Topik: Harga minyak dunia

  • AS dan Israel Gempur Iran, Harga Minyak Dunia Bisa Melonjak ke Level Ini – Page 3

    AS dan Israel Gempur Iran, Harga Minyak Dunia Bisa Melonjak ke Level Ini – Page 3

    Skenario terburuk untuk pasar minyak adalah upaya Iran untuk menutup Selat Hormuz, menurut analis energi. Sekitar 20 juta barel minyak mentah per hari, atau 20% dari konsumsi global, mengalir melalui selat tersebut pada tahun 2024, menurut Badan Informasi Energi.

    Media pemerintah Iran melaporkan parlemen Iran telah mendukung penutupan selat tersebut, mengutip seorang anggota parlemen senior. Namun, keputusan akhir untuk menutup selat tersebut berada di tangan dewan keamanan nasional Iran, menurut laporan tersebut.

    Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio telah memperingatkan Iran agar tidak mencoba menutup selat tersebut. “Itu akan menjadi “bunuh diri ekonomi” bagi Republik Islam tersebut karena ekspor mereka melewati jalur air tersebut,” ujar kata Rubio.

    “Kami memiliki opsi untuk mengatasinya,” kata Rubio kepada Fox News dalam sebuah wawancara pada Minggu.

    “Hal itu akan jauh lebih merugikan ekonomi negara lain daripada ekonomi kita. Menurut saya, itu akan menjadi eskalasi besar-besaran yang akan membutuhkan respons, tidak hanya dari kita, tetapi juga dari negara lain.”

    Iran memproduksi 3,3 juta barel minyak per hari pada Mei, menurut laporan pasar minyak bulanan OPEC yang dirilis pada Juni, yang mengutip sumber analis independen. Iran mengekspor 1,84 juta barel minyak per hari bulan lalu, dengan sebagian besar dijual ke China, menurut data dari Kpler.

    Rubio meminta China untuk menggunakan pengaruhnya guna mencegah Teheran menutup selat tersebut. Sekitar setengah dari impor minyak mentah China melalui perairan berasal dari Teluk Persia, menurut Kpler.

    “Saya mendorong pemerintah China di Beijing untuk menghubungi mereka mengenai hal itu, karena mereka sangat bergantung pada Selat Hormuz untuk minyak mereka,” kata Rubio.

     

  • Efek AS Bom Iran, APBN RI Bisa Berantakan-Harga Barang Siap-Siap Naik

    Efek AS Bom Iran, APBN RI Bisa Berantakan-Harga Barang Siap-Siap Naik

    Jakarta, CNBC Indonesia – Tekanan inflasi hingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah Indonesia rentan terdampak memburuknya konflik Iran-Israel, yang kini melibatkan Amerika Serikat setelah negara itu membom 3 fasilitas nuklir milik Teheran di Fordow, Natanz, dan Isfahan.

    Ekonom yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan efek rambatan konflik itu bisa menerpa inflasi Indonesia serta APBN pemerintah dari sisi beban subsidi energi, apabila lalu lintas perdagangan minyak dan komoditas lainnya di Selat Hormuz terganggu.

    Ia menilai, gangguan jalur perdagangan global di Selat Hormuz, kawasan Iran, dapat memicu harga minyak melonjak, memperbesar tekanan inflasi global dan mempersempit ruang kebijakan moneter banyak negara.

    “Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi tantangan ganda: potensi depresiasi rupiah yang dapat memicu kenaikan harga barang impor dan beban fiskal yang meningkat akibat subsidi energi yang membengkak,” ucap Karimi, Senin (23/6/2025).

    Karimi mengungkapkan, bila merujuk skenario terburuk yang diperkirakan Oxford Economics, harga minyak dunia bisa mencapai US$ 130 per barel, dari posisi saat ini di kisaran US$ 70 per barel, jika Iran menutup Selat Hormuz.

