Topik: Banjir

  • Banjir Pantura Semarang Belum Surut, Warga Sulit Cari Elpigi dan Air Minum

    Banjir Pantura Semarang Belum Surut, Warga Sulit Cari Elpigi dan Air Minum

    Jakarta

    Banjir di Jalan Kaligawe Pantura Semarang-Demak tak kunjung surut. Hal itu membuat warga terdampak banjir kesulitan membeli gas elpiji hingga air minum.

    Pantauan detikJateng di Jalan Kaligawe Raya, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, tampak seorang warga mengantar galon menggunakan motor di tengah genangan air. Ia mengantar galon untuk sebuah angkringan yang tetap buka meski terendam banjir.

    “Banjir gini jadinya air susah, gas susah, ini dapat galon saja diantarnya dari RSUP Dr Kariadi,” kata pemilik angkringan, Ayu (33) dilansir detikJateng, Kamis (30/10/2025).

    Ia mengaku kesulitan karena pendapatan di angkringannya pun menurun selama banjir. Namun, ia terpaksa tetap membuka angkringan dan toko kelontong demi mencari nafkah. “Pendapatannya menurun, tapi harganya semua naik, kemarin gas melon harganya Rp 30 ribu, dinego sampai Rp 25 ribu,” tuturnya.

    Kata dia, mencari air bersih pun sulit karena tak banyak yang mau mengirimkan galon di tengah banjir. Ia beruntung bisa mendapat galon karena kakaknya tersebut menjual galon isi ulang.

    Hal serupa dirasakan warga Tanggungrejo, Kelurahan Tambakrejo, Kecamatan Gayamsari, Ratno (40). Ia mengatakan harus berkeliling mencari gas melon.

    (rdp/idh)

  • Humas dan Pustakawan dalam Semangat Sumpah Pemuda

    Humas dan Pustakawan dalam Semangat Sumpah Pemuda

    Bisnis.com, JAKARTA – Setiap bangsa memiliki masa, kejujuran informasi menentukan arah sejarahnya. Kita pernah mengalami itu di masa pergerakan, ketika kabar dan surat-surat perjuangan menjadi alat penyatu tekad kemerdekaan. Kini, di abad ke-21, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada ujian yang serupa namun dalam wujud yang berbeda, yakni krisis makna di tengah melimpahnya informasi.

    Informasi yang dulu menjadi sumber pencerahan kini bisa berubah menjadi sumber kebingungan. Ketika setiap orang dapat menjadi penyampai pesan, batas antara fakta dan opini, antara data dan narasi, semakin kabur. Dalam situasi seperti itu, komunikasi publik bukan hanya soal kecepatan menyampaikan pesan, tetapi tentang bagaimana menjaga makna agar tidak terdistorsi di tengah kebisingan digital.

    Di sinilah peran Humas (Hubungan Masyarakat) dan Pustakawan menjadi sangat strategis. Keduanya merupakan komunikator publik yang berada di garda depan penyebaran pengetahuan dan pembentukan kepercayaan sosial. Meskipun berasal dari disiplin yang berbeda, keduanya memiliki tanggung jawab moral yang sama, yaitu memastikan bahwa informasi yang sampai kepada publik bersumber dari niat baik, disampaikan dengan etika, dan berorientasi pada kepentingan bangsa. Humas sebagai penjaga kredibilitas badan publik, Pustakawan sebagai komunikator pengetahuan.

    Dalam pandangan Harold D. Lasswell (1948), komunikasi yang efektif dapat diringkas dalam pertanyaan sederhana. Who says what, in which channel, to whom, and with what effect? Pertanyaan itu menegaskan bahwa kualitas komunikasi sangat ditentukan oleh siapa yang berbicara dan bagaimana ia menyampaikan pesannya.

    Humas adalah representasi dari lembaga. Wajah dan suara yang menentukan apakah publik akan percaya atau justru curiga. Fungsi utamanya bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan membangun dan memelihara kepercayaan publik (public trust). Dalam konteks lembaga negara seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI), kepercayaan itu dibangun melalui komunikasi yang transparan, konsisten, dan berorientasi pelayanan.

