Topik: Generasi Z

  • Slow Living Jadi Pilihan di Tengah Ekonomi Sulit, Hemat Tanpa Tersiksa

    Slow Living Jadi Pilihan di Tengah Ekonomi Sulit, Hemat Tanpa Tersiksa

    Jakarta

    Konsep hidup slow living di kalangan masyarakat mulai diminati, apalagi di tengah gempuran tantangan ekonomi dan kondisi global yang serba cepat serta tidak menentu. Konsep ini mengedepankan ritme yang tidak terburu-buru dalam hidup, mengedepankan kesederhanaan, dan mengurangi konsumsi yang berlebihan dengan memikirkan dampak atas langkah yang akan diambil.

    Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengatakan konsep ini cenderung diminati generasi milenial dan generasi Z. Kini, sejumlah kalangan dari generasi tersebut mulai mengamini bahwa uang bukanlah pusat dari segalanya.

    Fenomena slow living bisa jadi mengindikasikan adanya pergeseran cara pandang masyarakat terhadap kondisi ekonomi saat ini. Tauhid bilang, dengan adanya situasi tekanan ekonomi yang tinggi, pelaku slow living bisa memanfaatkan konsep ini untuk mengurangi biaya hidup.

    “Slow living memang ada dua perspektif. Kalau tekanan ekonomi tinggi, dia bisa memanfaatkan slow living untuk mengurangi cost,” kata Tauhid saat dihubungi detikcom pada Sabtu (26/7/2025).

    Menurut Tauhid, kaitan antara konsep slow living dengan kondisi finansial yaitu soal menerapkan keseimbangan dalam hidup. Alias, hidup tidak cuma bicara perkara mengejar fulus saja, tapi juga soal kehidupan sosial dan pribadi.

    “Maka biasanya memilih untuk tidak mengejar soal income yang lebih tinggi, tapi keseimbangan yang mereka kejar. Mereka kadang-kadang (beranggapan) ngapain kerja berat sampai malam, tapi mentalnya tertekan. Tidak mengejar target harus menjadi prestasi, yang penting kerjaan beres,” beber Tauhid.

    Jika melihat kota-kota besar di negara lain seperti Singapura, Tokyo, dan sebagainya itu hampir bisa dibilang mustahil menerapkan konsep slow living, kata Tauhid. Di kota besar, orang bergerak serba cepat, terburu-buru seperti akan kehabisan waktu, dan manusia layaknya robot.

    “Jadi tidak bisa menikmati suasana karena dipaksa untuk mengejar income yang tinggi. Menurut saya, sisi humanisnya ini tidak muncul. Mungkin di kota kita, sebagian besar kenapa happiness-nya tinggi karena kehidupan slow living juga memberikan the way out (jalan keluar) dari tekanan-tekanan ekonomi,” tutup Tauhid.

    (fdl/fdl)

  • Saat Generasi Muda Mulai Bosan Mengejar Uang

    Saat Generasi Muda Mulai Bosan Mengejar Uang

    Jakarta

    Sebagian dari masyarakat mulai melirik konsep hidup slow living di tengah gempuran tantangan ekonomi dan kondisi global yang serba cepat serta tidak menentu. Konsep ini mengedepankan ritme yang tidak terburu-buru. Kontradiksi dari gaya hidup hustle culture, sebuah budaya yang cenderung mengakibatkan permasalahan psikologis.

    Garis besar dari konsep slow living ini meliputi kesederhanaan; yang berarti segala sesuatunya dipertimbangkan secara matang, agar kebermanfaatan menjadi prioritas. Selain itu, mengurangi konsumsi yang berlebihan dengan memikirkan dampak atas langkah yang akan diambil.

    Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengatakan konsep ini cenderung digandrungi oleh kalangan generasi milenial dan generasi Z. Kedua generasi ini, Tauhid bilang, punya upaya besar agar bisa seimbang antara kebutuhan kerja, dengan keseimbangan mental dan sosial.

    “Jadi, tidak hanya mengejar ekonomi. Tetapi ada keseimbangan, misalnya kegiatan-kegiatan kesehatan mental sekadar ke kafe, atau ngopi, atau berkebun, atau lari pagi, dan sebagainya. Komunitas itu memang tumbuh seiring dengan perkembangan kebutuhan kota-kota besar yang demikian cepat tumbuhnya, tapi seperti kerja tidak ada habisnya. Sehingga, tumbuh semacam komunitas atau kelompok masyarakat untuk hidup slow living,” ujar Tauhid kepada detikcom, Sabtu (26/7/2025).

