Topik: Gempa

  • Banjir dan Longsor Sumatra, Ini Syarat dan Prosedur Penerapan Bencana Nasional

    Banjir dan Longsor Sumatra, Ini Syarat dan Prosedur Penerapan Bencana Nasional

    Bisnis.com, JAKARTA – Bencana alam banjir dan longsor terjadi di beberapa daerah di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumbar. Apakah bencana yang terjadi di provinsi ini, masuk dalam kategori bencana nasional?

    Bencana alam yang pernah dianggap sebagai bencana nasional adalah gempa dan tsunami di Flores pada 1992, tsunami di Aceh pada 2004, dan lumpur Lapindo di Jawa Timur pada 2006. Lantas, bagaimana dengan bencana yang terjadi di 3 provinsi di Sumatra?

    Dikutip dari buku Panduan Pedoman Penetapan Status Keadaaan Darurat Bencana BNPB, Minggu (30/11/2025), status keadaan darurat bencana nasional ditetapkan atas pertimbangan pemerintah provinsi yang terdampak, tidak memiliki kemampuan satu atau lebih hal-hal sebagai berikut :

    1. Memobilisasi sumberdaya manusia untuk upaya penanganan darurat bencana.

    2. Mengaktivasi sistem komando penanganan darurat bencana.

    3. Melaksanakan penanganan awal keadaan darurat bencana mencakup penyelamatan dan evakuasi korban/penduduk terancam serta pemenuhan kebutuhan dasar.

    Ketidakmampuan Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud penjelasan diatas ditentukan oleh :

    1. Pernyataan resmi dari Gubernur wilayah provinsi terdampak yang menerangkan adanya ketidakmampuan di dalam melaksanakan upaya penanganan darurat bencana.

    2. Pernyataan tersebut di atas, harus dikuatkan dan didukung oleh laporan hasil pengkajian cepat yang dilakukan oleh Pemerintah (dalam hal ini BNPB dan Kementerian/Lembaga terkait).

    Apabila hasil pengkajian cepat memang benar menunjukkan adanya ketidakmampuan di dalam mengelola penanganan darurat bencana, maka dengan demikian kewenangan dan tanggungjawab penyelenggaraan penanganan darurat bencana di wilayah terdampak dapat beralih kepada Pemerintah. Selanjutnya Presiden menetapkan status keadaan darurat bencana nasional.

    Prosedur Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana Nasional

    Prosedur penetapan status keadaan darurat bencana nasional diatur sebagai berikut:

    1. Apabila kebutuhan penanganan darurat bencana melampaui kapasitas dari rovinsi yang wilayah kabupaten/kotanya terdampak, maka gubernur wilayah provinsi terdampak dapat mengeluarkan surat pernyataan.

    Surat pernyataan itu ditujukan kepada Presiden yang berisikan tentang ketidakmampuan dalam penyelenggaraan penanganan darurat bencana secara penuh dan sekaligus bermohon kiranya status keadaan darurat bencana yang terjadi perlu ditingkatkan menjadi status keadaan darurat bencana nasional.

    2. Paling lambat 1 kali 24 jam setelah keluarnya surat pernyataan dimaksud maka BNPB dan Kementerian/Lembaga terkait agar melakukan pengkajian cepat situasi.

    3. Selanjutnya hasil pengkajian cepat dimaksud dibahas dalam rapat koordinasi tingkat nasional untuk menghasilkan rekomendasi tindak lanjut.

    4. Apabila rekomendasi yang dikeluarkan perlu menaikkan status keadaan darurat bencana menjadi status keadaan darurat bencana nasional maka, Presiden dapat segera menetapkan status keadaan darurat bencana nasional.

    Selanjutnya, Kepala BNPB mengkoordinasikan Kementerian/lembaga terkait di tingkat nasional untuk mengambil langkah-langkah penyelenggaraan penanganan darurat bencana lebih lanjut.

    5. Apabila rekomendasi yang dihasilkan sebaliknya, maka Pemerintah melalui Kepala BNPB segera menginformasikan ke Gubernur wilayah terdampak bahwa status keadaan darurat bencana tidak perlu ditingkatkan menjadi status keadaan darurat bencana nasional dan sekaligus di dalam menginformasikan tersebut termuat pula pernyataan bahwa Pemerintah akan melakukan pendampingan penyelenggaraan penanganan darurat bencana yang terjadi.

