Topik: dwifungsi ABRI

  • Rapat RUU TNI Digelar Tertutup, Koalisi Masyarat Sipil Geruduk Hotel Fairmont

    Rapat RUU TNI Digelar Tertutup, Koalisi Masyarat Sipil Geruduk Hotel Fairmont

    Bisnis.com, JAKARTA – Koalisi Reformasi Masyarakat Sipil sektor keamanan menggeruduk pelaksanaan rapat panitia kerja antara DPR dan pemerintah soal RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3/2025).

    Berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi, aksi penggerudukan itu dilakukan sekitar 17.49 WIB di ruang Ruby, Hotel Fairmont. 

    Nampak, sejumlah anggota koalisi itu berteriak di depan pintu ruang rapat sambil memegang poster dengan beberapa tulisan aspirasi.

    Pada intinya, mereka meminta agar pelaksanaan pembahasan revisi UU TNI itu dihentikan karena dilakukan secara tertutup.

    “Kami meminta agar dihentikan karena proses yang dilakukan secara diam-diam dan tertutup. Tolak RUU TNI, tolak RUU TNI, tolak,” ujar Wakil Koordinator KontraS, Andri Yunus di lokasi.

    Sesekali, anggota koalisi sipil itu menggedor pintu ruang rapat dan terus menggaungkan agar pejabat menghentikan pembahasan RUU TNI itu.

    Di samping itu, terlihat juga dorongan yang dilakukan oleh petugas pengamanan terhadap orator pada momen aksi penyampaian aspirasi tersebut.

    “Bapak ibu yang terhormat, yang katanya ingin dihormati, kami menolak adanya pembahasan didalam, kami menolak adanya dwifungsi abri, hentikan proses pembahasan RUU TNI,” tutur orator.

    Tak lama berselang, petugas keamanan hotel datang dan meminta agar massa aksi keluar dari depan ruang rapat tersebut. Permintaan itu kemudian diamini dan massa aksi keluar meninggalkan lokasi.

    Sekadar informasi, rapat melibatkan Komisi I DPR RI dengan pemerintah di berbagai Kementerian. Misalnya, Kemenhan, Kemenkum, Kemenkeu hingga Kemensesneg.

    Rapat panja ini sudah dilakukan sejak kemarin, Jumat (14/3/2025). Adapun, rapat ini membahas soal kedudukan Kemhan dan TNI, lingkup baru prajurit TNI bisa tetap aktif, dan relevansi usia pensiun prajurit.

  • Protes RUU TNI, Koalisi Sipil Gedor Pintu Ruang Rapat Panja DPR di Hotel Mewah

    Protes RUU TNI, Koalisi Sipil Gedor Pintu Ruang Rapat Panja DPR di Hotel Mewah

    Protes RUU TNI, Koalisi Sipil Gedor Pintu Ruang Rapat Panja DPR di Hotel Mewah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Tiga aktivis koalisi masyarakat sipil untuk sektor keamanan menggedor pintu rapat Panja Revisi Undang-Undang (UU) TNI di ruang Ruby 1 dan 2 Fairmont Hotel, Jakarta, Sabtu (15/3/2025).
    Aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andrie, yang mengenakan baju hitam, terlihat mendesak masuk ke dalam ruang rapat.
    Namun, ia dihalang oleh dua orang staf berbaju batik. Dia juga sempat didorong keluar dan terjatuh.
    “Woi, anda mendorong, teman-teman, bagaimana kita kemudian direpresif,” katanya sambil kembali bangkit.
    Andrie bersama dua aktivis lainnya meneriakkan tuntutan mereka di depan pintu yang sudah tertutup. Mereka meminta agar pembahasan
    RUU TNI
    tersebut dihentikan.
    “Kami menolak adanya pembahasan di dalam. Kami menolak adanya dwifungsi ABRI,” teriak Andrie.
    “Hentikan pembahasan dwifungsi RUU TNI, hentikan, hentikan bapak ibu,” katanya.
    “Kami meminta dihentikan karena prosesnya dilakukan secara diam-diam dan tertutup,” ujarnya lagi.
    Dalam tuntutannya, Koalisi Masyarakat Sipil menganggap pembahasan RUU TNI di hotel mewah ini sebagai bentuk dari rendahnya komitmen terhadap
    transparansi
    dan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi. 
    Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya, mengatakan, secara substansi, RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang mengancam demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia.
    Selain itu, agenda revisi UU TNI justru akan melemahkan profesionalisme militer dan sangat berpotensi mengembalikan
    dwifungsi TNI
    .
    “Perluasan penempatan TNI aktif di jabatan sipil tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan pembuatan kebijakan, serta loyalitas ganda,” katanya.
    Sebagai informasi, rapat revisi UU TNI di Fairmont Hotel selama dua hari menjadi sorotan karena dilakukan di tengah upaya efisiensi anggaran pemerintah.
    DPR
    dan Kementerian Pertahanan menggelar rapat selama dua hari di hotel bintang lima Fairmont, yang berjarak hanya dua kilometer dari Gedung Parlemen Senayan, Jakarta.
    Untuk diketahui, Komisi I DPR tengah membahas revisi UU TNI bersama pemerintah sejak Selasa (12/3/2025).
    Perubahan UU TNI akan mencakup penambahan usia dinas keprajuritan hingga peluasan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga.
    Secara spesifik, revisi ini bertujuan menetapkan penambahan usia masa dinas keprajuritan hingga 58 tahun bagi bintara dan tamtama, sementara masa kedinasan bagi perwira dapat mencapai usia 60 tahun.
    Selain itu, ada kemungkinan masa kedinasan diperpanjang hingga 65 tahun bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional.
    Kemudian, revisi UU TNI juga akan mengubah aturan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga, mengingat kebutuhan penempatan prajurit TNI di kementerian/lembaga yang semakin meningkat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prajurit di Balik Meja Demokrasi