    Fenomena ini cenderung tidak terjadi di kota besar, seperti Jakarta. Lebih banyak terjadi di kawasan pinggiran. Selain soal tata kota yang tidak mumpuni untuk hidup slow living, Jakarta acap kali menjadi sasaran utama masyarakat untuk ikut dalam ajang beradu nasib dan mengais rezeki.

    “Jakarta ‘kan dengan kehidupan kota metropolitan dengan kemacetan, dengan kebutuhan hidup yang tinggi, lapangan pekerjaan terbatas, dan sebagainya. Orang berburu waktu, berburu uang. Sulit menerapkan kehidupan itu (slow living). Itu hanya tumbuh di kota yang, katakanlah, uang bukanlah segalanya. Misal Yogyakarta, Bali, Malang, Banyuwangi, atau mungkin yang terdekat ada Bandung. Desain kotanya juga ada ruang terbuka hijau jauh lebih banyak,” bebernya.

    Bisa jadi, kata Tauhid, kondisi hadirnya slow living mengindikasikan adanya pelemahan ekonomi di suatu wilayah. Meskipun secara garis besarnya, konsep slow living dimaknai sebagai mengurangi kebutuhan atau gaya hidup yang terlalu tinggi.

    “Slow living juga dimaknai untuk mengurangi konsumsi-konsumsi yang tidak perlu. Mengurangi kebutuhan atau gaya hidup yang terlalu tinggi. Jadi, tinggal di pinggiran kota yang bisa dapat semuanya. Misalnya, para pekerja yang sifatnya bisa work from home, atau para pekerja di sektor informal itu lebih punya waktu untuk memanfaatkan slow living,” katanya.

    Tauhid bilang, slow living punya sejumlah perspektif. Salah satunya, ketika tekanan ekonomi sedang tinggi, maka slow living bisa dimanfaatkan untuk mengurangi biaya hidup.

    “Slow living memang ada dua perspektif. Kalau tekanan ekonomi tinggi, dia bisa memanfaatkan slow living untuk mengurangi cost. Tapi slow living di kota besar biasanya membutuhkan biaya yang tinggi. Misalnya, mereka seringkali nongkrong di kafe itu kan butuh uang. Kemudian harus ke tempat gym, atau tempat olahraga yang tidak murah juga. Nah, itu yang di kota besar yang tidak disiapkan,” tutupnya.

    (fdl/fdl)

  • Sebab Padel Jadi Tren Olahraga di Kota-kota Besar
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        26 Juli 2025

    Sebab Padel Jadi Tren Olahraga di Kota-kota Besar Bandung 26 Juli 2025

    Sebab Padel Jadi Tren Olahraga di Kota-kota Besar
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com