    Kenaikan harga tersebut dapat mendorong inflasi AS ke angka 6% dan membatalkan kemungkinan pemangkasan suku bunga The Fed tahun ini. Dampaknya, arus modal keluar dari pasar negara berkembang termasuk Indonesia dapat terjadi, memperlemah rupiah, memperberat biaya subsidi energi di APBN dan memukul daya beli masyarakat.

    Bila merujuk data realisasi subsidi energi pemerintah hingga 31 Mei 2025, nilainya memang mengalami penurunan 15,1% dibanding periode yang sama tahun lalu senilai Rp 77,8 triliun, yakni menjadi sebesar Rp 66,1 triliun. Namun, penyebabnya sebatas harga minyak mentah Indonesia yang harganya lebih rendah dari asumsi makro di APBN 2025.

    Sementara itu, dari sisi volume, realisasi subsidi mengalami peningkatan untuk mayoritas komponennya. BBM per Mei 2025 telah tersalurkan sebanyak 5,8 juta kiloliter atau naik 4,3% dari periode yang sama tahun lalu 5,57 juta kiloliter. Artinya, jika harga naik saat volume terus menanjak, tentu APBN akan kembali mengalami tekanan.

    “Indonesia tidak memiliki kemewahan untuk bersikap netral dalam menyikapi dampak ekonomi dari krisis global ini. Waktu untuk bertindak adalah sekarang-demi stabilitas rupiah, daya beli rakyat, dan ketahanan fiskal yang berkelanjutan,” ucap Karimi.

    Untuk menghadapi potensi risiko itu, Bank Indonesia bersama pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, ia anggap harus segera menyusun langkah antisipatif untuk menjaga stabilitas nilai tukar, memperkuat cadangan devisa, dan mengamankan pasokan energi domestik.

    “Presiden dan jajaran ekonomi harus mempersiapkan langkah darurat menghadapi lonjakan harga minyak dunia. Ketergantungan Indonesia pada impor energi akan menjadi beban fiskal besar jika harga minyak menembus $100 per barel,” ujar Karimi.

    Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Dendi Ramdani juga telah mewanti-wanti risiko yang sama dengan Karimi. Ia menjelaskan sensitivitas fiskal Indonesia terhadap kenaikan harga minyak sangat tinggi.

    Ia menjelaskan berdasarkan analisis Kementerian Keuangan, setiap kenaikan US$ 1 per barel akan meningkatkan biaya subsidi energi sebesar Rp 6,9 triliun.

    “Jadi bisa dibayangkan kalau naik US$10 itu hampir Rp 69 triliun terus kemudian ke US$20 ya berarti hampir Rp 140 triliun, dan itu tentu akan berdampak nanti ke defisit,” ujar Dendi dalam acara Squawk Box, CNBC Indonesia, Jumat (20/6/2025).

    Dendi menjelaskan, walaupun biasanya pemerintah menyalurkan kompensasi dan menjaga cash flow, perusahaan BUMN seperti Pertamina dan PLN akan terdampak.

    “Cashflownya itu bebannya di BUMN, tapi secara umum itu tentu akan meningkatkan harga minyak biaya domestik, dan itu berdampak pada biaya belanja subsidi pemerintah,” ujarnya.

    (arj/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Pengusaha Waswas Serangan AS ke Iran Picu Lonjakan Harga Energi & Logistik

    Pengusaha Waswas Serangan AS ke Iran Picu Lonjakan Harga Energi & Logistik

    Bisnis.com, JAKARTA — Dunia usaha menyebut konflik Iran-Israel dapat memicu lonjakan harga energi dan potensi gangguan logistik internasional. Kini, konflik di Timur Tengah tersebut meluas dan melibatkan Amerika Serikat (AS).

    Teranyar, pada Sabtu (21/6/2025) waktu setempat, Presiden AS Donald Trump mengancam akan melakukan serangan jauh lebih besar jika Iran tak mau melakukan perdamaian.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, kenaikan harga energi berdampak langsung terhadap biaya produksi dan operasional bagi dunia usaha.

