Tuntutan Rakyat 17+8
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
ADA
yang aneh pada sepasang angka itu: 17 dan 8. Angka yang sederhana, tetapi sekaligus sarat sejarah. Tujuh belas adalah tanggal kemerdekaan, delapan adalah bulan saat republik diproklamasikan.
Kini, kombinasi itu muncul kembali, bukan dalam upacara di lapangan, tetapi dalam dokumen yang diserahkan dengan getir di depan gedung DPR.
Angka itu bukan lagi sekadar penanda waktu, melainkan penanda luka. Seakan rakyat ingin mengingatkan: kemerdekaan tidak pernah selesai.
Apa yang dulu diikrarkan pada 17 Agustus, kini harus diulang dalam bentuk tuntutan, seolah negara lupa kepada janji awalnya.
Demonstrasi yang membanjiri jalan-jalan kota pada akhir Agustus itu adalah bentuk lain dari sidang rakyat.
Jalan raya berubah menjadi forum, aspal menjadi mimbar, dan poster menjadi naskah. Di situ rakyat menuliskan kalimat-kalimat yang tak terbaca dalam naskah undang-undang.
Jalan selalu punya ingatan. Ia mengingat langkah-langkah mahasiswa 1966, ia mencatat teriakan 1998, dan kini ia kembali dipenuhi suara yang sama: kekecewaan.
Jalan bukan sekadar ruang untuk bergerak, tetapi ruang untuk menagih. Di sanalah demokrasi sering menemukan dirinya ketika institusi formal bungkam.
Tuntutan itu ditulis dalam kata-kata yang tegas: hentikan kriminalisasi, tarik tentara ke barak, pangkas privilese, wujudkan upah layak.
Kata-kata yang sederhana, tetapi tajam. Dalam politik, kata bisa lebih berbahaya daripada senjata, karena ia menyentuh legitimasi.
Namun kata juga bisa rapuh. Ia bisa diabaikan, dijawab dengan janji baru, atau dipatahkan oleh retorika kuasa.
Rakyat tahu itu, karena sudah berulang kali merasakannya. Namun, mereka tetap menulis, tetap menyerahkan dokumen, karena mereka percaya: kata adalah satu-satunya jalan yang tersisa sebelum batu dan api bicara.
Gerakan 17+8 bukan hanya soal isi, tetapi juga simbol. Warna-warna yang dipilih—merah muda, hijau, biru—menjadi bahasa baru protes.
Ia viral di media sosial, menjelma poster digital, dan menyeberang ke jalan. Simbol itu menembus batas generasi, menyatukan mahasiswa, pekerja, influencer, hingga buruh migran.
Di republik yang makin gemar menutup telinga, simbol menjadi bahasa sunyi yang tak bisa ditahan. Ia menempel di mata, mengendap di ingatan, dan membuat penguasa gelisah.
DPR pun merespons. Tunjangan perumahan Rp 50 juta dipangkas, perjalanan dinas luar negeri dihentikan, gaji anggota yang dinonaktifkan ditahan.
Angka-angka diumumkan dengan terburu-buru, seolah ingin menunjukkan mereka tak tuli. Namun publik tahu, balasan ini hanya kulit.
Di balik angka Rp 65 juta
take home pay
, rakyat melihat jurang yang tetap menganga. Balasan itu seperti obat pereda nyeri: menenangkan sesaat, tetapi tak menyentuh penyakit. Penyakit itu bernama privilese. Penyakit itu bernama jarak.
Dari gerakan ini, wajah politik kita kembali tersingkap. Ada lima nama anggota DPR yang dinonaktifkan partainya—selebritas yang tiba-tiba masuk parlemen, politisi lama yang terbiasa dengan fasilitas.
Wajah-wajah ini menjadi simbol bagaimana kursi wakil rakyat bisa dijadikan panggung pribadi, bukan ruang pengabdian.
Rakyat muak bukan karena mereka selebritas, melainkan karena mereka lupa diri. Demokrasi yang seharusnya menghadirkan representasi berubah menjadi panggung hiburan. Di situlah wajah parlemen tampak gelap.
Rakyat tidak hanya menuntut. Mereka juga menawarkan arah. Audit independen untuk DPR, larangan bagi eks-koruptor kembali duduk, transparansi keuangan partai, pengesahan UU Perampasan Aset, reformasi Polri dan TNI, hingga perlindungan bagi pekerja dan lingkungan.
Inilah paradoksnya: rakyat yang sering dianggap massa tanpa konsep justru menawarkan visi lebih jernih daripada elite. Harapan itu sederhana: negara yang berpihak, hukum yang adil, dan politik yang waras.
Akhirnya, 17+8 bukan sekadar daftar tuntutan. Ia adalah narasi tentang republik yang sedang kehilangan ingatannya. Ia mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan hadiah permanen, melainkan janji yang harus terus ditagih.
Republik ini lahir dari keberanian menuntut. Dari Sumpah Pemuda, dari Proklamasi, dari Reformasi. Kini, rakyat kembali menuntut dengan cara yang sama: turun ke jalan, menulis dokumen, menyalakan lilin.
