Topik: Generasi Z

  • Melihat Kisah Jalan Salib Berbudaya Jawa di Gereja Katolik Surabaya Saat Perayaan Paskah

    Melihat Kisah Jalan Salib Berbudaya Jawa di Gereja Katolik Surabaya Saat Perayaan Paskah

    Surabaya (beritajatim.com) – Gereja Katolik Santo Vincentius a Paulo Surabaya memadukan adat dan budaya Jawa dalam rangkaian Ibadah Paskah 2025, Jumat (18/4) hari ini.

    Pihak Gereja secara kreatif memvisualisasi kisah Jalan Salib menggunakan wayang orang dan iring – iringan musik gamelan. Untuk mengenang peristiwa penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus.

    Ratusan umat Katolik Surabaya yang hadir hanyut dalam visualisasi 14 pemberhentian Yesus, mulai dari penyaliban hingga kebangkitan. Mereka merapal doa dan meneteskan air mata menangis.

    Ketua Panita Ibadah Paskah Gereja Katolik Santo Vincentius a Paulo Kota Surabaya, Ni Ketut Santhi Wilyawati menyampaikan, visualisasi kisah Jalan Salib ini menceritakan tentang penderitaan Yesus Kristus, demi menebus dosa – dosa para umatnya di dunia.

    “Ibadah jalan salib ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus itu melakukan penebusan dosa. Jadi mulai awal dia disiksa itu gunanya untuk menebus dosa umat manusia,” kata Santhi di Gereja Katolik Santo Vincentius a Paulo, hari Jumat (18/4/2025) pagi.

    Santhi turut menjelaskan bahwa, visualisasi kisah Jalan Salib ini juga memiliki sebuah tujuan supaya umat Katolik di dunia mampu memahami pengorbanan Yesus Kristus. Sehingga para umat Katolik senantiasa mendekatkan diri serta ibadah kepada Tuhan-nya.

    “Ini tadi ibadah Jalan Salib. Nanti sore itu Ibadah Penghormatan Salib, tujuannya sama, yaitu untuk mengenang pengorbanan Yesus untuk penebusan dosa umat manusia, mulai jam 15.00 WIB sampai 18.00 WIB,” ujar Ketua Panitia Santhi.

    Tentang konsep adat budaya Jawa yang diusung dalam ibadah visualisasi Jalan Salib tadi, Santhi menjelaskan alasannya, katanya hal ini bertujuan agar kita tidak melupakan budaya sendiri sekaligus mengenalkan budaya ini kepada Gen-Z (generasi muda).

    “Tujuannya ini untuk menunjukkan kearifan lokal, mengenalkan budaya Jawa ke generasi semuanya, terutama Generasi Z mungkin ya, yang mereka ini belum tentu mengenalnya,” tandasnya.

    Diketahui, tema besar umat Katolik dalam Ibadah Paskah 2025 ini adalah “Mewujudkan Tri Tugas Kristus Dalam Hidup Berparoki”. Tema ini memaknai tugas dan peran umat Katolik sebagai murid-murid Kristus untuk menjalani kehidupan yang mencerminkan Tri Tugas Kristus, yakni sebagai Imam, sebagai Nabi, dan sebagai Raja. [ram/aje]

  • Generasi Muda dan Bank Digital: Antara Gaya Hidup Konsumtif dan Kemandirian Finansial – Halaman all

    Generasi Muda dan Bank Digital: Antara Gaya Hidup Konsumtif dan Kemandirian Finansial – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Generasi Z (lahir 1997-2012) dan milenial (lahir 1981-1996) adalah dua generasi yang paling akrab dengan teknologi digital.

    Mereka tumbuh di era internet, media sosial, dan platform e-commerce yang menawarkan segala kemudahan. Namun, kemudahan ini seringkali berbanding lurus dengan gaya hidup konsumtif yang kian menguat.  

    Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 mengungkapkan bahwa 67 persen generasi Z dan 58 persen milenial di Indonesia mengalokasikan lebih dari 30 persen pendapatan mereka untuk kebutuhan non-esensial, seperti belanja online, langganan streaming, dan makanan kekinian.

    Survei lain dari Katadata Insight Center (KIC) menyebutkan bahwa 45% generasi muda melakukan pembelian impulsif karena pengaruh diskon dan iklan di media sosial.  

    Fenomena ini semakin diperparah dengan maraknya layanan pinjaman online (fintech lending) yang menawarkan kemudahan akses dana instan.

    Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, pada 2022, terdapat 102 juta transaksi pinjaman online, dengan mayoritas pengguna berusia 18-35 tahun.

    Sayangnya, banyak dari mereka yang terjebak dalam utang karena kurangnya pemahaman tentang pengelolaan keuangan.  

    Perbankan Digital: Dari Tren ke Kebutuhan

    Di tengah gaya hidup konsumtif yang kian menggejala, perbankan digital justru mencatat pertumbuhan yang signifikan.

    Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa nilai transaksi digital perbankan meningkat dari Rp 1.200 triliun pada 2018 menjadi Rp 4.500 triliun pada 2022.

    Generasi muda menjadi kontributor utama pertumbuhan ini, dengan 70% pengguna layanan perbankan digital berusia di bawah 35 tahun.  

    Perbankan digital menawarkan kemudahan yang sesuai dengan gaya hidup generasi muda.

    Mulai dari pembukaan rekening tanpa tatap muka, transfer antarbank tanpa biaya, hingga fitur-fitur pengelolaan keuangan yang terintegrasi. 

    Namun, pertanyaannya, apakah generasi muda memanfaatkan layanan ini sekadar untuk memenuhi gaya hidup konsumtif, ataukah untuk membangun kemandirian finansial?  

    Tantangan dan Peluang

    Menurut Aulia Pohan, pengamat ekonomi dan keuangan, gaya hidup konsumtif generasi muda adalah buah dari kemudahan akses dan kurangnya literasi keuangan.

    “Generasi muda hari ini hidup di era yang serba cepat. Mereka mudah terpapar iklan dan tawaran diskon, tetapi kurang memahami pentingnya mengelola keuangan jangka panjang,” ujarnya.  

    Aulia menambahkan, perbankan digital sebenarnya bisa menjadi solusi jika dimanfaatkan dengan bijak.

    “Platform digital banking seperti Krom Bank bisa menjadi alat untuk membantu generasi muda mengatur keuangan, menabung, dan berinvestasi. Namun, ini harus didukung dengan edukasi yang masif,” jelasnya.  

    Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara institusi keuangan, pemerintah, dan masyarakat.