    Shinta mengatakan, Apindo akan terus memantau secara seksama perkembangan konflik Iran–Israel karena eskalasi geopolitik semacam ini dapat memberikan tekanan tidak langsung terhadap perekonomian nasional, terutama melalui lonjakan harga energi dan potensi gangguan logistik internasional.

    “Indonesia sebagai negara importir minyak sangat rentan terhadap fluktuasi ini. Pelaku usaha, khususnya di sektor padat karya, tentu juga akan merasakan tekanan dari sisi struktur biaya yang makin menekan margin usaha,” kata Shinta kepada Bisnis, Minggu (22/6/2025).

    Bahkan, Shinta mengungkap, dari sisi rantai pasok, beberapa sektor juga menyampaikan kekhawatiran atas potensi terganggunya jalur logistik internasional, terutama menuju kawasan Eropa, Teluk, dan Afrika.

    Padahal, ujar dia, jalur ini penting karena beberapa bahan baku strategis seperti gandum, kedelai, gas, dan pupuk masih diimpor melalui rute-rute tersebut.

    “Ketidakpastian logistik dapat menyebabkan keterlambatan dan lonjakan biaya pengiriman,” imbuhnya.

    Di samping itu, Apindo juga mencermati risiko inflasi biaya yang dapat berujung pada melemahnya daya beli masyarakat.

    “Jika harga naik signifikan tanpa dikompensasi dengan stimulus atau pengendalian harga pangan, maka konsumsi rumah tangga bisa melambat, yang pada akhirnya menggerus permintaan terhadap produk sektor riil,” ungkapnya.

    Kendati demikian, Shinta melihat pemerintah sudah menyadari potensi risiko dari konflik Iran-Israel. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah terus memantau perkembangan harga minyak dunia, sekaligus menyiapkan skenario impor energi yang lebih fleksibel apabila terjadi eskalasi konflik, termasuk opsi reroute atau perubahan jalur pelayaran dan sumber impor minyak, tidak hanya dari kawasan Timur Tengah, melainkan juga dari wilayah alternatif seperti Afrika.

    Menurut Shinta, sederet langkah  ini penting untuk menjaga stabilitas pasokan energi nasional dan memberikan kepastian bagi dunia usaha dalam merencanakan kegiatan operasional.

    Namun, Shinta merekomendasikan agar pemerintah menjaga kesinambungan antara kebijakan fiskal dan energi, memperkuat koordinasi lintas sektor untuk menjamin kelancaran distribusi dan logistik, serta memberikan ruang bagi insentif atau dukungan kepada sektor usaha yang paling rentan, terutama industri padat karya.

    “Kami percaya bahwa dengan respons yang cepat, terukur, dan kolaboratif, Indonesia bisa menjaga iklim usaha tetap kondusif meskipun di tengah gejolak global yang tidak menentu,” tandasnya.

  • Pengamat: Serangan AS ke Iran Buat Ketegangan Internasional Semakin Berbahaya
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        22 Juni 2025

    Pengamat: Serangan AS ke Iran Buat Ketegangan Internasional Semakin Berbahaya Nasional 22 Juni 2025

