Topik: Cipta Kerja

  • DPRD Surabaya: Jika Terbukti Cemari Udara, Pabrik Emas PT SJL Harus Disetop!

    DPRD Surabaya: Jika Terbukti Cemari Udara, Pabrik Emas PT SJL Harus Disetop!

    Surabaya (beritajatim.com) – Ketua Komisi A DPRD Surabaya bidang hukum dan pemerintahan, Yona Bagus Widyatmoko, menegaskan pemerintah kota harus menghentikan aktivitas peleburan emas PT Suka Jadi Logam (SJL) jika terbukti mencemari udara dan mengganggu kenyamanan warga Wisma Tengger, RT 04 RW 06, Kelurahan Kandangan, Kecamatan Benowo.

    Menurutnya, pelanggaran seperti ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga bertentangan dengan sejumlah aturan hukum yang berlaku.

    “Jika terbukti bahwa asap yang mengganggu kenyamanan warga diduga dikeluarkan oleh aktivitas produksi peleburan emas dari PT SJL, maka aktivitas produksi ini harus dihentikan karena PT SJL sudah melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tegas Cak Yebe sapaan lekatnya saat sidak di lokasi, Senin (15/9/2025).

    Cak Yebe mengatakan, Dinas Kesehatan Kota Surabaya melalui Puskesmas setempat harus segera dilibatkan untuk mengambil sampel kesehatan warga yang terdampak. Menurutnya, hasil pemeriksaan medis bisa menjadi alat bukti yang sahih untuk menindak perusahaan tersebut.

    “Puskesmas harus mengambil sampel kesehatan warga. Jika terbukti mereka mengalami batuk atau efek samping lain akibat aktivitas peleburan, maka itu sudah cukup menjadi alat bukti untuk memproses perusahaan ini secara hukum,” jelasnya.

    Wakil Ketua DPC Gerindra Surabaya ini menjelaskan, undang-undang tersebut mengatur bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan akibat aktivitas manusia.

    Jika pencemaran ini melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan, maka pemerintah memiliki dasar kuat untuk memberikan sanksi.

    “Selain itu, PT SJL juga berpotensi melanggar UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan UU No. 6 Tahun 2023. Bahkan, Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 99 Tahun 2016 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif di bidang PPLH juga bisa dikenakan,” ujarnya.

    Menurut Cak Yebe, sanksi administratif tersebut bisa berupa pembekuan izin usaha, hingga pencabutan izin jika pelanggaran terus berlanjut.

    Jika ditemukan unsur pidana dalam proses investigasi, pihak perusahaan juga dapat dijerat pasal pidana.

    “Jika ditemukan unsur pidana, pemiliknya bisa dijerat Pasal 374 KUHP bahwa setiap orang yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dipidana dengan hukuman penjara paling lama tiga tahun,” jelasnya.

    Sebelumnya, warga Wisma Tengger, Benowo, melaporkan bau menyengat yang muncul sejak November 2024, diduga berasal dari aktivitas peleburan emas di PT SJL.

    Bau tersebut memicu keluhan kesehatan seperti batuk, sesak napas, dan iritasi tenggorokan, terutama pada anak-anak dan lansia.

    Pemkot Surabaya melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) telah memberikan surat peringatan dan meminta PT SJL melakukan uji emisi serta memperbaiki sistem pengelolaan limbah. Namun, hasil sidak terakhir menunjukkan masih ada aktivitas di dalam pabrik meski Satpol PP sudah melakukan penyegelan pada awal Juli 2025.

    Cak Yebe berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini agar hak warga atas lingkungan yang bersih dan sehat tetap terjamin.

    Dia menegaskan, Pemkot harus segera mengambil langkah konkret demi melindungi kesehatan masyarakat. “Kami tidak ingin warga terus menjadi korban. Jika tidak ada ketegasan, ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum lingkungan di Surabaya,” pungkas Cak Yebe.[asg/kun]

  • Tak Ada Adili Jokowi dan Makzulkan Gibran dalam 17+8 Tuntutan Rakyat, Siapa di Baliknya?

    Tak Ada Adili Jokowi dan Makzulkan Gibran dalam 17+8 Tuntutan Rakyat, Siapa di Baliknya?

    GELORA.CO – Tuntutan mengadili Presiden RI ke-7, Joko Widodo alias Jokowi) dan makzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tak ada dalam 17+8 Tuntutan Rakyat.

    Padahal, tuntutan mengadili Jokowi dan memakzulkan Gibran sudah bergulir sejak lama hingga sempat bikin suhu politik nasional naik beberapa derajat.

    Menurut pengamat intelijen, Sri Radjasa Chandra, ada perubahan narasi dari demonstrasi yang awalnya digagas revolusi rakyat Indonesia.

    Seiring berjalannya waktu, kata dia, terjadi perubahan di laman media sosial yakni bubarkan DPR.

    Tak pelak, hal itu bertolak belakang di mana DPR dituntut untuk memakzulkan Gibran, di sisi lain ada upaya pembubaran DPR.

    “Tentu kita bisa melihat siapa di balik perubahan narasi itu. Sehingga terus berlanjut muncul 17+8,” ujarnya dalam kanal YouTube Forum Keadilan TV, mengutip Minggu 14 September 2025.

    Demonstrasi yang kemudian berujung ricuh hingga aksi penjarahan sejumlah rumah pejabat dan anggota DPR disebutnya sebagai political terorism.

    “Kejadian itu secara psikologis, terpukul. Mereka sekarang berpikir, bagaimana caranya untuk mengangkat pemakzulan Gibran di forum DPR ketika pengamanan terhadap diri mereka sendiri tidak terjaga atau mereka diperlakukan dalam bentuk penjarahan rumah,” tuturnya.

    Dia pun menilai, tuntutan 17+8 perlu dipertanyakan apakah ada yang menunggangi sehingga persoalan yang sebenarnya dihadapi bangsa ini terabaikan.

    Lantaran itu pula, tuntutan dalam 17+8 ini merupakan legacy dari kekuasaan lama.

    “Semuanya bermuara ke satu, Jokowi harus bertanggung jawab. Jadi ini bukan warisan dari pemerintahan yang baru,” ujarnya.

    17+8 Tuntutan Rakyat merupakan berbagai aspirasi dan desakan rakyat yang beredar pada unjuk rasa dan kerusuhan Indonesia Agustus 2025 di media sosial.

    Tuntutan tersebut merupakan rangkuman atas berbagai tuntutan dan desakan yang beredar di media sosial dalam beberapa hari terakhir

    Sementara, isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bermula dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang melontarkan delapan usulan, salah satunya pergantian Wapres oleh MPR.

    Alasan mereka: putusan MK terkait Pasal 169 Huruf Q UU Pemilu dianggap melanggar hukum acara MK dan UU Kekuasaan Kehakiman.

    Adapun isi 17+8 Tuntutan Rakuat sebagai berikut:

    Isi 17 Tuntutan Jangka Pendek

    Beberapa poin penting dalam 17 tuntutan tersebut antara lain:

    – Kepada Presiden Prabowo: tarik TNI dari pengamanan sipil, hentikan kriminalisasi demonstran, bentuk tim investigasi independen kasus pelanggaran HAM.

    – Kepada DPR RI: batalkan kenaikan gaji/tunjangan, buka transparansi anggaran, dan dorong Badan Kehormatan DPR menindak anggota bermasalah.

    – Kepada Ketua Umum Partai Politik: pecat kader tidak etis, umumkan komitmen berpihak pada rakyat, dan buka ruang dialog dengan mahasiswa.

    – Kepada Polri: bebaskan demonstran yang ditahan, hentikan kekerasan, dan proses hukum anggota yang melanggar HAM.

    – Kepada TNI: segera kembali ke barak, tegakkan disiplin internal, dan pastikan tidak campur tangan dalam urusan sipil.

    – Kepada Kementerian sektor ekonomi: pastikan upah layak, cegah PHK massal, dan buka dialog dengan serikat buruh.

