Topik: Banjir

  • Sungai Cisadane dan Ketahanan Lingkungan

    Sungai Cisadane dan Ketahanan Lingkungan

    Muhammad Syahrul Ramadhan • 19 September 2025 14:26

    Sungai Cisadane adalah salah satu sungai besar yang menjadi nadi ekologis, sosial, dan ekonomi di Jawa Barat dan Banten. Dengan panjang sekitar 126 kilometer, sungai ini berhulu di Gunung Pangrango dan disuplai juga oleh mata air Gunung Salak lalu mengalir melalui Bogor, membelah wilayah Tangerang, hingga bermuara di Tanjung Burung. 

    Sejak lama, Cisadane bukan hanya sebatas aliran air, tetapi juga sumber kehidupan, identitas budaya, dan ruang sosial masyarakat. Tradisi Festival Cisadane dan ritual ruwatan sungai menunjukkan keterikatan historis antara manusia dan alam. 

    Namun demikian, perkembangan aktivitas masyarakat dan industrialisasi dalam beberapa dekade terakhir membawa tekanan besar terhadap daya dukung sungai. Banjir musiman, longsor, pencemaran limbah industri, dan tumpukan sampah plastik telah mendorong Cisadane ke ambang krisis ekologis. Dalam situasi ini, konsep ketahanan lingkungan menjadi aspek penting untuk memahami kapasitas sungai ini bertahan, beradaptasi, dan pulih.

    Ketahanan dapat didefinisikan sebagai kapasitas suatu sistem, baik alam, sosial, ekonomi, maupun gabungan antaranya, untuk bertahan, beradaptasi, dan pulih ketika menghadapi gangguan, tekanan, atau perubahan, tanpa kehilangan fungsi, struktur, dan identitas utamanya, serta dengan kemampuan untuk bertransformasi bila diperlukan guna menjamin keberlanjutan jangka panjang. 

    Dalam literatur ekologi, kajian tentang ketahanan terbagi ke dalam dua kelompok besar dengan fokus yang berbeda (Donohue et al., 2013). Kelompok pertama adalah penelitian tentang stabilitas ekologi tradisional yang berasumsi bahwa pola dan proses ekologis beroperasi dalam satu rezim keseimbangan (basin of attraction). Konsep-konsep dalam kelompok ini berfokus pada resistensi, persistensi, variabilitas, dan ketahanan. 

    Untuk memperjelas perbedaan dengan pendekatan lain, ketahanan dalam kerangka ini biasanya disebut engineering resilience (Gunderson, 2000), yang identik dengan kemampuan sistem untuk pulih, bangkit kembali, dan kembali ke kondisi semula (Angeler & Allen, 2016).

    Pengukuran stabilitas ekologi ini berguna untuk mengkarakterisasi respon ekosistem setelah terganggu, misalnya sejauh mana suatu sistem menyimpang, berfluktuasi, dan pulih pasca gangguan. Akan tetapi, ukuran ini tidak menangkap sifat sistem adaptif kompleks dari ekosistem, yakni interaksi rumit faktor abiotik dan biotik serta kemungkinan munculnya rezim alternatif, misalnya danau yang berubah dari kondisi jernih ke keruh. Kompleksitas perilaku sistem adaptif inilah yang kemudian dikenal sebagai ecological resilience (Gunderson, 2000). 

    Konsep ini kian menarik perhatian para ilmuwan, baik dalam ilmu alam, penilaian risiko, maupun desain infrastruktur. Ecological resilience menekankan kapasitas adaptif, yakni seberapa besar gangguan dapat diserap sebelum sistem melewati ambang batas yang menyebabkan reorganisasi substansial dalam struktur dan fungsi sehingga stabil pada rezim alternatif.

    Dalam konteks Sungai Cisadane, kedua konsep ini dapat digunakan untuk memahami masalah sekaligus mencari solusi. Dari sisi engineering resilience, pertanyaannya adalah sejauh mana Cisadane dapat pulih kembali setelah banjir, longsor, atau pencemaran. 

    Sedangkan dari sisi ecological resilience, fokusnya adalah apakah sistem sungai masih mampu menyerap tekanan berulang tanpa beralih ke kondisi baru yang lebih buruk, misalnya rezim sungai tercemar permanen dengan keanekaragaman hayati rendah.
    Tiga masalah utama Cisadane memperlihatkan relevansi dua pendekatan ini. 

    Pertama adalah banjir tahunan di Tangerang yang dipicu oleh curah hujan ekstrem di hulu dan menyusutnya daerah resapan. Dari sudut engineering resilience, perbaikan pintu air, tanggul, dan kolam retensi adalah upaya untuk mempercepat pemulihan. 

    Tetapi dari sudut ecological resilience, banjir berulang menunjukkan jika sistem telah kehilangan kapasitas adaptif, karena ruang sungai semakin sempit dan fungsi resapan hilang, sehingga banjir bisa menjadi rezim baru yang permanen. 

