Topik: Cipta Kerja

  • Apindo: Putusan MK Tentang UU Cipta Kerja Picu Ketidakpastian Usaha

    Apindo: Putusan MK Tentang UU Cipta Kerja Picu Ketidakpastian Usaha

    Jakarta, Beritasatu.com –  Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja akan memberikan ketidakpastian ke iklim investasi di Tanah Air. 

    Pasalnnya, keputusan ini membatalkan sejumlah ketentuan penting UU Cipta Kerja.

    Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam mengatakan, putusan MK dapat memicu ketidakpastian regulasi yang berdampak pada iklim investasi. Padahal, kepastian hukum adalah faktor kunci bagi pelaku usaha dan investor dalam membuat perencanaan jangka panjang.

    “Tanpa kepastian ini, Indonesia berisiko menurunkan daya tarik sebagai tujuan investasi, yang pada gilirannya memperlambat aliran modal baru dan bahkan memengaruhi ketahanan investasi yang sudah ada,” kata Bob dalam keterangan resmi yang diterima pada Jumat (1/11/2024).

    Dia mengatakan, perubahan 21 pasal yang diputuskan MK ini akan membuat dunia usaha mengukur kembali dampak terhadap perencanaan perusahaan ke depan, terutama yang berpotensi meningkatkan beban operasional.  Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, peningkatan biaya berdampak pada kemampuan perusahaan menjaga daya saing.

    “Beban operasional tinggi akan menekan produksi, terutama di sektor padat karya, seperti manufaktur yang memekerjakan tenaga kerja dalam jumlah besar dan sensitif terhadap perubahan biaya tenaga kerja,” kata dia.

    Bob menegaskan, agar Indonesia tidak kehilangan momentum menarik industri manufaktur dan padat karya, perlu memperkuat iklim investasi baik mengingat negara-negara tetangga di ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, telah lebih dahulu menarik investasi global.

    “Bahkan, negara-negara yang sebelumnya tertinggal, seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar mulai menawarkan fleksibilitas ketenagakerjaan dan kebijakan yang ramah investasi,” tegas Bob.

    Lebih lanjut, Apindo akan mengkaji putusan MK terutama kebijakan yang berdampak di klaster ketenagakerjaan. 

    Mengenai proses penetapan upah minimum 2025 yang sudah diambang pintu, Apindo berharap agar proses penetapan upah minimum tetap mengikuti ketentuan yang ada sebelum terbitnya putusan MK Nomor 168/PUU-XX1/2023 tanggal 31 Oktober 2024.

    “Hal ini mengingat kerumitan akan terjadi di seluruh daerah bahkan di perusahaan apabila putusan MK terkait tentang upah minimum langsung diberlakukan dan menjadi acuan penetapan upah minimum 2025,” pungkas Bob.

    Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (31/10/2204) mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan sejumlah pemohon lain terkait Undang-Undang Cipta Kerja. MK pun mengabulkan gugatan terhadap 21 pasal.

    Sejumlah hal yang berubah berdasarkan putusan MK adalah  perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maksimal 5 tahun dari sebelumnya tidak adanya syarat jangka waktu PKWT. Selain itu, MK menyatakan tenaga kerja berhak mendapat penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.

    MK memasukkan makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua sebagai unsur upah. MK menyatakan tenaga kerja asing masih bisa bekerja di Indonesia, tetapi pemberi kerja harus mengutamakan tenaga kerja Indonesia.

    MK juga memperketat proses pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama jika terdapat proses perundingan bipartit. Jika tak mencapai kesepakatan antara pekerja dan pengusaha, MK menyatakan PHK hanya dapat dilakukan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dari lembaga berwenang.

    MK juga memperjelas persoalan nilai minimal pesangon dalam putusannya.

  • Tindaklanjuti Putusan MK Tentang UU Cipta Kerja, Kemenaker Ajak Dialog Buruh dan Pengusaha

    Tindaklanjuti Putusan MK Tentang UU Cipta Kerja, Kemenaker Ajak Dialog Buruh dan Pengusaha

    Jakarta, Beritasatu.com – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan perkara judicial review Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang.

    Kemenaker akan mengajak berdialog buruh dan pengusaha merespons putusan MK soal UU Cipta Kerja.