    Isi 8 Tuntutan Jangka Panjang

    Sedangkan 8 tuntutan jangka panjang mencakup reformasi besar-besaran di sektor politik, hukum, hingga ekonomi. Beberapa poin di antaranya:

    – Reformasi DPR melalui audit independen, tolak mantan koruptor, dan penghapusan fasilitas istimewa.

    – Reformasi partai politik dengan transparansi laporan keuangan dan penguatan oposisi.

    – Reformasi perpajakan agar lebih adil, termasuk evaluasi kebijakan yang membebani rakyat.

    – Sahkan UU Perampasan Aset Koruptor dan perkuat independensi KPK.

    – Revisi UU Kepolisian untuk desentralisasi fungsi.

    – Cabut mandat TNI dari proyek sipil seperti food estate.

    – Perkuat Komnas HAM dan lembaga independen lain.

    – Tinjau ulang kebijakan ekonomi & ketenagakerjaan, termasuk evaluasi UU Cipta Kerja.***

  • Warga Jember Minta Pemerintah Lepas Lahan Garap dan Pekarangan di Kawasan Hutan

    Warga Jember Minta Pemerintah Lepas Lahan Garap dan Pekarangan di Kawasan Hutan

    Jember (beritajatim.com) – Pemerintah melepas 7.103 bidang tanah kawasan hutan seluas untuk warga Kabupaten Jember, Jawa Timur di 24 desa dalam program Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH).

    Proses pelepasan 1.188 bidang.tanah dengan luas 67 hektare di antaranya di Desa Sidodadi, Kecamatan Tempurejo sedang berjalan. Namun warga Dusun Mandiku memandang tak cukup hanya permukiman. Mereka meminta lahan garap dan pekarangan yang sudah bertahun-tahun dikelola juga dilepas.

    “Kami minta tanah yang kami tempati, yang kami kelola 80 tahun ini, mohon jangan diutik-utik dulu. Jangan diikut-ikutkan program kehutanan dulu karena ini lagi kami mohonkan sampai kami mendapat kejelasan yang pasti. Itu hak kami,” kata Ketua Gerakan Petani (Gertani) Jember Agus Sutrisno, Kamis (11/9/2025).

    Menurut Agus, warga Dusun Mandiku sudah menempati dan mengelola sebagian lahan di kawasan hutan secara turun-temurun sejak masa penjajahan Jepang. “Jauh sebelum Perhutani ada. Kami hanya memohon kejelasan hak,” katanya.

    “Kalau lahan pertanian tidak bisa dimiliki sebagai hak, bayangkan itu mata pencaharian kami. Satu-satunya yang kami punya. Padahal hutan di Mandiku sana, luas banget,” kata Agus.

    Agus minta agar warga di kawasan Mandiku tidak disamakan dengan warga di kawasan hutan lain yang tidak memiliki lahan garap. “Kami hanya merindukan status hak yang jelas,” katanya.

    Sapto Yuwono, Kepala Dinas Kehutanan Jawa Timur Cabang Jember, menyadari ketidakpuasan masyarakat karena tidak dimasukkannya lahan garap dan pekarangan dalam program PPTKH. “Tapi memang kami tidak bisa berjalan keluar dari regulasi. Regulasi yang saat ini ada, dari kementerian, adalah melalui dua mekanisme,” katanya.

    “Kalau untuk yang fasilitas umum, fasilitas sosial, dan pemukiman yang minimal lima tahun sebelum Undang-Undang Cipta Kerja bisa untuk PPTKH. Sedangkan untuk lahan garapan melalui mekanisme perhutanan sosial,” kata Sapto.

    Surat keputusan persetujuan perhutanan sosial itu berlaku 35 tahun dan bisa diperpanjang sekali. “Bahkan bisa diturunkan ke anak. Saya pikir itu solusi dari pemerintah agar bagaimana itu jangan menjadi sebuah konflik,” kata Sapto.

    Parlemen Minta Harapan Warga Diperhatikan
    Anggota Komisi A DPRD Jember dari Partai Kebangkitan Bangsa Hafidi memahami keinginan masyarakat Mandiku yang tidak menyerah dalam memperjuangkan hak.

    “Tapi di lain pihak harus dipahami bahwa kita ini bukan kerajaan, pemerintahan Angling Dharma. Ini adalah pemerintahan. Ada sebuah prosedur yang harus dilakukan, harus sesuai dengan mekanisme dan aturan di atasnya,” katanya.

    Hafidi meminta kepada Pemerintah Kabupaten Jember, Badan Pertanahan Nasional, Dinas Kehutanan Jatim Cabang Jember untuk menelaah aturan yang memungkinkan keinginan warga terpenuhi. “Tolong cari dan telaah regulasi yang bisa memastikan hak ‘tersembunyi’ masyarakat,” katanya.

    Hafidi meminta warga tidak dibenturkan dengan negara. “Masyarakat ini ndak paham, jangan diajak urusan undang-undang dan peraturan. Carikan kami sandaran regulasinya ini untuk dilakukan. Kalau pun DPRD turut harus tanda tangan terhadap permohonan ini, saya pribadi akan minta lembaga ini untuk tanda tangan juga,” katanya.

    Senada, anggota Komisi A dari PDI Perjuangan Alfan Yusfi mengatakan, perjuangan masyarakat Mandiku sudah berlangsung puluhan tahun. “Kepala Desa Sidodadi dan Kepala Dusun Mandiku bisa berkali-kali ganti. Tetapi sejarah tidak bisa terganti. Meskipun ganti orang, ada jejak sejarah yang menjadi dasar mereka untuk terus memperjuangkan hak,” katanya.

    Alfan ingin data yang dimiliki warga juga dijadikan referensi. Dia berharap program PPTKH memberikan hak penguasaan lahan garapan dan pemukiman kepada warga secara keseluruhan di Mandiku. “Tidak boleh ada diskriminasi,” katanya.

    Sementara itu, Nurhasan, anggota Komisi A DPRD Jember dari Partai Keadilan Sejahtera, berharap warga Mandiku tetap konsisten dalam garis perjuangan selama ini. “Ketika ada lembaga swadaya masyarakat dari Jakarta turun ke sana, tolong ini diantisipasi,” katanya.

    Menurut Nurhasan, tahun lalu ada lembaga swadaya masyarakat dari Jakarta yang menemui Komisi A dan mengatasnamakan ahli waris era kolonial Belanda untuk mengklaim kembali hak atas tanah yang ditempati warga Jember di sejunlah lokasi.

    “Ahli warisnya menuntut, dan di situ surat-suratnya masih ada. Ditunjukkan kepada kami. Waktu itu saya marah, saya walk out, saya tidak mau (menanggapi),” kata Nurhasan. [wir]

  • Pemerintah Lepas 335 Hektare Lahan Hutan di 24 Desa untuk Permukiman Warga Jember

    Pemerintah Lepas 335 Hektare Lahan Hutan di 24 Desa untuk Permukiman Warga Jember

    Jember (beritajatim.com) – Pemerintah melepas 7.103 bidang tanah kawasan hutan seluas 335,179 hektare di 24 desa untuk permukiman warga Kabupaten Jember, Jawa Timur sebagai bagian dari program Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH).

    Kebijakan PPTKH ini bertujuan menata kembali penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang melibatkan proses legalisasi aset, redistribusi aset, dan distribusi aset tanah kepada masyarakat yang telah lama menguasai dan memanfaatkan lahan tersebut.

    Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 190 Tahun 2025 tentang Penetapan Batas Area Pelepasan Sebagian Kawasan Hutan Produksi Tetap atau HP pada Bagian Hutan Lereng Sang Hyang Selatan, Bagian Hutan Jember Selatan, dan Bagian Hutan Sempolan dalam Rangka Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Rangka Penetapan Kawasan Hutan (PPTPKH) melalui Pelepasan Kawasan Hutan untuk Sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

    Lahan hutan yang dilepas itu terletak di
    1. Desa Karanganyar Kecamatan Ambulu
    2. Desa Sabrang Kecamatan Ambulu

    3. Desa Badean Kecamatan Bangsalsari
    4. Desa Curah Kalong Kecamatan Bangsalsari
    5. Desa Gambirono Kecamatan Bangsalsari
    6. Desa Tugusari Kecamatan Bangsalsari

    7. Desa Sumberbulus Kecamatan Ledokombo
    8. Desa Sumbersalak Kecamatan Ledokombo

    9. Desa Seputih Kecamatan Mayang

    10. Desa Lampeji Kecamatan Mumbulsari
    11. Desa Suco Kecamatan Mumbulsari

    12. Desa Garahan Kecamatan Silo
    13. Desa Mulyorejo Kecamatan Silo
    14. Desa Sidomulyo Kecamatan Silo
    15. Desa Silo Kecamatan Silo
    16. Desa Sumberjati Kecamatan Silo

    17. Desa Karangbayat Kecamatan Sumberbaru

    18. Desa Jambearum Kecamatan Sumberjambe
    19. Desa Rowosari Kecamatan Sumberjambe

    20, Desa Darungan Kecamatan Tanggul
    21. Desa Manggisan Kecamatan Tanggul

    22. Desa Pondokrejo Kecamatan Tempurejo
    23. Desa Sidodadi Kecamatan Tempurejo

    24. Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan

    Sapto Yuwono, Kepala Dinas Kehutanan Jawa Timur Cabang Jember, mengatakan, lahan kawasan hutan yang dilepas pemerintah untuk masyarakat Jember lebih luas dibandingkan daerah lainnya di Jawa Timur.

    “Jember masuk dalam fase pertama. Bola sudah di Badan Pertanahan Nasional, tinggal sertifikatnya. Sementara untuk luasan, di Jember ini termasuk relatif luas dibanding kabupaten lain,” kata Sapto, ditulis Kamis (11/9/2025).

    Sapto mengatakan, selama ini masyarakat tidak memiliki payung hukum untuk tinggal di kawasan hutan yang berstatus tanah negara. Dengan skema PPTKH, warga yang sudah tinggal bertahun-tahun di kawasan hutan bisa memiliki sertifikat hak atas tanah yang sudah dikeluarkan dari penguasaan pemerintah. “Jadi itu saya pikir itu sebuah mekanisme win win solution,” katanya.

    Pelepasan lahan ini meupakan bagian dari proses panjang yang telah dilakukan sejak 2021 pada masa pemerintahan Bupati Hendy Siswanto.

    “Tahun 2021, kami menerima surat keputusan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Di sana disebutkan, wilayah-wilayah (hutan) yang ada pemukiman bisa dimohonkan untuk dikeluarkan dari aset Kementerian Kehutanan,” kata Benita Kusumajanti, Kepala Seksi Pertanahan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Cipta Karya Jember.

    Pemerintah membentuk tim terpadu untuk merespons SK tersebut dan turun melakukan tinjauan lapang. “Kami buat poligon-poligon sesuai dengan SK tersebut pada 2021,” kata Benita.

    “Dari sana kita melakukan permohonan, dari Bapak Bupati sendiri kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Alhamdulillah disetujui pada saat itu,” kata Benita.

    Kawasan yang disetujui untuk dilepas adalah kawasan yang telah menjadi permukiman. “Jadi yang disebut permukiman adalah jika dihuni oleh beberapa kepala keluarga, minimal lima kepala keluarga,” kata Benita. Rumah-rumah hunian dengan jarak berjauhan tidak bisa disebut permukiman.

    Pelepasan lahan ini, menurut Benita, tidak berlaku untuk lahan garap dan pekarangan. “Kami hanya mem-breakdown (kebijakan) dari atas. Mana yang diperintahkan itu yang kami usulkan,” katanya.

    Sapto Yuwono mengatakan, lahan pekarangan termasuk dalam perhutanan sosial. “Masyarakat sekitar bisa nanti berkoordinasi dengan penyuluh kami, sepanjang daerah tersebut masuk dalam peta indikatif areal perhutanan sosial,” katanya.

    Menurut Sapto, sudah ada peta baru Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) pada 2025. “Sepanjang wilayah tertentu masuk dalam peta indikatif areal perhutanan sosial, monggo, dan masih ada ruang spasial untuk hal tersebut, masyarakat bisa mengajukan, berkoordinasi dengan penyuluh kami,” katanya.

    Sapto menyadari potensi ketidakpuasan masyarakat karena tidak dimasukkannya lahan garap dan pekarangan dalam program PPTKH. “Tapi memang kami tidak bisa berjalan keluar dari regulasi. Regulasi yang saat ini ada, dari kementerian, adalah melalui dua mekanisme,” katanya.

    “Kalau untuk yang fasilitas umum, fasilitas sosial, dan pemukiman yang minimal lima tahun sebelum Undang-Undang Cipta Kerja bisa untuk PPTKH. Sedangkan untuk lahan garapan melalui mekanisme perhutanan sosial,” kata Sapto.

    Sirat keputusan persetujuan perhutanan sosial itu berlaku 35 tahun dan bisa diperpanjang sekali. “Bahkan bisa diturunkan ke anak. Saya pikir itu solusi dari pemerintah agar bagaimana itu jangan menjadi sebuah konflik,” kata Sapto. [wir]

  • Muhammadiyah ajak akademisi riset dampak peraturan  

    Muhammadiyah ajak akademisi riset dampak peraturan  

    Pekalongan (ANTARA) – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengajak kalangan akademisi terutama dari lingkup Perguruan Tinggi Muhammadiyah untuk membuat riset berbasis analisa sosial terhadap berbagai peraturan yang berdampak ke berbagai sektor kehidupan.

    “Dari berbagai masalah yang kami kaji di Indonesia, muaranya satu, adalah masalah di bagian hulu, artinya perintah yang berada di sisi hulu (kehidupan),” kata Busyro Muqoddas saat Pelatihan Ideologi Kepemimpinan Regional Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah di Pekalongan, Jawa Tengah, Minggu.

    Sedangkan kasus-kasus yang terjadi di daerah, ujar dia, adalah bagian hilir atau dampak dari bagian hulu berupa peraturan yang mengikat. “Selama ini, peraturan yang dibuat lebih banyak berdasarkan asumsi, bahkan kepentingan pemilik modal, bukan berbasis problematika di masyarakat, ” kata Busyro Muqoddas.

    Ia mencontohkan UU Cipta Kerja, UU Minerba, yang dalam realisasinya, beberapa diantaranya menimbulkan polemik di masyarakat. “Saya sudah melihat tambang di Halmahera, lahannya sangat luas,” kata dia.

    Atau, lanjut dia, polemik seputar pengembangan kawasan Rempang di Provinsi Kepulauan Riau yang sempat memicu keriuhan baik secara fisik maupun nonfisik.

    Sementara Ketua PWM Jateng KH Tafsir menambahkan, untuk itu dibutuhkan kekuatan politik yang didukung kemampuan ekonomi yang kuat. “Supaya kekuatan politik ini tidak dikuasai oleh kekuatan ekonomi,” ujar Tafsir.

    Pelatihan Ideologi Kepemimpinan Regional LHKP PW Muhammadiyah Jateng mengangkat tema “Meneguhkan Ideologi Islam Berkemajuan dalam Membangun Kepemimpinan Publik yang Berintegritas dan Progresif” dengan jumlah peserta 150 orang.

    Ketua LHKP PW Muhammadiyah Jateng Jayusman Arief pelatihan dilakukan untuk membekali kader-kader Muhammadiyah dengan wawasan ideologis Islam Berkemajuan, keterampilan kepemimpinan serta kemampuan membaca dan merespons dinamika sosial-politik secara bijaksana dan berkeadaban.

    “Kegiatan ini juga menjadi media konsolidasi kader potensial Muhammadiyah dari berbagai daerah di Jawa Tengah, yang diproyeksikan menjadi aktor strategis dalam ruang-ruang publik, baik sebagai legislator, birokrat, pemimpin organisasi masyarakat, maupun penggerak komunitas,” ujar dia.

    Untuk mewujudkan hal itu, lanjut dia, diperlukan pelatihan yang tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga aplikatif dan kontekstual. “Tujuannya agar kader-kader tersebut siap mengemban amanah umat dengan integritas dan keberpihakan yang jelas kepada kepentingan rakyat,” kata Jayusman.

