Topik: Buruh

  • Soeharto dan Marsinah dalam Ingatan Bangsa

    Soeharto dan Marsinah dalam Ingatan Bangsa

    Soeharto dan Marsinah dalam Ingatan Bangsa
    Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute
    PADA
    peringatan Hari Pahlawan tahun ini, Indonesia menambah 10 nama baru dalam daftar Pahlawan Nasional. Sejak gelar itu dianugerahkan pertama kali pada 1959 hingga 2023, negeri sudah memiliki 206 orang pahlawan nasional.
    Menariknya, dari daftar 10 nama baru itu, terselip dua nama yang jalan hidupnya berseberangan dalam panggung sejarah: Soeharto dan
    Marsinah
    .
    Soeharto adalah pendiri sekaligus penguasa tertinggi rezim Orde Baru yang mengangkangi negeri ini selama 32 tahun. Sebaliknya, Marsinah adalah sosok rakyat jelata yang dibunuh secara keji oleh sistem Orde Baru.
    Bayangkan, dalam beberapa tahun ke depan, ketika pelajaran sejarah akan dituturkan kepada generasi baru, bagaimana menceritakan Soeharto dan Marsinah?
    Bisahkah kisah Marsinah, yang dibunuh secara keji pada awal Mei 1993, dituturkan tanpa menyebut Soeharto dan Orde Baru-nya?
    Marsinah, yang lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, lahir dari keluarga miskin. Ia kemudian diasuh oleh nenek dan bibinya. Marsinah muda merasakan pahit-getirnya terlempar dari bangku sekolah karena biaya pendidikan.
    Marsinah adalah satu contoh dari mereka yang tersisih dari derap pembangunan era Orde Baru. Lahir dari keluarga miskin, bukan keluarga PNS atau ABRI, pilihan Marsinah untuk menaiki tangga sosial sangatlah terbatas. Pilihan yang terbuka hanya menjadi buruh pabrik.
    Awalnya, ia bekerja di pabrik sepatu bata di Surabaya. Lalu, setahun berselang, ia pindah tempat bekerja: menjadi buruh PT Catur Putra Surya (PT. CPS), pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
    Namun, ketika bekerja sebagai buruh, ia diperhadapkan dengan sistem perburuhan Orde Baru: politik upah murah, hubungan industrial Pancasila, dan pelibatan militer dalam konflik industrial (Dwi-Fungsi ABRI).
    Saat itu, upah Marsinah hanya Rp 1.700 per hari. Di tahun yang sama, harga beras adalah Rp 700/kg. Artinya, 41,18 persen upah hari buruh habis hanya untuk satu kilogram beras.
    Pada 1993, upah pekerja naik sebesar 20 persen berdasarkan Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Seharusnya upah Marsinah dan kawan-kawannya naik menjadi Rp 2.250 per hari. Namun, perusahan tempat Marsinah bekerja tak mengindahkan beleid itu.
    Situasi itulah yang membuat Marsinah dan kawan-kawannya memakai cara yang diakui oleh hukum perburuhan negara beradab: mogok kerja.
    Namun, politik perburuhan Orde Baru menekankan stabilitas di bawah panji-panji hubungan industrial Pancasila: buruh, bersama pengusaha dan pemerintah, dianggap ”satu keluarga besar” yang seharusnya hidup harmonis.
    Dalam cara pandang itu, aksi mogok dianggap sebagai tindakan yang tidak pancasilais dan tidak indonesia (Vedi Hadiz, 1998).
    Pada masa itu, untuk menegakkan politik stabilitas, termasuk menegakkan hubungan industrial Pancasila, penguasa Orde Baru melibatkan tentara. Dan itu dimungkinkan karena ada doktrin Dwifungsi ABRI.
    Pada 1986, Menteri Tenaga Kerja Sudomo mengeluarkan Keputusan Menteri 342/1986 yang mengharuskan aparat keamanan (Kodim dan Korem) terlibat dalam penyelesaian penyelesaian industrial.
    Bahkan, petugas Depnaker perlu berkoordinasi dengan Pemda, Polres dan Kodim ketika menanggulangi ancaman tindakan fisik dalam pemogokan (Rudiono, 1992: 80).
    Tahun 1990-an, ketika aksi mogok buruh mulai berkembang karena kondisi kerja yang buruk dan politik upah murah, Bakorstanas melalui Surat Keputusan Nomor 02/Satnas/XII/1990 memberi wewenang kepada militer untuk mendeteksi, mencegah, dan menekan gejolak buruh.
    Situasi itulah yang memberi pintu pada Koramil Porong dan Kodim Sidoarjo untuk bergerak mengintervensi aksi mogok yang digelar oleh Marsinah dan kawan-kawannya.
    Pada 5 Mei 1993, hari ke-3 aksi mogok kerja, sebanyak 13 buruh ditangkap dan digelandang ke Kodim Sidoarjo.
    Hari itu, Marsinah sempat mendatangi markas Kodim Sidoarjo untuk menanyakan nasib kawan-kawannya. Namun, setelah itu, keberadaan Marsinah tak diketahui lagi.
    Hingga, pada 8 Mei 1993, jenazah Marsinah ditemukan di hutan jati Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Sebelum meninggal, Marsinah mengalami penganiayaan dan penyiksaan super berat. Ia bahkan diperkosa sebelum dibunuh.
    Di sini jelas sekali bahwa Marsinah adalah korban dari sistem politik perburuhan Orde Baru. Dan penanggung jawab tertinggi dari sistem itu adalah Soeharto.
    Tentu saja, kita tak bisa hidup dalam situasi yang disebut oleh Paul Ricœur (2000) sebagai ”ingatan berlebihan”, yang membuat kita hanya berkutak dengan masa lalu dan tak berusaha mencari jalan keluar untuk menatap masa depan.
    Namun, ingatan bangsa tak boleh mengabaikan ”luka sejarah” atau ”memoria passionis” tetap menjadi luka yang menganga dan tak tersembuhkan.
    Di sini, Ricœur (2000) menawarkan dua jalan. Pertama, narasi sejarah yang benar, berpijak pada fakta-fakta yang bisa diuji secara ilmiah, sebagai jalan mengubur hantu-hantu masa lalu.
    Pemahaman sejarah yang benar akan menuntun kita untuk tidak mengulang kesalahan yang sama di masa depan.
    Kedua, pemulihan keadilan dengan meruntuhkan tembok impunitas dan pengakuan bersalah dari pelaku. Tanpa keduanya, rekonsoliasi nasional hanya ”kosmetik politik” dan proyek politik yang rapuh.
    Namun, keputusan mengangkat Marsinah bersanding dengan Soeharto justru berusaha menyusun ingatan bangsa dalam narasi sejarah yang bermasalah, mempertebal impunitas, dan memperlebar luka sejarah yang belum tersembuhkan.
    Tanpa narasi sejarah yang benar, Marsinah adalah korban politik perburuhan dan doktrin Dwifungsi ABRI era Orde Baru, bangsa ini tidak pernah belajar dari masa lalu.
    Dan seperti dikatakan penulis Spanyol, George Santayana, ”mereka yang tak mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya.”
    Selain itu, mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, tokoh yang bertanggung-jawab terhadap banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, hanya mempertebal tembok impunitias dan membuka luka sejarah semakin menganga.
    Kasus pembunuhan Marsinah, yang terjadi pada 32 tahun yang lampau, sampai sekarang belum terang-benderang. Saat itu, ada sembilan orang ditangkap, yang sebagian besar petinggi PT CPS dan Satpam.
    Pada tingkat kasasi, keputusan Mahkamah Agung mememutuskan para tersangka bebas murni karena tak terbukti membunuh Marsinah. Dalam kesaksiannya, para tersangka mengaku disiksa oleh aparat militer setempat untuk mengaku sebagai pembunuh Marsinah.
    Padahal, dari kronologi hingga temuan forensik, ada peran aparat yang sangat besar dalam kasus tersebut.
    Abdul Mun’im Idries, seorang saksi ahli yang menuliskan temuannya dalam Indonesian X-Files (2013), penyebab kematian Marsinah bukan karena sodokan balok tumpul, melainkan senjata api yang ditembakkan ke rongga kemaluan dan menghancurkan tulang di sekelilingnya.
    Padahal, Ricœur mengingatkan, ingatan kolektif bukan sekadar mengingat beberapa potongan kejadian di masa lalu, tetapi ingatan yang menagih agar kejahatan masa lalu diselesaikan secara adil.
    ”Setiap orang berhak atas keadilan, bahkan ketika ia sudah tiada,” kata Ricœur.
    Tentu saja, keputusan mengangkat Soeharto sebagai pahlawan tak hanya melukai rasa keadilan bagi Marsinah, tapi juga membuat luka
    memoria passionis
    yang diderita oleh mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dari peristiwa 1965 hingga peristiwa Mei 1998, semakin mengangaga.
    Sebagai bangsa, ia hanya mempertebal ingatan kelam kita pada kebijakan pembangunan yang sentralistik (bertumpu di Jawa), politik pembangunan
    top-down
    yang menggilas rakyat jelata atas nama pembangunan, kapitalisme kroni, praktik KKN yang dianggap lumrah, budaya asal bapak senang (ABS), dan pembungkaman kebebasan berserikat dan berpendapat.
    Akhirnya, ingatan bangsa tak membuat kita melangkah maju, tetapi hanya berkutat dalam pertempuran masa lalu.
    Sebab, ada tagihan masa lalu, dalam hal ini pengungkapan kebenaran dan tegaknya keadilan, yang belum dibayar tunai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PKB Jombang Gelar Tasyakuran untuk Gus Dur, Syaikhona Cholil, dan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional

    PKB Jombang Gelar Tasyakuran untuk Gus Dur, Syaikhona Cholil, dan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional

    Jombang (beritajatim.com) – Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Jombang menggelar tasyakuran atas penetapan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Syaikhona Cholil Bangkalan, dan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional pada Selasa (11/11/2025).

    Acara yang berlangsung di Graha Gus Dur, Kantor DPC PKB Jombang, dihadiri oleh puluhan kader dan pengurus PKB serta badan otonomnya (banom), yang berkumpul dalam suasana haru dan penuh kebahagiaan.

    Tasyakuran ini tidak hanya menjadi momen syukur, tetapi juga sebagai refleksi atas perjuangan luar biasa yang telah diberikan oleh Gus Dur dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, pluralisme, dan demokrasi di Indonesia.

    Selain itu, acara tersebut juga menjadi bentuk penghormatan atas penganugerahan Pahlawan Nasional kepada Syaikhona Cholil Bangkalan dan Marsinah, dua tokoh yang berperan penting dalam perjuangan di bidang keagamaan dan buruh.

    Acara ini semakin istimewa dengan kehadiran tokoh agama dan pengasuh pondok pesantren, seperti KH. M. Jauharul Afif (Gus Afif), Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Sunan Bonang Mambaul Maarif Denanyar Jombang, yang memimpin doa bersama. Di dalam ruangan, terpampang potret Gus Dur yang tersenyum, seolah menjadi saksi kebahagiaan dan kebanggaan para pengikutnya.

    Dalam sambutannya, Hadi Atmaji, Ketua DPC PKB Jombang, menyampaikan, “Bagi kami, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Gus Dur bukan hanya penghormatan kepada sosok pribadi, tapi juga pengakuan terhadap gagasan-gagasan besar beliau. Gus Dur adalah simbol kemanusiaan yang melampaui sekat agama, suku, dan golongan.”