    Pengamat: Serangan AS ke Iran Buat Ketegangan Internasional Semakin Berbahaya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menyebut, serangan
    Amerika Serikat
    (AS) ke fasilitas nuklir
    Iran
    semakin membuat ketegangan internasional.
    Fahmi mengatakan, tindakan AS itu bukan sekadar operasi militer melainkan bentuk sinyal bahwa dunia tengah memasuki babak baru yang lebih berbahaya.
    “Dunia sedang bergerak menuju babak baru ketegangan internasional yang jauh lebih kompleks dan berbahaya,” ujar Fahmi saat dihubungi
    Kompas.com
    , Minggu (22/6/2025).
    Menurut dia, tindakan AS menyerang Iran bisa membuat kekuatan mereka untuk menekan negara lain agar mematuhi hukum internasional melemah.
    Apalagi, Fahmi mengatakan, serangan ke tiga fasilitas nuklir Iran ini dilakukan tanpa persetujuan kongres dan mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
    “Menimbulkan pertanyaan serius soal legalitas dan akuntabilitas keputusan militer mereka,” kata Fahmi.
    Menurut dia, serangan tersebut berdampak pada eskalasi di tingkat kawasan hingga global.
    Di tingkat kawasan, tindakan AS mendorong Iran membangunkan seluruh jaringan proksi mereka untuk menyerang basis militer negeri Paman Sam di Timur Tengah. Artinya, peperangan bisa meluas dari sekadar titik Iran dengan Israel.
    Selain itu, Iran juga bisa memblokir Selat Hormuz, jalur utama perdagangan minyak mentah dunia. Dampaknya, harga minyak dunia melonjak dan ekonomi global terdampak.
    Selain itu, tindakan AS bisa membuat Iran justru mempercepat pengembangan senjata nuklir dan keluar dari perjanjian pembatasan senjata nuklir.
    “Artinya, dunia justru masuk dalam siklus baru perlombaan senjata nuklir yang lebih berbahaya,” ujar Fahmi.
    Sebelumnya, Presiden
    Amerika
    Donald Trump mengumumkan pihaknya berhasil menggempur situs nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Esfahan.
    Ketiga lokasi itu diketahui menjadi pusat pengayaan uranium Iran.
    “Fordow sudah lenyap,” tulis Trump di media sosialnya hari ini.
    Namun, Pemerintah Iran menyatakan kerusakan tersebut tidak fatal.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Konflik Iran-Israel Memanas, Harga BBM RI Berpotensi Naik

    Konflik Iran-Israel Memanas, Harga BBM RI Berpotensi Naik

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom mengkhawatirkan konflik Iran-Israel berpotensi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, konflik Iran-Israel berpotensi mengerek harga minyak dunia. Alhasil, konflik ini akan berdampak pada inflasi dunia.

    “Kenaikan harga minyak akan diikuti kemudian dengan kenaikan harga bensin di berbagai negara yang menggunakan bensin termasuk juga, tentunya adalah Indonesia yang merupakan net importir minyak,” kata Faisal kepada Bisnis, Minggu (22/6/2025).

    Bahkan, Faisal menyebut, kenaikan harga minyak dunia akan berdampak terhadap peningkatan nilai impor Indonesia. Begitu pula dengan inflasi yang akan meningkat.

    Pasalnya, Faisal menjelaskan, harga minyak sangat mudah terpengaruh oleh dinamika geopolitik. Imbasnya, kondisi ini mengancam stabilitas pasokan minyak global. Apalagi, sambung dia, konflik Iran—Israel juga semakin meluas dan melibatkan Amerika Serikat (AS).

    Untuk diketahui, Presiden AS Donald Trump mengancam akan melakukan serangan jauh lebih besar jika Iran tak mau melakukan perdamaian. Adapun, tiga fasilitas nuklir utama Iran telah dihancurkan oleh pasukan militer AS, yakni Fordow, Natanz, dan Esfahan.

    Faisal menuturkan bahwa serangan saling membalas antara Iran dengan Israel sudah mengerek harga minyak dari US$60-an per barel menjadi US$75-an per barel. Jika AS semakin ikut terlibat di dalam konflik Iran—Israel, sambung dia, harga minyak dunia bisa tembus di atas US$100 per barel.

    “Ini [harga minyak] bisa mengerek lebih jauh lagi jika Amerika ikut campur dan kemudian eskalasi bisa mendorong sampai di atas US$80 per barel. Dan jika berterusan, ini tidak menutup kemungkinan bisa sampai US$100 per barel,” ujarnya.

