Topik: Bantuan Sosial

  • Mulai 17 Agustus Keluar Masuk Uang Digital Diawasi Negara, Tersambung ke NIK dan Terpantau Pajak

    Mulai 17 Agustus Keluar Masuk Uang Digital Diawasi Negara, Tersambung ke NIK dan Terpantau Pajak

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah melalui Bank Indonesia bakal meluncurkan Payment ID pada 17 Agustus 2025. Itu akan memungkinkan pemantauan uang digital warga.

    Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP) BI Dicky Kartikoyono mengatakan Payment ID saat ini masih dalam tahap uji coba. Agar dapat digunakan pada ‘one use case’ tertentu saja, yaitu membantu akurasi penyaluran bantuan sosial non tunai.

    “Saat ini Payment ID masih dalam tahap uji coba/eksperimentasi untuk dapat digunakan pada satu use case tertentu saja yaitu membantu akurasi penyaluran bantuan sosial nontunai, yang akan dimulai prosesnya di 17 Agustus,” kata Dicky Kartikoyono dikutip ANTARA, Sabru (2/8/2025).

    Payment ID merupakan kode unik transaksi keuangan yang terintegrasi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Wacana ini jadi sorotan sebelum diluncurkan.

    Pasalnya, Payment ID disebut bisa memantau keuangan warga. Rencana pengembangan Payment ID sendiri sudah tercantum dalam Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2030.

    Pada dasarnya, ada tiga fungsi utama Payment ID. Pertama, sebagai kunci identifikasi profil pelaku sistem pembayaran.

    Kemudian kedua, sebagai alat otentikasi data dalam pemrosesan transaksi. Ketiga, sebagai penghubung antara profil individu dan data transaksi secara rinci.

    Dicky mengklaim, pengembangan dan penggunaan Payment ID sepenuhnya tunduk pada prinsip kerahasiaan data pribadi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

    “Oleh karenanya, pengembangan dan penggunaan data Payment ID dilindungi dan tunduk sepenuhnya pada kerahasiaan data individu sebagaimana diatur dalam UU PDP,” ujar dia.

  • Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Agustus 2025

    Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK Nasional 2 Agustus 2025

    Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    PEMBLOKIRAN
    rekening masyarakat sipil yang tidak aktif (dormant) mulai dilonggarkan. Namun, jangan buru-buru spontan memuji.
    Pelonggaran ini bukanlah tanda bahwa kebijakan membaik, melainkan merupakan pengakuan diam-diam atas logika serampangan yang pernah, dan mungkin masih, dijalankan negara atas nama intelijen keuangan (
    financial intelligence
    ).
    Kita pernah, dan tampaknya masih, hidup dalam rezim pengawasan keuangan yang menyamakan rekening pasif dengan potensi kriminal, menukar prinsip kehati-hatian dengan paranoia institusional.
    Tak pernah terbesitkah di benak
    PPATK
    bahwa sebagian rekening yang mereka blokir itu mungkin milik seseorang yang sedang sakit dan tengah menyimpan dana untuk membayar tagihan medis?
    Sebab, sekalipun menggunakan BPJS, tetap ada biaya tambahan (
    out of pocket
    ) yang harus ditanggung sendiri.
    Bagaimana jika rekening itu adalah tempat orang menabung untuk kuliah anaknya lima tahun ke depan? Atau dana darurat yang memang sesuai namanya tidak akan digunakan dalam waktu dekat?
    Negara, melalui PPATK, tampak menjalankan kebijakan seolah semua orang wajib menjadi makhluk transaksional harian agar tidak dianggap menyimpan uang jahat.
    Logika sekelas lembaga negara ini bukan hanya tidak manusiawi, tapi juga tidak mengenal atau pura-pura tidak paham kompleksitas perilaku ekonomi warga.
    Pemerintah menolak realitas bahwa dalam realitasnya, orang tidak hidup untuk bertransaksi setiap minggu. Ada kehati-hatian, ada perencanaan, ada jeda. Dan jeda semacam itu bukanlah sebuah kejahatan.
    PPATK berdalih bahwa pemblokiran ini merupakan respons atas lonjakan transaksi judi online. Namun, hingga kini, tidak ada data resmi yang dirilis ke publik.
    Sementara di lapangan, rekening milik pelajar, ibu rumah tangga, petani, dan pensiunan turut dibekukan.
    Apakah mereka semua penjudi, atau justru korban dari logika administratif yang malas membedakan mana kehati-hatian dan mana pelanggaran hukum?
    Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin memerangi judi online, maka yang dibutuhkan adalah penelusuran berbasis bukti, audit menyeluruh terhadap sistem pembayaran ilegal, pemantauan digital yang cermat, serta koordinasi lintas aparat penegak hukum.
    Bukannya justru menyebar jaring besar ke seluruh nasabah pasif dan berharap pelaku kejahatan tertangkap di antara jutaan warga yang bersih.
    Hingga Mei 2025, PPATK melaporkan telah memblokir 31 juta rekening nasabah yang berstatus dormant dengan nilai total Rp 6 triliun, sebagai tindak lanjut atas data yang dilaporkan oleh 107 bank.
    Dari jumlah itu, sebanyak 10 juta rekening penerima bantuan sosial tidak pernah digunakan, dengan dana mengendap sebesar Rp 2,1 triliun.
    Sementara lebih dari 2.000 rekening milik instansi pemerintah dan bendahara pengeluaran juga dinyatakan dormant, dengan total dana hampir Rp 500 miliar (
    Kompas.id
    , 30/7/2025).
    Namun angka-angka ini seolah tak punya bobot, karena dalam logika PPATK, yang dinilai bukan siapa yang menyalahgunakan, tetapi siapa yang tidak bergerak.
    Rekening-rekening ini dibekukan hanya karena terlalu “diam”, terlalu lama tidak menyentuh ATM, terlalu jarang bertransaksi, terlalu sunyi bagi algoritma yang mencurigai apa pun yang tak bergerak.
    Kini, PPATK menyatakan rekening pasif bisa diaktifkan kembali jika tidak terindikasi tindak pidana, seolah melupakan bahwa negara pernah merasa berhak membekukan dana yang secara hukum bukan miliknya, hanya atas dasar kecurigaan massal.
    Inilah kekacauan logika yang kini kita hadapi, kehati-hatian finansial dianggap sebagai penyamaran kriminal; tabungan disamakan dengan pencucian uang; dan warga dipaksa membuktikan bahwa keheningan rekening bukanlah konspirasi jahat.
    Negara tidak lagi bekerja berdasarkan asas praduga tak bersalah (
    presumption of innocence
    ), melainkan dengan logika curiga dahulu, mengumpulkan bukti kemudian (
    presumption of suspicion
    ).
    Dan seperti biasa, yang paling mudah dicurigai adalah yang paling lemah, rakyat biasa yang hanya menabung, bukan terikat pencucian uang.
    Dari semua yang terjadi, satu pertanyaan paling mengganggu dan tak bisa dihindari, mengapa PPATK begitu cepat dan berani memblokir rekening milik rakyat biasa, tapi begitu lamban dan hati-hati, bahkan tidak bernyali saat berhadapan dengan rekening milik pejabat, politisi, atau tokoh berpengaruh?
    Bukankah pada tahun 2024 PPATK telah melaporkan adanya transaksi mencurigakan senilai Rp 80,1 triliun yang melibatkan partai politik, calon anggota legislatif, petahana, dan pejabat aktif? (
    Kompas.id
    , 27 Juni 2024).
    Laporan itu bahkan telah diserahkan ke aparat penegak hukum, tapi tidak ada pemblokiran. Tidak ada pembekuan rekening. Tidak ada tindakan langsung. Hanya menjadi laporan yang dibiarkan menguap di antara kepentingan.
    Sementara itu, jutaan rekening milik masyarakat sipil dibekukan secara cepat dalam hitungan minggu, tanpa perlindungan hukum, tanpa pembuktian, dan tanpa ruang klarifikasi.
    Dalam wajah kebijakan yang seperti ini, kita tak sedang melihat lembaga intelijen keuangan yang profesional, melainkan lembaga yang menjalankan logika ketakutan vertikal dan keberanian horizontal.
    Takut ke atas, berani ke bawah, tajam ke bawah tumpul ke atas.
    Terhadap pejabat yang memutar uang dalam gelap, PPATK cukup mengirim dokumen. Terhadap rakyat kecil yang diam menabung, PPATK langsung bertindak.
    Jika standar keberanian ditentukan oleh posisi sosial, maka yang sedang dijalankan bukan lagi analisis risiko, melainkan politik kepatuhan yang pincang.
    PPATK, yang seharusnya menjadi benteng akuntabilitas dalam lalu lintas keuangan nasional, justru berpotensi menjadi alat seleksi siapa yang layak ditekan dan siapa yang aman dibiarkan.
    Lebih parah dari sekadar salah logika, tindakan PPATK juga menabrak batas kewenangan yang secara eksplisit telah diatur oleh hukum.
    Dalam konstruksi hukum positif Indonesia, PPATK bukanlah aparat penegak hukum. Ia bukan polisi, bukan jaksa, bukan hakim.
    Ia adalah lembaga intelijen keuangan yang tugas utamanya adalah menganalisis, melaporkan, dan memberikan rekomendasi. Bukan mengambil tindakan pemblokiran sepihak atas rekening warga negara tanpa prosedur hukum yang sah.
    Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK hanya dapat meminta pemblokiran kepada lembaga keuangan apabila terdapat dugaan kuat keterkaitan dengan tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme.
    Itu pun bersifat sementara, dibatasi waktu maksimal 30 hari, dan harus ditindaklanjuti oleh penyidik melalui mekanisme hukum yang benar.
    Artinya, PPATK sebenarnya tidak memiliki kewenangan langsung untuk mengeksekusi pemblokiran rekening secara mandiri, apalagi terhadap jutaan rekening milik warga sipil yang bahkan tidak sedang diperiksa dalam perkara pidana.
    Jika pemblokiran dilakukan tanpa keterlibatan aparat penegak hukum dan tanpa perintah pengadilan, maka itu bukan sekadar pelanggaran administratif, itu adalah bentuk penyalahgunaan wewenang.
    Apa yang dilakukan PPATK tidak hanya keliru secara hukum nasional, tetapi juga menyimpang dari prinsip-prinsip internasional yang mengatur kerja lembaga intelijen keuangan.
    Dalam bukunya,
    Anti-Money Laundering: A Comparative and Critical Analysis
    , Alhosani (2016) mengingatkan bahwa Financial Intelligence Unit (FIU), termasuk seperti PPATK, bukanlah lembaga penegak hukum, melainkan unit analitik yang tugas utamanya adalah mengolah data, menyusun laporan intelijen keuangan, dan menyerahkannya kepada penegak hukum yang berwenang.
    Memberi kewenangan langsung kepada FIU untuk membekukan rekening tanpa perintah pengadilan atau proses yuridis adalah penyimpangan struktural yang membuka ruang bagi otoritarianisme finansial.
    Lebih lanjut, Alhosani menyebutkan bahwa banyak negara yang kini justru terjebak dalam kecenderungan menyerahkan kewenangan eksekutif kepada FIU dengan dalih efisiensi, padahal yang sebenarnya terjadi adalah perampasan prosedur hukum atas nama pencegahan kejahatan.
    Inilah yang disebutnya sebagai “function creep”, saat sebuah lembaga yang semestinya berperan sebagai penganalisis, justru perlahan-lahan berubah menjadi eksekutor, mengaburkan garis batas antara intelijen dan penegakan hukum.
    Dalam konteks Indonesia, tindakan PPATK memblokir 31 juta rekening, tanpa prosedur hukum, tanpa pembuktian, tanpa mekanisme klarifikasi adalah bentuk paling ‘konyol’ dari penyalahgunaan wewenang administratif yang melampaui batas fungsi kelembagaan.
    Ini bukan lagi kerja intelijen keuangan, ini adalah penghakiman sepihak yang diselubungi jargon keamanan.
    Negara seolah sedang membangun logika, “Kami curiga, maka Anda bersalah, dan kami tak perlu pengadilan untuk membenarkannya”.
    Padahal, dalam logika negara hukum, bahkan terhadap seorang tersangka korupsi pun negara tetap wajib memberikan proses yang sah, ruang pembelaan, dan kesempatan untuk menjelaskan.
    Mengapa prinsip yang sama tidak berlaku bagi, perintis usaha kecil, pengemudi ojek online, ibu rumah tangga, pensiunan, atau pelajar yang hanya sebatas menabung? Mengapa asas praduga tak bersalah hanya berlaku bagi pejabat, tapi justru tidak bagi rakyat biasa?
    Inilah yang menjadikan kebijakan pemblokiran massal terhadap
    rekening dormant
    bukan hanya ngawur secara ekonomi, tapi juga cacat secara hukum.
    Negara tidak boleh bertindak atas dasar asumsi sambil mengabaikan prosedur hukum yang menjadi fondasi perlindungan hak sipil.
    Jika PPATK bisa membekukan dana seseorang hanya karena tidak aktif bertransaksi, tanpa indikasi tindak pidana dan tanpa proses hukum, maka kita sedang berhadapan dengan lembaga yang menjelma menjadi hakim, jaksa, dan algojo sekaligus, tanpa pengawasan yudisial.
    Negara hukum tidak memberi tempat bagi logika bahwa dugaan bisa menggantikan bukti, dan kekuasaan administratif bisa menggantikan proses peradilan.
    Bahkan dalam konteks kejahatan keuangan yang kompleks sekalipun,
    legal authority
    tidak pernah lahir dari otoritas fungsional semata.
    Tidak cukup bahwa PPATK tahu, atau menduga, atau mengamati, mereka harus tunduk pada proses, harus tunduk pada pembuktian, harus tunduk pada hukum.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Precautionary Saving, Orang Kaya Tahan Belanja dan Pilih Menabung – Page 3