    Padel
    adalah olahraga raket yang menggabungkan elemen teknis dan squash, dimainkan di lapangan lebih kecil dari lapangan tenis serta dikelilingi dinding kaca atau kawat. 
    Olahraga
    padel
    berasal dari Meksiko tahun 1969 ketika Enrique Corcuera di Acapulco, Meksiko, memodifikasi lapangan squash miliknya memasukkan elemen olahraga tenis.
    Olahraga padel
    kini jadi
    booming
    di kota-kota besar, seperti Jakarta dan
    Bandung
    , tak kenal usia mulai muda hingga lanjut usia. 
    Pada era Generasi Z (Gen Z) yang ambil peran di tengah-tengah kehidupan masyarakat,
    olahraga padel
    disebut olahraga Fomo. 
    Fomo adalah singkatan dari Fear of Missing Out “takut ketinggalan”, adalah situasi seseorang yang akan merasakan kecemasan jika tidak mengikuti tren terkini atau sedang
    booming
    di tengah kehidupan sosial. 
    Ini mendorong seseorang untuk terus-menerus terhubung dengan media sosial atau acara-acara tertentu agar tidak merasa tertinggal.
    Pegiat olahraga padel di Kota Bandung, Hartono Soekwanto, mengamati sebab mengapa olahraga padel kini sedang digandrungi kalangan muda bahkan lanjut usia. 
    Mulai dari mudah dimainkan, sosialisasi, hingga ajang berkeringat, sebab padel juga bisa membakar kardio meningkatkan kesehatan jantung. 
    “Perkembangan padel ini memang luar biasa karena memang mudah untuk dimainkan siapa pun. Mulai dari anak-anak hingga orang tua,” kata Hartono saat ditemui di Lapangan PadelPlush, Jl Cihampelas Bandung, Rabu (23/7/2025). 
    “Tak hanya keluar keringat saja dan bikin badan lebih bugar,
    main padel
    ini bisa stabilkan gula darah saya. Jadi, olahraga ini bagus buat penderita diabetes,” tuturnya.
    “Tidak terlalu banyak lari, kardionya dapat banyak, dan tidak terlalu memaksa jantung kerja lebih keras,” paparnya. 
    Ya ukuran lapangan padel adalah dengan panjang 20 meter dan lebar 10 meter membuat siapa pun tidak merasa
    ngos-ngosan
    , berbeda dengan ukuran lapangan tenis yang lebih besar. 
    Ukuran lapangan yang lebih kecil, padel aman dimainkan oleh semua kalangan usia.
    “Lantai lapangan padel lebih aman karena tidak sekeras lapangan tenis, apalagi sol untuk sepatu khusus padel lebih empuk dan ini lebih aman bagi mereka yang sudah berusia di atas 40 tahun karena biasanya suka bermasalah di persendian,” terang Hartono menjelaskan.
    Kendati begitu, ia mengamanatkan agar tidak asal main sembarangan memainkan olahraga yang sedang tren saat ini. 
    Pemanasan tetap harus diperhatikan, terutama pada bagian persendian tangan dan siku, pasalnya raket yang digunakan lebih berat dari raket tenis. 
    “Terutama di persendian tangan, siku, hingga bahu karena raket yang digunakan lebih berat dibanding raket tenis,” sebutnya. 
    “Raket untuk pemula di olahraga tenis itu beratnya sekitar 225 sampai 260 gram, sedangkan di olahraga padel itu sekitar 335 sampai 355 gram dan itu hampir sama beratnya dengan raket yang digunakan atlet tenis profesional Novak Djokovic,” terangnya.
    Booming
    -nya
    olahraga Padel
    juga didukung dengan pembangunan fasilitas lapangan yang masif di Kota Bandung, salah satunya di PadelPlush Jl Cihampelas. 
    Sebagai pegiat yang sudah lama menekuni padel, pelaku bisnis penyedia lapangan tidak boleh hanya mengejar keuntungan semata, namun juga kualitas keamanan. 
    “Jangan sampai karena sedang
    booming
    , pemilik lapangan padel hanya mengejar keuntungan tanpa memikirkan
    safety
    dari pemain,” tuturnya.
    Hartono dulunya sering berkegiatan di lapangan tenis, namun kini ia memutuskan untuk beralih ke lapangan padel mengingat usianya yang sudah 53 tahun. 
    Tak menyangka justru padel kini menjadi olahraga beken juga di kalangan anak-anak muda, fomo mereka menyebutnya. 
    Berdasarkan pengamatannya meski saat ini padel disebut olahraga fomo, namun perlahan seleksi alam akan terjadi. 
    Justru akan terlihat nantinya mereka yang melakoni olahraga ini secara konsisten hingga atlet-atlet padel nantinya bermunculan. 
    “Padel ini sudah diakui sebagai olahraga prestasi dan menjadi anggota KONI. Meski saat ini masih menjadi olahraga tren musiman, tapi saya yakin ke depan akan terjadi seleksi alam,” bebernya. 
    “Mana yang memang benar-benar serius menggeluti olahraga ini, mana yang hanya untuk ikut tren saja,” ucapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pencari Kerja Tagih Janji Gibran soal 19 Juta Lapangan Pekerjaan: Kami Semua Butuh!
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        25 Juli 2025

    Pencari Kerja Tagih Janji Gibran soal 19 Juta Lapangan Pekerjaan: Kami Semua Butuh! Megapolitan 25 Juli 2025