    Hadi juga menegaskan bahwa semangat perjuangan Gus Dur akan terus menginspirasi seluruh kader PKB, khususnya di Jombang, yang merupakan tempat kelahiran tokoh besar Nahdlatul Ulama itu.

    Tasyakuran yang digelar di Graha Gus Dur Jombang

    “Kami ingin meneruskan perjuangan beliau dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan, keadilan sosial, serta keberpihakan kepada kaum lemah. Tasyakuran ini adalah wujud cinta dan penghormatan kami terhadap sosok guru bangsa,” tambah Hadi dengan penuh semangat.

    Anas Burhani, Sekretaris DPC PKB Jombang, juga menyoroti pentingnya penghargaan ini sebagai pengingat bagi kader PKB untuk tidak melupakan akar perjuangan partai yang lahir dari pemikiran Gus Dur.

    “Bagi kami, Gus Dur bukan hanya tokoh politik, tapi juga teladan moral. Beliau mengajarkan bahwa politik harus berorientasi pada kemanusiaan dan keberpihakan kepada rakyat kecil. Semangat inilah yang harus terus kami rawat,” ujarnya.

    DPC PKB Jombang juga berencana untuk menggelar rangkaian kegiatan lanjutan, seperti ngaji kebangsaan, ziarah ke makam Gus Dur di Tebuireng, dan diskusi tentang pemikiran Gus Dur. Anas berharap kegiatan ini dapat menghidupkan kembali nilai-nilai perjuangan Gus Dur di tengah masyarakat.

    Senyum para kader PKB menjadi bukti bahwa perjuangan Gus Dur kini tidak hanya diakui secara resmi oleh negara, tetapi juga tetap hidup dalam hati para pengikutnya.

    Hadi Atmaji menutup sambutannya dengan harapan, “Bagi keluarga besar PKB Jombang, Gus Dur bukan sekadar pendiri partai, tetapi juga pelita yang menuntun arah perjuangan. Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional menunjukkan bahwa nilai-nilai kejujuran, keberanian, dan kemanusiaan akan selalu abadi, seperti jejak Gus Dur yang tak pernah pudar dalam sejarah bangsa.” [suf]

  • Gedung KemenHAM Kini Bernama ‘KH Abdurrahman Wahid’, Natalius Pigai: Ini Wujud Penghormatan Kami

    Gedung KemenHAM Kini Bernama ‘KH Abdurrahman Wahid’, Natalius Pigai: Ini Wujud Penghormatan Kami

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Setelah menamai Ruang Marsinah sebagai bentuk penghormatan terhadap aktivis buruh yang gugur demi keadilan sosial, Natalius Pigai juga menetapkan nama Gedung KH Abdurrahman Wahid untuk Gedung Kementerian HAM Republik Indonesia.

    Penetapan nama itu, kata Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) RI ini, merupakan wujud penghargaan terhadap sosok Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

    “Saya langsung menetapkan nama Gedung Kementerian Hak Asasi Manusia dengan nama Gedung KH Abdurrahman Wahid,” ujar Pigai dalam keterangannya tertulisnya kepada fajar.co.id, Selasa (11/11/2025).

    Gus Dur selama hidupnya dikenal sebagai pejuang kemanusiaan dan pelopor kebebasan beragama di Indonesia.

    “Ini bentuk penghormatan atas peran dan jasa beliau dalam bidang Hak Asasi Manusia. Beliau bagaimana pun adalah tokoh dan pejuang HAM,” sebutnya.

    Pigai mengatakan, Gus Dur adalah figur yang tidak hanya memperjuangkan keadilan bagi kelompok tertentu, tetapi juga membela hak-hak manusia secara universal.

    Nilai-nilai yang diwariskan Gus Dur, lanjutnya, menjadi fondasi penting dalam membangun kesadaran kemanusiaan di Indonesia.

    Dia berharap gedung berlantai sembilan yang kini resmi bernama Gedung KH Abdurrahman Wahid itu menjadi pusat peradaban Hak Asasi Manusia tempat di mana nilai kemanusiaan, keadilan, dan keberagaman tumbuh sebagaimana visi Gus Dur semasa hidupnya.

    “Pada zaman beliau Presiden pun, beliau mendirikan Kementerian HAM. Ini bentuk perhatian dan keberpihakan yang jelas pada isu Hak Asasi Manusia,” ucap Pigai.

  • Taufiq MS: Penganugerahan Pahlawan Nasional Harus Jadi Refleksi, Ada Ironi Marsinah dan Soeharto

    Taufiq MS: Penganugerahan Pahlawan Nasional Harus Jadi Refleksi, Ada Ironi Marsinah dan Soeharto

    Surabaya (beritajatim.com) – Politisi muda Surabaya, Taufiq MS, mengajak publik menjadikan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional tahun ini sebagai bahan refleksi sejarah. Menurutnya, ada ironi ketika nama Marsinah, aktivis buruh yang gugur karena melawan represi, bersanding dengan Soeharto, yang berkuasa pada masa ketika penindasan itu terjadi.

    “Ada ironi sejarah di sana. Di satu sisi, kita memuliakan korban perjuangan buruh; di sisi lain, kita juga memuliakan penguasa pada masa ketika suara buruh dibungkam,” ujar Taufiq, yang juga Ketua IKA FISIP UINSA, Selasa (11/11/2025).

    Ia menilai publik pasti menangkap kontras tersebut sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa. Situasi itu, kata Taufiq, perlu menjadi renungan bersama agar penghargaan pahlawan tidak berhenti pada seremoni semata. “Ini paradoks yang perlu menjadi bahan refleksi bersama,” tambahnya.

    Meski demikian, Taufiq menyampaikan apresiasi terhadap penganugerahan gelar pahlawan kepada seorang kiai asal Madura yang dikenal sebagai guru KH Hasyim Asy’ari. Ia menyebut keputusan itu menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya terjadi di medan pertempuran.