    “Edukasi literasi keuangan harus digencarkan. Generasi muda perlu memahami bahwa kemudahan teknologi finansial bukan hanya untuk memenuhi gaya hidup, tetapi juga untuk membangun kemandirian finansial,” tegas Aulia.  

    Krom Bank: Mitra Finansial Generasi Muda

    Di tengah arus gaya hidup konsumtif yang kian menguat, Krom Bank hadir sebagai salah satu solusi.

    Sebagai salah satu pelaku perbankan digital terkemuka di Indonesia, Krom Bank tidak hanya menawarkan kemudahan transaksi, tetapi juga berkomitmen mendukung generasi muda mencapai kemandirian finansial.  

    Presiden Direktur Krom Bank, Anton Hermawan, menegaskan komitmen perusahaan dalam memperluas layanan dan mendorong inovasi.

    “Kami siap terus berekspansi, menghadirkan inovasi progresif, dan memperkuat konektivitas digital guna mewujudkan visi perusahaan, sekaligus memperkokoh posisi Krom sebagai platform keuangan digital terpercaya yang menghubungkan nasabah dengan solusi finansial yang seamless, relevan, dan bernilai tambah,” ujarnya.

    Fitur Unggulan Krom Bank

    1. Smart Budgeting: Fitur ini memungkinkan pengguna mengategorikan pengeluaran berdasarkan kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Dengan begitu, pengguna bisa lebih aware terhadap pola belanja mereka.  

    2. Investasi Kecil-Kecilan:  Program ini memungkinkan generasi muda memulai investasi dengan modal minim, mulai dari Rp 10.000. “Ini adalah langkah kecil untuk membiasakan mereka menabung dan berinvestasi sejak dini,” tambah Rizki.  

    3. Reminder Tagihan: Fitur ini membantu pengguna mengingat jatuh tempo pembayaran tagihan, sehingga terhindar dari denda keterlambatan.  

    Edukasi dan Literasi Keuangan

    Krom Bank juga aktif mengedukasi generasi muda melalui berbagai program, seperti webinar, konten edukatif di media sosial, dan kolaborasi dengan komunitas muda. 

    Tantangan terbesar dalam mengubah gaya hidup konsumtif generasi muda adalah mindset.

    Banyak dari mereka yang masih melihat uang sebagai alat untuk memenuhi keinginan sesaat, bukan sebagai modal untuk masa depan. 

    Namun, dengan dukungan perbankan digital seperti Krom Bank, harapan untuk menciptakan generasi muda yang mandiri finansial semakin terbuka lebar.  

    Aulia Pohan optimistis bahwa generasi muda bisa menjadi agen perubahan ekonomi Indonesia.

    “Mereka punya potensi besar. Yang dibutuhkan hanyalah arahan dan alat yang tepat. Perbankan digital bisa menjadi salah satu solusi, asalkan digunakan dengan bijak,” ujarnya.  

    Di tengah gemerlap gaya hidup konsumtif, perbankan digital seperti Krom Bank hadir sebagai penyeimbang.

    Bukan sekadar memfasilitasi transaksi, tetapi juga membimbing generasi muda menuju kemandirian finansial. Sebab, di tangan merekalah masa depan ekonomi Indonesia ditentukan.  

    Dengan kombinasi antara kemudahan teknologi, edukasi literasi keuangan, dan kesadaran generasi muda, impian untuk menciptakan generasi yang mandiri finansial bukanlah hal yang mustahil.

    Krom Bank, dengan segala inovasinya, siap menjadi mitra setia dalam perjalanan ini.  

    (*)

  • Manfaat Kesehatan Rutin Mengonsumsi Matcha, Minuman Viral Favorit Gen Z

    Manfaat Kesehatan Rutin Mengonsumsi Matcha, Minuman Viral Favorit Gen Z

    Jakarta

    Matcha semakin populer di kalangan generasi Z. Bubuk teh khas Jepang ini tersedia dengan beragam jenis, mulai dari matcha latte, matcha shot sampai dijadikan bahan tambahan untuk kue.

    Seperti teh hijau, matcha berasal dari tanaman Camellia sinensis. Namun, tanaman ini tumbuh secara berbeda dan memiliki profil nutrisi yang unik.

    Matcha mengandung kafein dan antioksidan daripada yang biasanya ada dalam teh hijau. Penelitian tentang matcha dan komponen-komponennya beragam, mulai dari membantu melindungi hati, meningkatkan kesehatan jantung, dan bahkan membantu penurunan berat badan.

    Dikutip dari Healthline, berikut manfaat rutin mengonsumsi matcha.

    1. Menjaga kesehatan hati

    Organ hati sangat penting bagi kesehatan dan berperan penting dalam membuang racun, memetabolisme obat, dan memproses nutrisi.

    Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa matcha dapat mencegah kerusakan hati dan menurunkan risiko penyakit hati. Namun, penelitian tambahan diperlukan untuk melihat efeknya pada manusia secara keseluruhan.

    2. Meningkatkan fungsi otak

    Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa komponen dalam matcha dapat membantu meningkatkan fungsi otak. Satu penelitian terhadap 23 orang mengamati bagaimana orang melakukan serangkaian tugas yang dirancang untuk mengukur kinerja otak. Mereka yang mengonsumsi matcha menunjukkan peningkatan dalam perhatian, waktu reaksi, dan memori dibandingkan dengan mereka yang mengonsumsi plasebo.

    Matcha telah terbukti meningkatkan perhatian, memori, dan waktu reaksi. Matcha juga mengandung kafein dan L-theanine, yang dapat meningkatkan beberapa aspek fungsi otak.

    3. Mencegah kanker

    Matcha mengandung beberapa senyawa yang telah dikaitkan dengan pencegahan kanker yang dibuktikan pada penelitian dengan hewan. Misalnya, matcha mengandung epigallocatechin-3-gallate (EGCG) yang tinggi, sejenis katekin yang mungkin memiliki sifat antikanker yang kuat.

    Beberapa penelitian laboratorium dan hewan menunjukkan bahwa matcha dapat membantu mencegah beberapa jenis kanker, meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan.

    4. Memperkuat jantung

    Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minum teh hijau, yang memiliki profil nutrisi yang mirip dengan matcha, dapat membantu melindungi terhadap penyakit jantung.

    Konsumsi teh hijau telah dikaitkan dengan risiko penyakit kardiovaskular yang lebih rendah, dibandingkan dengan kopi, dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa teh hijau dapat membantu menurunkan risiko tekanan darah tinggi dan komplikasi lain pada orang dengan penyakit jantung.

    5. Melindungi sel-sel tubuh

    Antioksidan dalam teh hijau, seperti matcha, melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas. Hal ini dapat membantu mengurangi peradangan dan mencegah beberapa kondisi kesehatan kronis seperti penyakit jantung dan diabetes.

