Topik: dwifungsi ABRI

  • Puan Pastikan DPR dan Pemerintah Segera Sosialisasi UU TNI Agar Rakyat Paham

    Puan Pastikan DPR dan Pemerintah Segera Sosialisasi UU TNI Agar Rakyat Paham

    Bisnis.com, JAKARTA — DPR RI dan Pemerintah akan segera menyosialisasikan isi substansi dari Undang-Undang No.34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang baru kepada publik/ 

    Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan hal tersebut untuk meluruskan kesalahpahaman UU TNI dan menyikapi penolakan yang terjadi di masyarakat. 

    Adapun terjadi aksi penolakan pengesahan RUU TNI yang dilakukan di depan Gedung DPR kala Rapat Paripurna berlangsung pada Kamis (20/3/2025) kemarin. Pasalnya, banyak masyarakat khawatir UU TNI yang baru itu akan membangkitkan kembali dwifungsi ABRI seperti era orde baru.

    “Saya berharap semuanya bisa menahan diri dan tentu saja kami DPR RI dan pemerintah akan segera menyosialisasikan hal itu [UU TNI baru],” ujarnya dalam keterangan tertulis dikutip Sabtu (22/3/3035).

    Dia berharap dengan adanya sosialisasi itu publik dapat segera mengetahui dan memahami isiny, sehingga nantinya tidak ada kecurigaan ataupun kesalahpahaman mengenai UU TNI baru.

    Namun demikian, hingga sejauh ini cucu Proklamator RI ini belum bisa memberi jadwal yang pasti kapan sosialisasi itu akan dilakukan. Dia hanya menyebut akan dilakukan sesegera mungkin.

    “InsyaAllah secepatnya,” kata Puan.

    Sebelumnya, dia mengklaim pihaknya telah melakukan proses pembahasan RUU TNI sesuai mekanisme dengan melibatkan partisipasi publik, termasuk mahasiswa.

    “Kami dari DPR dan pemerintah menerima masukan dan aspirasi dari seluruh elemen masyarakat yang dianggap penting, dan perlu tentu saja juga masukan dari perwakilan mahasiswa juga sudah kami dengarkan,” ujarnya seusai Rapat Paripurna pada Kamis (20/3/2025).

    Saat itu, Puan menegaskan tidak ada sama sekali substansi yang memungkinkan TNI terlibat aktif dalam bisnis ataupun politik. Dia merespons ini karena isunya sempat menimbulkan kekhawatiran publik.

    “TNI tetap dilarang berbisnis dan berpolitik. Ini adalah prinsip yang kami jaga dengan baik. Kami ingin menegaskan bahwa hal ini tidak akan berubah,” tegasnya.

    Politikus PDI Perjuangan (PDIP) ini menyebut hanya ada tiga susbtansi dalam pembahasan RUU TNI yakni Pasal 7 tentang operasi militer selain perang (OMSP), Pasal 47 tentang kedudukan TNI di kementerian/lembaga, dan Pasal 53 tentang batas masa dinas prajurit atau usia pensiun.

  • Ini Kesibukan Seskab Teddy usai Huru-hara Kenaikan Pangkat dan Pengesahan UU TNI

    Ini Kesibukan Seskab Teddy usai Huru-hara Kenaikan Pangkat dan Pengesahan UU TNI

    PIKIRAN RAKYAT – Situasi dalam negeri berkecamuk belakangan disebabkan tudingan kembalinya dwifungsi ABRI, dimulai dengan jabatan ganda Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya disusul pengangkatan prematurnya dari Mayor ke Letkol, hingga pengesahan UU TNI yang penuh kontroversi.

    Hingga saat ini, Seskab Teddy belum memberikan tanggapan apa-apa terkait berbagai tudingan yang diarahkan padanya. Lalu apa yang saat ini tengah dilakukan Seskab sekaligus Letkol TNI itu?

    Bersama Menteri Sosial Saifullah Yusuf, Seskab Teddy ternyata tengah mempersiapkan infrastruktur dan kurikulum untuk sekolah rakyat yang direncanakan berada di 53 titik di Indonesia dalam waktu dekat.

    Hal itu disampaikan Seskab Teddy melalui unggahan sejumlah foto di akun resmi Sekretariat Kabinet @sekretariat.kabinet pada Jumat, 21 Maret 2025, dengan imbuhan TIW dan tagar #CatatanSeskab yang merupakan unggahan pribadi dari Letkol Teddy Indra Wijaya.

    “Siang ini, menghadiri undangan rapat dari Menteri Sosial, Bapak Saifullah Yusuf di kantor Kementerian Sosial. Rapat yang turut dihadiri oleh Wakil Menteri Sosial, Bapak Agus Jabo Priyono beserta jajaran Kemensos untuk membahas perkembangan persiapan sekolah rakyat,” ujar Seskab Teddy, dilihat Sabtu, 22 Maret 2025.

    Teddy menjelaskan bahwa pemerintah telah memastikan kesiapan infrastruktur dan kurikulum untuk 53 sekolah rakyat yang akan mulai beroperasi pada tahun ajaran 2025-2026.

    Dalam Sidang Kabinet Paripurna, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan rencana pembangunan 200 sekolah rakyat berasrama pada tahun 2025, yang akan mencakup tingkat SD, SMP, dan SMA, dengan tujuan utama membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu.

    Presiden merinci bahwa 53 sekolah di antaranya akan segera diresmikan dalam tiga bulan mendatang.

    Kepala Negara menyampaikan bahwa Kementerian Sosial telah memiliki gedung dan lahan yang siap digunakan, sehingga hanya perlu dilakukan renovasi ringan. Sementara itu, 147 sekolah lainnya akan segera menyusul.

    Presiden menargetkan pembangunan 200 sekolah rakyat setiap tahun, dengan harapan dalam lima tahun ke depan setiap kabupaten di Indonesia akan memiliki setidaknya satu sekolah rakyat berasrama.