    Prajurit di Balik Meja Demokrasi

    Prajurit di Balik Meja Demokrasi
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    SEJARAH
    punya cara tersendiri untuk berulang. Ada yang terang-terangan, ada yang samar-samar.
    Di negeri ini, militer dan politik adalah dua sisi mata uang yang tak pernah benar-benar terpisah.
    Reformasi 1998 mengembalikan militer ke baraknya, mengukuhkan supremasi sipil, dan menutup pintu bagi prajurit aktif untuk mengisi jabatan-jabatan sipil. Namun kini, pintu itu perlahan terbuka lagi.
    Pemerintah tengah mengajukan revisi Undang-Undang TNI, yang memungkinkan perwira militer menduduki jabatan sipil dengan syarat mengundurkan diri dari dinas aktif.
    Alasannya sederhana: militer memiliki disiplin tinggi, pengalaman strategis, dan manajemen krisis yang bisa memperbaiki birokrasi yang lamban.
    Namun benarkah ini soal efektivitas? Ataukah ini pertanda bahwa demokrasi kita mulai kehilangan arah, membuka kembali ruang yang telah ditutup oleh reformasi?
    Bukan kali ini saja militer masuk ke ranah sipil. Orde Baru membangun sistem di mana militer tak hanya mengamankan negara, tetapi juga mengatur kehidupan sipil.
    Dwifungsi ABRI menjadi doktrin yang melegitimasi peran ganda prajurit sebagai penjaga keamanan sekaligus pengelola negara.
    Dampaknya? Birokrasi yang kaku, kepemimpinan
    top-down
    , dan sistem yang sulit dikoreksi karena nyaris tak ada ruang bagi pengawasan dan kritik.
    Demokrasi yang kita kenal hari ini adalah hasil dari perjuangan panjang untuk memisahkan kedua dunia itu.
    Reformasi mengubah lanskap politik Indonesia. Militer kembali ke baraknya. Tentara tidak lagi diperbolehkan menduduki jabatan sipil, kecuali dalam posisi tertentu yang berhubungan dengan pertahanan dan keamanan. Langkah ini bertujuan mengembalikan keseimbangan dalam demokrasi kita.
    Dua puluh lima tahun kemudian, apakah kita akan kembali ke pola lama?
    Pendukung
    revisi UU TNI
    berpendapat bahwa keterlibatan militer di jabatan sipil bukanlah ancaman bagi demokrasi, melainkan solusi bagi birokrasi yang sering kali terjebak dalam korupsi dan inefisiensi.
    Mereka melihat disiplin militer sebagai sesuatu yang bisa membentuk kembali mental birokrasi, menciptakan tata kelola yang lebih tegas dan berorientasi pada hasil.
    Tidak ada yang meragukan bahwa militer memiliki sistem kerja yang tertib, hierarkis, dan terencana.
    Namun, apakah birokrasi sipil harus berjalan seperti komando militer?
    Birokrasi yang baik bukan sekadar soal kepatuhan dan efisiensi, tetapi juga soal transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Pemerintahan yang sehat tidak hanya membutuhkan kepatuhan terhadap instruksi, tetapi juga ruang bagi dialog dan perbedaan pendapat.
    Ketika sistem sipil mulai diisi oleh orang-orang dengan latar belakang komando, apakah mereka akan membawa semangat demokrasi? Atau justru membawa pola pikir bahwa perintah tidak untuk diperdebatkan?
    Di beberapa negara, militer tetap memiliki peran dalam pemerintahan sipil. Amerika Serikat, misalnya, mengizinkan mantan perwira militer menduduki jabatan tinggi seperti menteri pertahanan, tetapi dengan batasan ketat.
    Seorang jenderal yang ingin masuk ke politik harus terlebih dahulu melewati masa tunggu yang cukup lama untuk memastikan transisi penuh ke ranah sipil.
    Sebaliknya, di Thailand atau Myanmar, militer justru menjadi aktor utama yang mendikte arah pemerintahan. Campur tangan mereka dalam politik sering kali berujung pada kudeta atau pemerintahan yang dikendalikan oleh kepentingan militer.
    Indonesia berada di persimpangan jalan. Jika revisi ini disahkan, kita harus bertanya: ke arah mana kita melangkah? Apakah kita akan mengikuti model Amerika yang tetap mengutamakan supremasi sipil, atau justru bergerak ke arah yang lebih berbahaya?
    Mengapa wacana ini muncul sekarang? Apakah birokrasi sipil begitu lemah hingga pemerintah merasa perlu mengisi pos-pos penting dengan mantan perwira?
    Ataukah ini bagian dari pola yang lebih besar—upaya mengembalikan pengaruh militer dalam politik secara perlahan?
    Pertanyaan ini penting karena politik adalah soal momentum. Jika hari ini prajurit bisa masuk ke jabatan sipil dengan syarat mengundurkan diri, siapa yang bisa menjamin bahwa besok tidak akan ada revisi baru yang menghapus syarat tersebut?
    Demokrasi tidak runtuh dalam satu malam. Ia perlahan-lahan terkikis oleh kebijakan kecil yang tampaknya tidak berbahaya, hingga suatu hari kita terbangun dan menyadari bahwa sistem yang kita bangun telah berubah.
    Jika alasan utama revisi ini adalah inefisiensi birokrasi, maka solusinya bukan dengan membawa masuk militer, tetapi memperbaiki sistem birokrasi itu sendiri.
    Reformasi birokrasi yang nyata jauh lebih penting daripada mengandalkan solusi instan yang bisa berujung pada masalah baru.
    Militer memiliki peran penting dalam menjaga kedaulatan negara. Namun, peran itu harus tetap berada dalam koridor pertahanan dan keamanan, bukan merambah ke ruang-ruang sipil yang seharusnya dikelola oleh warga negara yang memahami sistem demokrasi.
    Jika kita benar-benar menghargai reformasi yang telah diperjuangkan selama dua dekade terakhir, maka keputusan ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati.
    Apakah kita ingin demokrasi yang lebih kuat? Atau kita ingin kembali ke masa di mana seragam lebih banyak terlihat di ruang-ruang pemerintahan?
    Keputusan ada di tangan kita. Namun, satu hal yang pasti: demokrasi tidak bisa dipertahankan hanya dengan niat baik. Ia harus dijaga, dipertahankan, dan terus dikawal.
    Karena jika kita lengah, kita mungkin akan kehilangan lebih banyak dari yang kita bayangkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketua Komisi I DPR Tegaskan Revisi UU TNI Tidak Akan Kembalikan Dwifungsi ABRI – Halaman all

    Ketua Komisi I DPR Tegaskan Revisi UU TNI Tidak Akan Kembalikan Dwifungsi ABRI – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Komisi I DPR RI Fraksi PDIP Utut Adianto menegaskan, bahwa revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) tidak akan mengembalikan peran Dwifungsi ABRI yang berlaku pada masa Orde Baru (Orba).

