serikat (AS) yang lebih luas terhadap minyak Rusia dan dampak yang diharapkan terhadap ekspor ke pembeli utama India dan China.

    Mengutip CNBC, Selasa (14/1/2025), harga minyak mentah Brent berjangka naik USD 1,42 atau 1,78% menjadi USD 81,18 per barel pada pukul 1:32 siang ET. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik USD 2,52 atau 3,29% menjadi USD 79,09 per barel.

    Harga minyak Brent dan WTI telah naik sekitar 6% sejak 8 Januari, melonjak pada hari Jumat setelah Departemen Keuangan AS memberlakukan sanksi yang lebih luas terhadap minyak Rusia.

    Sanksi baru tersebut mencakup produsen Gazprom Neft dan Surgutneftegaz, serta 183 kapal yang telah mengirimkan minyak Rusia, yang menargetkan pendapatan yang telah digunakan Moskow untuk mendanai perangnya dengan Ukraina.

    Para pedagang dan analis melihat ekspor minyak Rusia akan sangat terdampak oleh sanksi baru tersebut, yang mendorong Tiongkok dan India untuk mengambil lebih banyak minyak mentah dari Timur Tengah, Afrika, dan Amerika, yang akan mendongkrak harga dan biaya pengiriman.

    “Ada kekhawatiran nyata di pasar tentang gangguan pasokan. Skenario terburuk untuk minyak Rusia tampaknya merupakan skenario yang realistis,” kata analis PVM Tamas Varga.

    “Namun, tidak jelas apa yang akan terjadi saat Donald Trump menjabat Senin depan.” tambah dia.

    Sanksi tersebut mencakup periode penghentian hingga 12 Maret, jadi mungkin belum ada gangguan besar.

     

  • Harga Minyak Dunia Melonjak hingga Capai Level Tertinggi Akibat Sanksi Baru terhadap Rusia

    Harga Minyak Dunia Melonjak hingga Capai Level Tertinggi Akibat Sanksi Baru terhadap Rusia

    Jakarta, Beritasatu.com – Harga minyak dunia melonjak pada perdagangan, Senin (13/1/2025), mencapai level tertinggi dalam empat bulan terakhir. Peningkatan ini disebabkan oleh sanksi terbaru Amerika Serikat (AS) terhadap minyak Rusia, yang memaksa pembeli di India dan China mencari alternatif pemasok.

    Mengutip Reuters, Selasa (14/1/2025), harga minyak Brent meningkat sebesar US$ 1,25 atau 1,6% menjadi US$ 81,01 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) naik US$ 2,25 (2,9%) menjadi US$ 78,82 per barel.

    Kenaikan ini membawa Brent mencatatkan level penutupan tertinggi sejak 26 Agustus 2024, sedangkan WTI mencapai puncak tertinggi sejak 12 Agustus 2024. Keduanya juga tetap dalam kategori overbought selama dua hari berturut-turut.

    Selain itu, lonjakan lebih dari 6% dalam tiga sesi perdagangan terakhir membuat premi kontrak bulan depan terhadap kontrak berjangka berikutnya, yang dikenal sebagai time spreads dalam sektor energi, hingga harga minyak dunia mencapai level tertinggi dalam beberapa bulan terakhir.

    Minat pasar terhadap perdagangan energi juga meningkat tajam. Volume perdagangan Brent di Intercontinental Exchange pada 10 Januari mencatatkan rekor tertinggi sejak Maret 2020. Di sisi lain, volume perdagangan berjangka WTI di New York Mercantile Exchange mencatatkan lonjakan signifikan sejak Maret 2022.

    Perusahaan penyulingan minyak di India dan China kini berlomba mencari pasokan alternatif sebagai respons terhadap sanksi AS terhadap produsen dan pengangkut minyak Rusia. Kebijakan tersebut bertujuan menekan pendapatan Rusia, eksportir minyak terbesar kedua di dunia.

    “Kekhawatiran terhadap potensi gangguan pasokan semakin nyata. Skenario terburuk bagi minyak Rusia tampaknya kian mendekati kenyataan,” ujar analis minyak PVM Tamas Varga.

