Bisnis, TOKYO — Industri media di Indonesia mengalami tantangan serius sejak media sosial mendominasi kanal penyebaran informasi. Namun, di Jepang industri media masih cukup tangguh.
Negeri Samurai tersebut bukannya tidak menghadapi tantangan yang serupa seperti industri media di Indonesia. Namun, rupanya media di sana punya jurus tersendiri untuk dapat tetap relevan di era sekarang.
Saya bersama sejumlah perwakilan media lain asal Indonesia berkesempatan mengunjungi tiga media mainstream di Jepang dalam kunjungan awal Desember 2025 ini, yakni Nippon TV, The Hokkaido Shimbun Press, dan The NHK Sapporo Broadcasting Station.
Masing-masing media memiliki karakteristik yang berbeda, tetapi menghadapi tantangan yang kurang lebih serupa, yakni berkurangnya pelanggan seiring dengan depopulasi yang terjadi di Jepang. Minat generasi muda untuk mengakses media juga relatif menurun.
Hal ini pun menjadi fokus perhatian ketiga media. Nippon TV mengungkapkan minat generasi tua di Jepang untuk menonton TV atau mengakses informasi dari media resmi masih cukup tinggi. Namun, cukup sulit bagi perusahaan media untuk menarik minat pemirsa muda.
“Kalau menyasar lansia tentu mudah. Namun, Nippon TV ingin menyasar generasi muda, remaja, anak-anak,” kata Fumi Kobayashi, Chief Editor Commentator, International News, NEWS Division Nippon TV saat ditemui di kantornya pada Selasa (2/12/2025).
Fumi mengatakan bahwa untuk menjaga relevansi mereka, media yang telah beroperasi sejak 1953 ini berupaya memperluas kehadiran secara internasional.
Serupa seperti media-media di Indonesia, Nippon TV juga membuka kanal YouTube dan telah memiliki 3,1 juta subscriber dengan sekitar 82.000 video. Selain itu, Nippon TV turut menghadirkan channel dan konten untuk audiens berbahasa asing, seperti Mandarin.
Upaya lainnya yakni dengan melakukan kolaborasi bersama influencer di berbagai negara untuk mendukung penyebaran informasi dan branding, serta menarik minat generasi muda. Di Asia Tenggara, Nippon TV memiliki kantor perwakilan di Bangkok, Thailand, dan berkolaborasi dengan influencer setempat.
Sejumlah perwakilan media asal Indonesia, Malaysia, dan Thailand berfoto bersama karyawan Nippon TV (jongkok barisan depan) usai mengikuti diskusi tentang tantangan industri media di Jepang dan mengamati cara kerja Nippon TV di Tokyo, Selasa (2/12/2025). Kunjungan ini difasilitasi oleh JENESYS (Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youths), sebuah program pertukaran internasional yang diinisiasi dan didanai oleh Pemerintah Jepang. Bisnis/Jenesys.
Shinichiro Ochi, Senior Producer, Managing Director, News Center, News, News Department Nippon TV menambahkan bahwa sebenarnya selama media mampu mempertahankan konten yang berkualitas, kepercayaan audiens dan pengiklan akan tetap terjaga.
“Hal yang tidak dapat dilakukan influencer adalah untuk menampilkan sumber berita yang kaya, penelitian, analisis, kajian yang membutuhkan waktu dan biaya yang tinggi. Misalnya dengan memanfaatkan gambar satelit. Ini pendekatan diferensiasi yang kami lakukan di tengah tantangan konten medsos saat ini,” katanya.
Shinichiro mengatakan bahwa untuk menambah penghasilan, Nippon TV kini melihat peluang di lini penjualan konten. “Sebagai produsen konten, kami melihat peluang untuk memonetisasi konten itu untuk dipasarkan ke luar negeri,” katanya.
Sejauh ini, Nippon TV belum sepenuhnya memanfaatkan artificial intelligence (AI) dalam proses produksi, selain untuk penerjemahan. Kendati demikian, perusahaan kini memiliki tim khusus yang mengkaji potensi pemanfaatan AI untuk tujuan pemeriksaan fakta.
MEDIA ANAK-ANAK
Berbeda dengan Nippon TV, The Hokkaido Shimbun Press punya strategi yang tak kalah unik. Perusahaan media cetak dan online ini secara khusus menghadirkan koran untuk anak-anak. Tujuannya yakni untuk sedini mungkin menanamkan kebiasaan membaca dan menulis pada generasi muda.
Koran reguler mereka terbit tiap hari dengan ukuran 40×54 cm sebanyak 28 halaman, sedangkan koran untuk anak-anak terbit dua kali sebulan dengan ukuran lebih kecil, yakni 7×40 cm sebanyak 8 halaman.
“Ukurannya setengah dari koran biasa, disesuaikan dengan tubuh anak SD sehingga ringan, kecil, dan mudah dibawa,” kata Ishimaru, perwakilan The Hokkaido Shimbun Press.