    “Pemerintah telah menunjukkan sikap berkeadilan sejarah. Bahwa pahlawan bukan hanya mereka yang berjuang di medan tempur, tetapi juga para kiai dan guru bangsa yang menanamkan nilai keislaman, kebangsaan, dan kemerdekaan,” kata politisi muda dari Partai NasDem tersebut.

    Taufiq juga memberi penghormatan terhadap penganugerahan gelar pahlawan untuk Marsinah, aktivis buruh perempuan yang gugur karena perjuangannya. Ia menyebut figur Marsinah sebagai simbol keberanian perempuan dan keteguhan kelas pekerja melawan ketidakadilan.

    “Marsinah adalah simbol perjuangan kelas pekerja dan keberanian perempuan melawan ketidakadilan. Dia pantas mendapatkan gelar itu, bahkan mungkin sudah lama layak,” ujarnya.

    Taufiq menegaskan, penghormatan kepada para pahlawan harus diwujudkan melalui kebijakan dan keberpihakan nyata kepada rakyat. Menurutnya, semangat keadilan sosial adalah fondasi yang tidak boleh dilepaskan dari makna kepahlawanan.

    “Semangat para kiai dan aktivis seperti Marsinah adalah napas bangsa ini. Jangan sampai penghargaan itu berhenti sebagai simbol dan mengaburkan makna perjuangan,” pungkasnya. [asg/kun]

  • Surabaya Kretekroncong Festival 2025: Menjaga Warisan Kretek dan Harmoni Ekonomi Budaya Bangsa

    Surabaya Kretekroncong Festival 2025: Menjaga Warisan Kretek dan Harmoni Ekonomi Budaya Bangsa

    Surabaya (beritajatim.com) – Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) bersama Lembaga Kajian Ekonomi, Budaya, dan Transformasi Sosial Lentera Nusantara sukses menyelenggarakan Surabaya Kretekroncong Festival 2025, Jumat (7/11/2025).

    Festival ini mengangkat dua elemen khas budaya Indonesia, yakni kretek dan musik keroncong, sebagai simbol kreativitas rakyat dan identitas nasional yang kini menghadapi tantangan besar di tengah arus modernisasi dan tekanan global.

    Direktur Lentera Nusantara, Irfan Wahyudi, menegaskan, kretek dan keroncong sama-sama lahir dari rahim rakyat kecil. Keduanya merupakan wujud konkret kreativitas dan daya juang masyarakat yang tumbuh di tengah keterbatasan.

    “Kita semua hidup di masa ketika seluruh aspek kehidupan rakyat beririsan dengan kebijakan dan tekanan global. Kretek dan keroncong adalah representasi jati diri bangsa, lahir dari lorong-lorong kehidupan dan tangan para pekerja,” ujarnya.

    Menurut Irfan, warisan budaya seperti kretek dan keroncong kini menghadapi ancaman serius akibat regulasi yang kian ketat serta perubahan nilai sosial di masyarakat. “Kebijakan ekonomi dan kesehatan publik sering kali tidak memperhitungkan dimensi sosial-budaya yang melekat pada tradisi lokal,” katanya. Padahal, di balik sebatang kretek maupun denting alat musik keroncong, tersimpan kisah tentang solidaritas, kerja keras, dan daya cipta rakyat Indonesia.

    Ia menegaskan pentingnya menemukan titik keseimbangan antara pengendalian dan pelestarian, antara regulasi dan keberlanjutan ekonomi rakyat. “Kita perlu kebijakan yang tidak sekadar menekan, tetapi juga merawat. Seperti harmoni dalam keroncong, setiap nada memiliki tempatnya, setiap instrumen memiliki perannya,” ujar Irfan.

    Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya, Sulami Bahar, menyoroti bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan sektor dengan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional.

    “Pada tahun 2024, kontribusi IHT mencapai Rp218 triliun, dan sekitar 65 persen di antaranya berasal dari Jawa Timur”, ungkapnya. Angka ini membuktikan bahwa industri kretek bukan sekadar warisan budaya, melainkan juga penopang utama ekonomi daerah.

    Sulami menjelaskan, kontribusi IHT tidak hanya menyokong penerimaan negara hingga 11 persen dari total APBN, tetapi juga menyerap lebih dari enam juta tenaga kerja di seluruh Indonesia. “Mulai dari petani, buruh linting, hingga pelaku distribusi, semua bergantung pada sektor ini. Rantai pasoknya murni berbasis lokal,;dari bahan baku, produksi, hingga konsumsi,” jelasnya.

    Namun, di balik sumbangsih besar itu, industri ini menghadapi tekanan regulasi yang tidak ringan. Menurut Sulami, ada lebih dari 500 regulasi yang mengikat industri hasil tembakau, ditambah kenaikan tarif cukai yang kerap memberatkan. “Alhamdulillah, keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai di tahun 2026 memberi napas bagi industri,” ujarnya.

    Ia juga mengkritisi kebijakan nonfiskal seperti pembatasan kadar nikotin dan larangan iklan yang terlalu ketat.

    “Kalau nikotin lokal dibatasi hanya 2 miligram, sementara tembakau Nusantara rata-rata 1-8 miligram, maka cita rasa kretek akan hilang. Tembakau petani juga tidak akan bisa terserap. Ini bukan hanya persoalan industri, tapi juga hilangnya identitas budaya bangsa,” tegasnya.