    Precautionary Saving, Orang Kaya Tahan Belanja dan Pilih Menabung – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Di tengah situasi ekonomi nasional yang fluktuatif, distribusi pertumbuhan pendapatan riil masyarakat pada 2024 menunjukkan dinamika yang menarik. Secara mengejutkan, hanya kelompok masyarakat kelas menengah atas yang mengalami perlambatan, bahkan penurunan, dalam rata-rata pertumbuhan pendapatan riil.

    Sebaliknya, masyarakat kelas menengah bawah dan bawah justru mencatat pertumbuhan pendapatan yang impresif. Pendapatan riil masyarakat kelas menengah bawah tumbuh 26,18%, sementara kelas bawah naik 14,25%—keduanya mencatatkan pertumbuhan dua digit tertinggi sejak 2019.

    Kenaikan ini diyakini erat kaitannya dengan masifnya penyaluran bantuan sosial sepanjang tahun.

    Di sisi lain, kelompok kelas menengah atas mencatat penurunan pendapatan riil sebesar -3,29%. Ini menjadi sinyal penting, mengingat kelompok ini merupakan tulang punggung penggerak ekonomi nasional.

    Data yang diolah Office of Chief Economist PERBANAS dari SUSENAS dan SAKERNAS 2018–2024, kelompok ini menyumbang sekitar 53% dari total pengeluaran nasional dan 58% dari total pendapatan nasional.

    Namun kontribusi tersebut kini menunjukkan tren menurun. Dari sisi pengeluaran, sumbangan kelas menengah atas turun dari 53,6% menjadi 52,67%. Sementara kontribusi terhadap pendapatan nasional turun lebih tajam, dari 62,63% pada 2023 menjadi 58,16% pada 2024.

    Lebih dari sekadar angka statistik, penurunan ini mengindikasikan gejala awal pelemahan daya beli pada kelompok masyarakat yang selama ini menjadi motor utama konsumsi domestik.

    “30% masyarakat atas atau kalangan menengah atas pendapatan mereka turun, konsumsi mereka turun. Tapi menariknya tabungan mereka justru naik, ini gak masuk akal,” ungkap Chief Economist PERBANAS, Dzulfian Syafrian, dikutip Jumat (1/8/2025).

     

  • Pakar Trisakti nilai pemblokiran oleh PPATK tutup celah judol

    Pakar Trisakti nilai pemblokiran oleh PPATK tutup celah judol

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Pakar Trisakti nilai pemblokiran oleh PPATK tutup celah judol
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 31 Juli 2025 – 17:58 WIB

    Elshinta.com – Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansah menilai pemblokiran sementara transaksi pada rekening dormant merupakan langkah berani untuk menumbangkan judi online (judol).