  • Mualem Aceh Cerita Ngerinya Banjir-Longsor Seakan ‘Tsunami Kedua’

    Mualem Aceh Cerita Ngerinya Banjir-Longsor Seakan ‘Tsunami Kedua’

    Jakarta

    Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem menyatakan pembukaan akses jalur darat terdampak banjir-longsor menjadi prioritas untuk memastikan logistik segera menjangkau masyarakat. Mualem menilai bencana banjir-longsor menerjang Aceh seperti ‘tsunami kedua’.

    “Penanganan bencana banjir dan longsor yang melanda 18 kabupaten/kota di Aceh harus dilakukan secara cepat, terukur, dan tanpa jeda,” kata Muzakir Manaf di sela-sela Apel Tim Recovery Bencana di Lanud Sultan Iskandar Muda, dilansir Antara, Sabtu (29/11/2025).

    Mualem menjelaskan seluruh personel harus memahami tugas masing-masing yakni membuka akses jalan, dan percepat pengantaran logistik. Menurut Mualem semakin cepat logistik sampai ke lokasi bencana, maka akan semakin cepat penanganan yang diberikan kepada mereka terdampak.

    Mualem mengatakan kondisi di sejumlah wilayah sangat kritis, dengan beberapa gampong masih terjebak banjir dan tak dapat dijangkau. Bencana banjir-longsor pada 2025 ini dinilai bak gempa dan tsunami 2004 lalu.

    “Aceh seakan mengalami ‘tsunami kedua’. Tugas kita adalah melayani mereka yang terdampak. Tidak boleh ada jeda kemanusiaan di lapangan,” kata Mualem.

    Dalam kesempatan itu, Mualem juga mengingatkan seluruh tim untuk mengutamakan keselamatan personel karena banyak titik rawan longsor dan banjir susulan.

    “Kita punya tanggung jawab moral kepada rakyat, tetapi keselamatan personel juga prioritas,” kata Muzakir Manaf.

    (rfs/dhn)

  • Gubernur Bobby Nasution dan Muzakir Manaf Tetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Selama 14 Hari

    Gubernur Bobby Nasution dan Muzakir Manaf Tetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Selama 14 Hari

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Afif Nasution menetapkan status tanggap darurat bencana selama 14 hari ke depan menyusul bencana banjir, tanah longsor, dan gempa bumi di wilayah Sumut.

    Status ini dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Sumut Nomor 188.44/836/KPTS/2025 tentang Penetapan Status Tanggap Darurat Bencana selama 14 hari terhitung pada 27 November hingga 10 Desember 2025.

    “Hal ini dilakukan karena melihat sebagian besar wilayah di Sumut mengalami banjir dan longsor,” ucap Kepala Dinas Kominfo Provinsi Sumut Erwin Hotmansah Harahap di Medan, Sumatera Utara, Juma (28/11).

    Erwin menjelaskan, surat keputusan (SK) ini menugaskan instansi/perangkat daerah terkait segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan menangani banjir, tanah longsor, dan gempa bumi.

    Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumut di Medan, Sumut, Kamis (27/11), menyatakan, 13 kabupaten/kota di Sumatera Utara mengalami bencana alam, yakni Langkat, Tapanuli Tengah, Sibolga, dan Mandailing Natal.

    Kemudian, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Padangsidempuan, Pakpak Bharat, Nias Selatan, Humbang Hasundutan, Binjai, Medan, dan Deli Serdang.

    Tak hanya Sumut, Provinsi Aceh juga berstatus tanggap darurat bencana menyusul bencana hidrometeorologi berupa banjir dan longsor yang terjadi hampir di seluruh wilayah Aceh dalam beberapa hari terakhir.

    Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem menyampaikan penetapan status tanggap darurat bencana ini berlangsung selama 14 hari terhitung sejak 28 November sampai 11 Desember 2025.

