Topik: ekspor

  • LPEM UI Wanti-Wanti Risiko Tarif PPN, Tak Selalu Kerek Penerimaan Pajak

    LPEM UI Wanti-Wanti Risiko Tarif PPN, Tak Selalu Kerek Penerimaan Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI) mengungkapkan bahwa kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) tidak selalu sejalan dengan peningkatan penerimaan negara.

    Dalam laporannya bertajuk Indonesia Economic Outlook 2025, LPEM UI menjelaskan pekerjaan/perusahaan informal bisa menyumbang hingga 40% aktivitas ekonomi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Masalahnya, pekerjaan/perusahaan informal tidak tercatat dalam administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

    Akibatnya, sambung laporan tersebut, negara dengan pangsa tenaga karena informal yang tinggi akan kesulitan meningkatkan penerimaan PPN meski tarifnya ditingkatkan. Apalagi, peningkatan tarif PPN memungkinkan pelemahan sektor formal yang sudah tersebut.

    Mengutip temuan De Paula & Scheinkman (2010), ditunjukkan bahwa perusahaan formal akan lebih suka bertransaksi dengan perusahaan informal. Dengan demikian, kewajiban PPN bisa dihindari karena perusahaan formal membeli bahan baku dari pemasok informal tanpa memperoleh faktur pajak.

    “Tarif PPN maksimum dapat bergeser lebih rendah sebagai akibat dari meningkatnya informalitas di suatu negara,” tulis laporan LPEM UI dikutip Minggu (17/11/2024).

    Oleh sebab itu, LPEM UI memberi catatan kritis atas rencana pemerintah meningkatkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Meski peningkatan tarif PPN dapat mendukung pemulihan fiskal pasca pandemi, namun juga dapat menurunkan daya beli masyarakat hingga menyebabkan peningkatan praktik penghindaran pajak.

    Sebagai alternatif, LPEM UI menjelaskan penerimaan perpajakan dapat didorong melalui keterbukaan perdagangan internasional. Seiring naiknya nilai transaksi perdagangan, diyakini penerimaan PPN juga akan semakin meningkat.

    Dijelaskan, potensi ini dapat digali dengan menyederhanakan prosedur kepabeanan dan mengurangi hambatan perdagangan untuk memudahkan fasilitas transaksi perdagangan internasional, sekaligus mendorong bisnis untuk terlibat dalam pasar internasional.

    Langkah-langkah tersebut juga perlu diikuti dengan pelaksanaan kebijakan perdagangan yang mumpuni, serta mendorong platform lokapasar atau e-commerce untuk memfasilitasi perdagangan lintas batas, sehingga memudahkan keterlibatan UMKM dalam kegiatan ekspor.

    “Strategi lainnya adalah dari sisi administrasi perpajakan. Perbaikan administrasi perpajakan sangat penting untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak, yang juga berdampak positif pada iklim investasi,” tulis LPEM UI.

    Selain itu, reformasi institusi dinilai krusial meningkatkan produktivitas pegawai pajak, salah satunya dengan investasi di infrastruktur digital perpajakan yang dapat memodernisasi aktivitas operasional dan mendorong peningkatan efisiensi secara keseluruhan.

    LPEM UI lantas menggarisbawahi bahwa eksplorasi potensi penerimaan pajak dari aktivitas ekonomi digital semakin krusial untuk meningkatkan ruang fiskal.

    Terkait wacana Kementerian Keuangan untuk menjaring pajak ekonomi digital seperti kripto, pajak fintech pada bunga pinjaman yang dibayarkan oleh peminjam, dan pajak pada transaksi yang melibatkan pengadaan barang dan jasa, peninjauan lebih lanjut dinilai penting untuk dilakukan seluruh pemangku kepentingan industri.

    “Formulasi kebijakan perpajakan yang rinci dan relevan untuk sektor digital yang saat ini belum diatur akan memberikan kepastian dan memfasilitasi tingkat kepatuhan dari pelaku usaha ekonomi digital,” tertulis dalam hasil riset tersebut.

  • Kopi Indonesia catat potensi transaksi Rp48 miliar di Korea Selatan

    Kopi Indonesia catat potensi transaksi Rp48 miliar di Korea Selatan

    Paviliun Indonesia dalam penyelenggaraan pameran kopi Seoul International Café Show ke-23 di Seoul, Korea Selatan pada 6-9 November 2024 (ANTARA/HO-Kemendag)

    Kopi Indonesia catat potensi transaksi Rp48 miliar di Korea Selatan
    Dalam Negeri   
    Novelia Tri Ananda   
    Minggu, 17 November 2024 – 08:53 WIB

    Elshinta.com – Produk kopi asal Indonesia mencatat potensi transaksi sebesar 3,25 juta dolar AS atau sekitar Rp48,26 miliar dalam penyelenggaraan Seoul International Café Show ke-23 di Seoul, Korea Selatan pada 6-9 November 2024. Keikutsertaan Indonesia dalam pameran tersebut merupakan kolaborasi antara Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Seoul dan Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Busan.

