Topik: APBN

  • Tren Penerimaan Negara Turun, Menkeu Purbaya Beri Rincian

    Tren Penerimaan Negara Turun, Menkeu Purbaya Beri Rincian

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Tren penurunan pendapatan negara terjadi hampir pada semua komponen. Kondisi tersebut disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa.

    Purbaya menyebutkan, pendapatan negara terkumpul sebesar Rp 1.638,7 triliun atau 57,2 persen dari proyeksi (outlook) APBN 2025.

    Dia menjelaskan nilai itu terkoreksi sebesar 7,8 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.777,3 triliun.

    Menurut Purbaya, tren penurunan ini pun terlihat pada hampir seluruh komponen

    penerimaan negara. “Serapan dari perpajakan turun sebesar 3,6 persen dengan nilai realisasi

    Rp 1.330,4 triliun atau 55,7 persen dari outlook,” kata Purbaya saat konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2025 di Jakarta, Senin (22/9).

    Adapun perinciannya, penerimaan dari pajak terkoreksi sebesar 5,1 persen dengan nilai

    realisasi Rp1.135,4 triliun atau 54,7 persen dari outlook.

    Namun, dukungan positif terlihat dari penerimaan kepabeanan dan cukai yang tumbuh 6,4

    persen dengan realisasi Rp194,9 triliun yang setara 62,8 persen dari outlook.

    Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tercatat mencapai Rp306,8 triliun atau

    64,3 persen dari outlook, tetapi turun signifikan sebesar 20,1 persen.

    Oleh karena itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mengalami defisit

    sebesar Rp321,6 triliun atau 1,35 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) per 31

    Agustus 2025. “Defisit APBN Rp 321,6 triliun atau 1,35 persen PDB,” ungkap Purbaya.

    Di sisi lain, tren berbeda terlihat pada penyaluran belanja negara yang rata-rata komponen

  • 10
                    
                        Istana Sebut Kenaikan Gaji ASN Belum Pasti, Baru Sebatas Rencana
                        Nasional