  • Bencana sebagai Ujian Keberadaban
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 November 2025

    Bencana sebagai Ujian Keberadaban Nasional 29 November 2025

    Bencana sebagai Ujian Keberadaban
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    BANGSA
    ini sudah terlalu lama mengukur kemajuan dari apa yang terlihat: deretan gedung pencakar langit, jalan tol yang seakan tak berujung, kawasan industri yang bekerja siang dan malam, serta angka investasi yang dipromosikan bak prestasi nasional.
    Namun, ada ukuran lain yang jauh lebih jujur: bagaimana negara melindungi warganya ketika bencana datang.
    Pada momen itulah keberadaban diuji tanpa dekorasi. Tidak ada panggung, tidak ada pencitraan, tidak ada ruang untuk slogan.
    Yang tersisa hanyalah pertanyaan paling mendasar: apakah negara menjalankan tugas pertamanya—melindungi manusia?
    Kemajuan sejati bukan hanya ketika bangsa membangun, tetapi ketika bangsa memastikan bahwa membangun tidak mengorbankan nyawa rakyatnya.
    Sejarah kita menghadapi bencana seperti kaset yang diputar ulang tanpa jeda. Ketika banjir tiba, ketika tanah melorot menghantam pemukiman, ketika asap menutup langit, kita kembali bersatu dalam empati.
    Para pemimpin datang, bantuan mengalir, rumah sementara dibangun, dan janji penanganan permanen disampaikan dengan penuh keyakinan.
    Namun, begitu air surut dan kamera televisi berhenti merekam duka, kehidupan perlahan kembali ke pola semula. Akar persoalan tidak disentuh, mitigasi tidak dibangun, tata ruang tidak dibenahi.
    Bangsa ini menangani luka, tetapi tidak mengobati sebab. Bencana menjadi siklus, bukan kejutan. Dan siklus adalah tanda bahwa kesalahan bukan datang dari alam, tetapi dari manusia yang enggan belajar.
    Bencana alam seringkali dibicarakan seolah-olah ia datang tanpa undangan, padahal banyak bencana sesungguhnya adalah buah dari tata kelola yang rapuh.
    Sungai dikerangkeng beton dan bangunan, lereng perbukitan dijadikan komoditas, rawa dan resapan air ditebus menjadi klaster perumahan, hutan ditebang untuk industri yang tidak pernah mengenal kata cukup.
    Pemerintah daerah berlomba mengeluarkan izin, sementara pemerintah pusat mengukur pembangunan dari seberapa besar pergerakan ekonomi, bukan seberapa aman manusia tinggal di dalamnya.
    Sebuah negara boleh membangun apa saja, tetapi selama mitigasi tidak menjadi nafas pembangunan, maka setiap pembangunan sesungguhnya sedang menunda tragedi.
    Negara yang hadir setelah bencana menyentuh hati; tetapi negara yang hadir sebelum bencana menyelamatkan nyawa — dan itu jauh lebih mulia.
    Pengungsi tidak menilai pejabat dari panjang pidato atau frekuensi konferensi pers, tetapi dari kecepatan mereka mendapatkan selimut, tempat tidur, air bersih, obat, dan kepastian hidup.
    Yang dibutuhkan negeri ini bukan pemimpin yang mahir berdiri di tengah reruntuhan, tetapi pemimpin yang berani memastikan tidak ada reruntuhan.
    Mitigasi bukan beban anggaran; ia adalah tabungan masa depan. Pembangunan embung jauh lebih penting daripada pembangunan panggung seremoni.
    Keberanian seorang pemimpin tidak diukur dari bagaimana ia tampil dalam krisis, melainkan dari bagaimana ia mencegah krisis itu terjadi.
    Sebelum jari kita menunjuk ke arah negara, cermin itu juga perlu diarahkan kepada masyarakat.
    Kita membanggakan modernitas, tetapi kita sendiri menyumbat saluran air dengan sampah rumah tangga.
    Kita geram ketika sungai meluap, tetapi diam ketika sungai dijadikan tempat pembuangan. Kita marah ketika
    longsor
    merenggut nyawa, tetapi acuh ketika pepohonan ditebang habis untuk memperluas permukiman.
    Kita lupa bahwa alam bukan pelayan pembangunan, melainkan fondasi keberadaan kita. Selama manusia memperlakukan alam sebagai objek eksploitasi tanpa batas, maka manusia sejatinya sedang menyiapkan tragedi berikutnya dengan tangannya sendiri.
    Di negeri ini, bencana tidak mengenai semua orang dengan skala yang sama. Mereka yang tinggal di bantaran sungai, lereng curam, daerah pesisir, bukan tinggal di sana karena tidak memahami bahaya, melainkan karena tidak punya pilihan.