Apakah penguasa akan mendengar? Mungkin ya, mungkin tidak. Tetapi yang pasti, rakyat sudah bicara. Dan selama rakyat masih bicara, republik ini tetap hidup.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topik: Buruh
-
Viral PHK PT Gudang Garam, Buruh Logistik hingga UMKM Berisiko Terdampak
Bisnis.com, JAKARTA — Industri padat karya kembali diterpa kabar pemutusan hubungan kerja (PHK), kali ini sektor pengolahan tembakau. Efek ganda dari efisiensi tak hanya dirasakan buruh, melainkan ekosistem yang menopang seperti petani, UMKM, pedagang ritel, hingga logistik.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai kondisi ini harus diantisipasi segera agar buruh di industri hasil tembakau (IHT) dapat perlindungan sesuai hak nya.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan PHK pabrik Gudang Garam dapat berdampak ke ribuan bahkan ratusan buruh di berbagai sektor.
“Bisa jadi ratusan ribu buruh berpotensi kehilangan pekerjaan. Ribuan buruh rokok PT Gudang Garam ter-PHK, dan puluhan ribu buruh lainnya juga akan ter-PHK seperti buruh tembakau, logistik, supir, pedagang kecil, suplier, pemilik kontrakan, dan lainnya,” ujar Said, dikutip Minggu (7/9/2025).
Kendati demikian, pihaknya masih perlu melakukan pendalaman terkait kabar PHK Gudang Garam tersebut. Namun, dia tak heran lantaran melihat daya beli masyarakat yang saat ini masih lemah sehingga memicu penurunan produksi.
Dia juga melihat pasokan tembakau saat ini disebut terbatas. Tak hanya itu, Said juga menyebut banyak produk rokok yang kurang mengikuti tren perubahan zaman dan konsumsi masyarakat sehingga kurang bersaing di pasar.
“Ditambah pajak cukai rokok makin mahal. Selamatkan industri rokok nasional, selamatkan puluhan ribu buruh terancam PHK, tapi tetap dijaga kampanye kesehatan,” jelasnya.
Dalam hal ini, dia mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk turun tangan. Dia berharap PHK Gudang Garam tidak berujung seperti kasus PHK Sritex yang disebut hanya janji manis karena hingga saat ini ada buruh yang belum mendapatkan hak tunjangannya.
“Jangan seperti kasus PHK Sritex yang hanya janji manis, THR saja tidak dibayar,” jelasnya.
Ilustrasi buruh rokok
Sebelumnya, sebuah video memperlihatkan momen haru yang diketahui sebagai karyawan PT Gudang Garam menjadi viral di media sosial.
Dalam video tersebut, terlihat para karyawan mengenakan seragam merah dan biru bertuliskan PT Gudang Garam mendapat PHK Massal.
Mereka dikumpulkan dalam satu aula. Setelah diputuskan diberhentikan kerja, para karyawan langsung melakukan pamitan. Terlihat beberapa karyawan menangis dan berpelukan karena harus berpisah dengan rekan kerjanya.
Belum diketahui secara pasti kapan video tersebut diunggah untuk pertama kali. Namun, tagar Gudang Garam baru menggema di media sosial pada Sabtu (6/9/2025).
Video haru PHK Massal PT Gudang Garam itu pun banyak tersebar di TikTok dan X hingga membuat warganet berkomentar.
Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mendesak pemerintah turun tangan melindungi pekerja atas isu pemutusan hubungan kerja (PHK) di salah satu pabrik rokok milik PT Gudang Garam Tbk.
Respons Gudang Garam ….
-

Dosen FH Untag Surabaya Kritik Gaji dan Tunjangan DPRD Jatim: Hukum Justru Perkuat Privilese Elite
Surabaya (beritajatim.com) – Dosen Fakultas Hukum (FH) Untag Surabaya sekaligus Peneliti di Nusantara Center for Social Research, Sultoni Fikri, mengkritik tajam tingginya gaji dan tunjangan anggota DPRD Jawa Timur yang mencapai Rp84 juta per bulan.
Menurutnya, fenomena ini menjadi bukti nyata bahwa hukum di Indonesia justru bekerja untuk melanggengkan privilese kelas elite, bukan untuk keadilan rakyat.
“Penerimaan gaji dan tunjangan anggota DPRD Jawa Timur yang menembus Rp84 juta per bulan seolah menjadi bukti sahih bahwa hukum di negeri ini memang bekerja, bekerja keras menjaga kenyamanan kelas elite,” ungkap Sultoni, Minggu (7/9/2025).
Sultoni menjelaskan, dalam perspektif Critical Legal Studies (CLS), hukum tidak pernah netral. Ia menyatakan bahwa hukum hanyalah alat politik yang dipoles dengan bahasa formal demi mengamankan kepentingan penguasa.