    Kedua, longsor dan erosi bantaran di Bogor sering merusak rumah serta infrastruktur. Secara engineering resilience, solusi teknis seperti bronjong atau tanggul dapat menahan tebing. Tetapi secara ecological resilience, permukiman ilegal di bantaran dan hilangnya vegetasi menunjukkan reorganisasi struktural yang jika terus berlangsung akan mengubah fungsi sungai secara permanen. 

    Ketiga, pencemaran air akibat limbah industri dan sampah plastik adalah ancaman paling serius. Secara engineering resilience, pencemaran bisa dipulihkan dengan instalasi pengolahan air limbah. Tetapi jika ambang adaptif terlampaui, Cisadane bisa jatuh ke rezim alternatif, yakni sungai tercemar permanen yang kehilangan biodiversitas dan gagal menyediakan air layak.

    Kerangka hukum sebenarnya sudah ada. UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, serta RTRW Kota Tangerang 2012–2032 dll., menegaskan sempadan Cisadane sebagai kawasan lindung. Namun demikian, lemahnya penegakan hukum membuat regulasi tersebut tidak efektif. 

    Permukiman ilegal masih berdiri di bantaran, industri kerap membuang limbah, dan sanksi hukum jarang diterapkan. Hal ini menandakan lemahnya governance resilience, yaitu kapasitas kelembagaan untuk menjaga sistem agar tetap adaptif menghadapi tekanan.
    Membangun ketahanan Cisadane menuntut strategi yang menggabungkan engineering resilience dan ecological resilience. 

    Dari sisi engineering resilience, perlu dibangun infrastruktur adaptif: tanggul alami, kolam retensi, dan sistem peringatan dini untuk banjir. Dari sisi ecological resilience, strategi harus menyentuh transformasi tata guna lahan dan perilaku sosial. Inspirasi global memberikan pelajaran berharga. 

    Revitalisasi Cheonggyecheon di Seoul menunjukkan keberanian politik mengubah sungai kumuh menjadi ruang publik sehat. Proyek River of Life di Kuala Lumpur memperlihatkan integrasi sanitasi dan wisata kota. Konsep Room for the River di Belanda menekankan pentingnya memberi ruang bagi sungai untuk meluap secara terkendali. Jika diadaptasi ke Cisadane, strategi tersebut dapat meliputi relokasi warga bantaran, rehabilitasi hutan hulu melalui agroforestri, pembangunan sabuk mangrove di hilir, dan pengembangan ekowisata sebagai insentif sosial-ekonomi.

    Masyarakat adalah pilar utama dalam ketahanan lingkungan. Partisipasi publik membuat strategi teknis menjadi lebih kokoh. Komunitas Banksasuci di Tangerang membuktikan bahwa pengelolaan sampah dapat disinergikan dengan pemberdayaan ekonomi. Keterlibatan warga dapat diarahkan pada tiga ranah: edukasi lingkungan di sekolah dan komunitas, pengembangan ekonomi hijau seperti bank sampah dan urban farming, serta ekowisata berbasis komunitas yang memadukan nilai ekonomi dan budaya. Dengan hal itu, Cisadane tidak hanya dipandang sebagai objek kebijakan pemerintah, tetapi juga ruang kolektif yang dijaga bersama.

    Sekalipun peluang revitalisasi terbuka, tantangan yang dihadapi selalu ada. Lemahnya penegakan hukum, fragmentasi kelembagaan antara hulu dan hilir, keterbatasan pendanaan, serta dampak perubahan iklim berupa curah hujan ekstrem dan intrusi air laut menurunkan kapasitas adaptif sistem. 

    Rekomendasi yang dapat diajukan antara lain memperkuat sanksi hukum, menerapkan model pengelolaan terpadu lintas wilayah (Integrated Water Resources Management), mengembangkan skema pendanaan inovatif seperti green bond atau carbon credit, serta memanfaatkan teknologi digital untuk pemantauan kualitas air dan prediksi banjir. Keterlibatan generasi muda melalui pendidikan dan gerakan komunitas akan memastikan keberlanjutan yang bersifat jangka panjang.

    (Eriko Silaban)

    Sungai Cisadane adalah salah satu sungai besar yang menjadi nadi ekologis, sosial, dan ekonomi di Jawa Barat dan Banten. Dengan panjang sekitar 126 kilometer, sungai ini berhulu di Gunung Pangrango dan disuplai juga oleh mata air Gunung Salak lalu mengalir melalui Bogor, membelah wilayah Tangerang, hingga bermuara di Tanjung Burung. 
     
    Sejak lama, Cisadane bukan hanya sebatas aliran air, tetapi juga sumber kehidupan, identitas budaya, dan ruang sosial masyarakat. Tradisi Festival Cisadane dan ritual ruwatan sungai menunjukkan keterikatan historis antara manusia dan alam. 
     
