Topik: ekspor

  • Ekspor Thailand Mandek Akibat Banjir, RI-Vietnam Berpeluang Rebut Pasar

    Ekspor Thailand Mandek Akibat Banjir, RI-Vietnam Berpeluang Rebut Pasar

    Bisnis.com, JAKARTA – Banjir besar di Thailand selatan melumpuhkan ekspor komponen teknologi dan suku cadang otomotif dari pusat logistik Hat Yai, membuka peluang bagi Indonesia dan Vietnam merebut pasar regional.

    Dalam pernyataan resminya pada Selasa (2/12/2025), Kementerian Perdagangan Thailand menyebut Hat Yai kini menjadi titik kemacetan utama distribusi ekspor.

    “Hat Yai telah menjadi bottleneck kami. Meskipun pos lintas batas masih beroperasi, faktanya sebagian besar rute menuju pos tersebut tergenang banjir atau tidak dapat dilalui,” ungkap kementerian dikutip dari Bloomberg.

    Dengan terputusnya jalan utama dan dihentikannya layanan kereta api, arus pengiriman barang ke Malaysia nyaris terhenti. Kondisi itu membuat para eksportir tidak dapat mengirimkan produk mereka. “Para eksportir praktis tidak bisa memindahkan barang keluar,” tambah kementerian.

    Jutaan warga Thailand terdampak bencana ini. Sekitar 800.000 rumah tangga mengalami kerusakan serius, sementara lebih dari 100.000 unit kendaraan dilaporkan hilang atau rusak. 

    Pemerintah memperkirakan nilai kerugian mencapai sekitar 500 miliar baht atau setara US$15,6 miliar. Universitas Kamar Dagang Thailand menyebut banjir kali ini sebagai yang terburuk sepanjang sejarah di wilayah Thailand selatan.

    Kementerian Perdagangan menilai gangguan berulang terhadap rantai pasok dapat menggerus kepercayaan terhadap Thailand sebagai pusat distribusi regional.

    “Disrupsi berulang seperti ini merusak kepercayaan terhadap keandalan Thailand sebagai hub rantai pasok. Jika kami tidak bisa menjamin ketepatan pengiriman, pembeli akan mencari pemasok lain,” ujar kementerian melalui kantor Trade Policy and Strategy Office.

    Kementerian memperingatkan Vietnam dan Indonesia tidak akan menunggu hingga Thailand pulih. “Jika pembeli luar negeri beralih ke pemasok alternatif sekarang, akan sangat sulit untuk merebut kembali pasar di kemudian hari,” lanjut pernyataan tersebut.

    Thailand berpotensi menghadapi tambahan kerugian hingga US$400 juta per bulan apabila kondisi banjir terus berlanjut. Sejumlah komoditas yang terdampak meliputi komponen elektronik, suku cadang otomotif, hingga lateks pekat.

    Dalam beberapa kasus, banjir juga menghambat penerbitan sertifikat asal barang atau certificate of origin yang dibutuhkan untuk proses ekspor. 

    Selain itu, medan wilayah Hat Yai yang berbentuk cekungan, khususnya di Provinsi Songkhla yang menjadi daerah terdampak terparah, nyaris memutus akses eksportir ke pos lintas batas Sadao dan Padang Besar. Kedua titik tersebut selama ini menangani sekitar 96% perdagangan lintas batas Thailand–Malaysia.

    Bencana banjir terjadi di penghujung tahun yang penuh tantangan bagi Thailand. Pada Maret, negara tersebut terdampak gempa besar di Myanmar, sementara pada Juli terjadi bentrokan perbatasan dengan Kamboja yang menewaskan puluhan orang.

    Dari sisi ekonomi, produk domestik bruto (PDB) Thailand tercatat menyusut 0,6% pada kuartal III/2025 dibandingkan kuartal sebelumnya. Banjir kali ini diperkirakan akan semakin menekan sektor pariwisata nasional yang sejak beberapa waktu terakhir telah menunjukkan perlambatan.

  • Jaringan 5G Belum Masif, Pelanggan Enggan Ganti Smartphone

    Jaringan 5G Belum Masif, Pelanggan Enggan Ganti Smartphone

    Bisnis.com, JAKARTA— Vivo mengungkap jaringan 5G yang belum merata turut berdampak pada keputusan masyarakat dalam membeli smartphone 5G. Selain itu, pengguna juga mempertimbangkan faktor kamera hingga daya tahan baterai.

    Hal tersebut disampaikan PR Manager vivo Indonesia Alexa Tiara yang menilai respons konsumen terhadap perangkat 5G masih cukup positif, terutama di wilayah yang sudah memiliki dukungan jaringan memadai.

    “Di saat yang sama, kami menyadari kesiapan jaringan di Indonesia masih bervariasi, sehingga kebutuhan konsumen pun berbeda-beda,” kata Alexa kepada Bisnis pada Selasa (2/12/2025).