    Melalui pelatihan ini, diharapkan lahir barisan kader pemimpin Muhammadiyah yang kokoh secara ideologis, matang secara strategi, dan siap mengambil peran dalam membangun masyarakat utama. Dengan pendekatan yang kolaboratif dan progresif, LHKP PWM Jawa Tengah ingin meneguhkan kembali komitmen Muhammadiyah dalam membentuk kepemimpinan publik yang berkemajuan dan bermaslahat bagi umat dan bangsa.

    Sejumlah narasumber pelatihan diantaranya Dr Muh Haris (anggota DPR RI), Ketua PWM Jateng Drs Tafsir, Harun Abdul Khafizh (Anggota DPRD Prov Jawa Tengah– Dapil XIII Jawa Tengah), Edi Faisol (Praktisi Media Massa/ Pimpred TV Simpo). Bupati Pekalongan Fadia A Rafiq yang diwakili Asisten 1 Setda Kabupaten Pekalongan Ali Reza.

    Pewarta: Teguh Imam Wibowo
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 September 2025

    Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen Nasional 7 September 2025

    Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    DUA
    frase “tanda-tanda zaman” dan “pertobatan nasional” saya petik dari Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo, sebagai respons moral atas amuk massa selama 28-31 Agustus 2025.
    Hari Minggu, 31 Agustus 2025, di tengah panasnya situasi politik Ibu Kota, saya bersama sejumah teman berbincang dengan Kardinal Suharyo.
    Perbincangan tak lepas dari suasana yang penuh kegelisahan. Negeri sedang tak karu-karuan. Amuk massa belum reda.
    Penjarahan terjadi di rumah beberapa anggota DPR dan kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani. Gedung DPRD Makassar dibakar. Gedung Grahadi di Surabaya luluh lantak.
    Apa salah dan dosa Gedung Grahadi? Mengapa tak bisa dicegah? Kantor polisi di berbagai daerah turut jadi sasaran. Tuntutan agar DPR dibubarkan berseliweran di ruang publik.
    Dalam percakapan itu, Kardinal Suharyo berkata lirih, tapi tegas, “Elite seharusnya bisa membaca tanda-tanda zaman”.
    Ia tak menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan “tanda-tanda zaman”. Namun, dalam kesempatan lain, Kardinal menyerukan pertobatan. Sebuah ajakan spiritual yang sarat makna: kesadaran akan kesalahan kolektif, dan dorongan untuk berbalik arah sebelum semuanya terlambat.
    Peristiwa 28-31 Agustus 2025, masih menyimpan kabut tebal. Ada unjuk rasa sebagai ekspresi sumpek rakyat, tapi ada juga “Gerakan 28-31 Agustus 2025” dengan tujuan tertentu yang sistematis.
    Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi juga terjadi unjuk rasa besar, seputar penolakan revisi UU KPK (2019), pemberlakuan UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka jalan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wapres. Namun, dampak dari ketiga unjuk rasa tidak separah seperti sekarang.
    Peristiwa 28-31 Agustus 2025, justru menimbulkan banyak tanya. Pembagian kekuasaan sebenarnya hampir sempurna. Hanya PDIP dan Nasdem yang tak ada dalam kabinet.
    Ormas terbesar sudah berada dalam barisan kekuasaan. Relawan diakomodasi dalam kabinet atau komisaris BUM. Kabinet didukung koalisi super-mayoritas.
    DPR menjadi proksi dari kekuasaan. Kekuasaan sedang menuju otokratisasi sebagaimana kajian
    Varieties of Democracy
    (2024).
    Namun, ada juga pandangan konsolidasi otokratisasi itulah yang menyebabkan disfungsi lembaga pranata demokrasi. Dan, kini konsolidasi otokratisasi mendapatkan perlawanan.
    Situasi 2025, berbeda dengan Peristiwa Malari 1974. Meski berlatarbelakang antimodal asing, Malari 1974 adalah pembelaan warga sipil terhadap demokrasi liberal atas arah demokrasi terpimpin yang dilakukan Presiden Soeharto.
    Sedang pada Agustus 2025, polanya lebih mirip perlawanan warga sipil untuk membela reformasi dalam konteks konsolidasi otokratisasi.
    Spekulasi banyak, analisis berseliweran, narasi bersaing. Namun, di balik semua itu, ada realitas yang hampir pasti bisa dibaca. Sejumlah latar belakang krisis tampak jelas, seperti bara dalam sekam yang lama diabaikan.
    Pertama, akumulasi kekecewaan publik yang menahun. Kesenjangan sosial yang menganga tak tertanggulangi.
    Berdasarkan data Bank Dunia per Juni 2025, ada 194 juta orang miskin di Indonesia. Angka ini tentu bisa diperdebatkan tergantung mistar yang dipakai—Bank Dunia atau BPS—namun rasa lapar tidak bisa disangkal dengan metodologi.
    Pengangguran merajalela. Orang kehilangan pekerjaan, penghasilan menurun, harga-harga naik.
    Dalam siniar saya, Chandra Hamzah dari Forum Warga Negara berkata, “Situasi ini ibarat rumput kering. Tinggal dilempar api.”
    Sayangnya, elite kekuasaan sibuk menyangkal realitas ini. Mereka gagal melihat bahwa ketika harapan publik tidak terpenuhi, dan ketimpangan memburuk, maka benih ledakan sosial sedang ditanam.
    Inilah yang disebut Ted Gurr sebagai
    relative deprivation
    : kemarahan rakyat lahir dari jurang antara ekspektasi dan kenyataan yang makin menjauh.
    Kedua, tata kelola pemerintahan. Pemerintah tampak gamang dan terkesan coba-coba dalam membuat kebijakan.
    Wacana kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen diluncurkan, diprotes publik, lalu dibatalkan.
    Penataan distribusi gas melon 3 kg diusulkan, lalu ditarik. Rencana pemblokiran rekening pasif diumumkan, kemudian diklarifikasi.
    Ada lagi guyonan politik tentang penyitaan tanah mangkrak oleh negara. Wisata Raja Ampat, Papua, dirancang menjadi kawasan tambang nikel.
    Sejarah hendak diluruskan dengan menihilkan tragedi pemerkosaan massal 1998, sebelum akhirnya rencana itu ditunda.
    Bintang Mahaputra diobral. Dana transfer ke daerah dikurangi, menyebabkan pemerintah daerah menaikkan PBB. Meledaklah kasus Pati.
    Semua ini menunjukkan ada masalah besar dalam tata kelola kebijakan publik—termasuk komunikasi politik yang nir-empati, kasar, dan penuh kepercayaan diri berlebihan.
    Pemerintah kurang peka membaca denyut publik, dan tak mampu mengantisipasi letupan di bawah permukaan.
    Dalam kerangka teori
    fragile states
    (Rotberg, 2003), negara seperti ini kehilangan kapasitas dasar untuk merespons kebutuhan rakyat secara adil dan efektif.
    Ketiga, penegakan hukum mengikuti perspektif
    the executive weaponization of law enforcement
    (Thomas Power: 2020).
    Dalam perspektif
    the executive weaponization of law enforcement
    bukan berarti hukum berhenti bekerja sama sekali, melainkan hukum dijalankan secara manipulatif: ditegakkan terhadap lawan, diabaikan terhadap kawan.
    Putusan MK yang mengubah persyaratan calon wapres, tidak dieksekusinya terpidana dan malah dianugerahi jabatan komisaris, mempertontonkan bagaimana penegakan hukum negeri ini.
    Desakan RUU Perampasan Aset harus ditempatkan dalam konstruksi Indonesia adalah negata hukum.
    Keempat, disfungsi institusi demokrasi. Partai politik kian terasing dari rakyat. Mereka menjelma menjadi kartel politik, sibuk mendekatkan diri ke kekuasaan, bukan memperjuangkan aspirasi konstituen.
    DPR tidak lebih dari proksi kekuasaan eksekutif. Ketua umum partai duduk di kabinet dan semua fraksi berbaur dalam koalisi super mayoritas.
    Lembaga legislatif kehilangan daya kritis dan empati. Bayangkan: di tengah penderitaan rakyat, DPR malah menaikkan tunjangan anggotanya dan berjoget-joget dalam Sidang Tahunan MPR.
    Komunikasi publik mereka
    clometan
    , pongah, dan menyakiti rakyat. Dewan Perwakilan Daerah nyaris tak bersuara. Maka rakyat mencari jalannya sendiri.
    Kelima, organisasi masyarakat sipil gagal menjalankan perannya sebagai
    psychological striking force
    atau kekuatan moral yang ampuh sebagaimana pernah diutarakan Nurcholis Madjid dan diulang Usman Hamid.
    Dalam posisi terkooptasi kekuasaan, organisasi masyarakat sipil sangat melemah posisi tawarnya terhadap absolutisme kekuasaan karena terikat konsesi ekonomi.
    Keenam, teknologi digital dan media sosial mempercepat eskalasi konflik. Dalam suasana kacau, informasi menyebar secara
    real-time