    Humas lembaga publik dituntut untuk menjadi komunikator yang adaptif. Mereka harus mampu mengelola pesan di berbagai saluran. Misalnya, mulai dari pernyataan resmi di situsnya, hingga informasi populer di kanal media sosialnya. Tidak hanya itu, kolaborasi Humas dengan Pustakawan dapat dibuktikan dalam kerja-kerja komunikator, mulai dari klarifikasi isu hingga kampanye literasi digital. Mereka tidak hanya bekerja dalam ranah informasi, tetapi juga mengelola persepsi dan reputasi.

    Cutlip, Center, dan Broom (2006) dalam Effective Public Relations menyebut Humas sebagai fungsi manajemen yang membangun dan memelihara hubungan saling pengertian antara organisasi dan publiknya. Dalam era disinformasi, fungsi itu bergeser dari sekadar hubungan ke arah tanggung jawab moral: bagaimana memastikan masyarakat memperoleh informasi yang benar, tidak menyesatkan, dan memberi manfaat sosial.

    Ketika terjadi krisis informasi, misalnya penyebaran hoaks, kesalahan data, atau miskomunikasi kebijakan, Humas dituntut untuk bertindak cepat, akurat, dan beretika. Di sinilah profesionalitas komunikator diuji. Bukan hanya bagaimana ia menenangkan situasi, menguraikan informasi agar public teredikasi, melainkan juga bagaimana ia menjaga kepercayaan publik agar tetap utuh.

    Jika Humas adalah komunikator pesan, maka pustakawan adalah komunikator makna. Mereka tidak hanya menyimpan buku atau naskah, melainkan mengelola pengetahuan. Di tangan pustakawan, informasi mentah diubah menjadi pengetahuan yang terorganisasi, tervalidasi, dan mudah diakses.

    McQuail (2010) dalam Mass Communication Theory menekankan bahwa fungsi komunikator publik tidak sekadar menyampaikan pesan, tetapi menciptakan shared understanding atau kesepahaman bersama yang menjadi dasar bagi kohesi sosial. Pustakawan melaksanakan fungsi ini melalui literasi informasi, pelestarian sumber pengetahuan, dan pendidikan publik.

    Dalam konteks Perpusnas RI, pustakawan menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Melalui pengelolaan naskah-naskah Nusantara, mereka menjaga warisan pengetahuan bangsa agar tidak hilang ditelan zaman. Pengarsipan, digitalisasi, dan promosi naskah bukan semata kegiatan teknis, tetapi bagian dari komunikasi kebangsaan. Naskah-naskah itu berisi nilai moral, etika sosial, dan filosofi hidup yang membentuk identitas nasional.

    Di era digital, pustakawan tidak lagi hanya berada di balik meja, melainkan aktif di ruang publik. Pustakawan mengedukasi masyarakat tentang cara menilai kredibilitas sumber, memverifikasi informasi, dan menggunakan media digital dengan bijak. Mereka adalah “silent educators” yang menanamkan literasi sebagai bentuk ketahanan nasional terhadap arus disinformasi.

    Humas dan pustakawan sesungguhnya memiliki tiga nilai fundamental yang sama, yaitu kepercayaan publik, integritas, dan etika komunikasi. Mereka bekerja untuk melayani masyarakat, bukan sekadar menyenangkan atasan. Baik Humas maupun pustakawan beroperasi di atas landasan etika profesional dan kebenaran data.

    Sinergi keduanya menciptakan ekosistem komunikasi yang sehat. Humas memastikan pesan lembaga disampaikan dengan kredibel, sementara pustakawan memastikan isi pengetahuan yang dibagikan benar dan terverifikasi.

    Perpusnas RI telah menjadi contoh bagaimana kolaborasi dua profesi ini bisa membangun ekosistem literasi yang kuat. Dalam program Kelas Literasi Anak (KELANA) Spesial Hari Sumpah Pemuda, misalnya, pendekatan literasi tidak hanya dilakukan lewat membaca, tetapi juga melalui psikoedukasi dan keterampilan olah wicara. Di sini, pustakawan, humas, dan komunitas bekerja bersama menanamkan nilai keberanian berbicara, empati, serta kecintaan terhadap pengetahuan sejak usia dini.

    Program semacam ini membuktikan bahwa komunikasi publik tidak berhenti pada penyebaran informasi, tetapi meluas menjadi pendidikan karakter. Itulah makna terdalam dari fungsi komunikator publik dalam lembaga literasi negara: menjadi penjaga makna, bukan sekadar penyampai berita.