    Tujuan dari pembangunan sekolah rakyat ini adalah untuk memutuskan siklus kemiskinan dan memastikan anak-anak dari keluarga miskin tidak terperangkap dalam kondisi yang sama seperti orang tua mereka.

    Presiden menegaskan bahwa anak-anak dari keluarga dengan pekerjaan sederhana, seperti pemulung, perlu diberdayakan agar mereka tidak mengikuti jejak orang tua mereka. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Anomali Sikap PDIP: Dulu Tolak Dwifungsi, Kini Dukung RUU TNI

    Anomali Sikap PDIP: Dulu Tolak Dwifungsi, Kini Dukung RUU TNI

    Bisnis.com, JAKARTA — Semua partai secara bulat mendukung pengesahan Rancangan Undang-undang TNI. RUU ini cukup kontroversial dan dianggap sebagai tanda-tanda ‘runtuhnya’ supremasi sipil yang diperjuangkan melalui gerakan reformasi oleh para mahasiswa dan elemen sipil 27 tahun lalu.

    PDI Perjuangan atau PDIP adalah salah satu partai yang paling disorot. Partai ini adalah satu-satunya partai yang berada di luar pemerintahan. Setidaknya sampai saat ini. 

    Meski demikian, PDIP juga tidak pernah menyatakan secara terbuka sebagai oposan. Kecenderungan-nya  sekarang, justru mendukung sejumlah kebijakan pemerintah. Makan bergizi gratis, amandemen UU Minerba dan yang terakhir malah menjadi motor dalam pembahasan RUU TNI.

    Politikus PDIP Utut Adianto, misalnya, bahkan tampil sebagai ketua panitia kerja atau panja RUU TNI. Alhasil, pembahasan RUU TNI nyaris tanpa halangan sampai tingkat paripurna. Padahal, kalau melihat jejak digital tahun lalu, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, pernah sesumbar mengenai sikapnya menolak amandemen UU TNI dan UU Polri. 

    Pada waktu itu, Megawati bahkan menyingung eksistensi Ketetapan MPR No.VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. Pasal 2 TAP MPRS tersebut telah secara tegas mengatur tentang tugas TNI-Polri. TNI tidak boleh cawe-cawe ke luar bidang, selain pertahanan negara. Urusan keamanan ada di tangan Polri. Tidak ada lagi istilah dwifungsi ABRI.

    “UU, nanti kalau saya ngomong gini, ‘Bu Mega enggak setuju’, ya enggak setuju lah, yang RUU TNI-Polri gitu. Loh kok enggak dilihat sumbernya, itu Tap MPR loh,” ujar Megawati kalau itu.

    Namun demikian, hampir setahun berlalu, PDIP telah berubah pikiran. Mereka setuju dengan amandemen UU TNI. Padahal, UU ini memberikan peluang bagi TNI untuk keluar barak. Anggota militer bisa menjabat di luar rumpun yang telah diatur dalam UU No.34/2004. Ada 14 institusi non-militer yang bisa diduduki oleh anggota atau perwira TNI. 

    Perluasan peran militer itu tentu mengembalikan kepada masa dwifungsi ABRI yang exist sejak era Orde Lama dan semakin mencengkeram pada era Orde Baru. Dwifungsi ABRI memang menapaki wajah yang paling sempurna pada era Orde Baru.

    Peran militer tidak terbatas ekonomi dan kaki tangan kekuasaan, bahkan penguasa tertinggi dari pemerintahan sipil pada waktu itu adalah seorang jenderal Angkatan Darat.

    Banyak penulis, salah satunya Max Lane dalam Unfinished Nation; Indonesia Before and After Suharto menyoroti menguatnya peran militer dalam politik Indonesia. Tokoh-tokoh militer memiliki jabatan strategis. Ali Moertopo salah satunya. Dia adalah orang yang menanamkan fondasi-fondasi penting Orde Baru.

    Salah satu strategi Ali Moertopo untuk memisahkan masyarakat dengan politik adalah dengan strategi massa mengambang. Partai-partai disederhanakan menjadi 2 partai dan 1 golongan. PDI, PPP, dan Golkar lahir. Selama Orde Baru, PDI tidak pernah sekalipun memperoleh suara mayoritas di parlemen. Mereka selalu di bawah bayang-bayang Golkar dan PPP.

    Kalau merunut sejarah, PDIP seharusnya menolak upaya ‘melegalkan’ RUU TNI. Bapak ideologis PDI, Sukarno atau Bung Karno, digulingkan bahkan menjadi tahanan rumah oleh militer pasca Gerakan 30 September 1965. Sukarno digantikan oleh Soeharto yang merupakan jenderal Angkatan Darat.

    Selain itu, PDIP atau yang di era Orde Baru disebut sebagai PDI, lahir dari proses kawin paksa antara sejumlah elemen politik yang Sukarnois, nasionalis dan elemen partai agama yang non Islam. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri juga merasakan pait getir memperoleh represi dari pemerintahan militer. Partai dipecah dan gerak-geriknya diawasi militer. 

    Puncak represi Orde Baru terhadap PDI pro Megawati terjadi ketika Peristiwa 27 Juli 1996. Kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat diserbu kelompok PDI pro Soerjadi. Mereka didukung oleh aparat militer dan polisi. Penyerbuan itu kemudian menewaskan sejumlah pendukung PDI Megawati dan memicu gelombang kerusuhan di Jakarta. 

    Setelah reformasi, Megawati pernah menjabat sebagai Wakil Presiden bahkan Presiden. Pada waktu itu, reformasi TNI terjadi, lahir TAP MPRS No.6/2000. Dwifungsi ABRI diakhiri. ABRI kembali ke barak. Polisi juga dikembalikan untuk mengawal keamanan sipil. Pisah dari ABRI. Pada tahun 2004, lahir UU TNI yang semakin mempertegas peran TNI sebagai lembaga yang bertugas di bidang pertahanan negara. 

