Topik: Gempa

  • Gempa Magnitudo 6,6 Guncang Nabire, Terasa hingga Timika
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        19 September 2025

    Gempa Magnitudo 6,6 Guncang Nabire, Terasa hingga Timika Regional 19 September 2025

    Gempa Magnitudo 6,6 Guncang Nabire, Terasa hingga Timika
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Gempa bumi berkekuatan magnitudo 6,6 mengguncang Nabire, Papua Tengah, pada Jumat (19/9/2025) pukul 01:19:50 WIB.
    Berdasarkan informasi dari laman resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa berlokasi di 3.47 derajat Lintang Selatan – 135.49 derajat Bujur Timur pada kedalaman 24 kilometer.
    Adapun pusat gempa berada di darat 12 kilometer barat daya Nabire.
    “Tidak berpotensi tsunami” kata BMKG dalam keterangannya.
    Berikut daerah yang merasakan gempa:
    III MMI (dirasakan banyak orang):
    Timika
    IV-V MMI (dirasakan banyak orang):
    Wasior
    V MMI (dirasakan banyak orang):
    Nabire
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Peringatan Tsunami, Warga Kamchatka Rusia Diimbau Waspada

    Peringatan Tsunami, Warga Kamchatka Rusia Diimbau Waspada

    Jakarta

    Gempa bumi magnitudo (M) 7,8 melanda lepas pantai Semenanjung Kamchatka, Rusia. Gempa tersebut mengguncang bangunan-bangunan dan memicu pihak berwenang untuk mengeluarkan peringatan tsunami.

    Dilansir AFP, Jumat (19/9/2025), video yang diunggah di media sosial Rusia menunjukkan furnitur dan lampu di rumah-rumah bergetar, sementara video lain menunjukkan mobil yang diparkir bergoyang-goyang di jalan.

    Gempa tersebut terjadi 128 kilometer (80 mil) di sebelah timur ibu kota wilayah tersebut, Petropavlovsk-Kamchatsky, dan pada kedalaman dangkal 10 kilometer (enam mil), menurut laporan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS).

    Cabang lokal layanan geofisika Rusia memberikan perkiraan magnitudo yang lebih rendah, yaitu 7,4. Mereka melaporkan setidaknya lima gempa susulan.

    Pusat Peringatan Tsunami Pasifik AS mengeluarkan peringatan untuk kemungkinan gelombang berbahaya di sepanjang garis pantai terdekat.

    “Pagi ini sekali lagi menguji ketahanan penduduk Kamchatka,” kata gubernur wilayah tersebut, Vladimir Solodov, di Telegram.

    “Saat ini belum ada laporan kerusakan. Saya meminta semua orang untuk tetap tenang… Peringatan tsunami telah dikeluarkan untuk pesisir timur semenanjung. Masyarakat diimbau untuk waspada,” tambahnya.

    Semenanjung Kamchatka terletak di lingkar tektonik yang dikenal sebagai Cincin Api, yang mengelilingi sebagian besar Samudra Pasifik, dan merupakan titik panas aktivitas seismik.

    Pada bulan Juli, gempa besar berkekuatan M 8,8 di lepas pantai wilayah tersebut memicu tsunami yang menyapu sebagian desa pesisir ke laut.

    (rfs/rfs)

  • Gempa M 7,8 Guncang Rusia, Picu Peringatan Tsunami

    Gempa M 7,8 Guncang Rusia, Picu Peringatan Tsunami

    Jakarta

    Gempa magnitudo (M) 7,8 mengguncang wilayah lepas pantai Kamchatka, Rusia. Guncang gempa dahsyat itu memicu peringatan tsunamin.

    Dilansir AFP, Jumat (19/9/2025), gempa melanda lepas pantai Kamchatka, Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) melaporkan beberapa hari setelah gempa kuat lainnya di wilayah tersebut.

    Gempa tersebut terjadi 128 kilometer di sebelah timur kota Petropavlovsk-Kamchatsky, Rusia, dan pada kedalaman dangkal 10 kilometer.

