Topik: Bantuan Sosial

  • Banyak Bansos Tak Tepat Sasaran, Ini Cara Mensos Mencegahnya
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        12 Agustus 2025

    Banyak Bansos Tak Tepat Sasaran, Ini Cara Mensos Mencegahnya Nasional 12 Agustus 2025

    Banyak Bansos Tak Tepat Sasaran, Ini Cara Mensos Mencegahnya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul buka suara soal banyaknya sorotan terhadap penyaluran bantuan sosial (bansos) yang tidak tepat sasaran.
    Ia mengatakan, Kementerian Sosial (Kemensos) akan terus berkoordinasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam melakukan perbaikan data penerima bansos.
    “Selama ini kan banyak itu, protes-protes bansos tidak tepat sasaran. Nah, maka itu Presiden menerbitkan Inpres nomor 4 tahun 2025. Dengan Inpres ini, kita memperbaiki data-data itu, dipimpin oleh BPS,” ujar Gus Ipul dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (12/8/2025).
    “Caranya bagaimana? Dimutakhirkan, dicek ke lapangan. Dilihat dari berbagai sisi, termasuk profil rekening penerima bansos kita,” sambungnya.
    Ia sendiri tidak menampik adanya kejanggalan terhadap penyaluran bansos. Salah satunya adalah penerima bansos yang memiliki saldo di atas Rp 5 juta.
    Menurutnya, penerima bansos yang memiliki saldo di rekeningnya lebih dari Rp 5 juta tidak masuk akan untuk kategori masyarakat desil 1 dan 2.
    “Yang intinya nanti, kalau semua itu sesuai dengan kenyataan, kita akan coret sebagai penerima bansos,” ujar Gus Ipul.
    Jika ada masyarakat yang tercoret sebagai penerima bansos, padahal memenuhi syarat, Gus Ipul mengimbau masyarakat untuk mengajukan sanggahan melalui aplikasi Cek Bansos.
    “Jadi bisa lihat di aplikasi Cek Bansos, di situ ada usul sanggah. Silakan usul, silakan sanggah. Tapi dengan beberapa bukti yang harus dilampirkan supaya kami bisa meninggalkan BPS,” ujar Gus Ipul.
    Diketahui, sejumlah kejanggalan ditemukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam data penerima bansos yang diajukan Kemensos.
    Salah satu kejanggalan adalah temuan 27.932 pegawai BUMN yang terindikasi menerima bansos tersebut.
    Selain pegawai BUMN, PPATK juga menemukan 7.479 penerima bansos yang berprofesi sebagai dokter.
    Lalu, PPATK juga menemukan lebih dari 6.000 penerima bansos yang bekerja sebagai eksekutif atau manajerial.
    dok. PosIND Ilustrasi bansos
    Sebelum itu, PPATK juga mengungkap, sebanyak 9,7 juta Nomor Induk Kependudukan (NIK) terindikasi bermain judi online.
    Dari 9,7 juta NIK itu, sebanyak 571.410 di antaranya merupakan penerima bantuan sosial (bansos) pada 2024.
    Sedangkan dari 571.410 penerima bansos itu, terdapat total deposit untuk judi online mencapai Rp 957 miliar atau hampir Rp 1 triliun.
    Ketua DPR Puan Maharani pun mengingatkan pentingnya verifikasi data dalam penyaluran bansos ke masyarakat agar tepat sasaran.
    “Jangan sampai kemudian rakyat yang berhak mendapatkan semua program itu tidak mendapatkan. Malah orang yang tidak berhak, mendapatkan program-program tersebut,” tegas Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (11/8/2025).
    Verifikasi data, kata Puan, menjadi salah satu yang ditekankan selama dirinya menjadi Menteri Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK).
    Menurutnya, data merupakan pegangan paling penting bagi Kementerian Sosial (Kemensos) dalam penyaluran bansos.
    “Kalau saya tetap berharap mengimbau bahkan meminta terkait dengan hal-hal verifikasi data itu paling penting. Jadi verifikasi data dulu. Jangan sampai mengubah satu program tanpa verifikasi data yang baik, yang detail, yang benar, karena data itu yang paling penting, sebagai pegangan,” ujar Puan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Urai Benang Kusut Kasus Korupsi CSR BI OJK

    KPK Urai Benang Kusut Kasus Korupsi CSR BI OJK

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tengah mengurai kasus CSR BI-OJK. Mulai dari motif mengalirnya dana CSR ke BI-OJK hingga lobi-lobi apa yang terjadi dibalik kasus ini atau hanya gratifikasi.

    Sejak tahun lalu, KPK mencari alat bukti terkait penyalahgunaan dana CSR BI-OJK. KPK juga sudah menggeledah adalah miliki Gubernur BI Perry Warjiyo dan sejumlah ruangan lain di kantor Bank Indonesia Jalan MH Thamrin.

    Adapun CSR seharusnya diberikan untuk kegiatan sosial di masyarakat. Namun, hingga saat ini, KPK menemukan bahwa dana tersebut mengalir ke anggota DPR melalui yayasan, sehingga muncul dugaan terkait penyalahgunaan CSR Bank Indonesia yang disalurkan.

    KPK menyatakan apabila dana tersebut disalurkan dengan benar, maka hal tersebut tidak dipermasalahkan. Sebab, saat CSR diberikan oleh suatu institusi, tetapi bukan untuk peruntukannya, maka di situ letak dugaan korupsinya.

    Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budi Prasetyo menegaskan bahwa penyidik tetap mengusut tuntas perkara dugaan korupsi CSR BI dan OJK ini. Hingga saat ini, KPK mencatatkan ada 2 anggota DPR yakni terlibat yakni dari Satori dari Fraksi Partai Nasdem dan Heri Gunawan dari Fraksi Partai Gerindra.

    Selain dugaan korups berupa penerimaan gratifikasi terkait dengan pengelolaan dana CSR BI dan OJK, lembaga antirasuah juga mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada kasus tersebut.

    Dua orang itu ditetapkan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) No.52 dan No.53, dan diterbitkan pada. Sebelumnya, kasus tersebut sudah naik ke tahap penyidikan per Desember 2024.

