Topik: diabetes

  • Kemenkes Kaji Terapi GLP-1 untuk Obesitas Susul Panduan Resmi WHO

    Kemenkes Kaji Terapi GLP-1 untuk Obesitas Susul Panduan Resmi WHO

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bakal mengkaji penggunaan dan pembiayaan terapi Glucagon-Like Peptide-1 (GLP-1) untuk penanganan obesitas di Indonesia. Langkah ini diambil menyusul terbitnya rekomendasi terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait pengobatan tersebut.

    Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan obesitas kini masuk dalam lima besar temuan masalah kesehatan terbanyak berdasarkan program cek kesehatan gratis (CKG). Kondisi ini banyak ditemukan pada kelompok dewasa hingga lanjut usia.

    “Pemerintah sedang memperbarui Pedoman Nasional Praktek Klinis (PNPK) untuk obesitas, termasuk tata laksana pengobatannya. Selama ini obat diberikan pada pasien obesitas yang sudah memiliki gejala penyakit lain, seperti gangguan jantung atau sulit bergerak,” beber Nadia dalam keterangan tertulis, diterima detikcom Minggu (7/12/2025).

    Terkait kemungkinan memasukkan terapi GLP-1 sebagai layanan yang ditanggung BPJS Kesehatan, Nadia menegaskan keputusan tersebut membutuhkan proses penilaian Health Technology Assessment (HTA). Selain itu, pemerintah perlu memastikan ketersediaan obat GLP-1 di Indonesia.

    Ia menambahkan, Kemenkes juga akan melibatkan pakar untuk mendapatkan masukan terkait penggunaan obat-obatan bagi penderita obesitas.

    GLP-1 sendiri merupakan hormon yang berperan dalam mengatur metabolisme. Adapun GLP-1 Receptor Agonist adalah kelompok obat yang umum digunakan untuk menurunkan kadar gula darah, membantu penurunan berat badan, menurunkan risiko komplikasi jantung dan ginjal, serta menurunkan risiko kematian dini pada pasien diabetes tipe 2.

    Sebelumnya diberitakan, WHO menerbitkan pedoman penggunaan terapi GLP-1 untuk menangani obesitas. Dokumen itu disusun sebagai respons atas meningkatnya permintaan dari berbagai negara yang menghadapi tantangan obesitas.

    Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pedoman tersebut menekankan pentingnya akses terhadap terapi GLP-1 dan perlunya sistem kesehatan mempersiapkan fasilitas pendukungnya.

    “Obesitas berdampak pada semua negara dan dikaitkan dengan 3,7 juta kematian di seluruh dunia pada 2024. Tanpa tindakan tegas, jumlah orang dengan obesitas diperkirakan meningkat dua kali lipat pada 2030,” ujar Tedros dalam laman resmi WHO.

    Ia menilai obesitas menjadi awal munculnya berbagai penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, kanker, hingga memperburuk penyakit infeksi.

    Pedoman tersebut juga menegaskan obesitas merupakan penyakit kronis yang membutuhkan penanganan komprehensif dan berkelanjutan. Tedros menekankan penggunaan obat saja tidak cukup untuk menyelesaikan krisis obesitas global.

    “Terapi GLP-1 bisa membantu jutaan orang mengatasi obesitas dan mengurangi risikonya. Namun terapi ini tetap harus disertai pendekatan lain,” ujarnya.

    Dalam pedoman tersebut, WHO memberikan dua rekomendasi utama yang bersifat kondisional:

    Terapi GLP-1 dapat digunakan untuk pengobatan obesitas jangka panjang pada orang dewasa, kecuali ibu hamil.

    Rekomendasi ini bersifat kondisional karena keterbatasan data mengenai efektivitas dan keamanan jangka panjang, biaya yang tinggi, serta kesiapan sistem kesehatan.

    Perubahan pola hidup intensif, seperti konsumsi makanan sehat dan peningkatan aktivitas fisik, wajib menjadi bagian dari terapi GLP-1.

    “Obesitas bukan hanya masalah individu, tetapi tantangan masyarakat yang memerlukan aksi multisektor,” kata Tedros.