    Kekuatan gempa mendorong Pusat Peringatan Tsunami Pasifik AS untuk mengeluarkan peringatan akan kemungkinan gelombang berbahaya di sepanjang garis pantai terdekat.

    (rfs/rfs)

  • Gempa M 6,6 Terjadi di Nabire Papua Tengah

    Gempa M 6,6 Terjadi di Nabire Papua Tengah

    Jakarta – Gempa magnitudo (M) 6,6 terjadi di Nabire, Papua Tengah. Pusat gempa 29 km barat laut Nabire.

    “Kedalaman: 24 Km, tidak berpotensi tsunami,” kata BMKG di akun X, Jumat (19/9/2025).

    Gempa terjadi pada pukul 01.19 WIB dengan titik koordinat 3,47 LS, 135,49 BT.

    (rfs/rfs)

  • Gen Z Nepal Usai Gulingkan Pemerintah: Politisi Makin Kaya, Kami Menderita

    Gen Z Nepal Usai Gulingkan Pemerintah: Politisi Makin Kaya, Kami Menderita

    Kathmandu

    Protes kaum Gen Z yang berlangsung dalam 48 jam berhasil menggulingkan pemerintah Nepal. Namun, kemenangan itu disertai harga mahal.

    “Kami bangga, tapi bercampur trauma, penyesalan, dan kemarahan,” kata Tanuja Pandey, salah seorang penyelenggara aksi massa.

    Sebanyak 72 orang dilaporkan meninggal dunia sehingga rangkaian demonstrasi sepanjang pekan lalu disebut-sebut sebagai kerusuhan paling mematikan di Nepal dalam beberapa dekade terakhir.

    Gedung-gedung pemerintah, rumah para politisi, dan hotel-hotel mewah seperti Hilton yang baru dibuka Juli 2024 dijarah, dirusak, dan dibakar. Istri mantan perdana menteri bahkan meninggal dunia setelah kediamannya dibakar massa.

    Rangkaian protes itu menunjukkan “penolakan total terhadap kelas politik Nepal yang memerintah dengan buruk selama puluhan tahun serta mengeksploitasi sumber daya negara,” kata Ashish Pradhan, penasihat senior di International Crisis Group.

    Namun di sisi lain, rangkaian protes juga berdampak terhadap layanan pemerintahan, yang disebut Pradhan, “setara dengan gempa bumi 2015 yang merenggut hampir 9.000 nyawa.”

    Aksi protes itu tak cuma membuat layanan di ibu kota Kathmandu lumpuh setidaknya 300 kantor pemerintah di antero Nepal ikut terdampak.

    Ada pula kerugian finansial yang diperkirakan mencapai 3 triliun rupee Nepal (US$21,3 miliar atau Pound 15,6 miliar), atau hampir setengah Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara tersebut, demikian dilaporkan Kathmandu Post.

    Kantor media yang didirikan Februari 1993 itu turut diserang dan dibakar massa dalam rangkaian protes pekan lalu.

    ‘Nepo babies’

    Dua hari sebelum aksi berdarah pada 8 September, Pandey yang merupakan aktivis lingkungan, sempat mengunggah video tambang di Chure salah satu pegunungan paling rapuh di kawasan itu.

    Dalam videonya, aktivis 24 tahun itu turut menuliskan bahwa sumber daya Nepal harus dimiliki rakyat, bukan “perusahaan terbatas milik politisi.”

    Ia juga menyerukan teman-temannya untuk “turun ke jalan melawan korupsi dan penyalahgunaan kekayaan negara.”

    Didorong kemarahan, kaum muda Nepal menjuluki anak-anak politisi sebagai “nepo babies”. Salah satunya, Saugat Thapa, anak seorang pejabat daerah (Instagram/sgtthb)

    Seperti halnya gerakan anak muda lain di Asia, protes Gen Z di Nepal tidak memiliki pemimpin tunggal. Tak cuma Pandey, seruan serupa digaungkan banyak orang tak lama setelah pemerintah melarang 26 platform media sosial dengan dalih mereka gagal melakukan pendaftaran di dalam negeri.

