Topik: Banjir Bandang

  • Menteri PU soal Banjir Bandang Sumatera: Paling Parah Aceh

    Menteri PU soal Banjir Bandang Sumatera: Paling Parah Aceh

    Jakarta

    Kementerian Pekerjaan Umum (PU) masih terus melakukan upaya penanganan dan aksi tanggap bencana di daerah-daerah terdampak banjir Sumatera. Provinsi Aceh dinilai menjadi daerah dengan kerusakan infrastruktur paling parah.

    Menteri PU Dody Hanggodo mengatakan, sejumlah daerah di Provinsi Aceh masih dalam kondisi terisolasi. Salah satunya ialah kawasan Aceh Tengah yang masih dalam proses pembukaan akses.

    “Dari pantauan kami yang paling parah Aceh. Karena Aceh sekarang, kan Aceh Tengah belum 100% terbuka, masih terisolasi,” kata Dody, dalam Media Briefing di Kantor Kementerian PU, Jakarta Selatan, Kamis (18/12/2025).

    Meski sebagian aksesnya sudah terbuka, Dody mengatakan, kendaraan masih sangat-sangat terbatas, di mana kendaraan besar belum bisa masuk ke lokasi. Kondisi ini menyebabkan penyaluran bantuan di sejumlah titik baru bisa dilakukan melalui jalur udara.

    Sedangkan di Sumatera Barat, Dody mengatakan daerah kabupaten menjadi yang paling terdampak. Banyak jalan dan jembatan di daerah yang rusak dan harus segera diperbaiki.

    Berdasarkan data Per 17 Desember 2025, Kementerian PU telah mengidentifikasi sebanyak 1.413 titik kerusakan infrastruktur terdampak bencana. Angka tersebut terdiri atas 477 titik di Aceh, terdiri atas 419 titik terdampak banjir dan 58 titik terdampak longsor.

    Lalu di Sumatera Utara (Sumut) ada sebanyak 306 titik, terdiri atas 180 titik terdampak banjir dan 126 titik terdampak longsor. Kemudian di Sumatera Barat (Sumbar) ada sebanyak 630 titik, terdiri atas 427 akibat banjir dan 203 akibat longsor.

    Total ada sebanyak 831 alat berat yang telah disalurkan ke daerah-daerah terdampak bencana, terdiri dari 315 alat berat berasal dari Kementerian PU dan 519 alat berat dari mitra BUMN.

    Sebelumnya, Kementerian PU juga telah melaporkan progres pemulihan jalan dan jembatan terdampak bencana di Aceh. Salah satu capaian terbaru, ruas Jalan Genting Gerbang-Celala-Batas Aceh Tengah/Nagan Raya telah kembali terhubung dan dapat dilalui kendaraan roda dua.

    Akses dari sisi Nagan Raya masih dalam tahap perbaikan, khususnya pada jalan penghubung menuju Jembatan Krueng Beutong.

    Selain ruas tersebut, pemulihan jalan dan jembatan pascabencana di Aceh juga menunjukkan perkembangan positif. Ruas Jalan Kota Banda Aceh-Meureudu kini telah kembali terhubung sebagai akses utama dari wilayah barat menuju pesisir utara Aceh.

    Ruas Jalan Meureudu-Batas Pidie Jaya/Bireuen juga telah berfungsi kembali setelah oprit jembatan yang runtuh selesai ditimbun. Jembatan tersebut dinyatakan fungsional sejak 12 Desember 2025.
    Di wilayah timur Aceh, ruas Jalan Batas Kota Lhokseumawe/Batas Aceh Utara-Kota Langsa juga sudah dapat dilalui usai pembersihan sedimen yang rampung pada 10 Desember 2025. Proses penanganan juga masih berlangsung pada ruas Jalan Kota Langsa-Kota Kuala Simpang, dengan target penyelesaian 19 Desember 2025.

    Ruas Jalan Kota Kuala Simpang-Batas Provinsi Sumatera Utara juga telah fungsional dan dapat dilalui oleh semua jenis kendaraan. Namun beberapa titik akses sinyal masih terbatas dan pembersihan material lumpur serta kayu terus dilakukan.