    Kemenkes memastikan kajian penggunaan GLP-1 di Indonesia akan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut, mulai dari efektivitas, keamanan, hingga kesiapan sistem pembiayaan kesehatan nasional.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: WHO Keluarkan Pedoman Baru Syarat Terapi GLP-1 untuk Obesitas”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • Ternyata 6 Buah Ini Bisa Bikin Ginjal Lebih Sehat

    Ternyata 6 Buah Ini Bisa Bikin Ginjal Lebih Sehat

    Jakarta

    Ginjal bekerja tanpa henti menyaring limbah, menyeimbangkan cairan, dan menjaga kadar nutrisi penting dalam tubuh. Asupan makanan, terutama buah-buahan, mengandung kombinasi vitamin, mineral, antioksidan, dan serat yang ampuh berperan besar dalam melindungi fungsi organ vital ini.

    “Sebuah studi mengamati data lebih dari 98 ribu peserta dan menemukan bahwa makan lebih banyak buah dikaitkan dengan risiko 6 hingga 8 persen lebih rendah terkena penyakit ginjal,” beber ahli diet, Jen Hernandez, RD, dikutip dari Eating Well.

    Namun, tidak semua buah memberi manfaat yang sama. Berikut enam buah yang dinilai paling baik untuk kesehatan ginjal menurut ahli:

    1. Anggur Merah

    Anggur merah kaya senyawa resveratrol, antioksidan yang membantu melindungi sel ginjal dari kerusakan dan peradangan. Kandungan kaliumnya juga relatif lebih rendah dibanding buah lain, sehingga lebih ramah bagi ginjal.

    2. Apel

    Apel mengandung serat larut dan senyawa antiinflamasi yang membantu menurunkan kolesterol, serta kadar gula darah. Manfaat ini penting karena diabetes dan tekanan darah tinggi, yang merupakan penyebab utama gangguan ginjal.

    3. Blueberry

    Buah beri ini kaya antosianin dan vitamin C yang bekerja sebagai antioksidan kuat. Konsumsi buah-buahan kaya flavonoid seperti blueberry diketahui dapat menurunkan risiko penyakit ginjal kronis secara signifikan.

    4. Lemon

    Lemon membantu mencegah pembentukan batu ginjal berkat kandungan sitratnya. Selain itu, menambahkan perasan lemon ke dalam air dapat meningkatkan asupan cairan, yang penting untuk fungsi ginjal optimal.

    5. Nanas

    Nanas kaya vitamin C, mangan, dan senyawa antiinflamasi, termasuk enzim bromelain. Buah ini juga memiliki kadar kalium yang lebih rendah, sehingga lebih aman bagi individu yang perlu membatasi asupan kalium.

    6. Raspberry

    Raspberry merupakan salah satu buah dengan kandungan serat tertinggi. Serat ini membantu menjaga kestabilan gula darah, faktor penting dalam melindungi ginjal, terutama pada orang dengan diabetes.

    Para ahli menekankan konsumsi buah-buahan secara rutin, disertai pola makan seimbang dan hidrasi yang cukup. Hal ini dapat membantu menjaga ginjal tetap sehat dalam jangka panjang.

    (sao/naf)

  • Ternyata 6 Buah Ini Bisa Bikin Ginjal Lebih Sehat

    Ternyata 6 Buah Ini Bisa Bikin Ginjal Lebih Sehat

    Jakarta

    Ginjal bekerja tanpa henti menyaring limbah, menyeimbangkan cairan, dan menjaga kadar nutrisi penting dalam tubuh. Asupan makanan, terutama buah-buahan, mengandung kombinasi vitamin, mineral, antioksidan, dan serat yang ampuh berperan besar dalam melindungi fungsi organ vital ini.

    “Sebuah studi mengamati data lebih dari 98 ribu peserta dan menemukan bahwa makan lebih banyak buah dikaitkan dengan risiko 6 hingga 8 persen lebih rendah terkena penyakit ginjal,” beber ahli diet, Jen Hernandez, RD, dikutip dari Eating Well.

    Namun, tidak semua buah memberi manfaat yang sama. Berikut enam buah yang dinilai paling baik untuk kesehatan ginjal menurut ahli:

    1. Anggur Merah

    Anggur merah kaya senyawa resveratrol, antioksidan yang membantu melindungi sel ginjal dari kerusakan dan peradangan. Kandungan kaliumnya juga relatif lebih rendah dibanding buah lain, sehingga lebih ramah bagi ginjal.

    2. Apel

    Apel mengandung serat larut dan senyawa antiinflamasi yang membantu menurunkan kolesterol, serta kadar gula darah. Manfaat ini penting karena diabetes dan tekanan darah tinggi, yang merupakan penyebab utama gangguan ginjal.