    Beberapa bulan terakhir, kemarahan massa juga menumpuk terhadap para “nepo babies”: anak-anak politisi berpengaruh dari berbagai partai. Lewat media sosial, mereka dituding memamerkan kekayaan yang tidak bisa dijelaskan asal muasalnya.

    Salah satu foto paling viral memperlihatkan Saugat Thapa, anak seorang pejabat daerah yang berdiri di samping sebuah pohon Natal yang disusun dari kotak-kotak jenama mewah seperti Louis Vuitton, Gucci, dan Cartier.

    Baca juga:

    Setelah viral, Thapa berkelit dengan mengatakan tudingan itu “kesalahan persepsi yang tidak adil”, seraya menambahkan bahwa ayahnya “mengembalikan setiap rupee yang diperoleh dari tugas pelayanan publik kepada masyarakat.”

    Pandey mengaku sudah menonton hampir semua konten “nepo babies”.

    Namun, ia menyebut terdapat satu video terpatri di benaknya: tentang perbandingan kehidupan mewah keluarga politisi dengan seorang pemuda Nepal biasa yang terpaksa bekerja di negara Teluk.

    “Rasanya sakit melihat itu, apalagi saat mengetahui bahwa seorang anak muda terdidik bahkan dipaksa meninggalkan negaranya karena gaji di sini jauh di bawah standar hidup layak,” katanya.

    Kekecewaan pada politik

    Nepal merupakan negara demokrasi yang tergolong muda.

    Setelah perang sipil selama satu dekade yang dipimpin kelompok Maois dan menewaskan lebih dari 17.000 orang, Nepal beralih menjadi republik pada 2008 sebelumnya berbentuk monarki di bawah Raja Gyanendra.

    Meski begitu, stabilitas dan kemakmuran yang dijanjikan tak kunjung datang.

    Dalam 17 tahun, pemerintahan di Nepal sudah berganti sebanyak 14 kali dan tidak satu pun perdana menteri yang menuntaskan masa jabatan lima tahun.

    Kekuasaan politik di negara itu secara bergantian dikuasai partai komunis dan Nepali Congress yang berhaluan sosial-demokrat.

    Sebanyak tiga pemimpin, termasuk KP Sharma Oli yang baru-baru ini mundur usai protes Gen Z, sejatinya sudah beberapa kali kembali ke tampuk kekuasaan.

    Baca juga:

    PDB per kapita tetap di bawah US$1.500, menjadikan Nepal negara termiskin kedua di Asia Selatan hanya di atas Afghanistan. Sekitar 14% penduduk bekerja di luar negeri, serta satu dari tiga rumah tangga menggantungkan hidup pada kiriman uang dari luar negeri (remitansi).

    Pandey sendiri berasal dari keluarga kelas menengah di Nepal timur, putri seorang pensiunan guru sekolah negeri.

    Tiga tahun lalu, ia didiagnosis tumor otak dan sampai sekarang masih menjalani perawatan. Tagihan medis hampir membuat keluarganya bangkrut, sehingga kakak perempuannya memutuskan pindah ke Australia agar bisa membantu pembiayaan.

    Sebelum aksi, Pandey bersama para koleganya menyusun pedoman yang menekankan non-kekerasan, saling menghormati, dan kewaspadaan terhadap “penumpang gelap.”

    8 September

    Pada 8 September pagi, Pandey bersama beberapa temannya tiba di Maitighar Mandala, bundaran besar di pusat Kathmandu. Ia memprediksi protes hari pertama hanya akan diikuti ribuan orang, tapi rupanya jauh lebih besar.

    Aakriti Ghimire, 26 tahun, salah satu peserta aksi, mengatakan bahwa protes semula berjalan damai dan penuh kebersamaan.

    “Kami semua duduk, menyanyikan lagu-lagu lama Nepal,” ujarnya.

    “Slogan protes dan semua yang ditampilkan sangat lucu, kami semua menikmatinya. Setelah kami memulai konvoi [sementara] polisi hadir untuk memastikan tidak ada kendaraan yang menghalangi,” katanya.