    Namun, bukan hanya kebenaran yang tersebar, tapi juga opini-opini sintetis yang diproduksi oleh pasukan siber.
    Operasi pengaruh ini dijalankan secara sistematis oleh elite politik. Dalam situasi ini, suara publik yang asli justru tenggelam di tengah gelombang manipulasi.
    Inilah yang disebut
    manufactured consent
    —persetujuan publik dibentuk bukan lewat deliberasi rasional, melainkan melalui rekayasa algoritma dan opini sintesis.
    Ketujuh, terjadinya persaingan elite. Seperti dalam Peristiwa Malari 1974 dan Mei 1998, konflik horizontal di masyarakat sering kali dipicu konflik di kalangan elite.
    Dalam waktu 36 jam sejak tewasnya Affan Kurniawan, negeri seperti tanpa kendali. Polisi tak muncul karena mengalami demoralisasi luar biasa setelah meninggalnya Affan.
    TNI belum bisa bergerak karena belum diminta. Penjarahan terjadi. Media sosial menjadi panggung utama. Negara absen.
    Akibat dari semua ini sangat dalam. Sepuluh orang tewas. Banyak yang ditangkap. Polisi luka-luka. Kompol Cosmas yang berada dalam rantis Brimob dipecat. Katanya, dia hanya menjalankan perintah.
    Fasilitas umum dibakar. Gedung DPR dan kantor polisi—dua simbol supremasi sipil—dihancurkan rakyat.
    Pesannya jelas: simbol negara kehilangan legitimasi di mata publik. Presiden Prabowo Subianto menuding ada makar dan terorisme.
    Apa yang bisa dilakukan? Di berbagai forum, tuntutan rakyat mulai terdengar. Ada suara dari Forum Warga Negara, imbauan dari Gerakan Nurani Bangsa, seruan dari Aliansi Akademisi, juga gelombang mahasiswa. Semua menyuarakan hal serupa.
    Pertama, latar belakang peristiwa 28–31 Agustus, harus diungkap tuntas. Jangan biarkan ruang publik dipenuhi spekulasi soal makar, terorisme, atau faksionalisasi elite.
    Kedua, dibutuhkan reformasi menyeluruh—terhadap kepolisian, DPR, partai politik, dan kebijakan negara.
    Ketiga, reformasi peradilan menjadi keniscayaan. Kardinal Suharyo merangkumnya secara jernih: “Pertobatan di semua cabang kekuasaan.”
    Namun, bagaimana mungkin reformasi dijalankan oleh aktor-aktor yang justru menjadi bagian dari masalah?
    Dalam kondisi
    low trust society
    , kepercayaan publik tak mungkin pulih lewat manuver elite lama. Dibutuhkan satu struktur baru: semacam Komite Independen atau apapun namanya.
    Komite yang berisi tokoh independen dengan integritas tinggi dan rekam jejak tak tercela. Orang yang tak punya beban politik, dan bisa menjadi penjaga moral sekaligus pemandu arah reformasi untuk memperbaiki republik yang sedang sakit.
    Namun untuk terbentuk, inisiatif ini butuh legitimasi. Dan hanya satu pihak yang saat ini memiliki otoritas untuk menginisiasi: Presiden Prabowo Subianto.
    Pertanyaannya: apakah Presiden Prabowo membaca tanda-tanda zaman? Mengutip Sukidi Mulyadi dalam acara
    Satu Meja The Forum
    , “Presiden terisolasi dengan realitas di Indonesia.”
    Jakob Oetama, pendiri
    Kompas
    , dalam banyak perjumpaan pribadi pernah berpesan, “Jaga negeri ini, jangan sampai
    mrucut
    .”
    “Mrucut” dalam pemahaman orang Jawa adalah tergelincir dari jalur yang seharusnya. Bukan sekadar salah arah, tapi kehilangan arah. Kehilangan etika, kehilangan hati nurani, kehilangan jati diri.
    Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Atau “mrucut” ke arah otoritarianisme atau malah sebagaimana dikhawatirkan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid dalam Haul Nucholish Madjid, masuk dalam tahap fasisme.
    Hari ini, ancaman “mrucut” itu nyata. Demokrasi kita menjauh dari substansinya. Keadilan hanya tinggal kata. Simbol negara tak lagi dimuliakan. Kepercayaan rakyat menguap.
    Namun, sejarah bangsa tidak harus berakhir dengan kehancuran. Tanda zaman bukan hanya isyarat murka, tapi juga panggilan untuk bangkit.
    Dari reruntuhan kepercayaan, selalu bisa tumbuh tunas perbaikan. Dari amarah yang meledak, selalu bisa lahir kesadaran kolektif untuk berubah. Kuncinya pada masyarakat sipil!
    Kuncinya: keberanian elite untuk mendengar. Kerendahan hati untuk bertobat. Dan kemauan untuk menyerahkan agenda reformasi pada yang lebih layak, lebih bersih, lebih jernih.
    Sebab hanya dengan keberanian itu, bangsa ini bisa kembali menemukan pijakan—dan berjalan tegak menatap masa depan. Bukan dalam “mrucut”, tapi dalam “waskita”. Dalam kebijaksanaan membaca zaman.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kerusakan Fasilitas Publik saat Demonstrasi adalah Cermin Kerapuhan Relasi Negara dan Warga

    Kerusakan Fasilitas Publik saat Demonstrasi adalah Cermin Kerapuhan Relasi Negara dan Warga

    JAKARTA – Fasilitas publik, termasuk halte, jembatan penyeberangan orang (JPO) kerap menjadi simbol frustrasi dan ruang pelampiasan.

    Aksi demonstrasi di depan Gedung DPR dimulai pada Senin (25/8/2025). Namun aksi tersebut berlanjut hingga akhir Agustus dan meluas ke berbagai wilayah di Indonesia.

    Insiden tragis yang menewaskan Affan Kurniawan, pengemudi ojek online (ojol) di Jakarta, memicu kemarahan publik. Ia mengembuskan napas terakhirnya setelah dilindas kendaraan taktis Brimob di tengah kericuhan aksi pada Jumat (29/8) malam.

    Dengan cepat peristiwa ini tersebar luas di media sosial sehingga memantik amarah publik. Aksi demonstrasi pun menjalar ke berbagai wilayah seperti Solo, Bandung, Mataram, Makassar, dan kota-kota lainnya. Banyak yang berubah menjadi kerusuhan dan fasilitas umum menjadi sasaran.

    Bus Transjakarta melintas di dekat Halte Senayan Bank DKI yang rusak di Jakarta, Selasa (2/9/2025). (ANTARA/Sulthony Hasanuddin/YU)

    “Fasilitas publik menjadi simbol frustasi dan ruang pelampiasan, serta cerminan rapuhnya relasi antara negara dan warga. Bukan karena disanalah akar masalahnya, tetapi karena hanya itu yang bisa dilihat, disentuh, dan dirusak,” pemerhati transportasi Muhamad Akbar, dalam keterangan yang diterima VOI.