Ishimaru menjelaskan bahwa media koran tersebut digunakan sebagai bahan ajar di sekolah, terutama untuk mata pelajaran Bahasa Jepang dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Koran reguler dan koran anak-anak The Hokkaido Shimbun Press. Bisnis/Emanuel B. Caesario.
Anak-anak SD turut berpartisipasi dalam penulisan berita di koran tersebut, sehingga mereka dapat berlatih menulis sejak dini dan lebih merasa memiliki terhadap media tersebut. Tema artikel di koran tersebut pun disesuaikan dengan minat anak-anak.
Sebagai contoh, ketika berkunjung ke kantor The Hokkaido Shimbun Press, koran anak-anak yang saya terima yakni edisi Sabtu, 22 November 2025.
Koran tersebut memuat headline tentang fenomena penjualan set kartu Pokemon oleh gerai McDonald’s dalam paket menu ‘Happy Meals’. Isu yang diangkat yakni tentang banyaknya pembeli yang hanya memburu kartu Pokemon dan membuang makanan yang dibeli.
Para pembeli tersebut tidak benar-benar menginginkan kartu tersebut untuk dikoleksi, melainkan untuk dijual kembali dengan harga yang melambung tinggi. Isi tulisan selanjutnya memuat edukasi tentang buruknya praktik tersebut.
Secara umum, tulisan-tulisan lainnya di dalam koran tersebut berisi tentang edukasi untuk generasi muda Jepang tentang berbagai hal, aktivitas anak-anak di sekolah mereka, prestasi-prestasi anak-anak, tempat wisata unik, games/teka-teki seperti sudoku, dll.
The Hokkaido Shimbun Press tetap relevan dengan cara tersebut. Media ini masih mampu menjual korannya dengan oplah hingga 710.000 eksemplar per hari. Sebagai gambaran, media besar di Indonesia ada yang hanya mampu menjual di bawah 10.000 eksemplar per hari.
Daisaku Oya, Digital Editor, AI Coordinator, Editorial Department, The Hokkaido Shimbun Press mengatakan medianya memasarkan paket berlangganan dengan harga 4.300 yen atau sekitar Rp450.000 per bulan. Ini sudah termasuk koran, media digital, dan koran anak-anak.
Media yang beroperasi sejak 1942 ini mengandalkan sekitar 1.100 orang pegawai tetap untuk mengoperasikan penerbitan media cetak dan platform online berbayar. Berdasarkan penjelasan Daisaku, saya menangkap sistem kerja mereka relatif tidak berbeda dibanding media di Indonesia.
Konten berita umumnya diterbitkan lebih dahulu di platform online, sebisa mungkin secara realtime. Koran yang terbit keesokan harinya memuat isu yang kurang lebih sama, tetapi dengan sedikit pengayaan informasi.
“Namun, pembaca lebih suka membaca koran dibanding online,” kata Daisaku.
Daisaku OYA, Digital Editor, AI Coordinator, Editorial Department, The Hokkaido Shimbun Press menjelaskan cara kerja media digital mereka. Bisnis.com/Emanuel B. Caesario
Daisaku juga menjelaskan bahwa pada prinsipnya media mereka tidak begitu mengejar kuantitas berita, melainkan kedalaman dan ketepatan informasi.
“Kami lebih mementingkan kualitas pembaca ketimbang jumlah pembaca, lamanya pembaca membaca artikel dibanding jumlah artikel. Sebab, artikel banyak juga belum tentu dibaca sampai habis,” katanya.
LAYANAN INFORMASI BENCANA ALAM
Hal lain yang membuat media di Jepang tetap relevan yakni layanan informasi bencana alam yang update dan cepat. Sebab, Jepang merupakan wilayah yang sangat rawan terhadap bencana alam, khususnya gempa bumi.
Media-media berbayar umumnya tetap menyediakan kanal informasi bencana yang dapat diakses secara gratis. The NHK Sapporo Broadcasting Station, misalnya, menjadi salah satu media yang memiliki perhatian besar terhadap layanan keselamatan publik ini.
Hiroyuki Hamada, Full Time Manager, Media Center, The NHK Sapporo Broadcasting Station mengatakan perusahana yang berdiri sejak 1953 ini telah memiliki sistem deteksi bencana di ruang kontrol.
“Selalu ada piket malam untuk selamatkan pemirsa, memberi informasi tentang potensi bencana. Tiap bulan ada tayangan latihan evakuasi jika terjadi bencana,” katanya.
Hiroyuki mengatakan NHK juga menyediakan channel khusus untuk orang asing yang akan memberikan imbauan secara lisan dalam berbagai bahasa untuk melakukan evakuasi saat bencana alam terjadi.
Perusahaan media ini juga menghadirkan program khusus untuk pelanggan disabilitas. Secara umum, NHK Sapporo Broadcasting Station berorientasi pada kepentingan publik. Seluruh pendapatan bersumber dari langganan pemirsa, tidak dari iklan atau sponsor negara.