“Menurut logika Critical Legal Studies, hukum tidak pernah netral. Ia hanyalah alat politik yang dipoles rapi dengan bahasa formal demi melanggengkan kepentingan penguasa. Dan kasus DPRD Jatim ini contoh paling terang karena hukum dipakai bukan untuk rakyat, melainkan untuk membungkus privilese agar terlihat legal dan pantas,” ujar Sultoni.
Dia juga menyebutkan ketimpangan yang semakin jelas antara gaya hidup elite dan kondisi ekonomi masyarakat. Sultoni menekankan, saat masyarakat mulai berpikir keras tentang harga kebutuhan pokok yang semakin tinggi, para wakil rakyat justru sibuk memperjuangkan kenaikan tunjangan rumah yang fantastis.
“Sungguh ironis, ketika rakyat mempertanyakan harga beras, wakil rakyat justru sibuk menyesuaikan tunjangan rumahnya dengan harga sewa perumahan elite Surabaya,” tegasnya.
Sultoni menunjukkan betapa mencoloknya ketimpangan ini jika dibandingkan dengan pendapatan buruh yang hanya mengandalkan upah minimum. Di saat rakyat terpaksa berhemat untuk bertahan hidup, para pejabat menikmati tunjangan yang jauh dari realitas ekonomi masyarakat.
“Rakyat harus menekan pengeluaran agar bisa bertahan hidup dengan UMP Rp4 juta, sementara anggota dewan diberi Rp57 juta sebulan hanya untuk tunjangan rumah,” tambahnya.
Menurutnya, hukum dalam konteks ini justru berperan sebagai alat yang mengamankan gaya hidup mewah, bukan sebagai instrumen keadilan. “Hukum di sini bukan instrumen keadilan, melainkan kalkulator resmi untuk memastikan gaya hidup mewah tetap berjalan tanpa cela hukum,” ujarnya.
Sultoni juga mengkritik bagaimana hukum memberi legalitas pada ketidakadilan. Ia menyebutkan ketimpangan tersebut sangat jelas terlihat dalam penerapan hukum, di mana rakyat miskin dihukum berat karena pelanggaran kecil, sementara para pejabat menikmati privilese yang sah secara hukum.
“Inilah wajah hukum ala CLS karena ia adil sekali, memberi banyak hal kepada yang sudah berkuasa, dan memberi legalitas pada kesenjangan yang semakin dalam. Dengan bahasa sederhana, ketika rakyat miskin mencuri beras, itu pelanggaran hukum,” jelasnya.
“Tapi ketika pejabat mengantongi Rp84 juta lewat Perda, itu namanya aturan main,” tambahnya.
Menurut Sultoni, ini menunjukkan keberhasilan hukum dalam membungkus ketidakadilan menjadi sesuatu yang tampak wajar di mata publik. Ia menyebutkan, kondisi ini membuat masyarakat tidak lagi punya ruang untuk mempertanyakan keadilan.
“Dan bukankah ini bukti nyata bahwa hukum berhasil? Berhasil membuat ketidakadilan terasa wajar, karena sudah dicatat dalam lembaran negara,” tegasnya.
Sultoni juga menyampaikan kritik pedas kepada DPRD Jawa Timur yang seharusnya menjadi perwakilan rakyat, namun dalam kenyataannya justru sibuk menikmati kehidupan mewah yang mereka janjikan.
“Pada akhirnya, DPRD Jatim memang mewakili rakyat. Mewakili impian rakyat tentang hidup makmur tapi dengan satu catatan kecil, yakni rakyat hanya bisa jadi penonton, sementara yang mewakili justru sibuk menikmati kehidupan yang mereka janjikan,” pungkasnya. [asg/suf]
-

Hitam-Putih Wacana Dana Bagi Hasil Pajak Karyawan Berdasarkan Domisili
Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tengah mengkaji perubahan skema dana bagi hasil pajak penghasilan Pasal 21 (PPh 21). Pungutan yang mulanya berbasis lokasi perusahaan pemotong, diusulkan berubah menjadi berbasis domisili karyawan. Wacana tersebut menuai pro dan kontra.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono meyakini setiap regulasi pajak selalu lahir dari latar belakang tertentu. Menurutnya, wacana skema baru bagi hasil PPh 21 dimaksudkan untuk memastikan distribusi hasil pajak lebih merata.
“Keadilan distributif itu mengatur bagaimana barang, kekayaan, hak, dan beban didistribusikan secara adil di antara anggota masyarakat. Tujuan adalah untuk menyeimbangkan kesenjangan. Jadi, asas ini berfokus pada hasil distribusi, misalnya kekayaan, dan bukan pada proses,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (7/8/2025).
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute ini menjelaskan, PPh 21 yang dipotong dari penghasilan pekerja dan dibagihasilkan ke pemerintah daerah sesuai domisili pekerja memungkinkan distribusi dana pajak ke daerah. Hal ini membuat dana pajak tidak lagi terpusat di kota-kota besar.