    Namun, ia juga menekankan adanya ketidakpastian terkait dampak lanjutan setelah Donald Trump resmi dilantik pekan depan.

    Goldman Sachs memproyeksikan bahwa kapal-kapal yang menjadi target sanksi baru mengangkut sekitar 1,7 juta barel minyak per hari pada 2024 atau setara dengan 25% dari total ekspor minyak Rusia. Bank tersebut juga semakin optimistis bahwa harga Brent akan lebih cenderung berada di atas kisaran US$ 70-85.

    Saat ini, terdapat setidaknya 65 kapal tanker minyak yang tertahan di berbagai lokasi, termasuk di lepas pantai Rusia dan China, sejak Amerika Serikat mengumumkan sanksi baru. Kapal-kapal ini sebelumnya digunakan untuk mengirimkan minyak ke India dan China setelah sanksi Barat sebelumnya serta pembatasan harga oleh negara-negara G7 pada 2022.

    Situasi ini mendorong perdagangan minyak Rusia berpindah dari pasar Eropa ke Asia. Beberapa kapal tersebut juga membawa minyak dari Iran, yang berada di bawah sanksi serupa.

    Saat harga emas dunia anjlok akibat sanksi AS ke Rusia, enam negara Uni Eropa telah mendesak Komisi Eropa untuk menurunkan batas harga minyak Rusia yang ditetapkan negara-negara G7. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi pendapatan Rusia untuk membiayai konflik tanpa memicu gangguan besar di pasar.

  • Harga Minyak Dunia Melonjak Tembus 80 Dolar AS per Barel, Ini Pemicunya – Halaman all

    Harga Minyak Dunia Melonjak Tembus 80 Dolar AS per Barel, Ini Pemicunya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Harga minyak dunia di perdagangan pasar global dilaporkan naik lebih dari 3 persen, menuju  ke level tertinggi dalam tiga bulan usai Amerika Serikat (AS) memperketat sanksi ke Rusia.

    Mengutip dari Reuters, harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak pengiriman Maret 2025 ditutup menguat 2,84 dolar AS atau 3,7 persen ke level 79,76 dolar AS per barel, sabtu (11/1/2024).

    Lonjakan serupa juga terjadi pada jenis minyak Brent yang melesat 2,31 dolar AS atau naik 3 persen hingga dibanderol jadi 80 dolar AS per barel untuk pertama kalinya sejak 7 Oktober.

    Kedua kontrak ini melesat ke sesi tertingginya setelah pedagang di Eropa dan Asia mengedarkan dokumen yang tidak diverifikasi yang merinci sanksi AS terhadap Rusia.

    Sumber-sumber dalam perdagangan minyak Rusia mengatakan bahwa sanksi tersebut akan menyebabkan gangguan parah pada ekspor minyak Rusia ke pembeli Asia, terutama India dan China.

    Analis UBS Giovanni Staunovo menyebut sanksi terbaru dari AS dimaksudkan untuk memukul volume ekspor minyak Rusia dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan damai di Ukraina.

    Adapun pihak-pihak yang terkena sanksi mencakup lebih dari 200 entitas dan individu yang terlibat dalam sektor energi Rusia, termasuk dua produsen minyak terbesar Rusia, Gazprom Neft dan Surgutneftegas., pedagang minyak Rusia, penyedia layanan lapangan minyak yang berbasis di Rusia, dan pejabat energi Rusia.

    AS juga menetapkan 180 kapal pengangkut minyak sebagai “properti yang diblokir.” Banyak dari kapal-kapal tersebut adalah bagian dari “armada bayangan” Rusia yang digunakan untuk mengangkut minyak Rusia secara diam-diam ke seluruh dunia.

    Namun imbasnya setelah sanksi diterapkan harga minyak Rusia akan dibanderol jauh lebih mahal, menambah beban bagi pasar Asia yang telah menjadi konsumen minyak Rusia.

    “India dan China (sedang) berjuang keras saat ini untuk menemukan alternatif,” kata Anas Alhajji, mitra pengelola di Energy Outlook Advisors, dalam sebuah video yang diunggah ke jejaring sosial X.