    Hal ini disampaikan sebagai tanggapan terhadap kekhawatiran sejumlah pihak, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang menganggap bahwa revisi UU TNI berpotensi membawa kembali dwifungsi ABRI.

    “Beberapa teman-teman dari LSM, seperti Setara dan Imparsial, sudah kami undang untuk berdiskusi. Mereka khawatir bahwa dwifungsi ABRI akan kembali seperti masa Orba. Namun, menurut saya, hal tersebut bisa dibatasi melalui undang-undang yang ada,” kata Utut di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (13/3/2025).

    Utut menambahkan bahwa perubahan sejarah tidak bisa diputar balik, seperti halnya di negara-negara lain yang pernah mengalami perubahan sistem politik.

    Dia juga memberi contoh negara-negara yang tidak dapat kembali ke sistem politik yang telah berubah.

    “Saya minta maaf, saya lebih tua dari adik-adik sekalian, dan tidak ada yang bisa mengembalikan jarum jam. Seperti di Soviet, meskipun yang tua-tua masih ingin kembali ke komunisme, itu tidak mungkin terjadi,” ucap Utut.

    Terkait pembahasan revisi UU TNI, Utut menyebutkan bahwa perdebatan tentang perubahan tersebut akan dilanjutkan dalam rapat Panitia Kerja (Panja) yang rencananya digelar pada besok.

    Saat ditanya soal target penyelesaian revisi ini sebelum masa reses, seperti yang diusulkan oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Utut menekankan pentingnya pembahasan yang cermat dan mendalam.

    “Jika kita mengerjakan undang-undang, kita harus teliti, mulai dari konsep dasar. Misalnya, usia pensiun yang berkaitan dengan keuangan negara,” ucapnya.

    Utut juga menyampaikan tanggapannya mengenai wacana penambahan lima jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif.

    Dia menjelaskan bahwa secara praktis, baru satu jabatan yang benar-benar diisi, yaitu di sektor kelautan dan perikanan.

    Sementara itu, jabatan lainnya, seperti yang ada di Bakamla dan BNPB, sudah lama diisi oleh personel TNI.

    Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menegaskan komitmen TNI untuk menjaga supremasi sipil dalam pengaturan penempatan prajurit TNI aktif di jabatan publik di luar bidang pertahanan.

    Penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga negara adalah salah satu poin yang akan mengalami penyesuaian dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

    Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI pada Kamis (13/3/2025).

    “Dalam menghadapi ancaman non-militer, TNI menerapkan konsep penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga di luar bidang pertahanan. Namun, prinsip supremasi sipil tetap menjadi elemen fundamental yang harus dijaga dalam negara demokrasi, dengan memastikan pemisahan yang jelas antara militer dan sipil,” kata Agus di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

  • Pernyataan KSAD dan Menteri HAM Soal Kontroversi Prajurit TNI Isi Jabatan Sipil

    Pernyataan KSAD dan Menteri HAM Soal Kontroversi Prajurit TNI Isi Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA – Isu tentang TNI aktif di kementerian atau lembaga sipil memicu banyak komentar. Ada yang mengaitkannya dengan dwifungsi ABRI, doktrin militer yang pernah hidup di era Orde Lama dan Orde Baru.

    Panglima TNI telah menegaskan prajurit entah itu perwira atau siapapun, yang mengisi jabatan institusi sipil wajib mengundurkan diri.

    Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang mengatur: “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan,”. 

    Meski demikian, pada ayat (2) diatur bahwa prajurit aktif dapat menduduki sejumlah jabatan sipil tetapi terbatas. 

    Perinciannya adalah kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

    Adapun isu tentang TNI mengisi jabatan sipil terjadi di tengah upaya pemerintah dan DPR untuk mengamandemen Undang-undang TNI. Ada banyak substansi dalam amandemen tersebut, termasuk soal perluasan institusi sipil yang bisa diduduki militer hingga usia pensiun militer. 

    Komentar KSAD 

    Kepala Staf TNI AD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak mengemukakan bahwa TNI AD akan tunduk pada hasil akhir dari pembahasan revisi Undang-Undang TNI yang sedang bergulir di DPR.

    “Kalau nanti keputusannya seperti itu, ya kami ikut. Kami akan loyal seratus persen dengan keputusan,” kata Maruli dilansir dari Antara.

    Menurut Maruli, ketakutan yang dibangun di tengah masyarakat akan kembalinya Indonesia ke masa dwifungsi ABRI era Orde Baru terlalu berlebihan.

    “Jadi tidak usah ramai bikin ribut di media, ini itu lah, orde baru lah. Menurut saya itu pemikiran yang tidak baik,” tegas Maruli. 

    Maruli menilai isu-isu tersebut terkesan menyerang institusi TNI AD sehingga membuat persepsi masyarakat akan jajarannya memburuk.

    Menurut Maruli, selama ini seluruh perwira aktif yang masuk ke institusi sipil memiliki latar belakang prestasi yang baik dan sesuai dengan institusi sipil terkait.

    Maruli melanjutkan, mereka juga telah melalui prosedur seleksi yang semestinya sehingga dianggap layak untuk menempati jabatan-jabatan di posisi instansi sipil tersebut.

    “Kami melihat anggota anggota TNI AD punya potensi, silahkan didiskusikan, apakah kami boleh mendaftar atau ada sidangnya atau ditentukan oleh Presiden, silahkan saja. Tapi jangan menyerang institusi,” kata Maruli.

    Maruli meyakini perwira TNI yang saat ini menempati jabatan sipil telah mengemban tanggung jawabnya dengan baik.

    Komentar Menteri HAM

    Menteri Hak Asasi Manusia mendukung pernyataan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subianto yang akan memastikan prajurit aktif yang kini menjabat di instansi dan lembaga lain harus pensiun diri atau mengundurkan diri.

    “Ikuti saja apa yang disampaikan oleh panglima TNI dengan kepala staf angkatan darat,” ujarnya ketika ditemui di Gedung Kementerian HAM, Jakarta Selatan, Kamis (13/3/2025). 

    Meski demikian, Pigai hanya tersenyum ketiga ditanya mengenai status Direktur Utama Bulog, Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya yang juga menjabat sebagai Danjen Akademi TNI.