    Sumpah Pemuda dan Literasi Digital

    Ketika para pemuda tahun 1928 mengikrarkan Sumpah Pemuda, mereka tidak hanya menyatukan bahasa, bangsa, dan tanah air, tetapi mereka juga menyatukan makna. Mereka memahami bahwa bangsa yang tercerai secara makna akan mudah goyah secara politik dan sosial.

    Kini, Indonesia kembali berada di persimpangan serupa, bahwa tantangan terbesar bukan lagi kolonialisme asing, melainkan kolonialisme informasi. Jika dulu bangsa ini berjuang melawan penjajahan fisik, kini ia berjuang melawan penjajahan algoritma, bias media, dan banjir hoaks yang menyesatkan.

    Dalam konteks kekinian, makna “Satu Nusa” dapat dibaca sebagai komitmen menjaga kedaulatan informasi nasional. Tanah air tidak hanya sebidang wilayah geografis, tetapi juga ruang pengetahuan tempat warga bangsa membangun kesadaran bersama.

    Humas menjadi penjaga agar ruang itu tidak tercemar oleh informasi palsu. Mereka memastikan bahwa komunikasi publik yang keluar dari lembaga negara, termasuk Perpusnas, berbasis data dan memperkuat rasa percaya terhadap institusi publik. Pustakawan memastikan isi pengetahuan yang menjadi referensi publik tetap orisinal dan dapat dipertanggungjawabkan.

    Ketika kedua peran ini berjalan seiring, bangsa memiliki fondasi kuat. Fondasi itu adalah informasi yang akurat dan publik yang literat. Itulah bentuk baru dari “kemerdekaan berpikir” yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa.

    Makna “Satu Bangsa” kini menemukan relevansinya dalam kolaborasi lintas profesi dan generasi. Humas tidak bisa bekerja sendiri; mereka memerlukan pustakawan, peneliti, dan pendidik untuk memastikan bahwa pesan publik didukung oleh data dan sumber tepercaya. Sebaliknya, pustakawan membutuhkan dukungan Humas agar hasil kerjanya diketahui dan dimanfaatkan publik secara luas.

    Dengan pendekatan komunikasi publik yang efektif, nilai-nilai kearifan lokal dari naskah-naskah lama dapat dihidupkan Kembali, dalam konteks kebangsaan masa kini. Bahkan nilai-nilai tersebut dapat menjadi sumber inspirasi etika, spiritualitas, dan tanggung jawab sosial. Itulah esensi dalam kolaborasi kebangsaan, ketika setiap profesi menyumbangkan keahliannya untuk memperkuat collective intelligence bangsa.

    Bahasa menjadi sarana pemersatu. Namun, di era media sosial, bahasa juga bisa menjadi sumber perpecahan. Komentar tajam, ujaran kebencian, dan disinformasi kerap mengaburkan empati yang menjadi dasar komunikasi kebangsaan. Di titik ini, humas dan pustakawan memegang tanggung jawab penting. Kedua profesi tersebut bertugas mengembalikan bahasa publik ke fungsi aslinya, yaitu bahasa yang mencerdaskan dan menenangkan.

    Bahasa komunikasi publik seharusnya membangun pengertian, bukan mengadu domba. Ia harus inklusif, jernih, dan mengandung kejujuran. Humas mengelola pesan dengan etika, pustakawan mengelola pengetahuan dengan integritas. Keduanya mengajarkan publik untuk menggunakan bahasa yang berempati, untuk membaca dan berbicara dengan hati.

    Semangat Sumpah Pemuda bukan sekadar romantika sejarah. ia adalah kompas moral untuk menghadapi tantangan komunikasi modern. Dalam dunia yang dipenuhi informasi instan dan opini tak terbatas, semangat itu mengingatkan kita bahwa keutuhan bangsa hanya bisa dijaga jika kebenaran dijaga bersama.

    Humas dan pustakawan adalah dua penjaganya. Mereka mungkin tidak berada di barisan depan politik, tetapi merekalah yang memastikan agar bangsa ini tidak kehilangan jati dirinya di tengah perang makna. Di situlah semangat “pemuda bergerak” menemukan makna baru. Bukan lagi sekadar turun ke jalan, tetapi bergerak dalam literasi, komunikasi, dan tanggung jawab sosial.