    Kepala Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Busan Husodo Kuncoro Yakti mengatakan kesepakatan-kesepakatan selama pameran akan ditindaklanjuti secara intensif untuk memastikan realisasi ekspor kopi ke Korea Selatan.

    “Produk Kopi Indonesia membukukan potensi transaksi sebesar 3,25 juta dolar AS atau senilai Rp48,26 miliar. Potensi transaksi tersebut akan ditindaklanjuti dengan negosiasi yang lebih teknis untuk pengiriman pertama,” ujar Husodo melalui keterangan di Jakarta, Minggu.

    Terdapat enam eksportir kopi Indonesia yang mengikuti pameran tersebut. Produk-produk yang dipamerkan yakni kopi arabika dan robusta dari Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Husodo menyampaikan, kehadiran eksportir kopi dari Indonesia ini akan semakin membuka peluang kerja sama ekspor ke Korea Selatan.

    Para eksportir dapat memanfaatkan penjajakan bisnis (business matching) untuk mendapatkan informasi terhadap preferensi pasar dan koneksi ke beberapa jaringan distribusi dan roastery di Korea Selatan.

    “Peluang ini patut dimanfaatkan untuk mempromosikan dan menjajaki bisnis dengan para importir, distributor, dan roster di Korea Selatan,” ucap Husodo.

    ITPC Busan akan terus memfasilitasi eksportir kopi Indonesia melalui pameran, penjajakan bisnis untuk mendorong ekspor ke Korea Selatan. Dengan demikian, ekspor kopi Indonesia diharapkan dapat meningkat di tengah kompetisi yang semakin ketat dari negara pesaing seperti Vietnam, Brasil, Ethiopia, dan Kenya.

    Sementara itu, Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Seoul Zelda Wulan Kartika mengatakan, Paviliun Indonesia didesain serupa lounge dan dinamai Indonesia Coffee Lounge. Hal ini merupakan strategi promosi yang menonjolkan pengalaman minum kopi. Lounge sebagai tempat berkumpul adalah sarana tepat untuk menghadirkan kopi Indonesia. Konsep ini memberikan pengalaman khusus bagi pengunjung yang hadir di Paviliun Indonesia untuk mencicipi kopi Indonesia.

    “Di Indonesia Coffee Lounge ini, para calon buyer dapat merasakan langsung keramahan Indonesia dan sajian citra rasa kopi Indonesia. Interaksi dengan para peserta pameran dalam suasana menyenangkan dapat mendorong dihasilkannya kerja sama bisnis lebih lanjut,” ujar Zelda.

    Kopi Indonesia di pasar Korea Selatan cukup dikenal di kalangan coffee roaster. Beberapa varietas yang dikenal baik adalah arabika gayo dan mandailing. Pasar Korea Selatan terus berkembang dengan konsumsi kopi yang meningkat rata-rata 2,42 persen setiap tahun.

    Di samping itu, konsumen cenderung mencari pengalaman kopi yang unik dengan metode penyeduhan yang berbeda, serta ketertarikan pada aspek ramah lingkungan (eco-friendly), keberlanjutan, dan perdagangan yang lebih adil.

    Sumber : Antara

  • Kenaikan PPN 12 Persen Bakal Picu Gelombang PHK Besar pada 2025

    Kenaikan PPN 12 Persen Bakal Picu Gelombang PHK Besar pada 2025

    Jakarta, Beritasatu.com – Ekonom menilai keputusan pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 dari saat ini 11% akan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin besar.

    Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menjelaskan, kenaikan PPN akan memberi efek domino, seperti harga kebutuhan meningkat, inflasi terkerek, daya beli masyarakat melemah seiring penurunan pendapatan, hingga penurunan permintaan.

    “Potensinya ke arah sana (gelombang PHK makin besar), karena kenaikan PPN menjadi 12% ini juga akan cenderung menurunkan ekspor sekitar 1,41%. Kemudian, pendapatan riil akan menurun sebesar 0,96%, angka pengangguran akan meningkat 0,94%. Ini adalah hasil hitungan dari Indef,” ungkapnya, saat dihubungi Beritasatu.com, Minggu (17/11/2024).