  • Bahas RUU TNI, Pepabri: Penugasan TNI ke sipil menyimpang pada Orde Baru

    Bahas RUU TNI, Pepabri: Penugasan TNI ke sipil menyimpang pada Orde Baru

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri) Jenderal (Purn) TNI Agum Gumelar mengungkapkan bahwa penugasan TNI atau ABRI pada jabatan sipil menjadi menyimpang saat era Orde Baru.

    Ketika membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang TNI dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Senin, Agum mengungkapkan bahwa zaman dulu, penempatan TNI pada jabatan sipil memiliki istilah “penugaskaryaan”.

    Menurut dia, penugasan itu didasari oleh permintaan sipil, tetapi menjadi kian menyimpang dari tujuan awal.

    “Di sinilah terjadi hal-hal yang menyimpang dari permintaan yang tadi menjadi dasar ditugaskannya seorang perwira ABRI di instansi sipil itu direkayasa. Pendekatan yang terjadi pada saat itu zaman Orde Baru menjadi kesejahteraan,” kata Agum di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.

    Agum mencontohkan ketika era itu, ada aspirasi dari masyarakat di suatu kabupaten yang menginginkan kepala daerah dari unsur ABRI. Aspirasi itu kemudian disalurkan ke markas-markas militer dan permintaan itu lalu ditindaklanjuti

    “Maka ditentukanlah seorang personel setelah seleksi yang ketat untuk memenuhi harapan masyarakat di situ, dikasihlah personel tersebut untuk diproses penugaskaryaan. Jadi, dasarnya adalah permintaan tanpa permintaan tidak ada penugaskaryaan,” katanya.

    Dari waktu ke waktu, dia mengungkapkan terjadi berbagai rekayasa permintaan itu hingga menyebabkan banyak TNI mengisi jabatan sipil.

    Menurut dia, dwifungsi ABRI yang terjadi saat orde baru adalah sistem penugaskaryaan yang salah.

    “Maka sikap yang paling bijak waktu itu ambil kaca, berkaca di depan kaca yang besar, kenapa kok kita (ABRI) dicaci maki rakyat,” katanya.

    Mengenai RUU TNI, Agum memastikan bahwa Pepabri akan sangat menyoroti pembahasannya.

    Namun, dia juga menilai bahwa dwifungsi TNI tidak akan kembali bangkit karena hal itu terjadi ketika elemen ABRI yang turut serta dalam mengisi situasi sosial dan politik setelah kemerdekaan.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Sosok Soleman B Ponto, Sebut Militer Tak Boleh Egois, Pernah Bela Prabowo Dapat Pangkat Jenderal – Halaman all

    Sosok Soleman B Ponto, Sebut Militer Tak Boleh Egois, Pernah Bela Prabowo Dapat Pangkat Jenderal – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Sosok mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B Ponto baru saja berkomentar terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang tengah menjadi sorotan.

    Ia menyebut pihak militer tak boleh egois.

    Dalam hal ini maksudnya tertuju pada salah satu poin dalam RUU TNI yakni Perluasan Penempatan Militer di Lembaga Sipil.

    Lantas siapa sosok Soleman B Ponto?

    Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B Ponto merupakan pria kelahiran Sangir–Tahuna, Sulawesi Utara, 6 November 1955. 

    Ia menjadi Kepala BAIS TNI pada periode 2011-2013.

    Dikutip dari laman penerbit buku Rayyana.id, dirinya mengenyam pendidikan TNI di Akabri AL pada tahun 1978.

    Sementara kariernya di Angkatan Laut diawali sebagai pelaut.

    Ia melewati sejumlah pos, hingga akhirnya masuk di dunia intelijen TNI pada Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI sejak tahun 1996.

    Pada penugasan di BAIS Ia banyak berinteraksi dengan konsep, organisasi, serta penggiat Hak Asasi Manusia (HAM).

    Dari sana muncul kesadaran bahwa Indonesia, termasuk TNI tidak bisa terlepas dari pengaruh dunia dan hukum internasional, di mana Hukum Humaniter dan Hukum HAM termasuk di dalamnya.

    Berangkat dari situlah, Ia mengikuti pendidikan magister hukum dengan mengambil tesis tentang Operasi Militer TNI dan Gerakan Separatisme Bersenjata di Indonesia.

    Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B Ponto juga memiliki dua buku, yakni berjudul Jangan Lepas Papua juga TNI dan Perdamaian di Aceh.

    Berikut  riwayat jabatannya:

    – DPB Denma Armada

    – Padiv Luar KRI TBO Armada

    – Padiv MPK KRI LAM Armada

    – Ps. Kadepsin KRI SGU Armada

    – Padiv KRI Yos Armada

    – Padiv Kawah ABK TCL Armada

    – Padiv Elektronika KRI MKT-331 Satkor Armatim

    – Kadepsin KRI TKL-813 Satrol Armatim

    – Diklapa-II Denmako Makoarma Armatim

    – Kadepsin KRI SNA (Singa) Satkat Armatim

    – Kadepsin KRI KRS (Keris-624) Armatim

    – Dik Seskoal DPB Denmako Makoarma Armatim

    – Kadepsin KRI BDK (Badik-623) Satkat Armatim

    – Kadepsin KRI HSN (Hasanudin-333) Satkor Armatim

    – Sus Athan RI DPB Denmako Makoarma Armatim

    – As Athan RI Ur laut di ew Delhi/India

    – Paban Utama B-2 Dit B BAIS TNI

    – Athan RI di Den Haag Belanda

    – Pamen Mabes TNI

    – Paban Utama B-6 Dit B BAIS TNI

    – Waaspam Kasal

    – Aspam Kasal

    – Ka BAIS TNI

    Bela Prabowo

    Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Laksamana Madya Soleman B Ponto (Tribunnews.com/Fersianus Waku)

    Soleman B Ponto pernah memberikan pembelaan untuk Prabowo Subianto yang menerima gelar kehormatan pangkat Jenderal TNI dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

    Kala itu, pemberian gelar kehormatan untuk Prabowo menimbulkan pro dan kontra.

    Diketahui Prabowo secara resmi diberi anugerah pangkat Jenderal TNI Kehormatan dari Presiden Jokowi pada Rabu (28/02/2024).

    Penganugerahan ini berlangsung dalam Rapat Pimpinan TNI/Polri di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.

    Dengan penghargaan tersebut secara resmi menjadikan Prabowo sebagai purnawirawan Jenderal TNI bintang empat.