    Adapun dua orang tersebut adalah Satori dari Fraksi Partai Nasdem dan Heri Gunawan dari Fraksi Partai Gerindra. “Penyidik telah menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang cukup dan kemudian dua hari ke belakang menetapkan dua orang tersangka sebagai berikut yaitu HG anggota Komisi XI periode 2019-2024, kemudian ST anggota Komisi XI periode 2019-2024,” ujar Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada konferensi pers, Kamis (7/8/2025).

    Pada keterangan sebelumnya, Asep menyebut lembaganya juga tengah mendalami dugaan keterlibatan pihak lainnya termasuk dari pihak BI, OJK, maupun anggota DPR lainnya. Namun, hingga saat ini, KPK masih mendalami kasus ini.

    “Sedang kita dalami masing-masing. Yang sudah ada, sudah firm itu dua [tersangka] seperti itu. Yang lainnya kita akan dalami,” terang Asep.

    Lembaga antirasuah sebelumnya menduga terdapat modus penyelewengan hingga pertanggungjawaban fiktif terhadap penggunaan dana Program Sosial BI dan OJK.

    Dana yang disalurkan itu dianggarkan secara resmi oleh bank sentral. Dana PSBI itu lalu diberikan ke yayasan-yayasan yang mengajukan untuk berbagai program kemasyarakatan, seperti perbaikan rumah tidak layak huni (rutilahu), pendidikan dan kesehatan.

    Keterlibatan DPR Komisi XI dalam Kasus CSR BI-OJK

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mendalami aliran dana CSR BI-OJK. Tersangka yang diperiksa KPK menyebutkan bahwa banyak anggota Komisi XI juga mendapatkan dana tersebut.

    Hal itu disampaikan oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu saat konferensi pers penetapan tersangka terkait dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) program CSR BI dan OJK

    “Bahwa menurut pengakuan tersangka ST, sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut,” kata Asep, Kamis (7/8/2025).

    Asep menekankan penyidik akan mengembangkan kasus tersebut untuk menemukan fakta-fakta baru. Adapun aliran dana CSR BI-OJK dibahas dalam rapat tertutup di DPR.

    “Tentunya kami akan mendalami keterangan dari saudara ST ini siapa saja yang menerima dana bantuan sosial dari Komisi XI ini,” jelas dia.

    Dari hasil penyidikan sementara, KPK menemukan ada dugaan korupsi dalam penyaluran dana CSR BI-OJK. Selain tersangka ST (Satori), KPK juga menetapkan HG (Heri Gunadi). Keduanya merupakan anggota Komisi XI periode 2019-2024. Mereka menggunakan uang untuk kebutuhan pribadi seperti membangun rumah makan hingga showroom.

    Asep menuturkan, HG diduga menerima Rp15,8 miliar yang digunakan untuk kebutuhan pribadi, seperti seperti pembangunan rumah, pengelolaan outlet minuman, hingga pembelian tanah dan kendaraan.

    Sementara itu, total ST menerima uang Rp12,52 miliar. Uang itu digunakan untuk deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, hingga pembelian kendaraan.

    Benarkah Dana Mengalir ke Anggota Komisi XI DPR dan Partai?

    Sementara itu, anggota Komisi XI Melchias Markus Mekeng dengan tegas membantah sebagian besar Anggota Komisi XI menerima dana CSR BI dan OJK sebagaimana disampaikan oleh salah satu tersangka dalam kasus ini, Satori (ST).

    Pernyataan dari fraksi partai Golkar itu disampaikan di Komplek Parlemen, Jumat (8/8/2025). Dia menjelaskan dana untuk kegiatan sosial itu langsung disalurkan ke pihak yang dituju seperti gereja, masjid, atau UMKM.

    “Penyidik tentu akan mendalami setiap keterangan dari para pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka ataupun saksi-saksi yang dipanggil untuk dimintai keterangannya dalam perkara ini,” kata Budi kepada wartawan, Senin (11/8/2025).

    Terutama, katanya, dugaan dana yang mengalir ke sebagian Anggota Komisi XI DPR RI, partai-partai terkait, atau pihak lainnya yang terlibat dalam penyelewengan dana Program Sosial Bank Indonesia (PBSI) ini.

    “Hal ini untuk memastikan setiap rupiah uang negara tidak disalahgunakan untuk keuntungan pribadi maupun pihak-pihak lainnya, dengan berbagai modus tindak pidana korupsi,” tambahnya.

    Diketahui, minggu lalu KPK menetapkan dua tersangka yang merupakan anggota Komisi Keuangan atau XI DPR periode 2019-2024. Hal ini disampaikan oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu saat konferensi pers, Kamis (7/8/2025). 

    Berdasarkan hasil pemeriksaan, HG menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian; Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

    Lalu, tersangka berinisial ST menerima total Rp12,52 miliar yang meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lain.

    Keduanya menggunakan dana tersebut untuk kebutuhan pribadi seperti membangun rumah makan, membeli tanah dan bangunan, membuka showroom, hingga untuk mengelola kedai minuman.

    Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 B UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Selain itu, mereka juga dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-(1) KUHP.

  • Ini 4 Catatan Ekonom ke Sri Mulyani Sebelum Lanjutkan Efisiensi APBN Lagi

    Ini 4 Catatan Ekonom ke Sri Mulyani Sebelum Lanjutkan Efisiensi APBN Lagi

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan melanjutkan efisiensi belanja seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN. Terdapat beberapa catatan yang harus diperhatikan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto guna memastikan efisiensi berjalan pada jalur yang benar. 

    Untuk diketahui, PMK tersebut mengatur ihwal efisiensi belanja yang ditujukan untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan mendukung program prioritas pemerintah. 

    Menariknya di dalam beleid itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan pos anggaran dari 16 menjadi 15 pos yang diefisiensi kalau membandingkannya dengan jumlah yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

    Adapun kalau merujuk beleid baru tersebut, pos-pos anggaran yang kena efisiensi antara lain alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan.

    Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur.

    Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede memberikan empat poin catatan bagi pemerintah untuk melaksanakan efisiensi belanja ke depannya. Pertama, penerapan efisiensi jangan diberlakukan secara keseluruhan di seluruh pos anggaran atau across-the-board. 