    Menariknya, setelah hampir 21 tahun berlalu, situasinya seolah berbalik. PDIP yang dulu sangat getol menolak dwifungsi ABRI, justru menjadi motor pembahasan amandemen UU TNI. Megawati yang setahun lalu menolak, kini setuju dengan UU TNI. Soal hal ini Ketua DPR, yang juga putri Megawati, Puan Maharani, berujar:

    “Kami di sini di DPR bersama-sama bergotong royong akan bersama-sama dengan pemerintah demi bangsa dan negara. [Megawati] mendukung [UU TNI] karena memang sesuai dengan apa yang diharapkan.”

  • Bandung Trending di Medsos, Aksi Tolak Dwifungsi ABRI Berlangsung sampai Dini Hari dan Ricuh

    Bandung Trending di Medsos, Aksi Tolak Dwifungsi ABRI Berlangsung sampai Dini Hari dan Ricuh

    Bisnis.com, JAKARTA – Bandung menjadi perbincangan di media sosial, yaitu X (sebelumnya Twitter). Massa yang melakukan demonstrasi menolak dwifungsi ABRI berlangsung sampai Sabtu (22/3/2025) dini hari dan berlangsung rusuh.

    Berdasarkan video amatir yang beredar di X dan Instagram, terlihat kepulan asap dengan percikan api yang beterbangan di udara. Dalam video lain, beberapa warga sedang berlari dengan latar api sedang berkobar.

    Berdasarkan pemantauan Bisnis.com di X hingga pukul 03.30 WIB, perbincangan mengenai aksi di Bandung masih terus berlanjut. Sebagian besar warganet berdoa agar para pendemo diberikan keselamatan.

    “Stay safe kawan-kawan di Bandung!!!” tulis @auf*******

    Sementara @ayu***** menulis, “Di Bandung chaos banget ya Allah. Semoga pada aman. Aku mau nangis mantengin kabarnya dari malam.”

    Sementara berdasarkan situs pelindung.bandung.go.id yang merupakan pemantauan lingkungan Bandung melalui CCTV, terlihat beberapa daerah yang menjadi titik aksi seperti Dago dan Alun-Alun Asia Afrika sudah terlihat kosong.

    Berbagai elemen masyarakat melakukan aksi penolakan dwifungsi ABRI karena Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah memuluskan revisi Undang-Undang TNI. 

    Aksi sudah berlangsung sejak Kamis (20/3/2025). Publik melakukan demonstrasi karena eksekutif dan legislatif tidak mendengar suara rakyat untuk tidak melanjutkan revisi.

  • Belum Apa-apa Berburuk Sangka, Kita Positif Dahulu

    Belum Apa-apa Berburuk Sangka, Kita Positif Dahulu

    PIKIRAN RAKYAT – Ketua DPR RI, Puan Maharani merespons soal kritik dan tanggapan negatif dari rakyat terkait pengesahan UU TNI. Dia meminta semua pihak agar tidak berburuk sangka kepada pemerintah atas kebijakan ini.

    Ia mengatakan bahwa terdapat larangan serta batasan yang diberlakukan bagi prajurit aktif. Dengan demikian, pengesahan UU ini tidak seperti apa yang ramai dinarasikan.

    “Tetap dilarang (bisnis), tidak boleh berbisnis tidak boleh menjadi anggota partai politik dan ada beberapa hal lagi (ketentuan), itu harus (dipatuhi),” kata Puan, dalam keterangan yang dikutip Jumat, 20 Maret 2025.

    “Dan bahkan, kalau di luar dari pasal 47 bahwa cuma ada 14 lembaga yang TNI aktif itu harus mundur atau pensiun dini,” ujarnya menegaskan.

    Untuk itu, dia memohon agar semuanya berbaik sangka dan membaca dengan saksama dulu ketentuan yang sudah sama-sama disepakati oleh anggota legislatif di paripurna kemarin.

    “Jadi tolong jangan ada kecurigaan, jangan salah berprasangka dulu. Mari kita sama-sama baca dengan baik setelah undang-undang ini disahkan,” ucap dia.

    “Jangan belum apa-apa berburuk sangka. Ini bulan Ramadhan, bulan penuh berkah. Kita sama-sama harus mempunyai pikiran positif dahulu. Sebelum membaca, sebelum melihat, tolong jangan berburuk sangka dan berprasangka negatif,” katanya menandaskan.

    Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI) tengah menjadi sorotan publik.

    Rencananya, RUU ini akan disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 20 Maret 2025. Namun, rencana ini memicu gelombang demonstrasi yang menolak pengesahan RUU tersebut.

    4 Kekhawatiran Utama dalam Demo Tolak RUU TNI

    1. Kembalinya Dwifungsi ABRI

    Kekhawatiran bahwa militer akan kembali menduduki jabatan sipil dan BUMN seperti pada masa Orde Baru.

    2. Ancaman Demokrasi dan HAM

    Kekhawatiran bahwa ruang gerak masyarakat sipil akan semakin dipersempit.

    3. Impunitas Militer

    Kekhawatiran bahwa pelanggaran HAM oleh TNI akan semakin sulit diadili.

    4. Persaingan Kerja yang Bertambah

    Kekhawatiran bahwa perwira TNI akan memasuki sektor sipil dan merebut lapangan kerja anak muda. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • UU TNI Perkokoh Ideologi Pancasila sesuai Asta Cita

    UU TNI Perkokoh Ideologi Pancasila sesuai Asta Cita

    loading…

    Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri Darmansjah Djumala mengatakan UU TNI memperkokoh ideologi Pancasila. Foto/istimewa

    JAKARTA – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyebut pengesahan UU TNI memperkokoh ideologi Pancasila. Hal itu sesuai dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

    Seperti diketahui, DPR mengesahkan revisi Undang-undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi UU pada Rapat Paripurna DPR di Gedung Nusantara II, Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025.

    Di dalam UU TNI baru tersebut, ada tiga perubahan penting yaitu Pasal 7 yang mengatur Operasi Militer Selain Perang (OMSP), Pasal 47 terkait penempatan prajurit di jabatan sipil dan Pasal 53 mengenai masa dinas prajurit.