    Selanjutnya, ada ruas Jalan Kota Kutacane-Batas Provinsi Sumatera Utara yang juga telah kembali dapat dilalui. Pengoperasian ruas ini membuka akses penting menuju wilayah selatan Aceh.
    Kementerian PU juga terus mempercepat pekerjaan on going pada sejumlah ruas jalan yang terdampak berat dan masih terputus akibat banjir bandang dan longsor di Provinsi Aceh. Salah satunya ruas Jalan Kota Bireuen-Batas Bireuen/Aceh Utara yang terputus akibat runtuhnya Jembatan Krueng Tingkeum/Kuta Blang.

    Akses sementara saat ini dilayani melalui jalur alternatif dengan jembatan bailey di Awe Geutah, dengan target open traffic pada 17 Desember 2025. Sementara pemasangan jembatan bailey pada jembatan eksisting ditargetkan selesai 20 Desember 2025.

    Tonton juga video “Korban Meninggal Bencana Sumatera Bertambah Jadi 1.068 Orang”

    (acd/acd)

  • BUMN Beri Bantuan Genset hingga Makanan buat Korban Bencana Sumatera

    BUMN Beri Bantuan Genset hingga Makanan buat Korban Bencana Sumatera

    Jakarta

    Holding BUMN sektor aviasi dan pariwisata Indonesia, PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) atau InJourney menyalurkan bantuan logistik, meliputi genset 2.000 watt, lampu darurat, kasur, selimut, pakaian anak hingga dewasa, bahan makanan, serta obat-obatan ringan bagi warga terdampak bencana di Sumatera.

    Direktur Utama InJourney, Maya Watono mengatakan bantuan ini disalurkan melalui tim kemanusiaan yang terdiri dari pegawai InJourney Group untuk membantu penanggulangan banjir bandang di Sumatera, termasuk di Pasar Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Nangroe Aceh Darussalam. Seluruh bantuan dihimpun berdasarkan pendataan lapangan sejak hari pertama pascabencana guna mendukung proses evakuasi dan memastikan bantuan yang diberikan tepat sasaran serta benar-benar dibutuhkan oleh para pengungsi.

    “Bantuan yang diberikan oleh InJourney Group merupakan aksi gotong royong dari seluruh entitas InJourney dan anak perusahaan didukung oleh seluruh stakeholders yang terlibat agar penyaluran dapat terlaksana secara cepat, tepat sasaran, dan terkoordinasi dengan baik sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat yang terdampak. Meski bantuan ini tidak akan sebanding dengan kerugian materil dan trauma psikologis yang dialami, namun kami berharap bantuan ini dapat meringankan beban para pengungsi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (18/12/2025).

    Lebih lanjut, melalui program unggulan InJourney Community Care, bantuan disalurkan ke 30 titik terdampak di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Lebih dari 90 relawan dari InJourney Airports dan InJourney Hospitality dikerahkan sejak awal untuk mendukung evakuasi bersama TNI-Polri, BNPB, dan Basarnas, sekaligus melakukan pendataan kebutuhan pengungsi.

    Maya menyebut InJourney Group menyalurkan bantuan senilai Rp1,7 miliar yang diwujudkan dalam paket logistik serta layanan trauma healing di seluruh posko bencana. Relawan yang terlibat berasal tidak hanya dari Kantor Cabang Aceh, Kualanamu, dan Padang, tetapi juga dari Jakarta dan daerah lainnya. Mereka terjun langsung ke lapangan untuk mempercepat evakuasi warga dan pendistribusian logistik ke posko-posko utama, dengan mempertimbangkan tingkat kerusakan serta aksesibilitas lokasi terdampak.

    Salah satu relawan yang berprofesi sebagai Aviation Security Chief di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, Vovo Kristanto mengakui medan yang dilalui pada saat awal proses evakuasi sangat menantang dan cukup sulit untuk dilalui oleh kendaraan, sehingga harus berjalan kaki selama 45 menit hingga mencapai titik lokasi untuk mendirikan posko dikarenakan banyaknya akses yang rusak sambil membawa bantuan logistik primer yang memang sangat diperlukan oleh korban.

    “Desa Dayah Husen di Pidie Jaya menjadi lokasi awal evakuasi yang kami lakukan. Kondisi di lapangan saat itu cukup berat, dengan akses yang rusak akibat lumpur, jembatan terputus, serta keterbatasan koneksi internet yang menyulitkan proses distribusi. Jarak dari jalan utama ke lokasi pun memakan waktu sekitar 45 menit. Pada tahap awal, kami memprioritaskan pengiriman kebutuhan logistik yang paling mendesak, sembari melakukan pendataan untuk memastikan distribusi bantuan berikutnya dapat berjalan lebih tepat sasaran,” ujar Vovo.