    Sebab, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1/2025 yang menjadi acuan efisiensi belanja pemerintah pada awal tahun ini memasukkan pembangunan infrastruktur dan pengadaan peralatan/mesin ke dalam area identifikasi.

    “Sehingga ada risiko salah sasaran bila pemangkasan tak berbasis output,” jelas Josua kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).

    Kedua, percepatan realokasi dan lelang agar pergeseran ke belanja modal atau capital expenditure (capex) tidak menimbulkan pengeluaran yang rendah (low disbursement) pada paruh kedua. Josua mewanti-wanti pemerintah agar menggunakan mekanisme ‘blokir-buka’ anggaran yang cepat, bukan penahanan berkepanjangan.

    Ketiga, layanan dasar yang meliputi pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, serta proyek yang didanai skema khusus seperti pinjaman/hibah/BLU/SBSN sesuai koridor Inpres/PMK. 

    Keempat, penguatan terhadap reviu belanja secara kuartalan berbasis kinerja. Hal itu termasuk koordinasi dengan daerah saat penyesuaian transfer ke daerah (TKD). 

    “Agar efisiensi benar-benar menekan biaya input seremonial/operasional, bukan mengorbankan output pelayanan publik atau serapan capex yang menopang investasi,” ujar Josua.

    Menurut pengamatan Josua, arah kebijakan efisiensi yang diatur pada PMK No.56/2025 dalam melanjutkan mandat Inpres No.1/2025 itu relatif tepat sasaran. Sebab, PMK yang baru diterbitkan Sri Mulyani pada akhir Juli lalu itu secara eksplisit menyasar pos-pos dengan efek berganda atau multiplier effect rendah di belanja barang/jasa dan sebagian belanja modal (perjalanan dinas, rapat/semiloka, sewa, jasa profesional, iklan/publikasi, pengadaan kendaraan, percetakan/souvenir, dan lain-lain).

    Di sisi lain, efisiensi yang dicanangkan pemerintah itu dinilai sambil tetap melindungi belanja pegawai dan bantuan sosial. 

    Sebagai informasi, Inpres No.1/2025 yang diterbitkan Presiden Prabowo sebelumnya menargetkan efisiensi total Rp306,7 triliun, yang meliputi anggaran kementerian/lembaga Rp256,1 triliun, serta Rp50,6 triliun pada TKD. 

    Efisiensi pada PMK itu juga, lanjut Josua, memprioritaskan agar pemangkasan tidak berasal dari pinjaman/hibah, Rupiah Murni Pendamping, PNBP-BLU yang disetor ke kas negara, maupun proyek yang menjadi underlying SBSN—sehingga ruang fiskal dialihkan ke program prioritas Presiden tanpa menurunkan layanan dasar.

    Di sisi lain, PMK baru itu juga merinci 15 jenis belanja sebagai objek efisiensi yang dinilai teknisnya untuk mendorong “value for money”.

    Belum Ada Penjelasan Rinci Efisiensi Anggaran Lanjutan

    Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara masih enggan menjelaskan lebih lanjut perincian efisiensi APBN yang dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto setelah pelaksanaan pertama di awal tahun ini. 

    Namun demikian, Suahasil menjelaskan bahwa kementeriannya bakal mengumumkan lebih lanjut soal implementasi PMK tersebut. Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu menuturkan, efisiensi akan terus dilakukan karena merupakan keinginan setiap lembaga. 

    “Kalau efisiensi kan memang sudah menjadi keinginan kita setiap lembaga. Terus mencari efisiensi dalam anggaran. Jadi lanjut terus aja, dalam pelaksanaan, dalam perencanaan,” tuturnya di Istana Kepresidenan. 

    Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, PMK Nomor 56/2025 itu mengatur bahwa anggaran belanja yang terdampak efisiensi antara lain anggaran belanja kementerian atau lembaga, dan efisiensi transfer ke daerah. 

    “Hasil efisiensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) utamanya digunakan untuk kegiatan prioritas Presiden yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” tertulis dalam beleid itu, dikutip pada Rabu (6/8/2025).

    Menariknya di dalam beleid itu, Sri Mulyani tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan pos anggaran dari 16 menjadi 15 pos yang terkena efisiensi kalau membandingkannya dengan jumlah yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

    Meski demikian, aturan baru tersebut belum menyebut secara spesifik berapa nilai besaran anggaran yang terdampak efisiensi. PMK itu hanya menekankan bahwa Menteri Keuangan (Menkeu) bisa menyesuaikan item anggaran yang terkena efisiensi sesuai arahan presiden. 

    Selain itu, meski tetap merujuk kepada kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh presiden, Menteri Keuangan berhak menetapkan besaran efisiensi anggaran dan menyampaikannya kepada masing-masing kementerian dan lembaga.

  • Pegawai BUMN hingga Dokter Terima BSU, Puan Ingatkan Pemerintah Verifikasi Data
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        11 Agustus 2025

    Pegawai BUMN hingga Dokter Terima BSU, Puan Ingatkan Pemerintah Verifikasi Data Nasional 11 Agustus 2025