    Pencari Kerja Tagih Janji Gibran soal 19 Juta Lapangan Pekerjaan: Kami Semua Butuh!
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ihsan (21), salah satu
    pencari kerja
    yang menghadiri bursa kerja (
    job fair
    ) di SMKN 57 Jakarta Selatan tak segan menyuarakan kritik sekaligus harapannya kepada pemerintah mengenai ketersediaan lapangan pekerjaan.
    Pria lulusan Teknik Elektro Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu menagih janji Wakil Presiden RI
    Gibran Rakabuming Raka
    yang sebelumnya menyebut akan membuka
    19 juta lapangan pekerjaan
    bagi masyarakat Indonesia.
    “Ya itu sih saya sebenarnya nunggu dari janjinya Wakil Presiden, katanya 19 juta (lapangan) pekerjaan. Saya tunggu itu semoga benar-benar ada gitu. Jangan cuma temen-temennya aja yang dikasih makan kan, kita semua juga butuh,” kata Ihsan di SMKN 57 Jakarta Selatan, Jumat (25/7/2025).
    Sebagai seorang
    fresh graduate
    , Ihsan mengaku datang ke job fair bukan semata ingin langsung melamar kerja.
    Ia ingin memahami tren dan struktur
    lowongan kerja
    yang tersedia bagi
    fresh graduate
    seperti dirinya.
    “Sebenarnya saya ke
    job fair
    ini untuk melihat sebenarnya gimana sih lowongan pekerjaan untuk tahun-tahun mendatang gitu untuk saya,” ucapnya.
    Ihsan mengakui sempat merasa pesimistis di awal mencari kerja di
    job fair
    . Ia menilai bursa kerja sering kali hanya bersifat formalitas.
    Namun setelah menelusuri berbagai platform daring, ia mulai merasa lebih optimis.
    “Awal-awal ada sih rasa pesimisnya, tapi setelah saya cari nih apalagi di
    platform-platform

    online
    , di
    website
    resmi dari perusahaan-perusahaan, ternyata banyak banget gitu untuk kualifikasi pekerjaan dari semua jurusan,” ungkapnya.
    Meski begitu, Ihsan tetap mengkritik syarat pengalaman kerja minimal yang masih menjadi kendala utama bagi para lulusan baru.
    Ia menilai perusahaan seharusnya mulai mempertimbangkan pengalaman organisasi atau kegiatan selama kuliah sebagai bentuk kesiapan kerja.
    “Yang bikin saya janggal sampai saat ini harus ada minimal pengalaman itu sih. Gimana kita bisa dapat pengalaman sedangkan kita belum bisa bekerja? ‘Minimal pengalaman dua tahun’, ‘minimal pengalaman satu tahun’, kalau kita
    fresh graduate
    gimana cara dapatnya gitu?” ujarnya.
    Ihsan berharap perusahaan bisa memberi ruang bagi generasi muda untuk menunjukkan kemampuan mereka tanpa langsung terpengaruh oleh stereotip Gen Z.
    “Harapan saya sih dari perusahaan itu kasih kesempatan, terutama saya nih di generasi Z, dikasih kesempatan untuk menunjukkan gitu skill sama pengetahuannya, jangan langsung menutup,” tutup Ihsan.
    Sebelumnya, Gibran Rakabuming Raka berjanji hendak membuka 19 juta lapangan pekerjaan. Dalam debat keempat Pilpres 2024, di Jakarta, 21 Januari 2024, Gibran menyebut 19 juta lapangan kerja akan terbuka lebar.
     
    Hal ini bisa direalisasikan jika agenda hilirisasi, pemerataan pembangunan, transisi energi, serta ekonomi kreatif dan UMKM dapat dikawal. Dari jumlah tersebut, 5 juta lapangan kerja ialah green jobs.
    “Insya Allah akan terbuka 19 juta lapangan pekerjaan untuk generasi muda dan perempuan, 5 juta di anatranya adalah green jobs,” ujar Gibran saat debat Pilpres 2024.
    Ia bilang,
    green jobs
    adalah peluang kerja di bidang kelestarian lingkungan. Menurut dia,
    green jobs
    adalah tren peluang kerja masa kini dan masa depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dua juta warga DKI berusia 19 tahun ke atas belum menikah

    Dua juta warga DKI berusia 19 tahun ke atas belum menikah

    Jakarta (ANTARA) – Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta mencatat sebanyak 2.098.685 dari 7.781.073 jiwa penduduk Jakarta berusia 19 tahun ke atas belum menikah.

    Merujuk data, dari jumlah penduduk yang belum menikah, sebanyak 1.201.827 jiwa adalah laki-laki, sementara sisanya yakni 896.858 jiwa merupakan perempuan.