    Esther mengungkapkan, potensi gelombang PHK ini akan terjadi merata di seluruh sektor. Pasalnya, kenaikan PPN sebesar 1% dari 11% menjadi 12% ini akan menambahkan biaya produksi perusahaan, sehingga memengaruhi harga produk dan permintaan masyarakat.

    “Berdampak ke semua sektor karena tarif pajak 1% itu ditambahkan ke harga produk tersebut. Nah ini dampaknya ke sektor jasa perusahaan misalnya 0,81%. Kemudian ke sektor akomodasi makanan minuman itu 0,71%. Ke manufaktur industri ya itu 0,60%, d an seterusnya,” ujarnya.

    Menurut Esther, kenaikan PPN ini memicu perekonomian semakin terkontraksi. Berkaca pada keputusan pemerintah pada April 2022, kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% mendorong inflasi sebesar 0,95%. “Jadi peningkatan PPN 1% itu berpotensi mendorong inflasi pada tahun 2025 nanti,” katanya.

    Kemudian, tingginya inflasi berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat dan daya beli masyarakat terpangkas karena masyarakat cenderung menahan belanja.

    “Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang didorong konsumsi rumah tangga akan melambat karena ada kenaikan PPN menjadi 12%,” tambahnya.

    Apabila konsumsi rumah tangga menurun, pengangguran berpotensi bertambah karena perusahaan tidak mampu bertahan.

    “Perusahaan demand-nya akan turun, karena daya beli masyarakat, mereka akan mengurangi produksi dan kemungkinan akan melakukan lay off tenaga kerja atau efisiensi dalam bentuk lain,” jelasnya.

  • Malaysia Mau Rakit Lokal Juga, Bagaimana Peluang Ekspor Jetour dari Indonesia?

    Malaysia Mau Rakit Lokal Juga, Bagaimana Peluang Ekspor Jetour dari Indonesia?

    Jakarta

    Jetour menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar yang modelnya dirakit secara lokal. Bagaimana peluang ekspornya?

    Jetour mulai merakit SUV Dashing dan Jetour X70 Plus untuk pasar lokal di Bekasi, yang fasilitasnya dimiliki oleh PT Handal Indonesia Motor (HIM).

    Pabrikan China ini ingin memperlebar pasar di Indonesia. Namun diharapkan produksi mobil Indonesia bukan cuma pemenuhan pasar domestik. Seperti diketahui untuk pasar ASEAN, Jetour juga berencana completely knocked down (CKD) di Malaysia.

    Kevin Xu Haifeng, Vice President Jetour International mengungkapkan potensi ekspor mobil Jetour rakitan Indonesia.

    “Itu (ekspor) merupakan kesempatan yang bagus untuk memperbesar volume ke negara lain. Ya itu memungkinkan untuk ekspor ke negara lain, jika biaya (hitung-hitungan bisnis) sesuai untuk area lain,” kata Kevin Xu Haifeng, Vice President Jetour International di Jakarta Selatan, Jumat (15/11/2024).

    Alasan potensi pasar Indonesia juga menjadi pertimbangan Jetour merebut hati masyarakat Indonesia.

    Dengan data penjualan yang bisa tembus satu juta unit per tahun, tertinggi di kawasan ASEAN, pasar otomotif Indonesia masih menggiurkan hingga akhirnya Jetour pakai strategi yang sama dengan induknya, Chery Group, yakni merakit dengan mitra lokal.

    “Indonesia merupakan pasar yang besar di area ini (ASEAN). Tentunya untuk pabrikan mobil akan melihat ke depan tentang pasar ini,” kata Vice President Jetour Auto, Ke Chuandeng di Senayan Park, Jakarta, (15/11/2024).

    “Setiap tahun penjualannya satu juta per unit. Ini benar-benar pasar yang penting.”

    “Kami memilih Indonesia, karena di masa depan mungkin saja kita bisa menjangkau (negara) tetangga.”

    “Kedua, berdasarkan filosofi kami. Kita tidak hanya ingin menjual mobil, kami ingin memberikan kontribusi sesuatu, untuk ekonomi dalam negeri, untuk konsumen kami, teknologi baru untuk perakitan, termasuk penggunaan konten lokal,” jelasnya lagi.

    Sepanjang Januari-Oktober 2024, Jetour sudah menjual 439 ribu unit di dunia. Ini menjadi catatan rekor tersendiri bagi Jetour.

    Secara global, Jetour mengklaim menjual lebih dari 1,4 juta unit kendaraan di seluruh dunia. Prestasi ini bikin Jetour menjadi produsen SUV dengan perkembangan paling pesat di China.