    Mereka yang miskin membeli risiko; mereka yang mampu membeli keamanan. Maka bencana bukan hanya soal alam, tetapi soal ketimpangan.
    Ketika keselamatan menjadi hak istimewa dan risiko menjadi beban kaum kecil, maka tragedi kehilangan makna geografis dan mengambil wajah sosial.
    Negara hanya bisa disebut beradab apabila ia menempatkan mereka yang paling rentan sebagai pihak yang paling dilindungi — bukan paling akhir.
    Tidak benar jika kita disebut tidak punya pengetahuan. Peta kerawanan dibuat, kajian teknis disusun, peringatan dini diaktifkan, perangkat hukum tersedia.
    BMKG, BNPB, perguruan tinggi, lembaga riset telah menjalankan tugasnya. Namun, ilmu hanya berguna jika ia masuk ke meja kebijakan.
    Ketika riset hanya berhenti sebagai laporan, dan rekomendasi teknis hanya menjadi arsip rapat, maka bencana tinggal menunggu momentum untuk mempermalukan kita.
    Alam tidak akan pernah mengoreksi dirinya demi menyesuaikan keputusan politik. Politiklah yang harus menyesuaikan keputusannya dengan hukum alam.
    Negara yang ingin menutup babak duka harus lebih berani berpihak pada sains daripada pada kepentingan sesaat.
    Ada kecenderungan berulang setiap kali tragedi datang: menyalahkan alam. Kita menyebut banjir sebagai air yang “mengamuk”, tanah longsor sebagai bumi yang “murka”, dan gempa sebagai “hukuman”.
    Padahal alam tidak pernah marah tanpa sebab. Ia hanya menagih keseimbangan yang dirusak manusia.
    Dalam kebudayaan populer kita, sudah ada peringatan moral jauh sebelum bencana datang. Dalam salah satu karya musik legendaris negeri ini, ada refleksi yang menusuk: bahwa “mungkin Tuhan pun letih melihat tingkah manusia yang bangga berbuat salah, dan mungkin alam pun mulai enggan bersahabat dengan kita”.
    Ajakan untuk “bertanya pada rumput yang bergoyang” adalah metafora bahwa jawaban sudah tersedia di sekitar kita, hanya saja kita terlalu sombong untuk mendengarnya.
    Doa memang penting, tetapi doa tidak menggantikan mitigasi. Doa adalah permohonan, dan mitigasi adalah tanggung jawab. Ketika kita berdoa memohon keselamatan tetapi tetap mengulang perusakan, maka kita bukan memohon keselamatan — kita hanya memohon penundaan dari kehancuran yang kita ciptakan sendiri.
    Jika bangsa ini ingin keluar dari lingkaran luka yang berulang, satu keputusan fundamental diperlukan: menjadikan keselamatan manusia sebagai indikator pembangunan.
    Setiap izin pembangunan harus diuji dampaknya terhadap kehidupan, bukan hanya dampaknya terhadap perolehan modal.
    Tata ruang harus dilihat sebagai peta keselamatan, bukan sebagai peta kekuasaan kewilayahan.
    Pemerintah pusat dan daerah harus satu nalar dalam memandang ruang hidup. Bangsa ini sudah terlalu lama menjadikan bencana sebagai guru yang mengajar dengan air mata.
    Kini saatnya kebijakan yang mengajar dengan keberanian. Mitigasi harus menjadi budaya. Keamanan ekologis harus menjadi prioritas.
    Negara yang mencintai rakyat bukan negara yang cepat mengirim bantuan — tetapi negara yang membuat rakyat tak lagi menjadi korban.
    Bencana bukan sekadar fenomena alam. Ia adalah cermin keberadaban. Kita memang tidak bisa menghentikan hujan turun, tetapi kita bisa memastikan hujan tidak berubah menjadi kabar duka.
    Kita tidak bisa mengubah geografi, tetapi kita bisa mengubah tata kelola. Kita tidak bisa menghentikan air bah, tetapi kita bisa menghentikan kelalaian.
    Peradaban tidak diukur dari seberapa cepat kita membangun kembali yang runtuh, tetapi dari seberapa sungguh-sungguh kita mencegah keruntuhan berikutnya.
    Bangsa yang beradab bukan bangsa yang tidak pernah jatuh, melainkan bangsa yang belajar cukup dalam agar tidak jatuh di lubang yang sama dua kali.
    Bencana adalah ujian keberadaban. Kita belum lulus — tetapi kita masih bisa memilih untuk lulus.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Soal Status Darurat Bencana Nasional Sumatera, Prabowo: Kita Terus Monitor, Nanti Dinilai…
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 November 2025