    Selain bantuan logistik, InJourney Care juga melakukan trauma healing atau Layanan Dukungan Psikososial (LDP) khususnya kepada anak-anak yang juga menjadi korban. Ruang bermain dan belajar mereka yang kini terdampak banjir bandang menjadi salah satu concern dalam hal membangkitkan kembali semangat mereka.

    Tidak hanya itu, Vovo menyeut pelayanan kesehatan juga disediakan dengan bekerjasama dengan tenaga medis. Dari laporan di lapangan ditemukan bahwa infeksi saluran pernafasan dan infeksi kulit dan jamur menjadi keluhan terbanyak yang dialami oleh para pengungsi.

    “Fokus kami di lapangan tidak hanya pada distribusi logistik kebutuhan para pengungsi saja, tapi trauma healing (Layanan Dukungan Psikososial) khususnya untuk anak-anak kecil serta layanan posko kesehatan yang juga menjadi concern utama kami. Hal ini kami lakukan berdasarkan kajian kebencanaan yang sudah beberapa kali kami lakukan sebelumnya. Sangat penting untuk tetap menjaga tumbuh kembang anak terkhusus bagi mereka yang menjadi korban bencana alam,” sambung Vovo.

    Warga Pasar Meureudu, Pidie Jaya, Ruslan Hasan, menyampaikan kehadiran bantuan logistik dan psikologis yang diberikan InJourney sangat membantu para warga sekitar Pasar Meureudu.

    “Bantuan yang diberikan InJourney sangat membantu kami para pengungsi di sini. Semoga tidak terjadi banjir susulan dikarenakan lokasi kami yang memang berada di pinggir Sungai Meureudu,” ujar Ruslan.

    Lihat juga Video: Ketua MPR Bagikan 15 Ribu Paket Bantuan ke Aceh, Sumut dan Sumbar

    (rea/ara)

  • Percepat pemanfaatan kembali fasiltas publik pascabanjir bandang Palembayan

    Percepat pemanfaatan kembali fasiltas publik pascabanjir bandang Palembayan

    Selasa, 2 Desember 2025 19:27 WIB

    Petugas Pemadam Kebakaran Kabupaten Agam dan relawan membersihkan Masjid Syuhada terdampak banjir bandang di Jorong Kayu Pasak, Nagari Salareh Aia, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Selasa (2/12/2025). Pembersihan yang juga melibatkan masyarakat setempat tersebut bertujuan mempercepat pemanfaatan kembali fasilitas publik di daerah yang terdampak banjir bandang pada Kamis (27/11) itu. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/YU

    Foto udara petugas Pemadam Kebakaran Kabupaten Agam dan relawan membersihkan Masjid Syuhada yang terdampak banjir bandang di Jorong Kayu Pasak, Nagari Salareh Aia, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Selasa (2/12/2025). Pembersihan yang juga melibatkan masyarakat setempat tersebut bertujuan mempercepat pemanfaatan kembali fasilitas publik di daerah yang terdampak banjir bandang pada Kamis (27/11) itu. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/YU

    Foto udara petugas Pemadam Kebakaran Kabupaten Agam dan relawan membersihkan Masjid Syuhada yang terdampak banjir bandang di Jorong Kayu Pasak, Nagari Salareh Aia, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Selasa (2/12/2025). Pembersihan yang juga melibatkan masyarakat setempat tersebut bertujuan mempercepat pemanfaatan kembali fasilitas publik di daerah yang terdampak banjir bandang pada Kamis (27/11) itu. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/YU

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Prabowo Bilang Nasi Goreng di Pengungsian Enak: Ini Karena Saya Datang Ya?

    Prabowo Bilang Nasi Goreng di Pengungsian Enak: Ini Karena Saya Datang Ya?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Tiga hari setelah mengunjungi Aceh untuk ketiga kalinya dan Sumatra Utara untuk kedua kalinya, Presiden Prabowo Subianto kembali mendarat di Sumatra Barat untuk kedua kalinya dalam 2 minggu terakhir.

    Presiden tiba di Bandar Udara Internasional Minangkabau, Kabupaten Padang Pariaman, pada Rabu, 17 Desember 2025, pukul 18.30 WIB, dan langsung mengadakan rapat terbatas di Markas Komando Daerah Militer Sumatra Barat.