    Lebih lanjut, Sulami menyerukan agar pemerintah serius menindak peredaran rokok ilegal yang merugikan negara hingga puluhan triliun rupiah per tahun. “Rokok ilegal adalah musuh utama kami. Jika dibiarkan, yang rugi bukan hanya negara, tapi juga jutaan pekerja sah yang hidup dari industri resmi,” ujarnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Prof. Nugrahini Susantinah Wisnujati, menyampaikan pandangannya tentang arah kebijakan strategis bagi sektor pertembakauan. Ia menilai, penting untuk mendorong hilirisasi produk tembakau agar Indonesia tidak hanya mengekspor bahan mentah, tetapi mengolahnya menjadi produk bernilai tambah tinggi di dalam negeri.

    Prof. Nugrahini juga menekankan pentingnya pembentukan ekosistem pertembakauan yang kuat, melalui forum lintas sektor seperti komunitas petani, lembaga riset, dan industri kecil menengah. “Kita perlu wadah yang mendukung inovasi, kualitas, dan diversifikasi produk berbasis tembakau nasional,” tuturnya.

    Tak hanya itu, ia mengusulkan agar tembakau Indonesia didaftarkan dengan indikasi geografis (IG) seperti halnya kopi Bali atau cokelat Sulawesi, agar produk tembakau lokal memiliki identitas dan daya saing global. “IG akan meningkatkan kepercayaan pasar internasional sekaligus melindungi karakteristik tembakau kita yang unik,” ujarnya.

    Di tengah derasnya arus globalisasi dan regulasi internasional anti-tembakau, Prof. Nugrahini mengingatkan pentingnya riset lintas disiplin agar kebijakan yang dibuat bersifat objektif dan ilmiah. “Kita tidak boleh hanya memberi justifikasi bahwa rokok berbahaya. Akademisi harus berbicara berdasarkan hasil penelitian yang komprehensif,” tegasnya.

    Festival Kretekroncong 2025 pun menjadi simbol kebangkitan kesadaran nasional akan pentingnya merawat kearifan lokal di tengah perubahan zaman. Melalui harmoni keroncong dan aroma kretek, bangsa ini diingatkan bahwa budaya bukanlah beban masa lalu, melainkan fondasi masa depan.

    “Seperti nada-nada keroncong yang berpadu mencipta keindahan, ekonomi, kebijakan, dan nilai kemanusiaan harus terus dijaga keseimbangannya demi Indonesia yang berdaulat secara budaya dan ekonomi,” pungkas Irfan Wahyudi. (ted)

  • 2 Perusahaan Jepang di Malaysia Didemo Pekerja Migran Bangladesh, Diduga Terkait Ekploitasi

    2 Perusahaan Jepang di Malaysia Didemo Pekerja Migran Bangladesh, Diduga Terkait Ekploitasi

    JAKARTA – Sekitar 100 buruh Bangladesh yang bekerja di perusahaan-perusahaan Malaysia berunjuk rasa pada hari Senin, 10 November. 

    Mengutip AP, demonstrasi ini digelar di Kementerian Kesejahteraan Ekspatriat dan Ketenagakerjaan Luar Negeri di ibu kota Bangladesh, Dhaka.

    Mereka menuntut upah yang belum dibayar, kompensasi yang adil, dan penindakan hingga tuntas dugaan penganiayaan oleh para majikan Malaysia.

    Demo buruh ini diinisiasi kelompok migran Bangladesh ‘Jaringan Kesejahteraan Migran’ yang berbasis di Malaysia dan Bangladesh.

    Para demonstran mengatakan perlakuan buruk meluas terhadap buruh migran di Malaysia, salah satu negara terkaya di Asia Tenggara. 

    Mereka juga menuntut upah belum dibayar dan kompensasi bagi 431 buruh Bangladesh yang mereka katakan dieksploitasi oleh dua perusahaan Malaysia, Mediceram dan Kawaguchi Manufacturing.

    Saat dikonfirmasi, dua perusahaan Malaysia sasaran demo ini belum memberikan komentar lebih lanjut. 

    Adapun banyak pabrik di Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya mengandalkan buruh migran, seringkali dari Bangladesh, Myanmar, dan Nepal, untuk mengisi pekerjaan padat karya di bidang manufaktur, perkebunan, atau konstruksi. 

    Pekerja lokal biasanya menghindari pekerjaan semacam itu karena kondisi kerja yang buruk dan upah yang rendah.

    Jaringan Kesejahteraan Migran mendesak otoritas Bangladesh dan Malaysia serta perusahaan internasional pemberi kerja buruh migran segera mengambil tindakan atas dugaan-dugaan yang disuarakan para demonstran ini.

    Adanya Pengaduan

    Kelompok tersebut dalam pernyataannya hari ini mengklaim adanya pengaduan yang diajukan ke Pemerintah Malaysia terhadap perusahaan Australia, Ansell, terkait dugaan kerja paksa dan kelalaian.

    Ansell diketahui pelanggan utama Mediceram, yang memproduksi sarung tangan untuk keperluan medis, industri, dan rumah tangga.

    Pengaduan terpisah diajukan juga terhadap Kawaguchi, yang memasok komponen plastik ke perusahaan-perusahaan besar Jepang, termasuk Sony Group.

    Pada Mei 2025, sekitar 280 pekerja migran Bangladesh yang bekerja di Kawaguchi menuntut ratusan ribu dolar dalam bentuk upah tertunggak dan uang lain yang terutang kepada mereka setelah perusahaan tersebut tutup lima bulan sebelumnya.

    Para pekerja di pabrik Kawaguchi di Port Klang mengajukan keluhan di Malaysia dan Bangladesh. Mereka mengklaim perusahaan telah menahan upah mereka hingga delapan bulan sebelum akhirnya tutup, setelah Sony dan Panasonic Holdings Corp., dua pelanggan utama Kawaguchi, menghentikan pesanan sebagai tanggapan atas tuduhan perlakuan buruk terhadap para pekerja.

    “Awalnya, mereka membayar gaji secara mencicil, artinya mereka memberikan 500–1000 ringgit (sekitar 120–240 dolar) per bulan sebagai biaya makan,” ujar mantan karyawan Kawaguchi, Omar Faruk, yang mulai bekerja di perusahaan tersebut pada tahun 2022. 