    Namun demikian, perkembangan aktivitas masyarakat dan industrialisasi dalam beberapa dekade terakhir membawa tekanan besar terhadap daya dukung sungai. Banjir musiman, longsor, pencemaran limbah industri, dan tumpukan sampah plastik telah mendorong Cisadane ke ambang krisis ekologis. Dalam situasi ini, konsep ketahanan lingkungan menjadi aspek penting untuk memahami kapasitas sungai ini bertahan, beradaptasi, dan pulih.

    Ketahanan dapat didefinisikan sebagai kapasitas suatu sistem, baik alam, sosial, ekonomi, maupun gabungan antaranya, untuk bertahan, beradaptasi, dan pulih ketika menghadapi gangguan, tekanan, atau perubahan, tanpa kehilangan fungsi, struktur, dan identitas utamanya, serta dengan kemampuan untuk bertransformasi bila diperlukan guna menjamin keberlanjutan jangka panjang. 
     
    Dalam literatur ekologi, kajian tentang ketahanan terbagi ke dalam dua kelompok besar dengan fokus yang berbeda (Donohue et al., 2013). Kelompok pertama adalah penelitian tentang stabilitas ekologi tradisional yang berasumsi bahwa pola dan proses ekologis beroperasi dalam satu rezim keseimbangan (basin of attraction). Konsep-konsep dalam kelompok ini berfokus pada resistensi, persistensi, variabilitas, dan ketahanan. 
     
    Untuk memperjelas perbedaan dengan pendekatan lain, ketahanan dalam kerangka ini biasanya disebut engineering resilience (Gunderson, 2000), yang identik dengan kemampuan sistem untuk pulih, bangkit kembali, dan kembali ke kondisi semula (Angeler & Allen, 2016).
     
    Pengukuran stabilitas ekologi ini berguna untuk mengkarakterisasi respon ekosistem setelah terganggu, misalnya sejauh mana suatu sistem menyimpang, berfluktuasi, dan pulih pasca gangguan. Akan tetapi, ukuran ini tidak menangkap sifat sistem adaptif kompleks dari ekosistem, yakni interaksi rumit faktor abiotik dan biotik serta kemungkinan munculnya rezim alternatif, misalnya danau yang berubah dari kondisi jernih ke keruh. Kompleksitas perilaku sistem adaptif inilah yang kemudian dikenal sebagai ecological resilience (Gunderson, 2000). 
     
    Konsep ini kian menarik perhatian para ilmuwan, baik dalam ilmu alam, penilaian risiko, maupun desain infrastruktur. Ecological resilience menekankan kapasitas adaptif, yakni seberapa besar gangguan dapat diserap sebelum sistem melewati ambang batas yang menyebabkan reorganisasi substansial dalam struktur dan fungsi sehingga stabil pada rezim alternatif.
     
    Dalam konteks Sungai Cisadane, kedua konsep ini dapat digunakan untuk memahami masalah sekaligus mencari solusi. Dari sisi engineering resilience, pertanyaannya adalah sejauh mana Cisadane dapat pulih kembali setelah banjir, longsor, atau pencemaran. 
     
    Sedangkan dari sisi ecological resilience, fokusnya adalah apakah sistem sungai masih mampu menyerap tekanan berulang tanpa beralih ke kondisi baru yang lebih buruk, misalnya rezim sungai tercemar permanen dengan keanekaragaman hayati rendah.
    Tiga masalah utama Cisadane memperlihatkan relevansi dua pendekatan ini. 
     
    Pertama adalah banjir tahunan di Tangerang yang dipicu oleh curah hujan ekstrem di hulu dan menyusutnya daerah resapan. Dari sudut engineering resilience, perbaikan pintu air, tanggul, dan kolam retensi adalah upaya untuk mempercepat pemulihan. 
     
    Tetapi dari sudut ecological resilience, banjir berulang menunjukkan jika sistem telah kehilangan kapasitas adaptif, karena ruang sungai semakin sempit dan fungsi resapan hilang, sehingga banjir bisa menjadi rezim baru yang permanen. 
     
    Kedua, longsor dan erosi bantaran di Bogor sering merusak rumah serta infrastruktur. Secara engineering resilience, solusi teknis seperti bronjong atau tanggul dapat menahan tebing. Tetapi secara ecological resilience, permukiman ilegal di bantaran dan hilangnya vegetasi menunjukkan reorganisasi struktural yang jika terus berlangsung akan mengubah fungsi sungai secara permanen. 
     
    Ketiga, pencemaran air akibat limbah industri dan sampah plastik adalah ancaman paling serius. Secara engineering resilience, pencemaran bisa dipulihkan dengan instalasi pengolahan air limbah. Tetapi jika ambang adaptif terlampaui, Cisadane bisa jatuh ke rezim alternatif, yakni sungai tercemar permanen yang kehilangan biodiversitas dan gagal menyediakan air layak.
     
    Kerangka hukum sebenarnya sudah ada. UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, serta RTRW Kota Tangerang 2012–2032 dll., menegaskan sempadan Cisadane sebagai kawasan lindung. Namun demikian, lemahnya penegakan hukum membuat regulasi tersebut tidak efektif. 
     