    10 Istana Sebut Kenaikan Gaji ASN Belum Pasti, Baru Sebatas Rencana Nasional

    Istana Sebut Kenaikan Gaji ASN Belum Pasti, Baru Sebatas Rencana
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kepala Staf Presiden (KSP) Qodari menekankan, belum ada kepastian mengenai “rencana kenaikan gaji aparatur sipil negara (ASN) yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025.
    Qodari menyebutkan, berdasarkan pengalaman yang ada, rencana pemerintah yang terdapat dalam perpres tersebut tidak otomatis bakal dilaksanakan.
    “Kebijakan kenaikan gaji belum bisa dipastikan. Rencana kebijakan ada dalam lampiran Perpres 79 Tahun 2025 sebagai pemutakhiran rencana kerja pada 30 Juni 2025,” ujar Qodari di Istana, Jakarta, Senin (22/9/2025).
    “Pengalaman menunjukkan bahwa ada rencana-rencana kebijakan yang tercantum dalam RKP, tapi tidak atau belum bisa dilaksanakan di tahun bersangkutan. Misalnya cukai minuman berpemanis dalam kemasan, pajak karbon, dan lain-lain,” imbuh dia.
    Qodari pun mengingatkan, pada Jumat (19/9/2025), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga sudah menjelaskan bahwa belum ada pembahasan kenaikan gaji ASN.
    Ia menyebutkan, gaji ASN pun baru saja dinaikkan pada tahun 2024.
    “Mengacu pada PP Nomor 5 Tahun 2024 dan Perpres Nomor 10 Tahun 2024, jadi, terakhir baru tahun lalu naik gaji,” ucap Qodari.
    Lebih lanjut, Qodari menjelaskan bahwa asumsi perhitungan kebutuhan penggajian bagi 4,7 juta ASN saat ini membutuhkan sekitar Rp 178,2 triliun per tahun.
    Angka tersebut belum termasuk tunjangan untuk para ASN, termasuk tunjangan hari raya (THR).
    “Apabila dilakukan peningkatan secara moderat, saya nggak usah sebut moderat, angka 8 persen saja lah, nanti orang bilang moderat 8 itu rendah lagi ya. Pokoknya seperti kenaikan gaji tahun 2024, maka akan dibutuhkan tambahan minimal Rp 14,24 triliun pada RKP,” kata Qodari.
    “Jadi intinya, diperlukan perhitungan keuangan dan kondisi keuangan yang lebih baik atau yang bisa memenuhi kondisi dan ya kebutuhanlah untuk kenaikan gaji ini teman-teman. Mudah-mudahan itu bisa menjelaskan,” imbuh dia.
    Sebagai informasi, Perpres 79/2025 memuat rencana kenaikan gaji ASN 2025 untuk kelompok prioritas, yaitu guru, dosen, tenaga kesehatan, penyuluh, anggota TNI-Polri, dan pejabat negara.
    “Menaikkan gaji ASN, khususnya untuk guru, dosen, tenaga kesehatan, penyuluh, TNI-Polri, dan pejabat negara,” tertulis dalam lampiran perpres tersebut, dikutip dari
    Kompas.com
    , Sabtu (20/9/2025).
    Kebijakan ini disebut sebagai bagian dari program prioritas yang masuk dalam dokumen pemutakhiran RKP 2025.
    Perpres untuk memutakhirkan RKP 2025 hanya bersifat rencana, bukan peraturan teknis penggajian.
    Implementasi masih membutuhkan regulasi lanjutan, termasuk pembahasan APBN dan aturan teknis di kementerian terkait.
    Kepala Biro Data, Komunikasi, dan Informasi Publik Kemenpan-RB Mohammad Averrouce memberikan klarifikasi terkait kenaikan gaji yang termasuk di dalam RKP 2025.
    “Kami sampaikan belum ada pembahasan sampai saat ini,” kata Averrouce, dilansir dari
    Kompas.com
    , Jumat (19/9/2025).
    Kemenpan-RB menekankan pentingnya membedakan dokumen perencanaan dengan regulasi teknis.
    Artinya, meski tercantum di perpres, implementasi kenaikan gaji ASN tetap menunggu proses lanjutan.
    Selain menjembatani persepsi publik, Kemenpan-RB juga memastikan ASN, TNI, dan Polri tetap fokus pada program prioritas nasional.
    “Sebagaimana arahan Bapak Presiden untuk ASN, TNI, dan Polri untuk terus mengawal dan mengakselerasi program prioritas nasional agar targetnya terpenuhi,” ucap Averrouce.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • APBN defisit Rp321,6 triliun per 31 Agustus 2025

    APBN defisit Rp321,6 triliun per 31 Agustus 2025

    Defisit APBN Rp321,6 triliun atau 1,35 persen PDB

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mengalami defisit sebesar Rp321,6 triliun atau 1,35 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) per 31 Agustus 2025.

    “Defisit APBN Rp321,6 triliun atau 1,35 persen PDB,” kata Purbaya dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2025 di Jakarta, Senin.

    Pendapatan negara terkumpul sebesar Rp1.638,7 triliun atau 57,2 persen dari proyeksi (outlook) APBN tahun ini. Nilai itu terkoreksi sebesar 7,8 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.777,3 triliun. Tren penurunan ini pun terlihat pada hampir seluruh komponen penerimaan.

    Serapan dari perpajakan turun sebesar 3,6 persen dengan nilai realisasi Rp1.330,4 triliun atau 55,7 persen dari outlook.

    Rinciannya, penerimaan dari pajak terkoreksi sebesar 5,1 persen dengan nilai realisasi Rp1.135,4 triliun atau 54,7 persen dari outlook.

    Namun, dukungan positif terlihat dari penerimaan kepabeanan dan cukai yang tumbuh 6,4 persen dengan realisasi Rp194,9 triliun yang setara 62,8 persen dari outlook.

    Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tercatat mencapai Rp306,8 triliun atau 64,3 persen dari outlook, namun turun signifikan sebesar 20,1 persen.

    Tren berbeda terlihat pada penyaluran belanja negara yang rata-rata komponen mencatatkan pertumbuhan.

    Belanja negara per 31 Agustus 2025 tercatat sebesar Rp1.960,3 triliun atau 55,6 persen dari outlook, tumbuh 1,5 persen dibandingkan realisasi periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.930,7 triliun.