    “Setelah menahan gaji, perusahaan mulai mempertimbangkan untuk tutup. Kemudian, kami mengajukan keluhan kepada Komisi Tinggi Bangladesh di Malaysia.”

    Harun Or Rasid Liton, yang bekerja di Mediceram, menuduh perusahaan tersebut tidak membayar meskipun ada perintah dari Pengadilan Perburuhan Malaysia.

    “Pengadilan memutuskan bahwa perusahaan akan membayar kami 1.000 ringgit per bulan, tetapi perusahaan hanya membayar cicilan pertama dan kemudian berhenti membayar,” ujarnya. 

    “Kemudian, kami terpaksa kembali ke Bangladesh. Sekarang kami menghadapi kesulitan berat dalam menghidupi keluarga kami,” sambungnya.

    Selain itu, terdapat banyak laporan kasus dugaan pelecehan terhadap pekerja Bangladesh di Malaysia, dan perselisihan antara karyawan dan perusahaan ditenggarai karena hubungan diplomatik antara Bangladesh dan Malaysia. 

    Kelompok-kelompok hak asasi pekerja telah menuntut pengawasan ketat terhadap kelompok agen perekrutan dan perantara yang berkuasa yang memonopoli pekerjaan semacam itu.

  • Kapolri Bertemu Sekjen ITUC, Bahas Kolaborasi Perlindungan dan Kesejahteraan Buruh

    Kapolri Bertemu Sekjen ITUC, Bahas Kolaborasi Perlindungan dan Kesejahteraan Buruh

    Selain upaya di bidang ketenagakerjaan, Polri juga aktif membangun kedekatan sosial dengan komunitas buruh melalui berbagai kegiatan bersama. Kegiatan tersebut di antaranya buka puasa dan pembagian takjil gratis, peringatan Hari Buruh, bakti sosial dan kesehatan pada Hari Bhayangkara ke-79, hingga peringatan HUT Serikat Buruh.

    Polri juga mendukung pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) KSPSI di Kabupaten Purwakarta melalui agenda groundbreaking yang turut dihadiri perwakilan buruh dan pemerintah. Listyo menyebut seluruh kegiatan tersebut sebagai bukti nyata komitmen Polri yang terus menjaga sinergitas dengan elemen buruh di seluruh Indonesia.

    Lebih lanjut, Listyo menyampaikan bahwa Polri akan terus memperkuat kerja sama dengan ITUC, ITUC Asia Pacific, serta konfederasi buruh nasional dalam menciptakan iklim ketenagakerjaan yang aman, adil, dan produktif.

    “Polri akan terus bersinergi dan berkolaborasi dengan Konfederasi Buruh Internasional, serta serikat buruh Indonesia untuk bersama-sama memperkuat perlindungan hak-hak buruh,” tegas Listyo.

    Ia menambahkan, kolaborasi lintas lembaga ini diharapkan mampu mendukung terciptanya iklim ketenagakerjaan yang kondusif dan berkeadilan bagi seluruh pekerja di Indonesia.

    “Guna mendukung terciptanya iklim ketenagakerjaan yang kondusif dan berkeadilan,” tandasnya.

  • Sekolah Rakyat di Sragen, Bangkitkan Asa Anak Putus Sekolah Kejar Cita-cita…
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        10 November 2025

    Sekolah Rakyat di Sragen, Bangkitkan Asa Anak Putus Sekolah Kejar Cita-cita… Regional 10 November 2025

    Sekolah Rakyat di Sragen, Bangkitkan Asa Anak Putus Sekolah Kejar Cita-cita…
    Tim Redaksi
    SRAGEN, KOMPAS.com
    – Dimulainya pembelajaran Sekolah Rakyat Terintegerasi (SRT) 78, Sragen, Jawa Tengah (Jateng) membangkitkan asa para anak dari keluarga miskin.
    Mereka yang dulunya putus asa karena kondisi keadaan ekonomi, kini memiliki harapan untuk merengkuh cita-citanya.
    Pendidikan di SRT 78 ditandai dengan digelarnya Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di kawasan UPTD BLK BKPSDM, Jl. Veteran No.11, Magero,
    Sragen
    , Senin (10/12/2025). Lokasi tersebut adalah lokasi sementara yang digunakan oleh para siswa dan guru SRT 78.
    Luas lahan lokasi sementara itu mencapai 2100 meter persegi, selain itu juga telah ada asrama, ruang kelas, ruang guru, ruang makan, lab. komputer, lab. IPA, ruang jenguk dan lapangan olahraga.
    Selama kurang lebih 1 tahun ke depan, sebanyak 25 siswa SMP dan 25 siswa SMA akan menempuh pendidikannya masing-masing dengan konsep boarding school. Pendidikan para siswa akan dilanjutkan ke lokasi baru di Mondokan, Sragen setelah proses pembangunan selesai.
    Ipan Sobirin (16) mengungkapkan kegembiraannya saat bisa kembali bersekolah di jenjang SMA. Kenginginannya menjadi seorang notaris mungkin saja bisa tercapai.
    Ipan dulunya adalah siswa kelas 10 MAN 2 Sragen. Ia berhenti setelah 4 bulan bersekolah karena tidak memiliki alat tranaportasi dan tidak sanggup membayar SPP.
    “Jadi saya hanya 4 bulan sekolah dan tidak sekolah beberapa minggu lalu didaftarkan ke sini oleh pihak kecamatan,” kata dia.
    Saat MPLS diselenggarakan, dikala para siswa lain ditemani ayah dan ibunya, Ipan diantarkan oleh seorang pegawai kecamatan bernama Lala.
    Kedua orang tuanya tak bisa mengantarkan Ipan ke sekolah barunya karena alasan masing-masing.
    Pengalaman berbeda diungkapkan Ega Elfiyana Pramesti (16). Ia berhenti menempuh jalur pendidikan formal saat kelas 8.
    “Udah gak sekolah sejak 2024. SMP kelas 8. Dulu pesantren, terus keluar, kerja. Ada
    sekolah rakyat
    mau cari ijazah mau ngejar cita-cita,” bebernya.
    Ega yang bercita-cita sebagai pramugari itu mengatakan, saat keluar dari pondok tak langsung melanjutkan ke sekolah biasa karena terpengaruh teman.
    Ia justru memilih bekerja sebagai buruh pabrik konveksi. Sedangkan kedua orangtuanya sehari-hari bekerja sebagai kuli.
    “Kan temenku juga keluar udah dapat kerja juga. Terus aku ikut kerja. Bentar cuma 5 bulan,” terangnya.
    “Misalnya baris berbaris, kegiatan kedisiplinan. Karena di sini 24 jam ada tata tertib setiap tempatnya,” katanya.
    Sementara proses pembelajaran akademik akan dimulai minggu depan dengan jadwal Senin – Jumat. Sementara Sabtu dan Minggu akan diberikan tambahan berupa pendidikan karakter.
    Proses pembelajaran akademik baru akan dilakulan setelah dalam 3 minggu ke depan. MPLS dilaksanakan selama 2 minggu dilanjutkan dengan evaluasi.
    Giyatno memaparkan, dalam hitungan kalender akademik, proses pembelajaran di SRT 78 terlambat. Namun demikian, pihaknya telah berkoordinasi dengan pihak Kemenkes terkait kurikulum sehingga bisa selaras dengan kurikulum yang ada di sekolah-sekolah umum.
    “Pada prinsipnya semester 1 tetap dijalankan. Walau waktunya pendek. Nanti tanggal 30 Desember 2025 harus rapot sama seperti regular,” paparnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Marsinah Pahlawan Nasional, "Palu Godam" bagi Perjuangan Buruh
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        10 November 2025