    Ketua DPR Puan Maharani menyatakan, selama pembahasan, DPR dan Pemerintah telah mendengarkan aspirasi masyarakat dan mengedepankan supremasi sipil, demokrasi, hak asasi manusia dan sesuai dengan peraturan perundangan di Indonesia dan internasional.

    Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri Darmansjah Djumala menyampaikan apresiasinya atas upaya pimpinan DPR untuk mempertimbangkan aspek demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pembahasan RUU tersebut.

    “Kesediaan pimpinan DPR yang bersedia memberi penjelasan seputar isi dan implikasi UU tersebut dalam rangka merespons kekhawatiran publik perlu disambut baik,” katanya, Jumat (21/3/2025).

    Terkait kemungkinan munculnya kembali dwifungsi TNI dalam kehidupan sosial-politik, Djumala, yang pernah bertugas sebagai Duta Besar (Dubes) untuk Austria dan PBB di Wina, menegaskan hal itu tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.

    Menurut dia, dalam tingkatan tertentu Indonesia saat ini sudah memasuki tingkat kematangan demokrasi yang sudah lebih baik dari era Orde Baru (Orba) ketika dwifungsi ABRI mendapat kritik dari masyarakat.

  • Waswas Reformasi Jilid II, Ekonomi Jadi Taruhan

    Waswas Reformasi Jilid II, Ekonomi Jadi Taruhan

    Bisnis.com, JAKARTA – Gelombang aksi demonstrasi di dalam negeri masih menjadi pertanda waswas akan terjadinya ‘reformasi jilid II’. Aksi protes itu tidak sedikit berdampak terhadap geliat ekonomi domestik.

    Pada awal tahun ini,  rangkaian aksi demo masyarakat dimulai pada Februari 2025 yang digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Aksi demonstrasi bertajuk “Indonesia Gelap” yang berlangsung pada Senin (17/2/2025).

    Ribuan mahasiswa menyampaikan lima tuntutan utama yang mereka nilai dapat mengancam keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia.

    Adapun, tuntutannya adalah mencabut Inpres Nomor 1 Tahun 2025 yang menetapkan pemangkasan anggaran yang dianggap tidak berpihak pada rakyat, mencabut pasal dalam RUU Minerba yang memungkinkan perguruan tinggi mengelola tambang guna menjaga independensi akademik.

    Selain itu, melakukan pencairan tunjangan kinerja dosen dan tenaga kependidikan secara penuh tanpa hambatan birokrasi dan pemotongan yang merugikan, mengevaluasi total program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan mengeluarkannya dari anggaran pendidikan, serta menghentikan kebijakan publik yang tidak berbasis riset ilmiah dan tidak berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

    Para demonstran juga menuntut adanya ketegasan terhadap dugaan korupsi yang dilakukan oleh Joko Widodo (Jokowi).

    Pada Agustus 2024, demonstrasi besar-besaran juga terjadi untuk menuntut revisi UU Pilkada di DPR.  Demo ini dihadiri oleh buruh demo, sejumlah Komika, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) hingga mahasiswa.

    Para aktivis menyuarakan bahwa ada dugaan revisi UU Pilkada sebagai upaya untuk menganulir dua putusan MK terkait pilkada, yaitu Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII oleh Badan Legislasi DPR RI dan pemerintah lewat revisi UU Pilkada.

    Selain itu, para demonstran juga menampilkan berbagai alat untuk mencurahkan kekesalannya terhadap DPR dan pemerintah yang dinilai telah merusak demokrasi, salah satunya adalah alat hukum pancung.

    Para pendemo juga menuliskan “Indonesia Baru Tanpa Dinasti Jokowi” yang tertempel pada replika alat pancung tradisional tersebut. “Hancurkan rezim Jokowi, Hancurkan rezim Jokowi,” teriak pendemo.

    Menurut Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, kemungkinan terjadinya Reformasi Jilid II selalu ada, mengingat banyaknya aksi demonstrasi yang terjadi.

    “Kalau kita bicara kemungkinan, kemungkinan itu selalu ada, karena jangankan nanti, sekarang saya sudah banyak demo. Pemerintah baru berjalan sebentar, sudah banyak sekali demonstrasi,” terangnya.

    Wijayanto menambahkan bahwa kondisi ekonomi menjadi faktor kunci yang dapat memicu gelombang protes lebih besar. Dia mengatakan bahwa saat ini yang berlangsung bukan hanya mengenai inflasi, tapi juga deflasi, yang berkorelasi pada pelemahan daya beli. 

    Senada, Direktur Pusat Hukum, HAM & Gender LP3ES, Hadi Purnama, menyoroti bahwa permasalahan tidak hanya terbatas pada UU TNI, tetapi juga mencakup RUU Polri dan RUU KUHAP yang sedang dalam pembahasan.

    Hadi juga mengingatkan kembalinya konsep Dwifungsi, baik dalam TNI maupun Polri. Menurutnya, situasi ini tidak boleh dikuasai oleh pemimpin atau presiden yang cenderung mengarah pada sistem imperium, karena berisiko besar untuk disalahgunakan.

    “Dan ingat bahwa ketika kuatnya apakah itu Polri ataupun TNI, itu arahnya adalah kepada otoritarian. Dan sebenarnya sinyal itu sudah ada sejak Presiden yang lalu. Terutama paling kuat itu sinyalnya adalah pada periode kedua Presiden yang lalu,” katanya.

    Sementara itu, Dosen Program Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Peni Hanggarini, menyoroti isu korupsi yang juga bisa menjadi salah satu faktor memicunya reformasi jilid II tersebut.

    “Ini akan menambah ricuh [soal korupsi], saya pikir. Menambah ricuh, menambah keruh. Dan ini bisa mengundang keinginan untuk menyuarakan reformasi yang jilid tua di jalanan misalnya. Kemungkinan seperti ini bisa saja terjadi,” ujarnya.

    Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy, Ahmad Khairul Umam, mencatat bahwa setidaknya ada lima faktor yang bisa mendorong konsolidasi gerakan reformasi:

    Menurutnya, ketidakpuasan dan ketimpangan sosial yang meluas., legitimasi pemerintah yang melemah, krisis ekonomi, meningkatnya ketegangan dan polarisasi politik, serta kemunculan pemimpin alternatif yang mampu menginspirasi perlawanan.

    Menurutnya, meskipun faktor-faktor tersebut sudah mulai tampak, gerakan protes saat ini masih belum terkonsolidasi secara matang.

    “By theory, by case study, sangat memungkinkan. Tapi apakah kemungkinannya besar dalam konteks observasi hari ini? Opsi itu mungkin terjadi, tetapi belum terkonsolidasi secara matang,” pungkasnya.

    Ekonomi jadi Taruhan

    Tidak stabilnya kondisi politik di dalam negeri turut berimbas terhadap kepercayaan asing. Terlebih kondisi makroekonomi yang masih menantang turut memberi tekanan.

    Baru-baru ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami goncangan besar pada Selasa (18/3/2024). Alhasil Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksa memberlakukan penghentian sementara perdagangan (trading halt) selama 30 menit, kembali terjadi sejak 2020.

    Pada Selasa (18/3/2025), IHSG ditutup melemah 3,84% ke level 6.223,39. Selama sesi perdagangan, 118 saham tercatat menguat, sementara 554 saham merosot, dan 139 saham stagnan. Pada sesi pertama perdagangan, IHSG sempat terjun hingga 6,12%, melampaui batas 5% yang ditetapkan BEI untuk memicu mekanisme trading halt.

    Menurut Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, salah satu faktor yang menyebabkan tekanan besar pada IHSG adalah Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI).

    Pasalnya, sebagai informasi, RUU ini dikhawatirkan dapat menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI, meskipun Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi telah membantah anggapan tersebut.

    Di samping itu, isu-isu aktual seperti keraguan dalam pengelolaan Danantara di tengah maraknya kasus-kasus korupsi di BUMN, kemudian keraguan dalam pengelolaan beberapa program mercusuar yang menelan biaya besar, dan juga terdapat praktik nepotisme yang terjadi di kemudian hari.

    Terlebih, Isu Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mundur, menurut Hadi, juga menjadi salah satu alasan mengapa pasar di Tanah Air bergejolak.

    Selain itu, Direktur Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) Hendri Satrio ikut berkomentar soal amblasnya IHSG yang direspons oleh Wakil Ketua DPR RI ke BEI.

    “Pasar saham anjlok itu tanda pasar gak punya trust ke pemerintah. Tidak bisa diselesaikan dengan langkah politik,” tulisnya pada akun X @satriohendri.

  • UU TNI Tutup Celah Dwifungsi ABRI

    UU TNI Tutup Celah Dwifungsi ABRI

    PIKIRAN RAKYAT – Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh DPR RI melalui rapat paripurna pada Kamis, 20 Maret 2025, menuai berbagai respons.

    Anggota Komisi I DPR Fraksi PDIP, Tubagus Hasanuddin, menegaskan bahwa revisi ini justru memperkuat profesionalisme TNI dan menutup rapat celah dwifungsi ABRI.

    “Komisi I DPR dan Pemerintah akhirnya menyepakati untuk membawa naskah revisi UU TNI ke rapat paripurna guna persetujuan Tingkat II. Kritik dan protes terhadap dinamika proses revisi UU TNI adalah sesuatu yang lazim dalam sistem demokrasi kita dan memang diperlukan.

    “Kekhawatiran publik atas kembalinya dwifungsi ABRI era Orba yang digaungkan dalam kritik/protes tersebut juga hal yang lumrah,” kata TB Hasanuddin dalama keterangan tertulis yang diterima Pikiran-Rakyat.com.

    Dua Poin Utama Revisi UU TNI

    Menurut TB Hasanuddin, ada dua poin utama yang menjadi kunci dalam revisi UU TNI ini:

    1. Penutupan Celah Dwifungsi ABRI

    Menurutnya, revisi ini tidak mengubah jati diri TNI sebagai tentara profesional yang tidak berpolitik, tidak berbisnis, dan tunduk pada kebijakan politik negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 butir d.

    “Hal ini tercermin dari tidak ada perubahan sama sekali mengenai jati diri TNI sebagai tentara profesional yang tidak berpolitik, tidak berbisnis, dan tunduk pada kebijakan politik negara seperti yang termaktub dalam Pasal 2 butir d,” terangnya.

    Pasal 39 yang melarang prajurit aktif menjadi anggota partai politik, berpolitik praktis, berbisnis, dan mengikuti pemilu tetap dipertahankan.

    Pasal 47 ayat 1 yang mengharuskan prajurit aktif TNI yang menduduki jabatan sipil untuk mengundurkan diri atau pensiun juga tidak berubah.

    2. Limitasi, Bukan Ekspansi Militer

    Lebih lanjut, ia menyebut jika penambahan 5 instansi negara yang dapat diduduki oleh prajurit aktif dalam Pasal 42 ayat 2 merupakan bentuk limitasi (pembatasan), bukan ekspansi militer di jabatan sipil.

    Lima instansi tambahan tersebut (pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, dan Kejaksaan Agung) merupakan institusi yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan lain untuk merekrut prajurit aktif.

    “Penambahan 5 instansi negara yang dapat diduduki oleh prajurit aktif dalam pasal 42 ayat 2 sejatinya adalah bentuk limitasi (pembatasan) terhadap pos-pos yang dapat diisi oleh prajurit aktif,” sambungnya.

    Kelima instansi tersebut memiliki keterkaitan dengan sektor pertahanan atau kemampuan teknis kemiliteran.

    Prajurit TNI aktif di lembaga/institusi negara di luar 15 instansi yang telah ditentukan wajib mengundurkan diri/pensiun jika ingin tetap menduduki jabatan sipil.