    Permukiman ilegal masih berdiri di bantaran, industri kerap membuang limbah, dan sanksi hukum jarang diterapkan. Hal ini menandakan lemahnya governance resilience, yaitu kapasitas kelembagaan untuk menjaga sistem agar tetap adaptif menghadapi tekanan.
    Membangun ketahanan Cisadane menuntut strategi yang menggabungkan engineering resilience dan ecological resilience. 
     
    Dari sisi engineering resilience, perlu dibangun infrastruktur adaptif: tanggul alami, kolam retensi, dan sistem peringatan dini untuk banjir. Dari sisi ecological resilience, strategi harus menyentuh transformasi tata guna lahan dan perilaku sosial. Inspirasi global memberikan pelajaran berharga. 
     
    Revitalisasi Cheonggyecheon di Seoul menunjukkan keberanian politik mengubah sungai kumuh menjadi ruang publik sehat. Proyek River of Life di Kuala Lumpur memperlihatkan integrasi sanitasi dan wisata kota. Konsep Room for the River di Belanda menekankan pentingnya memberi ruang bagi sungai untuk meluap secara terkendali. Jika diadaptasi ke Cisadane, strategi tersebut dapat meliputi relokasi warga bantaran, rehabilitasi hutan hulu melalui agroforestri, pembangunan sabuk mangrove di hilir, dan pengembangan ekowisata sebagai insentif sosial-ekonomi.
     
    Masyarakat adalah pilar utama dalam ketahanan lingkungan. Partisipasi publik membuat strategi teknis menjadi lebih kokoh. Komunitas Banksasuci di Tangerang membuktikan bahwa pengelolaan sampah dapat disinergikan dengan pemberdayaan ekonomi. Keterlibatan warga dapat diarahkan pada tiga ranah: edukasi lingkungan di sekolah dan komunitas, pengembangan ekonomi hijau seperti bank sampah dan urban farming, serta ekowisata berbasis komunitas yang memadukan nilai ekonomi dan budaya. Dengan hal itu, Cisadane tidak hanya dipandang sebagai objek kebijakan pemerintah, tetapi juga ruang kolektif yang dijaga bersama.
     
    Sekalipun peluang revitalisasi terbuka, tantangan yang dihadapi selalu ada. Lemahnya penegakan hukum, fragmentasi kelembagaan antara hulu dan hilir, keterbatasan pendanaan, serta dampak perubahan iklim berupa curah hujan ekstrem dan intrusi air laut menurunkan kapasitas adaptif sistem. 
     
    Rekomendasi yang dapat diajukan antara lain memperkuat sanksi hukum, menerapkan model pengelolaan terpadu lintas wilayah (Integrated Water Resources Management), mengembangkan skema pendanaan inovatif seperti green bond atau carbon credit, serta memanfaatkan teknologi digital untuk pemantauan kualitas air dan prediksi banjir. Keterlibatan generasi muda melalui pendidikan dan gerakan komunitas akan memastikan keberlanjutan yang bersifat jangka panjang.
     
    (Eriko Silaban)
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (RUL)

  • Bupati Mojokerto Tinjau Proyek Jembatan dan Renovasi Sekolah di Dawarblandong

    Bupati Mojokerto Tinjau Proyek Jembatan dan Renovasi Sekolah di Dawarblandong

    Mojokerto (beritajatim.com) – Bupati Mojokerto, Muhammad Al Barra, melakukan monitoring sejumlah proyek infrastruktur strategis di Kecamatan Dawarblandong, Jumat (19/9/2025). Kunjungan itu mencakup pembangunan jembatan hingga renovasi sekolah dasar yang dinilai vital bagi masyarakat setempat.

    Proyek pertama yang ditinjau adalah pembangunan Jembatan Talunbrak di Desa Talunblandong. Pekerjaan yang dimulai sejak April 2025 tersebut menelan anggaran sekitar Rp13,5 miliar dengan progres pembangunan mencapai 86 persen. Jembatan yang ditargetkan rampung pada 20 Oktober 2025 itu diharapkan mampu mengatasi masalah banjir.

    “Kami melihat struktur bangunannya kokoh dan kuat. Insyaallah bisa untuk menanggulangi banjir, dan dengan hadirnya jembatan ini masyarakat akan lebih mudah beraktivitas,” ujar Gus Barra, sapaan akrab Bupati Mojokerto.

    Selain itu, Gus Barra meninjau renovasi ruang kelas di SDN Gunungan. Proyek ini dilakukan setelah atap bangunan lama roboh beberapa bulan lalu, sehingga siswa harus dipindahkan sementara. Renovasi tersebut ditargetkan selesai pada Desember 2025.

    “Kami ingin memastikan proses belajar mengajar anak-anak berjalan baik. Oleh karena itu, kami melakukan renovasi dan pembangunan ruang kelas agar proses belajar mengajarnya lancar. Hal ini juga untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang pendidikan,” tegasnya.