    “Sebagai negara hukum, pemerintah tunduk dan patuh atas putusan MK. Pemerintah juga segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menindaklanjuti putusan tersebut,” ucap Menteri Ketenagakerjaan Yassierli dalam keterangan resmi yang diterima pada Jumat (1/11/2024).

    Kemenaker akan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga (K/L) dan mengajak serikat pekerja/serikat buruh, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, serta para pemangku kepentingan lainnya untuk berdialog menindaklanjuti putusan MK.

    “Kemenaker akan menggunakan forum-forum dialog baik melalui lembaga kerja sama tripartit, Dewan Pengupahan Nasional, maupun forum dialog lainnya,” ucap Menaker.

    Pemerintah memastikan adanya peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh serta keberlangsungan usaha. Dia juga mengajak seluruh pemangku kepentingan ketenagakerjaan mengambil bagian menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan.

    “Persoalan ketenagakerjaan tidak hanya pekerja/buruh yang sedang aktif bekerja, tetapi juga penciptaan lapangan kerja lebih luas untuk menampung angkatan kerja baru dan perlindungan pekerja yang rentan terkena PHK (pemutusan hubungan kerja),” terang dia.

    Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (31/10/2204) mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan sejumlah pemohon lain terkait Undang-Undang Cipta Kerja. MK pun mengabulkan gugatan terhadap 21 pasal.

    Sejumlah hal yang berubah berdasarkan putusan MK adalah  perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maksimal 5 tahun dari sebelumnya tidak adanya syarat jangka waktu PKWT. Selain itu, MK menyatakan tenaga kerja berhak mendapat penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.

    MK memasukkan makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua sebagai unsur upah. MK menyatakan tenaga kerja asing masih bisa bekerja di Indonesia, tetapi pemberi kerja harus mengutamakan tenaga kerja Indonesia.

    MK juga memperketat proses pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama jika terdapat proses perundingan bipartit. Jika tak mencapai kesepakatan antara pekerja dan pengusaha, MK menyatakan PHK hanya dapat dilakukan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dari lembaga berwenang.

    MK juga memperjelas persoalan nilai minimal pesangon dalam putusannya.

  • Airlangga Pastikan Pemerintah Jalankan Putusan MK Tentang Undang-Undang Cipta Kerja

    Airlangga Pastikan Pemerintah Jalankan Putusan MK Tentang Undang-Undang Cipta Kerja

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah akan menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang  Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), khususnya terkait putusan tentang Undang Undang Ketenagakerjaan.

    “Pemerintah akan mengikuti apa yang diputuskan MK. Oleh karena itu, dalam jangka pendek terkait pengupahan, yaitu Kemenaker berkomunikasi dengan pihak tenaga kerja, buruh, maupun dengan pengusaha,” ucap Airlangga di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, pada Jumat (1/11/2024).

    Beberapa hal yang  disoroti dalam putusan MK adalah meminta pemerintah melakukan perbaikan regulasi yang menyangkut pengupahan, perjanjian kerja, outsourcing, dan hak-hak pekerja lainnya. 

    Adapun aturan turunan tentang pengupahan dari UU Cipta Kerja adalah Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. “Artinya dalam PP 51 juga  ada indeks tertentunya itu dikaitkan dengan kehidupan layak. Hanya di sini menjadi lebih tegas lagi saja,” terang Airlangga.

    Dia mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga untuk mempelajari putusan MK. Salah satu isu yang sedang dibahas terkait ketenagakerjaan adalah penyusunan upah minimum provinsi (UMP).

    “Kalau dari pemerintah kan yang paling penting sekarang penentuan UMP. Jadi itu dalam waktu, karena siklusnya masuk di November,” kata Airlangga.

    Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (31/10/2204) mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan sejumlah pemohon lain terkait Undang-Undang Cipta Kerja. MK pun mengabulkan gugatan terhadap 21 pasal.

    Sejumlah hal yang berubah berdasarkan putusan MK adalah  perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maksimal 5 tahun dari sebelumnya tidak adanya syarat jangka waktu PKWT. Selain itu, MK menyatakan tenaga kerja berhak mendapat penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.

    MK memasukkan makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua sebagai unsur upah. MK menyatakan tenaga kerja asing masih bisa bekerja di Indonesia, tetapi pemberi kerja harus mengutamakan tenaga kerja Indonesia.