    Menurut Alexa, kondisi tersebut menjadi dasar bagi vivo untuk menghadirkan portofolio produk yang fleksibel, dengan menawarkan pilihan perangkat 4G dan 5G di sejumlah lini. Dengan begitu, konsumen dapat memilih perangkat yang paling sesuai dengan kondisi jaringan maupun pola penggunaan mereka.

    Dia menjelaskan adopsi 5G menunjukkan tren stabil, menandakan konsumen masih mempertimbangkan banyak faktor sebelum beralih ke perangkat generasi terbaru. 

    Faktor-faktor tersebut mencakup harga, daya tahan baterai, serta fitur kamera yang mendukung aktivitas harian. Selain itu, sebagian besar pengguna juga masih menilai jaringan 4G sudah cukup memadai.

    “Pada saat yang sama, hadirnya perangkat 5G tetap menjadi langkah penting dalam mendorong inovasi dan mempersiapkan konsumen menuju pengalaman konektivitas yang lebih cepat,” ujarnya.

    Alexa menegaskan fokus vivo adalah menghadirkan produk yang benar-benar menjawab kebutuhan pengguna di berbagai segmen. 

    Dia menambahkan semangat “Joy in Us” menjadi landasan vivo dalam menghadirkan inovasi yang relevan dengan kehidupan konsumen.

    “Dengan inovasi teknologi yang terus berkembang, kami yakin vivo dapat tetap berkontribusi pada pertumbuhan pasar smartphone di Indonesia sekaligus menawarkan pengalaman yang terbaik bagi masyarakat,” tuturnya.

    Sementara itu, laporan Counterpoint Research menunjukkan adopsi smartphone 5G di Indonesia masih berjalan lambat. Pada kuartal III/2025, perangkat 5G hanya menguasai 35% dari total pengapalan, stagnan dibandingkan kuartal sebelumnya. Secara tahunan, pertumbuhannya naik tipis 4%, menunjukkan penetrasi yang belum masif.

    Counterpoint juga mencatat fluktuasi dalam empat kuartal terakhir. Pada kuartal IV/2024, pangsa pengapalan perangkat 5G turun ke 25% dari 31% pada kuartal sebelumnya. Pemulihan terjadi pada kuartal I/2025 yang naik menjadi 26%, kemudian melonjak ke 35% pada kuartal II/2025, dan bertahan pada kuartal III/2025. Stabilitas ini didorong meningkatnya ketersediaan perangkat 5G yang lebih terjangkau, terutama di kelas menengah.

    Di sisi lain, pasar smartphone nasional secara keseluruhan mencatat pemulihan kuat. Pengiriman smartphone tumbuh 12% secara tahunan pada kuartal III/2025, didorong stabilitas ekonomi, ekspor, dan meningkatnya permintaan domestik.

    Segmen entry-level menjadi motor utama pertumbuhan. Pengapalan smartphone di bawah US$150 melonjak 42% secara tahunan dan kini menguasai 55% pangsa pasar, berkat strategi agresif produsen menyediakan perangkat terjangkau. Adapun segmen menengah dan premium terkoreksi. Pengiriman perangkat US$150–349 turun 10%, segmen US$350–699 turun 11%, dan perangkat premium di atas US$700 merosot 14%.

    Dari sisi merek, Samsung memimpin pasar dengan pangsa 20%, diikuti Xiaomi 17%, OPPO 16%, vivo 14%, serta Infinix 12% yang mencatat pertumbuhan paling agresif dengan kenaikan 45% secara tahunan.

    Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyiapkan lelang frekuensi 2,6 GHz untuk meningkatkan layanan 5G. Pita 2,6 GHz termasuk kategori mid-band dengan keunggulan kapasitas dan ketersediaan bandwidth hingga 190 MHz. 

    Selain itu, pita 2,6 GHz dengan moda Time Division Duplex (TDD) memiliki ekosistem perangkat 4G dan 5G terbesar kedua secara global. Pemanfaatan pita tersebut diharapkan mampu meningkatkan kualitas konektivitas broadband secara signifikan.

  • Kemenkeu Waspada Lonjakan Inflasi Imbas Cuaca Ekstrem

    Kemenkeu Waspada Lonjakan Inflasi Imbas Cuaca Ekstrem

    Jakarta

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengantisipasi terjadinya gejolak harga seiring musim hujan yang berdampak pada produksi pangan. Hal itu bisa berpengaruh terhadap laju inflasi Desember 2025.

    Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu mengatakan inflasi November 2025 melambat ke 2,72% (yoy), lebih rendah dari Oktober 2,86% (yoy) sejalan dengan meredanya tekanan volatile food yang turun ke 5,48% (yoy) dari 6,59% (yoy). Meski begitu, kemungkinan terjadinya gejolak harga ke depan terus diantisipasi.