    “Kebijakan ini sejatinya menjadi langkah strategis negara untuk menutup celah kejahatan keuangan, sekaligus memukul jaringan judi online yang selama ini tumbuh subur,” ucap Trubus dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Kamis.

    Selama lima tahun terakhir, tutur dia, PPATK mengungkap lebih dari satu juta rekening diduga terkait tindak pidana, termasuk seratus lima puluh ribu rekening nominee hasil jual-beli rekening ilegal dan peretasan.

    Sebanyak 10 juta rekening penerima bantuan sosial tidak pernah digunakan selama lebih dari tiga tahun dengan total dana mengendap Rp2,1 triliun, kata dia.

    Tak hanya itu, ia juga menyoroti 140 ribu rekening dormant tercatat tidak aktif selama lebih dari satu dekade dengan nilai Rp428 miliar.

    “Celah inilah yang dimanfaatkan oleh jaringan kriminal, mulai dari praktik pencucian uang, hingga pendanaan judi online,” tuturnya.

    Di tengah situasi tersebut, Trubus menilai penghentian sementara transaksi rekening dormant bukanlah tindakan merampas hak masyarakat. Sebaliknya, kebijakan itu dirancang untuk melindungi pemilik rekening yang sah agar tidak menjadi korban penyalahgunaan.

    “Dana yang ada di rekening tetap aman seratus persen, dan pemilik hanya perlu melakukan verifikasi sederhana untuk mengaktifkannya kembali. PPATK bahkan telah meminta perbankan memfasilitasi proses tersebut dengan mekanisme yang cepat dan tanpa biaya,” ucapnya.

    Dalam konteks kebijakan publik, Trubus mengatakan pemblokiran rekening yang dicurigai dipergunakan untuk kejahatan seperti judol merupakan langkah efektif dalam mencegah maraknya judi online di masyarakat.

    Namun, diperlukan kebijakan yang terbuka, tepat sasaran dan akuntabel, serta penuh kecermatan bagi PPATK agar pemilik rekening tidak merasa dirugikan.

    “Karena bagaimana pun, sesuai ketentuan yang berlaku, rekening dormant merupakan hak nasabah yang bersifat absolut, sehingga ketika PPATK hendak melakukan pemblokiran harus mengedepankan informasi publik yang transparan,” kata Trubus. 

    Sumber : Antara

  • 200 Ribu Penerima Bansos Main Judol Dicoret, Legislator Minta Ada Pendekatan

    200 Ribu Penerima Bansos Main Judol Dicoret, Legislator Minta Ada Pendekatan

    Jakarta

    Kementerian Sosial (Kemensos) menyebut sebanyak 200 ribu kepala keluarga (KK) penerima bansos yang terlibat judi online (judol) dicoret sebagai penerima. Anggota Komisi VIII DPR Selly Andriany Gantina menyebut langkah ini perlu ada pendekatan.

    “Penertiban data tentu penting agar bantuan tepat sasaran. Namun langkah seperti pencoretan massal tidak bisa dilakukan secara reaktif. Harus ada pendekatan yang adil dan manusiawi,” kata Selly kepada wartawan, Jumat (1/8/2025).

    Dia meminta pemerintah tetap memberikan edukasi. Meski tak membenarkan, menurutnya, masyarakat terpaksa bermain judol karena ingin keluar dari kemiskinan.

    “Faktanya, banyak warga yang terjebak judi online bukan karena gaya hidup konsumtif, tapi karena desakan ekonomi. Ada yang berjudi demi bisa makan hari itu atau membayar sekolah anak. Ini realitas pahit yang tak bisa diabaikan,” katanya.

    “Karena itu, sebelum mencoret, negara perlu memberi peringatan, edukasi keuangan, dan pembinaan. Jangan langsung diputus tanpa solusi. Masyarakat perlu dibantu keluar dari lingkaran kemiskinan, bukan ditinggalkan begitu saja,” tambahnya.

    “Fraksi PDI Perjuangan selalu berdiri di sisi wong cilik. Kami menolak penyalahgunaan bantuan, tapi kami juga menolak pendekatan yang menghukum tanpa memulihkan. Negara wajib hadir, tidak hanya memutus bantuan, tapi juga membuka harapan,” katanya.

    200 Ribu KK Dicoret karena Main Judol

    Sebelumnya, Kementerian Sosial mencoret 200 ribu KK dari penerima bansos karena terindikasi bermain judi online (judol). Langkah itu dilakukan berdasarkan hasil pemadanan data penerima bansos dengan rekening terindikasi judol.

    Dari situ, ditemukan data 600 KK penerima bansos yang bermain judol. Sejauh ini, Gus Ipul menyebut ada 200 ribu KK yang dicoret dari penerima bansos.

    “Ditabrakkan dengan 9 juta lebih NIK pemain judol. Ketemulah lebih dari 600 ribu NIK yang ditengarai penerima bansos ini juga ikut bermain judol. Dari 600 ribu itu sudah 200 ribu lebih yang kita tidak beri bansos lagi,” ujarnya.