    Marsinah Pahlawan Nasional, "Palu Godam" bagi Perjuangan Buruh Surabaya 10 November 2025

    Marsinah Pahlawan Nasional, “Palu Godam” bagi Perjuangan Buruh
    Tim Redaksi
    NGANJUK, KOMPAS.com
    – Pemberian gelar Pahlawan Nasional di Bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan kepada Marsinah, aktivis buruh asal Nganjuk yang meninggal dunia pada 1993, dinilai sebagai langkah tepat dan bersejarah.
    Menurut Ketua Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Nusantara PGRI (UNP) Kediri, Nara Setya Wiratama, penetapan ini bukan hanya bentuk penghormatan terhadap keberanian
    Marsinah
    , tetapi juga dapat menjadi legitimasi moral dan politik bagi perjuangan kaum buruh di Indonesia.
    “Pemberian gelar
    pahlawan nasional
    ini adalah legitimate, sudah diakui oleh nasional. Meskipun itu seakan-akan hanya hitam di atas putih, tetapi itu menjadi fondasi (perjuangan buruh),” kata Nara kepada
    Kompas.com
    , Senin (10/11/2025).
    Nara mengatakan, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Marsinah dapat menjadi “palu godam” bagi para buruh, ketika hak-hak mereka tidak dipenuhi atau bahkan didiskriminasi oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.
    “Dengan Marsinah yang saat ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional, itu menjadi palu godam yang bisa digunakan oleh teman-teman buruh ketika suatu saat nasib buruh itu dipontang-panting atau didiskriminasi,” tuturnya.
    Pria yang juga menjadi anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten
    Nganjuk
    ini sangat setuju dengan langkah pemerintah menetapkan Marsinah sebagai pahlawan nasional.
    Bagi Nara, keberanian Marsinah yang memperjuangkan hak-haknya sebagai buruh pada masa akhir pemerintahan Orde Baru merupakan tindakan yang luar biasa.
    “Waktu itu pemerintahannya begitu sentralistik dan cenderung otoriter, tidak ada siapa pun yang berani. Siapa pun yang yang berani ya risikonya dibungkam atau hilang,” ucap Nara.
    “Nah, Marsinah ini sosok yang berani, dia adalah salah satu contoh perjuangan, apalagi dia adalah seorang wanita,” kata dia.
    Menurut Nara, sosok Marsinah menembus batas sosial dan politik zamannya, apalagi sebagai seorang perempuan.
    Ia memperjuangkan nasib buruh yang kala itu bekerja dengan tekanan tinggi, tetapi menerima upah tidak layak.
    “Saya sangat cocok dan sepakat Marsinah menjadi pahlawan nasional, dan memang harusnya seperti itu, dan itu layak disandangkan untuk Marsinah,” kata dia. 
    Meski menyambut positif penetapan Marsinah sebagai pahlawan nasional, Nara menilai masih ada “utang sejarah” yang belum dituntaskan, yaitu pengungkapan dalang di balik pembunuhannya.
    Untuk itu, ia mendorong agar dibentuk tim ahli atau tim khusus untuk mengungkap dalang di balik terbunuhnya Pahlawan Nasional Marsinah.
    “Sebenarnya perlu ada tim khusus ya, atau tim ahli yang memang secara khusus untuk menyelidiki ini,” kata dia.
    Kendati demikian, Nara menyadari bahwa untuk mengungkap kasus ini tidak akan mudah.
    “Marsinah wafat tahun 1993, sudah 32 tahun kalau ditarik dari 2025. Artinya kalau mencari dalang siapa, itu sebenarnya sudah ada, banyak hipotesa yang menyatakan dalang si A, si B, dan sebagainya,” ujar dia. 
    “Tapi lagi-lagi ini kaitannya dengan kemauan pemerintah sendiri, itu mau atau tidak, gitu aja,” kata dia.
    Pada Senin (10/11/2025), Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan gelar pahlawan nasional di bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan kepada aktivis buruh, Marsinah.
    Pemberian gelar ini dilakukan Prabowo kepada ahli waris Marsinah di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025).
    Dalam proses pemberian gelar pahlawan ini, narator di Istana menyebutkan Marsinah sebagai simbol keberanian, moral, dan perjuangan hak asasi manusia (HAM).
    “Pahlawan bidang perjuangan sosial dan kemanusiaan. Marsinah adalah simbol keberanian, moral, dan perjuangan HAM dari kalangan rakyat biasa,” ujar narator di Istana.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Serikat Pekerja Ungkap Kisi-Kisi Dewan Kesejahteraan Buruh Era Prabowo