    “Stabilisasi harga pangan terus konsisten dilakukan sehingga beberapa harga komoditas mulai menurun seperti beras, cabai merah dan daging ayam. Meskipun begitu, pemerintah terus mengantisipasi terjadinya gejolak harga seiring masuknya musim hujan yang dapat berdampak pada produksi pangan,” kata Febrio dalam keterangan resmi, Selasa (2/12/2025).

    Sementara itu, inflasi inti bergerak pada level 2,36% (yoy) yang diklaim mencerminkan daya beli masyarakat terjaga. Di sisi lain, inflasi Administered Price (AP) sedikit meningkat menjadi 1,58% (yoy) dari 1,45% (yoy) dipengaruhi oleh kenaikan tarif angkutan udara seiring bertambahnya permintaan.

    Febrio memastikan pihaknya akan terus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dengan mendorong daya saing ekspor nasional, serta menjaga pasokan domestik terutama memastikan ketersediaan pangan agar tercipta harga stabil.

    Terkait hal ini pemerintah memastikan ketersediaan pasokan bahan pangan masyarakat menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025/2026, termasuk dalam penyediaan untuk mencukupi kebutuhan program prioritas pemerintah di tengah tantangan gangguan cuaca.

    “Berbagai langkah dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya gejolak harga akibat cuaca ekstrem, di antaranya melalui operasi pasar, penguatan stok, cadangan pangan dan intervensi harga,” jelas Febrio.

    Sejauh ini perekonomian Indonesia diklaim tetap mempertahankan momentum positif, terlihat dari beberapa indikator seperti PMI manufaktur yang terus ekspansif, neraca perdagangan yang tetap surplus, dan inflasi yang tetap terjaga. Hal itu didukung oleh kuatnya permintaan domestik.

    “Kita terus memperkuat pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan yang terarah, termasuk stimulus kuartal IV-2025, sekaligus mendorong ekspor yang bernilai tambah dan menjaga ketahanan sektor padat karya untuk mengoptimalkan kontribusi pada ekonomi nasional,” ujar Febrio.

    Sebagaimana diketahui, PMI Manufaktur Indonesia tercatat ekspansif pada November 2025 di level 53,3. Peningkatan signifikan atas permintaan domestik menjadi faktor pendorong utama yang turut mendukung peningkatan produksi, penyerapan tenaga kerja dan aktivitas pembelian menjelang akhir tahun.

    Sementara itu, neraca perdagangan mencatatkan surplus impresif sebesar US$ 35,9 miliar atau tumbuh 44,1% (ctc) sepanjang periode Januari-Oktober 2025. Hal ini utamanya disumbang oleh surplus sektor nonmigas senilai US$ 51,5 miliar.

    “Dengan capaian ini, Indonesia kian menunjukkan ketahanan sektor eksternalnya dan peran yang semakin strategis dalam perdagangan global,” pungkasnya.

    (acd/acd)

  • Beda dengan Industri Hulu Tekstil, Sektor Hilir Disebut Mulai Pulih

    Beda dengan Industri Hulu Tekstil, Sektor Hilir Disebut Mulai Pulih

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI) menyebut kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) jelang akhir tahun ini menunjukkan arah yang lebih positif dibandingkan tahun lalu.

    Hal ini disebut tercerminkan dari data Badan Pusat Statistik (BPS) di mana total ekspor mencapai US$8,07 miliar hingga Agustus 2025, dengan pertumbuhan industri TPT mencapai 5,92% pada triwulan III/2025 lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,04%. 

    Ketua Umum AGTI Anne Patricia Sutanto mengatakan, berbagai indikator resmi, baik dari BPS maupun laporan industri, memperlihatkan bahwa pemulihan mulai bergerak ke jalur yang lebih stabil meskipun masih bertahap.

    “Pertumbuhan ekspor ini didorong oleh peningkatan pada produk kimia, pakaian jadi, serta kulit dan alas kaki,” kata Anne kepada Bisnis, Senin (1/12/2025). 

    Dari sisi hilir, permintaan domestik mulai membaik dan pelaku industri melihat kembali peluang untuk meningkatkan kapasitas. Sementara itu, sektor hulu memang masih menghadapi tekanan. 

    Pasalnya, ketergantungan impor bahan baku yang cukup tinggi. Namun, trennya perlahan menunjukkan stabilisasi seiring pasar yang lebih tertata dan penertiban impor ilegal yang mulai memberikan dampak langsung di lapangan.

    “Dengan kombinasi peningkatan ekspor, stabilitas pasar domestik, dan data pertumbuhan yang positif, kami melihat bahwa fondasi pemulihan industri TPT sudah mulai terbentuk,” tuturnya. 