Dia mencontohkan, jika sebuah perusahaan di Jakarta memiliki 1.000 pekerja yang domisilinya tersebar di 20 kabupaten/kota di luar Jakarta, maka dana bagi hasil PPh 21 akan mengalir ke 20 daerah tersebut.
“Kondisi demikian akan lebih memeratakan dana bagi hasil dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten/kota di luar Jakarta,” jelasnya.
Prianto menilai cara ini bisa membantu mengurangi kesenjangan fiskal antarwilayah. Selama ini, perusahaan besar umumnya berlokasi di Jakarta atau kota besar lain sehingga penerimaan dana bagi hasil PPh 21 lebih banyak dinikmati daerah tersebut.
Pendapat berbeda disampaikan Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar. Menurut Fajry, kebijakan ini bisa menimbulkan diskriminasi perekrutan tenaga kerja karena dapat mendorong perusahaan hanya merekrut buruh yang sesuai dengan domisili tertentu.
“Perusahaan selama ini juga mendapatkan manfaat secara tidak langsung dari fasilitas umum yang diberikan pemerintah daerah,” jelasnya, Sabtu (6/9/2025).
Dia memberi catatan bahwa perubahan skema dana bagi hasil tidak otomatis menyelesaikan persoalan penurunan anggaran transfer ke daerah (TKD) seperti yang tercantum dalam RAPBN 2026.
Meski demikian, dia mengakui ada potensi tambahan penerimaan bagi daerah di luar kota-kota besar/industri. Hanya saja, manfaat wacana skema baru itu diyakini hanya akan banyak dirasakan oleh daerah penyangga kota besar.
“Saya menduga dampaknya akan terbatas, hanya antarwilayah di Pulau Jawa saja, tidak menyentuh masalah ketimpangan sebenarnya yakni antara Pulau Jawa dengan lainnya atau wilayah Barat dengan Timur,” tegasnya.
Rencana Pemerintah
Kementerian Keuangan sebagai inisiator skema baru pembagian hasil PPh 21 menyatakan bahwa langkah ini diambil untuk menghadirkan keadilan bagi daerah.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan bahwa saat ini mekanisme bagi hasil PPh 21 masih mengacu pada lokasi pemotong pajak, bukan domisili karyawan.
“Untuk PPh karyawan atau PPh 21 yang dipotong dan dibagihasilkan ke daerah, selama ini memang mendasarkan diri kepada pemotongnya. Nah kami sekarang saat ini sedang melakukan exercise untuk melakukan bagi hasil berdasarkan domisili dari karyawan bersangkutan,” ujarnya dalam rapat kerja dengan DPD secara virtual, dikutip Rabu (3/9/2025).
Anggito menjelaskan bahwa skema berbasis domisili diyakini akan lebih adil serta menjawab aspirasi daerah yang selama ini meminta keadilan pembagian pajak.
Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah, terutama yang memiliki banyak pekerja tetapi tidak menjadi pusat pemotongan pajak. Meski begitu, Anggito menegaskan bahwa PPh Badan tidak akan mengikuti skema baru ini.
“Untuk PPh badan tidak dibagihasilkan, jadi pemungut di manapun saja itu tidak memengaruhi aspek bagi hasil pajaknya,” jelasnya.
Mengutip situs resmi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan, penyaluran dana bagi hasil PPh 21 dilaksanakan berdasarkan prognosis realisasi penerimaan dalam tahun anggaran berjalan dan dilaksanakan secara kuartalan.
Perinciannya, penyaluran kuartal I sampai dengan kuartal III masing-masing sebesar 20% dari alokasi sementara. Sementara penyaluran kuartal IV didasarkan pada selisih antara pembagian definitif dengan jumlah dana yang telah dicairkan selama kuartal I sampai dengan kuartal III.
Dalam skema yang berlaku saat ini, dana bagi hasil PPh 21 dibagi dengan rincian 8% untuk provinsi yang bersangkutan dan 12% untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
Sementara PPh 21 untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dibagi dengan rincian 8,4% untuk kabupaten/ kota tempat wajib pajak terdaftar dan 3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5340118/original/071298300_1757144653-Screenshot_2025-09-06_144114.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
PHK Massal Buruh Gudang Garam, Said Iqbal Desak Pemerintah Segera Turun Tangan – Page 3
Iqbal mengingatkan bahwa gelombang PHK di sektor industri rokok berpotensi meluas. Dia memperkirakan, selain ribuan pekerja langsung di PT Gudang Garam, ada puluhan ribu pekerja lain yang ikut terdampak, termasuk buruh tembakau, logistik, sopir, pedagang kecil, hingga pemilik kontrakan.
“Bisa jadi ratusan ribu buruh berpotensi kehilangan pekerjaan,” ujar dia.
Menurut Iqbal, ada beberapa faktor yang mempengaruhi PHK massal di PT Gudang Garam. Pasokan tembakau yang terbatas, kurangnya inovasi produk rokok untuk menyesuaikan tren pasar, serta tingginya beban cukai, dinilai memperparah daya saing perusahaan.
“Ditambah pajak cukai rokok makin mahal,” ujarnya lagi.