    (kna/kna)

  • Gen Z vs Milenial, Siapa yang Lebih Santai, Siapa yang Lebih Serius? Yuk, Cek Bedanya!

    Gen Z vs Milenial, Siapa yang Lebih Santai, Siapa yang Lebih Serius? Yuk, Cek Bedanya!

    Jakarta: Di dunia kerja, media sosial, hingga meja makan keluarga sering banget muncul perdebatan soal siapa yang lebih unggul antara Gen Z atau Milenial? 
     
    Keduanya sama-sama melek teknologi, sama-sama punya mimpi besar. Tapi, cara mereka berpikir, bersikap, bahkan memilih jajan sore aja bisa beda banget!
     
    Nah, biar nggak cuma ikut-ikutan judge generasi lain, yuk kenali lebih dalam perbedaan karakter, kebiasaan, dan pola pikir Gen Z dan Milenial seperti dirangkum dari laman Sahabat Pegadaian.
     
    Siapa tahu kamu jadi lebih ngert atau malah lebih relate!

    Siapa itu Gen Z dan Milenial?
    Sebelum membahas lebih jauh, mari kita sepakati dulu garis waktunya:

    Generasi Z (Gen Z): Lahir antara 1997–2012
    Generasi Milenial (Gen Y): Lahir antara 1981–1996
     
    Artinya, Gen Z sekarang lagi ramai-ramainya masuk dunia kerja, sedangkan Milenial udah banyak yang naik jabatan, punya rumah, atau bahkan anak dua. 
     
    Tapi walaupun usia mereka nggak terlalu jauh, pengaruh zaman yang membentuk keduanya sangat beda.
     

    Pola Pikir: Praktis vs Idealis
    Gen Z dikenal punya gaya berpikir yang praktis dan serba cepat. Kalau bisa diselesaikan dalam 5 menit pakai AI atau aplikasi, kenapa harus ribet?
     
    Sementara milenial lebih terbiasa dengan proses panjang dan kompromi. Mereka cenderung lebih sabar dan telaten karena terbiasa dengan transisi zaman dari analog ke digital.
    Teknologi: Lahir Digital vs Tumbuh Digital
    Kalau Milenial baru kenal internet saat remaja, Gen Z lahir dan tumbuh bersama internet. Media sosial bukan cuma tempat nongkrong online, tapi juga wadah berekspresi, belajar, dan bahkan cari cuan.
     
    Gen Z: TikTok, Instagram, Discord
    Milenial: Facebook, Twitter, LinkedIn
     
    Gen Z lebih nyaman dengan komunikasi visual dan cepat. Milenial lebih suka tulisan panjang dan diskusi mendalam. Jadi kalau kamu lihat Gen Z ngasih respons cuma dengan emoji atau meme, itu bukan malas ya itu memang gaya mereka!
     

    Dunia Kerja: Cepat Beradaptasi vs Loyal Bertahap
    Gen Z itu ibarat freelancer sejati: fleksibel, cepat pindah kalau nggak cocok, dan nggak sungkan mengejar tempat kerja yang sesuai nilai pribadi dan gaya hidup mereka.
     
    Sementara Milenial cenderung lebih loyal, asal perusahaan punya nilai yang mereka yakini. Mereka mau bertahan asalkan merasa dihargai dan punya peluang berkembang.
     
    Gen Z: “Kerja itu bukan cuma soal gaji, tapi juga lingkungan kerja dan waktu fleksibel.”
     
    Milenial: “Kalau perusahaannya stabil dan visinya cocok, aku bisa stay bertahun-tahun.”
    Gaya Komunikasi: Santai vs Semi Formal
    Gen Z suka bahasa yang ringan, penuh singkatan, dan ekspresif. Mereka terbiasa pakai bahasa yang cepat nyambung, walau kadang nggak baku.
     
    Sementara Milenial lebih sering menjaga struktur bahasa, apalagi saat urusan profesional. Cenderung lebih “rapi” dan formal, meskipun sudah mulai santai juga.
    Pendidikan dan Belajar: Mandiri vs Formal
    Gen Z punya akses ke jutaan sumber belajar online dari YouTube, TikTok, sampai webinar. Jadi mereka nggak selalu bergantung pada pendidikan formal.
     
    Sementara Milenial masih memprioritaskan kuliah sebagai jalur utama untuk membangun karier. Mereka melihat gelar sebagai bekal penting.
     

    Gaya Belanja dan Keuangan: Bijak vs Impulsif
    Gen Z cenderung lebih sadar finansial. Mereka terbiasa cari diskon, budgeting lewat aplikasi, dan mikir dua kali sebelum belanja.
     
    Milenial dikenal sebagai generasi yang suka memanjakan diri, kadang belanja impulsif dengan dalih self reward.
     
    Menariknya, Milenial juga lebih akrab dengan kartu kredit, sementara Gen Z lebih suka metode cashless seperti e-wallet dan paylater tapi dengan perhitungan.

    Isu Sosial: Peka dan Suara Keras
    Gen Z nggak cuma update sama isu sosial, tapi juga vokal. Mereka terbiasa menyuarakan pendapat lewat media sosial, menggalang dana online, sampai boikot produk yang nggak sesuai nilai mereka.
     
    Sementara Milenial juga peduli, tapi cenderung lebih hati-hati dalam menyampaikan sikap. Mereka memilih cara yang strategis dan sering jadi jembatan antara generasi tua dan muda.
    Kenali dan Hargai Perbedaannya
    Gen Z: Praktis, tech savvy, ekspresif, cepat beradaptasi
    Milenial: Loyal, berprinsip, adaptif, suka proses
     
    Masing-masing punya keunggulan. Kalau kamu Gen Z, hargai proses dan belajar sabar. Kalau kamu Milenial, jangan takut belajar hal baru dan lebih fleksibel.
     
    Yuk, saling memahami. Karena di balik perbedaan, ada banyak hal yang bisa kita pelajari satu sama lain.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • Tren Velocity Mewabah, Apa Dampak Ikut-Ikutan Hal Viral?

    Tren Velocity Mewabah, Apa Dampak Ikut-Ikutan Hal Viral?

    JAKARTA – Selama sebulan terakhir, velocity menjadi tren yang digandrungi banyak orang. Meski disebut sebagai trennya generasi Z, rupanya velocity juga dilakukan oleh berbagai generasi, bahkan sampai Presiden Prabowo Subianto.

    Saat ini velocity ramai dibahas warganet. Awalnya, velocity populer di TikTok, namun lama-kelamaan tren ini merambah ke platform media sosial lainnya.