    “Travel Plus merupakan strategi jangka panjang kami untuk berkembang. Produk kami diminati oleh konsumen mancanegara karena produk berkualitas untuk memenuhi gaya hidup,” kata Ke Chuandeng.

    (riar/lua)

  • Industri Tekstil Diminta Perkuat Inovasi Keberlanjutan, Lawan Impor Ilegal

    Industri Tekstil Diminta Perkuat Inovasi Keberlanjutan, Lawan Impor Ilegal

    Bisnis.com, JAKARTA – Inovasi produk tekstil dan produk tekstil (TPT) yang menyangkut aspek sustainability atau keberlanjutan dinilai dapat meningkatkan daya saing sekaligus kunci melawan produk impor ilegal di pasar. 

    Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kementerian Perindustrian Andi Rizaldi mengatakan aspek keberlanjutan harus diterapkan seiring pergeseran era manufaktur ke arah industri hijau atau berwawasan lingkungan. 

    “Industri TPT dapat menggali poensi ini baik dari segi desain dan spesifikasi produk, hingga standar industri yang dipersyaratkan,” kata Andi dalam keterangan resminya, dikutip Sabtu (16/11/2024). 

    Menurut Andri, industri TPT nasional saat ini harus meningkatkan kualitas produk secara berkelanjutan melalui penerapan standar mutu produk dan sistem manajemen mutu, serta memperhatikan prinsip-prinsip industri hijau. 

    Dalam hal ini, pihaknya berupaya memberikan pembinaan dalam hal pemilihan bahan baku, bahan penolong, energi, air, proses produksi, produk, kemasan, limbah, dan emisi gas rumah kaca. Hal ini dapat mendorong industri memberikan kualitas terbaik dibandingkan produk impor ilegal. 

    Terlebih, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memperkirakan volume impor barang tekstil dan sepatu yang masuk secara ilegal ke pasar domestik mencapai 2 juta pasang per hari dengan nilai mencapai Rp30 triliun per tahun. Hal ini lantaran ada berbagai motif importir yang memanfaatkan celah regulasi Indonesia. 

    Di sisi lain, pemerintah juga mendorong untuk memperluas akses pasarnya ke negara-negara nontradisional yang potensial. Selain itu, Kemenperin juga memfasilitasi industri TPT dapat memanfaatkan perjanjian kerja sama perdagangan yang telah terjalin saat ini, salah satunya dengan Korea Selatan. 

     “Apalagi, proyeksi pertumbuhan pasar TPT dan alas kaki sepanjang tahun 2024-2028 akan sebesar 3,17%, dengan diikuti proyeksi untuk produk pakaian jadi sebesar 2,81%,” ungkapnya. 

    Di sisi lain, proyeksi revenue bakal mencapai US$798,4 miliar pada tahun 2028, dan menjadikan Asia sebagai pasar terbesar dibandingkan kawasan lainnya. 

    “Saat ini, Korea Selatan menjadi negara tujuan ekspor TPT yang menduduki urutan ketiga setelah Amerika Serikat dan Jepang, dengan nilai ekspor tahun 2023 sebesar US$492,77 juta, dengan pangsa pasar 4,24%,” sebutnya.

     

     

  • Potensi Bisnis Perkembangan Minyak Atsiri di Indonesia

    Potensi Bisnis Perkembangan Minyak Atsiri di Indonesia

    Jakarta: Potensi bisnis ekspor minyak atsiri di Indonesia sangat besar dengan keanekaragaman hayati yang melimpah, kondisi iklim tropis yang mendukung serta sejarah panjang dalam memproduksi minyak atsiri berkualitas tinggi.
     

    Founder Rumah Atsiri Indonesia Natasha Clairine mengatakan Indonesia merupakan salah satu ekrportir terbesar di dunia dengan dukungan 2000 pelaku industri
     
    “Jadi sebenarnya industrinya juga cukup matang, cukup besar. Pabrik besarnya pun yang melakukan ekspor sudah banyak,” tegas dia dalam Indonesia Knowledge Forum XII 2024 dikutip Sabtu, 16 November 2024.
     
    Dia mengatakan proses hilirirasi di produk minyak atsiri kurang terdengar di masyarakat awam meskipun industrinya sudah sangat besar dan sangat maju.
    “Jadi udah ada hilirisasi di produk ini. Sudah sampai menjadi salah satu terbesar di dunia,” tegas dia.
     
    Dia menjelaskan untuk memproduksi bahan minyak atsiri itu tak hanya dari parfurm tapi juga untuk teknologi pangan. Perkembangan teknologi itu yang sebenarnya lebih susah dari produk jadinya.
     