    Monitoring juga dilakukan di SDN Pucuk 1. Dalam kesempatan itu, Gus Barra menekankan pentingnya penyediaan fasilitas pendidikan yang memadai demi kelancaran proses belajar mengajar.

    Ia menegaskan, pemerintah daerah akan terus mengawal percepatan pembangunan infrastruktur, terutama yang berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat. Kunjungan lapangan ini turut didampingi jajaran Forkopimca Dawarblandong, Kepala Dinas Pendidikan, perangkat desa, serta kepala sekolah masing-masing. [tin/beq]

  • Industri Tekstil Terus Dibayang-bayangi PHK Massal, Tertekan Produk Impor Murah

    Industri Tekstil Terus Dibayang-bayangi PHK Massal, Tertekan Produk Impor Murah

    JAKARTA – Ikatan Alumni Institut Teknologi Tekstil-Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (IKA Tekstil) menyuarakan keresahannya terkait tren pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.

    Ketua Umum IKA Tekstil Riady Madyadinata mengatakan, PHK kali ini tidak hanya menimpa pekerja level operator, tetapi juga tenaga ahli hingga manajemen menengah.

    “Karyawan kami yang merupakan profesional juga ikut terdampak. Kami tengah menganalisa akar masalah penutupan pabrik melalui masukan dari koordinator wilayah di DKI–Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah–DIY hingga Jawa Timur,” ujar Riady dalam keterangan resmi yang diterima VOI, Jumat, 19 September.

    Menurut Riady, masalah utama terletak pada sulitnya penjualan produk dalam negeri akibat banjir barang impor, baik legal maupun ilegal. Harga produk lokal dinilai sulit bersaing karena biaya produksi di Indonesia lebih tinggi sekitar 35-40 persen dibanding barang impor.

    IKA Tekstil juga mencatat sejumlah faktor lain yang menekan daya saing industri, seperti biaya energi, sumber daya manusia, logistik hingga budaya kerja di internal perusahaan. Ironisnya, banyak alumni justru berkarier di luar negeri karena industri TPT di negara lain tengah berkembang.

    Riady menambahkan, masuknya investasi asing, terutama dari China belum cukup mampu menahan laju PHK dan penutupan pabrik di dalam negeri.

    Di sisi lain, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman meminta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) transparan dalam mengumumkan perusahaan penerima kuota impor beserta besarannya.

    “Kalau tidak transparan, kejadian sama seperti di sektor benang dan kain akan terulang. Data BPS menunjukkan impor benang dan kain terus naik lima tahun terakhir, sementara produsen dalam negeri justru gulung tikar,” katanya.

    Meski begitu, Nandi menyambut baik terbitnya Permendag Nomor 17 Tahun 2025 yang mewajibkan importir umum diverifikasi untuk memperoleh kuota impor. 

    Dia menilai, aturan tersebut bisa menjadi peluang bagi industri kecil, terutama konveksi pakaian jadi.

    Nandi pun mengusulkan agar kuota impor pakaian jadi dan produk tekstil lainnya (HS 61, 62 dan 63) dibatasi maksimal 50.000 ton per tahun.

    “Produksi dalam negeri sudah mencapai 2,8 juta ton per tahun, dengan kapasitas ekspor sekitar 500.000 ton dan konsumsi domestik 2 juta ton. Artinya, kapasitas nasional sebetulnya sanggup memenuhi kebutuhan dalam negeri,” imbuhnya.

  • BMKG Ungkap Potensi Banjir Rob Diperkirakan Dua Kali Hingga Akhir September di Pesisir Jatim

    BMKG Ungkap Potensi Banjir Rob Diperkirakan Dua Kali Hingga Akhir September di Pesisir Jatim

    Surabaya (beritajatim.com) – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Maritim Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menginformasikan adanya potensi banjir rob yang akan melanda wilayah pesisir Jawa Timur sebanyak dua kali selama akhir bulan September 2025.

    Potensi banjir rob ini dipicu oleh fase bulan baru yang mengakibatkan meningkatkan ketinggian air laut maksimum, terjadi pada rentang tanggal 18-23 September 2025 serta 28-30 September 2025.

    Menurut Koordinator Prakirawan BMKG Maritim Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Ady Hermanto, pasang air laut bisa mencapai ketinggian 130 cm. Pasang ini akan berdampak pada potensi banjir rob di wilayah pesisir Surabaya Barat, Gresik, Lamongan, dan Tuban.

    “Untuk wilayah yang berpotensi terdampak banjir rob sebagian besar di pesisir utara Jawa Timur, antara pukul 08.00-12.00 WIB, dengan ketinggian mulai 130 cm dari permukaan air laut,” kata Ady, Jumat (19/9/2025)

    BMKG turut mengimbau masyarakat khususnya yang tinggal di wilayah pesisir, agar senantiasa waspada, sebab genangan air rob tersebut memiliki sifat korosif dan berpotensi mengganggu aktivitas bongkar muat di pelabuhan.