    “Setelah revisi UU TNI disahkan oleh DPR, maka prajurit TNI aktif di lembaga/institusi negara (termasuk BUMN, Bulog, Kemenhub dan lain lain ) diluar 15 instansi tersebut wajib mengundurkan diri/pensiun jika ingin tetap menduduki jabatan sipil.

    “Dengan demikian, tidak ada penambahan jumlah Kementerian/lembaga yang dapat diisi prajurit aktif TNI dan tidak ada perubahan terhadap pasal-pasal yang selama ini melarang praktik dwifungsi TNI,” lanjutnya.

    Memastikan Kepastian Hukum dan Profesionalisme TNI

    Revisi UU TNI memberikan kepastian hukum yang lebih kuat untuk menjaga profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara.

    Revisi ini memperjelas batasan penempatan prajurit aktif di jabatan sipil, sehingga menutup celah bagi praktik dwifungsi ABRI.

    “Revisi UU TNI justru memberikan kepastian hukum yang lebih kuat untuk menjaga profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara,” tutupnya.

    Mari kita kawal implementasi revisi UU TNI untuk memastikan profesionalisme TNI dan mencegah kembalinya dwifungsi ABRI.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Selamat Datang UU TNI Baru, Sayonara Supremasi Sipil

    Selamat Datang UU TNI Baru, Sayonara Supremasi Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA – Babak baru peran militer di Indonesia pasca Reformasi 1998 dimulai usai DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi UU, pada Kamis (20/3/2025).

    Pengesahan RUU TNI dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat. Ketua DPR RI Puan Maharani memimpin rapat paripurna tersebut. Tak lama setelah palu diketok, masyarakat yang terdiri dari mahasiswa dan koalisi sipil menggeruduk gedung dewan. 

    Tuntutan mereka sederhana: Tolak Revisi UU TNI dan kembalikan prajurit ke barak-barak militer. 

    Aksi demonstrasi tolak revisi Undang-undang No.34/2004 tentang TNI atau RUU TNI yang dipadati mahasiswa telah melakukan pemblokiran Jalan Gatot Subroto di depan pintu gerbang DPR RI, Kamis (20/3/2025).

    Berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi pada Kamis (20/3/2025) pukul 14.23 WIB, mahasiswa dari sejumlah universitas di Indonesia itu memadati Jalan Gatot Subroto arah Slipi. Padatnya masa yang terus berdatangan membuat jalan Gatot Subroto diblokir. Meski dalam suasana puasa, jumlah mahasiswa justru terus bertambah. 

    Aksi massa, khususnya kelompok mahasiswa tetap menggaungkan aspirasinya. Suara-suara perjuangan terus menggema di depan Gedung DPR RI. 

    “Revolusi, revolusi, revolusi!” teriak massa aksi dengan serempak.

    Di tengah guyuran hujan, terjadi juga peristiwa pelemparan botol, sampah, petasan hingga bunga dari tempat demonstrasi. Lemparan barang itu ditujukan ke Gedung DPR. 

    Sesekali, komando kepolisian meminta agar aksi massa tidak melakukan tindakan anarkis. Namun, suara itu masih kalah dengan orasi dari mahasiswa.

    “Tolak RUU TNI, kembalikan TNI ke Barak, hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia, hidup perempuan yang berjuang,” ujar aksi massa serempak.

    Pada malam hari, bentrokan meletus antara aparat dengan elemen mahasiswa dan masyarakat sipil yang menolak pengesahan UU TNI.

    Tidak cukup dengan pasukan bertameng dan tongkat, polisi juga mengerahkan mobil water cannon untuk membubarkan massa. Perlahan, massa aksi mulai dipukul mundur ke arah timur atau menuju flyover Ladokgi.

    Sebelumnya, aksi pembubaran massa itu dilakukan lantaran kepolisian menilai bahwa massa aksi telah melewati izin waktu demonstrasi yang sudah ditentukan.

    Namun, para demonstran tetap bertahan. Pasalnya, tuntutan demonstrasi terkait dengan penolakan RUU TNI tak kunjung diindahkan pihak DPR RI.Di samping itu, sejatinya sejumlah massa aksi telah berhasil menginjakan kakinya ke kawasan DPR RI sekitar 19.11 WIB.

    Namun, massa telah dipukul mundur saat aparat kepolisian mulai melakukan penindakan dan pengejaran ke demonstran yang sudah masuk hingga kembali keluar.

    UU TNI Bangkitkan Dwifungsi ABRI? 

    Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan bahwa persetujuan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) untuk disetujui menjadi undang-undang telah memenuhi semua asas legalitas.

    “Alhamdulillah baru saja Rapat Paripurna DPR RI mengesahkan Undang-Undang TNI, yang mana dari fokus pembahasannya sudah memenuhi semua asas legalitas yang memang harus dilaksanakan,” kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.

    Hal itu disampaikan Puan usai memimpin Rapat Paripurna DPR RI yang menyetujui Rancangan Undang-Undang TNI untuk disahkan menjadi undang-undang. Dia menyebut bahwa RUU TNI yang disetujui dalam Rapat Paripurna untuk menjadi undang-undang sudah melalui mekanisme pembentukan undang-undang.

    “Dari penerimaan surat, sampai mendengarkan partisipasi masyarakat, kemudian pihak-pihak yang harus didengar, dan lain-lain sebagainya, bahkan pembahasannya pun dilaksanakan secara terbuka,” ujarnya.

    Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa “arwah” dwifungsi sudah tidak ada setelah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) disetujui DPR menjadi undang-undang.

    “Tidak ada dwifungsi lagi di Indonesia. Jangankan jasad, arwahnya pun sudah enggak ada,” kata Sjafrie usai menghadiri rapat paripurna di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.

    Menhan memastikan sejumlah tokoh tertentu yang mengisi jabatan sipil saat ini merupakan TNI yang sudah pensiun atau purnawirawan. Hal itu dia sampaikan ketika meluruskan anggapan adanya prajurit TNI aktif di Badan Gizi Nasional (BGN).