    Pada akhirnya, Humas dan pustakawan adalah dua wajah dari satu panggilan, yaitu menjaga bangsa agar tetap bersatu dalam pengetahuan dan kebenaran. Keduanya bekerja di ruang yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama, membangun kepercayaan publik yang menjadi dasar kemajuan bangsa.

    Di tengah krisis informasi global, mereka berperan sebagai penuntun arah moral komunikasi, di mana Humas menjaga agar pesan publik tetap etis dan kredibel dan pustakawan menjaga agar isi pengetahuan tetap jernih dan terbuka. Keduanya menjadi manifestasi modern dari semangat Sumpah Pemuda, semangat untuk berpikir jernih, berkolaborasi, dan menjaga persatuan.

    Puluhan tahun setelah ikrar itu dikumandangkan, tantangan bangsa telah berubah dari perang senjata menjadi perang makna. Namun selama masih ada mereka yang bekerja dengan hati, yang menjaga kebenaran dengan tenang, dan yang berkomunikasi dengan empati, bangsa ini tidak akan kehilangan arah.

    Humas dan pustakawan mungkin bukan para orator di podium besar, tetapi merekalah penjaga nalar publik di tengah badai informasi. Selama semangat Sumpah Pemuda terus mengalir dalam kerja mereka, Indonesia akan tetap bersatu dalam bahasa yang jernih, dalam ilmu yang benar, dan dalam keyakinan bahwa pengetahuan adalah wujud paling tinggi dari cinta pada Tanah Air.

     

     

  • Menteri ATR tekankan langkah antisipatif hadapi potensi banjir

    Menteri ATR tekankan langkah antisipatif hadapi potensi banjir

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menekankan pentingnya langkah antisipatif dan kolaboratif antarkementerian dan lembaga untuk menghadapi potensi banjir menjelang musim hujan periode Januari-Februari 2026.

    Menurut dia, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan penertiban bangunan di atas sempadan sungai, waduk, danau, situ, dan sumber air lainnya.

    “Januari-Februari nanti akan masuk musim hujan. Mana daerah yang berpotensi banjir di kawasan Jabodetabekpunjur dan kawasan strategis nasional, kita tertibkan (bangunan di sepanjang sempadan) dari sekarang supaya nanti ketika banjir tidak ramai dan saling tuding. Kita mau kerja sistemik,” ujar Nusron dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

    Nusron mengatakan kawasan sempadan merupakan hak bersama yang tidak dapat dimiliki atau disertifikatkan oleh individu.

    “Sempadan sungai, danau, waduk, situ, dan sumber air lainnya itu masuk common right, hak bersama, bukan hak pribadi (private right). Karena ini common right, maka harusnya yang menyertifikatkan adalah pemerintah, otoritas yang bertanggung jawab terhadap sempadan itu, apakah pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten/kota,” katanya.

    Sebelumnya, Nusron menyatakan pihaknya siap melakukan audit tata ruang, sertifikat dan bangunan di sepanjang sempadan danau dan sungai dalam rangka memitigasi bencana banjir.

    Menurut dia, audit tersebut akan dilakukan dalam waktu dekat dengan target sebelum Januari-Februari 2026, mengingat biasanya banjir terjadi di kawasan Jabodetabek pada periode tersebut.

    Kementerian ATR/BPN nantinya mengecek masih ada berapa tanah yang disertifikatkan yang dapat dibatalkan. Hal ini karena lahan itu berlokasi di atas sempadan sungai.

    Fungsi sempadan itu, lanjutnya, untuk mengamankan sungai, untuk mengamankan debit air, supaya airnya tidak melimpah ke daratan atau di luar sungai.

    Pewarta: Aji Cakti
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pramono Anung: Jakarta Lebih Cepat Tangani Banjir Dibandingkan Daerah Sekitar

    Pramono Anung: Jakarta Lebih Cepat Tangani Banjir Dibandingkan Daerah Sekitar

    Liputan6.com, Jakarta – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengatakan, penanganan banjir dan genangan di ibu kota lebih cepat dibandingkan daerah lainnya. Pram, sapaan akrabnya, mengakui genangan air di Jakarta selalu ada, terlebih dalam beberapa hari terakhir mengingat Jakarta kerap diguyur hujan.