    Banyak content creator memanfaatkan tren ini untuk membuat video dengan transisi gerakan yang lebih dinamis, sehingga menghasilkan visual yang menarik.

    Terkini, virus velocity juga menjangkiti sejumlah artis hingga pejabat. Presiden Prabowo Subianto diketahui ikut belajar velocity setelah diajak awak media mengikuti goyang tersebut saat open house Idulfitri beberapa waktu lalu.

    Demikian pula dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang ikut ketularan tren joget velocity saat Lebarang bareng keluarga besar di Semarang.

    Bermula dari TikTok

    Media sosial TikTok memang hampir selalu menghadirkan beragam tren kreatif yang menarik perhatian penggunanya. Sebelum virus velocity mewabah, sudah banyak tren lainnya yang diikuti masyarakat.

    Tren dance challenge, video tutorial, sampai tren-tren lainnya seperti we listen, we don’t judge, dan Aku Bisa Yura, juga tak luput dari perhatian warga.

    Setidaknya sebulan terakhir ini giliran tren velocity yang viral. Momen buka bersama saat Ramadan sampai silaturahmi ketika Lebaran bahkan disebut kurang lengkap tanpa melakukan joget velocity.

    Istilah velocity sebenarnya diambil dari bahasa Inggris, yang artinya “kecepatan”. 

    Velocity adalah salah satu teknik editing video yang populer di platform TikTok. Dalam tren ini, pengguna medsos memanfaatkan efek bawaan aplikasi yang dikenal dengan nama Velocity untuk mengatur kecepatan video.

    Media sosial TikTok kerap menghadirkan tren yang diikuti banyak orang. (Unsplash)

    Dengan menggunakan efek ini, akan tercipta tampilan visual yang dramatis dan sinematik, sehingga sering diterapkan dalam video tarian, transisi, atau untuk menyoroti momen spesifik.

    Durasi video velocity di TikTok cukup beragam, tapi umumnya hanya berlangsung sekitar 10 sampai 14 detik. 

    Pengaturan gerakan hingga pemilihan lagu menjadi elemen penting dalam tren ini. 

    Menurut sejumlah sumber, tren ini mulanya hanya digandrungi pengguna media sosial di Indonesia. Namun belakangan tren velocity ternyata juga banyak diikuti idol Korea Selatan.

    Tak heran, tren velocity ini makin viral karena memang banyak idol Korsel yang digemari di Indonesia. 

    Bandwagon Effect

    Sebenarnya ini bukan kali pertama masyarakat Indonesia ikut-ikutan tren yang sedang viral di media sosial. Pada dasarnya, fenomena ikut tren ini tidak hanya terjadi di dunia medsos saja. 

    Dalam kehidupan sehari-hari, manusia juga gemar mengikuti hal-hal yang dianggap viral. 

    Contohnya adalah tren botol minum merk tertentu yang banyak dibeli masyarakat padahal harganya lumayan mahal.  

    Mengapa manusia cenderung mengikuti hal-hal yang viral? 

    Kata Dosen Psikologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Fadjri Kirana Anggrani, SPsi MA, perilaku mengikuti tren viral memiliki sebutan tersendiri, yaitu Bandwagon Effect.

    Bandwagon Effect tergorolong ke dalam fenomena psikologi. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan fenomena di mana seseorang cenderung mengikuti suatu tren, mulai dari gaya hidup, perilaku, cara berpakaian, cara berbicara, atau konten media sosial.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani ikut tren velocity saat bersama keluarga besar di Semarang. (Instagram/@smidrawati)

    “Bandwagon Effect merupakan salah satu bentuk bias kognitif karena adanya pengaruh dari orang lain maupun kelompok,” kata Fadjri, mengutip laman resmi kampus.

    Fadjri menjelaskan, tren yang diketahui dengan istilah viral biasanya terjadi di media sosial seperti TikTok dengan exposure yang tinggi.

    Hal ini akan memengaruhi orang sehingga menjadi penasaran untuk mengikuti suatu tren.

    “Exposure ini makin berhasil memuat orang berperilaku ikut-ikutan,” ia mengimbuhkan. 

    Bijak Bermedia Sosial

    Lebih lanjut, Fadjri juga menguraikan bagaimana exposure dapat memengaruhi masyarakat mengikuti tren. Pertama karena adanya konformitas atau sosok pemeran dalam exposure tesebut mendorong masyarakat mengikuti tren.

    Kedua, pengaruh interpersonal, yaitu meski exposure di media sosial tinggi, namun seseorang mengikuti hal viral karena bujukan orang terdekat.

    Ketiga adalah fear of missing out atau disebut juga FOMO, yaitu karena ada perasaan takut ketinggalan lantaran tak ikut yang tengah viral.

    Terakhir, curiosity yaitu rasa penasaran yang timbul dengan apa yang terjadi karena adanya exposure tinggi di media sosial.

    “Serta semua motif keputusan yang mendasari i atas bisa menuntut kita untuk mengambil keputusan ikut-ikutan secara rasional atau intuitive berlaka,” Fadjri menjelaskan.

    Lebih lanjut psikolog UNS itu berperan agar masyarakat bisa bijak menyikapi sesuatu yang tengah menjadi tren atau viral. 

    Mengikuti sesuatu yang sedang viral boleh-boleh saja, menurut Fadjri, namun perlu dipikirkan secara matang mengenai kebutuhan dan dampaknya pada diri.

    “Dengan demikian, keputusan yang diambil atas dasar rasionalitas bukan intuisi karena ikut-ikutan,” pungkasnya.

  • Konten Digital Favorit Gen Z Selama Ramadan, Kamu Juga Ikut Tren Ini?

    Konten Digital Favorit Gen Z Selama Ramadan, Kamu Juga Ikut Tren Ini?

    Jakarta: Bulan Ramadan selalu membawa suasana yang berbeda, termasuk dalam konsumsi konten digital. Generasi Z, yang dikenal sebagai pengguna media sosial paling aktif, punya selera unik dalam menikmati konten selama bulan puasa.
     
    Dari video inspiratif hingga trik memasak sahur yang praktis, apa saja sih yang paling digandrungi?
    Konten yang bikin mewek naik daun
    Menurut Kepala Pemasaran Produk Makanan Wings Food, Katria Arintya Anindyantari, Gen Z saat ini sangat menyukai konten emosional atau yang sering disebut “cryvertising.” 
     
    Video kampanye yang menyentuh hati, terutama yang mengangkat tema kebersamaan dan kebaikan di bulan Ramadan, cenderung lebih mudah viral dan mendapatkan banyak interaksi.