-

OPINI: Pajak dalam Sorotan Rakyat
Bisnis.com, JAKARTA – Gerakan demonstrasi masif saat ini bermula dari gelombang gerakan sosial di media sosial lewat tagar #IndonesiaGelap, #KaburAjaDulu, hingga pengibaran bendera One Piece menjelang peringatan kemerdekaan 17 Agustus 2025.
Akhirnya mengerucut di akhir Agustus ini, terjadi unjuk rasa oleh berbagai elemen masyarakat, dari mahasiswa, buruh, ojek online, dan semua lapisan ma syarakat menggumpal men jadi satu kekuatan turun ke jalan.
Demonstrasi tersebut menuntut banyak hal, namun penulis mencoba melihat dari perspektif perpajakan, mencermati beberapa tuntutan pajak dari buruh mengemuka seperti naikan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) menjadi Rp7,5 juta perbulan, hapus Pajak Pesangon, hapus pajak THR, hapus Pajak JHT, hapus dis-kriminasi pajak perempuan menikah. Juga kasus kenaikan PBB di Kabupaten Pati, sebesar 250%, yang memicu demonstrasi besar.
Tuntutan pajak memang sangat relevan dengan kondisi saat ini karena dunia perdagangan sangat lesu akibat daya beli masyarakat yang melemah, pelemahan terjadi karena beberapa faktor salah satunya naiknya PPN 11%. Sejak naiknya PPN 11% harga barang mengalami kenaikan, sejak itu pula daya beli masyarakat ikut mengalami penurunan. Indikasi dapat kita lihat dari sektor ekonomi mikro, toko-toko mengalami kelesuan (pedagangnya mengeluh) baik di pasar tradisional maupun di pasar modern dan pedagang dengan cara online.
Kekecewaan masyarakat terhadap pajak memang terjadi karena mahalnya pajak yang harus ditanggung dari Pajak Bumi Bangunan (PBB) juga Pajak Kendaraan Bermotor yang harus ditanggung masyarakat di saat kondisi sulit saat ini.
Rasa kesal terhadap pajak jangan dianggap remeh karena sejarah mencatat kebijakan pajak yang menghasilkan kekacauan besar, seperti revolusi Prancis tahun 1789 karena beban pajak yang berat yang memberikan ketidak adilan pada rakyat jelata. Perang Boston Tea Party tahun 1773 perlawanan rakyat Amerika terhadap pajak teh yang dikenakan oleh Inggris memicu perang kemerdekaan Amerika, Pajak Jizyah pada masa pemerintahan Aurangzeb pada abad ke 17 di India yang memicu perlawanan masyarakat.
Dalam teori perpajakan beberapa teori pajak yang menekankan pentingnya tidak membebankan rakyat secara berlebihan, Teori pajak Adam Smith ekonom terkenal yang menjelaskan negara dalam memungut pajak empat prinsip, keadilan, kepastian, kemudahan, efisiensi. Teori yang terkenal lainnya ability to pay bahwa pajak harus dikenakan berdasarkan kemampuan mem-bayar wajib pajak, semakin besar kemampuan mem-bayar wajib pajak semakin besar pula pajak yang harus dibayar. Dari beberapa teori ini, jelas pajak tak bisa dibebankan semaunya, jadi perlu di ukur kemampuan masyarakat dalam membayar pajak sehingga tidak memberatkan.
Selain itu hasil dari pajak perlu juga dikaji dan digunakan untuk kepentingan rak-yat, yang membawa rakyat kecewa dimana uang rakyat digunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat saat ini yang menjadi isu yang paling banyak dibahas oleh netizen bagaimana gaji dan tunjangan anggota DPR yang naiknya selangit dengan sehingga gaya hidup mereka bermewah-mewah. Berbanding terbalik di mana di negara-negara maju pemimpinnya hidup bersahaja, misalnya di Denmark yang mencatat pendapatan perkapitanya pada 2024 tercatat US$71.851 atau setara dengan Rp1,168 miliar.
Namun, Ratu Mary dari Denmark dikenal sebagai bangsawan paling sederhana. Kesederhanaan itu membuatnya sebagai salah satu bangsawan Eropa paling dikagumi dan dihormati. Billed Bladet dalam laporannya tanggal 27 Agustus 2025, Mary memakai gaun yang sama dalam setidaknya tiga kesempatan pada Juni-Agustus 2025.
Mungkin bagi kebanyakan orang memakai gaun yang sama berkali-kali suatu hal yang biasa saja. Namun bagi bangsawan dan Ratu pula, biasanya baju untuk setiap acara publik dipakai hanya sekali. Sebenarnya jika ingin dia bisa memakai gaun sekali saja karena tunjangan 127,2 juta krona Denmark atau Rp324,5 miliar per tahun bagi keluarga Kerajaan Denmark, hal itu mudah sekali untuk dilakukan. Namun Ratu Mary memilih memakai baju yang sama untuk dipakai berkali-kali. Ratu sadar dia berstatus istri raja mayoritas biaya hidupnya dari anggaran negara. Secara sadar dia harus hidup sederhana sehingga memberikan contoh positif buat pejabat dan keluarga istana.