    Pegawai BUMN hingga Dokter Terima BSU, Puan Ingatkan Pemerintah Verifikasi Data
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah untuk selalu memverifikasi data penerima bantuan sosial (Bansos), sebelum proses penyaluran. Tak terkecuali untuk program Bantuan Subsidi Upah (BSU).
    Hal itu disampaikan Puan saat mendapatkan informasi soal dugaan penyaluran BSU tak tepat sasaran. Sebab, terdapat penerima yang berstatus pegawai BUMN hingga dokter.
    “Kalau saya tetap berharap mengimbau bahkan meminta terkait dengan hal-hal verifikasi data itu paling penting. Jadi verifikasi data dulu. Jangan sampai mengubah satu program tanpa verifikasi data yang baik, yang detail, yang benar, karena data itu yang paling penting, sebagai pegangan,” ujar Puan di Gedung DPR RI, Senin (11/8/2025).
    Puan menegaskan bahwa proses verifikasi data menjadi hal yang krusial dalam penyaluran Bansos oleh pemerintah.
    Langkah tersebut menjadi salah satu upaya untuk memastikan warga yang berhak menerima bansos, benar-benar mendapatkannya.
    “Jangan sampai kemudian rakyat yang berhak mendapatkan semua program itu tidak mendapatkan. Malah orang yang tidak berhak, mendapatkan program-program tersebut,” kata Puan.
    Puan kemudian mencontohkan pengalaman sebagai Menteri Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menkon PMK). Kala itu, dirinya selalu memperhatikan dan mengedepankan akurasi data penerima bansos.
    “Menko mengkoordinasikan semua kementerian tersebut, berdasarkan data yang terbaru. Itu untuk apakah kemudian memutuskan program tersebut akan diubah, diganti atau diperbaiki atau dievaluasi dan lain-lain sebagainya. Jadi tolong perbaiki dulu datanya, evaluasi datanya,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, sejumlah kejanggalan ditemukan PPATK dalam data penerima bansos yang diajukan Kemensos.
    Salah satu kejanggalan adalah temuan 27.932 pegawai BUMN yang terindikasi menerima bansos tersebut.
    Selain pegawai BUMN, PPATK juga menemukan 7.479 penerima bansos yang berprofesi sebagai dokter.
    Lalu, PPATK juga menemukan lebih dari 6.000 penerima bansos yang bekerja sebagai eksekutif atau manajerial.
    Sementara itu, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul akan melakukan verifikasi data terhadap laporan yang menunjukkan hampir 28 ribu pegawai BUMN terindikasi menerima bansos.
    “Makanya kita ingin tahu, apakah benar mereka pegawai BUMN. Itu masih perlu diverifikasi, dan pasti kita akan koordinasi ya (dengan Kementerian BUMN),” ujar Gus Ipul di Kantor Kemensos, Jakarta, Kamis (8/8/2025).
    Ia menjelaskan, verifikasi data ini menjadi penting untuk melihat fakta yang terjadi di lapangan terkait penyaluran bansos.
    Kemensos juga akan berkoordinasi dengan Menteri BUMN Erick Thohir dalam menindaklanjuti temuan PPATK tersebut.
    “Kalau benar mereka adalah pegawai BUMN, pasti kita akan koordinasi. Tapi ini masih akan kita dalami,” ujar Gus Ipul.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Respons KPK Soal Bantahan Anggota Komisi XI Terima Dana CSR BI dan OJK

    Respons KPK Soal Bantahan Anggota Komisi XI Terima Dana CSR BI dan OJK

    Bisnis.com, JAKARTA – Anggota Komisi XI Melchias Markus Mekeng membantah sebagian besar Anggota Komisi XI menerima dana CSR BI dan OJK sebagaimana disampaikan oleh salah satu tersangka dalam kasus ini, Satori (ST).

    Pernyataan dari fraksi partai Golkar itu disampaikan di Komplek Parlemen, Jumat (8/8/2025). Dia menjelaskan dana untuk kegiatan sosial itu langsung disalurkan ke pihak yang dituju seperti gereja, masjid, atau UMKM.

    Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budi Prasetyo menegaskan bahwa penyidik tetap mengusut tuntas perkara dugaan korupsi CSR BI dan OJK ini.

    “Penyidik tentu akan mendalami setiap keterangan dari para pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka ataupun saksi-saksi yang dipanggil untuk dimintai keterangannya dalam perkara ini,” kata Budi kepada wartawan, Senin (11/8/2025).

    Terutama, katanya, dugaan dana yang mengalir ke sebagian Anggota Komisi XI DPR RI, partai-partai terkait, atau pihak lainnya yang terlibat dalam penyelewengan dana Program Sosial Bank Indonesia (PBSI) ini.

    “Hal ini untuk memastikan setiap rupiah uang negara tidak disalahgunakan untuk keuntungan pribadi maupun pihak-pihak lainnya, dengan berbagai modus tindak pidana korupsi,” tambahnya.

    Diketahui, minggu lalu KPK menetapkan dua tersangka yang merupakan anggota Komisi Keuangan atau XI DPR periode 2019-2024. Hal ini disampaikan oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu saat konferensi pers, Kamis (7/8/2025). 

    Berdasarkan hasil pemeriksaan, HG menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian; Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

    Lalu, tersangka berinisial ST menerima total Rp12,52 miliar yang meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lain.

    Keduanya menggunakan dana tersebut untuk kebutuhan pribadi seperti membangun rumah makan, membeli tanah dan bangunan, membuka showroom, hingga untuk mengelola kedai minuman.

    Adapun para tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.

    Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • DPR Minta Data Tunggal Sosial Ekonomi Perbaiki Penyaluran Bansos

    DPR Minta Data Tunggal Sosial Ekonomi Perbaiki Penyaluran Bansos

    Jakarta, Beritasatu.com – Anggota Komisi VIII DPR, Maman Imanul Haq, menegaskan pentingnya keberadaan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) untuk memastikan penyaluran bantuan sosial (bansos) tepat sasaran.

    “Kami berharap ke depan tidak ada lagi bansos yang salah sasaran. DTSEN harus menjadi fondasi agar penyaluran tepat kepada mereka yang berhak dan benar-benar membutuhkan,” ujar Maman dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/8/2025).

    Pernyataan ini menanggapi temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengungkap sebanyak 28 ribu karyawan BUMN menerima bansos. Selain itu, terdapat 7.479 dokter dan 6.000 eksekutif atau pejabat manajerial yang juga tercatat sebagai penerima.

    Menurut Maman, temuan ini menunjukkan perlunya validasi ulang data penerima bansos. “Persepsi umum karyawan BUMN sudah memiliki kesejahteraan layak. Jika mereka menerima bansos, perlu dilihat apakah memang berhak atau ini kesalahan data,” tambahnya.

    Sebelumnya, PPATK melakukan analisis enam bulan terhadap 10 juta rekening penerima bansos. Hasilnya disampaikan kepada Kementerian Sosial (Kemensos) untuk ditindaklanjuti.

    Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan pihaknya akan menelusuri temuan tersebut bersama PPATK dan otoritas terkait. “Jika terbukti tidak layak, rekening akan diblokir dan bantuannya dialihkan kepada yang berhak,” tegasnya.