    (azh/jbr)

  • Rekening Dormant Dibuka Lagi, Anggota Komisi III: PPATK Jangan Umbar Polemik
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        31 Juli 2025

    Rekening Dormant Dibuka Lagi, Anggota Komisi III: PPATK Jangan Umbar Polemik Nasional 31 Juli 2025

    Rekening Dormant Dibuka Lagi, Anggota Komisi III: PPATK Jangan Umbar Polemik
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem,
    Rudianto Lallo
    , meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (
    PPATK
    ) lebih hati-hati dalam menyampaikan kebijakan kepada publik, seperti polemik pemblokiran rekening tidak aktif atau
    dormant
    yang akhirnya dibuka lagi.
    “Jangan mengumbar sesuatu yang ujungnya hanya polemik, akhirnya polemik. Begitu berpolemik, masyarakat jadi was-was dan sebagainya,” kata Rudianto saat dihubungi
    Kompas.com
    , Kamis (31/7/2025).
    Polemik ini akan menjadi bahan evaluasi dalam rapat Komisi III DPR dengan PPATK.
    Ia berharap ke depan tidak ada lagi kebijakan yang menimbulkan keresahan publik akibat kurangnya komunikasi yang jelas.
    Rudi menilai kebijakan tersebut harus dievaluasi secara menyeluruh karena menyangkut kepentingan masyarakat banyak, khususnya warga berpenghasilan rendah seperti petani dan nelayan.
    “Harus hati-hati mengeluarkan sebuah kebijakan, yang kebijakan tersebut menyangkut orang banyak ya, karena pembukaan rekening itu kan sebenarnya tujuannya adalah tabungan, kan, tabungan itu tabungan untuk masa depan,” ujar Rudi.
    Dia menyayangkan apabila kebijakan seperti pemblokiran dilakukan tanpa pemberitahuan jelas kepada nasabah, karena bisa memunculkan kegaduhan publik.
    Menurut dia, langkah yang tidak tepat justru akan menuai protes dan polemik yang menyita energi.
    “Kalau seperti itu kan bagus, kalau perlu PPATK menginformasikan ke seluruh bank, nanti bank yang menyampaikan ke seluruh nasabahnya. Nanti pihak bank yang verifikasi validasi, termasuk keaktifan rekening itu,” tuturnya.
    Ia mencontohkan saat PPATK sempat merilis temuan jutaan rekening penerima bantuan sosial (bansos) yang disebut terindikasi terlibat dalam aktivitas judi online.
    Pernyataan tersebut, menurutnya, justru membuat gaduh dan meresahkan masyarakat.
    “Saya kira PPATK fokus saja pada tugasnya, itu kan pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan. Fokus saja pada transaksi-transaksi mencurigakan, yang terindikasi adalah tindak pidana pencucian uang atau pendanaan teroris, fokus di situ saja,” katanya.
    “Kalau ada pelanggaran, ada transaksi mencurigakan terhadap rekening-rekening tertentu, itu langsung dilaporkan ke para aparat penegak hukum kita, jangan langsung menginformasikan ke publik tapi bikin gaduh,” pungkas dia.
    Diberitakan sebelumnya, PPATK mengumumkan telah membuka kembali lebih dari 28 juta rekening dormant yang sebelumnya dibekukan sementara.
    Rekening dormant adalah rekening bank yang tidak aktif dalam jangka waktu lama, biasanya sekitar 3 hingga 12 bulan.
    Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan, pembukaan kembali dilakukan sejak bulan lalu, segera setelah proses pemeriksaan terhadap rekening-rekening tersebut rampung.
    “Ada prosedur pengkinian data yang harus dilakukan nasabah. Pastinya tidak akan menyulitkan, 28 juta rekening lebih kami buka kembali sejak bulan lalu,” ujar Ivan kepada
    Kompas.com
    , Kamis.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ekonom Senior: PPATK Blokir Rekening Dormant Kebijakan Sembarangan

    Ekonom Senior: PPATK Blokir Rekening Dormant Kebijakan Sembarangan

    Bisnis.com, Jakarta — Ekonom Senior Didik J Rachbini protes terhadap kebijakan para pejabat publik yang dalam beberapa tahun terakhir tidak jelas dan sembarangan. Salah satunya soal pemblokiran rekening tak aktif atau dormant milik nasabah oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). 

    Didik menilai PPATK sudah sembarangan melakukan pemblokiran rekening yang tidak aktif tiga bulan lamanya.

    “Kebijakan buruk PPATK yang semau gue memblokir rekening tidak aktif selama tiga bulan dengan alasan untuk mencegah penyalahgunaannya untuk kriminal, pencucian uang, dan sebagainya,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (31/7/2025). 

    Menurutnya, aksi PPATK tersebut dianggap telah menyalahi tugas dan fungsi lembaga intelijen keuangan negara. Dia menjelaskan jika ada laporan transaksi keuangan yang mencurigakan (LTKM), maka PPATK bekerja sama dengan dan melaporkan kepada aparat hukum.  

    “PPATK bukan aparat hukum yang bisa bertindak sendiri lalu memblokir secara masif akun-akun yang dianggap terindikasi tersebut,” tutur ekonom senior INDEF tersebut. 

    Sebelumnya, PPATK menyampaikan bahwa rekening dormant selama tiga bulan berpotensi untuk diblokir atau dihentikan sementara transaksinya. Rekening dormant dikhawatirkan disalahgunakan untuk tindak pidana. 

    Terdapat tiga bentuk penyimpangan rekening dormant yang pernah ditemukan PPATK. Pertama, 150.000 rekening diduga pernah dialiri dana ilegal sebelum dinyatakan dormant.

    Berdasarkan hasil analisis maupun pemeriksaan yang dilakukan PPATK sejak 2020, terdapat lebih dari 1 juta rekening perbankan yang dianalisis berkaitan dengan dugaan tindak pidana. 