    “Mohon maaf, bukan apa-apa, kalau dibandingkan dengan daerah-daerah sekitar, Jakarta pasti lebih cepat penanganannya, dan kemarin relatif cepat penanganannya,” kata Pramono saat dijumpai di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (30/10/2025).

    Meski demikian, dia telah meminta kepada Dinas Sumber Daya Air (SDA) agar menyiagakan seluruh pompa yang yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dengan begitu, lanjut dia, genangan air serta banjir yang terjadi di Jakarta dapat ditangani dengan cepat.

    “Seperti yang saya janjikan berulang kali, kemarin sebelum hujan, semua air saya minta untuk dipompa. Jadi, sumber daya air sekarang ini 600 pompa yang kemarin dipersiapkan,” jelas Pramono.

  • Pramono Anung: Jakarta Lebih Cepat Tangani Banjir Dibandingkan Daerah Sekitar

    Pramono Anung: Jakarta Lebih Cepat Tangani Banjir Dibandingkan Daerah Sekitar

    Liputan6.com, Jakarta – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengatakan, penanganan banjir dan genangan di ibu kota lebih cepat dibandingkan daerah lainnya. Pram, sapaan akrabnya, mengakui genangan air di Jakarta selalu ada, terlebih dalam beberapa hari terakhir mengingat Jakarta kerap diguyur hujan.

    “Mohon maaf, bukan apa-apa, kalau dibandingkan dengan daerah-daerah sekitar, Jakarta pasti lebih cepat penanganannya, dan kemarin relatif cepat penanganannya,” kata Pramono saat dijumpai di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (30/10/2025).

    Meski demikian, dia telah meminta kepada Dinas Sumber Daya Air (SDA) agar menyiagakan seluruh pompa yang yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dengan begitu, lanjut dia, genangan air serta banjir yang terjadi di Jakarta dapat ditangani dengan cepat.

    “Seperti yang saya janjikan berulang kali, kemarin sebelum hujan, semua air saya minta untuk dipompa. Jadi, sumber daya air sekarang ini 600 pompa yang kemarin dipersiapkan,” jelas Pramono.

  • Warga Kaligawe Semarang Bertahan Dihantam Banjir, Khawatir Barang Dicuri jika Mengungsi
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        30 Oktober 2025

    Warga Kaligawe Semarang Bertahan Dihantam Banjir, Khawatir Barang Dicuri jika Mengungsi Regional 30 Oktober 2025

    Warga Kaligawe Semarang Bertahan Dihantam Banjir, Khawatir Barang Dicuri jika Mengungsi
    Tim Redaksi
     
    SEMARANG, KOMPAS.com
    – Genangan air di kawasan Kaligawe, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Jawa Tengah, belum juga surut meski telah sepekan terendam.
    Namun, sebagian besar warga tetap memilih bertahan di rumah mereka.
    Alasan warga beragam — dari menjaga barang-barang agar tidak hilang, hingga sudah terbiasa dengan kondisi banjir yang datang setiap tahun.
    “Ya di sini saja, sambil jaga barang,” ujar Siti Nurjanah (45), warga Kaligawe, saat ditemui di lokasi banjir, Kamis (30/10/2025).
    Menurut Siti, air mulai naik sejak Rabu (22/10/2025) dan hingga kini belum benar-benar surut.
    “Biasanya sebentar. Tapi sudah biasa,” katanya.
    Warga lain, Slamet (52), mengatakan ia tetap tinggal di rumah karena khawatir jika ditinggal pergi akan dimasuki pencuri.
    “Yang susah kalau mau buang hajat harus ke rumah warga yang aman,” ujarnya.
    Sementara itu, Dwi Santoso (50) menyebut sudah terbiasa menghadapi banjir karena hampir setiap tahun rumahnya terendam.
    “Rumah saya setiap tahun begini terus,” ujarnya.
    Dwi mengaku tak perlu mengungsi karena rumahnya memiliki lantai dua. Menurutnya, mayoritas warga di Tambakrejo sudah menyesuaikan diri dengan kondisi banjir.
    “Setiap lima tahun sekali pasti ditinggikan rumahnya,” tambahnya.
    Lurah Tambakrejo, Sukiswo, mengatakan sekitar 30 persen rumah di wilayahnya masih tergenang air.
    “Kalau yang terdampak ya sekitar 3.700 KK,” katanya.
    Ia menjelaskan, warga lebih memilih bertahan karena kondisi di rumah masih memungkinkan untuk ditempati meski air masuk ke bagian dalam.
    “Kalau evakuasi atau mengungsi sebenarnya selama ini warga enggak pernah melakukan itu dan enggak mau ya. Karena memang di dalam rumahnya itu masih bisa,” ucap Sukiswo.
    Namun, akibat terlalu lama terendam banjir, sejumlah warga mulai mengeluh gatal-gatal. Petugas kesehatan pun telah disiagakan untuk memberikan perawatan di lokasi.
    “Sehari bisa puluhan warga yang berobat,” ujar Sukiswo.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Banjir Semarang Sepekan Belum Surut, 40 Ribu Warga Terdampak di Empat Kecamatan
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        30 Oktober 2025