    “Gen Z menyukai ‘cryvertising’ atau video-video kampanye yang menyentuh, juga video pendek berisi konten ‘hacks’ atau ‘cara praktis melakukan sesuatu’ yang menjadi tren di media sosial,” kata Katria dilansir Antara, Kamis, 27 Maret 2025.
     

    Hacks Ramadan yang paling dicari
    Selain video yang bikin mewek, Gen Z juga suka dengan konten informatif yang simpel dan langsung bisa dipraktikkan. 
     
    Tren “hacks” atau cara cepat dan praktis dalam melakukan sesuatu, termasuk resep sahur dan berbuka yang simpel, jadi favorit. Beberapa contoh video yang banyak ditonton adalah resep sahur praktis seperti “Mie Goreng Tek-Tek” dan “Easy Cheesy Noodle.”
     
    Lalu, menu berbuka puasa yang simpel dan enak, seperti “Spicy Beef Ramen” dan “Chicken Curry Soup Noodle.”
    Konsumsi konten digital meningkat
    Ternyata, meningkatnya konsumsi konten digital selama Ramadan juga berdampak pada kebiasaan belanja Gen Z. Berdasarkan data perilaku konsumsi digital Ramadan 2024 yang dikutip Katria, ada beberapa tren menarik. Sebanyak 50 persen Gen Z berbelanja setelah melihat iklan di media sosial. Lalu sebanyak 42 persen mau merekomendasikan produk atau merek kepada orang lain.
     
    Kemudian sebanyak 38 persen tertarik mencoba produk pakaian dan kecantikan baru 38 persen mencari resep masakan baru yang simpel, dan 38 persen lebih terinspirasi untuk berbagi dan melakukan kebaikan selama Ramadan.
    Podcast dan hiburan digital jadi teman setia jelang berbuka
    Selain video pendek, podcast juga jadi salah satu format konten favorit Gen Z selama Ramadan. Salah satu contoh yang sukses adalah podcast “BuBaran” yang menghadirkan obrolan seru bersama grup musik The Changcuters.  Podcast ini membahas pengalaman Ramadan mereka, dari kebiasaan unik hingga tradisi Lebaran yang menarik.
     
    “Melalui ‘podcast BuBaran’ ini, kami ingin memberikan hiburan yang relevan dengan gaya hidup Gen Z, sambil tetap mengingatkan pentingnya berbagi dan menjaga hubungan baik dengan sesama. Semoga Ramadhan kali ini bisa menjadi momen refleksi dan kebaikan bagi kita semua,” kata Katria.
     
    Jadi, dari semua tren ini, mana yang paling sering kamu nikmati?

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • Persewaan iPhone Jadi Pilihan Gen Z Saat Ramadan dan Lebaran

    Persewaan iPhone Jadi Pilihan Gen Z Saat Ramadan dan Lebaran

    Solo, Beritasatu.com – Momen Lebaran menjadi ladang rezeki bagi berbagai lini usaha, termasuk usaha persewaan ponsel cerdas, khususnya merk iPhone. Bisnis persewaan ini mungkin belum banyak dikenal, tetapi ternyata diminati oleh kalangan generasi Z (gen Z).

    iPhone yang diproduksi oleh Apple Inc dikenal dengan kecanggihan fitur dan kualitas kameranya, membuatnya laris tidak hanya dalam penjualan, tetapi juga dalam persewaan. 

    Hal ini terlihat jelas di Kota Solo, Jawa Tengah, sebuah kios bernama Persewaan iPhone Nusantara berhasil menyewakan puluhan unit iPhone selama Ramadan dan menjelang Lebaran. Permintaan ponsel pintar tersebut melonjak tajam, bahkan mencapai dua kali lipat dibandingkan hari biasa.

    Selama Ramadan dan menjelang Lebaran persewaan iPhone menjadi ide bisnis bagi gen Z. – (Beritasatu.com/Ardina Rizka)

    Dengan hanya merogoh kocek puluhan ribu rupiah saja, para penyewa yang sebagian besar adalah gen Z dapat merasakan sensasi menggunakan iPhone, baik untuk berswafoto, membuat konten, maupun untuk memenuhi gengsi.

    Kenaikan Permintaan iPhone pada Saat Lebaran

    Kepala Kantor Persewaan iPhone Nusantara Solo, Fahmi  menjelaskan, kiosnya mulai ramai sejak pertengahan Ramadan hingga menjelang Lebaran. Sebagian besar penyewa menggunakan iPhone untuk membuat konten foto atau video bersama keluarga. 

    “Pada Ramadan, terutama dua minggu sebelum Lebaran, permintaan penyewaan iPhone sangat tinggi, terutama untuk acara buka bersama (bukber) dan kegiatan lainnya yang melibatkan video. Bahkan, banyak yang sudah melakukan pemesanan jauh-jauh hari. Ada yang memesan sekitar 15 unit iPhone, meskipun Lebaran masih beberapa hari lagi. Pada saat Lebaran, permintaan bisa mencapai 30 unit per hari,” jelas Fahmi kepada Beritasatu.com beberapa waktu lalu.

    Tidak jarang, kiosnya harus menolak permintaan penyewaan karena unit yang tersedia sudah habis.

    Jenis Penyewa dan Tujuan Penyewaan

    Penyewa di kios ini terbagi menjadi dua kategori. Pertama, penyewa yang menggunakan iPhone untuk keperluan pribadi atau untuk memenuhi gengsi, biasanya dari kalangan usia 17 hingga 28 tahun. 

    Kedua, ada juga kalangan profesional, seperti mahasiswa atau pekerja yang menggunakan iPhone untuk bekerja atau keperluan tugas.

    “Penyewaan biasanya ramai pada akhir pekan, terutama pada Jumat, Sabtu, dan Minggu. Banyak penyewa yang menggunakan iPhone untuk acara konser, editing video, atau sekadar untuk keperluan pribadi. Banyak juga gen Z yang menyewa untuk terlihat lebih mewah. Namun, sebagian besar dari mereka memanfaatkan kualitas kamera dan aplikasi-aplikasi di iPhone untuk membuat konten,” ungkap Fahmi.

    Prosedur Penyewaan yang Mudah

    Untuk melakukan penyewaan iPhone, Fahmi menjelaskan bahwa penyewa hanya perlu menyerahkan jaminan berupa kartu identitas, seperti KTP atau SIM, serta kartu keluarga (KK) atau kartu mahasiswa (KTM). Penyewa juga diwajibkan membayar sesuai dengan harga sewa yang berlaku. 

    Tipe iPhone yang tersedia pun sangat bervariasi, sehingga penyewa dapat memilih sesuai dengan kebutuhan mereka.