    Kendati demikian, Faisal menuturkan bahwa kenaikan harga minyak umumnya juga diikuti oleh kenaikan harga komoditas energi substitusinya, seperti komoditas batu bara dan gas alam.

    “Karena kita net eksportir gas alam dan net eksportir batu bara, maka kenaikan harganya tentu akan mendorong ekspor kita secara nilai,” imbuhnya.

    Di samping itu, Faisal menambahkan konflik Iran—Israel juga berpotensi meningkatkan inflasi dan menggerus daya beli masyarakat di dalam negeri, terutama kelas menengah ke bawah.

    “Dalam kondisi seperti ini sangat mungkin ini akan semakin meningkatkan nilai impor karena tadinya perang dagang sendiri sudah mendorong masuknya atau semakin besarnya inflow barang-barang dari China ke Indonesia,” tuturnya.

    Faisal menuturkan, barang-barang China yang sebelumnya menyasar pasar Amerika, tetapi tak bisa masuk atau mengalami hambatan karena tarif tinggi, maka barang asal China tersebut akan mulai mencari alternatif negara lain.

    “Yang kita bisa dalam kontrol kita adalah ekonomi kita sendiri, kebijakan domestik kita sendiri,” imbuhnya.

    Untuk itu, menurutnya, kebijakan domestik harus dijaga. Dalam hal ini, Indonesia perlu memperkuat ekonomi domestik untuk menghindari impor barang-barang yang tidak dibutuhkan atau kurang dibutuhkan, termasuk barang ilegal. “… supaya tidak semakin menekan neraca perdagangan kita,” pungkasnya.

  • AS Ikut Perang Israel-Iran, Pemerintah Perlu Jaga Rupiah & Harga Minyak

    AS Ikut Perang Israel-Iran, Pemerintah Perlu Jaga Rupiah & Harga Minyak

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menyoroti perlunya langkah darurat dan sigap dari pemerintah untuk menghadapi potensi volatilitas rupiah dan kenaikan harga minyak usai Amerika Serikat terjun ke medan perang Israel—Iran.

    Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengungkapkan perang terbuka antara Israel dan Iran yang kini melibatkan langsung Amerika Serikat dan harus menjadi alarm serius bagi Indonesia. 

    Dirinya menekankan bahwa Indonesia tidak boleh menonton dalam diam. Ketika AS mengerahkan B-2 bomber untuk menghancurkan infrastruktur nuklir Iran, dampaknya tak hanya mengguncang Timur Tengah, tetapi juga menggoyang fondasi ekonomi dan geopolitik negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

    “Pemerintah Indonesia harus segera bertindak, bukan sekadar membuat pernyataan normatif. Presiden dan jajarannya harus mempersiapkan langkah darurat menghadapi lonjakan harga minyak dunia,” ujarnya, Minggu (22/6/2025).  

    Syafruddin memandang ketergantungan Indonesia pada impor energi akan menjadi beban fiskal besar jika harga minyak menembus US$100 per barel. Dalam APBN 2025, pemerintah mengasumsikan harga minyak mentah Indonesia pada level US$82 per barel. 

    Per 20 Juni 2025, harga minyak mentah Indonesia berada di level US$65,29 per dolar AS. Mengacu data Bloomberg, harga minyak Brent telah mencapai puncaknya pada 19 Juni 2025 di angka US$78,85 per barel usai serangan Israel ke Iran. 

    Sementara Kementerian Keuangan telah mewaspadai konflik Israel dan Iran yang memburuk dapat mengganggu pasokan dan mendorong lonjakan harga minyak mentah Indonesia. Di samping harga minyak, Syafruddin menuturkan bahwa menunda revisi kebijakan subsidi energi hanya akan memperparah defisit APBN. 

    Selain itu, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan harus memperkuat koordinasi stabilisasi rupiah. Dengan kondisi saat ini, potensi capital outflow akibat dapat menekan nilai tukar dan mengerek inflasi. Untuk itu, intervensi moneter harus disertai penajaman komunikasi kebijakan agar pasar tetap tenang.