    “Masyarakat bisa menghindari melewati jalan dan wilayah yang tergenang oleh banjir rob karena airnya bersifat korosif atau mudah membuat karat benda-benda dari metal atau logam,” urainya.

    Selain itu, banjir rob juga bisa mengganggu aktivitas tambak garam dan perikanan darat. Sehingga para pemilik tambak juga diimbau untuk meninggikan tanggulnya agar tidak terdampak kerugian.

    “Untuk pemilik tambak hendaknya meninggikan tanggulnya meminimalisir kerugian karena tambak yang meluber,” bebernya.

    BMKG pun mengingatkan agar masyarakat bisa mengikuti informasi terkini yang disampaikan BMKG, sebelum melakukan aktivitas di wilayah pesisir Jawa Timur. [rma/aje]

  • Perempuan Bangsa Doakan Bali Segera Bangkit Usai Dilanda Banjir Besar

    Perempuan Bangsa Doakan Bali Segera Bangkit Usai Dilanda Banjir Besar

    Liputan6.com, Jakarta – Ketua Dewan Pembina DPP Perempuan Bangsa, Rustini Muhaimin, menyalurkan bantuan sosial untuk warga yang terdampak banjir besar di Kota Denpasar, tepatnya di dua titik: Kampung Jawa dan Pulau Biak, Jumat (19/9/2025).

    Dalam kesempatan itu, Rustini menyampaikan salam cinta dari Ketua Umum DPP PKB, Abdul Muhaimin Iskandar kepada seluruh warga Bali yang tengah menghadapi cobaan berat akibat bencana banjir.

    “Kami dari DPP Perempuan Bangsa hadir di sini untuk menyalurkan bantuan sebagai bentuk kepedulian nyata. Komitmen Perempuan Bangsa untuk selalu berada di garda depan dalam setiap aksi kemanusiaan,” ujar Rustini di lokasi seperti dikutip, Jumat (19/9/2025).

    “Semangat gotong royong, kebersamaan, dan solidaritas antar sesama warga bangsa adalah budaya kita, setiap musibah bukan hanya beban bapak-ibu semua, tetapi ujian bersama sebagai bangsa,” imbuh dia.

    Rustini menegaskan pentingnya peran semua pihak untuk mempercepat pemulihan Bali pasca bencana. Dia pun mendorong Pemerintah dan semua pihak untuk mempercepat pemulihan infrastruktur, hunian, serta layanan dasar.

    “Dengan kerja sama dan persatuan, Bali akan segera bangkit kembali,” yakin dia.

    Ketua DPW PKB Bali, Iman Sukri, yang turut hadir mendampingi, menyampaikan kesaksian pribadi betapa bencana banjir besar kali ini adalah yang terparah sepanjang hidupnya.

    “Saya lahir di Bali, dan baru kali ini melihat banjir sebesar ini terjadi. Saya doakan bapak-ibu semua agar tetap kuat, tabah, dan yakin bahwa pemulihan segera datang. Kita bersama-sama bangkit,” ungkap Iman.

     

  • InJourney Group Beri Bantuan Sembako-Alat Makan untuk Korban Banjir Bali

    InJourney Group Beri Bantuan Sembako-Alat Makan untuk Korban Banjir Bali

    Jakarta

    PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) atau InJourney bersama anak usahanya menyalurkan bantuan untuk korban banjir di Bali. Bantuan ini sebagai wujud kepedulian sekaligus tanggung jawab sosial.

    Bantuan dari InJourney Group ini diharapkan membantu mengurangi beban warga Bali yang terdampak banjir, sekaligus menjadi komitmen untuk mewujudkan semangat gotong royong yang merupakan nilai luhur bangsa.

    “InJourney menyampaikan keprihatinan sekaligus belasungkawa atas korban banjir Bali, juga kepada masyarakat yang terkena dampaknya. Melalui bantuan ini, InJourney berharap agar kondisi di Bali segera normal dan masyarakat dapat kembali beraktivitas seperti sedia kala. InJourney akan selalu ada untuk membantu Bali agar pulih dan kembali menjadi destinasi pariwisata yang dibanggakan oleh Indonesia,” kata Direktur SDM dan Digital InJourney, Herdy Harman dalam keterangannya, Jumat (19/9/2025).

    Adapun penyaluran bantuan InJourney Group Tanggap Bencana Banjir Bali dilaksanakan secara bertahap dari tanggal 12 hingga 18 September di lokasi-lokasi yang paling terdampak yakni Desa Kesambiang, Desa Dalung, Pasar Badung, Desa Kesambi, Banjar Tohpati, Banjar Kesiman Kertalangu, Kampung Jawa Dauh Puri, dan Banjar Batan Nyuh.

    Total bantuan yang diserahkan InJourney Group untuk korban banjir Bali terdiri dari 712 paket sembako, 50 selimut, 50 matras, 34 rice cooker dan peralatan makan.