    Pandey dan Ghimire mulai merasakan bahaya sekitar tengah hari, ketika massa bergerak ke New Baneshwor, kawasan gedung parlemen. Keduanya menyaksikan segerombolan orang datang dengan sepeda motor.

    Hotel Hilton menjadi salah satu target aksi pembakaran di Nepal (Reuters)

    Pandey menggambarkan gerombolan itu terlihat lebih tua daripada rata-rata demonstran Gen Z yang hadir, sementara Ghimire yakin bahwa mereka adalah penyusup.

    “Sulit untuk membedakan mana demonstran damai yang memang datang untuk sesuatu dan mana yang datang dengan niat merusuh,” kata Ghimire.

    Sebagian massa kemudian mencoba menerobos barikade keamanan di seputaran gedung parlemen, tapi polisi membalas dengan menembakkan gas air mata, meriam air, dan tembakan peluru tajam.

    Sejumlah bukti menunjukkan polisi menggunakan peluru tajam dan dituding menembaki siswa sekolah yang ikut dalam protes.

    Sampai saat ini, investigasi terkait hal itu masih berlangsung.

    Kekacauan dan korban

    Sehari usai kerusuhan 8 September, Pandey dan Ghimire memilih berdiam di rumah dan memantau perkembangan situasi lewat internet.

    Mereka kemudian mengetahui situasi kian menggila. Massa membakar gedung parlemen, kantor perdana menteri, dan bangunan pemerintah lainnya.

    “Banyak orang membagikan kepuasan mereka saat menyaksikan para politikus mendapat konsekuensi atas apa yang telah mereka lakukan,” kata Ghimire soal rumah-rumah pejabat yang dibakar.

    Hanya saja, suasana kemudian berubah muram.

    “Saya menyaksikan orang menenteng botol-botol berisi bensin yang didapat dari sepeda-sepeda motor. Mereka mulai menyerang gedung parlemen,” ujar Pandey.

    Sebagai lulusan fakultas hukum, ia menangis saat melihat gedung Mahkamah Agung ludes terbakar, menyebu bangunan itu seperti “kuil” baginya.

    Sejumlah orang ambil bagian dalam acara mengheningkan cipta bagi para korban yang tewas dalam rangkaian demonstrasi di Nepal (Reuters)

    Teman-temannya yang ada di lokasi berusaha memadamkan api dengan air. Mereka tahu itu bakal sia-sia tapi mereka melakukannya untuk sekadar menenangkan hati.

    “Orang-orang mengatakan para pembakar itu memang berniat datang untuk merusak Siapa orang-orang itu?” tanya Ghimire.

    “Video-video yang beredar memperlihatkan mereka menggunakan penutup wajah.”

    Suasana panas sedikit mereda setelah tentara turun tangan dan memberlakukan jam malam selama beberapa hari.

    Mantan Ketua Mahkamah Agung, Sushila Karki, belakangan ditunjuk sebagai perdana menteri sementara. Ia memang didukung para demonstran untuk mengisi jabatan tersebut.

    Pandey berharap Karki “bisa memimpin dengan baik, menggelar pemilu tepat waktu, dan menyerahkan kekuasaan ke rakyat.”

    Namun, kecemasan soal masa depan politik Nepal tetap masih kuat.

    Rumela Sen, pakar Asia Selatan di Columbia University, khawatir menyaksikan “glorifikasi terhadap tentara yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai suara kewarasan dan stabilitas.”

    Banyak pula pihak yang tak nyaman dengan keterlibatan Durga Prasai dalam negosiasi awal undangan keterlibatan militer.

    Prasai pernah ditangkap karena terlibat aksi pro-monarki yang rusuh pada Maret lalu. Ia sempat kabur ke India lalu dikembalikan ke Nepal. Para demonstran Gen Z tak sejalan dengan hal ini.

    Seiring itu, keluarga korban kini mulai menghadapi kenyataan pahit.

    “Kami sangat terpukul karena kehilangan putra tercinta,” kata Yubaraj Neupane, ayah Yogendra (23 tahun) yang tewas dalam aksi.