    Sebanyak 150.000 di antaranya adalah rekening tidak aktif atau dormant, yang sebelumnya digunakan untuk tindak pidana. 

    “Dari 1 juta rekening tersebut, terdapat lebih dari 150.000 rekening adalah nominee, di mana rekening tersebut diperoleh dari aktivitas jual beli rekening, peretasan atau hal lainnya secara melawan hukum, yang selanjutnya digunakan untuk menampung dana dari hasil tindak pidana, yang kemudian menjadi menjadi tidak aktif/dormant,” jelas Natsir melalui siaran pers, Selasa (29/7/2025). 

    Dari 150.000 rekening nominee itu, PPATK turut menemukan bahwa lebih dari 50.000  di antaranya tidak ada aktivitas transaksi sebelum digunakan untuk transaksi dana ilegal. 

    Kedua, rekening dormant penerima bantuan sosial (bansos). Lembaga intelijen keuangan itu menemukan bahwa lebih dari 10 juta rekening penerima bantuan sosial yang tidak pernah dipakai selama lebih dari 3 tahun. 

    Dana bansos sebesar Rp2,1 triliun hanya mengendap sehingga menunjukkan indikasi penyaluran belum tepat sasaran. 

    Ketiga, lebih dari 2.000 rekening milik instansi pemerintah dan bendahara pengeluaran yang menganggur alias dormant. Total dana di rekening itu Rp500 miliar. 

    Dia meyakini alasan pemerintah membuat kebijakan yang ngawur lantaran seluruh anggota DPR sudah dikondisikan secara mutlak oleh pemerintah pusat, sehingga tidak ada lagi dialektika antara DPR dan pemerintah ketika ingin buat kebijakan baru

    “Pada periode kedua Jokowi itu biasa dilakukan dan sukses membuat undang-undang semau gue. Ini terjadi karena DPR dikendalikan secara mutlak oleh kekuasaan yang kuat ditambah pilar buzzer-buzzer-nya,” tuturnya di Jakarta, Kamis (31/7).

    Dia mengemukakan bahwa pilar demokrasi sudah tidak sehat lagi dan diberangus oleh presiden dan wakilnya. Dia mencontohkan seperti yang terjadi pada UU IKN yang kini sudah tidak ada kelanjutannya lagi.

    “Bahkan menyulap Gibran pun bisa terjadi karena bertentangan dengan UU. Makanya UU-nya diberangus lewat MK,” katanya. 

  • Salurkan Beragam Bansos ke Warga Jember, Gubernur Jatim Ingatkan Jangan Dipakai untuk Judol
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        31 Juli 2025

    Salurkan Beragam Bansos ke Warga Jember, Gubernur Jatim Ingatkan Jangan Dipakai untuk Judol Surabaya 31 Juli 2025

    Salurkan Beragam Bansos ke Warga Jember, Gubernur Jatim Ingatkan Jangan Dipakai untuk Judol
    Tim Redaksi
    JEMBER, KOMPAS.com
    – Gubernur Jawa Timur,
    Khofifah Indar Parawansa
    , mengingatkan warga
    Jember
    agar tidak menyalahgunakan uang bantuan sosial (bansos) untuk
    judi online
    .
    Peringatan tersebut disampaikan usai pembagian berbagai jenis
    bansos
    kepada masyarakat di Pendapa Wahyawibawagraha Jember pada Kamis (31/7/2025).
    “Bantuan sosial jangan dipakai judi online,” seru Khofifah dalam pidatonya di hadapan para penerima bansos.
    Khofifah menjelaskan bahwa dia telah mengecek informasi mengenai deposit untuk judi online yang ternyata tidak memerlukan nominal besar, bahkan bisa dimulai dari Rp 1.000.
    Dia juga mengonfirmasi pernyataan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai hal ini.
    “Jadi memang kata PPATK itu benar, karena Rp 1.000, Rp 5.000, Rp 10.000 (sudah bisa deposit). Saya itu sampai kecep (diam),” ungkapnya.
    Dalam kesempatan tersebut, Khofifah menekankan kepada Bupati Jember, Muhammad Fawait, tentang kemudahan akses judi online saat ini.
    Dia mengingatkan bahwa situs judi online sudah tersedia dalam bahasa Indonesia, meskipun dioperasikan dari luar negeri, sehingga lebih mudah dipahami masyarakat.
    “Saya mohon jangan sampai bank trus dipakai judi online,” tambahnya.
    Pemprov Jatim menyalurkan beberapa jenis bansos melalui rekening bank kepada penerima manfaat secara langsung, sebagai langkah antisipasi agar dana tersebut tidak disalahgunakan.
    Bantuan yang disalurkan meliputi bantuan langsung tunai kepada buruh pabrik rokok lintas wilayah, program keluarga harapan plus, bantuan sosial bagi penyandang disabilitas, KIP PPKS Jawara, alat bantu mobilitas untuk lansia dan penyandang disabilitas, serta BOP dan taliasih bagi pilar-pilar sosial.
    Kunjungan Khofifah ke Jember juga bertujuan meninjau situasi Kota Suwar Suwir yang sempat dilanda krisis BBM.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tumbangkan judol, langkah PPATK blokir rekening Dormant

    Tumbangkan judol, langkah PPATK blokir rekening Dormant

    Presiden Prabowo Subianto. Foto: Setpres

    Tumbangkan judol, langkah PPATK blokir rekening Dormant
    Dalam Negeri   
    Editor: Nandang Karyadi   
    Kamis, 31 Juli 2025 – 16:45 WIB

    Elshinta.com – 

    Oleh: Trubus Rahardiansah, pakar kebijakan publik Universitas Trisakti

    Langkah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menghentikan sementara transaksi pada rekening dormant memicu kontroversi di ruang publik. Namun di balik riuhnya perdebatan, kebijakan ini sejatinya menjadi langkah strategis negara untuk menutup celah kejahatan keuangan sekaligus memukul jaringan judi online yang selama ini tumbuh subur.