    Berkaca pada data tersebut, Kepala Dinas Dukcapil Provinsi DKI Jakarta, Denny Wahyu Haryanto saat dihubungi di Jakarta, Minggu mengatakan kesibukan dan aktivitas masyarakat yang tinggi menjadi penyebab adanya kecenderungan warga menunda menikah.

    “Aktivitas yang tinggi di Jakarta dikarenakan kebutuhan ekonomi, persaingan secara umum, karier hingga pendidikan. Hal ini berimplikasi terhadap penundaan pernikahan hingga sampai pada masalah enggan untuk menikah,” kata dia.

    Selain itu, biaya hidup yang tinggi di Jakarta juga menjadi salah satu faktor yang membuat individu takut atau khawatir membangun rumah tangga atau menikah.

    Data Dukcapil juga menunjukkan, laki-laki rata-rata menikah di usia 30-31 tahun, sementara perempuan di usia 27-28 tahun.

    Denny menyampaikan, Pemprov DKI Jakarta menawarkan berbagai kemudahan bagi warga untuk melangsungkan pernikahan termasuk penerbitan akta perkawinan, yang dapat diakses secara online melalui aplikasi Alpukat Betawi.

    Calon pengantin juga bisa mendatangi loket pelayanan Dukcapil di tingkat kecamatan atau langsung ke Dinas Dukcapil Provinsi DKI Jakarta.

    Denny lalu berpesan agar calon pasangan membuat perencanaan yang matang secara bijak bila hendak menikah agar usia pernikahan akan lebih bahagia sehat dan sejahtera.

    Sebenarnya, pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) kini menjadi tren di kalangan Generasi Z dan Milenial. karena praktis dan efisien. Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2018, pernikahan yang dilaksanakan di KUA pada jam kerja (Senin-Jumat, pukul 07.30-16.00 WIB) tidak dikenakan biaya alias gratis.

    Namun, jika akad nikah dilakukan di luar jam kerja atau di luar kantor KUA, akan dikenakan biaya sebesar Rp600.000 yang masuk ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Alviansyah Pasaribu
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Quiet Quitting, Bukti Cerminan Krisis Budaya Kerja Anak Gen Z?

    Quiet Quitting, Bukti Cerminan Krisis Budaya Kerja Anak Gen Z?

    Liputan6.com, Yogyakarta – Fenomena Quiet Quitting diidentikan dengan generasi Z, generasi yang lahir dan tumbuh di era digital, terbiasa dengan komunikasi terbuka, mengedepankan kesehatan mental, serta memiliki ekspektasi tinggi terhadap keseimbangan hidup (work-life balance). Meika Kurnia Puji Rahayu DA Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UMY mengatakan quiet quitting bukanlah bentuk kemalasan, namun gejala dari lingkungan kerja yang tidak mendukung secara emosional dan struktural.

    “Quiet quitting itu sebenarnya perilaku bekerja secara minimalis atau sekadar menjalankan tugas sesuai kewajiban. Generasi Z tidak mencoba melakukan lebih atau melampaui ekspektasi. Dalam organisasi yang dinamis, sikap ini bisa menjadi penghambat pencapaian tujuan,” jelas dosen Manajemen Sumber Daya Manusia di Kampus Terpadu UMY Rabu 16 Juli 2025.

    Meika megatakan, kondisi di lapangan kerja saat ini sebagian besar pimpinan organisasi berasal dari generasi X, sementara staf dan karyawan didominasi oleh Gen Z. Ketimpangan nilai, ekspektasi, dan gaya komunikasi ini menciptakan celah antargenerasi yang rentan memicu konflik tersembunyi.

     

    “Quiet quitting bukan berarti mereka malas atau tidak loyal. Ini sinyal bahwa ada yang perlu dibenahi dalam sistem kerja dan budaya organisasi. Kita tidak bisa terus mengeluh dan menyalahkan. Kita harus aware dan accept bahwa ini sudah terjadi, lalu mencari strategi untuk menghadapinya,” tegasnya.

    Meika memberikan solusi dengan menekankan pentingnya budaya kerja yang mendukung dan lingkungan kerja yang sehat secara emosional. Terutama untuk mendorong lahirnya Organizational Citizenship Behavior (OCB) — yakni perilaku ekstra dari karyawan yang dilakukan secara sukarela karena mereka peduli terhadap organisasi.