    Anne menilai bahwa pemulihan industri TPT masih berjalan bertahap dan belum merata. Momentum pemulihan penting karena menunjukkan bahwa industri TPT bergerak ke arah yang lebih kuat dibanding tahun lalu dan memasuki tahun depan dengan optimisme yang terukur tetapi solid.

    Adapun, momentum perbaikan industri TPT akhir tahun ini ditopang oleh beberapa pendorong utama. Pertama, pasar domestik yang lebih stabil memberikan ruang bagi produsen garmen dan apparel untuk meningkatkan kapasitas secara bertahap. 

    “Konsumsi masyarakat, khususnya segmen menengah mulai pulih sehingga permintaan terhadap pakaian jadi dan household textiles meningkat,” jelasnya. 

    Kedua, penegakan impor ilegal yang lebih tegas dari pemerintah menghasilkan dampak nyata di lapangan seperti pasar menjadi lebih tertata, kompetisi lebih sehat, dan produk lokal kembali memiliki ruang untuk tumbuh. 

    “Ini menjadi salah satu faktor yang paling dirasakan langsung oleh pelaku industri,” tambahnya. 

    Ketiga, perubahan preferensi global menuju produk berkelanjutan menciptakan peluang baru bagi industri yang telah berinvestasi dalam serat daur ulang, low-impact processes, dan sistem produksi yang efisien. 

    Menurut Anne, tak sedikit anggota AGTI yang kini melihat peningkatan permintaan dari buyer untuk kategori produk dengan standar sustainability yang lebih tinggi.

    Dari sisi produk, dia melihat peningkatan permintaan paling terlihat pada apparel dan garmen untuk pasar domestik dan beberapa pasar ekspor yang mulai stabil, household textiles seperti beddings dan home fabric, serta technical textiles yang digunakan untuk kebutuhan industri, kesehatan, dan fungsional.

    Selain itu, produk berbasis circular economy seperti material hasil daur ulang dan recycled blended fibers mulai masuk ke permintaan yang lebih konsisten seiring kebijakan ESG global yang semakin ketat.

    “Secara keseluruhan, dorongan pasar domestik, penertiban impor ilegal, serta transisi ke produk bernilai tambah dan berkelanjutan menjadi faktor utama yang menggerakkan pemulihan industri di akhir tahun ini,” pungkasnya. 

  • Surplus Neraca Dagang RI Susut, Purbaya Sebut Akibat Permintaan Domestik Pulih

    Surplus Neraca Dagang RI Susut, Purbaya Sebut Akibat Permintaan Domestik Pulih

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menilai surplus neraca dagang Indonesia pada Oktober 2025 yang semakin susut justru menandai perbaikan permintaan domestik. 

    Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2025 mengalami surplus senilai US$2,39 miliar. Ini menjadi surplus ke-66 kalinya secara beruntun sejak Mei 2020, tetapi menjadi yang terendah sejak April 2025 dan lebih rendah dari Oktober 2024 yaitu US$2,71 miliar.

    Namun demikian, Purbaya menilai pembukuan surplus yang lebih rendah itu menjadi tanda bahwa permintaan domestik membaik. Sebaliknya, surplus neraca dagang yang terlalu besar, di mana berarti nilai ekspor melambung tinggi, dinilai olehnya menjadi tanda-tanda bahwa permintaan domestik buruk. 

    “Kalau surplusnya kegedean, tandanya apa? Permintaan domestik kan jelek. Kalau surplusnya menyusut tetapi masih surplus, artinya ada tanda-tanda perbaikan di domestic demand. Jadi Anda enggak bisa terjemahkan langsung satu titik aja,” terangnya kepada wartawan saat ditemui usai Rapimnas Kadin 2025, Park Hyatt, Jakarta, Senin (1/12/2025). 

    Menurut Purbaya, perlu untuk melihat seperti apa perkembangan neraca perdagangan Indonesia ke depan. Dia memperkirakan apabila kinerja surplus perdagangan membaik, maka bisa jadi menjadi tanda bahwa ekonomi domestik membaik. 

    “Kita lihat beberapa bulan ke depan seperti apa. Kalau balik ke normal, artinya ekonomi domestik mulai normal lagi dengan permintaan yang lebih bagus dibanding sebelum-sebelumnya,” jelasnya. 

    Seperti diberitakan sebelumnya, BPS mengumumkan neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus US$2,39 miliar secara tahunan (year on year/YoY) pada Oktober 2025. Angka itu merupakan surplus neraca perdagangan terendah sejak April 2025 atau dalam enam bulan terakhir. 

    Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Isnartini mengatakan bahwa Indonesia mencatatkan ekspor Oktober sebesar US$24,24 miliar atau turun 2,31% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. 

    Sementara itu, nilai impor Oktober 2025 mencapai US$21,84 miliar atau turun 1,15% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini dipengaruhi oleh penurunan impor migas.