    “Enggak ada [dwifungsi], pensiun semua itu sudah lama itu,” kata dia.

    Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan UU TNI yang baru disahkan mengedepankan supremasi sipil sebagai penegasan tidak mengembalikan kembali dwifungsi TNI atau ABRI.

    “Kami pada terakhir kali melakukan dialog dengan koalisi masyarakat sipil, kami juga sudah sepakat sama-sama bahwa kami mengedepankan supremasi sipil supaya kemudian sama-sama meyakini bahwa dalam RUU TNI ini tidak ada kembalinya dwifungsi TNI,” kata Dasco. 

    Dia menekankan sejumlah pasal yang dilakukan perubahan dalam penyusunan RUU TNI antara Komisi I DPR RI dengan Pemerintah tidak menyisipkan ketentuan aturan yang dapat menghidupkan kembali RUU TNI seperti masa lampau.

    “Dari beberapa pasal yang dibahas, yang sudah kami sampaikan pada masyarakat bahwa dalam pasal-pasal itu juga tidak terdapat adanya peran atau dwifungsi TNI,” ucapnya. 

    Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi)

    Masyarakat Sipil Tolak Pengesahan UU TNI 

    Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memberikan catatan kritis terkait proses pembentukan RUU TNI yang telah disahkan oleh DPR RI. Catatan ini juga merupakan bentuk tanggung jawab moral dan intelektual, karena apapun hasil dari Rapat Paripurna, Kamis 20 Maret 2025, akan menjadi catatan sejarah bagi bangsa Indonesia.

    “Kami berharap catatan ini juga menjadi perenungan bagi segenap Anggota DPR yang mengemban tanggung jawab perwakilan rakyat untuk mengambil sikap, dan berani bersuara dengan melihat perkembangan keresahan masyarakat luas,” tulis PSHK dalam keterangan resmi yang dikutip, Jumat (21/3/2025). 

    Setidaknya ada tiga poin atau catatan kritis yang diungkapkan PSHK dalam proses pengesahan UU TNI baru. Pertama, RUU TNI tidak sah sebagai RUU prioritas dalam Prolegnas 2025.

    Menurut PSHK, RUU Revisi UU TNI disahkan sebagai RUU prioritas pada Prolegnas 2025 dalam Rapat Paripurna 18 Februari 2025, yang sejak awal tidak mengagendakan hal tersebut.

    “Perubahan agenda atau acara rapat tersebut tidak dilakukan melalui mekanisme sesuai Pasal 290 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR (Tatib DPR), yaitu perubahan acara rapat perlu diajukan secara tertulis dua hari sebelum acara rapat dilaksanakan,” tulis PSHK. 

    Kedua, RUU Revisi UU TNI melangkahi tahap penyusunan dalam proses pembentukan UU yang diamanatkan Bab V Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

    Proses pembentukan RUU Revisi UU TNI melangkahi tahap penyusunan karena Surat Presiden yang menunjuk perwakilan Pemerintah dalam pembahasan RUU Revisi UU TNI bahkan sudah ada sejak 13 Februari 2025, sebelum RUU Revisi UU TNI masuk ke dalam Prolegnas 2025 (tahap perencanaan) pada 18 Februari 2025. Surat Presiden itu yang kemudian menjadi awal tahap pembahasan antara DPR dan Pemerintah, yang mulai dilaksanakan Rapat Kerja pada 11 Maret 2025.

    Menurut PSHK, kondisi tersebut memungkinkan jika RUU Revisi UU TNI merupakan RUU carry over, yaitu melanjutkan pembahasan pada DPR Periode 2019-2024. Namun, RUU Revisi UU TNI bukanlah RUU carry over sesuai dengan yang tercantum dalam Keputusan DPR Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025 tentang Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2025 dan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2025-2029. 

    Ketiga, RUU Revisi UU TNI dibahas secara tidak transparan, yang berdampak pada tersumbatnya ruang partisipasi masyarakat.

    Draf RUU Revisi UU TNI tidak pernah disebarluaskan secara resmi oleh DPR. Dampaknya, masyarakat tidak dapat berpartisipasi secara bermakna. Hal itu diperburuk oleh komunikasi DPR yang sempat menyudutkan masyarakat yang kritis dengan menyebutkan bahwa draf yang digunakan tidak sama dengan draf yang sedang dibahas.

    Pembahasan RUU Revisi UU TNI dilaksanakan di hotel dengan tingkat keamanan tinggi, sehingga ruang publik untuk mengetahui pembahasan RUU Revisi UU TNI semakin tertutup.

    “Dengan tingkat penolakan yang tinggi dan misprosedur yang fatal, Komisi I DPR tetap bersikukuh untuk melanjutkan pembahasan, padahal periode pembahasan maksimal hanya dapat dilakukan dalam tiga kali masa sidang,” ujar PSHK. 