    Banjir Semarang Sepekan Belum Surut, 40 Ribu Warga Terdampak di Empat Kecamatan Regional 30 Oktober 2025

    Banjir Semarang Sepekan Belum Surut, 40 Ribu Warga Terdampak di Empat Kecamatan
    Tim Redaksi
    SEMARANG, KOMPAS.com
    – Banjir yang melanda Kota Semarang sejak Rabu (24/10/2025) belum juga surut.
    Hingga Kamis (30/10/2025), genangan air masih merendam empat kecamatan dan berdampak pada 22.653 kepala keluarga (KK) atau 40.452 jiwa.
    Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang, Endro Pudyo Martanto, menjelaskan empat kecamatan terdampak banjir yakni Pedurungan, Genuk, Gayamsari, dan Semarang Timur.
    “Ketinggian air mengalami kenaikan pada pukul 01.00 WIB di seputaran wilayah Kecamatan Genuk dan Kecamatan Gayamsari,” kata Endro melalui pesan singkat, Kamis.
    Menurut Endro, banjir berkepanjangan ini disebabkan oleh sistem drainase yang tidak mampu menampung debit air hujan tinggi, sehingga air meluap ke area permukiman.
    Pantauan Kompas.com di Kelurahan Genuksari, ketinggian banjir mencapai sekitar 70 sentimeter.
    Sekolah Dasar Negeri Genuksari 02 tampak sepi tanpa aktivitas belajar, sementara Kantor Kecamatan Genuk juga tidak terlihat melayani publik.
    Sejak pagi, warga terlihat beraktivitas di tengah banjir.
    Anak-anak diantar ke sekolah menggunakan sepeda, sedangkan warga yang bekerja harus menyingsingkan celana karena air setinggi paha orang dewasa menggenang di jalan.
    “Di Genuksari total KK terdampak 1.298, total jiwa terdampak 2.588,” ujar Endro.
    Kebanyakan warga memilih tetap bertahan di rumah meski air belum surut.
    Mereka baru mengungsi ke rumah kerabat jika air mulai merendam perabotan atau tempat tidur, lalu kembali lagi saat air mulai surut.
    Salah satu warga, Febriansyah, mengaku banjir di wilayahnya sudah menjadi langganan sejak ia duduk di bangku SMP. Namun, kali ini menjadi banjir terlama yang pernah ia alami.
    “Dari SMP langganan banjir, tapi baru ini seminggu lebih. Biasanya 3–4 hari. Ini rumah saya sudah dua kali ditinggikan biar enggak tenggelam,” tutur Febri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KAI hentikan operasi KA memutar setelah banjir di Semarang berkurang

    KAI hentikan operasi KA memutar setelah banjir di Semarang berkurang

    Rekayasa operasi KA memutar sudah dihentikan, namun masih akan ada keterlambatan perjalanan meski jalur yang tergenang sudah bisa dilalui

    Semarang (ANTARA) – PT KAI telah menghentikan pola operasi kereta api (KA) memutar melalui jalur selatan setelah banjir yang menggenangi jalur rel antara Stasiun Semarang Tawang hingga Stasiun Alastua di Kota Semarang, Jawa Tengah, berkurang dan KA dapat melintas.