    Setelah bermalam di Padang, hari ini Kamis (18/12), Presiden berkunjung ke 3 kabupaten terdampak bencana, yakni Kabupaten Agam, Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Tanah Datar.

    Dalam kunjungan ini, Prabowo diagendakan meninjau sejumlah lokasi terdampak bencana, baik titik pembangunan hunian sementara, titik pengungsian, titik pembangunan jembatan sekaligus memastikan percepatan pemulihan semua infrastruktur.

    Agenda pertama Presiden Prabowo Subianto yakni meninjau Posko Pengungsi SD 05 Kavu Pasak Palembayan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Kamis (18/12) pagi. Ia terlihat menyapa dan berdialog langsung bersama warga terdampak bencana.

    Prabowo menegaskan kedatangannya ke lokasi bencana untuk memberi semangat kepada para korban. “Kalian tidak sendiri. Kami akan bekerja untuk kalian semuanya,” ujar Prabowo.

    Didampingi antara lain oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, serta Kepala BNPP Suharyanto; Prabowo berkeliling posko, mengunjungi dapur umum sambil mencicipi nasi goreng telur.

    Ada pernyataan menyentil yang diucapkan Prabowo saat ia ikut mencicipi menu nasi goreng Padang yang disajikan untuk warga korban bencana banjir bandang.