    Seluruh bantuan merupakan kontribusi dari InJourney dan anak perusahaannya yakni InJourney Airports, InJourney Aviation Services, InJourney Hospitality, InJourney Destinations Management, dan InJourney Tourism Development Corporation.

    “Sinergi InJourney dan anak usaha untuk membantu korban banjir Bali menjadi bukti bahwa InJourney Group hadir untuk membantu masyarakat yang terkena dampak bencana. Kami berharap kehadiran InJourney akan senantiasa memberikan dampak positif pada masyarakat sekitar,” tambah Herdy.

    Sebagai BUMN yang mengelola sejumlah destinasi pariwisata di Indonesia, termasuk di Bali, InJourney tidak hanya berfokus untuk mengelola pariwisata, tetapi juga bagaimana menciptakan dampak ekonomi dan sosial pada masyarakat, melalui pariwisata berkelanjutan.

    Sinergi yang baik dengan masyarakat terus dijalin melalui beragam program, termasuk program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).

    “Menjadikan Bali sebagai destinasi pariwisata yang berkelanjutan menjadi tanggung jawab bersama. Melalui kontribusi seluruh pemangku kepentingan, Bali dapat menjadi destinasi pariwisata berkelanjutan, yang tidak hanya menampilkan keindahan alamnya, akan tetapi juga menciptakan rasa aman untuk para wisatawan, juga kesinambungan ekonomi untuk masyarakatnya,” kata Herdy.

    InJourney selanjutnya berharap agar Bali sebagai backbone pertumbuhan ekonomi dan pariwisata Indonesia dapat segera pulih, sehingga wisatawan baik domestik dan mancanegara dapat kembali menikmati keindahan Pulau Dewata.

    Pemulihan tidak hanya berkaitan dengan penanganan kawasan yang terdampak banjir, akan tetapi juga penanganan terkait mitigasi bencana ke depan. Dengan demikian, Bali akan kembali menjadi destinasi pariwisata yang indah, nyaman, dan aman untuk wisatawan.

    (anl/ega)

  • Banjir Bandang dan Longsor Hantam India, 14 Orang Hilang-Rumah Hancur

    Banjir Bandang dan Longsor Hantam India, 14 Orang Hilang-Rumah Hancur

    Jakarta, CNBC Indonesia – Hujan deras yang memicu banjir bandang dan tanah longsor melanda distrik Chamoli, Uttarakhand, India, sejak Rabu malam (17/9/2025). Sedikitnya 14 orang dilaporkan hilang, 20 orang luka-luka, dan lebih dari 30 rumah hancur.

    Peristiwa terjadi di kawasan Nandanagar, sekitar 260 km dari ibu kota negara bagian Dehradun. Desa yang terdampak parah antara lain Kuntari Lagaphali, Kuntari Lagasarpani, Sera, dan Dhurma. Aliran deras puing dan lumpur menghanyutkan rumah, sementara infrastruktur jalan dan jembatan putus.

    “Kami berfokus pada pemulihan layanan penting secara cepat. Sejauh ini 85 persen jaringan listrik telah dipulihkan dan sisanya akan selesai dalam satu hingga dua hari,” ujar Kepala Menteri Uttarakhand, Pushkar Singh Dhami, dikutip media lokal, Jumat (19/9).

    Tim Satuan Tugas Tanggap Bencana Nasional (NDRF) diterjunkan ke lokasi untuk mencari korban yang masih hilang. Namun, operasi evakuasi terhambat kondisi cuaca buruk. Badan meteorologi setempat memperingatkan hujan lebat masih akan terus terjadi hingga 20 September, dengan risiko longsor dan runtuhnya infrastruktur lebih lanjut.

    Hanya empat hari sebelumnya, hujan deras di Dehradun menewaskan sedikitnya 13 orang dan merusak rumah, toko, hingga dua jembatan utama. Secara keseluruhan, pemerintah negara bagian melaporkan 15 orang masih hilang dan lebih dari 900 orang lainnya mengungsi akibat bencana hidrometeorologi di Uttarakhand.

    Selain Uttarakhand, negara bagian Himachal Pradesh juga terdampak hujan deras pekan ini. Tiga orang dilaporkan tewas akibat banjir bandang dan tanah longsor di wilayah perbukitan tersebut.

    (tfa/tfa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Wakil Ketua MPR ajak semua pihak kolaborasi atasi banjir-krisis iklim

    Wakil Ketua MPR ajak semua pihak kolaborasi atasi banjir-krisis iklim

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno mengajak semua pihak dan antar pemerintah daerah untuk berkolaborasi dan mengurangi polemik guna menangani masalah banjir dan potensi dampak krisis iklim.

    Dia menilai anomali iklim hujan terus menerus dan tidak menentu adalah buah dari krisis iklim dan darurat sampah yang membawa bencana ekologis besar dan pada akhirnya masyarakat yang dirugikan.