    “Neraca perdagangan Indonesia dengan ini telah mencatat surplus selama 66 bulan berturut turun sejak Mei 2020,” ujar Pudji pada Rabu (1/10/2025). 

    Surplus pada Oktober 2025 lebih ditopang pada komoditas nonmigas yaitu sebesar US$4,41 miliar dengan komoditas penyumbang surplus utama lemak dan minyak hewan/nabati, kemudian bahan bakar mineral, serta besi dan baja.

    Pada saat yang sama, neraca perdagangan komoditas migas defisit US$1,92 miliar dengan komoditas penyumbang defisit yaitu minyak mentah dan hasil minyak.

  • APBI Beberkan Sejumlah Tantangan Dihadapi Industri Batu Bara Nasional

    APBI Beberkan Sejumlah Tantangan Dihadapi Industri Batu Bara Nasional

    Liputan6.com, Jakarta Pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI–ICMA) mencatat permintaan ekspor batubara global masih menunjukkan pertumbuhan moderat. Kebutuhan pasar ekspor diproyeksikan mencapai sekitar 1,069 miliar ton pada 2026, atau tumbuh sekitar 0,5%. Angka ini mengonfirmasi bahwa batubara tetap menjadi sumber energi andalan dalam jangka pendek-menengah bagi banyak negara.

    Asosiasi memproyeksikan permintaan dari pasar seperti China dan India akan tetap stabil dan kuat, didorong kebutuhan energi untuk pemulihan industri dan pertumbuhan ekonomi mereka, meskipun berangsur menurun.

    Selain itu potensi pertumbuhan yang signifikan dari negara-negara di Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Filipina masih terbuka. Hal ini menegaskan bahwa batubara tetap menjadi sumber energi andalan dalam jangka pendek-menengah bagi banyak negara.

    “Di tengah peluang ekspor tersebut, komitmen anggota APBI-ICMA dalam memenuhi kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) tidak berubah. Pemenuhan pasokan batubara untuk kebutuhan dalam negeri, khususnya sektor ketenagalistrikan, tetap menjadi prioritas untuk menjaga ketahanan energi nasional,” ujar Ketua Umum APBI–ICMA Priyadi di Jakarta.

    Terkait harga, dia mengakui terjadi pelemahan. Faktor melemahnya harga batubara internasional, disertai kenaikan biaya produksi dan logistik, menuntut kebijakan yang lebih adaptif, terukur, dan mampu menjaga kesinambungan investasi jangka panjang. 

    “Sinkronisasi kebijakan strategis pemerintah menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan operasi dan daya saing pelaku usaha,” lanjut dia.

    Dalam kesempatan ini, dia mengaku jika pengusaha memahami dan mendukung tujuan pemerintah untuk mengurangi impor solar. Namun, mekanisme implementasi B40 perlu dikaji lebih dalam untuk sektor tambang, karena karakter operasi tiap komoditas dan wilayah berbeda, mulai dari variasi stripping ratio, jarak dan rute hauling, hingga kondisi infrastruktur yang mempengaruhi struktur biaya produksi.

    Hilangnya subsidi untuk non-PSO semakin menekan arus kas, sehingga tambahan beban biaya operasional sangat memengaruhi ketahanan usaha di tengah fluktuasi harga komoditas.

    Dia kembali menegaskan bahwa industri tambang mendukung transisi energi, namun penahapan yang realistis mutlak diperlukan.

    Sebelum melangkah ke B50, pemerintah perlu memastikan implementasi B40 berjalan stabil dengan skema kompensasi yang proporsional, agar industri mampu beradaptasi tanpa kehilangan daya saing, dan pada akhirnya mendukung keberlangsungan produksi serta penerimaan negara yang tetap optimal.

     

     

     

     

  • Ramalan Mendag soal Kinerja Ekspor RI Jelang Akhir 2025

    Ramalan Mendag soal Kinerja Ekspor RI Jelang Akhir 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyampaikan bahwa kinerja ekspor Tanah Air mengalami penurunan di tengah dinamika perdagangan internasional.

    Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyampaikan bahwa ekspor kumulatif RI periode Januari–Oktober 2025 tumbuh 6,96% menjadi US$234,04 miliar. Secara tren, persentase tersebut menurun dibandingkan periode kumulatif Januari–September 2025 yang masih tumbuh 8,14%.

    “Kemungkinan Desember bisa turun, ya, karena kan biasanya kalau Desember ada yang tertunda. Tadi makanya pesannya jangan lama-lama ekspor angkutannya itu tertahan,” kata Budi dalam sesi diskusi panel Rapimnas Kadin Indonesia 2025 di Jakarta, Senin (1/12/2025).