    Prabowo sebelumnya telah menerima penghargaan atau tanda jasa Bintang Yuda Dharma Utama atas jasa-jasanya di bidang pertahanan yang telah memberikan kontribusi yang luar biasa bagi kemajuan TNI dan kemajuan negara.

    Soleman menganggap, pemberian gelar kehormatan telah sesuai aturan.

    “Pemberian anugerah tersebut ini telah melalui verifikasi angka dari Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan dan indikasi dari penerimaan anugerah bintang tersebut sesuai dengan UU nomor 20 tahun 2009,” katanya, seperti diberitakan Tribunnews.

    Namun rupanya pemberian gelar kehormatan itu menimbulkan kritik dari berbagai pihak, salah satunya lantaran Prabowo bukan TNI aktif, adanya hal tersebut Soleman Ponto memberikan pembelaannya,

    Menurutnya, Prabowo bisa saja dan sah-sah saja mendapatkan gelar tersebut, walaupun status Prabowo sebagai pensiunan TNI.

    Hal itu berkaca pada purnawirawan-purnawirawan TNI sebelumnya yang juga telah mendapatkannya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Hendropriyono, hingga Agum Gumelar.

    “Mendapatkan gelar tersebut saat sudah pensiun,” ujarnya mengutip tayangan YouTube Kompas TV.

    “Mendapatkan Gelar Kehormatan dan Kenaikan Pangkat Luar Biasa itu beda.”

    “Kalau kenaikan pangkat luar biasa itu untuk anggota TNI aktif, tapi mendapatkan pangkat kehormatan itu yang sudah tidak aktif contohnya Pak SBY, Agum Gumelar dan Pak Hendropriyono,” ujarnya lagi.

    Militer Tak Boleh Egois

    Adapun Soleman belakangan ini menyoroti tentang RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI.

    Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Komisi I DPR, pada 3-4 Maret 2025 lalu, muncul satu di antara beberapa usulan, yakni perluasan pengisian jabatan sipil oleh TNI aktif di luar ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU TNI.

    Berdasarkan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), ada 10 lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI, yaitu Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung (MA).

    Soleman menyatakan, seorang prajurit yang berstatus dinas aktif harus mengajukan pensiun dini jika ingin menduduki jabatan sipil.

    Soleman menjelaskan, hal tersebut diperlukan untuk memperjelas hukum apa yang berlaku untuk prajurit yang bersangkutan, apakah hukum militer atau sipil.

    “Yang jelas kalau dia masih berstatus militer, dia (prajurit aktif) tidak bisa tunduk 100 persen terhadap lembaga dimana dia berada, karena undang-undang yang berlaku sama dia tetap hukum militer,” kata Soleman, kepada Tribunnews.com.

    Demikian pula jika karena alasan adanya kebutuhan sebuah jabatan kementerian/lembaga harus diisi oleh prajurit TNI aktif. Menurutnya, alih status tetap harus dilakukan terlebih dahulu.

    Ia pun sependapat dengan pernyataan mantan Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI yang merupakan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahwa konsep awal reformasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) adalah memastikan prajurit tidak menduduki jabatan sipil atau pemerintahan.

    Menurutnya, 10 lembaga yang boleh diisi jabatannya oleh prajurit aktif sudah terbilang cukup.

    Kalau pun ingin menambah lembaga, katanya, yakni pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil) Kejaksaan Agung.

    “Ya setuju, setuju (pernyataan SBY). Jadi yang sudah ada itu sudah cukup. Paling yang kurang itu untuk Kejaksaan, Jampidmil belum diatur. Mahkamah Agung sudah, Kejaksaan, nah itu boleh ditambah,” tuturnya.

    Soleman mengingatkan agar TNI untuk tidak egois.

    “Jadi, militer tidak boleh egois dalam hal ini. ‘Saya perlu, masukkan dia di sipil’, ya enggak bisa. Sipil itu juga punya kompetensi yang kompetensinya bisa saja tidak ada di TNI kan,” tambahnya.

    Lebih lanjut, Soleman menegaskan, hal yang seharusnya diminta TNI adalah perihal anggaran yang tidak perlu melalui Kementerian Pertahanan.

    Hal itu dikarenakan, undang-undang dasar mengatur Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi terhadap TNI Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU).

    “Dalam hal ini misalnya Menteri Pertahanan, ya tidak boleh berkuasa terhadap TNI. Mengendalikan TNI lewat anggaran ya enggak boleh lah,” imbuhnya.

    SBY: Tentara Aktif Masuk Pemerintahan Harus Pensiun

    Presiden Prabowo bernyanyi di dampingi, Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Ketujuh Joko Widodo (Jokowi) pada acara jamuan makan malam bersama para Kepala Daerah di Gedung Husein, Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, Kamis malam, (27/2/2025). (Sekretariat Kabinet). (Sekretariat Presiden)

    Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menegaskan, bahwa konsep awal reformasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) adalah memastikan prajurit tidak menduduki jabatan sipil atau pemerintahan.

    Hal itu ia sampaikan dalam acara bedah buku Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo, Jepang yang berlangsung secara hybrid, Jumat (7/3/2025).

    Dalam kesempatan itu SBY menceritakan pengalamannya sebagai Ketua Tim Reformasi ABRI yang bertugas memastikan TNI-Polri kembali pada peran utama sesuai amanah konstitusi.

    “Saya ketua tim reformasi ABRI, bekerja selama dua tahun untuk memastikan TNI-Polri atau ABRI kembali ke tugas pokok yang diamanahkan oleh konstitusi,” kata SBY.

    SBY menegaskan, reformasi ABRI bertujuan agar prajurit tidak berpolitik dan tetap menjunjung tinggi demokrasi. Salah satu langkah konkret yang diambil adalah menghapus fungsi kekaryaan dan sosial-politik di militer.

    Menurut SBY, jika ada prajurit aktif yang dibutuhkan di pemerintahan, mereka harus pensiun terlebih dahulu.

    “Kalau ada tentara aktif yang cakap, yang diperlukan, bisa masuk ke pemerintahan dengan catatan pensiun, tidak lagi menjadi jenderal aktif, itulah dulu konsep awal military reform yang kita jalankan,” jelasnya.

    Ia menegaskan konsep reformasi ABRI didasarkan pada semangat yang jelas, legalitas yang kuat, serta selaras dengan amanah konstitusi dan demokrasi.

    “Dan itu segaris dengan amanah konstitusi dan undang-undang yang berlaku, segaris dengan respect for democratic values, segaris dengan apa yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia,” pungkasnya.