  • Bencana, Hak Warga, dan Kewajiban Negara

    Bencana, Hak Warga, dan Kewajiban Negara

    Bencana, Hak Warga, dan Kewajiban Negara
    Pemerhati masalah hukum dan kemasyarakatan
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    SETIAP
    kali bencana alam terjadi: kebakaran permukiman, banjir bandang, tanah longsor, atau gunung meletus, ruang publik segera dipenuhi satu diksi yang berulang-ulang diucapkan oleh pejabat negara: “bantuan”.
    Pemerintah memberikan bantuan, pejabat menyerahkan bantuan, dan negara menyalurkan bantuan kepada masyarakat terdampak bencana. Laksana Sinterklaas yang berbaik hati kepada anak-anak dengan membagi-bagi coklat.
    Pemerintah melalui aparatnya adalah pelayan masyarakat sebagai pemilik negara. Pemerintah (Presiden) bukan pemilik negara yang kemudian berbuat baik kepada masyarakat dengan memberikan bantuan.
    Sekilas, diksi tersebut terdengar wajar, bahkan terkesan empatik. Namun, jika dikaji lebih dalam dari perspektif konstitusi, penggunaan kata bantuan justru menyimpan persoalan serius.
    Diksi bantuan mengaburkan hak warga negara dan kewajiban konstitusional negara. Diksi tersebut bahkan dipolitisasi untuk pencitraan.
    Dalam kerangka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, relasi antara negara dan warga negara tidak pernah dibangun atas dasar belas kasihan, melainkan atas dasar hak dan kewajiban.
    Ketika konstitusi menyebut hak, maka secara simultan melekat kewajiban negara. Sebaliknya, ketika konstitusi menetapkan kewajiban warga, di sana terdapat hak negara. Keduanya tidak dapat dipisahkan.
    Persoalannya, paradigma ini (kewajiban negara dan hak warga negara) sering kali hilang dalam praktik kebijakan kebencanaan. Terutama dalam mengurangi dampak bencana yang menimpa masyarakat.
    UUD 1945 secara tegas menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas perlindungan dan kesejahteraan rakyat.
    Pasal 28H ayat (1) menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
    Pasal 34 ayat (3) menegaskan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak.
    Dalam konteks bencana, ketentuan konstitusional ini memiliki makna yang sangat konkret. Masyarakat yang kehilangan rumah akibat kebakaran, yang terendam banjir bandang, atau yang harus mengungsi akibat letusan gunung berapi bukanlah penerima belas kasihan negara, melainkan pemegang hak konstitusional.
    Mereka berhak atas: perlindungan keselamatan jiwa, layanan kesehatan, tempat tinggal sementara yang layak, pemulihan sosial dan ekonomi, serta jaminan keberlanjutan hidup pascabencana.
    Bukan justru memperdebatkan bantuan yang ada serta menolak bantuan dari luar negeri. Semua itu bukan bantuan. Semua itu adalah hak warga negara.
    Masalahnya, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cermin cara berpikir kekuasaan. Ketika negara menggunakan diksi bantuan, terdapat tiga bahaya laten.
    Pertama, hak warga negara direduksi menjadi pemberian sukarela. Bantuan mengandung makna opsional, seolah-olah negara boleh memberi atau tidak memberi. Padahal, dalam negara hukum, pemenuhan hak adalah kewajiban yang mengikat.
    Kedua, kewajiban konstitusional negara berubah menjadi kebaikan hati penguasa. Negara tampil sebagai pihak yang “bermurah hati”, bukan sebagai institusi yang menjalankan mandat konstitusi.
    Akibatnya, kegagalan negara sering dimaklumi sebagai keterbatasan, bukan dikritik sebagai kelalaian.
    Ketiga, bahasa bantuan melanggengkan relasi kuasa yang timpang. Rakyat diposisikan sebagai objek yang patut berterima kasih, bukan sebagai subjek hukum yang berhak menuntut akuntabilitas.
    Dalam jangka panjang, paradigma ini berbahaya bagi demokrasi dan negara hukum.
    Negara Indonesia bukanlah negara dermawan yang boleh memberi atau tidak memberi. Indonesia adalah negara hukum yang berorientasi pada kesejahteraan (
    welfare state
    ).
    Dalam negara seperti ini, kehadiran negara dalam situasi bencana bukan pilihan moral, melainkan keharusan hukum.
    Ketika negara lambat mengevakuasi warga, gagal menyediakan hunian sementara, atau abai terhadap pemulihan korban bencana, masalahnya bukan sekadar teknis atau administratif. Itu adalah masalah konstitusional.
    Sayangnya, dengan terus menggunakan bahasa bantuan, kegagalan negara sering tertutup oleh narasi empati simbolik: penyerahan paket sembako, kunjungan pejabat, dan konferensi pers penuh janji.
    Padahal yang dibutuhkan masyarakat terdampak bukan simbol, melainkan pemenuhan hak secara sistematis dan berkelanjutan.
    Sudah saatnya bahasa kebijakan kebencanaan diubah. Negara harus mulai menyebut secara jujur apa yang sedang ia lakukan: memenuhi hak warga negara. Perubahan diksi ini bukan soal semantik, tetapi soal kesadaran konstitusional.
    Dengan paradigma hak dan kewajiban: negara dipaksa untuk bekerja berdasarkan standar, masyarakat memiliki dasar moral dan hukum untuk menuntut, dan bencana tidak lagi menjadi panggung pencitraan, melainkan ujian tanggung jawab negara.
    Bencana memang tidak dapat dicegah sepenuhnya. Namun, penderitaan akibat kelalaian negara sesungguhnya dapat dan harus dicegah. Di sinilah konstitusi seharusnya berbicara paling lantang.
    Negara yang besar bukanlah negara yang pandai memberi bantuan, tetapi negara yang setia menunaikan kewajiban konstitusionalnya kepada rakyat terutama saat rakyat berada dalam kondisi paling rentan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bencana Alam, Ekstraktivisme dan Degrowth

    Bencana Alam, Ekstraktivisme dan Degrowth

    Bisnis.com, JAKARTA – Merebaknya bencana banjir yang melanda Sumatra dewasa ini tidak bisa hanya dipandang sebagai bencana alamiah semata, melainkan tergolong krisis ekologi ekstrem menuju runtuhnya ekologi (ecological collapse).

    Banjir bandang yang menerjang Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Aceh telah menimbulkan korban jiwa hingga perkiraan kerugian ekonomi Rp68,67 triliun. Pemicunya adalah alih fungsi lahan akibat deforestasi sawit dan pertambangan mineral (Celios, 2025). Padahal pemerintah Indonesia beberapa pekan sebelumnya telah mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim (COP30) di Belem, Brasil.

    Indonesia mengusung bisnis perdagangan karbon yang bersumber dari hutan dan lautan. Menjadi paradoksnya karena fakta empirisnya deforestasi kian merajalela buat perkebunan sawit dan pertambangan mineral kritis (emas, bauksit, nikel dan tembaga) legal maupun ilegal tak terkendali. Riset Cheong (2025) menegaskan bahwa pasar karbon malah menciptakan “paradoks kredit karbon global”.