    Dia lantas menyampaikan bahwa meningkatkan ekspor bukanlah pekerjaan mudah, sehingga perlu banyak dilakukan pembenahan terutama pada lingkup domestik.

    Budi menyoroti pentingnya pembenahan regulasi ekspor, perluasan target pasar baru, hingga mewujudkan iklim usaha yang lebih baik.

    Tak hanya di pasar ekspor, dia menyebut bahwa pemerintah bersama pengusaha dapat mendorong optimalisasi sumber daya yang dinilai akan dapat menambah daya saing produk dalam negeri.

    “Resource space kita bisa produknya, bisa regulasi dalam negeri, bisa iklim usaha yang baik, itulah yang bisa mendongkrak ekspor kita,” ujar Budi.

    Dia lantas menyampaikan bahwa pemerintah telah menetapkan target pertumbuhan ekspor kumulatif sepanjang 2025 sebesar 7,1%.

    Mengingat angka terbaru per Oktober menunjukkan pertumbuhan kumulatif sebesar 6,96%, Budi menargetkan setidaknya angka yang sama tercapai pada akhir tahun, sehingga tetap sejalan dengan visi pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029.

    “Karena hitung-hitungan kami ketika [ekspor tumbuh] 7,1%, kemudian tahun depan 7,09%, dan seterusnya sampai tahun 2029 itu 9,6%. Itu artinya pertumbuhan ekonomi 8% akan tetap. Jadi kita sudah simulasi berapa pertumbuhan ekspor yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%,” ujar Budi.

    Untuk diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menargetkan ekspor tahun ini sebesar US$294,45 miliar atau tumbuh 7,1% year-on-year (yoy) dapat tercapai. Hal ini seiring kinerja perdagangan menunjukkan tren pertumbuhan yang positif. Dengan nilai ekspor mencapai US$234 miliar per Oktober, maka realisasinya baru 79,5% dari target tahun ini.

    Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia pada Oktober 2025 mencapai US$24,24 miliar, turun 2,31% dibanding periode sama tahun lalu. Penurunan terutama dipicu oleh melemahnya ekspor bahan bakar mineral (BBM) dan tembaga.

    Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan BBM menjadi komoditas ekspor yang mengalami penurunan terbesar.

    “Secara tahunan, komoditas ekspor yang mengalami penurunan terbesar itu yang pertama adalah bahan bakar mineral atau HS27, nilainya turun 19,04% dan volumenya turun 7,26%,” kata Pudji dalam Rilis BPS, Senin (1/12/2025).

  • Bos Pajak Panggil 200 Pengusaha Imbas Manipulasi Pajak Sawit

    Bos Pajak Panggil 200 Pengusaha Imbas Manipulasi Pajak Sawit

    Liputan6.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyelenggarakan Sosialisasi Kewajiban Perpajakan di Sektor Produk Kelapa Sawit dan Turunannya. Kegiatan ini dihadiri sekitar 200 pelaku usaha yang mewakili 137 Wajib Pajak strategis di sektor kelapa sawit.

    Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menyampaikan sosialisasi ini sebagai tindak lanjut pengungkapan modus pelanggaran ekspor yang terbaru.

    DJP telah mengidentifikasi sejumlah dugaan ketidaksesuaian lain, termasuk praktik under-invoicing serta penggunaan faktur fiktif/TBTS.

    “Dalam kesempatan sosialisasi ini, kami mengimbau Bapak-Ibu untuk segera melakukan pembenahan secara sukarela sebelum DJP melakukan langkah penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang terindikasi tidak patuh,” ujar Bimo, dalam keterangannya, Senin (1/12/2025).

    Bimo menegaskan komitmen Pemerintah untuk memperkuat tata kelola industri sawit agar semakin transparan, akuntabel, dan berkelanjutan serta mampu mempertahankan daya saing di pasar global.

    “Mari jadikan momentum ini sebagai langkah nyata untuk meningkatkan kepatuhan dan memperkuat penerimaan negara,” ujarnya.

    Adapun DJP berkomitmen menjalankan pengawasan secara profesional dan proporsional, serta membuka ruang dialog dengan pelaku usaha untuk memastikan kepatuhan dapat meningkat tanpa menghambat aktivitas ekonomi.

     

  • Beda Versi 2 Kementerian soal Insentif buat Otomotif

    Beda Versi 2 Kementerian soal Insentif buat Otomotif

    Jakarta

    Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan tidak ada insentif untuk industri otomotif tahun depan. Di sisi lain, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bilang industri otomotif perlu diselamatkan karena kondisinya sedang terpuruk.

    Airlangga menilai, industri otomotif di Indonesia sudah cukup kuat. Apalagi banyak didukung oleh pameran otomotif, baik skala nasional maupun internasional.

    “Karena industrinya sudah cukup kuat. Apalagi udah pameran di sini. Kuat banget,” sambung politisi Partai Golkar tersebut baru-baru ini.