    “Nah, proses susahnya itu sudah dilakukan di. Negara kita, sebelum menjadi barang jadi,” tegas dia.
     
    Dia berharap ada lebih banyak tanaman Indonesia yang terekspose. Kondisi tropis di indonesia lebih baik dibandingkan negara eropa yang tak memiliki jenis minyak atsiri.
     
    “Walaupun jenisnya lebih sedikit, negara eropa bisa memasarkannya dengan sangat bagus seperti minyak lavender,” tegas dia.
     
    Indonesia memiliki lebih dari 40 jenis tanaman penghasil minyak atsiri, seperti nilam (patchouli), cengkeh, kayu putih, sereh wangi (lemongrass), dan pala.
     
    Indonesia merupakan produsen terbesar minyak nilam di dunia, dengan kontribusi sekitar 85 persen dari kebutuhan global. Minyak atsiri digunakan secara luas di industri parfum, kosmetik, farmasi, aromaterapi, makanan, dan minuman.
     
    Permintaan global untuk produk alami dan organik terus meningkat, yang sejalan dengan penggunaan minyak atsiri. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Eropa, India, dan Tiongkok adalah pasar utama untuk ekspor minyak atsiri.
     
    Sementara itu, Pemerintah Indonesia mendorong pengembangan industri minyak atsiri melalui pelatihan, peningkatan teknologi produksi, dan promosi di pasar internasional.
     
    Program hilirisasi untuk menciptakan nilai tambah juga dilakukan, seperti memproduksi minyak atsiri berkualitas ekspor langsung dari petani atau produsen lokal. Potensi ekspor minyak atsiri Indonesia sangat besar jika dikelola dengan baik.
     
    Dukungan teknologi, pelatihan petani, dan promosi di pasar global akan memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu eksportir utama minyak atsiri dunia.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (SAW)

  • OPINI: Mimpi Indonesia, Mimpi Prabowo

    OPINI: Mimpi Indonesia, Mimpi Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom University of California, Los Angeles, Mariko Sakakibara (2000) mengukur intensitas research and development (R&D) dari dua sisi, yaitu besarnya alokasi anggaran publik dan privat untuk R&D pada sisi input dan jumlah pendaftaran paten pada sisi output.

    Intensitas R&D negara berpendapatan menengah, baik menengah atas maupun bawah masih rendah, seperti Vietnam mengalokasikan 0,43% dari Gross Domestic Product (GDP) untuk R&D, Turkiye 1,40%, Thailand 1,21%, Indonesia 0,30%, dan Afrika Selatan 0,60% pada 2021 (World Bank, 2023).

    Sementara negara-negara maju intensitas R&D-nya sangat tinggi, seperti Amerika Serikat mengalokasikan 3,46% dari GDP untuk R&D, Inggris 2,91%, Swiss 3,36%, Korea Selatan 4,93%, Jepang 3,30%, dan Jerman 3,14% tahun 2021.

    Akibatnya, pendaftaran paten di negara berpendapatan menengah sangat rendah. Inovasi teknologi lambat. Efisiensi ekonomi rendah yang tercermin pada nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dalam 10 tahun terakhir. ICOR Indonesia termasuk tertinggi sebesar 7,05% tahun 2015 dan 6,33% pada 2023. Jauh dari nilai ideal sekitar 3%.

    Di tengah rendahnya intensitas R&D Indonesia membuat mimpi Prabowo untuk menjadikan Indonesia negara maju pada 2045 semakin berat. Perekonomian Indonesia harus tumbuh 8% per tahun dalam 20 tahun ke depan berbasis pada inovasi dan peningkatan produktivitas.

    Akselerasi pertumbuhan ekonomi dari sekitar 5% menjadi 8% pada 2026—2027 membutuhkan pergeseran model pertumbuhan ekonomi nasional dari exogenous growth model menjadi endogenous growth model.

    Exogenous growth model diperkenalkan oleh Robert Solow, peraih Nobel ekonomi 1987. Pendekatan Solow menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang hanya dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Penggunaan teknologi tinggi meningkatkan productivity growth yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.

    Namun, pendekatan itu menempatkan teknologi yang digunakan dalam suatu perekonomian bersumber dari luar perekonomian bersangkutan. Kemajuan teknologi tidak bersumber dari kekuatan internal perekonomiannya.

    Sementara endogenous growth model yang diinisiasi oleh Paul M. Romer, penerima Nobel ekonomi 2018. Romer menyatakan bahwa investasi dan tenaga kerja berdampak temporer pada pertumbuhan. Efeknya hanya dalam jangka pendek.