    Belanja pemerintah pusat (BPP) juga tumbuh 1,5 persen, dengan realisasi Rp1.388,8 triliun atau setara 52,1 persen dari outlook.

    Namun, perlambatan terjadi pada belanja kementerian/lembaga (K/L) yang terkoreksi 2,5 persen dengan realisasi Rp686 triliun yang setara 53,8 persen dari outlook.

    Berbeda dengan belanja K/L, belanja non-K/L terakselerasi sebesar 5,6 persen dengan realisasi Rp702,8 triliun atau 50,6 persen dari outlook.

    Sedangkan realisasi transfer ke daerah (TKD) tercatat sebesar Rp571,5 triliun atau 66,1 persen dari outlook. Realisasi ini tumbuh sebesar 1,7 persen.

    Dengan realisasi itu, keseimbangan primer tercatat surplus Rp22 triliun. Keseimbangan primer mencerminkan kemampuan negara mengelola utang.

    Dengan surplus keseimbangan primer maka kondisi fiskal dapat dikatakan masih cukup memadai untuk mengelola pendapatan, belanja dan utang.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pajak dari Ecommerce Lompat, Begini Analisis Kemenkeu

    Pajak dari Ecommerce Lompat, Begini Analisis Kemenkeu

    Jakarta, CNBC Indonesia – Penerimaan pajak pemerintah dari aktivitas perdagangan online tumbuh pesat. Meskipun porsinya, kecil arus penerimaan dari toko online dan platform ecommerce membuat penerimaan pajak dari sektor perdagangan tetap tumbuh.

    Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu memaparkan bahwa sektor perdagangan adalah salah satu sektor dengan kontribusi terbesar terhadap penerimaan pajak pemerintah.

    Pemerintah berhasil mengumpulkan pajak senilai Rp 333,38 triliun dari aktivitas perdagangan sepanjang Januari-Agustus 2025, atau tumbuh 3 persen dari periode yang sama pada 2024. Tiap bulannya, pemerintah mencatat penerimaan pajak rata-rata Rp 41,7 triliun.

    Kontribusi penerimaan dari subsektor perdagangan online pada periode yang sama mencapai Rp 17,4 triliun, tumbuh 65 persen dari Rp 10,5 triliun pada Januari-Agustus 2024.

    “Perdagangan online ini tumbuhnya 65 persen. Jadi ini menunjukkan betapa tingginya pertumbuhan, meski sizenya kecil,” katanya dalam pemaparan APBN Kita, Senin (22/9/2025).

    Secara keseluruhan sektor perdagangan berkontribusi terhadap 23,1 persen penerimaan pajak sepanjang Januari-Agustus 2025. Sektor dengan penyumbang penerimaan pajak terbesar adalah industri pengolahan yaitu 27,1 persen.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Antara Tax Gap dan Langkah Menggantung Menteri Purbaya Tutup Shortfall Pajak

    Antara Tax Gap dan Langkah Menggantung Menteri Purbaya Tutup Shortfall Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA — Risiko pelebaran shortfall atau selisih realisasi dengan target penerimaan pajak semakin terbuka. Apalagi realisasi penerimaan pajak sampai Juli 2025 hanya sebesar Rp990,01 triliun atau masih kurang Rp1.086,89 triliun dari outlook APBN 2025 senilai Rp2.076,9 triliun. 

    Sejauh ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan tidak akan mengeluarkan kebijakan pajak baru untuk mengejar kekurangan penerimaan pajak. Dia cukup yakin bahwa ketika ekonomi membaik maka penerimaan pajak akan naik.

    Oleh karena itu, Purbaya memilih fokus untuk membenahi perekonomian sebagai upaya menciptakan kinerja penerimaan pajak yang berkesinambungan.

    “Kalau ekonominya bagus, misalnya jurus saya berhasil, harusnya sih ekonominya akan lebih bergaya dan pendapatan pajaknya lebih tinggi juga,” kata Purbaya, Jumat pekan lalu.