    Poin-poin Penting RUU TNI Disorot Publik

    Suasana penyelenggaraan upacara HUT TNI ke-79 yang berlangsung khidmat di Monumen Nasional, Jakarta, 5 Oktober 2024. (Istimewa)

    Pembahasan RUU TNI yang dilakukan pihak DPR RI bersama pemerintah terus menuai sorotan hingga penolakan dari berbagai kelompok organisasi masyarakat sipil hingga mantan purnawirawan jenderal TNI.

    Usulan RUU TNI ini didasarkan pada Surat Presiden (Surpres) Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025. 

    Dan RUU TNI tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 di DPR RI.
    RUU TNI yang saat ini tengah dibahas mencakup beberapa poin penting yang mendapatkan perhatian publik.

    Berikut poin-poin penting dalam revisi UU TNI yang mendapat perhatian publik, seperti dirangkum Tribunnews.com:

    Perpanjangan Usia Pensiun Prajurit TNI
    Usulan memperpanjang usia pensiun prajurit TNI dari 58 tahun menjadi 60 tahun untuk perwira, dan hingga 65 tahun untuk prajurit dengan jabatan fungsional tertentu, bertujuan untuk memanfaatkan pengalaman dan keahlian prajurit yang masih produktif. Namun, ini juga memunculkan kekhawatiran penumpukan perwira tinggi non-job.
    Perluasan Penempatan Militer di Lembaga Sipil
    RUU TNI mengusulkan untuk memperluas penempatan prajurit aktif di berbagai kementerian dan lembaga sipil, yang sebelumnya dibatasi hanya pada sepuluh kementerian. Ini memicu kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI yang bisa mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Meski begitu, pihak DPR memastikan penempatan ini hanya untuk posisi-posisi yang memang diperlukan oleh kementerian tertentu.
    Keterlibatan TNI dalam Aktivitas Bisnis
    Isu lain yang kontroversial adalah wacana yang memungkinkan prajurit aktif terlibat dalam bisnis. Meski tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit, langkah ini dikhawatirkan akan mengganggu netralitas dan profesionalisme TNI, serta menimbulkan konflik kepentingan. 

    (Tribunnews.com/ Chrysnha, Garudea, Ibriza Fasti) 

  • Deretan TNI Aktif & Purnawirawan di BUMN: dari Bulog hingga MIND ID

    Deretan TNI Aktif & Purnawirawan di BUMN: dari Bulog hingga MIND ID

    Bisnis.com, JAKARTA — Pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, pemimpin sipil atau kepala daerah diminta untuk berseragam dengan mengikuti retret di Magelang, Jawa Tengah. 

    Sebaliknya, sejumlah anggota TNI aktif maupun purnawirawan mulai banyak mengisi jabatan strategis baik di pemerintahan maupun badan usaha milik negara alias BUMN.

    Seperti diketahui, Menteri BUMN Erick Thohir dikabarkan merombak pucuk pimpinan BUMN Holding Industri Pertambangan Indonesia MIND ID pada Senin (4/3/2025).

    Berdasarkan sumber Bisnis di Kementerian BUMN menunjuk, Maroef Sjamsoeddin ditunjuk sebagai direktur utama MIND ID yang baru menggantikan Hendi Prio Santoso yang menjabat sejak 2021.

    Maroef adalah purnawirawan bintang dua berpangkat Marsekal Muda TNI AU. Dia berpengalaman sebagai pasukan khusus TNI AU, Pasukan Gerak Khas alias Paskhas. 

    Adapun di dunia tambang, Maroef juga bukan nama baru. Dia pernah menjabat sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia 2015-2026. Pada masa itulah terjadi skandal ‘Papa Minta Saham’. Rekaman Maroef membuka kedok sejumlah petinggi negara dalam pusaran saham Freeport.

    Bisnis telah mencoba mengonfirmasi kabar pergantian pucuk tertinggi pimpinan MIND ID itu ke Wakil Menteri BUMN Dony Oskaria dan Deputi Bidang Sumber Daya Manusia (SDM), Teknologi, dan Informasi Kementerian BUMN Teddy Barata. Namun, hingga berita ini diturunkan, keduanya belum memberikan respons.

    Munculnya nama Maroef menambah daftar sosok berlatar belakang militer masuk dalam lingkaran kekuasaan Prabowo Subianto, termasuk di BUMN. Sebelum Maroef ada sosok Direktur Bulog Letjen TNI Novi Helmy Prasetya dan Mayor Teddy Indra Wijaya yang menjabat sebagai sekretariat kabinet.

    Selain itu, beberapa tokoh militer, sebagian sudah purnawirawan, yang sempat dikabarkan menjadi bagian dari Tim Mawar, sebuah tim di Angkatan Darat yang diduga terlibat dalam aksi penculikan aktivis pada tahun 1998, tetap eksis dan memperoleh jabatan mentereng di era Prabowo-Gibran.

    Ada empat orang. Mereka antara lain Untung Budiharto yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Transjakarta, Dadang Hendrayuda sebagai Deputi Bidang Pemantauan dan Pengawasan Badan Gizi Nasional, Nugroho Sulistyo Budi yang telah dilantik sebagai Kepala BSSN, serta Gubernur Sulawesi Utara Yulius Selvanus.

    Isu Dwifungsi ABRI

    Keberadaan purnawirawan maupun tentara aktif di pemerintahan sipil banyak disorot. Pasalnya,  setelah hampir 27 tahun reformasi berlangsung, upaya untuk mengembalikan dwifungsi ABRI mulai tampak. Ada sejumlah perwira aktif yang masuk ke pemerintahan. Padahal UU TNI secara tegas melarang perwira aktif duduk di jabatan sipil.

    Presiden ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyoroti dengan cukup keras fenomena militer cawe-cawe di kehidupan masyarakat sipil. SBY merupakan pensiunan jenderal dan tokoh penting dalam reformasi militer pasca tumbangnya Orde Baru.

    Adapun SBY menekankan bahwa sesuai doktrin yang berlaku saat ini, anggota, Tentara Nasional Indonesia (TNI) aktif tabu untuk memasuki dunia politik atau politik praktis. “Itu salah satu doktrin yang kita keluarkan dulu pada saat reformasi ABRI yang saya menjadi tim reformasinya, ketuanya, kami jalankan,” katanya.