    Pendekatan ini menyatakan bahwa kemajuan teknologi dan pertumbuhan produktivitas harus bersumber dari kekuatan internal suatu per­ekonomian. Kemajuan teknologi ditunjang oleh kemampu­an inovasi, tingginya in­­­­ten­­­­­sitas R&D dan ketersedia­­an tenaga kerja terampil.

    Kemampuan inovasi suatu perekonomian bergantung pada stock of knowledge (banyaknya pengetahuan) dalam perekonomian bersangkutan. Hal ini tercermin pada jumlah pendaftaran paten dalam perekonomian bersangkutan.

    Selama ini terdapat kesenjangan pendaftaran paten antara negara maju dan berkembang. Berdasarkan publikasi World Intelectual Property Rights Organisation (WIPO), sekitar 80% – 90% pendaftaran paten dilakukan oleh negara maju sejak tahun 2010. Sementara hanya 10% – 20% berasal dari EMEs.

    Menjadi Kaya

    Mimpi Indonesia dan Prabowo untuk menjadikan Indonesia negara kaya pada 2045 terwujud jika mampu mentransformasi ekonominya dari factor driven economy ke perekonomian yang digerakkan oleh inovasi (innovation driven economy).

    Salah satu negara yang sering menjadi rujukan karena sukses bertransformasi menjadi negara kaya dalam jangka 50—60 tahun adalah Korea Selatan. Pemerintah Korea konsisten menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20% atau lebih dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sejak 1980-an hingga saat ini.

    Pemerintah Korea mendirikan research university sebagai sarana mengadopsi dan mengadaptasi teknologi baru dari negara maju. Institusi pendidikan Korea menyerap technology inflow dan sekaligus menciptakan teknologi baru. Kebijakan pendidikan Korea membuat keterkaitan kuat antara pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kemajuan teknologi.

    Ketersediaan tenaga kerja terampil dan berkualitas dalam jumlah besar menjadi modal dasar pemerintah Korea mengadopsi dan mengadaptasi teknologi terbaru dari negara maju. Bahkan, tenaga kerja Korea juga dapat memprediksi arah pengembangan teknologi manufaktur terbaru di negara maju.

    Tingginya proporsi tenaga kerja terampil dan pesatnya perkembangan sektor manufaktur membuat jumlah kelas menengah Korea, sejak 1990-an hingga saat ini, lebih dari 53% populasi. Kelas menengah berpendidikan tinggi menjadi basis dalam mengembangkan knowledge-based economy.

    Dalam rangka mewujudkan mimpi Prabowo, ada baiknya kita belajar dari Brasil dan Korea. Sejak 1965—1980, Brasil tumbuh rata-rata 5,6% dengan PDB per kapita US$7.600 tahun 1980. Tetapi Brasil tidak sukses menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita US$12.500 karena intensitas R&D-nya rendah dan pekerja profesional berpengetahuan tinggi (kelas menengah) rendah.

    Hal berbeda dengan Korea yang tumbuh 6,5% selama periode 1965–1980 memiliki pendapatan per kapita US$7.700 tahun 1986. Gini ratio yang rendah, membuat kelas menengah Korea lebih dari 53% populasi sejak 1990-an. Pekerja terampil yang besar menjadi penggerak utama inovasi Korea hingga mencapai pendapatan per kapita US$12.500 (2003).

    Akhirnya, kata kunci kemajuan ekonomi Korea yang perlu kita adopsi adalah tingginya intensitas R&D, besarnya persentase pekerja terampil dan berpengetahuan tinggi (kelas menengah). Modal ini yang memudahkan Korea mengadopsi, mengadaptasi dan menciptakan teknologi manufaktur terbaru dengan produk manufaktur yang sangat kompetitif di pasar ekspor.

  • Begini Saran LPEM UI untuk Tingkatkan Penerimaan Negara

    Begini Saran LPEM UI untuk Tingkatkan Penerimaan Negara

    Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI) memberikan sejumlah saran terkait strategi alternatif yang potensial untuk meningkatkan penerimaan negara.

    Dalam publikasi analisis makroekonomi bertajuk Indonesia Economic Outlook 2025, terdapat beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan rasio pajak tanpa harus mengandalkan kenaikan tarif pajak, di antaranya adalah menurunkan tingkat informalitas, menaikkan keterbukaan perdagangan, perbaikan sistem administrasi, dan merealisasikan potensi penerimaan pajak dari aktivitas ekonomi digital.

    “Walaupun kenaikan tarif PPN berpotensi meningkatkan penerimaan, kenaikan PPN tidak menjamin penerimaan akan meningkat signifikan, terutama di negara-negara yang memiliki sektor informal yang cukup besar,” tulis Kelompok Kajian Makroekonomi, Keuangan, dan Ekonomi Politik LPEM UI, dikutip pada Sabtu (16/11/2024).