    3. Blueberry

    Buah beri ini kaya antosianin dan vitamin C yang bekerja sebagai antioksidan kuat. Konsumsi buah-buahan kaya flavonoid seperti blueberry diketahui dapat menurunkan risiko penyakit ginjal kronis secara signifikan.

    4. Lemon

    Lemon membantu mencegah pembentukan batu ginjal berkat kandungan sitratnya. Selain itu, menambahkan perasan lemon ke dalam air dapat meningkatkan asupan cairan, yang penting untuk fungsi ginjal optimal.

    5. Nanas

    Nanas kaya vitamin C, mangan, dan senyawa antiinflamasi, termasuk enzim bromelain. Buah ini juga memiliki kadar kalium yang lebih rendah, sehingga lebih aman bagi individu yang perlu membatasi asupan kalium.

    6. Raspberry

    Raspberry merupakan salah satu buah dengan kandungan serat tertinggi. Serat ini membantu menjaga kestabilan gula darah, faktor penting dalam melindungi ginjal, terutama pada orang dengan diabetes.

    Para ahli menekankan konsumsi buah-buahan secara rutin, disertai pola makan seimbang dan hidrasi yang cukup. Hal ini dapat membantu menjaga ginjal tetap sehat dalam jangka panjang.

    (sao/naf)

  • FDA Wanti-wanti Risiko Salah Baca Alat Monitor Gula Darah, 7 Pasien Diabetes Meninggal

    FDA Wanti-wanti Risiko Salah Baca Alat Monitor Gula Darah, 7 Pasien Diabetes Meninggal

    Jakarta

    Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mengeluarkan peringatan keras terkait kesalahan pembacaan pada alat monitor gula darah produksi Abbott Diabetes Care. Kesalahan ini dikaitkan dengan sedikitnya tujuh kematian dan lebih dari 700 cedera serius di berbagai negara.

    Dalam laporannya, FDA menyebut perangkat yang terdampak mencakup FreeStyle Libre 3 dan FreeStyle Libre 3 Plus, sementara produk Libre lainnya tidak termasuk dalam daftar masalah. Abbott memperkirakan sekitar 3 juta sensor yang beredar berpotensi menunjukkan angka gula darah yang tidak akurat.

    Pembacaan kadar gula darah yang salah dapat memicu keputusan terapi yang keliru. FDA menyebut, jika kesalahan pembacaan rendah tidak terdeteksi dalam waktu lama, pasien bisa:

    mengonsumsi karbohidrat berlebihan,

    melewatkan atau menunda dosis insulin,

    atau melakukan penyesuaian terapi yang tidak sesuai.

    “Keputusan-keputusan ini dapat menimbulkan risiko serius, termasuk cedera, komplikasi kesehatan, bahkan kematian,” tulis FDA dalam peringatannya.

    FDA mengklasifikasikan masalah ini sebagai isu berisiko tinggi dan berjanji akan memperbarui informasi di situs resminya seiring perkembangan investigasi.

    Pasien diminta memeriksa apakah perangkat mereka termasuk kategori terdampak melalui situs FreeStyleCheck.com. Sensor yang bermasalah harus segera dihentikan penggunaannya dan dibuang, sementara Abbott menyediakan penggantian sensor secara gratis.

    Di Amerika Serikat, Abbott mencatat sekitar 60 cedera serius terkait kesalahan pembacaan pada perangkat tersebut, namun tidak ada laporan kematian.

    Abbott memastikan masalah produksi yang menyebabkan kesalahan pembacaan telah diselesaikan. Perusahaan juga menyatakan pasokan alat tidak akan terganggu, baik untuk penggantian maupun pemesanan baru.

    (naf/naf)

  • Be My Eyes Raih Cultural Impact App Store Awards 2025, Bongkar Peran AI dan Relawan bagi Jutaan Tunanetra di 160 Negara

    Be My Eyes Raih Cultural Impact App Store Awards 2025, Bongkar Peran AI dan Relawan bagi Jutaan Tunanetra di 160 Negara

    Liputan6.com, Jakarta – Apple mengumumkan daftar pemenang penghargaan App Store Awards 2025 mereka, di mana tahun ini aplikasi Be My Eyes mencuri perhatian para kurator App Store.

    Raih penghargaan di kategori Cultural Impact App Store Awards 2025, Be My Eyes dinilai membawa dampak besar bagi lebih dari 340 juta orang tunanetra dan low vision di dunia.