    “Kalau masih jadi jenderal aktif misalnya, jangan berpolitik. Kalau berpolitik, pensiun,” tegasnya.

    Di sisi lain, Kepala Staf TNI AD, Jenderal TNI Maruli Simanjuntak menepis anggapan bahwa keberadaan TNI aktif di institusi sipil, adalah representasi dari kembalinya doktrin dwifungsi ABRI. Menurutnya, diskursus dwifungsi ABRI sudah tidak relevan, apalagi setelah proses demokratisasi yang berjalan sejak 1998.

    “Kami tuh sudah lupakan pemikiran dwifungsi. Dulu kan dwifungsi bisa sampai pemimpin daerah. Sekarang kan sudah dipilih langsung, demokrasi. Mau gimana lagi dwifungsi?” kata Maruli dilansir dari Antara, Kamis (20/2/2025).

    Revisi UU TNI

    Di sisi lain, proses Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). terus berlangsung. Ada rencana untuk memperluas peran militer di institusi sipil. Kendati kewenangan itu tetap akan ada batasannya.

    Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin mengatakan hingga kini belum ada pembahasan detail mengenai hal apa yang akan direvisi. Hal ini dikarenakan Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM-nya belum diterima oleh DPR RI.

    TB Hasanuddin menyampaikan rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang digelar dengan para pakar pada hari ini, Senin (3/3/2025) hanya membahas soal ketentuan perwira aktif apakah bisa ditempatkan di lembaga atau pemerintahan mana saja atau tidak.

    “Nah, sekarang menunggu DIM. Seperti apa DIM-nya itu dan apa saja yang akan direvisi. Karena apa? Kenapa Pak TB tidak tahu? Kan dari pemerintah, ini inisiatif pemerintah,” ungkapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (3/3/2025).

    Legislator PDI Perjuangan (PDIP) tersebut menerangkan dalam Pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, dijelaskan bahwa prajurit TNI aktif hanya bisa mengisi 10 kategori jabatan sipil.

    “Oke pasal itu 10 yang boleh. Nah sekarang itu ada ditambah lagi 9. Menurut apa? Jadi 10 menurut undang-undang TNI. Jadi 9 itu menurut undang-undang masing-masing. Misalnya BNPT, BNPB. Itu kan undang-undang juga,” jelasnya.

    Dengan demikian, tuturnya, UU di luar UU TNI itu seperti membuka ruang bagi TNI agar bisa menempati jabatan sipil. Meski demikian, TB Hasanuddin menegaskan hal tersebut tidak akan memunculkan dwifungsi ABRI.

    “Dengan catatan dulu ya. Satu, Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada harus tetap seperti ini. Artinya prajurit TNI yang ikut Pilkada atau ikut Pileg harus mundur,” tegasnya.

    Yang kedua, lanjutnya, Pasal 39 Undang-undang TNI harus tetap dijaga yakni TNI aktif tidak boleh berpolitik praktis, berbisnis, dan menjadi anggota partai

  • Serba-serbi Pembahasan Revisi UU TNI di DPR: Dari Usia Pensiun, Jabatan Sipil, hingga Larangan Berbisnis

    Serba-serbi Pembahasan Revisi UU TNI di DPR: Dari Usia Pensiun, Jabatan Sipil, hingga Larangan Berbisnis

    Serba-serbi Pembahasan Revisi UU TNI di DPR: Dari Usia Pensiun, Jabatan Sipil, hingga Larangan Berbisnis
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Revisi UU
    TNI
    mulai dibahas di
    DPR
    . Pembahasan itu mencakup usia pensiun tentara, pengisian jabatan sipil, hingga larangan berbisnis.
    Adapun sebelum
    pembahasan RUU TNI
    tersebut, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) sempat mendatangi Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin (3/3/2025) kemarin.
    KontraS mengirim surat kepada DPR untuk membatalkan pembahasan mengenai RUU TNI dan Polri.
    KontraS juga menyayangkan DPR yang tidak melibatkan masyarakat dalam pembahasan RUU TNI.
    “Mengapa demikian?
    Standing
    kami jelas menolak adanya proses pembahasan di dua RUU tersebut karena kami menilai substansi yang kemudian dibahas atau kemudian diatur lebih lanjut dalam undang-undang revisi itu tidak mampu menjawab persoalan kultural di institusi, baik TNI maupun Polri,” ujar Kepala Divisi Hukum KontraS Andri Yunus.
    Andri mempersoalkan upaya perluasan jabatan sipil bagi para prajurit aktif di RUU TNI. Hal tersebut dinilai dapat mengembalikan pemerintahan saat ini ke zaman Orba.
    “Hal ini kami menilai sangat bermasalah dan berpotensi mengembalikan pemerintahan pada rezim Orde Baru (Orba) atau rezim Soeharto selama 32 tahun,” kata dia.
    Lantas, apa saja isi pembahasan
    revisi UU TNI
    yang sudah mulai bergulir di DPR?
    Anggota Komisi I DPR RI Mayjen (Purn) TB Hasanuddin menilai penempatan TNI di jabatan sipil sudah tidak relevan jika dikaitkan dengan dwifungsi ABRI.
    Namun, ia menilai prajurit yang ditempatkan di jabatan sipil tidak bisa sembarangan, harus ada syarat tetap yang perlu dipenuhi TNI sebelum menduduki jabatan sipil tertentu.
    “Saya cuma membantah kalau ada penempatan kemudian nanti dwifungsi ABRI akan kembali. Kalau menurut hemat saya, ya sudah penempatan di mana saja, silakan. Tetapi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan,” kata TB Hasanuddin.
    Ia mengusulkan, TNI harus memiliki keterampilan tertentu yang relevan dengan jabatan sipil yang akan diemban.
    Artinya, kata TB Hasanuddin, TNI tidak hanya bermodalkan pada pendidikan di Akademi Militer (Akmil) tanpa dibarengi dengan kemampuan lain dalam mengelola.
    “Kalau misalnya ditempatkan di sebuah kementerian, tapi dia tidak punya pendidikan soal itu, hanya pendidikan Akmil saja, ya enggak bisa dong, kasihan dong,” ucap TB Hasanuddin.
    Di sisi lain, penempatan TNI di jabatan sipil harus mempertimbangkan hal lain, termasuk sumber daya TNI di luar jabatan sipil.
    Ia tidak ingin banyaknya prajurit yang mengisi jabatan strategis malah membuat sumber daya di TNI berkurang, serta membunuh karier Aparatur Sipil Negara (ASN) di kementerian/lembaga tersebut.
    “Kita harus benar-benar selektif, jangan sampai membunuh karier ASN, dia sudah merayap-merayap begitu. Sehingga, harus ada klausul dalam undang-undang itu yang mengunci itu. Jadi, tidak mudah,” ujar dia.
     