    MK juga memperketat proses pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama jika terdapat proses perundingan bipartit. Jika tak mencapai kesepakatan antara pekerja dan pengusaha, MK menyatakan PHK hanya dapat dilakukan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dari lembaga berwenang.

    MK juga memperjelas persoalan nilai minimal pesangon dalam putusannya.

    Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal sebelumnya keberatan dengan UU Cipta Kerja sehingga mendorong menghapus aturan upah murah, outsourcing seumur hidup, PHK dipermudah, pesangon rendah, karyawan kontrak tanpa periode jelas, tenaga kerja asing unskilled masuk tanpa izin, serta penghapusan hak cuti panjang dan cuti melahirkan dengan upah penuh.

    Salah satu masalah yang disorot adalah PHK dipermudah dengan hanya melalui pesan singkat, seperti WhatsApp. “Bahkan, PHK sekarang bisa dilakukan hanya lewat WhatsApp dan disetujui oleh Dinas Tenaga Kerja. Ini jelas kebijakan neoliberal yang sangat merugikan buruh,” tambah Said Iqbal.

    KSPI juga mengkritisi kebijakan pesangon rendah. Sebelumnya, pekerja yang di-PHK bisa mendapatkan pesangon hingga dua kali lipat dari aturan lama. “Sekarang, pekerja yang di-PHK hanya bisa mendapatkan 0,5 kali pesangon, bahkan mereka yang bekerja bertahun-tahun hanya mendapat Rp 10 juta,” tegasnya. 

  • Apindo: Putusan MK Soal UU Cipta Kerja Berpotensi Hambat Iklim Investasi

    Apindo: Putusan MK Soal UU Cipta Kerja Berpotensi Hambat Iklim Investasi

    Jakarta, Beritasatu.com – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas judicial review Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja berpotensi menimbulkan ketidakpastian pada iklim investasi di Indonesia. Putusan ini membatalkan sejumlah ketentuan kunci dalam UU Cipta Kerja, yang dinilai dapat berdampak negatif terhadap daya tarik investasi.

    Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam mengungkapkan langkah MK ini memicu ketidakpastian regulasi terkait investasi di Indonesia. Menurut Bob, stabilitas regulasi dan kepastian hukum adalah hal penting bagi pelaku usaha dan investor dalam membuat perencanaan jangka panjang.

    “Tanpa adanya kepastian, Indonesia berisiko menurunkan daya tariknya sebagai tujuan investasi. Hal itu dapat memperlambat aliran modal baru dan mengganggu ketahanan investasi yang sudah ada,” ujar Bob dalam pernyataan resminya pada Jumat (1/11/2024).

    Ia menjelaskan perubahan 21 pasal dalam UU Cipta Kerja yang diputuskan oleh MK membuat pelaku usaha harus menilai kembali dampaknya terhadap rencana bisnis dan kondisi perusahaan. Hal itu berdampak pada potensi peningkatan beban operasional. Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, peningkatan biaya operasional ini bisa memengaruhi daya saing perusahaan.

    “Biaya operasional yang lebih tinggi akan berdampak pada stabilitas produksi, terutama di sektor padat karya seperti manufaktur, yang mempekerjakan banyak tenaga kerja dan rentan terhadap perubahan biaya tenaga kerja,” kata Bob.

    Bob juga mengingatkan pentingnya menjaga momentum untuk menarik investasi di sektor manufaktur dan industri padat karya. Menurutnya, iklim investasi yang kuat perlu diperkuat, terlebih negara-negara ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam sudah berhasil menarik minat investor global ke sektor manufaktur mereka.

    “Bahkan, negara-negara yang sebelumnya tertinggal seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar, kini mulai menawarkan fleksibilitas tenaga kerja dan kebijakan yang ramah investasi, menjadikannya semakin kompetitif sebagai tujuan investasi,” tegas Bob.

    Apindo akan melakukan kajian mendalam terhadap dampak putusan MK, khususnya pada klaster ketenagakerjaan. Apindo juga berharap pemerintah melibatkan pelaku usaha dalam pembahasan untuk merespons putusan MK secara substantif.

    “Pelibatan dunia usaha secara berarti, seperti yang diamanatkan dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sangat kami harapkan dalam penyusunan berbagai kebijakan,” tambahnya.