    “Saya masih belum mengetahui bagaimana ia meninggal dunia.”

    Menurut laporan autopsi, Yogendra ditembak di bagian belakang kepala, dekat gedung parlemen.

    Pemuda dari Nepal tenggara itu sedang menempuh studi di Kathmandu dan bercita-cita jadi pegawai negeri. Yogendra dikenal tekun belajar semasa hidupnya.

    Pada 8 September, ia ikut turun ke jalan bersama teman-temannya, dengan mimpi dapat membawa perubahan. Keluarga baru mengetahui bahwa Yogendra ikut dalam protes setelah ia menelepon keluarga untuk mengabarkan situasi mulai memanas.

    “Ia rela mengorbankan nyawanya demi perubahan,” kata sang paman, Saubhagya.

    “Darah dan pengorbanannya harus diakui, supaya anak-anak muda lain tak perlu lagi turun ke jalan di masa depan.”

    Pandey mengaku menyimpan optimistisme, meski trauma pekan lalu bakal bersemayam selamanya. Ini adalah kebangkitan politik bagi generasinya.

    “Kami tidak mau lagi diam atau menerima ketidakadilan,” pungkas Pandey.

    “Ini bukan sekadar dorongan lembut; ini dobrakan keras terhadap sistem yang sudah puluhan tahun menyimpan kekuasaan.”

    (nvc/nvc)

  • Kisah Kemiskinan di Sukabumi: 3 Keluarga Tinggal Satu Atap di Rumah Nyaris Roboh

    Kisah Kemiskinan di Sukabumi: 3 Keluarga Tinggal Satu Atap di Rumah Nyaris Roboh

    Liputan6.com, Sukabumi – Kisah pilu keluarga Ana (40) dan Mimin (36) menjadi cerminan 15 tahun perjuangan hidup di Kampung Ciamarayah, Desa Walangsari, Kabupaten Sukabumi. 

    Rumah sederhana berukuran 3×6 meter yang dihuni oleh enam orang dengan tiga kepala keluarga ini menjadi saksi bisu beratnya hidup. Ana, seorang kuli cangkul, bercerita bahwa penghasilan mingguannya sebesar Rp 120 ribu hanya cukup untuk makan. 

    Kondisi ini diperparah dengan keberadaan ibunya yang sudah lanjut usia dan tinggal bersamanya.

    “Kadang kerja cuma 2 hari, seminggu libur, jangankan untuk memperbaiki rumah, buat makan saja sudah pas-pasan,” ungkap Ana, Kamis (18/09/2025).

    Kondisi rumah yang memprihatinkan tak hanya mengancam fisik, tetapi juga psikis mereka. Atap bilik yang melengkung dan nyaris roboh seringkali menimbulkan ketakutan, terutama saat hujan deras.

    “Karena tak ada tempat, Istri dan anak paling kecil tidur di tengah rumah karena sieun (takut) kamar ambruk. Umi (Ibu Ana) tidur di kamar, Ina (anak Ana) sama anaknya tidur di kamar depan. Saya tidur di dapur,” cerita Ana, menggambarkan bagaimana keluarganya harus mencari posisi aman untuk tidur.

    Dapur rumah pun dalam kondisi tak layak, nyaris roboh akibat pondasi kayu yang miring dan anjlok setelah beberapa kali gempa. 

    Meskipun telah berulang kali mengajukan permohonan bantuan program rumah tidak layak huni (Rutilahu), Ana tak kunjung mendapatkan kabar.

    “Sudah beberapa kali di foto dimintai KK (Kartu Keluarga) terus KTP (Kartu Tanda Penduduk) tapi ya gitu, enggak ada kabar lanjutnya,” ungkapnya.

     

  • Gempa Magnitudo 5,4 Guncang Pulau Karatung Sulut

    Gempa Magnitudo 5,4 Guncang Pulau Karatung Sulut

     

    Liputan6.com, Jakarta – Gempa Magnitudo 5,4 mengguncang wilayah Pulau Karatung Sulut, Kamis (18/9/2025), pukul 10.47.33 WIB. Badan meteorlogi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, lokasi gempa Pulau Karatung ini berada pada koordinat 4.28 LU,127.77 BT, dengan episenter gempa berada di laut 93 km tenggara Pulau Karatung.