    Pasalnya, mekanisme pasar karbon justru (i) gagal mengurangi emisi gas rumah kaca (EGRK) dan diversifikasinya; (ii) memperburuk ketidakadilan global dan melemahkan keadilan iklim; (iii) mendistorsi kebijakan iklim yang menekankan efektivitas biaya karena melampaui kebutuhan ekologis; dan (iv) menunda perubahan ekonomi secara struktural untuk mencapai dekarbonisasi. Merebaknya bencana banjir yang melanda Sumatra dewasa ini tidak bisa hanya dipandang sebagai bencana alamiah semata.

    Melainkan tergolong krisis ekologi ekstrem menuju runtuhnya ekologi. Pemicunya adalah tindakan ekstraktivisme yang dilakukan manusia secara masif dan terus-menerus tanpa kendali demi mengakumulasi kapital dan mengejar pertumbuhan tinggi alias PDB oriented. Cara pandang ini dibangun atas logika kapitalisme/neoliberal dengan tiga karakteristiknya yang merusak lingkungan dan degradasi ekologi: pertama, logika akumulasi kapital tanpa henti.

    Aktivitas eksploitasi dan ekstraktivisme terhadap sumber daya alam (hutan dan mineral kritis) berlangsung tanpa batas demi akumulasi kapital tanpa batas. Prosesnya terus berputar dengan dalih menghasilkan nilai tambah. Akibat ekstraksi sumber daya alam dan produksinya (termasuk hilirisasi) yang masif menyebabkan transformasi energi dan material menjadi emisi dan limbah.

    Kedua, dinamika ekspansi ke segala ruang yang ditandai perluasan kebun sawit dan pertambangan mineral kritis menyebabkan tinggi deforetasi dan alih fungsi lahan. Semua tindakan ini bertujuan mempertahankan akumulasi modal. Soalnya, sistem kapitalisme neoliberal terus berekspansi agar menemukan pasar, sumber daya hingga menciptakan kebutuhan baru. Tindakan ekspansionis tersebut meningkatkan tekanan terhadap ekosistem tanpa batas. Imbasnya seluruh planet bumi bertranformsi menjadi arena akumulasi modal.

    Ketiga, cara pandang kapitalisme/neoliberal memandang eksternalisasi bukan sebagai beban produksi. Pasalnya, asumsi yang dibangun adalah alam akan memulihkan dirinya sendiri. Makanya, dalam mengejar efisiensi dan profit mengabaikan biaya kerusakan lingkungan yakni polusi air, udara, dan tanah. Ironisnya lagi biaya semacam ini dibebankan pada masyarakat dan ekosistem.

    Sementara, keuntungan dari eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam dinikmati korporasi/privat (Magnette, 2025). Inilah yang memicu “krisis sosial-ekologis” yang tak bisa dianggap sebagai dampak sampingan. Melainkan, prasyarat yang melekat dalam kapitalisme itu sendiri. Makanya sistem ini mengharuskan pertumbuhan produksi dan konsumsi tanpa batas yang kelak berbenturan dengan keterbatasn biofisik dan daya dukung planet bumi.

    Karakteristik inilah yang menjustifikasi pemilik modal, elite penguasa pemburu rente, kaum komprador hingga oligarki menguras sumber daya alam di pulau Sumatra. Imbasnya, banjir bandang yang kini kita saksikan jadi konsekuensinya. Makanya, diperlukan kebijakan radikal secara ekonomi politik karena kondisinya “darurat” sehingga negara berperan sebagai “vektor penentu arah” untuk mencegah “krisis sosial-ekologis yang lebih parah.

    SOLUSI RADIKAL

    Menyaksikan dampak yang ditimbulkan banjir bandang di Sumatra, seyogianya negara mesti menerapkan solusi radikal agar bencana ini tak berulang di wilayah lain Indonesia. Tawaran solusi radikalnya ialah menerapkan paradigma degrowth berkelanjutan terhadap ekspansi perkebuhan sawit dan ekstraksi tambang mineral kritis di Indonesia.

    Degrowth berkelanjutan adalah penurunan skala produksi dan konsumsi secara adil sehingga meningkatkan kesejahteraan manusia serta memperbaiki kondisi ekologis di tingkat lokal maupun global, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang” (Schneider et al., 2010).