    Ruang Paling Dekat Menyalurkan Kecewa

    Menghapus tunjangan anggota DPR, termasuk tunjangan perumahan yang nilainya Rp50 juta per bulan, menjadi salah satu tuntutan rakyat. Namun aksi yang awalnya berjalan damai berubah menjadi rusuh karena tuntutan mereka tidak didengar. Alih-alih mengajak berdialog, pemerintah melalui kepolisian, justru merespons tuntutan ini dengan tindakan represif.

    Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai kekecewaan rakyat memuncak karena banyak kebijakan yang tidak pro rakyat. Belum lagi perilaku penyelenggara negara yang dinilai oleh publik tidak tepat di tengah situasi dan kondisi Indonesia yang tidak baik-baik saja.

    Di tengah rasa frustrasi lantaran aspirasi rakyat diabaikan, aksi demonstrasi pun berubah menjadi kerusuhan. Ironisnya, fasilitas umum menjadi sasaran publik.

    Pemerhati transportasi Muhamad Akbar menyebut ini bukan kali pertama terjadi. Tahun 1998, 2019, 2020, dan kini 2025, setiap letupan sosial besar selalu meninggalkan jejak di halte, JPO, atau fasilitas umum lainnya. Pola ini terus berulang. Fasilitas publik menjadi simbol frustrasi dan ruang pelampiasan, serta cerminan rapuhnya relasi antara negara dan warga. Bukan karena disanalah akar masalahnya, tetapi karena hanya itu yang bisa dilihat, disentuh, dan dirusak.

    Gubernur Pramono Anung bersama Forkopimda Provinsi Jakarta di Balai Kota Jakarta, Senin 1 September 2025 (VOI/Diah Ayu Wardani)

    Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatat sebanyak 22 halte Transjakarta, baik yang berada dalam koridor (BRT) maupun non-BRT terdampak. Enam halte di antaranya dibakar massa, sementara 16 halte rusak akibat aksi vandalisme.

    Gubernur Jakarta Pramono Anung mengungkapkan, total kerugian akibat perusakan fasilitas publik mencapai Rp51 miliar, sebagaimana ia sampaikan usai menjalani rapat koordinasi bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) DKI Jakarta.

    Fasilitas umum, seperti halted dan JPO sering menjadi sasaran di setiap ledakan amarah sosial. Akbar menuturkan, hal ini terjadi karena halte dan JPO adalah representasi negara yang paling kasatmata, mudah dijangkau, tersebar di jalan-jalan utama, tapi minim penjagaan.

    Tak seperti gedung pemerintah atau markas kepolisian yang dilindungi ketat, halte berdiri tanpa pagar, tanpa pagar kawat berduri, tanpa aparat bersenjata.

    “Ketika kemarahan massa menggelegak, halte jadi simbol yang paling mudah dimasuki, mudah dirusak, dan penuh makna. Ia menjadi ruang paling dekat untuk menyalurkan kecewa yang tak tersampaikan,” jelas Akbar.

    Dalam psikologi sosial, kemarahan yang tidak dapat dilampiaskan langsung kepada sasaran utama, kerap mencari pelampiasan yang lebih dekat dan lebih lemah. Fasilitas umum seperti halte, JPO, atau gerbang tol menjadi “sasaran empuk” ketika gedung DPR atau kantor kementerian tak terjangkau. Di tengah kerumunan yang panas dan penuh emosi, simbol pelayanan publik bisa berubah menjadi objek protes tanpa arah.

    Publikasi Lewat Kerusakan

    Akbar mengakui, dalam banyak kasus, kerusuhan tidak selalu berasal dari demonstran, melainkan unsur luar yang menyusup untuk memperkeruh situasi. Provokator sengaja memicu kekacauan demi membelokkan pesan aksi damai.

    Di sisi lain, kerusuhan ada dibuat oleh kelompok penjarah yang memanfaatkan momen untuk menjarah di tengah kekacauan. Tujuannya bukan aspirasi, tapi oportunisme. Ini adalah cara cepat dan brutal untuk menyampaikan bahwa relasi antara negara dan warganya sedang terganggu.

    “Visual halte yang terbakar dan jembatan yang rusak menciptakan kesan dramatis. Mudah viral, cepat menyebar. Sorotan media meningkat, dan isu yang diperjuangkan—meski lewat cara negatif—menjadi perbincangan publik. Bagi sebagian pihak, ini adalah mencari publikasi lewat kerusakan,” lanjutnya.

    Ke depannya, Muhamad Akbar mendorong agar halte tidak sekadar struktur fisik yang indah, tapi juga menjadi ruang publik yang kuat secara sosial dan tanggung menghadapi risiko.

    Sejumlah halte Transjakarta memang didesain cantik, futuristik, dan Instagramable. Namun secara teknis belum siap untuk menghadapi risiko kerusuhan, padahal sudah berulang kali halte menjadi sasaran.

    Warga berjalan di samping Halte Bus Trans-Jakarta Bundaran HI yang hangus dibakar pengunjuk rasa penolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja di Jalan MH. Thamrin, Jakarta, Kamis (8/10/2020). (ANTARA /Aditya Pradana Putra)

    Karena itu, dikatakan Akbar, perlu evaluasi serius terhadap desain halte dan fasilitas publik lainnya. Infrastruktur kota tidak hanya perlu indah, tapi juga tangguh menghadapi situasi darurat.

    “Solusinya bukan sekadar mengganti kaca dengan besi. Halte bisa didesain modular – mudah diganti, tahan api, dan anti-vandal. Kamera pengawas tersembunyi, pengamanan berbasis komunitas, serta keterlibatan warga sekitar sangat penting. Ketahanan bukan hanya urusan material, tapi juga urusan relasi sosial. Ketika warga merasa memiliki, mereka juga akan menjaga,” tegasnya.

    “Merawat halte adalah tanggung jawab kita bersama. Dari halte, kita bisa mulai membangun ulang kepercayaan yang retak—antara warga, ruang publik, dan negara,” kata Akbar menyudahi.

    Disclaimer:

    Pemberitaan ini untuk kepentingan informasi publik, agar hak masyarakat untuk tahu tetap terjaga. Redaksi VOI menolak kekerasan/perusakan/pembakaran/penjarahan, karena bangsa ini hanya akan kuat jika kita setia melindungi sesama, merawat fasilitas umum, dan menjaga dunia usaha tetap berjalan agar ekonomi tak makin terpuruk. Tetap tenang, jangan terprovokasi, jadikan negeri ini rumah aman buat kita semua, dan utamakan sumber informasi yang kredibel.

  • ​DPR Bentuk Tim Kerja Tindaklanjuti Tuntutan Publik 17+8

    ​DPR Bentuk Tim Kerja Tindaklanjuti Tuntutan Publik 17+8

    Jakarta: Wakil Ketua DPR RI Saan Mustopa menegaskan bahwa DPR tidak hanya mendengar, tetapi juga akan menindaklanjuti aspirasi publik yang dikenal dengan “tuntutan 17+8” melalui pembentukan tim kerja khusus. 

    Hal itu ia sampaikan dalam konferensi pers pimpinan DPR usai rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat malam, 5 September 2025.

    “Pimpinan DPR memutuskan membentuk tim kerja yang melibatkan fraksi-fraksi, alat kelengkapan dewan, serta membuka ruang komunikasi dengan publik untuk membahas tuntutan 17+8 secara transparan,” kata Saan Mustopa, Jumat, 5 September 2025.

    Menurut Saan, DPR ingin memastikan bahwa aspirasi yang sudah disuarakan publik tidak berhenti hanya pada catatan rapat. 

    “Kami tidak ingin tuntutan ini hanya terdokumentasi di notulen. DPR berkomitmen menindaklanjuti secara nyata melalui mekanisme kelembagaan. Hasil kerja tim nantinya juga akan dilaporkan secara berkala kepada masyarakat agar prosesnya bisa dikawal bersama,” ujarnya.

    Ia menambahkan, langkah ini juga merupakan tindak lanjut dari rapat konsultasi pimpinan DPR bersama organisasi mahasiswa pada 3 September lalu. 

    Dalam rapat tersebut, sejumlah elemen mahasiswa menyerahkan dokumen resmi berisi 17 tuntutan pokok dan 8 tuntutan tambahan. 