    Soal Status Darurat Bencana Nasional Sumatera, Prabowo: Kita Terus Monitor, Nanti Dinilai… Nasional 28 November 2025

    Soal Status Darurat Bencana Nasional Sumatera, Prabowo: Kita Terus Monitor, Nanti Dinilai…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden Prabowo Subianto merespons desakan agar pemerintah menetapkan status darurat bencana nasional terkait bencana banjir dan longsor di tiga provinsi di Sumatera, yakni Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh.
    Menurut
    Prabowo
    , pemerintah masih terus memonitor situasi di lokasi terdampak bencana di Sumatera Utara (Sumut), Sumatera Barat (Sumbar), dan Aceh.
    “Ya kita terus monitor, kita kirim bantuan terus. Nanti kita menilai kondisinya,” kata Prabowo di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (28/11/2025) malam.
    Selain itu, Prabowo memastikan bahwa pemerintah terus mengirimkan bantuan ke lokasi terdampak bencana.
    Prabowo kembali tidak menjawab tegas saat ditanya perihal penetapan status
    darurat bencana nasional
    .
    “Oh iya iya, sudah kita kirim terus menerus,” ujarnya.
    “Nanti, nanti kita monitor terus,” kata Prabowo melanjutkan.
    Sebagaimana diberitakan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjelaskan bahwa cuaca ekstrem yang memicu banjir dan longsor di sejumlah wilayah Sumatera Utara pada 24–25 November 2025 dipengaruhi oleh dua sistem cuaca besar, yaitu Siklon Tropis KOTO dan Bibit Siklon 95B.
    Kedua fenomena ini terbentuk di sekitar perairan Indonesia dan meningkatkan pertumbuhan awan konvektif secara signifikan.
    Tak hanya di Sumut, bencana banjir dan tanah longsor juga terjadi di Sumbar dan Aceh.
    Berdasarkan data BNPB per 28 November 2025, 13 kabupaten terdampak banjir dan longsor di Sumut. Lalu, 116 orang meninggal dunia dan 42 orang masih dalam pencarian.
    Sementara itu, banjir dan longsor di Sumbar, menyebabkan 23 orang meninggal, 12 orang hilang, dan 3.900 keluarga mengungsi.
    Kemudian, banjir dan longsor di Aceh, mengakibatkan 35 orang meninggal, 25 orang hilang, dan 4.846 keluarga mengungsi.
    Merespons bencana tersebut, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur bernomor 360-761-2025 tentang Penetapan Status Tanggap Darurat Bencana Alam Banjir, Banjir Bandang, Tanah Longsor, dan Angin Kencang di Wilayah Provinsi Sumbar Tahun 2025.
    Status tanggap darurat bencana tersebut berlaku selama 14 hari sejak Selasa, 25 November 2025 hingga 8 Desember 2025.
    Gubernur Aceh Gubernur Aceh Muzakir Manaf juga telah menetapkan status tanggap darurat bencana banjir dan longsor yang berlaku selama 14 hari, yang dimulai 28 November 2025.
    Terakhir, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution juga menetapkan status tanggap darurat bencana selama 14 hari ke depan, mulai 27 November hingga 10 Desember 2025.
    Keputusan tersebut tertuang dalam SK Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/836/KPTS/2025 tanggal 27 November 2025 tentang Penetapan Status Tanggap Darurat Bencana Banjir, Tanah Longsor, dan Gempa Bumi di Provinsi Sumut selama 14 hari mulai 27 November 2025 hingga 10 Desember 2025.
    Melihat tingginya angka korban dan luasnya wilayah terdampak, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendesak pemerintah menetapkan status darurat bencana nasional.
    Peningkatan status dinilai penting untuk mempercepat penanganan dan memobilisasi sumber daya lintas kementerian dan lembaga.
    Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang mengatakan, bencana yang terjadi sudah melampaui kemampuan pemerintah daerah untuk menangani.
    “DPR juga mengusulkan ini (status darurat) bencana nasional, tidak lagi bencana kabupaten, tidak bencana provinsi. Cukup luar biasa sebetulnya,” kata Marwan saat dihubungi, Jumat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gempa M 3,1 Terjadi di Sinabang Aceh

    Gempa M 3,1 Terjadi di Sinabang Aceh

    Jakarta

    Gempa bumi dengan kekuatan magnitudo (M) 3,1 terjadi Sinabang, Aceh. Gempa ada pada kedalaman 10 km.