    Anggota Komisi I DPR Fraksi Demokrat Irjen Polisi (Purn) Frederik Kalalembang menyindir TNI yang meminta usia pensiun prajurit ditambah, di mana saat ini tamtama/bintara pensiun di usia 53 tahun, sedangkan perwira 58 tahun.
    Sebab, dalam kondisi saat ini saja, banyak perwira di TNI yang non-job.
    “Saya mendapat informasi, dan mungkin juga di TNI, bahwa sekarang banyak perwira, khususnya perwira, ini banyak yang nganggur, Pak. Karena tidak ada jabatan, non-job,” ujar Frederik.
    “Nah, bagaimana mau ditambah lagi jadi 60, bahkan 62 tahun?” tambah dia.
    Frederik mengatakan, Polri saja tidak mengusulkan penambahan usia pensiun dalam revisi UU Polri.
    Dia menyebut, akan ada triliunan rupiah duit negara yang keluar jika usia tentara diperpanjang.
    “Nah, kalau kita jadikan 60, sudah berapa triliun lagi kita harus habiskan lagi untuk melihat menambah usia ini,” kata Frederik.
    Meski begitu, Frederik menduga banyaknya tentara non-job karena ada efisiensi anggaran.
    “Hanya TNI saja karena mungkin masalah efisiensi anggaran, kemudian banyaknya sekarang perwira non-job karena tidak ada jabatan,” imbuh dia.
    Advisor Defense Diplomacy Strategic Forum Mayjen TNI (Purn) Rodon Pedrason meminta agar prajurit TNI, khususnya bintara dan tamtama, tidak dilarang untuk berbisnis.
    Rodon menyinggung uang pensiunan bintara dan tamtama yang diterima hanya 70 persen dari gaji pokok.
    Sementara, ketika mereka bertugas, mereka tidak memiliki kerjaan lain.
     
    “Prajurit, terutama prajurit bintara atau tamtama jangan dilarang berbisnis. Apa sih bisnis mereka? Mantan anggota saya, sersan, begitu pensiun dia bisnisnya bakso. Karena dia enggak punya kerjaan, selama bertugas dia enggak punya kerjaan. Sementara gajinya pada saat dia pensiun kan tinggal 70 persen dari gaji pokok,” ujar Rodon.
    “Jenderal saja begitu pensiun, bintang 4, hanya dapat Rp 5,2 juta, jenderal bintang 4 hanya Rp 5,2 juta,” sambungnya.
    Rodon mengatakan, tentara harus dikembangkan naluri berbisnisnya sejak masih aktif sebagai prajurit.
    Sebab, prajurit pasti akan kebingungan harus makan apa jika hanya mengandalkan uang pensiun yang nominalnya relatif kecil.
    “Karena ada teman saya yang bintang 3 dan bintang 4, anak-anaknya masih kecil. Begitu pensiun bingung, mau ngapain? Enggak bisa apa-apa. Coba masuk ke administrasi publik, katakanlah komisaris, dia enggak ngerti, dia enggak punya bekal,” kata Rodon.
    Menurut Rodon, keinginan tentara untuk berkuliah baru timbul belakangan ini saja.
    Sebab, sejak dulu, meski berkuliah, para tentara tetap susah untuk naik pangkat.
    “Sebelumnya enggak ada, mereka berpikir, ‘untuk apa sekolah, untuk apa kuliah, tapi susah naik pangkat?’ Ironis sebenarnya,” imbuh dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Eks Jenderal TNI Tuding Penolakan Dwifungsi ABRI di Demo Indonesia Gelap Pesanan

    Eks Jenderal TNI Tuding Penolakan Dwifungsi ABRI di Demo Indonesia Gelap Pesanan

    Eks Jenderal TNI Tuding Penolakan Dwifungsi ABRI di Demo Indonesia Gelap Pesanan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Advisor Defense Diplomacy Strategic Forum Mayor Jenderal (Mayjen) TNI (Purnawirawan)
    Rodon Pedrason
    menyinggung demo
    Indonesia Gelap
    yang baru terjadi belakangan ini saat dihadirkan Komisi I DPR sebagai pakar dalam pembahasan RUU TNI.
    Rodon menuding, ada pihak yang menitipkan ‘pesanan’ kepada mahasiswa untuk menolak
    dwifungsi TNI
    melalui aksi Indonesia Gelap.
    “Ada juga demonstrasi tentang Indonesia Gelap. Ini kan kontradiktif, ada beberapa 7 hal yang mereka sampaikan, tapi yang jadi perhatian saya mereka menolak dwifungsi. Saya pikir bukan bicara tentang dwifungsi, di dalam 7 poin itu satu poin itu tentang dwifungsi ini pesanan. Bukan murni, bukan
    pure
    dari mahasiswanya,” ujar Rodon, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/3/2025).
    Rodon mengaku heran dengan mahasiswa yang menolak dwifungsi TNI dalam aksi Indonesia Gelap.
    Ia menilai, penolakan tersebut tidak masuk akal, mengingat presiden yang saat ini menjabat juga merupakan mantan
    jenderal TNI
    .
    Ia pun meyakini bahwa sikap mahasiswa tersebut bukan murni aspirasi sendiri, melainkan sekadar ‘pesanan’ dari pihak tertentu.
    “Kenapa mereka berpikir tentang itu? Kalau sekarang pemerintahan yang ada kebetulan presidennya mantan militer, seorang jenderal, jadi ada pesanan,” sebut dia.
    “Terlalu banyak orang pintar di negeri ini, ini akhirnya ribut, argumentasi. Kemudian berbagai debat publik terkait itu, yang akhirnya membuat kita kehabisan energi. Yang kaya tetap kaya, yang miskin makin miskin. Menjadi kita tidak berubah menjadi lebih maju,” imbuh Rodon.
    Diketahui, puncak aksi Indonesia Gelap digelar di depan Istana, Jakarta, pada Kamis (20/2/2025) lalu.
    Salah satu poin dalam aksi Indonesia Gelap ini adalah menolak dwifungsi TNI.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.