  • Heboh BI Intip Seluruh Transaksi Via Payment ID, Cek Detailnya

    Heboh BI Intip Seluruh Transaksi Via Payment ID, Cek Detailnya

    Bisnis.com, JAKARTA — Rencana Bank Indonesia (BI) menerapkan sistem pemantauan transaksi melalui Payment ID memicu kontroversi. Meski sejatinya sistem ini bisa mendorong transparansi dan mencegah penyalahgunaan transaksi, namun belum jelasnya infrastruktur keamanan dan aturan main, membuat banyak pihak mempertanyakan urgensi penerapan sistem pengawasan transaksi yang akan diluncurkan 17 Agustus 2025 itu.

    Anggota Komisi I DPR RI dari PDI Pejuangan (PDI) Sarifah Ainun Jariyah, misalnya, meminta pelaksanaannya ditunda. Menurutnya, pengawasan melekat melalui Payment ID rentan karena infrastruktur keamanan yang dinilai belum siap.

    “Kita harus belajar dari negara lain. Insentif, bukan paksaan. Perlindungan, bukan eksploitasi. Komisi I DPR akan terus mengawal isu ini untuk memastikan hak warga terlindungi,” kata Sarifah dikutip dari Antara, Minggu (10/8/2025).

    Lantas Apa Itu Payment ID?

    Payment ID secara sederhana dimaknai sebagai sistem pemantauan transaksi seluruh warga Indonesia. Nantinya, setiap orang akan memiliki identitas pembayaran yang terintegrasi dengan nomor induk kependudukan alias NIK sehingga BI memantau seluruh transaksi, baik perbankan, multifinance, pinjol, hingga e-wallet.

    Dalam catatan Bisnis, Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Dudi Dermawan menjelaskan bahwa Payment ID merupakan bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030. Dalam Payment ID, setiap orang akan memiliki kode unik untuk mengidentifikasi transaksi pembayaran.

    “Payment ID di-generate dari NIK, NIK di-generate dari data kependudukan. Jadi, seluruh data di bank nantinya terkait dengan nomor rekening maka akan ada ekuivalen yang terkait dengan Payment ID-nya,” ujar Dudi katanya Juli lalu.

    Adapun berdasarkan BSPI 2030, pemanfaatan Payment ID mencakup tiga fungsi. Pertama, kunci identifikasi untuk membentuk data profil pelaku sistem pembayaran. Kedua, kunci otentifikasi data dalam pemrosesan transaksi. Ketiga, kunci unik dalam proses agregasi antara data profil individu dengan data transaksional.

    Dudi menjelaskan bahwa Payment ID dapat mengintegrasikan seluruh aktivitas keuangan dengan identitas tersebut. Misalnya, BI dapat mengidentifikasi seseorang yang memiliki lebih dari satu rekening bank, memiliki pinjaman/kredit di multifinance, memiliki akun e-wallet dan uang elektronik, hingga memiliki akun pinjaman online atau pinjol.

    Data Transaksi Mencurigakan Januari – Juni 2025

    Sumber: PPATK, non bank termasuk e-wallet

    Integrasi itu membuat otoritas moneter bisa mengetahui aktivitas pembayaran, transfer, dan seluruh transaksi. BI juga bisa mengetahui nominal dan sumber pendapatan seseorang, kewajiban dan utang yang sedang dimiliki, penempatan investasi, hingga aktivitas pinjol.

    Data tersebut menurutnya bisa menjadi acuan untuk menilai kesehatan keuangan seseorang, apakah rasio pinjaman atau kreditnya masih dalam batas aman terhadap total penghasilannya, juga profil keuangan seseorang yang terkait dengan aktivitas berisiko seperti pinjol ilegal. “Payment ID ini sangat powerful … Ini jauh lebih akurat dibandingkan sistem penilaian konvensional seperti SLIK [Sistem Layanan Informasi Keuangan OJK],” ujarnya.

    Diterapkan Bertahap

    Adapun BI mengungkapkan implementasi sistem pemantauan transaksi seluruh warga Indonesia alias Payment ID akan berlangsung bertahap mulai 2026. 

    “Payment ID sebagai bagian dari pengembangan infrastruktur data SP akan diimplementasikan secara bertahap mulai 2026,” ungkap Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Dicky Kartikoyono dalam keterangan resmi, Senin (28/7/2025). 

    Pada tahap awal, Dicky menyampaikan bahwa pengembangan sistem itu akan diawali dengan tahap eksperimentasi untuk menguji model bisnis, mekanisme pembentukan, dan pemanfaatan Payment ID. 

    Eksperimentasi dilakukan secara terbatas, antara lain pada use case penyaluran bantuan sosial (Bansos) untuk mendukung program digitalisasi Bansos yang dilakukan oleh pemerintah.

    Dicky menjelaskan bahwa BI akan mengembangkan Payment ID sebagai unique identifier yang merepresentasikan pelaku sistem pembayaran, baik individu maupun entitas. Tujuannya, untuk mendukung penguatan integritas transaksi pembayaran, perluasan inklusi keuangan, dan perumusan kebijakan.

    Nantinya, format Payment ID terdiri dari 9 digit alfanumerik yang akan dibentuk berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang di-hash dengan formula enkripsi terkini.

    Adapun pembentukan dan pemanfaatan Payment ID akan dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keamanan data sesuai Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), antara lain pemanfaatan Payment History hanya dapat dilakukan setelah memperoleh consent atau persetujuan dari individu pemilik data.

    Dicky berharap implementasi secara bertahap ini setidaknya memberikan manfaat bagi masing-masing pelaku terkait. Pertama, bagi pemerintah hal ini akan mendukung program transformasi digital pemerintah dan pertumbuhan ekonomi nasional.

    Kedua, bagi Bank Indonesia, hal ini memperkuat kapabilitas bank sentral dalam memelihara stabilitas sistem pembayaran, mencapai stabilitas nilai rupiah, dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan. Ketiga, bagi industri, Payment ID menjadi alat untuk menjamin ekosistem dan integritas transaksi, serta mendukung sistem keuangan yang built on trust.