    Terlebih pada pekan ini, Bank Indonesia melaporkan adanya aliran modal asing yang keluar dari pasar keuangan Tanah Air senilai Rp2,04 triliun untuk periode 16—19 Juni 2025 atau pekan ketiga Juni.

    Syafruddin melihat saat Presiden Trump mengonfirmasi serangan udara terhadap situs nuklir Iran, termasuk penghancuran fasilitas Fordow, eskalasi konflik berubah drastis dari serangan regional menjadi pertarungan terbuka antara kekuatan global. 

    Saat ini, pemerintah Indonesia Indonesia belum memberikan pernyataan secara khusus terkait langkah menghadapi aksi teranyar Presiden AS Donald Trump. 

    Pasukan militer Amerika Serikat (AS) telah menyerang tiga situs nuklir Iran, termasuk Fordow, Natanz, dan Esfahan, pada Sabtu (21/6/2025) malam.  

    Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan serangan yang sangat sukses. Kini, seluruh awak pesawat yang membawa bom ke Iran telah berhasil keluar.  

    “Muatan penuh bom dijatuhkan di situs utama, Fordow. Semua pesawat dalam perjalanan pulang dengan selamat. Selamat kepada Prajurit Amerika kita yang hebat. Tidak ada militer lain di dunia yang bisa melakukan ini,” ujar Trump, dikutip dari akun resmi @WhiteHouse, Minggu (22/6/2025).   

    Lewat aksi ini, Trump disebut bertujuan untuk menghentikan perang yang terjadi dalam sepekan terakhir antara Iran dan Israel. 

  • Amerika Serang Iran, Harga Minyak Dunia Siap-Siap Meroket ke Level Segini – Page 3

    Amerika Serang Iran, Harga Minyak Dunia Siap-Siap Meroket ke Level Segini – Page 3

    Presiden AS Donald Trump mengumumkan sendiri serangan ini melalui media sosial.

    “Kami telah menyelesaikan serangan yang sangat sukses terhadap tiga lokasi nuklir di Iran, termasuk Fordo, Natanz, dan Isfahan,” tulis Trump.

    “Seluruh pesawat telah meninggalkan wilayah udara Iran dan kembali dengan selamat. Muatan bom terbesar dijatuhkan di Fordo.”

    Dalam unggahan berikutnya, Trump menyebut momen ini sebagai “bersejarah” bagi Amerika Serikat, Israel, dan dunia. Ia menambahkan bahwa Iran kini harus memilih untuk mengakhiri perang.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pun menyambut positif langkah Trump. Dalam pesan videonya, Netanyahu menyebut serangan itu sebagai “keputusan berani” yang akan “mengubah sejarah.” Ia memuji kekuatan AS yang menurutnya berhasil melakukan apa yang negara lain tak sanggup lakukan.

  • Harga Minyak Meroket, Dolar Naik Tajam, Saham Goyah

    Harga Minyak Meroket, Dolar Naik Tajam, Saham Goyah

    PIKIRAN RAKYAT – Konflik bersenjata antara Iran dan Israel penjajah yang makin intens memicu ketidakpastian ekonomi global. Harga minyak dunia melonjak drastis, dolar AS menguat sementara pasar saham menunjukkan sinyal kekhawatiran meskipun belum mengalami guncangan signifikan.

    Lonjakan Harga Minyak: Sentimen Pasar Digerakkan oleh Ketakutan Gangguan Pasokan

    Ketegangan geopolitik di Timur Tengah telah mendorong harga minyak ke titik tertinggi dalam hampir lima bulan. Minyak mentah Brent naik hingga 79,04 dolar AS per barel (sekitar Rp1.287.648), naik 18% sejak 10 Juni.