    CEO Be My Eyes, Mike Buckley, menjelaskan bagaimana perjalanan aplikasi ini, integrasi AI, hingga alasan kenapa interaksi manusia tetap menjadi pusat layanan mereka.

    “Kami bangun setiap hari dengan satu pertanyaan. Bagaimana caranya membantu komunitas tunanetra hidup lebih mandiri?”, ucap Mike dalam sesi wawancara virtual baru-baru ini. 

    Ia menegaskan, jumlah penyandang low vision terus meningkat karena populasi menua serta tingginya kasus degenerasi mukala dan diabetes. Diawali dari ide sederhana Hans- Jorgen Weiberg, Be My Eyes pun akhirnya tercipta.

    Hans sendiri adalah pengrajin furnitur asal Denmark kehilangan penglihatannya, dan sering mengalami kesulitan saat tidak ada keluarga yang bisa membantunya. “Dari situlah ia menciptakan aplikasi yang memungkinkan pengguna menekan satu tombol untuk terhubung dengan relawan yang bisa melihat melalui kamera ponsel mereka,” papar Mike.

    “Entah itu membaca tanggal kedaluwarsa susu, mencari gerbang bandara, memilah cucian, semua bantuan datang dari relawan yang berbahasa pengguna dan selalu terjaga berkat sistem zonasi,” ucapnya.

    Be My Eyes pun mengalami pertumbuhan pesat, dengan hampir 1 juta pengguna tunanetra aktif menggunakan aplikasi ini dan dilayani oleh 9,2 juta relawan di lebih dari 160 negara.

    “Panggilannya rata-rata berlangsung tiga menit, dengan 90 persen berhasil. Kombinasi teknologi dan kebaikan manusia selalu bekerja,” katanya.

     

  • Be My Eyes Raih Cultural Impact App Store Awards 2025, Bongkar Peran AI dan Relawan bagi Jutaan Tunanetra di 160 Negara

    Be My Eyes Raih Cultural Impact App Store Awards 2025, Bongkar Peran AI dan Relawan bagi Jutaan Tunanetra di 160 Negara

    Liputan6.com, Jakarta – Apple mengumumkan daftar pemenang penghargaan App Store Awards 2025 mereka, di mana tahun ini aplikasi Be My Eyes mencuri perhatian para kurator App Store.

    Raih penghargaan di kategori Cultural Impact App Store Awards 2025, Be My Eyes dinilai membawa dampak besar bagi lebih dari 340 juta orang tunanetra dan low vision di dunia.

    CEO Be My Eyes, Mike Buckley, menjelaskan bagaimana perjalanan aplikasi ini, integrasi AI, hingga alasan kenapa interaksi manusia tetap menjadi pusat layanan mereka.

    “Kami bangun setiap hari dengan satu pertanyaan. Bagaimana caranya membantu komunitas tunanetra hidup lebih mandiri?”, ucap Mike dalam sesi wawancara virtual baru-baru ini. 

    Ia menegaskan, jumlah penyandang low vision terus meningkat karena populasi menua serta tingginya kasus degenerasi mukala dan diabetes. Diawali dari ide sederhana Hans- Jorgen Weiberg, Be My Eyes pun akhirnya tercipta.

    Hans sendiri adalah pengrajin furnitur asal Denmark kehilangan penglihatannya, dan sering mengalami kesulitan saat tidak ada keluarga yang bisa membantunya. “Dari situlah ia menciptakan aplikasi yang memungkinkan pengguna menekan satu tombol untuk terhubung dengan relawan yang bisa melihat melalui kamera ponsel mereka,” papar Mike.

    “Entah itu membaca tanggal kedaluwarsa susu, mencari gerbang bandara, memilah cucian, semua bantuan datang dari relawan yang berbahasa pengguna dan selalu terjaga berkat sistem zonasi,” ucapnya.

    Be My Eyes pun mengalami pertumbuhan pesat, dengan hampir 1 juta pengguna tunanetra aktif menggunakan aplikasi ini dan dilayani oleh 9,2 juta relawan di lebih dari 160 negara.

    “Panggilannya rata-rata berlangsung tiga menit, dengan 90 persen berhasil. Kombinasi teknologi dan kebaikan manusia selalu bekerja,” katanya.

     

  • Batas Konsumsi Telur yang Aman dalam Sehari, Jangan Berlebihan

    Batas Konsumsi Telur yang Aman dalam Sehari, Jangan Berlebihan

    Jakarta

    Telur merupakan makanan populer bergizi tinggi yang kaya akan vitamin, mineral, antioksidan, protein, dan lemak. Namun, ada batasan konsumsi telur yang perlu diketahui.