    Data terbaru menjadi bukti nyata. Menurut laporan Liputan6, setelah kebijakan ini diberlakukan, total nilai deposit  yang terkait judi online langsung merosot tajam hingga 70 persen. Dari sebelumnya mencapai lebih dari Rp5 triliun, nilai deposit kini hanya tersisa sekitar Rp1 triliun.

    Angka tersebut menandakan satu hal: pendekatan yang tegas, jika dilakukan secara sistematis, mampu langsung menghantam sumber keuangan ilegal yang merugikan jutaan masyarakat.

    Selama lima tahun terakhir, PPATK mengungkap temuan yang mencengangkan. Lebih dari satu juta rekening diduga terkait tindak pidana, termasuk seratus lima puluh ribu rekening nominee hasil jual-beli rekening ilegal dan peretasan. Sepuluh juta rekening penerima bantuan sosial tidak pernah digunakan selama lebih dari tiga tahun dengan total dana mengendap Rp 2,1 triliun. Tak hanya itu, seratus empat puluh ribu rekening dormant tercatat tidak aktif selama lebih dari satu dekade dengan nilai Rp 428 miliar. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh jaringan kriminal, mulai dari praktik pencucian uang hingga pendanaan judi online.

    Di tengah situasi tersebut, penghentian sementara transaksi rekening dormant bukanlah tindakan merampas hak masyarakat. Sebaliknya, kebijakan ini justru dirancang untuk melindungi pemilik rekening yang sah agar tidak menjadi korban penyalahgunaan. Dana yang ada di rekening tetap aman seratus persen, dan pemilik hanya perlu melakukan verifikasi sederhana untuk mengaktifkannya kembali. PPATK bahkan telah meminta perbankan memfasilitasi proses tersebut dengan mekanisme yang cepat dan tanpa biaya.

    Industri perbankan pun berdiri di barisan yang sama. Bank-bank besar seperti BNI, Mandiri, dan BCA mendukung kebijakan PPATK. Mereka menegaskan bahwa pemblokiran ini bersifat sementara, aman bagi nasabah, dan merupakan bagian dari upaya bersama menjaga integritas sistem keuangan nasional dari praktik kejahatan.

    Dalam konteks kebijakan publik pemblokiran rekening yang dicurigai dipergunakan untuk kejahatan seperti judol merupakan langkah efektif dalam mencegah maraknya judi online di masyarakat. Namun, diperlukan kebijakan yang terbuka, tepat sasaran dan akuntabel serta penuh kecermatan bagi PPATK agar pemilik rekening tidak merasa dirugikan karena bagaimanapun sesuai ketentuan yang berlaku rekening dormant merupakan hak nasabah yang bersifat absolut sehingga ketika PPATK hendak melakukan pemblokiran harus mengedepankan informasi publik yang transparan, memberi ruang bagi pemilik rekening untuk melakukan keberatan, dan pihak perbankan juga mengadvokasi nasabah secara jujur bahwa uangnya terjamin aman.

    Harus diakui juga bahwa kelemahan terbesar kebijakan ini terletak pada cara sosialisasinya. Sosialisasi yang minim menciptakan ruang bagi kesalahpahaman publik, mulai dari tuduhan negara “merampok” rekening masyarakat hingga kebingungan soal definisi rekening dormant yang berbeda antar bank. Dalam kondisi ini, PPATK, OJK, BI, dan industri perbankan perlu bersatu membangun komunikasi yang lebih terbuka. Penjelasan mengenai mekanisme kebijakan, prosedur reaktivasi rekening, dan jaminan keamanan dana harus disampaikan secara masif agar tidak menimbulkan kepanikan.

    Lebih dari sekadar kebijakan administratif, langkah ini dapat menjadi momentum membangun budaya baru di tengah masyarakat. Kebijakan ini memaksa publik untuk lebih disiplin menjaga keamanan rekening, memperbarui data secara berkala, dan memahami risiko jual-beli rekening yang kerap dijadikan pintu masuk tindak pidana. Ketika masyarakat semakin sadar akan pentingnya mengamankan rekeningnya sendiri, ekosistem keuangan nasional akan menjadi lebih sehat.

    Keberhasilan menekan transaksi judi online hingga 70 persen adalah bukti bahwa kebijakan ini tepat sasaran. Negara hadir bukan hanya untuk memblokir rekening, tetapi untuk menutup celah kejahatan yang selama ini merugikan publik. Jika komunikasi kebijakan diperkuat dan dimanfaatkan sebagai momentum edukasi, langkah ini bisa menjadi tonggak perubahan budaya finansial di Indonesia.

    Karena pada akhirnya, perang melawan judi online dan kejahatan keuangan tidak cukup hanya dengan penegakan hukum. Ia membutuhkan kombinasi kebijakan yang berani, perlindungan konsumen yang nyata, dan kesadaran baru di tengah masyarakat. Pemblokiran rekening dormant adalah langkah pertama untuk mewujudkan itu semua. ***

    Sumber : Radio Elshinta

  • Dari Tabungan Darurat hingga Rekening Anak

    Dari Tabungan Darurat hingga Rekening Anak

    GELORA.CO – Kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memblokir rekening bank tidak aktif selama tiga bulan menuai gelombang protes dari masyarakat.