    “OCB adalah kontribusi lebih dari karyawan yang tidak tertulis dalam jobdesc, namun dilakukan karena rasa kepemilikan dan komitmen terhadap tujuan bersama,” lanjutnya.

    Meika menjelaskan budaya kerja yang suportif tidak bisa dibangun melalui pendekatan otoriter atau sekadar imbalan finansial. Pola kepemimpinan yang hanya menekankan pada gaji, bonus, atau hukuman justru berisiko memperparah fenomena disengagement di tempat kerja.

    “Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang memahami karakter Gen Z, menciptakan ruang yang memungkinkan mereka untuk bertumbuh, belajar, dan merasa dihargai,” tambahnya.

    Ia juga menegaskan pentingnya penguatan soft skills bagi generasi muda, seperti empati, komunikasi efektif, dan kemampuan kolaborasi lintas generasi. Agar tidak terjadi Quiet quitting di tempat kerja dengan memahami karakter Gen Z.

    “Anak-anak Gen Z itu cerdas-cerdas, tapi kecerdasan saja tidak cukup. Mereka harus dilengkapi dengan keterampilan lunak agar dapat beradaptasi di dunia kerja yang kompleks,” ujarnya.

     

    Berbagi Takjil dengan Cara Unik , Polisi Cosplay Wayang Orang

  • BI sebut gen Z penopang akselerasi perkembangan QRIS

    BI sebut gen Z penopang akselerasi perkembangan QRIS

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    BI sebut gen Z penopang akselerasi perkembangan QRIS
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 18 Juli 2025 – 23:10 WIB

    Elshinta.com – Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Himawan Kusprianto menyebutkan partisipasi ekonomi generasi Z merupakan penopang perkembangan penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) di Indonesia.

    “Perkembangannya akseleratif. Apalagi ini didorong oleh generasi Z, bahkan sebentar lagi mereka banyak yang masuk ke dunia kerja. Mereka sangat confident,” katanya dalam Media Gathering BI Jawa Timur di Malang, Jumat.

    Himawan mengatakan jumlah pengguna QRIS hingga awal tahun ini mencapai 56,28 juta dengan jumlah merchant QRIS sebanyak 38,1 juta dan jumlah EDC sebanyak 2,3 juta.

    Ia menyatakan generasi Z berperan sebanyak 27,94 persen dari total pengguna QRIS lintas generasi mulai dari baby boomer, milenial, alpha, dan X.

    Secara rinci, sebanyak 75,49 juta generasi Z menggunakan QRIS, untuk generasi milenial sebanyak 69,9 juta orang atau 25,87 persen, generasi X 59,12 juta orang atau 21,88 persen, generasi baby boomer 31,23 juta orang atau 11,56 persen, dan generasi alpha 29,9 juta orang atau 10,88 persen.

    Himawan menuturkan adanya dukungan dari generasi Z dan milenial mendorong perkembangan penggunaan QRIS sangat masif yakni mencapai 1,02 miliar volume transaksi hanya dalam waktu kurang dari enam tahun yakni mulai 2020 sampai awal 2025.

    Bahkan penggunaan QRIS jauh lebih masif dibandingkan perkembangan penggunaan kartu debet (GPN) yang volume transaksinya hanya 89,06 juta dalam waktu delapan tahun yakni mulai 2018 sampai awal 2025.

    Sementara apabila dilihat dari sektor usaha, Himawan mengatakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yakni mencapai 93 persen atau 38,1 juta hingga Maret 2025.

    Dari total 38,1 juta UMKM pengguna QRIS meliputi 57,52 persen skala mikro, 29,59 persen pelaku usaha skala kecil, 5,89 persen pelaku usaha skala menengah, dan 3,37 persen pelaku usaha skala besar.

    Sumber : Antara

  • Kasus Gagal Bayar 2025 Melonjak, Didominasi Pengguna Lama

    Kasus Gagal Bayar 2025 Melonjak, Didominasi Pengguna Lama

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kasus gagal bayar mencuat sepanjang 2025, dengan pemberitaan yang menyoroti komunitas pengguna yang sengaja menghindari tagihan pinjaman online (pinjol).

    Namun, menurut temuan Jakpat, lonjakan kasus ini tidak disebabkan oleh pengguna baru, melainkan berasal dari pengguna lama yang mulai kesulitan mengelola kewajiban finansialnya di tengah tekanan ekonomi.