    Beberapa penelitian mengaitkan konsumsi telur dan penyakit kolesterol dan jantung. Jadi, risiko yang terkait dengan mengonsumsi terlalu banyak telur berbeda-beda di antara individu.

    Batas Aman Konsumsi Telur Per Hari

    Batasan konsumsi telur berbeda antara orang yang sehat dan mengidap penyakit tertentu.

    1. Orang Dewasa Sehat

    Dikutip dari laman Healthline, bagi orang dewasa sehat denga kadar kolesterol normal dan tanpa faktor risiko penyakit jantung yang signifikan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa 1-2 butir telur per hari aman untuk dikonsumsi. Bahkan telur bisa menyehatkan dan bermanfaat bagi kesehatan jantung.

    Sebuah studi menunjukkan bahwa konsumsi 2-3 telur per hari memberi peningkatan yang lebih besar pada fungsi HDL, sekaligus menaikkan kadar karotenid dalam plasma. Secara keseluruhan, konsumsi 3 butir telur per hari dapat menghasilkan profil partikel LDL yang kurang aterogenik, memperbaiki fungsi HDL, dan meningkatkan kadar antioksidan plasma pada orang dewasa muda yang sehat.

    Kendati demikian, para ahli mungkin enggan menyarankan konsumsi lebih dari 2 butir per hari dan banyak yang masih menyarankan untuk mengonsumsi 1 butir telur per hari.

    Pakar IPB University dari Fakultas Peternakan, Dr Zakiah Wulandari juga merekomendasikan untuk memakan satu butir telur per hari.

    “Untuk orang sehat, rekomendasi konsumsi telur beserta kuning telurnya adalah satu butir per hari. Rekomendasi ini tidak akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular,” katanya, mengutip laman IPB University.

    2. Pengidap Kolesterol Tinggi, Diabetes, Penyakit Kardiovaskular, hingga Tekanan Darah Tinggi

    Bagi orang dengan kadar kolesterol tinggi, kelebihan berat badan atau obesitas, dan penyaki kronis seperti diabetes atau riwayat penyakit jantung dalam keluarnya sebaiknya tidak mengonsumsi lebih dari 1 telur per hari atau 4-5 butir telur per minggu.

    Sebuah studi yang melibatkan hampir 200.000 veteran AS mengaitkan konsumsi hanya 1 butir telur per hari dengan sedikit peningkatan risiko serangan jantung. Efeknya paling kuat pada mereka yang mengidap diabetes atau kelebihan berat badan.

    Sementara, Dr Zakiah merekomendasikan untuk mengonsumsi maksimal dua butir telur per minggu orang yang mengidap diabetes, penyakit kardiovaskular, dan tekanan darah tinggi. Asupan telur bisa ditingkatkan dengan tanpa mengonsumsi kuning telur. Putih telur merupajan sumber protein, jadi sangat bermanfaat bagi tubuh.

    Terlepas dari asupan telur, risiko penyakit jantung meningkat seiring brtambahnya usia akibat perubahan seperti penumpukan lemak dan pengersan arteri. Jadi, penting untuk mempertimbangkan kondisi kesehatan secaa keseluruhan saat memutuskan berapa banyak telur yang aman dikonsumsi.

    Manfaat Telur untuk Kesehatan

    Telur merupakan sumber proteon rendah lemak yang baik yang mudah diolah. Ada banyak manfaat yang didapat dari telur, di antaranya:

    Kandungan antioksdannya membantu melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas dan penyakit kronis terkait, seperti penyakit jantung dan kanker.Dipercaya bisa meningkatkan beberapa biomarker penyakit jantung, termasuk biomarker inflamasi, seperti kadar inteleukin-6 dan protein C-reaktif dalam darah.Mengenyangkan dan bisa mendukung penurunan berat badan. Hal ini berkat kandungan protein lemaknya yang tinggi.

    (elk/suc)

  • Daftar Makanan Terbaik untuk Kesehatan Ginjal, Ada Sering Dikonsumsi Orang RI

    Daftar Makanan Terbaik untuk Kesehatan Ginjal, Ada Sering Dikonsumsi Orang RI

    Jakarta

    Ginjal bekerja tanpa henti menyaring limbah dan menjaga keseimbangan cairan, mineral, serta elektrolit dalam tubuh. Organ kecil berbentuk kacang ini memfilter sekitar sekitar setengah cangkir darah setiap menit, lewat jutaan nefron di dalamnya.