    “Telah terjadi gempa bumi mag 3,1. Pusat gempa berada di darat 57 km Barat Laut Sinabang,” tulis BMKG dalam keterangannya, Jumat (28/10/2025).

    Gempa terjadi pada pukul 00.55 WIB. BMKG mengimbau warga untuk hati-hati dengan potensi gempa susulan.

    “Gempa ini dirasakan untuk diteruskan pada masyarakat. Hati-hati terhadap gempa bumi susulan yang mungkin terjadi,” imbau BMKG.

    (lir/lir)

  • Dampak Gempa Aceh, Sejumlah Orang Luka-luka dan Masjid Alami Kerusakan

    Dampak Gempa Aceh, Sejumlah Orang Luka-luka dan Masjid Alami Kerusakan

    Zulfadli mengatakan, saat gempa terjadi dirinya bersama sejumlah pemangku kepentingan, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Simeulue sedang membahas anggaran untuk tahun 2026. Seisi gedung dengan wajah panik berusaha segera keluar dari gedung dewan saat gempa terjadi.

    “Kami berhamburan semua. Kantor DPR juga mengalami kerusakan ringan,” ujar Zulfadli.

    Saat gempa terjadi, sedang berlangsung pertandingan Pra Pekan Olahraga Aceh (Pra PORA) Cabang Olahraga (Cabor) Karate melibatkan atlet dari 23 kabupaten/kota Aceh yang digelar di Gedung Serbaguna Simeulue.

    “Mereka juga mengalami luka-luka. Akibat dampak yang terjadi bangunan gedung itu ada yang jatuh,” jelas Zulfadli.

    Saat gempa baik para atlet maupun penonton di tribun mendadak panik. Saking berebut selamatkan diri, sejumlah atlet dan penonton mengalami luka-luka karena menabrak dinding kaca sewaktu kerumunan yang berdesak-desakan keluar melalui pintu yang relatif kecil. Ada juga yang mengalami cidera akibat terjatuh dari tangga sewaktu berusaha menyelamatkan diri. Total korban hingga saat ini yang terdata sebanyak 12 orang, mulai dari yang mengalami luka di bagian kepal dan tangan, hingga cedera tangan serta kaki.

  • Getaran Gempa M 6,3 di Aceh Terasa Sampai Malaysia

    Getaran Gempa M 6,3 di Aceh Terasa Sampai Malaysia

    Kuala Lumpur

    Gempa dengan magnitudo (M) 6,3 terjadi di Sinabang, Simeulue, Aceh. Otoritas Malaysia menyebut getaran itu terasa sampai negeri jiran tersebut.

    Dilansir Bernama, Kamis (27/11/2025), Departemen Meteorologi Malaysia atau MetMalaysia mencatat gempa itu terjadi pukul 12.56 waktu setempat dengan magnitudo 6,5.

    “Getaran terasa di sekitar wilayah pantai barat Peninsular Malaysia,” ujar MetMalaysia.

    MetMalaysia menyebut tak ada potensi tsunami akibat gempa itu. Tak ada laporan kerusakan di Malaysia akibat gempa.

    Sebelumnya, gempa dengan magnitudo 6,3 terjadi di Sinabang, Simeulue, Aceh. BMKG menyebut gempa itu dipicu adanya aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah Lempeng Eurasia.

    “Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi memiliki mekanisme pergerakan naik (thrust fault),” kata Direktur Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, Kamis (27/11).

    “Ini event megathrust banget. Karena lokasi episenternya dan bentuk patahannya yang naik (thrusting),” katanya.

    Dia mengatakan zona megathrust berada memanjang di Samudera Hindia bagian barat Sumatera, selatan Jawa sampai Sumba Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia mengatakan gempa megathrust tak melulu punya kekuatan magnitudo besar. Menurut dia, gempa megathrust terjadi kalau pusat gempa ada di bidang kontak antarlempeng.