    Jakpat mengadakan survei untuk mengetahui perilaku dan kebiasaan pengguna fintech di Indonesia pada paruh pertama 2025 dengan melibatkan 2.041 responden yang terdiri dari Generasi Z (39%), Milenial (42%), dan Generasi X (19%).

    Riset ini fokus pada jenis pembayaran digital, yakni e-wallet, platform banking (mobile/internet dan digital), serta Buy Now Pay Later (BNPL) atau biasa dikenal sebagai paylater.

    Bahasan lainnya adalah jenis-jenis fintech, yaitu e-wallet, paylater, pinjaman online (pinjol), urun dana (crowdfunding), dan peer-to-peer (P2P) lending.

    Mayoritas responden menggunakan aplikasi e-wallet (95%), diikuti oleh layanan paylater (29%) dan pinjol berbentuk uang tunai (9%). Sementara itu, 45% responden tercatat menggunakan layanan perbankan, dengan rincian 89% di antaranya memakai mobile/internet banking dan 45% memanfaatkan digital banking.

    Spesifik pada kategori paylater, Jakpat mencatat adanya penurunan kecil pada aplikasi paylater dibanding tahun lalu, yaitu dari 31% di paruh pertama 2024 ke 29% di tahun ini. Sementara, pengguna paylater di e-wallet meningkat tipis dari 12% ke 14% di semester pertama 2025.

  • Ternyata Ada Juga yang Siap Ambil Tanggung Jawab Sosial

    Ternyata Ada Juga yang Siap Ambil Tanggung Jawab Sosial

    JAKARTA – Sekretaris Komisi A DPRD DKI Jakarta Mujiyono mengapresiasi sosok Sahdan Arya Maulana, pemuda 19 tahun yang menjadi ketua RT Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.

    Menurut Mujiyono gebrakan menggunakan dana operasional RT dan iuran warga untuk memperbaiki jalan yang dilakukan oleh Sahdan bisa menjadi inspirasi bagi anak muda lainnya, terutama generasi Z.

    “Ini adalah bukti nyata bahwa generasi muda, khususnya Gen Z, yang sering disebut generasi strawberry yang manja, ternyata ada juga yang siap mengambil tanggung jawab sosial dan kepemimpinan di lingkungan mereka,” kata Mujiyono kepada wartawan, Kamis, 17 Juli.

    Dari hal ini, Mujiyono mendorong lahirnya lebih banyak pemimpin muda di tingkat RT/RW. Pemprov DKI diminta memberikan ruang pembinaan dan pelatihan kepada kaum muda.

    “Perlu pendampingan agar para pemuda seperti Sahdan tidak hanya diberi kesempatan, tetapi juga dukungan untuk menjalankan tugasnya secara maksimal,” tutur dia.

    Lebih lanjut, Mujiyono memandang kehadiran Gen Z dalam struktur pemerintahan lokal akan memperkaya perspektif, mempercepat inovasi, dan memperkuat keterlibatan warga dalam pembangunan kota.

    “Menurut saya, hal ini sejalan dengan semangat otonomi, partisipasi, dan regenerasi kepemimpinan yang selama ini juga menjadi perhatian kami sebagai wakil rakyat Jakarta,” pungkasnya.

    Menyandang status generasi Z, Sahdan yang berhasil terpilih secara demokratis sebagai Ketua RT 07 RW 08, Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.

    “Alhamdulillah saya menang dengan 126 suara, sedangkan lawan saya memperoleh 17 suara,” ungkapnya saat di wawancarai pada senin, 14 Juli 2025.

    Saat pertama kali menjabat, Sahdan bersama tim mendapat beragam respons dari masyarakat sekitar. Banyak yang memberikan dukungan dan ada juga beberapa yang meragukan kepemimpinan era Gen Z.

    “Ada yang bilang Gen Z itu males gerak, gak bisa kerja, atau gak bakal ada pembangunan,” katanya, sambil tersenyum.

    Dalam waktu kepemimpinannya yang baru berjalan dua bulan ini, kerja Sahdan yang menjadi sorotan adalah pengecoran jalan. Pengecoran jalan yang sempat viral ini, tidak menggunakan dana pemerintah melainkan menggunakan iuran dari warga setempat.

  • Lantik pengurus Lembaga Kaderisasi Nasional, Cak Imin: Rebut kemenangan 2029

    Lantik pengurus Lembaga Kaderisasi Nasional, Cak Imin: Rebut kemenangan 2029

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa Abdul Muhaimin Iskandar melantik pengurus Lembaga Kaderisasi Nasional DPP PKB.