    Selain sanksi Rusia, alasan harga minyak menguat karena cuaca dingin ekstrem di AS dan Eropa yang kemudian memicu lonjakan permintaan minyak dan meningkatkan konsumsi bahan bakar pemanas.

    “Kami memiliki beberapa pelanggan di Pelabuhan New York yang telah melihat peningkatan permintaan minyak pemanas,” kata Alex Hodes, analis di perusahaan pialang StoneX.

    Hal tersebut senada dengan pernyataan Biro cuaca AS yang memperkirakan wilayah tengah dan timur negara itu akan mengalami suhu di bawah rata-rata. Selain itu banyak wilayah di Eropa kemungkinan akan terus mengalami awal tahun yang lebih dingin dari biasanya.

    “Kami mengantisipasi peningkatan permintaan minyak global yang signifikan dari tahun ke tahun sebesar 1,6 juta barel per hari pada kuartal pertama tahun 2025, terutama didorong oleh permintaan minyak pemanas, minyak tanah, dan LPG,” kata analis JPMorgan dalam sebuah catatan pada hari Jumat.

     

  • Harga Minyak Dunia Anjlok, Tertekan Pengetatan Pasokan OPEC – Halaman all

    Harga Minyak Dunia Anjlok, Tertekan Pengetatan Pasokan OPEC – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia

    TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Harga minyak di perdagangan pasar global turun lebih dari 1 persen pada awal perdagangan, tertekan pengetatan pengetatan pasokan dari Rusia dan anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) lainnya.

    Mengutip data Business Standard, harga minyak mentah jenis Brent turun 1,16 persen ke level 76,23 dolar AS per barel. Sementara minyak mentah jenis West Texas Intermediate juga anjlok 1,25 persen ke posisi 73,32 dolar AS per barel, pada Kamis (9/1/2025).

    Adapun penurunan harga ini terjadi setelah investor mengalami tekanan atas pengetatan pasokan yang diterapkan OPEC termasuk Rusia. Imbas pengetatan tersebut Produksi minyak dari OPEC turun pada Desember 2024 setelah dua bulan sebelumnya meningkat.

    Laporan Bloomberg menyebutkan per Desember jumlah produksi minyak rata-rata di Rusia mencapai 8,971 juta barel per hari. Jumlah itu berada di bawah target negara tersebut.

    Selain karena penurunan stok OPEC, melemahnya harga minyak dunia juga disebabkan oleh anjloknya persediaan minyak mentah yang turun sebanyak 959.000 barel dalam seminggu, berbanding terbalik dengan ekspektasi analis untuk penarikan sebanyak 184.000 barel.

    Sayangnya penurunan stok ini terjadi ditengah meningkatkan permintaan minyak pada bulan Januari yang diproyeksi meningkat sebesar 1,4 juta barel per hari. Hal ini yang mencerminkan kekhawatiran pasar akan pasokan yang lebih ketat di tengah  meningkatnya permintaan, terutama dari China.

    Analis JPMorgan memperkirakan permintaan minyak pada bulan Januari akan meningkat sebesar 1,4 juta barel per hari tahun-ke-tahun menjadi 101,4 juta barel per hari, terutama didorong oleh “peningkatan penggunaan bahan bakar pemanas di Belahan Bumi Utara”.

    “Permintaan minyak global diperkirakan tetap kuat sepanjang Januari, didorong oleh kondisi musim dingin yang lebih dingin dari biasanya yang meningkatkan konsumsi bahan bakar pemanas, serta dimulainya lebih awal aktivitas perjalanan di Tiongkok untuk liburan Tahun Baru Imlek,” kata para analis.

    Apabila pengetatan berlanjut dalam jangka waktu yang lama, hal ini tentunya akan membuat harga minyak rata-rata  turun tajam pada tahun ini, berbanding terbalik jika dibandingkan tahun 2024.

    “Kami mempertahankan perkiraan kami untuk minyak mentah Brent rata-rata 76 dolar AS per barel pada tahun 2025, turun dari rata-rata 80 dolar AS per barell pada tahun 2024.