    “Penanganan banjir butuh kolaborasi antarwilayah dan saling mendukung. Karena menangani banjir butuh aksi penanganan dari hulu hingga hilir. Bukan hanya satu sisi saja dan tidak bisa dilakukan sendirian,” kata Eddy di Jakarta, Kamis.

    Dia meyakini koordinasi yang baik antardaerah, khususnya Jawa Barat dan DKI Jakarta untuk menangani banjir, sampah, polusi udara hingga krisis iklim, akan mencegah dampak yang semakin merugikan masyarakat.

    “Ide wilayah aglomerasi sebenarnya adalah memastikan kolaborasi antarpemerintah daerah agar ada sinkronisasi pembangunan, koordinasi terpadu dan juga kerja sama ekonomi. Termasuk di dalamnya adalah mencegah dampak kerusakan lingkungan,” kata dia

    Selaku Pimpinan MPR, ia juga bakal terus membangun kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah dalam menangani ancaman krisis sampah.

    Dia menilai bahwa terobosan sampah menjadi energi atau waste to energy mampu menjadi solusi penanganan masalah sampah sekaligus mendapat sumber listrik dari energi terbarukan.

    “Kami terus menjalin kolaborasi dengan kepala-kepala daerah di tingkat Kota untuk mendengarkan masukan mereka dalam penyusunan revisi Perpres tentang mengolah sampah menjadi energi,” katanya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Potret Lusuh & Tak Terurus Pasar-Pasar di Pojok Rawan Banjir Jakarta

    Potret Lusuh & Tak Terurus Pasar-Pasar di Pojok Rawan Banjir Jakarta

    HOME

    MARKET

    MY MONEY

    NEWS

    TECH

    LIFESTYLE

    SHARIA

    ENTREPRENEUR

    CUAP CUAP CUAN

    CNBC TV

    Loading…

    `

    $(‘#loaderAuth’).remove()
    const dcUrl=”https://connect.detik.com/dashboard/”;

    if (data.is_login) {
    $(‘#connectDetikAvatar’).html(`

    `);
    $(‘#UserMenu’).append(`
    ${prefix}

    My Profile

    Logout

    ${suffix}
    `);

    $(“#alloCardIframe”).iFrameResize();

    } else {
    prefix = “

    $(‘#connectDetikAvatar’).html(`

    `);
    $(‘#UserMenu’).append(`
    ${prefix}

    REGISTER

    LOGIN
    ${suffix}
    `);
    }
    }

  • Status Tanggap Darurat Banjir Bali Dicabut, 4 Orang Masih Hilang

    Status Tanggap Darurat Banjir Bali Dicabut, 4 Orang Masih Hilang

    Direktur Walhi Bali Made Krisna Dinata saat dihubungi Tim Regional Liputan6.com, Kamis (11/9/2025) mengatakan, degradasi lingkungan yang ditandai dengan alih fungsi lahan, khususnya lahan pertanian diubah menjadi bangunan, merupakan pemicu awal dari rentannya Bali terhadap bencana hari ini.

    “Terkait penurunan atau perubahan lahan sawah, kami coba mengcapture pada wilayah empat kabupaten di Bali, yakni Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan atau yang dikenal sebagai kawasan Sarbagita,” katanya.

    Pertumbuhan Lahan Terbangun

    Dari rentang waktu 2018 hingga 2023, perkembangan wilayah dan pertumbuhan lahan terbangun menjadi salah satu penyebab berkurangnya luasan lahan pertanian khususnya sawah di wilayah Metropolitan Sarbagita.

    Persentase penyusutan lahan sawah berkisar antara 3-6% dari luas wilayah masing-masing kabupaten/kota. Kota Denpasar mengalami penurunan lahan sawah sebanyak 784,67 Ha atau 6,23% dari luas wilayah.

    Luasan sawah di Kabupaten Badung berkurang sebanyak 1099,67 Ha dan Kabupaten Gianyar berkurang 1276,97 Ha. Penyusutan lahan sawah terbesar berada di Kabupaten Tabanan yaitu seluas 2676,61 Ha. Konsekuensi dari perkembangan wilayah mengakibatkan kebutuhan lahan dan memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian.

    Hilangnya lahan pertanian tentu juga akan menghilangkan fungsi dari Subak (Sistem Irigasi Tradisional Bali) terutama dalam fungsinya pada sistem hidrologis alami. Subak memiliki fungsi sebagai saluran irigasi dan mendistribusi air yang turut menjaga dan mengatur sistem hidrologis air. Bahkan menurut Prof Windia (Pakar Subak) setiap 1 Hektar Sawah mampu menampung 3000 ton air apabila tinggi airnya 7 cm.

    “Apabila lahan pertanian dan Subak makin banyak berubah atau beralih fungsi menjadi bangunan, tentu hal tersebut akan mengganggu sistem hidrologis air alami yang ada, air menjadi tidak tertampung dan teririgasi dengan baik, sehingga timbulah banjir seperti yang kita lihat ini,” ungkap Krisna.