Biaya iuran yang dipungut NHK bervariasi tergantung jenis akses siaran, yakni sekitar 1.100 yen per bulan untuk rumah tangga yang hanya menerima siaran terestrial, dan sekitar 1.450 yen per bulan bagi pelanggan dengan akses siaran satelit.
“Pelanggan kami ada sekitar 40 juta keluarga di seluruh Jepang. Ada sekitar 20 juta pelanggan yang membayar layanan terestrial dan satelit sekaligus,” kata Hiroyuki.
Berbeda dengan banyak negara lain, Jepang menerapkan skema iuran wajib bagi penyiaran publik, di mana kepemilikan televisi otomatis mewajibkan rumah tangga membayar iuran bulanan kepada NHK.
Keandalan media Jepang dalam memberitakan informasi bencana ini turut saya rasakan saat berada di Jepang. Pada Senin (8/12/2025) malam, gempa bumi dengan skala M7,6 mengguncang Jepang.
Kala itu, gempa berpusat di Prefektur Aomori, di utara Jepang, sedangkan saya tengah berada di Tokyo, sekitar 730 km dari Aomori. Meski cukup jauh, gempa bumi tetap terasa, khususnya di lantai atas bangunan tinggi.
Saya yang saat itu berada di lantai bawah nyaris tidak begitu merasakan adanya guncangan. Namun, beberapa rekan di lantai atas hotel merasakan guncangan yang keras dan cukup lama. Hampir bersamaan dengan itu, siaran TV Jepang menghadirkan informasi terkait bencana tersebut dan memberikan peringatan akan adanya tsunami.
Masyarakat Jepang yang tampaknya sudah terbiasa dengan kondisi bencana tampak tidak begitu panik. Tidak ada evakuasi besar-besaran dari gedung-gedung tinggi. Gedung-gedung itu pun tetap kokoh berdiri, bahkan rak-rak di supermarket tetap stabil. Seakan tidak terjadi apa-apa.
UPAYA MENJAGA RELEVANSI
Kunjungan kami ke media-media di Jepang dilengkapi pula oleh paparan dari Kurasawa Haruo, Direktur Bee Media dan jurnalis senior dengan pengalaman panjang di industri media Jepang.
Dia menjelaskan bahwa publik Jepang menghadapi tantangan serius terkait dengan penyebaran informasi palsu atau hoax. Hal ini justru menjadikan media di Jepang kembali mendapatkan kepercayaan publik sebagai sumber utama informasi yang terpercaya.
Di sisi lain, minat baca masyarakat Jepang relatif sangat tinggi, sehingga masih sangat mudah untuk menemukan media cetak seperti koran dan majalah dijual di minimarket atau supermarket.
Koran masih umum ditemui dijual bebas di gerai minimarket di Jepang. Bisnis/Emanuel B. Caesario.
Meski oplah media cetak di Jepang cenderung terus menurun, penurunannya tidak separah yang terjadi di Indonesia. Haruo menjelaskan bahwa masih ada sekitar 4.000 koran di Jepang dengan total sirkulasi sekitar 30 juta eksemplar per hari.
Jumlah tersebut tergolong masih sangat banyak, meskipun pada dekade 1990-an oplah koran di Jepang sempat mencapai lebih dari 50 juta eksemplar per hari. Artinya, hanya terjadi penurunan sekitar 40% dalam 30 tahun terakhir.
Sebagai pembanding, berdasarkan pemberitaan Antara, Serikat Perusahaan Pers (SPS) mencatat dalam 10 tahun terakhir saja, oplah media cetak di Indonesia mengalami penurunan drastis dari 24 juta tiras pada 2014 menjadi hanya 4,5 juta pada 2024. Dengan kata lain, anjlok 90%.
Terlepas dari itu, Kurasawa mengonfirmasi tantangan yang disampaikan para petinggi media sebelumnya, bahwa Jepang menghadapi tantangan unik tersendiri, terutama dari sisi populasi yang terus menua dan menurun.
“Masyarakat makin menua, generasi muda makin menurun, lansia yang makin dominan, sehingga profit yang dapat didapatkan dari siaran maupun penjualan media cenderung makin menurun. Itu masalah serius di Jepang,” katanya.
Pada akhirnya, industri media di mana pun mengalami tantangan yang serupa, yakni peralihan minat publik ke media digital, terutama media sosial.
Masing-masing pelaku usaha media dituntut untuk memiliki strategi untuk tepat dalam menghapi tantangan uniknya masing-masing.
Jepang diuntungkan oleh populasi yang masih gemar membaca, tetapi populasi tersebut makin menua dan berkurang. Sebaliknya, sudah menjadi rahasia umum bahwa minat baca di Indonesia sangat rendah. Namun, Indonesia memiliki keunggulan dari sisi struktur demografi yang jauh lebih muda dan terus bertumbuh.
Kebutuhan terhadap informasi masih tetap tinggi, tinggal bagaimana industri media di Indonesia memperkuat kehadiran dan kredibilitasnya bagi generasi muda.