    Peran ginjal begitu vital, sehingga pola makan sangat berpengaruh pada fungsinya. Terutama bagi orang dengan risiko tinggi, seperti orang dengan diabetes dan hipertensi.

    Ahli gizi Catalina Ruz Gatica, Mss, RDN, LDN, menjelaskan bahwa nutrisi berperan penting dalam menjaga ginjal tetap optimal, tanpa perlu ‘detoks’ atau metode pembersihan ekstrem. Ia menyebut ada sejumlah makanan yang bisa membantu meringankan kerja ginjal dan melindunginya dalam jangka panjang.

    1. Sayuran Hijau Tua

    Sayuran hijau tua kaya antioksidan, vitamin C, E, dan K, serta mineral seperti kalsium, magnesium, kalium, dan zat besi. Menurut Ruz Gatica, nutrisi ini membantu mengurangi peradangan dan mencegah kerusakan oksidatif yang dapat terjadi saat ginjal bekerja terlalu keras.

    2. Buah Ceri

    Buah ceri yang sering ditemukan pada kue tart ternyata dapat mendukung tekanan darah tetap sehat, faktor penting untuk menjaga pembuluh kecil di ginjal tetap berfungsi optimal. Buah ini kaya vitamin A dan antioksidan yang dikaitkan dengan penurunan tekanan darah, sehingga cocok untuk diet ramah ginjal.

    3. Tahu

    Tahu menjadi sumber protein nabati unggulan bagi yang ingin mengurangi beban kerja ginjal. Makanan yang sering dikonsumsi warga Indonesia ini bisa dijadikan pengganti sebagai porsi daging, tanpa harus menghilangkan konsumsi daging sepenuhnya.

    “Protein nabati membantu pH tubuh agar tidak terlalu asam,” ujar Ruz Gatica, dikutip dari Eating Well.

    4. Bawang Putih

    Bawang putih dikenal sebagai antiinflamasi alami. Ruz Gatica menjelaskan bahwa bawang putih dapat membantu menurunkan tekanan darah dan melawan kerusakan oksidatif, dua hal yang sangat penting untuk mencegah penyakit ginjal.

    BACA JUGA:

    5. Ikan Berlemak

    Dikutip dari Cnet, ikan berlemak seperti tuna, salmon, atau trout mengandung protein dan omega-3 yang membantu menurunkan trigliserida serta tekanan darah.

    Namun, orang dengan penyakit ginjal kronis perlu memeriksa kadar fosfor dan kalium pada jenis ikan tertentu dan berkonsultasi dengan dokter sebelum mengatur konsumsi.

    6. Paprika

    Paprika termasuk sayuran rendah kalium dengan kandungan vitamin B6, B9, C, K, serta antioksidan. Sayuran ini bisa dimakan mentah, dipanggang, atau ditambahkan ke berbagai hidangan.

    7. Kembang Kol

    Kembang kol kaya vitamin C, B6, B9, K, serta serat. Selain itu, sayuran ini mengandung senyawa yang membantu tubuh menetralisir racun.

    Namun, karena mengandung kalium dan fosfor, orang dengan penyakit ginjal kronis mungkin perlu membatasi porsinya.

    8. Putih Telur

    Putih telur menjadi pilihan protein yang aman untuk orang dengan masalah ginjal. Terutama orang dengan penyakit ginjal kronis stadium lanjut atau pasien yang menjalani dialisis.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/kna)

  • Pria Ini Alami Penurunan Fungsi Ginjal di Usia 39, Begini Gejala Awalnya

    Pria Ini Alami Penurunan Fungsi Ginjal di Usia 39, Begini Gejala Awalnya

    Jakarta

    Seorang pria di Singapura didiagnosis mengalami penurunan fungsi ginjal di usia 39 tahun. Pria bernama Syafic Omar yang bekerja sebagai engineer fasilitas pusat data itu awalnya merasakan sensasi kesemutan di kedua kakinya pada Maret 2025.

    dr Arjunan Kumaran, dokter keluarga di Klinik Intemedical, menduga Syafic mengalami neuropati atau gangguan saraf perifer, sehingga menyarankannya menjalani pemeriksaan menyeluruh.

    Hasil pemeriksaan menunjukkan Syafic mengidap tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan diabetes, serta mulai mengalami penurunan fungsi ginjal. Beruntung, penyakit ginjalnya masih berada pada tahap awal.