    “Kedalaman gempa 118 km,” tulis BMKG.

    BMKG juga memastikan gempa tidak berpotensi tsunami. 

    Belum ada kerusakan akibat gempa, namun warga diimbau tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya gempa susulan.

  • Gempa Magnitudo 4,6 Guncang Labuha Maluku Utara

    Gempa Magnitudo 4,6 Guncang Labuha Maluku Utara

     

    Liputan6.com, Jakarta – Gempa Magnitudo 4,6 menggetarkan wilayah Labuha Maluku Utara, Kamis (18/9/2025), pukul 10.34 WIB. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, lokasi gempa Labuha berada pada koordinat 0.62LS, 128.03BT, dengan episenter gempa berada di laut 59 km timur laut Labuha.

    “Kedalaman gempa 10 km,” tulis BMKG.

    BMKG juga menyebutkan, getaran gempa turut dirasakan skala MMI III di wilayah Piru. 

    BMKG memastikan gempa tidak berpotensi tsunami. Belum ada laporan kerusakan akibat gempa, namun warga diimbau tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya gempa susulan.

  • Inti Bumi Tiba-tiba Berbalik Arah, Ilmuwan Bongkar Misterinya

    Inti Bumi Tiba-tiba Berbalik Arah, Ilmuwan Bongkar Misterinya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sebuah penelitian terbaru menemukan fenomena mengejutkan, yakni inti Bumi pernah berhenti berputar lalu bergerak ke arah sebaliknya.

    Penemuan ini menimbulkan tanda tanya besar, baik di kalangan ilmuwan maupun masyarakat, mengenai penyebab dan dampaknya bagi kehidupan di permukaan.

    Riset tersebut dilakukan oleh tim ilmuwan dari Universitas Peking, China, yang meneliti perubahan rotasi inti Bumi dalam rentang beberapa dekade.

    Temuan ini diyakini dapat membuka wawasan baru mengenai dinamika bagian terdalam planet Bumi dan kaitannya di permukaan.

    Seismolog Yi Yang dan Xiaodong Song, dua penulis penelitian, melakukan pengamatan pada gelombang seismik Bumi. Keduanya melakukan analisa perbedaan bentuk gelombang dan waktu tempuh saat gempa Bumi.

    Mereka melakukan penyelidikan pada peristiwa gempa pada 1990 hingga 2021. Hasilnya cukup mencengangkan.

    Sebelum tahun 2009, rotasi inti Bumi sedikit lebih cepat dari permukaan dan bagian mantel. Namun kemudian pergerakan itu melambat dan sempat berhenti selama beberapa tahun.

    Tim peneliti juga mengatakan hasil temuan mereka bisa dikaitkan dengan pembalikan rotasi inti pada tujuh dekade. Hal tersebut pernah terjadi selama awal 1970-an.

    Menurut mereka, fluktuasi rotasi inti itu sejalan dengan sejumlah perubahan periodik. Ini terjadi dengan adanya interaksi antara lapisan Bumi yang berbeda satu sama lain.

    Sementara itu salah dampak yang dirasakan kejadian ini adalah manusia yang merasakan hari yang panjangnya berubah-ubah.