  • Berburu sandang untuk lebaran di Pasar Tanah Abang

    Berburu sandang untuk lebaran di Pasar Tanah Abang

    Jakarta (ANTARA) – Sahut-menyahut suara lantang pedagang terdengar nyaring ketika kaki ini berlabuh di pasar grosir sandang terbesar di Asia Tenggara.

    Suara itu nyaris seirama satu dengan lainnya. “Ya boleh dilihat dahulu,” “Silakan mampir, harga murah,” begitulah suara yang menggema di Pasar Tanah Abang pada siang itu.

    Sesekali langkah kaki ini terhenti karena harus bergantian berjalan di lorong antar-tenan pedagang yang terletak di Blok G lantai dasar tambahan).

    Tawar-menawar antara penjual dan pembeli menjadi pemandangan yang lazim di pusat grosir tersebut.

    Seorang pembeli yang berasal dari Pandeglang, Banten, Caca 24 tahun mengaku baru pertama kali membeli baju Lebaran di Tanah Abang. Ia mengaku penasaran dengan hiruk-pikuk pasar sandang itu.

    Di pilihnya Pasar Tanah Abang sebagai tempat untuk berbelanja baju Lebaran karena banyak pilihan yang ditawarkan.

    Berbeda dengan toko pakaian atau butik yang jumlah dan modelnya terbatas, di Tanah Abang, apa pun yang dicari pasti akan ditemui.

    Selain itu kelebihan lainnya ketika beli secara langsung, kata dia, pembeli dapat mengetahui kualitas bahan yang tidak bisa ditemui saat membeli secara daring.

    “Harga memang murah di online tapi datang langsung lebih puas,” kata Caca saat ditemui di Pasar Sandang terbesar itu belum lama ini.

    Caca tidak hanya sendiri yang berbelanja baju lebaran, tapi masih banyak pembeli lainnya dari berbagai daerah memilih berburu baju Lebaran di Pasar Tanah Abang.

    Untuk daerah luar Jakarta “baju Tanah Abang” menjadi kebanggaan tersendiri bagi penggunanya. Karena kualitasnya dianggap lebih baik dibandingkan baju yang di jual di toko pakaian lainnya.

    Tak jarang para pembeli jauh-jauh dari luar Jakarta rela menyempatkan waktunya untuk mendapatkan baju Tanah Abang.

    Tren itu memang masih ditemukan di luar daerah khususnya bagi ibu-ibu bukan untuk Generasi Z yang lebih suka belanja daring.

    Seperti dikatakan pembeli asal Indramayu, Jawa Barat, Umiyati, ia lebih suka membeli barang yang berlabel Tanah Abang karena kualitasnya sudah terjamin sejak puluhan tahun lalu.

    Meski saat ini marak belanja daring, namun Tanah Abang masih menjadi pilihan untuk koleksi baju Lebaran.

    Jelang Lebaran

    Aktivitas jual beli di pusat grosir tekstil terbesar itu pasti meningkat terutama menjelang Lebaran Idul Fitri.

    Setiap tahunnya pada momen tersebut pedagang di Pasar Tanah Abang akan meraup keuntungan.

    Keramaian Pasar Tanah Abang akan terjadi di waktu-waktu tertentu seperti menjelang Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Waktu-waktu itulah yang akan menampakkan wajah Tanah Abang dengan hiruk-pikuknya.

    Pengelola Pasar Tanah Abang Blok A Heri Supriyatna mengatakan bahwa menjelang Lebaran 2025 jumlah pengunjung di Tanah Abang masih tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya.

    Data tersebut diperoleh dari jumlah parkir kendaraan yang masuk ke pusat grosir tekstil terbesar se-Asia Tenggara itu.

    Pedagang saat melayani pembeli di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (26/3/2025). ANTARA/Khaerul Izan

    Seorang pedagang yang berada di Pasar Tanah Abang Blok B Boy mengaku aktivitas jual beli turun bila dibandingkan tahun sebelumnya.

    Lima hari menjelang lebaran saja, kata Boy, masih banyak stok baju yang dijajakan di empat tokonya belum habis terjual.

    Padahal pada momentum lima hari menjelang Lebaran 2024 pembeli sudah tidak bisa memilih lagi model karena hampir semua barangnya telah terjual.

    Bahkan omzet yang didapatkan selama satu bulan bisa mencapai Rp1 miliar satu toko. Kini omzet yang didapatkan jauh turun hanya bisa mencapai Rp600 juta.

    “Tahun lalu saya bisa menjual sebanyak 18.000 potong, kini setengahnya saja belum habis,” kata Boy saat berbincang dengan ANTARA.

    Penjualan tekstil di Pasar Tanah Abang memang tidak selalu ramai, karena ada waktu-waktu tertentu di mana penjualan akan melesat dan itu telah disadari oleh para pedagang.

    Daya beli menurun

    Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa secara tahunan (y-o-y) pada awal 2025, Indonesia deflasi dan ini menjadi yang pertama dalam kurun 25 tahun.

    BPS mencatat, deflasi yang terjadi pada awal tahun ini disebabkan diskon tarif listrik yang menyumbang sampai 2,16 persen, di susul beras, tomat, dan cabai merah 0,11 persen.

    Deflasi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun ini kata Guru Besar bidang Ilmu Menajemen Universitas Muhammadiayah Surakarta (UMS) Prof Anton Agus Setyawan dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat. Kondisi tersebut jelas berdampak pada sektor ekonomi Indonesia.

    Menurut Anton, penurunan daya beli masyarakat dapat dilihat dari menurunnya konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

    Sektor perdagangan dan jasa pun turut terdampak, mengingat menurunnya pengeluaran masyarakat.

    Seperti dikatakan Anton dalam keterangan resmi di website UMS, pada awal 2025, hampir 14.000 pekerja formal kehilangan pekerjaan akibat penurunan di sektor manufaktur. Dan ini mempengaruhi pendapatan rumah tangga serta berdampak pada daya beli masyarakat yang turun.

    Ekonom UMS itu mengusulkan beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah, baik dalam jangka pendek maupun panjang.

    Dalam jangka pendek, pemerintah dapat memperluas penerima manfaat dari program bantuan sosial, seperti program Keluarga Harapan, dengan menambah jumlah keluarga yang menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT).

    Hal ini akan membantu meningkatkan daya beli masyarakat yang terdampak langsung.

    Selain Anton, hal senada juga disampaikan oleh Ekonom dan Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai penurunan daya beli ini bukan sekadar fluktuasi ekonomi, namun mencerminkan tantangan yang harus segera diatasi.

    Data BPS menunjukkan jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menyusut dari 21,5 persen pada 2019 menjadi 17,1 persen pada 2024.