    Terkait penetapan upah minimum pada 2025, Apindo berharap penetapan upah minimum masih merujuk pada ketentuan sebelum adanya putusan MK Nomor 168/PUU-XX1/2023 yang diterbitkan pada Kamis (31/10/2024). Menurut Bob, implementasi putusan ini secara langsung dapat menyebabkan kerumitan di tingkat daerah dan perusahaan.

    Dalam kesempatan terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah akan mematuhi putusan MK terkait UU Cipta Kerja.

    “Pemerintah akan mengikuti putusan MK, khususnya pada aspek pengupahan, dengan melibatkan dialog antara Kemenaker, pekerja, buruh, dan pengusaha,” kata Airlangga.

    Dalam putusannya, MK meminta pemerintah untuk memperbaiki aturan yang berkaitan dengan pengupahan, perjanjian kerja, outsourcing, dan hak pekerja lainnya. Salah satu regulasi turunan mengenai pengupahan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan, yang berlandaskan pada indeks biaya hidup layak.

  • Semilir angin keadilan bagi buruh dalam putusan MK

    Semilir angin keadilan bagi buruh dalam putusan MK

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Semilir angin keadilan bagi buruh dalam putusan MK
    Dalam Negeri   
    Sigit Kurniawan   
    Jumat, 01 November 2024 – 19:34 WIB

    Elshinta.com – Mahkamah Konstitusi kembali memutus perkara uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Kali ini, lewat Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia.

    Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai putusan MK tersebut merupakan kemenangan bagi seluruh rakyat, khususnya kaum buruh. Putusan MK itu menunjukkan bahwa keadilan bagi buruh masih tetap ada.

    “Setelah mendengarkan putusan yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo, ini adalah kemenangan rakyat,” kata Said Iqbal.

    Dengan suara bulat, sembilan hakim konstitusi sepakat untuk mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan empat serikat pekerja ini. Setidaknya ada 21 norma yang dikabulkan sebagian atau dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Norma-norma tersebut berkaitan dengan tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pekerja alih daya atau outsourcing, cuti, upah dan minimum upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), uang pesangon, uang penggantian hak upah, serta uang penghargaan masa kerja.

    Tenaga kerja Indonesia harus diutamakan

    MK memahami bahwa memberi kesempatan kerja bagi tenaga kerja asing di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat dihindari, terutama untuk jabatan tertentu yang belum dapat diduduki oleh tenaga kerja Indonesia. Namun demikian, penggunaan tenaga kerja asing juga harus memperhatikan kondisi pasar kerja di dalam negeri.

    Untuk itu, MK menegaskan setiap pemberi kerja wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia di semua jenis jabatan yang tersedia. MK juga menegaskan pemberi kerja wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang bekerja di dalam negeri.

    Dalam hal ini, MK memutuskan, norma Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU Cipta Kerja menjadi berbunyi: “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.” 

     

    Jangka waktu PKWT maksimal 5 tahun

    MK menggarisbawahi bahwa jangka waktu PKWT penting untuk diatur di dalam undang-undang, mengingat pekerja atau buruh berada dalam posisi yang lebih rendah dibanding pihak pengusaha ketika membuat perjanjian kerja. Dengan adanya aturan jangka waktu PKWT di undang-undang, pemberi kerja tidak bisa sembarangan membuat perjanjian kerja.

    Selama ini, UU Cipta Kerja belum mengatur jangka waktu definitif PKWT. Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UU Cipta Kerja hanya mendelegasikan jangka waktu suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. Sementara itu, jangka waktu PKWT justru diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 (PP 35/2021), yakni paling lama 5 tahun.

    Hal itulah yang ditegaskan oleh MK di dalam amar putusannya. Demi memberikan perlindungan terhadap pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, MK menyatakan jangka waktu PKWT tidak lebih dari 5 tahun, termasuk bila ada perpanjangan.

    Terkait hal ini, MK memutuskan, norma Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UU Cipta Kerja diperjelas menjadi berbunyi: “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan.”

    Pembatasan jenis outsourcing

    MK menilai UU Cipta Kerja maupun PP 35/2021 belum mengatur secara jelas terkait jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan (outsourcing). Menurut Mahkamah, kedua ketentuan tersebut baru menyatakan alih daya dibatasi untuk “sebagian pelaksanaan pekerjaan”.