    Sementara bagi masyarakat, pembentukan payment history akan mendukung perluasan akses pembiayaan dan kualitas kredit.

  • Penerima Bansos Wajib Punya Mobile Banking? Simak Penjelasannya di Sini

    Penerima Bansos Wajib Punya Mobile Banking? Simak Penjelasannya di Sini

    YOGYAKARTA – Pemberian bantuan sosial atau bansos kini diberikan melalui transfer bank, contohnya Program Keluarga Harapan (PKH). Bank-bank yang digunakan untuk menyalurkan bantuan ini yaitu bank Himbara yang meliputi BRI, BNI, Mandiri, dan BTN. Lantas apakah penerima bansos wajib punya mobile-banking?

    Apakah Penerima Bansos Wajib Punya Mobile Banking?

    Jawabannya tidak. Namun, agar penerima tidak merasa kesulitan melakukan pengecekan apakah bantuan sudah masuk atau belum, pembuatan m-banking sangat disarankan.

    Dengan mempunyai m-banking, Anda tidak harus datang ke bank untuk memeriksa transfer PKH. Pengelolaan keuangan pun akan lebih sederhana dengan menggunakan m-banking. Saat ini lembaga-lembaga perbankan pun langsung mengharuskan nasabahnya mempunyai m-banking ketika pertama kali membuka rekening. Hal ini dilakukan agar mempermudah nasabah dalam menjalankan transaksi, sekaligus menyampaikan informasi atau pembaruan dari bank.

    Seperti yang dikabarkan, Bansos PKH Tahap III 2025 cair mulai Agustus 2025. Meskipun demikian, belum keluar informasi resmi dari Kementerian Sosial mengenai jadwal pencairan bansos ini. Data penerima PKH dapat Anda periksa melalui website resmi Kementerian Sosial di bawah ini beserta langkah-langkahnya.

    Masuk ke laman https://cekbansos.kemensos.go.id/Lengkapi data wilayah sesuai KTP, yaitu provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan.Masukkan data nama PM (Penerima Manfaat) sesuai KTP.Lengkapi 4 huruf kode captcha pada kolom yang tersedia.Selanjutnya, klik ‘Cari Data’ untuk mengetahui hasilnya.

    Jika data Anda tersedia dalam laman tersebut, maka dapat dipastikan Anda akan menerima bantuan sosial. Sementara itu, rincian besaran PKH yang berhak diterima oleh Keluarga Penerima Manfaat (KPM) adalah sebagai berikut.

    Ibu hamil/nifas: Rp750.000/tahap atau Rp3 juta per tahun.Anak usia dini/balita: Rp750.000/tahap atau Rp3 juta per tahun.Penyandang disabilitas: Rp600.000/tahap atau Rp2,4 juta per tahun.Lansia: Rp600.000/tahap atau Rp2,4 juta per tahun.Anak sekolah SMA: Rp500.000/tahap atau Rp2 juta per tahun.Anak sekolah SMP: Rp375.000/tahap atau Rp1,5 juta per tahun.

    Sebagai informasi yang perlu diketahui, Data Tunggal Sistem Ekonomi Nasional (DTSEN) mulai diterapkan sebagai basis penyaluran bantuan sosial (bansos) seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH) mulai kuartal II tahun 2025. Bagi siapa pun penerima bansos, data biasanya akan muncul secara otomatis di DTSEN. Namun, jika terjadi eror, cara penanganan data tidak muncul di DTSEN juga tidak sulit.

    Seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), DTSEN juga dapat Anda cek melalui situs cek bansos. Jika nama tidak muncul, padahal seharusnya Anda berhak mendapatkan bansos, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Pertama, pastikan semua data yang Anda gunakan untuk login sudah benar. Jika tetap tidak bisa, Anda bisa mencoba di lain waktu, khususnya di saat jaringan internet lancar. Jika tetap tidak bisa, Anda bisa menghubungi call center Kementerian Sosial (Kemensos) di nomor 171 serta Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional – Layanan Aspirasi Dan Pengaduan Online Rakyat (SP4N-LAPOR!).

    Demikianlah ulasan apakah penerima bansos wajib punya mobile banking. Semoga informasi ini bermanfaat! Kunjungi VOI.id untuk mendapatkan informasi menarik lainnya

  • Ketika Pegawai BI Pantau Pengguna QRIS Beli Gorengan, Payment ID Dinilai Bisa Langgar Hak Warga Negara

    Ketika Pegawai BI Pantau Pengguna QRIS Beli Gorengan, Payment ID Dinilai Bisa Langgar Hak Warga Negara

    Tulus menyebut baru ada lima negara saja yang telah menerapkan Payment ID, seperti Singapura, Swedia, India, Brasil, dan China.

    Penerapan kebijakan Payment ID, kata Tulus, tidak boleh gegabah. Jika ingin mengoptimalkan pendapatan pajak, pemerintah seharusnya memprioritaskan pembayar pajak besar, baik korporasi maupun individu berpenghasilan tinggi.

    “Sasar pembayar pajak kelas kakap, baik untuk level korporasi, maupun kalangan kelas kakap individua, seperti kalangan crazy rich dan lain-lain,” imbaunya.

    Penerapan Payment ID berisiko menggerus kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan dan transaksi digital. Jika kepercayaan turun, Tulus menilai keberlanjutan ekonomi digital bisa terancam.

    “Keberlanjutan ekonomi digital pun terancam, dan klimaksnya masyarakat dan bahkan negara justru dirugikan,” ujarnya.

    Bank Indonesia sebagai bank sentral akan memulai uji coba Payment ID pada 17 Agustus 2025 sebagai langkah memperkuat akurasi dan keamanan penyaluran bantuan sosial nontunai dalam Program Perlindungan Sosial (Perlinsos).

    Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso menjelaskan, uji coba terbatas itu fokus pada satu use case, yakni memastikan penyaluran bantuan sosial lebih tepat sasaran. (*)

  • Rp 100.000 Dikali 120 juta Orang?

    Rp 100.000 Dikali 120 juta Orang?