    Syafic merupakan satu dari lebih dari 500 ribu penduduk Singapura berusia 18 hingga 74 tahun yang hidup dengan penyakit ginjal, atau lebih dari satu dari tujuh orang pada kelompok usia tersebut. Pada kelompok usia 70 tahun ke atas, lebih dari sepertiga mengalami gangguan fungsi ginjal.

    Ginjal berperan menyaring racun, garam, dan kelebihan cairan dari sekitar setengah cangkir darah setiap menit. Ketika fungsi ini terganggu, tubuh dapat mengalami keluhan seperti mudah lelah, bengkak, mual, sesak napas, hingga kebingungan.

    Penyakit ginjal kronis (CKD), yang kerap disebut ‘silent killer”‘, memiliki lima tahap. Banyak pengidap tidak menyadari gejala pada tahap awal dan baru merasakan keluhan ketika kerusakan ginjal sudah cukup berat.

    Seseorang memerlukan pemantauan ketat serta persiapan untuk transplantasi ginjal atau dialisis ketika fungsi ginjal menurun hingga kurang dari 15 persen kapasitas normal, tahap yang dikenal sebagai CKD stadium 5 atau gagal ginjal.

    Menurut dr Jason Choo, Direktur Medik National Kidney Foundation (NKF), sekitar separuh kasus penyakit ginjal di Singapura sebenarnya dapat dicegah apabila diabetes, tekanan darah tinggi, dan kolesterol tinggi didiagnosis serta dikendalikan lebih awal.

    “Kelebihan berat badan atau obesitas merupakan faktor risiko utama diabetes, penyakit kardiovaskular, dan gagal ginjal. Mencapai berat badan yang sehat juga membantu mengendalikan diabetes dan bahkan dapat mempercepat remisi penyakit,” kata dr Choo, dikutip dari The Strait Times.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Jerat Obesitas di Balik Akses Makanan Serba Instan Makin Menjamur

    Jerat Obesitas di Balik Akses Makanan Serba Instan Makin Menjamur

    Jakarta

    Laporan Child Nutrition Report 2025 ‘Feeding Profit: How food environments are failing children’ Unicef mengungkap negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mengalami peningkatan prevalensi obesitas pesat dalam dua dekade terakhir.

    Prevalensi kelebihan berat badan di kalangan anak-anak dan remaja berusia 5 hingga 19 tahun bahkan meningkat tiga kali lipat antara periode 2000 dan 2022, serta mencapai tingkat sedang, dari 15 persen menjadi kurang dari 25 persen di sembilan negara. Lima di antaranya berada di Asia Selatan, Afghanistan, Bhutan, Republik Demokratik Kongo, Liberia, Maladewa, Pakistan, Sri Lanka, Vietnam, dan tentu Indonesia.

    Spesialis gizi dr Angela Dalimarta SpGK menyebut banyak faktor di balik pemicu obesitas semakin tinggi. Terbanyak menurutnya berkaitan dengan akses pola makan serba instan yang semakin mudah ditemui.

    “Ketersediaan makanan instan, makanan cepat saji, makanan ultraproses makin tinggi, sehingga gampang didapat oleh beragam macam kalangan,” sorot dr Angela saat ditemui detikcom di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu (6/12/2025).

    Tidak jarang dari mereka yang belum sempat menyiapkan atau memasak ‘real food’ bahan segar langsung diolah, memilih makanan cepat saji dengan alasan lebih praktis. Hal ini sejalan dengan laporan Unicef terkait peningkatan paparan industri retail yang menjajakan makanan rendah gizi, camilan murah, ultra processed food (UPF), makanan siap saji dengan banyak bahan kimia tambahan, sampai minuman manis.

    “Karena tidak sempat prepare makanan, mencari makanan instan, risiko obesitas tentu akan semakin meningkat, bahkan sekitar 23 persen orang dewasa sudah mengalami obesitas di Indonesia,” tuturnya.

    Sementara anak dan remaja disebutnya sangat rentan dengan obesitas akibat faktor lingkungan. Mereka bisa lebih bebas memilih makanan di retail terdekat tanpa pengawasan orangtua, atau malah mengikuti kebiasaan dan gaya hidup tidak sehat dari keluarga.

    “Anak-anak juga meningkat trennya, makanya sekarang harus diubah gaya hidupnya supaya kalau keluarga hidupnya sehat pastinya anak-anak juga akan lebih sehat hidupnya, jadi nanti ke depan saat dewasanya pun, menurunkan angka obesitas ke depannya,” lanjut dia.