    “Rekayasa operasi KA memutar sudah dihentikan, namun masih akan ada keterlambatan perjalanan meski jalur yang tergenang sudah bisa dilalui,” kata Manajer Humas KAI Daop 4 Semarang Franoto Wibowo di Semarang, Kamis.

    Jalur antara Stasiun Semarang Tawang hingga Stasiun Alastua yang tergenang banjir sudah dapat dilintasi kembali sejak Rabu (29/10) malam.

    Namun, lanjut dia, hingga Kamis ini kecepatan KA yang melintas di jalur tersebut masih dibatasi maksimal hanya 20 km per jam.

    Menurut dia, normalisasi jalur dilakukan setelah PT KAI meninggikan jalur rel yang tergenang banjir itu.

    Ia berharap ketinggian air yang menggenangi jalur rel tersebut terus surut sehingga perjalanan KA dapat segera kembali normal.

    PT KAI, lanjut dia, terus berupaya menormalisasi jalur KA yang terkendala akibat banjir dengan tetap mengutamakan keselamatan dan kenyamanan penumpang.

    “Petugas akan terus memantau kondisi di lapangan. Semoga banjir yang menggenang dapat terus surut,” katanya.

    Sebelumnya, banjir menggenangi sejumlah titik di Kota Semarang selama beberapa hari terakhir.

    Banjir juga mengakibatkan jalur Pantura di Jalan Kaligawe yang menghubungkan Kota Semarang dan Kabupaten Kendal tergenang cukup parah hingga mengakibatkan kemacetan arus lalu lintas.

    Pewarta: Immanuel Citra Senjaya
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pram sebut penanganan banjir di Jakarta lebih cepat

    Pram sebut penanganan banjir di Jakarta lebih cepat

    Jakarta (ANTARA) – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo menyebutkan penanganan banjir dan genangan di ibu kota lebih cepat dibandingkan daerah lainnya.

    “Mohon maaf, bukan apa-apa, kalau dibandingkan dengan daerah-daerah sekitar, Jakarta pasti lebih cepat penanganannya, dan kemarin relatif cepat penanganannya,” kata Pramono saat dijumpai di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis.

    Pram, sapaan akrabnya, mengakui genangan air di Jakarta selalu ada, terlebih dalam beberapa hari terakhir mengingat Jakarta kerap diguyur hujan.

    Meski demikian, dia telah meminta kepada Dinas Sumber Daya Air (SDA) agar menyiagakan seluruh pompa yang yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

    Dengan begitu, lanjut dia, genangan air serta banjir yang terjadi di Jakarta dapat ditangani dengan cepat.

    “Seperti yang saya janjikan berulang kali, kemarin sebelum hujan, semua air saya minta untuk dipompa. Jadi, sumber daya air sekarang ini 600 pompa yang kemarin dipersiapkan,” jelas Pramono.

    Diketahui pada Rabu (29/10), sempat terjadi genangan di beberapa titik di Jakarta. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta Timur menyiagakan 30 personel beserta perahu karet untuk mengantisipasi potensi banjir serta genangan air di sejumlah titik rawan.

    Personel tersebut disiagakan untuk memastikan penanganan cepat dilakukan jika terjadi genangan air, pohon tumbang, maupun peristiwa kebencanaan lain akibat cuaca ekstrem.

    BPBD DKI Jakarta juga sebelumnya melaporkan sebanyak 35 rukun tetangga (RT) di Jakarta Selatan terendam banjir dengan ketinggian sekitar 30-70 sentimeter (cm) pada Rabu (29/10).

    Namun, kondisi tersebut dapat segera diatasi. Pada pukul 20.00 WIB, genangan air di 26 RT di Kelurahan Petogogan dipastikan sudah surut, dan warga mulai membersihkan rumah mereka masing-masing.

    Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Waspada Bencana Hidrometeorologi! Ini Jenis dan Dampaknya

    Waspada Bencana Hidrometeorologi! Ini Jenis dan Dampaknya

    Jakarta, Beritasatu.com – Bencana hidrometeorologi belakangan ini diklaim akan melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Jenis bencana ini dipicu oleh faktor cuaca, iklim, dan air, sehingga sangat erat kaitannya dengan kondisi alam Indonesia yang beriklim tropis dan memiliki curah hujan tinggi sepanjang tahun.

    Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), bencana hidrometeorologi termasuk jenis bencana alam yang disebabkan oleh unsur-unsur atmosfer, seperti angin, curah hujan, suhu udara, dan kelembapan.