    GELORA.CO  – Ustaz Dasad Latif mengaku kecewa dengan kebijakan pemblokiran rekening pasif oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

    Dirinya menduga adanya motif ekonomi dibalik kebijakan tersebut.

    Hal tersebut disampaikan Ustaz Dasad Latif dalam sebuah wawancara yang diunggah akun instagram @terkinidotid pada Jumat (8/8/2025).

    Dalam video tersebut, dirinya mengaku masih merasakan kekecewaan atas pemblokiran rekening bank pribadinya.

    Menurutnya, gerakan menabung yang digaungkan pemerintah itu justru dibalas dengan pemblokiran.

    “Saya kecewa sebab ajakan menabung justru dibalas dengan blokir. Sehingga ada sangka-sangka, bahwa ini ada transaksi ekonomi dalam blokir itu,” ungkap Ustaz Dasad Latif.

    “Misalnya Ketika pengaktifan kan harus bayar lagi Rp 100.000. Nah itu kalau misalnya diblokir 120 juta orang, kali itu Rp 100.000, berapa?” tanyanya.

    Tak hanya berbayar, proses pembukaan pemblokiran pun dinilainya sangat menyulitkan masyarakat.

    Pasalnya, rekening yang telah diblokir baru bisa kembali terbuka dan digunakan setelah 7 hari kerja.

    “Padahal, Bapak Presiden sudah bilang. ‘komplain hari ini, hari ini buka’. Saya disuruh menunggu tujuh hari,” imbuhnya. 

    Terlepas dari dugaan adanya motif ekonomi dan proses yang berbelit, dampak negatif dari kebijakan ini ditegaskannya adalah tercorengnya citra baik.

    Sebab menurutnya, seseorang yang rekeningnya diblokir oleh bank adalah orang yang tersangkut dengan hukum.

    Rekening yang diblokir adalah rekening yang dicurigai adanya transaksi dari hasil kejahatan. 

    “Kemudian, yang paling penting bukan sekedar blokir, adalah citra nama baik. Setahu saya, orang yang diblokir keuangannya itu dicurigai ada tindak pidana, ada transaksi kejahatan,” ungkap Ustaz Dasad Latif.

    “Nah masa kau anggap saya ini ada transaksi kejahatan!?” tegasnya.

    Dirinya mengaku heran dengan keputusan pemblokiran.

    Sebab, uang dalam rekeningnya itu hanya sebesar Rp 300 juta lebih.

    Uang yang ditabung pun sengaja ditabung untuk modal pembangunan masjid.

    “Andai saja duit saya di situ tiba-tiba ada misalnya satu triliun (rupiah), nah itu pasti ada mencurigakan ini uangnya, ‘kok tiba-tiba ada uangnya satu triliun?’. (tabungan sebesar) Rp 300 juta lebih. Jadi tidak masuk akal!?” tegasnya.

    Pernyataan Ustaz Dasad Latif pun ditanggapi ramai masyarakat.

    Pro dan kontra dituliskan dalam kolom komentar.

    Ustaz Dasad Latif Tak Bisa Lanjutkan Bangun Masjid

    Diberitakan sebelumnya, Kebijakan pemblokiran rekening pasif oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menuai kritik dari Ustaz Dasad Latif. 

    Melalui unggahan video di akun Instagramnya, @dasadlatif1212 pada Kamis (7/8/2025), ia mengaku mengalami langsung dampak dari kebijakan tersebut saat hendak mencairkan dana untuk pembangunan masjid.

    Dalam pernyataannya, Ustaz Dasad menceritakan rekening miliknya yang disimpan di salah satu bank milik pemerintah tidak dapat diakses karena telah diblokir. 

    Alasannya, rekening tersebut dianggap tidak aktif selama tiga bulan terakhir atau tergolong dormant.

    “Saya hari ini berencana membayar besi semen untuk pembangunan masjid saya. Jadi saya datanglah mengambil uang yang saya tampung di bank pemerintah. Setelah saya tiba, ternyata rekening saya diblokir karena tidak aktif selama tiga bulan,” ujarnya dalam video pada Kamis (7/8/2025).

    Kebijakan ini, menurut Ustaz Dasad Latif, bertolak belakang dengan kampanye nasional yang selama ini mendorong masyarakat untuk giat menabung. 

    Ia menilai, fungsi menabung seharusnya adalah menyimpan dana, bukan mengharuskan nasabah untuk terus melakukan transaksi berkala.

    “Setahu saya selalu diiklankan oleh negara, ayo menabung. Menabunglah saya, tapi kenapa malah diblokir? Namanya menabung, disimpan uangnya. Kalau tidak disimpan, itu bukan menabung,” kata dia.

    Ustaz Dasad Latif menegaskan dirinya memahami niat pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan rekening oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. 

    Namun, menurut dia, pendekatan yang digunakan dalam implementasi kebijakan tersebut justru kini menimbulkan keresahan di masyarakat.

    “Saya berharap pemerintah membuat keputusan yang betul-betul elegan, tidak meresahkan masyarakat, dan tidak menyusahkan rakyat kecil,” tuturnya.

    Ia pun mengajak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali cara penyampaian dan pelaksanaan kebijakan agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat luas.

    “Saya tidak ahli perbankan, tidak ahli ekonomi, tapi falsafah dari semua pada negara adalah supaya bisa melayani masyarakat,” ucapnya.

    Di akhir video, Ustaz Dasad Latif menekankan kritik yang disampaikannya bukan untuk menentang kebijakan, melainkan sebagai bentuk aspirasi warga negara kepada pemerintah. 

    Ia berharap apa yang dialaminya tidak terjadi pada masyarakat lain yang mungkin lebih rentan secara ekonomi.

    “Saya menabung ini untuk aman dan membantu negara, tapi ternyata saya diblokir. Mudah-mudahan hanya saya yang mengalami, bukan masyarakat kecil lainnya,” ujarnya.

    Ia mengajak agar kritik ini tidak dianggap sebagai serangan, melainkan sebagai masukan untuk memperbaiki sistem pengelolaan keuangan negara.

    “Saya yakin, kalau niatnya baik, pasti Allah tunjukkan jalan yang baik,” ujarnya diakhir video.