    Tren yang tidak jauh berbeda bahkan terpantau lebih tinggi ditemukan pada usia dewasa, dan dewasa muda. Berdasarkan hasil cek kesehatan gratis (CKG) yang dihimpun hingga Oktober 2025, puncak kasus obesitas berada di rentang 40 hingga 59 tahun atau sekitar 1,1 juta kasus pada wanita dan 200 ribu orang pada pria.

    Sebagai catatan, data tersebut belum benar-benar menggambarkan realita yang ada di Indonesia. Mengingat, baru sekitar 60 dari 280 juta penduduk yang mengikuti CKG. Meski begitu, Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi menekankan salah satu penyebab utama obesitas sudah bisa terlihat, yakni 96 persen kurang aktivitas fisik.

    dr Nadia juga menyoroti perubahan pola hidup di tengah era modernisasi yang semakin bergeser.

    “Yang tadinya kita harus jalan dulu untuk mendapatkan makanan, sekarang nggak. Ibu rumah tangga yang dulu harus masak, sekarang tinggal pesan. Bukan cuma fast food, makanan apa pun sekarang tersedia dan gampang diakses online,” tutur dia.

    “Hanya dengan beberapa klik, makanan datang dalam waktu singkat.”

    Cegah Obesitas Memburuk, Harus Gimana?

    Beberapa waktu lalu, dokter spesialis penyakit dalam Dicky Tahapary, SpPD-KEMD, PhD, menekankan aktivitas fisik minimal 150 menit per minggu sangat disarankan. Perubahan kecil yang dimulai sejak dini dapat mencegah obesitas tanpa harus langsung mengonsumsi obat.

    Jika hasil belum optimal, dokter baru mempertimbangkan farmakoterapi. “Tidak semua pasien langsung diberi obat. Kami menilai dulu kondisi metaboliknya,” katanya.

    Obat hanya berfungsi sebagai pendamping, bukan solusi utama, serta harus digunakan dengan pengawasan ketat karena tetap memiliki risiko efek samping. Ketika masih belum berhasil, barulah pasien dipertimbangkan untuk operasi bariatrik, prosedur yang mengecilkan kapasitas lambung guna mengontrol asupan.

    Namun ini bukan solusi instan. “Bariatrik harus sesuai indikasi medis. Setelah operasi, pola hidup sehat tetap wajib,” tegasnya.

    Beda Bariatrik Vs Liposuction

    Selain bariatrik, prosedur sedot lemak atau liposuction juga kerap menjadi pilihan. Lantas apa bedanya?

    dr Kuswan Ambar Pamungkas SpBPRE, Subsp K (K), M, menjelaskan perbedaan mendasar antara operasi bariatrik dan liposuction yang kerap disalahpahami sebagai prosedur serupa. Menurutnya, keduanya justru memiliki tujuan, indikasi, serta manfaat klinis sangat berbeda.

    “Sebetulnya masyarakat awam tidak perlu bingung memilih antara bariatrik dan liposuction karena indikasinya jauh berbeda,” kata dr Kuswan kepada detikcom Sabtu (6/12).

    Rekomendasi bariatrik

    Ia menegaskan, bariatrik direkomendasikan untuk pasien dengan BMI >35, atau BMI >30 disertai komorbid seperti diabetes, hipertensi, atau gangguan metabolik lainnya.

    Prosedur ini dilakukan dengan mengubah struktur saluran cerna, misalnya memotong sebagian lambung atau usus, sehingga penyerapan makanan berkurang dan penurunan berat badan dapat dicapai lebih cepat.

    “Tujuan bariatrik adalah menurunkan berat badan secara signifikan untuk mencegah munculnya penyakit atau mencegah penyakit menjadi lebih berat,” jelasnya.

    Sementara itu, liposuction bukan prosedur pengobatan obesitas. Tindakan ini bertujuan mengangkat lemak di area tertentu untuk membentuk kontur tubuh, bukan mengatasi gangguan metabolik.

    “Indikasi utamanya adalah adanya distribusi lemak yang tidak merata. Liposuction tidak bisa menggantikan bariatrik. Keduanya bukan substitusi,” tegas dr Kuswan.

    Dengan kata lain, bariatrik bekerja pada akar masalah obesitas dan metabolisme, sedangkan liposuction bersifat kosmetik.

    Halaman 2 dari 4

    (naf/kna)