    Dalam Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UU Cipta Kerja, “sebagian pelaksanaan pekerjaan” didelegasikan kepada Pemerintah untuk menetapkannya. Terkait hal ini, MK menilai perlu adanya penegasan terhadap kata “pemerintah”. Agar tidak menimbulkan persoalan dalam penerapannya, maka kata “pemerintah” yang dimaksud di dalam pasal tersebut adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan ketenagakerjaan.

    Di sisi lain, MK juga menyatakan perlu ada kejelasan dalam undang-undang yang menyatakan bahwa menteri menetapkan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Hal ini agar pihak-pihak dalam perjanjian alih daya memiliki standar yang jelas tentang jenis pekerjaan outsourcing.

    Atas dasar itu, MK memutuskan, Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UU Cipta Kerja menjadi berbunyi: “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya.”

    Penegasan aturan libur dalam seminggu

    MK memberi penegasan terkait aturan libur pekerja dalam seminggu. MK mengembalikan ketentuan istirahat mingguan 2 hari untuk lima hari kerja yang tidak diatur pada UU Cipta Kerja. Selama ini, UU Cipta Kerja hanya mengatur ketentuan istirahat mingguan 1 hari untuk enam hari kerja dalam seminggu.

    Ketentuan libur 2 hari dalam seminggu justru diatur pada PP 35/2021. Padahal, ketentuan ini sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut MK, pengaturan yang seperti demikian jelas menimbulkan ketidakpastian hukum.

    Melalui putusan ini, MK menghadirkan kembali opsi aturan libur yang disesuaikan dengan kondisi perusahaan. Perusahaan dapat memilih waktu istirahat mingguan 1 hari untuk enam hari kerja atau 2 hari untuk lima hari kerja dalam satu pekan.

    Struktur dan skala upah harus proporsional

    MK menambahkan frasa “yang proporsional” untuk melengkapi frasa “struktur dan skala upah” di dalam Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Cipta Kerja. Dengan demikian, saat ini, kebijakan pengupahan yang ditetapkan Pemerintah harus meliputi struktur dan skala upah yang proporsional.

    Dalam pertimbangan hukumnya, MK menjelaskan bahwa frasa “yang proporsional” semula ditegaskan dalam UU Ketenagakerjaan. Namun, dengan dilakukannya perubahan di UU Cipta Kerja, frasa tersebut dihilangkan dalam kebijakan pengupahan. Padahal, menurut MK, frasa tersebut memiliki arti penting dalam pemberian imbalan dari pengusaha kepada buruh. 

     

    Pelibatan dewan pengupahan daerah

    Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Cipta Kerja mulanya mengatur bahwa kebijakan pengupahan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Namun, MK menyatakan, sinergi antara Pemerintah Pusat dan daerah merupakan suatu keniscayaan dalam pembangunan ketenagakerjaan.

    Oleh karena itu, untuk menyusun kebijakan pengupahan yang strategis dan sejalan dengan pemenuhan hak buruh, maka keterlibatan pemerintah daerah menjadi sangat penting dalam penyusunan kebijakan pengupahan.

    Dengan pertimbangan itu, MK memutuskan, norma Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Cipta Kerja ditambahkan frasa: “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.”

    Upah minimum sektoral kembali hidup

    Upah minimum sektoral sebelumnya telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Akan tetapi, ketentuan tersebut dihapus dalam UU Cipta Kerja. Menurut MK, upah minimum sektoral merupakan salah satu instrumen penting untuk menjamin kesejahteraan pekerja di sektor-sektor tertentu yang memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda dari sektor-sektor lainnya.

    Dihilangkannya ketentuan upah minimum sektoral di UU Cipta Kerja, kata MK, berpotensi menimbulkan penurunan standar perlindungan yang sebelumnya telah diberikan kepada pekerja, khususnya pekerja di sektor-sektor yang memerlukan perhatian khusus dari negara.

    “Penghapusan ketentuan upah minimum sektoral bertentangan dengan prinsip perlindungan hak-hak pekerja yang merupakan bagian dari hak asasi manusia,” demikian pertimbangan MK. Oleh sebab itu, MK membubuhkan ketentuan mengenai upah minimum sektoral dalam Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Cipta Kerja.