Dengan pola hidup peja-bat sederhana, otomatis rakyat akan puas dan percaya terhadap uang pajak yang dibayarkan oleh rakyat sehingga tidak akan ter-jadi peristiwa seperti saat ini di Tanah Air, di mana kemewahan dipertontonkan membuat rakyat kecewa dan tak percaya.
Selain itu, tarif pajak yang rendah dan memberikan akses pelayanan masyarakat yang baik akan memberikan keperca-yaan dan kepuasan masyarakat dalam membayar pajak. Misalnya Singapura membuktikan bahwa pajak yang relatif rendah sekitar 21%, dapat mengatasi kesejahteraan masyarakatnya.
Makna yang dapat diambil dari Denmark dan Singapura: pola hidup seder-hana para pejabat dan tarif pajak yang rendah, juga upaya menyejahterahkan akan dapat memberikan pengaruh besar bagi rakyat secara menyeluruh sehingga berdampak positif bagi rakyat. Semoga
-

Viral Isu PHK Gudang Garam, Buruh Desak Pemerintah Bertindak
Bisnis.com, JAKARTA — Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mendesak pemerintah turun tangan melindungi pekerja atas isu pemutusan hubungan kerja (PHK) di salah satu pabrik rokok milik PT Gudang Garam Tbk.
Kendati demikian, Presiden KSPN Ristadi mengatakan menyebut hingga saat ini pihak Gudang Garam di Tuban membantah adanya PHK dan menyebutkan bahwa perusahaan dalam kondisi baik-baik saja.
“Beredarnya video PHK pekerja Gudang Garam malah dibantah oleh salah satu manajamen PT Gudang Garang Tuban dan tidak mau menunjukkan apalagi menjelaskan itu Gudang Garam yang di mana, bahkan menyatakan Gudang Garam tetap baik-baik saja,” kata Ristadi dalam keterangan tertulis, Minggu (7/9/2025).
Dalam situasi ini, menurut Ristadi, pemerintah setempat harusnya bergerak cepat ke lokasi informasi terjadinya PHK guna memastikan akurasi dan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan, khususnya soal perlindungan pekerjanya sekaligus memberikan kepastian soal informasi PHK tersebut.
Di sisi lain, Ristadi menilai kabar PHK Gudang Garam tampak ditutupi perusahaan. Hal ini seiring dengan kasus PHK yang beberapa kali terjadi di lapangan.
“Ini yang sering saya katakan bahwa selama ini mayoritas pengusaha atau manajemen jika terjadi PHK itu berusaha menutup-nutupinya,” tuturnya.
Ristadi juga mengungkap jika kabar PHK terungkap, informasi tersebut seringkali bersumber dari pekerja. Pasalnya, tak jarang terjadi perselisihan PHK karena pengusaha tidak mampu memenuhi kewajiban hak-hak pekerja korban PHK.
“Atau ada proses PHK yang tidak benar sehingga berakibat data-data PHK yang selama ini diinformasikan kurang akurat, jauh lebih besar realitasnya,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Sebuah video memperlihatkan momen haru yang diketahui sebagai karyawan PT Gudang Garam menjadi viral di media sosial.
Dalam video tersebut, terlihat para karyawan mengenakan seragam merah dan biru bertuliskan PT Gudang Garam mendapat PHK Massal.
Mereka dikumpulkan dalam satu aula. Setelah diputuskan diberhentikan kerja, para karyawan langsung melakukan pamitan. Terlihat beberapa karyawan menangis dan berpelukan karena harus berpisah dengan rekan kerjanya.
Belum diketahui secara pasti kapan video tersebut diunggah untuk pertama kali. Namun tagar Gudang Garam baru menggema di media sosial pada Sabtu (6/9/2025).
Video haru PHK Massal PT Gudang Garam itu pun banyak tersebar di TikTok dan X hingga membuat warganet berkomentar.
Bisnis.com telah mencoba konfirmasi atas kabar PHK tersebut ke manajemen PT Gudang Garam Tbk. Namun, hingga berita ini tayang belum ada respons dari manajemen.
-

Isu Gudang Garam PHK Massal saat Laba Susut, Serikat Buruh Turun Tangan
Bisnis.com, JAKARTA – PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) sempat viral di media sosial usai beredar video pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan massal.
Sebuah video memperlihatkan momen haru yang diketahui sebagai karyawan PT Gudang Garam menjadi viral di media sosial.
Dalam video tersebut, terlihat para karyawan mengenakan seragam merah dan biru bertuliskan PT Gudang Garam mendapat PHK Massal.
Mereka dikumpulkan dalam satu aula. Setelah diputuskan diberhentikan kerja, para karyawan langsung melakukan pamitan. Terlihat beberapa karyawan menangis dan berpelukan karena harus berpisah dengan rekan kerjanya.