    Sebagai informasi, inti Bumi terdiri dari dua lapisan, inti luar cair dan padat. Pada bagian yang terakhir dibentuk dari besi yang berputar.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • "Gempa Guncang Malang", Ratusan Siswa di SMPN 3 Malang Berlindung di Bawah Meja
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        17 September 2025

    "Gempa Guncang Malang", Ratusan Siswa di SMPN 3 Malang Berlindung di Bawah Meja Surabaya 17 September 2025

    “Gempa Guncang Malang”, Ratusan Siswa di SMPN 3 Malang Berlindung di Bawah Meja
    Tim Redaksi
    MALANG, KOMPAS.com
    – Sirine tiba-tiba berbunyi keras di SMPN 3 Malang, Jawa Timur pada Rabu (17/9/2025) pagi.
    Tanpa panik, ratusan murid langsung bersembunyi di bawah meja kelas masing-masing.
    Ternyata, guncangan gempa sedang melanda sekolah mereka.
    Sesaat setelah guncangan berhenti, para siswa sigap berhamburan keluar kelas menuju titik kumpul dengan membawa tas dan benda seadanya untuk melindungi kepala.
    Aksi tersebut bukanlah bencana sungguhan, melainkan puncak dari simulasi kesiapsiagaan menghadapi gempa yang digelar oleh Basarnas dan Kantor Search and Rescue (SAR) Surabaya.
    Kegiatan ini merupakan bagian dari program percontohan Literasi SAR yang menyasar para pelajar di Jawa Timur.
    Kepala Kantor SAR Surabaya, Nanang Sigit, menjelaskan bahwa simulasi ini adalah praktik langsung dari program yang lebih besar untuk membangun budaya keselamatan sejak dini.
    “Inti dari program Literasi SAR ini adalah membangun budaya keselamatan kepada anak-anak sekolah. Tujuannya agar 10 tahun ke depan, saat mereka memasuki dunia kerja, mindset untuk selalu mengedepankan keselamatan sudah terpatri kuat,” kata Nanang.
    SMPN 3 Malang bersama SMAN 8 Malang terpilih menjadi pilot project untuk program ini di Jawa Timur.
    Nantinya, program ini akan diperluas ke seluruh sekolah di provinsi tersebut melalui kerja sama dengan Dinas Pendidikan.
    Menurut Nanang, program yang berlangsung selama tiga hari ini tidak hanya melatih siswa, tetapi juga para guru.
    Para pendidik dibekali modul dan pelatihan untuk menjadi kader SAR di sekolah, sehingga mereka diharapkan mampu memandu siswa saat terjadi keadaan darurat.
    “Kami membuat kader dari guru-guru. Mereka yang nanti akan memberikan pengetahuan Literasi SAR dari modul yang kami sampaikan. Pengetahuan ini akan masuk ke dalam muatan lokal atau kurikulum,” tambahnya.
    Simulasi yang digelar merupakan uji coba dari rencana kontinjensi yang telah disusun bersama pihak sekolah.
    Rencana tersebut berisi alur dan prosedur tindakan yang harus dilakukan oleh guru maupun siswa saat menghadapi berbagai kedaruratan, mulai dari gempa bumi, kebakaran, hingga kecelakaan lainnya.
    “Pada saat terjadi kedaruratan, kadang kita panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Di sinilah mereka diajari cara menyelamatkan diri sendiri dan orang lain, serta menanamkan kewaspadaan,” tegas Nanang.
    Para siswa pun menunjukkan antusiasme dan pemahaman yang mendalam.
    Grazielli Mutiara Juliandri, siswi kelas 8, berperan sebagai salah satu penolong dalam simulasi tersebut.
    Ia bersama lebih dari 10 siswa lainnya telah mendapat pelatihan khusus sehari sebelumnya.
    “Saya bertugas menolong korban patah tulang dan pendarahan. Kemarin sudah diajari cara memasang penyangga, membalut luka, hingga teknik menggendong korban dengan benar,” ungkap Grazielli.
    Ia menganggap pelatihan semacam ini sangat penting sebagai bekal untuk menghadapi bencana yang sesungguhnya.
    “Ini penting, karena bisa buat berjaga-jaga kalau ada gempa bumi,” ujarnya.
    Hal senada diungkapkan Naya, siswa lainnya yang mengikuti simulasi.
    Ia dengan lancar menceritakan kembali alur penyelamatan diri yang dipraktikkan.
    Naya mengaku sudah dua kali mengikuti latihan serupa.
    “Saat sirine berbunyi, semua langsung bersembunyi di bawah meja. Setelah aman, kami semua turun ke titik kumpul,” kata Naya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.