    Warga menilai kebijakan tersebut tidak hanya menyulitkan, tetapi juga dianggap ketinggalan zaman dan menyamaratakan semua nasabah sebagai pihak yang patut dicurigai.

    Mereka mempertanyakan dasar pemblokiran yang dilakukan secara sepihak, tanpa proses verifikasi atau pemberitahuan, terlebih terhadap rekening yang memang jarang digunakan namun masih dianggap penting.

    Masyarakat kecil merasa disudutkan

    Salah satu warga yang terdampak adalah Mardiyah (48), pedagang kecil asal Citayam. Ia kaget saat mengetahui salah satu rekening miliknya telah diblokir saat hendak menggunakannya kembali.

    “Saya punya dua rekening, satu buat usaha, satu lagi yang dulu dipakai menerima bantuan. Sekarang katanya diblokir karena enggak aktif tiga bulan. Saya juga kaget, padahal itu rekening masih saya anggap penting,” ujar Mardiyah.

    Rekening tersebut sebelumnya digunakan untuk menerima bantuan sosial. Meski tidak aktif digunakan, rekening tersebut tetap disimpan Mardiyah untuk keperluan darurat.

    “Kadang orang baru isi tabungan pas lagi dapat rezeki. Bukan berarti mau salah gunain. Harusnya lihat juga kondisi masyarakat bawah, jangan semua disamakan,” ucap Marduyah.

    Di tengah tekanan ekonomi, masyarakat kecil seperti Mardiyah merasa tersudut. Ia menilai proses pengaktifan ulang justru menambah beban biaya dan waktu, apalagi bagi warga dengan keterbatasan ekonomi.

    Ahmad Lubis (37) juga mengalami hal serupa. Ia mendapati rekening atas nama anaknya—yang masih duduk di bangku sekolah dasar—ikut diblokir. Rekening tersebut adalah tempat menyimpan hadiah dari prestasi anaknya.

    “(Rekening yang terblokir) isi tabungan rekening anak saya hampir semuanya itu hadiah dari ikut lomba dan prestasi lainnya,” kata Ahmad.

    Ia baru menyadari ada masalah setelah gagal menarik uang dari ATM, meski saldo masih terlihat normal. Setelah mendatangi kantor cabang bank, ia diberitahu bahwa rekening anaknya diblokir oleh PPATK.

    “Sekitar tiga minggu lalu mau ambil uang dari rekening anak lewat ATM tapi tidak mau keluar, ada kendala. Tapi cek saldo bisa. Terus, 11 Juli saya ke bank, kata pihak bank diblokir PPATK,” ujar Ahmad.

    Rekening itu memang jarang dipakai karena disiapkan sebagai tabungan jangka panjang.

    “Itu rekening khusus tabungan anak, tabungan Taplus BNI. Atas nama anakku sendiri, masih SD, terakhir bulan April akhir masih saya transfer kalau tidak salah dan masuk ke rekening anakku,” kata dia.

    Ahmad menilai kebijakan PPATK menyamaratakan semua nasabah dan tidak mampu membedakan mana rekening yang mencurigakan dan mana yang hanya pasif.

    “Sebetulnya PPATK kan mau memberantas kejahatan. Seharusnya mereka pintar untuk memblokir yang tepat bukan sembarangan blokir,” ujar dia.

    Disebut ketinggalan zaman

    Reza Nugraha (25), pekerja lepas asal Depok, juga kesal karena rekening darurat miliknya diblokir tanpa pemberitahuan.

    Ia jarang menggunakan rekening tersebut karena sebagian besar kliennya membayar melalui dompet digital atau PayPal.

    “Klien gue kan biasanya bayar lewat dompet digital. Tapi gue emang tetap pertahanin rekening itu buat jaga-jaga. Kemarin pas mau pakai, malah udah diblokir. Harus ke bank, ribet,” ucap Reza.

    Saat menghubungi bank, Reza tidak mendapat kejelasan mengenai prosedur pembukaan blokir.

    “Gue coba tanya ke customer service bank, katanya ini perintah dari pusat dan buat membukanya harus nunggu dari PPATK. Tapi mereka sendiri enggak tahu proses pastinya,” ucap dia lagi.

    Menurut Reza, negara seharusnya lebih memahami cara masyarakat mengelola keuangan, terutama di era digital seperti saat ini.

    “Ini kebijakan yang ketinggalan zaman lah. Kalau alasannya mau cegah rekening bodong, ya jangan semua disikat,” kata Reza.

    Menurut Reza, kebijakan ini terasa seperti pemaksaan agar seluruh rakyat bertransaksi layaknya pegawai kantoran, padahal tidak semua orang bisa hidup dengan pola transaksi tetap dan stabil.

    Ia menilai niat baik untuk mencegah kejahatan keuangan harus diimbangi dengan pelaksanaan yang lebih akurat.

    “Kalau niatnya bagus, ya pelaksanaan juga harus tepat. Jangan malah bikin rakyat tambah susah dan merasa dicurigai terus,” ucap Reza.

    Penjelasan PPATK

    PPATK menyatakan, pemblokiran terhadap rekening tidak aktif (dormant) dilakukan untuk mencegah tindak kejahatan keuangan, terutama yang berkaitan dengan jual beli rekening, praktik judi online, dan pencucian uang.

    Kebijakan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

    Sepanjang tahun 2024, PPATK mencatat telah menemukan lebih dari 28.000 rekening yang terindikasi digunakan untuk aktivitas ilegal, termasuk oleh sindikat judi online.