    Melengkapi postingannya, Ustaz Dasad Latif menegaskan agar pemerintah dapat melahirkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.

    Kebijakan yang berorisntasi kepada hal baik, bukan justru mempersulit masyarakat.

    “Ke-BIJAK-an yg elegan harus berorientasi kemaslahan dan tidak menimbulkan masalah baru,” tulis Ustaz Dasad Latif.

    “Ini wujud aspirasi saya dalam mencintai negara ini, di negara ini saya hidup, beribadah dan mencari nafka, maka wajib bagiku memberikan masukan konstruktif demi indonesia Raya,” tambahnya.

    Pernyataan Ustaz Dasad Latif seketika ramai diserbu masyarakat.

    Beragam masukan hingga kritik dituliskan masyaraklat terkait kebijakan PPATK dalam kolom komentar postingannya.

    @phelereagel_al: Beleng-beleng memang @ppatk_indonesia

    @raden_boby_ibrahim: @ppatk_indonesia noh dengerin,,kalian nyusahin emng

    @sam.devidcris: @ppatk_indonesia agak laen ini emang

    @antok_nur: Ya allah 

    @soi_fah: @hotmanparisofficial

    @theshe_sahota: menyesal aku pilih @prabowo 2x sy kira rakyat makmur sm beliau tpi ternyata malah menyusahkan rakyat, bagus golput aja lagi

    @fakhru_ans_official: HARUS VIRAL INI, PENTING SEKALI.

    @indraapriana81: Yg ngambil kebijakan emang paling bijak sepertinya tadz..

    @muh_ali_imron: Itu yģ buat kebijakan gila.. Semoga Ri1 dengar @prabowo .. biar g tambah gila kebijakan ini

    @pita_keanu: Bapak presiden @prabowo,

    @aidiuas_97: Lawan terus kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat, harus tuntas.

    @ancha_andhi: Tandanya mereka malas berpikir akhirnya masyarakat jadi korban, bikin dulu kebijakan tanpa kajian mendalam padahal sudah digaji besar

    @bang_syahrul_2: @ppatk_indonesia @ppid_ppatk dengar baik2 sai kdg

    Prof UGM Sebut Kebijan Kurang Matang

    Dikutip dari situs resmi Universitas Gadjah Mada, kebijakan pemblokiran rekening ‘menganggur’ oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menuai kontroversi di masyarakat. 

    Ratusan juta rekening yang tidak menunjukan aktivitas dalam tiga bulan terakhir dikategorikan sebagai dormant atau rekening pasif.

    Dikatakan bahwa pemblokiran dilakukan untuk mencegah tindak pidana penyalahgunaan rekening pasif untuk praktik ilegal, seperti pencucian uang dan jual beli rekening.

    Meski 122 juta rekening sudah dibuka, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo menyebut, kebijakan PPATK tersebut termasuk salah satu bentuk “brute-force” atau kebijakan yang sifatnya coba-coba dan kurang memertimbangkan banyak aspek.

    Menurutnya, bukan pertama kali pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang kurang matang.

    “Sudah sekian kali rakyat menyaksikan bahwa kebijakan yang diambil oleh rezim pemerintah sekarang ini kurang profesional yang jika dibiarkan berulang-kali terjadi akan berpotensi semakin menggerus legitimasi Presiden,” ucapnya, Rabu (6/8/2025).

    Nilai kepemilikan rekening bank masyarakat Indonesia cukup fantastis.

    Laporan PPATK menyebut total nilai rekening yang diblokir mencapai Rp 428,61 miliar.

    Di antara jumlah tersebut tentunya ada berbagai alasan pembukaan rekening yang mengakibatkan rekening menjadi pasif atau tidak ada aktivitas dalam tiga bulan terakhir, seperti mendapatkan promo, pembukaan rekening untuk demonstrasi layanan bank, untuk penyaluran bantuan sosial, atau sebagian nasabah lupa bahwa pernah membuka rekening di bank tertentu.

    Faktor-faktor tersebutlah yang luput dipertimbangkan pemerintah.

    “Resiko penyalahgunaan rekening menganggur untuk hasil judi online atau pencucian uang memang ada. Tapi tindakan pemblokiran tanpa melihat alasan mengapa rekening itu menganggur juga bukan tindakan bijaksana,” tutur Wahyudi.

    Ia menambahkan, pemerintah kurang bisa menerapkan prosedur RIA (Regulatory Impact Assessment) sehingga dampak negatif dari sebuah kebijakan tidak diantisipasi sejak dini.

    Akibatnya, masyarakat kembali menjadi korban dari kebijakan pemerintah.

    Jika memang ingin mendeteksi atau mencegah penyalahgunaan rekening untuk tindakan ilegal, PPATK bisa bekerja sama dengan instansi yang mengawasi aktivitas keuangan, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan perbankan.

    Perlu ada pencatatan dan kategorisasi rekening berdasarkan riwayat rekening tersebut sejak pembukaan hingga beberapa bulan terakhir. Analisis tersebut akan memberikan gambaran apakah pemblokiran rekening memang diperlukan atau tidak.

    “Teknologi untuk mengidentifikasi rekening-rekening itu semestinya sudah tersedia, dan informasi nasabah dari perbankan semestinya sudah sangat lengkap untuk melacak rekening menganggur tersebut,” ujar Wahyudi.

    Meskipun kini sekian ratus juta rekening sudah kembali dipulihkan, namun tetap ada evaluasi yang perlu dilakukan.

    Kebijakan seharusnya diimplementasikan secara terstruktur dan tidak terburu-buru. Pemilik nasabah juga memiliki hak keterbukaan informasi atas rekeningnya sendiri.

    Wahyudi menyarankan agar pemerintah perlu memperbaiki sistem kebijakan yang akan dilakukan, tidak hanya pada kasus pemblokiran rekening saja.

    Pertimbangan matang akan mengarahkan pada implementasi kebijakan yang baik dengan mitigasi resiko, sehingga tidak perlu melakukan “blanket-policy” atau kebijakan tidak transparan.

    Tindakan tanpa pertimbangan justru akan menghasilkan inefisiensi dan penurunan kredibilitas dan visibilitas pemerintah di mata masyarakat