Belum diketahui secara pasti kapan video tersebut diunggah untuk pertama kali. Namun, tagar Gudang Garam baru menggema di media sosial pada Sabtu (6/9/2025).
Video haru PHK Massal PT Gudang Garam itu pun banyak tersebar di TikTok dan X hingga membuat warganet berkomentar.
Dilansir dari Antara, Sabtu (6/9/2025), Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menanggapi kabar adanya PHK massal di Gudang Garam.
Dia akan terlebih dahulu melakukan verifikasi informasi tersebut. Akan tetapi, jika benar terjadi, kondisi itu menunjukkan lemahnya daya beli masyarakat yang berdampak pada menurunnya produksi industri rokok.
“Kami baru dapat kabar, telah terjadi PHK buruh di PT Gudang Garam. Kami akan cek dulu,” katanya.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengatakan menyebut hingga saat ini pihak Gudang Garam di Tuban membantah adanya PHK dan menyebutkan bahwa perusahaan dalam kondisi baik-baik saja.
“Beredarnya video PHK pekerja Gudang Garam malah dibantah oleh salah satu manajamen PT Gudang Garang Tuban dan tidak mau menunjukkan apalagi menjelaskan itu Gudang Garam yang di mana, bahkan menyatakan Gudang Garam tetap baik-baik saja,” kata Ristadi dalam keterangan tertulis, Minggu (7/9/2025).
Dalam situasi ini, menurut Ristadi, pemerintah setempat harusnya bergerak cepat ke lokasi informasi terjadinya PHK guna memastikan akurasi dan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan, khususnya soal perlindungan pekerjanya sekaligus memberikan kepastian soal informasi PHK tersebut.
Di sisi lain, Ristadi menilai kabar PHK Gudang Garam tampak ditutupi perusahaan. Hal ini seiring dengan kasus PHK yang beberapa kali terjadi di lapangan.
“Ini yang sering saya katakan bahwa selama ini mayoritas pengusaha atau manajemen jika terjadi PHK itu berusaha menutup-nutupinya,” tuturnya.
Kinerja Keuangan GGRM
Pada akhir 2024, Gudang Garam yang dimiliki oleh keluarga Susilo Wonowidjojo ini meraup laba bersih Rp980,80 miliar, laba terendah jika ditarik mundur 10 tahun ke belakang.
Laba Gudang Garam 2024 itu turun dari raihan Rp5,32 triliun pada akhir 2023. Hal itu tidak lepas dari lesunya penjualan Gudang Garam. Tekanan pada emiten berkode GGRM ini masih berlanjut minimal hingga 6 bulan pertama 2025.
Mengutip laporan keuangan, Gudang Garam membukukan pendapatan sebesar Rp44,36 triliun pada semester I/2025, turun 11,30% secara tahunan (year on year/YoY) dibandingkan Rp50,01 triliun pada 6 bulan pertama 2024.
Melambatnya pendapatan GGRM itu lantaran tekanan pada segmen Sigaret Kretek Mesin (SKM). Segmen ini menyumbang 39,73 triliun, turun 10,76% YoY. Walau melambat, pangsa kontribusinya terhadap GGRM justru naik tipis ke 89,57% dari sebelumnya 89,03%.
Tidak hanya SKM, pendapatan segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) GGRM juga ikut melambat menjadi sebesar Rp3,94 triliun, turun 19,54% YoY. Perlambatan segmen SKT membuat kontribusinya terhadap pendapatan menciut ke 8,90% dari sebelumnya pada semester I/2024 pada 10,91%.
Perlambatan pada sisi pendapatan diikuti dengan penurunan pada beban pokok GGRM. Beban pokok pendapatan GGRM tercatat sebesar Rp40,58 triliun, turun 9,72%. Masih dari laporan keuangan, beban terbesar GGRM berasal dari pita cukai, PPN dan pajak rokok.
Beban pita cukai, PPN dan pajak rokok GGRM tercatat sebesar Rp32,89 triliun pada semester I/2025, turun 13,85% YoY. Beban pita cukai, PPN dan pajak rokok ini menyumbang sebesar 81,05% terhadap total beban pokok pendapatan perseroan.
Kinerja pendapatan dan beban pokok itu membuat laba kotor GGRM menjadi sebesar Rp3,78 triliun, turun 25,27% YoY dari Rp5,06 triliun.
Setelah dikurangi beban usaha lainnya dan pajak, GGRM membukukan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk senilai Rp117,16 miliar, turun 87,34% YoY dari Rp925,51 miliar pada semester I/2024.
Jika ditarik mundur ke 5 tahun terakhir, raihan laba GGRM semester I/2025 ini menjadi yang terendah untuk periode 6 bulanan.
-

Terkait Beredarnya Video PHK Massal PT Gudang Garam, Begini Klarifikasi Pihak Manajemen
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ratusan buruh di Indonesia dikabarkan kembali mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Hal itu tampak di sejumlah platform media sosial yang diramaikan dengan beredarnya video pendek. Video itu menggambarkan suasana perpisahan sejumlah pekerja.