    “Lagi dikaji (rencana pemberian insentif pemberian otomotif). Dikaji, tapi belum (ada keputusan),” sambung Airlangga.

    Dikutip Antara, Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto mengatakan, belum ada usulan resmi terkait insentif otomotif untuk tahun 2026. Namun, Kemenko Perekonomian membuka ruang untuk pembahasan jika ada usulan baru.

    “Saat ini kami belum ada pembahasan kembali dan belum menerima usulan insentif dari Kementerian/Lembaga pembina sektor,” kata Haryo.

    Haryo juga menilai, dalam beberapa tahun terakhir, industri otomotif menunjukkan penguatan yang cukup signifikan, khususnya pada segmen kendaraan listrik. Pertumbuhan kendaraan listrik dan realisasi investasi yang signifikan menunjukkan fondasi industri yang semakin kuat.

    “Kami berpendapat bahwa industri otomotif saat ini sudah cukup kuat. Hal ini dibuktikan dengan penjualan kendaraan listrik roda empat meningkat signifikan hingga 18,27 persen dari pangsa pasar tahun 2025 dan investasi untuk KBLBB (Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai) sebesar Rp5,66 triliun di tahun 2025,” ujar Haryo.

    Di sisi lain, segmen kendaraan konvensional masih mendominasi pasar sekitar 80,6 persen, sementara pasar roda dua juga terus menunjukkan pertumbuhan baik dari sisi permintaan domestik maupun ekspor.

    “Pertanyaannya, apakah masih diperlukan insentif jika suatu industri sudah cukup kuat? Kami melihat ruang kebijakan yang ada dapat mulai dipertimbangkan untuk memperkuat sektor-sektor prioritas lain yang membutuhkan dukungan lebih besar, sembari tetap menjaga momentum positif industri otomotif,” sebutnya.

    Insentif buat Selamatkan Industri Otomotif

    Di sisi lain, Kementerian Perindustrian menilai industri otomotif saat ini sangat membutuhkan insentif untuk memperkuat ekosistem industrinya dari hulu ke hilir. Insentif tersebut diperlukan untuk mempertahankan utilisasi produksi, melindungi investasi dan pekerja industrinya dari PHK, serta meningkatkan daya saing produk otomotif dalam negeri.

    Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, memang penjualan mobil listrik meningkat signifikan. Namun kenaikan penjualan ini sebagian besar berasal dari mobil listrik impor. Dari total penjualan kendaraan EV tahun 2025 sebesar 69,146 unit, 73 persennya merupakan kendaraan EV impor yang nilai tambah serta penyerapan tenaga kerja industrinya berada di negara lain. Sementara segmen kendaraan lain yang diproduksi di dalam negeri dan memiliki share terbesar dalam pasar otomotif nasional terus mengalami penurunan penjualan signifikan, bahkan jauh di bawah jumlah produksi tahunan kendaraan pada segmen tersebut.

    “Jadi, keliru jika kita menyatakan industri otomotif sedang dalam kondisi kuat dengan hanya mengandalkan indikator pertumbuhan kendaraan pada segmen tertentu. Penurunan tajam penjualan kendaraan bermotor roda empat jauh di bawah angka produksinya di kala penjualan kendaraan EV impor naik tajam adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Dan, harus menjadi indikator pertumbuhan industri otomotif nasional saat ini. Kami memandang bahwa dibutuhkan insentif untuk membalikkan keadaan tersebut,” ujar Febri dikutip dari keterangan tertulisnya.

    Selain itu, banyaknya pameran bukan berarti menunjukkan bahwa industri otomotif sedang kuat. Kuat-tidaknya industri otomotif nasional hanya bisa disimpulkan berdasarkan data penjualan dan produksi otomotif.

    “Banyaknya pameran otomotif diberbagai tempat Indonesia juga bukan ukuran industri otomotif sedang kuat. Sebaliknya, banyak pameran otomotif adalah upaya dan perjuangan industri untuk tetap mempertahankan demand di tengah anjlok penjualan domestiknya dan sekaligus melindungi pekerjanya dari PHK. Sekali lagi, kita harus menggunakan data statistik yang ada untuk menggambarkan kondisi obyektif industri otomotif saat ini dan tidak menggunakan jumlah event pameran otomotif,” ujar Febri.

    Kondisi Industri Otomotif

    Saat ini, industri otomotif mengalami penurunan penjualan. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, penjualan mobil selama Januari-Oktober 2025 secara wholesales (distribusi dari pabrik ke dealer) hanya sebanyak 634.844 unit. Angka itu turun 10,6 persen dibanding tahun lalu yang mencapai 711.064 unit. Sedangkan secara retail sales (penjualan dari dealer ke konsumen) tercatat sebanyak 660.659 unit pada Januari-Oktober 2025. Angka itu turun 9,6 persen dari tahun lalu yang mencapai 731.113 unit.