    Data tersebut menunjukkan sekitar 10 juta individu mengalami ketidakpastian ekonomi tanpa mendapat bantuan signifikan dari pemerintah.

    Kondisi penurunan daya beli juga diamini oleh pedagang Pasar Tanah Abang, karena pada momentum Lebaran 2025 pusat grosir itu tidak seramai tahun sebelumnya.

    Penurunan omzet di Tanah Abang bukan hanya sekedar persaingan dengan toko daring, tapi yang paling terasa karena daya beli masyarakat menurun.

    Hal ini dibuktikan pada Lebaran 2024 meski ada persaingan dengan toko daring namun para pedagang masih mendapatkan omzet yang lebih tinggi dibandingkan momentum Lebaran 2025.

    Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
    Copyright © ANTARA 2025

  • Perlukah Negara-negara Afrika Terapkan Pajak Bagi Kaum Super Kaya?

    Perlukah Negara-negara Afrika Terapkan Pajak Bagi Kaum Super Kaya?

    Jakarta

    Saat semua pemerintah berjuang mencari dana untuk meningkatkan layanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan kebutuhan lainnya, negara-negara Afrika justru semakin terbebani oleh utang yang terus meningkat.

    Selama bertahun-tahun, pemerintah Afrika rata-rata menghabiskan lebih banyak anggaran untuk membayar utang dibandingkan untuk sektor kesehatan. Di saat yang sama, inflasi semakin mempersempit kemampuan mereka untuk berinvestasi. Untuk keluar dari lingkaran ini, banyak pemerintah mulai mencari sumber pendapatan baru.

    “Banyak negara memilih jalur termudah, yakni mengambil keuntungan dari sumber yang paling mudah dijangkau,” kata Alvin Mosioma, pakar perpajakan yang juga menjabat sebagai wakil direktur program ekonomi dan iklim di Open Society Foundation, Nairobi.

    “Pemerintah memberlakukan pajak konsumsi karena mereka tahu bahwa masyarakat tetap harus berbelanja. Pajak seperti ini tidak bisa dihindari,” ujar Mosioma kepada DW.

    Pajak konsumsi terbaru memicu kemarahan warga

    Di Kenya, warga yang sudah kesulitan akibat inflasi semakin marah dengan rencana pajak baru. Setelah Presiden William Ruto mengumumkan pada Juni 2024 bahwa pemerintah akan mengurangi utang nasional dengan menerapkan pajak baru pada makanan dan barang konsumsi, gelombang protes besar-besaran meletus. Tekanan publik yang kuat memaksa Ruto membatalkan rencana tersebut dan merombak sebagian besar kabinetnya.

    Perlawanan yang didominasi oleh Generasi Z ini, juga menginspirasi aksi serupa di Nigeria, Uganda, dan Ghana. Namun, di negara-negara tersebut, protes lebih berfokus pada meningkatnya biaya hidup yang semakin membebani masyarakat miskin.

    Menurut Mosioma, setiap negara harus menghitung tingkat kekayaan secara spesifik untuk mengatasi ketimpangan.

    Seruan untuk pajak kekayaan makin kuat

    Kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar, dan ini bukan hanya terjadi di Afrika. Laporan terbaru dari NGO Oxfam mengungkapkan bahwa 60% populasi termiskin di dunia telah kehilangan kekayaan gabungan sebesar 20 miliar dolar AS (sekitar Rp330 triliun) sejak 2020.

    Sementara itu, para miliarder justru semakin kaya, dengan total kekayaan mereka bertambah 3,3 triliun dolar AS (sekitar Rp54 ribu triliun) dalam periode yang sama. Oxfam mencatat bahwa “kekayaan mereka tumbuh tiga kali lebih cepat dibandingkan laju inflasi.” Karena itu, NGO tersebut kembali mengusulkan pajak kekayaan, yakni sebuah gagasan yang sebenarnya telah lama diperbincangkan.

    Pada November lalu, di bawah kepemimpinan Brasil, G20 menyepakati formula kompromi untuk perpajakan yang lebih efektif bagi kaum super kaya. Namun, usulan pajak tahunan sebesar 2% atas kekayaan mereka gagal disetujui karena mendapat penolakan dari Jerman dan Amerika Serikat.

    Afrika Selatan kini menjadikan isu ini sebagai prioritas dalam kepemimpinannya di G20. Pada April 2020, sejumlah akademisi Afrika Selatan mengusulkan pajak kekayaan solidaritas untuk membiayai bantuan COVID-19. Salah satu pendukungnya adalah ekonom Aroop Chatterjee dari Universitas Witwatersrand di Johannesburg, yang meneliti ketimpangan kekayaan.

    “Untuk mengatasi ketimpangan, kita harus melihat lebih dalam dan mempengaruhi proses yang menyebabkannya. Pajak kekayaan hanyalah salah satu alat kebijakan untuk menghasilkan pendapatan. Masih banyak hal lain yang perlu dilakukan setelahnya,” ujar Chatterjee kepada DW.

    Chatterjee juga mengingatkan potensi dampak negatif dari pajak kekayaan: “Selalu ada risiko pelarian modal, baik dalam bentuk penghindaran pajak yang legal maupun penggelapan pajak yang ilegal,” katanya. “Namun, kami telah mempertimbangkan faktor ini dalam perhitungan kami.”

    Afrika Selatan punya jutawan terbanyak dan ketimpangan terbesar

    Tidak ada negara di dunia dengan distribusi pendapatan yang paling timpang, selain di Afrika Selatan. Dalam perhitungan Bank Dunia, negara ini secara konsisten menempati peringkat teratas dalam indeks Gini, indikator matematika yang mengukur ketimpangan ekonomi di berbagai negara.

    Ekonom Aroop Chatterjee menilai bahwa sejarah dan institusi di Afrika Selatan memainkan peran besar dalam ketimpangan ini. “Pola akumulasi kekayaan yang terbentuk selama era kolonial dan apartheid masih berlanjut hingga kini. Ini mencakup diskriminasi rasial dalam kepemilikan tanah dan partisipasi ekonomi secara keseluruhan,” jelasnya.

    Afrika Selatan juga menjadi sorotan dalam berbagai survei. Laporan Africa Wealth Report dari konsultan kekayaan Inggris, Henley & Partners, mencatat bahwa negara ini memiliki 37.400 jutawan dalam dolar AS, yaitu orang-orang dengan aset lebih dari satu juta dolar AS.

    Angka ini mewakili lebih dari seperempat total jutawan di Afrika, dan Johannesburg menjadi rumah bagi hampir satu dari sepuluh jutawan di benua itu, diikuti oleh Cape Town di peringkat kedua.