  • Gangguan Pasokan Bikin Harga Minyak Dunia Melejit

    Gangguan Pasokan Bikin Harga Minyak Dunia Melejit

    Houston: Harga minyak dunia menetap lebih tinggi pada perdagangan Selasa waktu setempat (Rabu WIB), didorong oleh kekhawatiran atas terbatasnya pasokan dari Rusia dan Iran karena sanksi Barat dan perkiraan meningkatnya permintaan Tiongkok.
     
    Dikutip dari Yahoo Finance, Rabu, 8 Januari 2025, harga minyak mentah Brent menjadi USD77,05 per barel, naik 75 sen atau 0,98 persen. Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS menjadi USD74,25 per barel, naik 69 sen atau 0,94 persen.
     
    Para pedagang menantikan rencana stimulus Tiongkok untuk memacu pertumbuhan karena persediaan terbatas setelah libur Natal dan Tahun Baru, kata analis pasar Valas Razan Hilal.
     
    Beberapa pelaku pasar tampaknya mulai memperhitungkan risiko gangguan pasokan kecil pada ekspor minyak mentah Iran ke Tiongkok, kata analis UBS Giovanni Staunovo.
     
    Kekhawatiran atas pengetatan pasokan akibat sanksi telah mengakibatkan meningkatnya permintaan minyak Timur Tengah, tercermin dari kenaikan harga minyak Arab Saudi pada Februari di Asia, kenaikan pertama dalam tiga bulan.
     

     

    Permintaan minyak pemanas di AS-Eropa meningkat
     
    Sementara itu, cuaca dingin di AS dan Eropa meningkatkan permintaan minyak pemanas, meskipun kenaikan harga minyak dibatasi oleh data ekonomi global.
     
    Inflasi zona Euro meningkat pada Desember, suatu penurunan yang diperkirakan tidak akan menggagalkan pemotongan suku bunga lebih lanjut dari Bank Sentral Eropa.
     
    “Inflasi yang lebih tinggi di Jerman meningkatkan dugaan ECB mungkin tidak dapat memangkas suku bunga secepat yang diharapkan di seluruh zona euro,” kata analis Panmure Liberum, Ashley Kelty.
     
    Indikator teknis untuk minyak berjangka saat ini berada dalam wilayah jenuh beli dan penjual bersemangat untuk masuk lagi guna memanfaatkan kekuatan tersebut, sehingga meredam kenaikan harga tambahan.
     
    Pelaku pasar menantikan lebih banyak data ekonomi, termasuk laporan penggajian nonpertanian AS periode Desember pada Jumat mendatang.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (HUS)

  • Ramalan Harga Komoditas Global 2025: Minyak Anjlok, Gas hingga Emas Perkasa – Page 3

    Ramalan Harga Komoditas Global 2025: Minyak Anjlok, Gas hingga Emas Perkasa – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Para ahli industri memperkirakan harga komoditas global sebagian besar akan turun pada tahun 2025 ini, karena prospek ekonomi global yang lesu dan dolar AS yang terus menguat.

    “Komoditas secara umum akan mengalami tekanan secara menyeluruh pada tahun 2025,” kata kepala analisis komoditas perusahaan riset BMI, Sabrin Chowdhury, dikutip dari CNBC International, Selasa (7/1/2024).

    Chowdhury mencatat, kekuatan dolar AS akan membatasi permintaan komoditas yang harganya dipatok dalam USD.

    Diperkirakan, harga minyak dunia akan anjlok tahun ini.

    Commonwealth Bank of Australia memperkirakan harga minyak Brent akan turun menjadi USD 70 per barel tahun ini. karena ekspektasi peningkatan pasokan minyak dari negara-negara non-OPEC+ yang akan melampaui kenaikan konsumsi minyak global.

    Dalam catatannya, BMI mengatakan bahwa paruh pertama tahun 2025 minyak dunia akan melihat kelebihan pasokan karena produksi baru yang substansial dari AS, Kanada, Guyana, dan Brasil mulai beroperasi.