    Lonjakan harga ini dipicu kekhawatiran gangguan pasokan akibat kemungkinan kerusakan terhadap infrastruktur migas Iran, termasuk potensi terhambatnya pengiriman di Selat Hormuz, jalur penting yang dilalui sekitar 20% pasokan minyak dunia.

    “Jika gangguan pasokan benar-benar terjadi, pasar akan sangat merespons. Saat ini harga belum mencerminkan potensi ancaman pasokan global,” ujar Art Hogan, Kepala Strategi Pasar di B Riley Wealth.

    Simulasi Oxford Economics: Harga Bisa Capai 130 dolar AS per Barel

    Oxford Economics merilis model skenario konflik, salah satunya jika produksi minyak Iran terhenti total dan Selat Hormuz ditutup. Dalam skenario paling ekstrem, harga minyak global diprediksi bisa melonjak ke 130 dolar AS per barel (sekitar Rp2.119.000).

    Inflasi di AS bisa terdorong naik hingga 6% pada akhir 2025. Hal ini akan mempersempit ruang pemangkasan suku bunga oleh The Fed dan menekan daya beli masyarakat.

    “Besarnya kenaikan inflasi dan efek beruntunnya bisa membuat bank sentral menunda pemangkasan suku bunga, atau bahkan menaikkannya lagi,” tutur Oxford dalam laporannya.

    Dampak ke Pasar Saham: Sementara Stabil, Tapi Risiko Terus Mengintai

    Meski harga minyak naik tajam, S&P 500 belum menunjukkan penurunan berarti. Sejak serangan udara Israel penjajah, indeks ini relatif datar. Namun jika ketegangan meningkat dan AS memutuskan turut serta secara militer, pasar saham diperkirakan akan mengalami koreksi tajam dalam jangka pendek.

    “Pasar saham cenderung mengabaikan ketegangan geopolitik—sampai akhirnya situasi menjadi tak terkendali,” kata analis Citigroup.

    “Kunci volatilitas ekuitas ke depan bukan lagi suku bunga, tapi harga energi,” ucapnya menambahkan.

    Meski begitu, sejarah menunjukkan bahwa efek guncangan geopolitik terhadap pasar saham bisa bersifat sementara. Data Wedbush Securities menunjukkan bahwa dalam konflik Timur Tengah sebelumnya, S&P 500 rata-rata turun 0,3% dalam tiga minggu awal konflik, namun naik 2,3% dua bulan setelahnya.

    Dolar AS Naik, Tapi Tidak Menjanjikan dalam Jangka Panjang

    Ketika konflik meningkat, dolar AS mengalami penguatan signifikan karena statusnya sebagai aset aman. Namun, menurut Thierry Wizman, ahli strategi dari Macquarie Group, kekuatan dolar kemungkinan hanya bertahan sementara.

    “Trader akan lebih fokus pada dampak jangka pendek terhadap perdagangan Eropa, Jepang, dan Inggris, yang lebih rentan terhadap gejolak minyak,” ujarnya.

    “Namun, jika AS kembali masuk dalam fase perang panjang seperti di Irak atau Afghanistan, maka dolar bisa kembali tertekan,” tutur Thierry Wizman menambahkan.

    Wizman juga mengingatkan, setelah peristiwa 11 September 2001, nilai dolar sempat menguat, namun dalam jangka menengah melemah akibat beban fiskal dari keterlibatan militer jangka panjang.

    Energi Jadi Katalis Volatilitas Global

    Konflik Iran-Israel penjajah bukan hanya berdampak pada stabilitas regional, tapi berpotensi mengguncang ekonomi dunia. Harga minyak yang melonjak dapat menjadi pemicu inflasi global, memperketat kebijakan moneter, dan mengguncang pasar keuangan.

    Jika AS memutuskan untuk terlibat langsung dalam konflik, bukan hanya energi yang akan terdampak, tapi juga nilai tukar, suku bunga, dan strategi investasi global. Investor, pelaku usaha, dan pemerintah negara-negara pengimpor energi harus bersiap menghadapi kemungkinan gejolak jangka panjang.