    Dampak dari bencana ini bisa sangat luas, mulai dari kerusakan infrastruktur hingga ancaman terhadap keselamatan manusia.

    Apa Itu Bencana Hidrometeorologi?

    Secara umum, bencana hidrometeorologi adalah fenomena alam atau proses perusak yang berkaitan dengan unsur cuaca (meteorologi), air (hidrologi), dan laut (oseanografi).

    Karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan kondisi geografis yang kompleks, risiko terjadinya bencana jenis ini sangat tinggi, terutama saat musim hujan.

    Berikut ini beberapa contoh bencana hidrometeorologi yang sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia.

    1. Kekeringan

    Kekeringan terjadi ketika curah hujan berada di bawah normal untuk jangka waktu tertentu. BMKG memantau potensi kekeringan melalui indikator, seperti penurunan curah hujan, peningkatan suhu udara, dan meningkatnya evapotranspirasi. Dampaknya bisa menyebabkan berkurangnya pasokan air bersih dan gagal panen.

    2. Badai petir

    Badai petir terbentuk akibat munculnya awan cumulonimbus (Cb) yang memunculkan kilat dan suara petir. Fenomena ini terjadi karena adanya uap air, ketidakstabilan udara, dan pengangkatan massa udara ke lapisan atmosfer.

    Petir merupakan pelepasan muatan listrik bertegangan tinggi di atmosfer, baik antarawan maupun antara awan dan permukaan bumi.

    3. Puting beliung

    Puting beliung adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan mencapai 120 km/jam atau lebih. Fenomena ini sering muncul di wilayah tropis akibat perbedaan tekanan udara ekstrem.

    Jika terbentuk di laut, puting beliung dapat menimbulkan gelombang tinggi dan banjir pesisir saat angin kuat mendorong air ke daratan.

    4. Banjir

    Banjir terjadi ketika air meluap dan menenggelamkan wilayah daratan yang seharusnya kering. Penyebabnya bisa karena meluapnya sungai, danau, atau laut, serta hujan lebat yang membuat tanah tak lagi mampu menyerap air. Banjir merupakan bencana hidrometeorologi paling umum di Indonesia.

    5. Tanah longsor

    Longsor terjadi di daerah berkontur miring seperti pegunungan atau tebing pantai. Penyebabnya antara lain curah hujan tinggi, gempa bumi, atau aktivitas manusia yang mengubah kemiringan lereng. Longsor sering disertai banjir bandang dan bisa menyebabkan korban jiwa.

    6. Angin kencang

    Angin kencang adalah pergerakan udara dengan kecepatan di atas 27,8 km/jam, bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Jika terjadi secara mendadak dan singkat, fenomena ini disebut gusty, biasanya disertai hujan deras dan muncul bersamaan dengan pembentukan awan cumulonimbus.

    Dampak Bencana Hidrometeorologi

    Bencana hidrometeorologi membawa berbagai dampak negatif terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi. Berikut beberapa dampak utamanya:

    Angin kencang dan banjir dapat merusak rumah, jalan, jembatan, serta jaringan listrik dan komunikasi. Pemulihan pascabencana sering kali membutuhkan waktu dan biaya besar.

    Kekeringan yang berkepanjangan dapat menimbulkan kekurangan air bersih, gagal panen, hingga meningkatnya risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

    Sektor pertanian, perikanan, dan industri bisa berhenti beroperasi akibat dampak bencana, menimbulkan kerugian finansial besar bagi masyarakat dan pemerintah.

    Banjir, longsor, dan kebakaran hutan menyebabkan degradasi tanah, berkurangnya keanekaragaman hayati, serta pencemaran udara dan air.

    Korban jiwa dan kesehatan

    Bencana hidrometeorologi juga dapat menimbulkan korban jiwa dan gangguan kesehatan, terutama di wilayah padat penduduk yang minim fasilitas medis dan sanitasi.

    Bencana hidrometeorologi adalah ancaman nyata yang perlu diwaspadai, terutama di negara tropis seperti Indonesia. Dengan memahami penyebab, jenis, dan dampaknya, masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kesiapsiagaan terhadap potensi bencana yang mungkin terjadi sewaktu-waktu.