    “Aspirasi itu sudah kami terima langsung pada 3 September. Hari ini kami tegaskan bahwa semuanya menjadi bahan kerja DPR melalui tim khusus yang akan dibentuk,” ucap Saan.

    Wakil Ketua DPR lainnya, Sufmi Dasco Ahmad dan Cucun Ahmad Syamsurijal, yang juga hadir dalam konferensi pers malam ini juga sepakat bahwa DPR menghargai setiap aspirasi rakyat, baik yang disampaikan melalui forum dialog maupun aksi unjuk rasa. 

    Dasco menegaskan, DPR akan menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran sesuai kehendak rakyat.
     

    Keputusan pimpinan DPR
    – Membentuk tim kerja DPR untuk menindaklanjuti tuntutan publik 17+8.
    – Menugaskan Badan Legislasi (Baleg) dan komisi terkait menginventarisasi poin tuntutan terkait legislasi.
    – Menyampaikan hasil kerja tim secara berkala kepada publik.
    – Menjaga transparansi serta akuntabilitas dalam setiap proses pembahasan kebijakan.
    Isi Tuntutan Publik 17+8
    17 Tuntutan Pokok:

    Menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
    Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP.
    Mendesak pengesahan RUU PPRT.
    Mendorong perbaikan sistem pendidikan nasional.
    Menuntut jaminan kesehatan publik yang adil.
    Menolak kenaikan harga BBM subsidi.
    Mendesak penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
    Menolak revisi UU KPK yang melemahkan pemberantasan korupsi.
    Mendorong pembatalan pasal bermasalah dalam UU IKN.
    Mendesak penurunan harga kebutuhan pokok.
    Menolak kriminalisasi aktivis dan mahasiswa.
    Mendorong perlindungan pekerja migran.
    Mendesak keberpihakan pada petani dan nelayan.
    Menuntut penghentian proyek tambang bermasalah.
    Meminta keterbukaan data utang negara.
    Mendesak kebijakan afirmatif untuk kelompok rentan.
    Menuntut komitmen DPR dalam menjaga demokrasi.

    8 Tuntutan Tambahan:

    Revisi UU Omnibus Law Cipta Kerja.
    Penguatan kebijakan energi terbarukan.
    Penolakan komersialisasi pendidikan tinggi.
    Penghapusan pasal karet dalam UU ITE.
    Peningkatan anggaran riset dan inovasi.
    Penguatan regulasi perlindungan lingkungan.
    Penyelesaian konflik agraria.
    Penegasan netralitas aparat TNI-Polri dalam politik.

    Jakarta: Wakil Ketua DPR RI Saan Mustopa menegaskan bahwa DPR tidak hanya mendengar, tetapi juga akan menindaklanjuti aspirasi publik yang dikenal dengan “tuntutan 17+8” melalui pembentukan tim kerja khusus. 
     
    Hal itu ia sampaikan dalam konferensi pers pimpinan DPR usai rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat malam, 5 September 2025.
     
    “Pimpinan DPR memutuskan membentuk tim kerja yang melibatkan fraksi-fraksi, alat kelengkapan dewan, serta membuka ruang komunikasi dengan publik untuk membahas tuntutan 17+8 secara transparan,” kata Saan Mustopa, Jumat, 5 September 2025.

    Menurut Saan, DPR ingin memastikan bahwa aspirasi yang sudah disuarakan publik tidak berhenti hanya pada catatan rapat. 
     
    “Kami tidak ingin tuntutan ini hanya terdokumentasi di notulen. DPR berkomitmen menindaklanjuti secara nyata melalui mekanisme kelembagaan. Hasil kerja tim nantinya juga akan dilaporkan secara berkala kepada masyarakat agar prosesnya bisa dikawal bersama,” ujarnya.
     
    Ia menambahkan, langkah ini juga merupakan tindak lanjut dari rapat konsultasi pimpinan DPR bersama organisasi mahasiswa pada 3 September lalu. 
     
    Dalam rapat tersebut, sejumlah elemen mahasiswa menyerahkan dokumen resmi berisi 17 tuntutan pokok dan 8 tuntutan tambahan. 
     
    “Aspirasi itu sudah kami terima langsung pada 3 September. Hari ini kami tegaskan bahwa semuanya menjadi bahan kerja DPR melalui tim khusus yang akan dibentuk,” ucap Saan.
     
    Wakil Ketua DPR lainnya, Sufmi Dasco Ahmad dan Cucun Ahmad Syamsurijal, yang juga hadir dalam konferensi pers malam ini juga sepakat bahwa DPR menghargai setiap aspirasi rakyat, baik yang disampaikan melalui forum dialog maupun aksi unjuk rasa. 
     
    Dasco menegaskan, DPR akan menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran sesuai kehendak rakyat.
     

    Keputusan pimpinan DPR
    – Membentuk tim kerja DPR untuk menindaklanjuti tuntutan publik 17+8.
    – Menugaskan Badan Legislasi (Baleg) dan komisi terkait menginventarisasi poin tuntutan terkait legislasi.
    – Menyampaikan hasil kerja tim secara berkala kepada publik.
    – Menjaga transparansi serta akuntabilitas dalam setiap proses pembahasan kebijakan.
    Isi Tuntutan Publik 17+8
    17 Tuntutan Pokok:

    Menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
    Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP.
    Mendesak pengesahan RUU PPRT.
    Mendorong perbaikan sistem pendidikan nasional.
    Menuntut jaminan kesehatan publik yang adil.
    Menolak kenaikan harga BBM subsidi.
    Mendesak penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
    Menolak revisi UU KPK yang melemahkan pemberantasan korupsi.
    Mendorong pembatalan pasal bermasalah dalam UU IKN.
    Mendesak penurunan harga kebutuhan pokok.
    Menolak kriminalisasi aktivis dan mahasiswa.
    Mendorong perlindungan pekerja migran.
    Mendesak keberpihakan pada petani dan nelayan.
    Menuntut penghentian proyek tambang bermasalah.
    Meminta keterbukaan data utang negara.
    Mendesak kebijakan afirmatif untuk kelompok rentan.
    Menuntut komitmen DPR dalam menjaga demokrasi.

    8 Tuntutan Tambahan:

    Revisi UU Omnibus Law Cipta Kerja.
    Penguatan kebijakan energi terbarukan.
    Penolakan komersialisasi pendidikan tinggi.
    Penghapusan pasal karet dalam UU ITE.
    Peningkatan anggaran riset dan inovasi.
    Penguatan regulasi perlindungan lingkungan.
    Penyelesaian konflik agraria.
    Penegasan netralitas aparat TNI-Polri dalam politik.

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News

    (ANN)

  • Ojol Tercekik Diskon Aplikator, Senator Lia Singgung Omnibus Law dan Minta Komdigi Tegas

    Ojol Tercekik Diskon Aplikator, Senator Lia Singgung Omnibus Law dan Minta Komdigi Tegas

    Surabaya (beritajatim.com) – Persoalan potongan tarif aplikator masih menjadi atensi publik. Bahkan, hal ini dianggap belum menemukan titik temu aturan yang adil sekalipun Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) secara gamblang telah menyoroti aturan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang dinilai membuat aplikator seperti Gojek, Grab, Maxim hingga inDrive bisa mengenakan potongan kepada mitra pengemudi ojol dan kurir hingga 70 persen dari pengantaran makanan dan barang.

    “Kami mendapatkan potongan platform hingga 70 persen, di saat pengemudi ojol hanya mendapatkan Rp 5.200 untuk pengantaran makanan, padahal konsumen membayar Rp 18 ribu kepada platform,” kata Ketua SPAI Lily Pujiati dalam keterangan persnya.

    Di satu sisi, pengemudi ojol, taksi online, dan kurir harus menanggung berbagai biaya operasional sehari-hari seperti bensin, parkir, pulsa, paket data, servis kendaraan, penggantian spare parts, cicilan handphone maupun kendaraan dan biaya lainnya.

    Tak ayal, gelombang keluhan dari pengemudi ojek online (ojol) terus mengemuka di berbagai wilayah.