    Serikat Pekerja Ungkap Kisi-Kisi Dewan Kesejahteraan Buruh Era Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (DPP KSPSI) Andi Gani Nena Wea mengungkapkan bahwa pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN) akan segera diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam waktu dekat.

    Menurutnya, lembaga tersebut akan memiliki kedudukan kuat setingkat kementerian dan menjadi wadah perjuangan buruh dalam berbagai bidang kesejahteraan. 

    “Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional itu nanti akan berisi yaitu tokoh-tokoh buruh, para pimpinan buruh, lalu akademisi yang punya kepedulian terhadap perjuangan buruh, dan itu akan mempunyai legal standing yang sangat kuat setingkat kementerian,” ujar Andi Gani usai menghadiri Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2025 di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).

    Meskipun sudah memiliki gambaran mengenai nama-nama yang akan masuk dalam struktur DKBN, tetapi Andi Gani mengatakan belum dapat membocorkannya.

    Namun, dia menegaskan bahwa para pimpinan buruh tidak ingin menjadi pejabat negara, namun tetap akan mendukung keputusan Presiden. 

    “Tidak mau kalau kita jadi pejabat negaranya. Nah itu kan mesti dilihat. Jadi gini, kalau jadi pejabat tinggi negaranya, kami ingin tetap berjuang di jalanan. Tapi kan kami sangat mendukung Keputusan Presiden apapun itu. Karena niat baik Presiden sangat luar biasa. Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional itu bukan soal upah, outsourcing, perumahan, kesejahteraan buruh, pendidikan buruh, dan lain-lain,” katanya.

    Andi Gani menyebut pengumuman DKBN kemungkinan akan dilakukan dalam minggu ini.

    “Seharusnya minggu-minggu ini ya. Karena formatnya, strukturnya kan Keputusan Presiden sudah disiapkan tinggal diumumkan saja. Kemungkinan minggu ini ya, tapi saya belum tahu di Presiden,” ucapnya.

    Menjawab soal alasan pembentukan DKBN yang sempat tertunda, Andi menegaskan bahwa lembaga tersebut merupakan komitmen nyata Presiden Prabowo untuk memperkuat posisi buruh dalam sistem pemerintahan.

    “Ya tentu DKBN itu sendiri kan merupakan niat baik Presiden. Bagaimana buruh mempunyai sebuah kekuatan hukum. Berjuang. Jadi ada misalnya soal pengupahan, lalu soal perumahan. Tidak juga lupa soal pendidikan, itu Presiden ingin ada sebuah lembaga yang memang kuat, bukan ad hoc loh. Ini sebuah lembaga yang seperti ya hampir setingkat kementerian,” jelasnya. 

    Di sisi lain, dia juga menambahkan bahwa dirinya dan pimpinan serikat buruh lain seperti Said Iqbal tidak menolak untuk masuk ke dalam struktur DKBN, namun memilih tetap menjadi pimpinan buruh di luar pemerintahan.

    “Hanya memang saat itu saya dengan Said Iqbal bukan menolak masuk. Tapi kami tidak ingin menjadi pejabat tinggi negara karena kami ingin tetap jadi pimpinan buruh, bukan menolak masuk DKBN karena kita yang mengusul kan hanya kami, dalam kesempatan ini mencoba berterima kasih. Sudah ada dua janji Presiden yang dipenuhi, yaitu DKBN dan Ibu Marsinah menjadi pahlawan nasional,” kata Andi. 

    Selain itu, Andi Gani juga mengungkapkan akan ada pembentukan Satgas PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang berada di bawah DKBN.

    “Satgas PHK akan dipimpin oleh seorang tokoh yang luar biasa. Satgas PHK di bawah DKBN tapi yang pemimpin ketua Satgasnya, sangat luar biasa tokoh yang tidak diduga-duga. Dia akan jadi ketua Satgas PHK. Jadi bukan Polri, tapi sipil. Beliau saat ini menduduki jabatan tinggi di negara ini,” ujarnya.

    Menurutnya, posisi ketua Satgas PHK sangat penting karena akan berkoordinasi lintas kementerian.

    “Ya peran krusial gini Ketua Satgas PHK itu kan menghimpun lintas kementerian sektoral. Dari mulai industri, perdagangan. Butuh tangan kuat dan itu tepat pilihannya kepada beliau, karena dia bisa mengkoordinasikan setiap lintas kementerian. Bisa segera memutuskan sesuatu. Jadi tidak bertanya-tanya bisa memutuskan,” jelasnya.

    Andi menegaskan bahwa pembentukan DKBN akan dilakukan terlebih dahulu sebelum Satgas PHK.

    “Ya DKBN dulu dibentuk. DKBN lah yang membentuk Satgas PHK. Pokoknya semua sudah ada hanya tinggal pada waktu itu membahas ini yang duduk sebagai pejabat tinggi negara atau ad hoc. Tapi karena presiden kan punya kekuatan negara standing yang kuat. Karena bagaimana bisa berkomunikasi lintas sektor kementerian kalau posisinya tidak kuat,” pungkasnya.