    Penerapan paradigma degrow-th berkelanjutan di Indonesia sangat tepat buat menghentikan aktivitas ekspansi sawit dan pertambangan mineral di Indonesia. Termasuk di pesisir dan pulau kecil seperti nikel, emas serta mangan (Karim dkk 2025). Pasalnya, keterbatasan daya dukung ekosistem dan ketersediaan sumber daya alam, mau tidak mau pendekatan degrowth jadi keniscayaan supaya bencana ekologis tak berulang yang memakan korban manusia, dan kerugian ekonomi besar.

  • Permukiman di Aceh Tamiang Hilang Tertimbun Kayu Gelondongan

    Permukiman di Aceh Tamiang Hilang Tertimbun Kayu Gelondongan

    GELORA.CO -Permukiman dan kebun warga di Dusun Sukamaju, Kampung Pengidam, Kecamatan Bandar Pusaka, Aceh Tamiang, hilang akibat tertimbun tumpukan kayu gelondongan yang terbawa banjir bandang pada 26-29 November 2025. 

    Bencana tersebut mengakibatkan puluhan rumah warga serta fasilitas ibadah rusak dan lenyap dari permukaan.

    “Selain hancur diterjang banjir banyak rumah warga tertimbun kayu gelondongan,” kata Sofyan Pranata, salah seorang warga Kampung Pengidam, Aceh Tamiang, Rabu 17 Desember 2025.

    Sofyan menjelaskan, material kayu gelondongan yang terbawa arus banjir tidak hanya menimbun permukiman warga, tetapi juga menutup areal kebun milik masyarakat setempat yang selama ini menjadi sumber penghidupan.

    “Luas areal yang ditutupi kayu gelondongan tersebut hampir empat ektare,” kata Sofyan dikutip dari RMOLAceh.

    Diketahui, Kecamatan Bandar Pusaka menjadi salah satu wilayah paling parah terdampak banjir di Kabupaten Aceh Tamiang

  • Akses Jalan KKA Aceh Utara-Bener Meriah Kembali Dibuka, Kendaraan Roda Empat Bisa Melintas

    Akses Jalan KKA Aceh Utara-Bener Meriah Kembali Dibuka, Kendaraan Roda Empat Bisa Melintas

    Liputan6.com, Jakarta – Warga Aceh Utara dan Bener Meriah sedikit bisa bernapas lega. Akses Jalan KKA yang menghubungkan dua wilayah ini sudah bisa dilalui kendaraan roda empat.

    “Jalan KKA yang menghubungkan Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Bener Meriah kini telah kembali dapat dilintasi kendaraan roda empat,” kata Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, saat dikonfirmasi.

    Akses jalan tersebut sempat terputus akibat bencana banjir bandang beberapa pekan lalu. Area jalan terputus tepatnya di kawasan Jembatan Weh Paseh, Desa Seni Antara, Kecamatan Permata, Kabupaten Bener Meriah. Kondisi itu menghambat mobilitas warga serta distribusi logistik.

  • Thailand Bubarkan DPR, Pemerintahan Bulgaria Tumbang, Bagaimana Dengan Indonesia?

    Thailand Bubarkan DPR, Pemerintahan Bulgaria Tumbang, Bagaimana Dengan Indonesia?

    JAKARTA – Dunia sedang menyaksikan runtuhnya kekuasaan di tangan rakyat, dari pembubaran parlemen Thailand hingga tumbangnya rezim Bulgaria oleh revolusi Gen Z. Namun, di saat negara tetangga memilih mengembalikan mandat ke rakyat, Indonesia justru terjebak dalam pusaran banjir bandang Sumatera yang menelan hampir seribu nyawa di tengah rentetan skandal korupsi yang tak kunjung usai.

    Pertanyaannya, mampukah hukum tata negara Indonesia merespons kemarahan publik seperti di Bulgaria dan Thailand? Simak informasi selengkapnya di VOI.id.

  • Bencana Sumatera Bikin 70 Ribu Hektare Sawah Gagal Panen

    Bencana Sumatera Bikin 70 Ribu Hektare Sawah Gagal Panen

    Tercatat ada sekitar 70 ribu hektare lahan sawah yang rusak akibat banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumut dan Sumbar.

    Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman juga mengungkap ada 11 ribu hektare sawah yang hilang total akibat bencana tersebut.

    Kerusakan ini diperkirakan membuat ratusan ribu ton padi gagal panen. Pemerintah pusat menyatakan akan mencetak ulang 11 ribu hektare sawah.

    Bagi petani, ini bukan sekadar data.
    Ini tentang satu musim tanam yang lenyap, dan harapan yang ikut tenggelam.