    Menurut tim riset, beban perpajakan pada kelompok dan aktivitas ekonomi formal dapat terdorong akibat tingginya aktivitas informal yang membatasi basis pajak. Solusi yang diberikan mesti menyasar masalah terkait, mulai dari pemberian insentif, simplifikasi rezim perpajakan, hingga perampingan proses registrasi kegiatan usaha.

    Penerimaan perpajakan juga dapat didorong melalui keterbukaan perdagangan internasional, seiring naiknya nilai transaksi perdagangan yang dinilai akan mampu menaikkan penerimaan dari PPN.

    “Semakin tingginya volume perdagangan internasional dari kegiatan impor dan ekspor akan mendorong aktivitas pertumbuhan ekonomi domestik yang kemudian berdampak positif pada penerimaan PPN,” lanjut publikasi itu.

    LPEM UI menilai bahwa potensi ini dapat digali dengan menyederhanakan prosedur kepabeanan dan mengurangi hambatan perdagangan untuk memudahkan fasilitas transaksi perdagangan internasional, sekaligus mendorong bisnis untuk terlibat dalam pasar internasional.

    Hal-hal itu juga perlu diikuti dengan pelaksanaan kebijakan perdagangan yang mumpuni, serta mendorong platform lokapasar atau e-commerce untuk memfasilitasi perdagangan lintas batas, sehingga memudahkan keterlibatan UMKM dalam kegiatan ekspor.

    “Strategi lainnya adalah dari sisi administrasi perpajakan. Perbaikan administrasi perpajakan sangat penting untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak, yang juga berdampak positif pada iklim investasi. Aspek krusial dalam reformasi perpajakan di berbagai negara menekankan pada peningkatan administrasi perpajakan, dengan fokus pada peningkatan efisiensi administrasi,” tulis LPEM UI.

    Selain itu, reformasi institusi dinilai krusial meningkatkan produktivitas pegawai pajak, salah satunya dengan investasi di infrastruktur digital perpajakan yang dapat memodernisasi aktivitas operasional dan mendorong peningkatan efisiensi secara keseluruhan.

    LPEM UI lantas menggarisbawahi bahwa eksplorasi potensi penerimaan pajak dari aktivitas ekonomi digital semakin krusial untuk meningkatkan ruang fiskal.

    Terkait wacana Kementerian Keuangan untuk menjaring pajak ekonomi digital seperti kripto, pajak fintech pada bunga pinjaman yang dibayarkan oleh peminjam, dan pajak pada transaksi yang melibatkan pengadaan barang dan jasa, peninjauan lebih lanjut dinilai penting untuk dilakukan seluruh pemangku kepentingan industri.

    “Formulasi kebijakan perpajakan yang rinci dan relevan untuk sektor digital yang saat ini belum diatur akan memberikan kepastian dan memfasilitasi tingkat kepatuhan dari pelaku usaha ekonomi digital,” tertulis dalam hasil riset tersebut.

  • Ini Produk Makanan Korea yang Paling Banyak Diimpor Indonesia

    Ini Produk Makanan Korea yang Paling Banyak Diimpor Indonesia

    Jakarta: Tren impor makanan Korea ke Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Menurut data dari Korea Agro-Fisheries & Food Trade Corporation (aT Center), impor makanan halal Korea ke Indonesia hingga September 2024 tercatat sebesar USD236 juta, naik 2,7 persen (yoy).
     
    Produk yang mengalami kenaikan antara lain kopi sebesar USD22 juta USD atau naik 4,9 persen (yoy), produk minuman naik 12,0 persen, mi instan naik 27,5 persen, dan stroberi yang mengalami kenaikan ekspor sebanyak 31,8 persen.
     
    “Banyak perusahaan distribusi di Indonesia sedang memperluas penanganan produk makanan Korea,” ungkap Aliang, pembeli dari Kaifa, perusahaan importir Indonesia, dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 15 November 2024.
    Meskipun kewajiban sertifikasi halal yang dijadwalkan diterapkan pada 18 Oktober 2024 untuk produk impor telah ditunda hingga dua tahun ke depan, pasar Indonesia terus mendesak perusahaan Korea dan aT untuk mendapatkan sertifikasi halal. Hal ini diharapkan akan memperlancar distribusi dan memperluas penjualan K-Halal Food di pasar Indonesia.
     