    Selain itu, jika rencana OPEC+ untuk membatalkan pemotongan sukarela terwujud, kelebihan pasokan akan semakin menekan harga.

    “Permintaan minyak dan gas global masih belum pasti, dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan permintaan bahan bakar yang meningkat diimbangi oleh dampak perang dagang, inflasi, dan permintaan yang menurun di pasar maju,” bebernya.

    Patokan minyak mentah global Brent terakhir diperdagangkan pada USD 76,34 per barel, hampir sama dengan level tahun lalu pada awal Januari.

    Harga Gas Diramal Naik di 2025

    Sementara itu, harga gas alam dunia diperkirakan akan naik. Sejak pertengahan Desember 2024, harga gas alam telah meningkat didorong oleh cuaca dingin dan geopolitik, menurut catatan analis Citi.

    Penghentian aliran gas Rusia baru-baru ini oleh Ukraina ke beberapa negara Eropa pada Hari Tahun Baru telah menimbulkan ketidakpastian yang lebih besar pada pasar gas dunia.

    Selama penghentian tetap berlaku, harga gas kemungkinan akan tetap tinggi.

    Cuaca yang lebih dingin selama sisa musim dingin di AS dan Asia juga dapat membuat harga gas alam dunia tetap tinggi, ungkap Citi.

    BMI memperkirakan harga gas akan naik sekitar 40% pada tahun 2025 menjadi USD 3,4 per juta British thermal unit (MMbtu) dibandingkan dengan rata-rata USD 2,4 per MMbtu pada tahun 2024, didorong oleh meningkatnya permintaan dari sektor LNG dan ekspor pipa bersih yang lebih tinggi.

    Harga gas alam Henry Hub AS, yang merupakan tolok ukur yang dirujuk BMI, saat ini diperdagangkan pada harga USD 2,95 per MMbtu.

    “LNG akan terus mendorong konsumsi baru, didukung oleh meningkatnya kapasitas ekspor dan permintaan yang kuat di Eropa dan Asia,” tulis analis BMI.

     

  • Harga Minyak Dunia Akhirnya Tergelincir setelah Naik Berhari-hari

    Harga Minyak Dunia Akhirnya Tergelincir setelah Naik Berhari-hari

    Houston: Harga minyak dunia menghentikan reli kenaikan karena ketatnya pasar minyak mentah fisik global yang mungkin sudah keterlaluan.
     
    Dikutip dari Yahoo Finance, Selasa, 7 Januari 2025, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) turun 0,5 persen dan ditutup di bawah USD74 per barel, membalikkan kenaikan sebelumnya setelah harga minyak berjangka tidak mampu menembus level psikologis USD75.
     
    Selisih harga WTI turun dari level tertinggi hampir tiga bulan menjadi 65 sen sebagai tanda memudarnya keyakinan pedagang atas permintaan melebihi pasokan.
     
    Indeks juga relatif menunjukkan harga berada pada level jenuh untuk beli, pembacaan yang mengindikasikan minyak mentah akan mengalami penurunan. Optimisme pasar dibatasi oleh ekspektasi kelebihan pasokan, kemungkinan bangkitnya kembali produksi OPEC+ yang terhenti, dan permintaan yang lesu dari importir utama Tiongkok.
     

     

    Trump bantah batasi kebijakan tarif impor
     
    Di pasar yang lebih luas, dolar Amerika Serikat (AS) anjlok setelah Washington Post melaporkan Presiden terpilih AS Donald Trump akan membatasi rencananya untuk mengenakan tarif.
     
    Dolar telah pulih dari sebagian kerugian setelah Trump membantah laporan tersebut hoaks di media sosial. Dolar yang lebih lemah membuat komoditas yang dihargakan dalam mata uang tersebut lebih menarik.
     
    Minggu lalu, minyak mentah keluar dari kisaran perdagangannya yang sempit karena persediaan AS turun untuk minggu keenam berturut-turut. Sementara persediaan di pusat penyimpanan penting Cushing, Oklahoma, bertahan pada titik terendah musiman dalam 17 tahun terakhir.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (HUS)