    “Pasar saat ini hanya melihat sebagian dari risiko. Jika konflik makin luas, kita bisa melihat dampak besar terhadap konsumsi, produksi, dan stabilitas ekonomi global,” kata Hogan dari B Riley Wealth, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Reuters.***

  • Video: Trump Tunda Serang Iran – Iron Dome Israel Dibobol Iran

    Video: Trump Tunda Serang Iran – Iron Dome Israel Dibobol Iran

    Jakarta, CNBC Indonesia – Harga minyak dunia mendingin setelah presiden Amerika Serikat Donald Trump memberi sinyal bahwa keputusan terkait aksi militer ke Iran..

    Sementara itu, Iran berhasil mengguncang dominasi udara Israel dalam serangan balasan atas gempuran Tel Aviv pada 13 Juni lalu.

    Selengkapnya dalam program Evening Up CNBC Indonesia, Jumat (20/06/2025).

  • Ketegangan Iran – Israel Meningkat, Pelaku Usaha Perlu Evaluasi Rantai Pasok

    Ketegangan Iran – Israel Meningkat, Pelaku Usaha Perlu Evaluasi Rantai Pasok

    PIKIRAN RAKYAT – Ketegangan antara Iran dan Israel yang semakin meningkat dalam beberapa pekan ini memberikan dampak potensi risiko terhadap rantai pasokan global. Pasalnya, sumber-sumber pasokan dan permintaan tersebar secara global.

    “Konflik Iran-Israel akan berdampak terhadap ketersediaan beberapa jenis barang di dalam negeri, terutama untuk produk yang bergantung pada impor dari wilayah yang terkena dampak konflik. Beberapa jenis barang akan mengalami pengurangan ketersediaan di pasar yang akan mengakibatkan peningkatan harga,” kata Senior Consultant Supply Chain Indonesia (SCI) Zaroni dalam keterangan di Jakarta, Kamis (19/6/2025).

    Selain itu, jika barang-barang impor tersebut adalah bahan baku atau komponen yang diperlukan untuk proses produksi, akan terjadi peningkatan biaya produksi dan harga jual produk, yang akan menurunkan daya saing produk dan profitabilitas perusahaan.

    “Industri perlu segera mengevaluasi rantai pasokan produknya. Selain mengantisipasi potensi gangguan beserta dampaknya, industri perlu mencari alternatif-alternatif rantai pasok domestik maupun global yang lebih aman dan lebih efisien,” ujarnya.

    Zaroni menganalisis beberapa potensi risiko gangguan rantai pasok sebagai dampak ketegangan geopolitik itu. Pertama, dampak terhadap pasar energi dunia terutama yang melalui Selat Hormuz sebagai jalur transportasi laut strategis untuk pengiriman minyak. Peningkatan ketegangan akan menaikkan harga minyak dunia yang berdampak terhadap biaya produksi dan transportasi global.

    Kedua, dampak terhadap risiko makroekonomi global termasuk inflasi, pelemahan daya beli, penurunan permintaan agregat, penurunan pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan biaya logistik global.

    Ketiga, gangguan terhadap rantai pasokan perusahaan global yang kompleks dan bergantung pada wilayah-wilayah tertentu. Gangguan pada rantai pasokan di wilayah Iran dan Israel, serta wilayah sekitarnya akan berdampak pada ketersediaan barang dan harga di pasar global.

    Keempat, peningkatan biaya logistik terutama jika terjadi gangguan pada rute pelayaran, peningkatan biaya transportasi global, asuransi kargo, dan lain-lain.

    Kelima, dampak terhadap stabilitas ekonomi global, termasuk nilai tukar mata uang dan harga saham, yang dapat berdampak pada penurunan volume perdagangan internasional, baik dari sisi pasokan maupun permintaannya.***