    Lihat juga Video Banjir Aceh Makan Korban Jiwa, Ribuan Orang Mengungsi

    (haf/imk)

  • Gempa Hari Ini, BMKG Beberkan Pemicu Rentetan Gempa Aceh hingga Medan

    Gempa Hari Ini, BMKG Beberkan Pemicu Rentetan Gempa Aceh hingga Medan

    Sementara itu, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut gempa di Aceh dipicu mekanisme sesar naik akibat aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia.

    Plt Kepala Badan Geologi, Lana Saria, mengatakan data itu setelah mempelajari parameter sumber dan kondisi geologi wilayah terdampak.

    “Hasil analisis kami menunjukkan gempa ini berasal dari sesar naik yang berkaitan langsung dengan proses penunjaman Lempeng Indo-Australia ke bawah Eurasia. Mekanisme ini lazim memicu gempa dangkal yang guncangannya kuat,” ujar Lana Saria.

    Struktur Tanah Perkuat Guncangan

    Badan Geologi menilai kondisi litologi wilayah Simeulue dan pesisir barat Aceh turut memperburuk intensitas guncangan. Kawasan tersebut didominasi batuan Kuarter non-vulkanik, batuan Tersier, serta endapan permukaan yang telah lapuk.

    “Material pelapukan dan tanah lunak di wilayah pantai berpotensi memperkuat getaran. Di sekitar pusat gempa, sebagian wilayah masuk kelas E (tanah lunak) dan D (tanah sedang),” ujar Lana.

    Menurutnya, batuan muda atau yang sudah mengalami pelapukan memiliki kekerasan rendah sehingga memperbesar amplifikasi getaran. Kombinasi struktur batuan dan kedalaman gempa yang dangkal menyebabkan masyarakat merasakan guncangan hingga skala III–IV MMI di Aceh Selatan dan skala III MMI di Banda Aceh serta beberapa kabupaten lainnya.

    Kerusakan Ringan Pada Bangunan

    Hingga pukul 14.00 WIB, laporan dari masyarakat menunjukkan kerusakan ringan pada sejumlah bangunan dan korban luka akibat material runtuh. Wilayah ini sebelumnya telah dipetakan sebagai Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi Tinggi (KRBG) oleh Badan Geologi.

    Lana meminta masyarakat tetap tenang, mewaspadai gempa susulan, dan hanya mengakses informasi dari lembaga resmi. Ia juga mengimbau warga memeriksa kondisi bangunan masing-masing serta menjauhi tebing-tebing rawan longsor, terutama saat hujan.

    “Berdasarkan analisis kami, kejadian ini tidak diperkirakan memicu bahaya ikutan seperti likuefaksi atau penurunan tanah. Namun kewaspadaan tetap diperlukan,” ujar Lana.

  • Seperti Botol Soda yang Diguncang dan Dibuka Tiba-Tiba

    Seperti Botol Soda yang Diguncang dan Dibuka Tiba-Tiba

    Menurut dia, bahaya sekunder berupa aliran lahar tidak hanya bergantung pada volume curah hujan, tetapi juga geometri sungai. Aliran lahar yang memiliki viskositas atau kekentalan tinggi memiliki keterbatasan gerak saat melewati topografi sungai yang berkelok.

    “Lahar yang kental tidak bisa bermanuver saat menghadapi tikungan atau belokan sungai secara tiba-tiba. Akibatnya, area kelokan sungai menjadi lokasi dengan potensi luapan terbesar yang harus dihindari warga,” ujarnya.

    Terkait peningkatan status aktivitas Semeru, Mirzam menyebutkan hal tersebut didasarkan pada parameter terukur seperti intensitas gempa vulkanik, perubahan komposisi gas, kenaikan temperatur, dan deformasi tubuh gunung.

    Sebagai langkah mitigasi taktis bagi warga yang masih harus beraktivitas di radius aman namun terdampak abu, ia menyarankan penggunaan masker basah daripada masker kering.

    “Masker yang dibasahi memiliki daya rekat dan daya hisap yang lebih tinggi terhadap partikel abu vulkanik, sehingga lebih efektif melindungi sistem pernapasan,” katanya.