    Direktur Ekspor Makanan aT Center Kwon Oh-Yeop menyatakan, dengan populasi 280 juta, Indonesia memiliki potensi pertumbuhan ekspor makanan Korea yang tak terbatas dan bisa menjadi pintu gerbang pasar halal dunia.
     
    “Kami berencana untuk memperluas berbagai proyek dukungan ekspor agar K-Halal Food semakin dicintai di Indonesia,” tegas dia.
     

     

    Paviliun Korea dalam SIAL Interfood 2024

    Sementara itu, Kementerian Pertanian Republik Korea bersama dengan aT Center berpartisipasi dalam Pameran Pangan Terbesar se-Indonesia, SIAL Interfood 2024 yang diselenggarakan pada 13-16 November 2024 di JIEXPO, Kemayoran, Jakarta Pusat.
     
    Dalam acara tersebut, Kementerian Pertanian dan aT Center membuat Korea Pavilion yang terdiri dari 24 perusahaan pangan asli Korea. Perusahaan-perusahaan tersebut membawa berbagai produk pangan unggulan, seperti stroberi, rumput laut, kimchi, pir, dan saus khas Korea.
     
    Perusahaan makanan dan minuman siap saji juga hadir dalam pameran pangan yang sudah diadakan selama 25 tahun itu. Produk yang diperkenalkan antara lain, tteokbokki, jajangmyeon, dan produk minuman siap santap.
     
    Tak hanya memamerkan produk unggulan, di booth ini, pengunjung juga dapat mencoba langsung panganan khas yang dimasak oleh chef asal Korea, Choi Jun-hyuk. Menu yang dihadirkan antara lan, bulgogi, tteokbokki, kimchijeon, japchae, dan jangjorim.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (HUS)

  • Bappenas Ungkap Potensi RI Pimpin Industri Baterai dalam COP29

    Bappenas Ungkap Potensi RI Pimpin Industri Baterai dalam COP29

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Wakil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Febrian Alphyanto Ruddyard menyatakan Indonesia berada dalam posisi yang tepat untuk memimpin industri baterai.

    “Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia berada pada posisi yang tepat untuk memimpin industri baterai, memasok material yang sangat diperlukan untuk dekarbonisasi global,” ujarnya dalam United Nations Climate Change Conference di Paviliun Indonesia COP29 di Baku, Azerbaijan, Jumat (15/11/2024).

    Saat dunia menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin meningkat, lanjutnya, negara-negara mempercepat upaya menuju transisi energi dan resiliensi ekonomi.

    Pasca COP28 di Uni Emirat Arab (UEB), masyarakat global menyepakati pencapaian target emisi nol bersih (net zero emissions) yang memacu peningkatan permintaan atas mineral kritis (critical mineral) sebagai bahan penting untuk transisi energi.

    Dalam hal ini, Febrian menyampaikan bahwa Indonesia berpotensi menghasilkan pasokan material mineral kritis yang melimpah untuk mendukung dekarbonisasi global mengingat adanya cadangan nikel terbesar sedunia di Tanah Air.

    Sejak 2020, Indonesia disebut telah melarang ekspor bijih nikel untuk membangun rantai pasokan mineral domestik yang komprehensif, termasuk produksi baterai kendaraan listrik.

    Langkah strategis ini dinilai telah terbukti karena menciptakan keberhasilan signifikan, yakni peningkatan sepuluh kali lipat ekspor produk hasil dari proses manufaktur (intermediate product).

    Melalui Kementerian PPN/Bappenas yang bekerja sama dengan World Resource Institute, pemerintah Indonesia sedang mengembangkan peta jalan nasional untuk dekarbonisasi industri nikel sebagai tanggapan terhadap fenomena pergeseran global sustainability.

    “Peta jalan tersebut akan diintegrasikan ke dalam rencana pembangunan nasional Indonesia. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, Indonesia berkomitmen untuk menjadi negara yang berdaulat dan berkelanjutan pada 2045,” ungkap Wakil Kepala Bappenas.

    Transformasi ekonomi menjadi langkah utama untuk mencapai visi besar Indonesia Emas 2045, yang dipandu dengan strategi ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon.

    Dalam rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pemerintah Indonesia disebut memprioritaskan pendekatan transformatif dengan penekanan terhadap pengembangan industri hilir berbasis sumber daya, sektor padat karya, industri yang digerakkan oleh teknologi dan inovasi, serta sektor mineral kritis berorientasi ekspor, khususnya nikel.

    “Indonesia siap memainkan peran integral dalam rantai pasokan nikel rendah karbon global, memberikan solusi praktis yang mendukung tujuan transisi energi global dengan menegakkan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola di setiap tahap proses industri,” kata Febrian.