    PHK harus lewat bipartit musyawarah mufakat

    Proses PHK juga diperketat oleh MK. PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dan pekerja/buruh maupun serikat pekerja atau serikat buruh. Ketentuan tersebut merupakan frasa baru yang ditambahkan MK dalam Pasal 151 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU Cipta Kerja.

    Sebelum adanya putusan ini, UU Cipta Kerja hanya mengatur bahwa PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit, tanpa penekanan musyawarah mufakat. Padahal, pada prinsipnya, UU Ketenagakerjaan telah menghendaki adanya mekanisme musyawarah untuk mufakat tersebut.

    Lebih lanjut, MK dalam amar putusannya juga menyatakan jika perundingan bipartit tersebut tidak mendapatkan kesepakatan, maka PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.

    Undang-undang ketenagakerjaan baru dalam 2 tahun

    Selain sederet penegasan norma, melalui Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini, MK juga memerintahkan DPR dan Presiden, selaku pembentuk undang-undang, untuk menggodok undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkannya dari UU Cipta Kerja. Undang-undang baru tersebut harus diselesaikan dalam 2 tahun.

    Menurut MK, undang-undang baru ini diperlukan karena UU Ketenagakerjaan yang lama maupun UU Cipta Kerja saling tumpang tindih sehingga tidak sinkron dan harmonis. Dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru, masalah ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi atau substansi mengenai ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan diselesaikan.

    Jalankan putusan MK

    Partai Buruh, selaku salah satu pemohon dalam perkara ini, meminta Presiden Prabowo Subianto dan DPR untuk betul-betul menjalankan amanat putusan MK. Partai Buruh minta pembentuk undang-undang menghormati putusan ini dengan tidak menafsirkan selain yang ditafsirkan MK. Di sisi lain, dia juga mengusulkan, agar Presiden segera mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang untuk menindaklanjuti putusan MK ini.

    “Rakyat telah mendapatkan keadilan di MK. Jalan hukum telah kami tempuh, jalan gerakan telah kami ambil. Hormati putusan ini, jangan ditafsirkan lain,” kata Said Iqbal.

    Sumber : Antara

  • Pemerintah hormati putusan MK terkait UU 6/2023

    Pemerintah hormati putusan MK terkait UU 6/2023

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Pemerintah hormati putusan MK terkait UU 6/2023
    Dalam Negeri   
    Sigit Kurniawan   
    Jumat, 01 November 2024 – 20:11 WIB

    Elshinta.com – Pemerintah menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan perkara judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang.

    “Sebagai negara hukum, pemerintah tentunya tunduk dan patuh atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Pemerintah juga akan segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menindaklanjuti putusan tersebut,” ucap Menteri Ketenagakerjaan Yassierli melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (1/11).

    Langkah yang akan diambil Kemnaker, di antaranya dengan menginisiasi koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Kemnaker juga akan mengajak serikat pekerja/serikat buruh, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kadin dan para pemangku kepentingan lainnya untuk berdialog mengenai tindak lanjut pasca-putusan MK.

    “Kemnaker akan menggunakan forum-forum dialog baik melalui Lembaga Kerja Sama Tripartit, Dewan Pengupahan Nasional, maupun forum dialog lainnya,” katanya.

    Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pemerintah memastikan adanya peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh serta keberlangsungan usaha.

    Ia juga mengajak seluruh pemangku kepentingan ketenagakerjaan untuk turut mengambil bagian dalam penyelesaian permasalahan ketenagakerjaan.

    Pasalnya, persoalan ketenagakerjaan tidak hanya menyangkut pekerja/buruh yang sedang aktif bekerja, tetapi juga berkaitan dengan tantangan yang lebih besar, seperti penciptaan lapangan kerja yang lebih luas untuk menampung angkatan kerja baru dan perlindungan bagi pekerja yang rentan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

    Sumber : Antara

  • Kabar Baik! MK Hidupkan Lagi Aturan UMS untuk Pekerja

    Kabar Baik! MK Hidupkan Lagi Aturan UMS untuk Pekerja

    GELORA.CO – Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan penting dengan mewajibkan kembali penerapan Upah Minimum Sektoral (UMS), sebuah kebijakan yang sempat dihapus dalam UU Cipta Kerja.  