    “Pengurus LKN DPP PKB secara resmi saya nyatakan dikukuhkan,” ujar Cak Imin, sapaan akrabnya, di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Senin (14/7) malam.

    Menurut Cak Imin, selain dibentuk sebagai kado hari lahir ke-27 partai, LKN DPP PKB didirikan untuk persiapan menghadapi tahun politik 2029.

    “(Tahun) 2024 kemarin, fondasi kami bangun. (Tahun) 2029, rebut kemenangan,” katanya.

    Oleh sebab itu, Cak Imin meminta LKN DPP PKB bukan hanya memenuhi target penambahan kader baru seperti pada tahun 2025 yang mencapai 270.000 anggota, melainkan juga bergerak secara masif hingga ke lingkup media sosial.

    “Saya minta lembaga kaderisasi nasional ini sudah bukan hanya bergerak di level kelas dan komunitas, melainkan di level publik melalui sosial media dan berbagai forum yang lebih luas. Dengan demikian, kesadaran politik yang independen itu harus terus ditumbuhkan di masyarakat,” ujarnya.

    Berikut susunan pengurus LKN DPP PKB

    Dewan Pembina:
    1. Ketua Umum DPP PKB Abdul Muhaimin Iskandar
    2. Sekretaris Jenderal DPP PKB Hasanuddin Wahid
    3. Wakil Ketua Umum DPP PKB Hanif Dhakiri

    Dewan Pengarah:
    1. Abdul Mun’im
    2. Adnan Anwar
    3. Zaini Rahman
    4. Yanuar Prihatin
    5. Anggia Erma Rini
    6. Neng Eem Marhamah
    7. Nihayatul Wafiroh
    8. Tommy Kurniawan
    9. Daniel Johan
    10. Idham Arsyad
    11. Hariri

    Ketua: Zainul Munasichin
    Wakil Ketua Zona Jawa: Muhammad Dawam
    Wakil Ketua Zona Sumbagsel: Prana Putra Sohe
    Wakil Ketua Zona Sumbagut: Faridah Farichah
    Wakil Ketua Zona Kalimantan: Irma Muthoharoh
    Wakil Ketua Zona Sulawesi: Syamsu Rizal Marzuki Ibrahim
    Wakil Ketua Zona Bali-Nusa Tenggara: Usman Husin
    Wakil Ketua Zona Maluku-Papua: Indra Jaya
    Wakil Ketua Bidang Penataan: Kelembagaan Kaderisasi Mahrus Ali
    Wakil Ketua Bidang Pengelolaan Badrut Tamam
    Wakil Ketua Bidang Modul dan Pengembangan Kurikulum Fuad Bahari
    Wakil Ketua Bidang Data dan Sertifikasi Kelulusan Badrul Munir
    Wakil Ketua Bidang Pengelolaan Jejaring Kader Andreas Marbun
    Wakil Ketua Bidang Pemuda dan Generasi Millenial Fauzan Amin
    Wakil Ketua Bidang Lintas Agama Carolus Nino Tindra
    Wakil Ketua Bidang Petani dan Nelayan Fathullah Syahrul
    Wakil Ketua Bidang Pekerja Migran Ali Nurdin
    Wakil Ketua Bidang Mahasiswa dan Generasi Z Nurul Mubin
    Wakil Ketua Bidang Perempuan Khizanaturrohmah

    Sekretaris: MF Nurhuda Yusro
    Wakil Sekretaris:
    1. Ahmad Riyanto
    2. Nur Kholim
    3. M. Husein
    4. Deta Anggraeni Ilyas
    5. Bustanul Arifin
    6. Eneng Ervi Siti Zahroh Zidni
    7. Andi Wibowo
    8. Maya Muizatil Lutfillah
    9. Saman
    10. Enung Maryati
    11. Suprafto
    12. Ali Jaziroh
    13. Siti Suciawati Sultan
    14. Priyo Pamungkas Kustiadi
    15. Mohammad Kholil
    16. Edi Purwanto
    17. Heriadi
    18. Luluk Fadillah Muzni

    Bendahara: Kaisar Abu Hanifah
    Wakil Bendahara:
    1. Adil Satria
    2. Arif Susanto

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.