  • 10
                    
                        RUU TNI Disahkan, Suara Publik Diabaikan
                        Nasional

    10 RUU TNI Disahkan, Suara Publik Diabaikan Nasional

    RUU TNI Disahkan, Suara Publik Diabaikan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Protes yang dilayangkan publik tidak menyurutkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkan revisi Undang-Undang TNI (
    RUU TNI
    ) menjadi undang-undang.
    RUU TNI disahkan
    DPR lewat rapat paripurna pada Kamis (20/3/2025) kemarin, meski unjuk rasa digelar di berbagai wilayah untuk menolak RUU yang dianggap bakal menghidupkan kembali dwifungsi ABRI tersebut.
    Ketua DPR
    Puan Maharani
    mengeklaim, RUU TNI yang disahkan tidak memuat pasal-pasal yang dikhawatirkan oleh publik.
    “Kami bersama pemerintah menegaskan Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tetap berlandaskan pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, serta memenuhi ketentuan hukum nasional dan internasional yang telah disahkan,” ujar Puan saat mengesahkan RUU TNI.
    Puan mengeklaim, DPR telah mendengarkan aspirasi masyarakat ketika membahas RUU TNI.
    Dia menyebutkan, pembahasannya pun dilaksanakan secara terbuka.
    Politikus PDI-P ini pun mengaku siap memberi penjelasan kepada pihak-pihak yang masih menolak dan mendemo RUU TNI.
    Ia menyatakan, apa yang mereka curigai dan khawatirkan dari RUU TNI tidak akan terjadi.
    “Kami berharap dan mengimbau adik-adik mahasiswa yang saat ini mungkin masih belum mendapatkan penjelasan atau keterangan yang dibutuhkan, kami siap memberikan penjelasan,” kata Puan.
    “Bahwa apa yang dikhawatirkan, apa yang dicurigai, bahwa ada berita-berita yang RUU TNI tidak sesuai dengan yang diharapkan, insyaallah tidak. Kami berharap RUU TNI yang tadi disahkan nantinya ke depan akan bermanfaat bagi bangsa dan negara,” imbuh dia.
    Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menambahkan, pemerintah tidak akan mengecewakan rakyat setelah RUU TNI disahkan menjadi undang-undang.
    “Izinkan saya, Menteri Pertahanan, mewakili pemerintah Republik Indonesia, menyampaikan prinsip jati diri TNI adalah tentara rakyat, tentara pejuang, tentara profesional. Kami tidak akan pernah mengecewakan rakyat Indonesia di dalam menjaga kedaulatan negara,” ujar Sjafrie.
    Senada dengan Puan, ia juga menjamin dwifungsi ABRI bakal kembali hidup seiring dengan
    pengesahan RUU TNI
    .
    Sjafrie mengeklaim, pemerintah justru berupaya membangun kekuatan TNI yang tetap berpegang teguh pada supremasi sipil.
    “Jadi tidak ada wajib militer di Indonesia lagi. Tidak ada dwifungsi di Indonesia lagi, jangankan jasad, arwahnya pun udah enggak ada,” ujar Sjafrie.
    Ketika para anggota DPR tertawa lepas dan adem-ademan di dalam gedung, mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU TNI di luar.
    Demonstrasi ini lahir dari keresahan dan kekhawatiran akan kembalinya era Orde Baru setelah RUU TNI disahkan melalui rapat paripurna oleh DPR RI.
    Karena tak kunjung ada perwakilan DPR maupun pemerintah yang menemui demonstran, massa aksi berupaya menjebol salah satu pagar gerbang depan kantor wakil rakyat tersebut pada Kamis malam.
    Berbekal tali tambang, mereka bersama-sama menarik barrier beton hingga roboh, begitu pula dengan pagar setinggi lebih dari dua meter yang akhirnya jebol.
    Namun, aksi mahasiswa tersebut justru berujung pada aksi anarkis para aparat yang  memukul mundur massa begitu mereka menembus pagar.
    “Baru saja kami mulai masuk, mereka langsung menghujani kami dengan pentungan dan pukulan,” ujar Koordinator Bidang Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, Muhammad Bagir Shadr,saat dihubungi
    Kompas.com
    , Jumat (21/3/2025) dini hari.
    “Beberapa massa aksi yang berada di depan menjadi korban. Mereka dipukul dan mengalami luka. Ada yang kepalanya bocor hingga tidak sadarkan diri,” kata dia.
    Salah satu peserta aksi yang berada di barisan depan juga mengalami pemukulan oleh aparat hingga kacamatanya terjatuh dan hilang.
    Pengesahan RUU TNI
    agaknya menambah panjang daftar RUU dan kebijakan yang diambil pemerintah dan DPR tanpa mempertimbangkan suara publik.
    Ketua Umum Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyatakan, DPR dan pemerintah telah menjadi tirani karena membahas hingga mengesahkan RUU TNI secepat kilat tanpa bisa menerima kritik. 
    “YLBHI mengecam keras pengesahan ini, walau kami sadar dan sudah memprediksi pembahasan dan pengesahan RUU TNI akan dilakukan dengan cara kilat dan inkonstitusional seperti ini,” kata Isnur dalam keterangannya, Kamis.
    “Ini pola yang sudah terlihat di DPR sejak Revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba, hingga UU BUMN. DPR bersama pemerintah telah menjadi tirani, di mana tak mentolerir perbedaan dan kritik,” ujarnya lagi.
    Isnur memandang bahwa partai politik yang berada di parlemen tak berbeda dengan pemerintah. Bahkan, menurut dia, partai politik itu kini mengikuti selera penguasa.
    “Partai-partai melalui fraksinya selayak kerbau dicucuk hidung, ikut dengan selera penguasa,” katanya.
    YLBHI juga melihat bahwa suara dan kegelisahan rakyat tak lagi menjadi pedoman maupun acuan dalam membuat Undang-Undang.
    Menurut Isnur, prinsip dan semangat negara hukum demokratis yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tak lagi menjadi dasar dan kerangka dalam menyusun UU serta berargumentasi.
    “Bahkan, suara Mahkamah Konstitusi yang berulang menegur praktik penyusunan Undang-Undang yang inkonstitusional juga tak didengar,” ujar Isnur.
    Senada dengan Isnur, Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad juga menilai RUU TNI disahkan tanpa mempertimbangkan suara publik.
    Bahkan, publik tidak dapat mengakses dokumen resmi RUU TNI yang disahkan oleh DPR.
    “Kita enggak tahu ya, karena sampai hari ini tidak di-
    upload
    ke publik naskahnya, tidak bisa diakses oleh publik dan apalagi kita perbincangkan,” ujar Hussein.
    “Jadi sampai detik ini, naskah yang resmi, yang bisa kita percaya bahwa itu benar-benar yang disahkan, itu belum bisa kita terima,” kata dia.
    Oleh sebab itu, menurut Hussein, tidak ada yang bisa menjamin bahwa RUU TNI akan menjamin supremasi sipil tetap terjaga.
    “Belum tentu. Kita masih harap-harap cemas ya dalam kondisi ini karena kita belum bisa lihat apa pasalnya,” ujar Hussein.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.