    Hal ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2024, yang mengabulkan sebagian tuntutan serikat pekerja terkait ketenagakerjaan. 

    Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa Pasal 88C dalam UU Ciptaker tidak sesuai dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum, kecuali jika dimaknai bahwa gubernur wajib menetapkan UMS di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. 

    UMS sendiri sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan tahun 2003, namun dihapus dalam UU Ciptaker. 

     MK setuju dengan argumen serikat pekerja bahwa penghapusan UMS berpotensi mengurangi perlindungan bagi pekerja, terutama di sektor-sektor yang membutuhkan upah lebih tinggi karena beban kerja atau spesialisasi tertentu. 

    MK menegaskan bahwa penghapusan UMS bertentangan dengan prinsip perlindungan hak pekerja yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, khususnya hak atas upah yang adil dan layak.  

     Oleh karena itu, MK mewajibkan pemberlakuan kembali UMS sebagai bentuk perlindungan yang memadai bagi pekerja di berbagai sektor. 

    Selain itu, MK juga mengubah beberapa pasal terkait pengupahan.  Pertama, komponen hidup layak yang sempat dihapus dalam UU Ciptaker, kini dikembalikan sebagai bagian dari perhitungan upah.  

    Upah pekerja harus mencakup kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. 

    Kedua, peran dewan pengupahan yang melibatkan pemerintah daerah juga dihidupkan kembali, dengan partisipasi aktif dalam menetapkan kebijakan upah bersama pemerintah pusat. 

    Keputusan ini diharapkan mampu memberikan perlindungan lebih baik bagi pekerja di seluruh sektor, serta memastikan kebijakan pengupahan yang lebih adil dan manusiawi

  • MK Kabulkan Gugatan UU Cipta Kerja, Kemnaker Rapatkan Barisan – Page 3

    MK Kabulkan Gugatan UU Cipta Kerja, Kemnaker Rapatkan Barisan – Page 3

    Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan bahwa keadilan masih ada usai Mahkamah Konstitusi(MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang diajukan partainya bersama sejumlah serikat buruh yang lain.

    “Bahwa keadilan itu masih ada. Kami sangat terharu dan mengapresiasi para hakim MK. Tidak ada dissenting opinion (pendapat bereda) pada hari ini,” kata Said Iqbal saat ditemui usai sidang pengucapan putusan di Gedung I MK, dikutip dari Antara, Jumat (1/11/2024).

    Sadi menyoroti bahwa sembilan hakim konstitusi memiliki suara yang bulat dalam mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh. MK mengabulkan pengujian konstitusionalitas 21 norma pasal di dalam UU Ciptaker.

    Selain itu, Said juga menggarisbawahi perintah MK kepada pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, untuk segera menggodok UU ketenagakerjaan yang baru.

    “Perintahnya paling lambat dua tahun ke depan itu ada satu UU yang baru yang mengatur tentang dunia ketenagakerjaan, tentang kita. Karena sekarang ini di Omnibus Law (UU Ciptaker) nasib kita diatur pemilik modal, ya, enggak nyambung,” kata dia.

    Lebih lanjut, Said meminta agar DPR betul-betul menjalankan amanat putusan MK, dengan tidak menafsirkan selain yang ditafsirkan Mahkamah. Harapan serupa juga diutarakan Said kepada Presiden RI Prabowo Subianto.

    “Bapak Presiden Prabowo, tolong rakyat, bantu rakyat, hormati rakyat. Rakyat telah mendapatkan keadilan di MK, melalui partai buruh dan serikat buruh yang telah menang. Jalan hukum telah kami tempuh, jalan gerakan telah kami ambil. Hormati putusan ini, jangan ditafsirkan lain,” ucapnya.