    Hal ini menjadi sorotan senator Jawa Timur yang selama ini kerap vokal menyuarakan isu-isu sosial. Adalah Lia Istifhama, yang kedapatan menerima audiensi Komunitas Frontal (Front Driver Online Tolak Aplikator Nakal) Jawa Timur di Kantor DPD RI.

    Dalam kesempatan itu, Anggota DPD RI tersebut mendengarkan langsung curahan hati para driver tentang praktik aplikator yang dinilai semena-mena dan menekan penghasilan mereka.

    Para driver mengaku kian tercekik akibat kebijakan diskon besar-besaran dari aplikator. Program promo tersebut membuat tarif anjlok, bahkan menyalahi aturan batas bawah yang telah ditetapkan pemerintah.

    “Norma standar prosedur belum jelas, sanksi dan sistem suspend juga sering memberatkan mitra driver. Banyak keberatan yang disuarakan, tapi aplikator seolah jalan sendiri tanpa kontrol,” ungkap Richo Suroso, Ketua Komunitas Frontal Jatim.

    Keluhan serupa datang dari driver roda empat dan driver barang. Untuk roda empat, tarif seharusnya Rp3.800 per kilometer, namun aplikator tidak mematuhi aturan. Bahkan, pada sektor pengiriman barang, tarif bisa di bawah Rp50 ribu meski sudah memperhitungkan BBM, tenaga, dan waktu kerja.

    “Kami sudah tiga bulan menuntut penyesuaian tarif, tapi aplikator tetap cuek. Ini membuat driver tercekik dan seolah dipermainkan,” tambah Riko.

    Para pengemudi sebenarnya sudah memiliki payung hukum di tingkat daerah. Pada 10 Juli 2023, Gubernur Jawa Timur saat itu, Khofifah Indar Parawansa, menandatangani dua Keputusan Gubernur (Kepgub). Pertama, Kepgub Nomor 188/291/KPTS/013/2023 tentang pelaksanaan pengawasan biaya jasa penggunaan sepeda motor untuk kepentingan masyarakat melalui aplikasi. Kedua, aturan teknis lanjutan yang mengatur pengawasan tarif agar aplikator tidak seenaknya memberikan promo.

    Kebijakan serupa juga muncul di provinsi lain, seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, yang secara tegas meminta penghentian program promosi aplikator karena dianggap merugikan mitra pengemudi.

    “Kami mengapresiasi langkah Gubernur Jawa Timur dan provinsi lain yang melindungi driver. Tapi masalahnya provinsi atau daerah tidak punya kewenangan untuk memblokir aplikator nakal seenaknya. Pemerintah Pusat, yaitu Komdigi, tidak memiliki sanksi tegas pemblokiran,” tegas Riko.

    Menanggapi keluhan itu, Ning Lia mendesak Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk turun tangan. Menurutnya, Dishub maupun pemerintah daerah punya keterbatasan kewenangan, sehingga peran Komdigi sangat penting dalam memberi tekanan pada aplikator nakal.

    Perempuan yang sebelumnya dikenal sebagai aktivis sosial tersebut, menyinggung implementasi Omnibus Law atau Undang-undang Cipta Kerja.

    “Kita harus akui, setiap kebijakan pasti memiliki dampak atau impact beragam. Omnibus law salah satunya, ada pasal-pasal yang menempatkan potensi presiden mengambil alih kewenangan yang sebelumnya milik pemda. Tepatnya, pasal 174 Omnibus Law UU Cipta Kerja yang menambahkan satu aturan soal hubungan pemerintah pusat dan daerah. Pasal ini mengatur kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai bagian dari kewenangan presiden,” imbuhnya.

    “Selain itu, Omnibus Law memberi wewenang ekstra bagi pemerintah pusat dalam urusan perizinan. Yah, saya kira banyak hal yang memang harus dikaji bersama. Terlebih saat ini kita Revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) masuk dalam daftar RUU prioritas Program Legislasi Nasional tahun 2025. Maka semoga Revisi UU Pemda termasuk solusi keadilan skema tarif ojol pengantaran barang dan makanan,” tegasnya.

    Ning Lia juga menekankan harapan agar Komdigi segera membuat aturan sanksi aplikator nakal.

    “Saya kira, tidak ada kata lain selain Komdigi menunjukkan negara hadir, yaitu segeralah membuat aturan sanksi bagi aplikator nakal. Saya kira, Bapak Presiden Prabowo Subianto sangat aspiratif dan berhasil membangun hubungan interpersonal, maka sekarang tinggal Kementerian terkait agar persoalan tarif ojol pengantaran barang dan makanan ini, tidak berlarut-larut, melainkan para teman-teman ojol bisa segera merasakan keadilan kebijakan,” pungkasnya. [tok/aje]

  • Kapten Kapal Wisata di Labuan Bajo Raup Keuntungan Rp 1,5 Miliar dari Penimbunan Ratusan Liter BBM Subsidi
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        3 September 2025

    Kapten Kapal Wisata di Labuan Bajo Raup Keuntungan Rp 1,5 Miliar dari Penimbunan Ratusan Liter BBM Subsidi Regional 3 September 2025

    Kapten Kapal Wisata di Labuan Bajo Raup Keuntungan Rp 1,5 Miliar dari Penimbunan Ratusan Liter BBM Subsidi
    Tim Redaksi
    LABUAN BAJO, KOMPAS.com
    – Kapten dan kepala kamar mesin kapal wisata di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, terlibat dalam praktik penimbunan bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Mereka meraup keuntungan mencapai Rp 1,5 miliar.
    Direktur Kriminal Khusus Polda NTT, Kombes Pol Hans R Irawan, menjelaskan bahwa kasus ini terungkap setelah pihaknya menerima laporan mengenai adanya transaksi ilegal BBM di wilayah perairan Labuan Bajo.
    Penyelidikan kemudian mengarah pada kapal Self Propelled Oil Barge (SPOB) Sisar Matiti yang dicurigai mengangkut solar bersubsidi.
    Pada 2 Agustus 2025, tim Ditreskrimsus melakukan penindakan dan mengamankan kapal tersebut.
    Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya BBM jenis biosolar sebanyak 180.000 liter di dalam kapal. Seharusnya terdapat 220.000 liter.
    Ini berarti sekitar 40.000 liter telah dijual secara ilegal selama periode Maret hingga Juni 2025.
    “Dari hasil penjualan tersebut, diperkirakan nilai keuntungan yang diperoleh mencapai sekitar Rp 1,8 miliar.”
    “BBM ini dijual dengan harga antara Rp 16.000 hingga Rp 18.000 per liter kepada kapal-kapal pinisi di perairan Labuan Bajo,” ujar Hans dalam keterangan tertulis yang diterima Rabu sore.
    Hans menambahkan bahwa polisi telah menetapkan dua tersangka, yaitu kapten kapal berinisial HK (34) dan SF (25) sebagai kepala kamar mesin (KKM).
    Keduanya terbukti mengetahui dan terlibat aktif dalam pengisian serta penjualan BBM bersubsidi tersebut.
    Selain menyita ribuan liter biosolar, pihak kepolisian juga mengamankan barang bukti berupa satu unit kapal SPOB, dokumen kapal, serta sejumlah rekening yang diduga digunakan untuk transaksi aliran dana hasil penjualan BBM ilegal.
    “Dari hasil pemeriksaan terhadap 15 saksi dan uji laboratorium, dipastikan bahwa BBM yang diamankan adalah jenis biosolar bersubsidi.”
    “Modus yang digunakan adalah menjual BBM kepada kapal-kapal pinisi di perairan Labuan Bajo sebanyak 21 kali transaksi,” ungkap Hans.
    Kapolda NTT, Irjen Pol Dr Rudi Darmoko, menegaskan bahwa kasus ini menunjukkan keseriusan jajaran Polda NTT dalam menindak tegas oknum-oknum yang berusaha mencari keuntungan pribadi dengan cara melawan hukum.
    “Pengungkapan ini merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Polda NTT berkomitmen menjaga agar BBM bersubsidi tepat sasaran, sekaligus memastikan tidak ada ruang bagi pihak yang mencoba menyalahgunakannya,” tegasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.