    Pajak kekayaan dan fenomena ‘bangkitnya oligarki’

    Di Open Society Foundation, Mosioma melihat kendala dalam upaya negara mengenakan pajak lebih tinggi pada orang-orang terkaya. Salah satu tantangan utamanya adalah bahwa otoritas pajak sering kali tidak memiliki data lengkap tentang aset mereka, seperti properti, investasi, dan dana tersembunyi.

    Para miliarder dapat memindahkan aset mereka dengan cepat, membuat negara sulit mengejarnya. Meski begitu, kata Mosioma, otoritas pajak di Kenya dan Uganda kini telah membentuk unit khusus yang berfokus pada individu terkaya.

    Tantangan lainnya adalah banyak politisi, terutama di Kenya, berasal dari kalangan kaya sehingga pajak kekayaan akan berdampak langsung pada mereka sendiri. Mosioma menyebut fenomena ini sebagai “bangkitnya oligarki.” Menurutnya, pajak kekayaan yang efektif hanya dapat diterapkan oleh politisi yang tidak memiliki kepentingan pribadi di dalamnya. “Mereka harus berasal dari elite politik, tetapi tidak boleh mengorbankan kebijakan demi kepentingan ekonomi mereka sendiri,” ujarnya.

    Tapi ada harapan baru dari Senegal, yakni oposisi sayap kiri menang telak dalam pemilu tahun lalu. Namun, keberhasilan pajak kekayaan tetap bergantung pada berbagai faktor, termasuk kemauan politik, efektivitas otoritas pajak, dan kebijakan yang jelas.

    Hingga kini, belum ada satu pun pemerintah di Afrika yang benar-benar menerapkan pajak kekayaan sebagai instrumen untuk mengurangi ketimpangan dan memastikan para miliarder berkontribusi lebih banyak bagi kesejahteraan publik.

    Diadaptasi dari artikel DW bahasa Inggris

    Lihat juga Video: Yoo Yeon Seok Tersandung Kasus Pajak Rp 79,1 Miliar

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Gen Z Diminta Tingkatkan Pengetahuan Terkait Sektor Keuangan Agar Terhindar dari Jebakan Konsumtif – Halaman all

    Gen Z Diminta Tingkatkan Pengetahuan Terkait Sektor Keuangan Agar Terhindar dari Jebakan Konsumtif – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Generasi Z tumbuh di era digital dengan akses tak terbatas ke informasi dan tren konsumsi.

    Dengan pengaruh media sosial yang kuat, kebiasaan belanja impulsif menjadi tantangan tersendiri dalam mengelola keuangan.

    Wakil Direktur Utama Bank Mandiri, Alexandra Askandar mendorong generasi muda untuk aktif dalam berbagai inisiatif yang bertujuan meningkatkan literasi finansial.

    Menurutnya, pemahaman yang baik tentang perencanaan keuangan dan pemanfaatan layanan perbankan yang tepat dapat membantu Gen Z mengatur keuangan dengan lebih efektif.

    Alexandra Askandar menilai bahwa teknologi perbankan yang mudah digunakan dapat membantu anak muda dalam membangun kebiasaan finansial yang lebih disiplin.

    “Bank Mandiri aktif menyebarkan edukasi finansial melalui Instagram, TikTok, dan YouTube, bekerja sama dengan kreator konten dan pakar keuangan. Informasi seputar budgeting, investasi, dan tabungan disampaikan dengan cara yang lebih ringan dan mudah dipahami,” kata Alexandra dalam keterangan yang diterima, Senin (24/3/2025).

    LITERASI KEUANGAN GEN Z – Wakil Direktur Utama Bank Mandiri, Alexandra Askandar.

    Alexandra Askandar juga mendorong pendekatan edukasi berbasis digital agar anak muda lebih mudah memahami pentingnya perencanaan keuangan melalui platform yang relevan dengan keseharian mereka.

    “Setiap individu memiliki kebutuhan finansial yang berbeda. Bank Mandiri menyediakan berbagai produk keuangan yang dapat membantu mereka dalam mengelola keuangan dengan lebih fleksibel,” ujarnya.

    Beberapa yang menjadi pilihan diantaranya tabungan, yang memungkinkan pengguna untuk menabung secara rutin sesuai dengan target keuangan mereka.

    Kedua, instrumen investasi seperti reksa dana dan obligasi dengan modal yang terjangkau.

    Dan kartu debit dan kredit, yang menawarkan berbagai keuntungan dalam transaksi digital dan program cashback.

    Menurutnya, anak muda penting mengenal berbagai pilihan produk keuangan agar dapat menyesuaikan strategi finansial mereka dengan kondisi dan tujuan yang ingin dicapai.

    Alexandra menjelaskan, salah satu tantangan yang dihadapi Gen Z adalah pengaruh tren konsumsi yang berkembang cepat.

    Berikut beberapa tips agar anak muda dapat mengelola pengeluaran dengan lebih bijak:

    Membuat anggaran bulanan: Memisahkan pendapatan untuk kebutuhan pokok, tabungan, investasi, dan hiburan dengan porsi yang sesuai.
    Mengontrol penggunaan kartu kredit atau paylater: Menggunakan fasilitas ini hanya untuk kebutuhan yang benar-benar penting dan sesuai dengan kemampuan finansial.
    Memprioritaskan tabungan dan investasi: Sebelum mengikuti tren belanja, mengalokasikan dana untuk tabungan atau aset yang lebih bermanfaat dalam jangka panjang.

    “Kesadaran terhadap pola konsumsi dapat membantu anak muda dalam membangun kebiasaan finansial yang lebih sehat. Dengan perencanaan yang baik, pengeluaran bisa lebih terkendali tanpa mengorbankan kebutuhan utama,” ujarnya.

    Selain menabung dan berinvestasi, banyak anak muda yang mulai tertarik untuk membangun bisnis sendiri.

    Alexandra menambahkan, berbagai program pembiayaan dan kredit usaha yang dapat diakses oleh wirausaha muda.

    Dia menjelaskan, akses pembiayaan yang lebih mudah diharapkan dapat membantu anak muda dalam mengembangkan bisnis mereka dengan lebih optimal. Dengan dukungan yang tepat, peluang untuk membangun usaha yang berkelanjutan bisa semakin terbuka.

    “Kami terus menghadirkan inovasi dan edukasi finansial agar generasi muda lebih sadar dalam mengelola keuangan mereka. Dengan memanfaatkan teknologi perbankan, memahami strategi investasi, dan menerapkan pola konsumsi yang lebih terencana, Gen Z dapat membangun fondasi finansial yang lebih stabil,” kata Aelxandra.