  • Komisi IX DPR Akan Tindak Lanjuti Putusan MK soal UU Ciptaker
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        1 November 2024

    Komisi IX DPR Akan Tindak Lanjuti Putusan MK soal UU Ciptaker Nasional 1 November 2024

    Komisi IX DPR Akan Tindak Lanjuti Putusan MK soal UU Ciptaker
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi IX
    DPR
    RI disebut akan menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) Nomor 168/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan sebagian gugatan serikat pekerja terhadap Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
    Adapun dalam putusannya, MK meminta agar sejumlah pengaturan terkait ketenagakerjaan dilakukan oleh pembentuk undang-undang melalui UU Ketenagakerjaan yang terpisah dari UU Ciptaker.
    Namun, pihak DPR kini masih menunggu salinan putusan resmi dari MK.
    “Keputusan final dan dokumen asli dari MK belum kami terima, maka kami belum bisa memberikan keputusan lebih lanjut, yang pasti tentu akan segera kami tindak lanjuti,” ucap anggota Komisi IX DPR RI dari fraksi Partai Nasdem, Irma Suryani, kepada Kompas.com, Jumat (1/11/2024).
    Secara khusus, Irma sependapat dengan MK dalam hal evaluasi kembali penggunaan tenaga kerja asing.
    Menurut dia, penggunaan tenaga kerja asing tidak boleh merugikan tenaga kerja domestik, sehingga perlu ada klausul perizinan tentang penggunaan tenaga kerja asing yang memberikan kesempatan alih teknologi.
    Walaupun demikian, Irma menganggap bahwa kaum buruh “wajib menjaga keamanan dan kenyamanan investasi agar para investor mau kembali membuka pabrik-pabriknya di indonesia”.
    “Kondisi ekonomi dunia dan Indonesia tidak baik-baik saja, maka perlu kerja sama yang baik antara pekerja, perusahaan, dan pemerintah,” ujar Irma.
    Irma selaku representasi fraksi Nasdem mengapresiasi putusan MK ini.
    “Sejak awal saya dari fraksi Nasdem menyarankan pada pemerintah agar klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari Omnibus Cipta Kerja,” sebut Irma.
    “Dikabulkannya sebagian uji materi ini oleh MK tentu ini langkah maju untuk melindungi hak-hak pekerja Indonesia,” imbuhnya.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR Buka Suara Soal Putusan MK Mengenai UU Cipta Kerja

    DPR Buka Suara Soal Putusan MK Mengenai UU Cipta Kerja

    Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Adies Kadir buka suara soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memisahkan Undang-Undang Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja. 

    Adies mengatakan bahwa DPR akan mengkaji terlebih dahulu soal putusan tersebut dengan pemerintah. Adapun, poin-poin putusan MK juga baru dipublikasikan di website. 

    “Jadi nanti kita akan bicara dengan teman-teman dan pimpinan lain, kita juga sampaikan ke teman-teman di Badan Legislasi dan Komisi terkait, nanti kita lihat seperti apa respon kita terhadap keputusan,” terang Adies di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (1/11/2024). 

    Kemudian, MK juga meminta agar pembentukan UU Ketenagakerjaan yang baru dapat selesai dalam dua tahun. Menanggapi hal ini, Adies berpendapat bahwa DPR harus selalu siap. 

    “Nanti kita lihat. Kita di legislatif ini di DPR, di Senayan, kita kan harus selalu siap ya. Mau 2 tahun, mau 3 tahun, mau 1 tahun, mau 6 bulan, mau 2 bulan, mau sebulan juga kalau memang harus gitu,” jawabnya. 

    Namun DPR akan melihat konteks lebih lanjut dan Undang-Undang seperti apa yang harus dibentuk, agar sejalan dengan program pemerintahan yang baru. 

    “Sejalan atau tidak dengan program pemerintahan yang baru pak Prabowo Subianto. Jadi ini bukan hanya di legislatif,” jawabnya. 

    Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan Partai Buruh dan pemohon lainnya terkait Undang-Undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker. 

    Permohonan itu dikabulkan dalam sidang putusan perkara nomor 168/PUU-XXI/2023 itu di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (31/10/2024).  

    Selain Partai Buruh, pemohon lainnya yakni FSPMI, KSPSI, KPBI serta KSPI juga ikut menggugat 71 Pasal UU Ciptaker No.6/2023 tentang Penetapan Perppu Ciptaker sebagai UU. Pada intinya, puluhan pasal yang digugat itu terkait dengan pengupahan, hubungan kerja, hingga tenaga kerja asing.  

    Dalam pertimbangannya, hakim MK menyatakan bahwa gugatan sebagian puluhan pasal itu dikabulkan dinilai mengancam perlindungan hak kerja hingga menggangu keharmonisan aturan yang berlaku.