Video itu disertai narasi yang menyebut adanya PHK massal di Gudang Garam Tuban.
Kontan saja unggahan tersebut lantas memicu gelombang keprihatinan publik. Namun, pihak perusahaan menegaskan video itu tidak mencerminkan kondisi sebenarnya di Tuban.
Manajemen PT Gudang Garam Tbk memastikan kabar beredarnya isu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di pabrik Tuban, Jawa Timur, tidak benar.
Penegasan itu disampaikan PT Merdeka Nusantara selaku penyedia tenaga kerja untuk pabrik rokok Gudang Garam Tuban.
Di mana, pihak manajemen menyampaikan, sampai saat ini kegiatan operasional di pabrik Tuban tetap berjalan normal dan kondusif.
“Bukan di Tuban (tidak ada PHK massal di Gudang Garam Tuban), dan aktivitas di Tuban masih berjalan seperti biasanya. Sejak awal tahun sampai saat ini tidak ada PHK massal,” tegas HRD PT Merdeka Nusantara, Adib Musyafak, dikutip dari Liputan 6, Sabtu (6/9/2025).
“Sekali lagi ini bukan di Tuban, tapi saya tidak menyebut di daerah mana. Namun, di tengah kondisi seperti ini kami mengimbau pekerja tetap tenang dan menjalankan tugasnya seperti biasanya,” tegas Adib Musyafak.
PT Gudang Garam berharap isu yang beredar tidak menimbulkan keresahan di kalangan karyawan yang berjumlah sekitar 800 orang maupun masyarakat Kabupaten Tuban.
-
/data/photo/2025/09/06/68bc3426321f7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Warga Medan Nyalakan Lilin dan Tabur Bunga untuk 10 Korban Unjuk Rasa, Jangan Lupakan Mereka Medan 6 September 2025
Warga Medan Nyalakan Lilin dan Tabur Bunga untuk 10 Korban Unjuk Rasa, Jangan Lupakan Mereka
Tim Redaksi
MEDAN, KOMPAS.com
– Rentetan unjuk rasa yang menolak tunjangan rumah untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) berujung pada jatuhnya korban jiwa, luka-luka, dan hilangnya beberapa orang.
Pasca peristiwa tersebut, kelompok masyarakat sipil di Medan menggelar doa bersama dan menabur bunga untuk mengenang para korban.
Pada Sabtu (6/9/2025), menjelang matahari terbenam, massa yang terdiri dari petani, pedagang, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil membentuk lingkaran di Jalan Balai Kota.
Mereka meletakkan foto-foto korban di tengah peserta aksi, kemudian memasang lilin, menabur bunga, dan berdoa sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.
Salah satu peserta aksi, Lusty Malau, menyerukan agar masyarakat tidak melupakan para korban yang gugur dalam perlawanan rakyat di seluruh Indonesia sejak 25 hingga 30 Agustus 2025.
“Teman-teman, jangan pernah lupakan nama mereka. Mereka bukan statistik, satu nyawa itu bukan statistik. Satu nyawa itu adalah harga yang harus dibayar oleh pemerintah,” tegas Lusty saat rekan-rekannya menabur bunga.
Lusty kemudian membacakan nama 10 korban yang meninggal dunia dan menyebutkan banyaknya korban yang hingga kini belum ditemukan.
“10 orang ini hadir di tengah-tengah kita dalam lilin-lilin yang kita nyalakan. Kita mengenang 10 figur yang berani bertaruh nyawa,” tuturnya.
Sebelum berdoa dan menabur bunga, massa aksi menyampaikan sejumlah tuntutan.
Koordinator aksi, Anisa, menegaskan bahwa meskipun sebagian tuntutan masyarakat telah diakomodasi, seperti tunjangan rumah DPR RI, masih banyak yang belum dipenuhi. “Kami pun meminta supaya tunjangan DPR tersebut dialihkan kepada kebutuhan dasar rakyat, terutama pendidikan dan kesehatan,” kata Anisa saat orasi.
Anisa juga meminta agar brutalitas kepolisian dihentikan dan seluruh demonstran yang ditahan secara sewenang-wenang dibebaskan. “Intimidasi, kriminalisasi terhadap aktivis yang bersuara atas nama keadilan juga supaya dihentikan,” tegasnya.
Dia mendesak agar institusi kepolisian dievaluasi dan direformasi secara menyeluruh untuk menjadi lembaga yang profesional, akuntabel, demokratis, dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan.
Selain itu, massa juga menuntut penolakan terhadap upah murah buruh dan meminta jaminan kesejahteraan bagi kelas pekerja, terutama kelompok rentan.
Mereka menyerukan agar segala bentuk perampasan ruang hidup rakyat dihentikan dan negara yang inklusif tanpa bias toxic maskulinitas diciptakan.
Terakhir, massa menolak multifungsi TNI, meminta agar TNI dikembalikan ke barak, serta mencabut Undang-Undang TNI.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/09/08/68be021f20e6b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)