    Data yang dihimpun Ditjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) menunjukkan produksi kendaraan juga mengalami penurunan menjadi 957.293 unit dari 996.741 unit pada 2024.

    Penurunan paling dalam terjadi pada segmen kendaraan yang justru menjadi tulang punggung industri otomotif nasional, yaitu segmen entry dengan harga di bawah Rp 200 juta. Segmen itu anjlok hingga 40 persen. Selain itu, segmen low dengan harga Rp 200-400 juta juga merosot 36 persen, serta segmen kendaraan komersial turun 23%. Ketiga segmen tersebut selama ini menyasar konsumen domestik, terutama kelompok masyarakat kelas menengah, serta menjadi basis produksi terbesar di dalam negeri.

    Oleh karena itu, Kemenperin menegaskan bahwa insentif otomotif menjadi instrumen krusial dalam upaya memulihkan pasar kendaraan bermotor sekaligus menjaga keberlangsungan industri otomotif nasional.

    Febri menyatakan, kebijakan insentif tidak hanya penting bagi pelaku industri, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sebagai konsumen. Menurutnya, insentif akan menciptakan ruang bagi penurunan harga kendaraan, memperbaiki sentimen pasar, serta mempertahankan daya beli masyarakat, khususnya kelompok kelas menengah dan pembeli mobil pertama yang sangat sensitif terhadap perubahan harga.

    “Walaupun Kemenperin belum merumuskan jenis, bentuk dan target insentif/stimulus, tapi usulannya akan mengarah ke segmen kelas menengah-bawah dan didasarkan pada nilai TKDN.,” ungkapnya.

    Menurut Febri, pelemahan pasar yang terjadi secara simultan dapat berdampak pada penurunan utilisasi pabrik, penurunan investasi, serta berpotensi mengancam keberlanjutan lapangan kerja di industri otomotif dan sektor komponen. “Tidak adanya intervensi kebijakan akan membuat tekanan ini semakin dalam, dan efeknya dapat memengaruhi struktur industri secara keseluruhan,” katanya.

    (rgr/dry)

  • Harga Patokan Ekspor Tembaga Naik Jadi USD 5.462 per Ton, Apa Pemicunya?

    Harga Patokan Ekspor Tembaga Naik Jadi USD 5.462 per Ton, Apa Pemicunya?

    Upaya hilirisasi yang tengah dijalankan pemerintah dinilai sudah menunjukkan kemajuan, terutama pada sektor tembaga dan nikel. Namun, proses tersebut perlu dijalankan dengan hati-hati dan berorientasi pada kualitas agar tidak sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

    Hingga kuartal III/2025, kebijakan hilirisasi kembali menjadi penyokong utama pencapaian target investasi nasional.

    Data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat total realisasi investasi di sektor hilirisasi mencapai Rp150,6 triliun atau 30,6% dari total investasi.

    Angka tersebut mengalami lonjakan sebesar 64,6% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal ini menegaskan bahwa strategi hilirisasi sebagai fondasi penting dalam membangun nilai tambah di dalam negeri.

    Di samping itu, sektor mineral menjadi penyumbang investasi terbesar dengan capaian Rp 97,8 triliun, diikuti sektor perkebunan dan kehutanan Rp35,9 triliun, minyak dan gas bumi Rp15,4 triliun, serta perikanan dan kelautan Rp1,5 triliun.

    ”Dalam pencapaian target itu yang paling penting tidak hanya dari segi angka tapi juga dari segi investasi yang berkualitas,” ujar Menteri Investasi dan Hilirisasi/BKPM Rosan Roeslani, dikutip Rabu (22/10/2025).

    Rosan menambahkan bahwa pemerintah akan terus memastikan setiap investasi yang masuk memberikan dampak positif, terutama dalam penciptaan lapangan kerja, serta merupakan investasi berkelanjutan yang berkontribusi pada pengembangan sumber daya manusia di Indonesia.

    Langkah ini sejalan dengan mandat yang diemban oleh Holding Industri Pertambangan, MIND ID, yang berperan vital dalam menjaga kualitas dan keberlanjutan proses hilirisasi nasional.

    MIND ID yang memiliki peran sentral untuk memastikan integrasi rantai pasok hilirisasi seluruh mineral strategis Indonesia dari hulu ke hilir, melalui anggota holding, tidak hanya berfokus pada produksi bahan baku mentah, tetapi juga berinvestasi pada pembangunan infrastruktur pengolahan lanjutan.

    Sebut saja seperti smelter tembaga dan fasilitas Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, guna mengintegrasikan pengolahan mineral dari hulu ke hilir di dalam negeri dan menjadi fondasi untuk industrialisasi guna meningkatkan nilai tambah dalam negeri.