    Namun demikian, kalau menurut catatan ke belakang, kinerja penerimaan pajak tidak selalu linier dengan pertumbuhan ekonomi. Ada persoalan tax gap yang tidak melulu dipicu oleh kinerja perekonomian. Celah pajak ini bisa berasal dari kepatuhan wajib pajak hingga kebijakan yang disusun oleh pemerintah.

    Contoh tax gap yang bersumber dari kebijakan pemerintah itu antara lain penerapan baseline penghasilan tidak kena pajak (PTKP), tax exemption, hingga berbagai insentif yang digelontorkan untuk mendorong kinerja sektor-sektor perekonomian tertentu. Soal yang terakhir ini, mencakup kebijakan ‘pembebasan pajak’ dalam berbagai paket kebijakan ekonomi yang ditempuh pemerintah belum lama ini.

    Belum lagi, persoalan klasik tentang cerita-cerita mengenai pengusaha yang menghindari pembayaran pajak dengan memanfaatkan celah regulasi seperti mengakali transfer pricing hingga membentuk perusahaan-perusahaan di negara suaka pajak.

    Sejauh ini pemerintah selalu tidak optimal untuk mengejar pengusaha-pengusaha yang mengemplang pajak. Hal ini dibuktikan dengan realisasi pengampunan pajak atau tax amnesty yang dilakukan berjilid-jilid namun tidak berdampak secara signifikan terhadap kepatuhan formal wajib pajak (WP). 

    Contoh lain untuk melihat betap besarnya tax gap di Indonesia tampak dari rasio daya pungut Direktorat Jenderal Pajak alias DJP terhadap produk domestik bruto atau dalam terminologi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sering disederhanakan sebagai tax ratio dalam arti kecil. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp11.612,9 triliun hingga semester I/2025.

    Sementara berdasarkan pembukuan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi penerimaan sebesar Rp831,3 triliun pada semester 1/2024. Itu artinya pemerintah hanya memungut 7,15% dari total PDB semester 1/2025. Rendahnya daya pungut pemerintah itu juga bisa ditelusuri dengan menghitung kinerja jenis-jenis pajak yang menjadi sumber utama penerimaan, salah satunya PPN. 

    Kinerja PPN adalah anomali dalam penerimaan pajak. Sekadar ilustrasi, pemerintah sampai saat ini mengkaim bahwa daya beli pemerintah masih cukup terjaga. Klaim ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa sepanjang semester 1/2025 lalu pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 4,96% atau lebih tinggi dibandingkan dengan semester II/2024 yang tercatat sebesar 4,92%.

    Namun demikian, tren pertumbuhan konsumsi ini tidak sejalan dengan kinerja penerimaan pajak pertambahan nilai atau PPN. Data penerimaan pajak pada Semester 1/2025 mencatat realisasi PPN sebanyak Rp267,27 triliun atau terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi tahun lalu yang tercatat sebesar Rp332,81 triliun.

    Artinya ada ketidakelastisan antara kinerja konsumsi rumah tangga yang merepresentasikan daya beli masyarakat dengan penerimaan PPN. Kalau merujuk data BPS, secara kumulatif konsumsi rumah tangga mencapai Rp6.317,2 triliun pada semester 1/2025. Menariknya, jumlah PPN yang dipungut otoritas pajak hanya di angka Rp267,27 triliun atau sekitar 4,2% dari total aktivitas konsumsi masyarakat.

    Tidak optimalnya penerimaan PPN itu dipicu oleh kebijakan pengecualian pajak yang diterapkan pemerintah untuk menopang konsumsi yang masih menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi.

    Boros Belanja Pajak Konsumsi 

    Bisnis mencatat bahwa, insentif untuk aktivitas konsumsi masih mendominasi struktur belanja pajak atau tax expenditure yang digelontorkan pemerintah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, proyeksi belanja pajak tercatat sebesar Rp563,6 triliun.

    Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2025, misalnya, proyeksi belanja pajak hanya ada di kisaran angka Rp530,3 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 6,27%.

    Adapun dalam RAPBN 2026, PPN dan PPnBM mendominasi proyeksi belanja perpajakan. Besarannya mencapai Rp371,9 triliun atau 65,9% dari total belanja perpajakan tahun depan. Pada 2025 pun porsi belanja pajak untuk PPN dan PPnBM terbesar yakni diproyeksikan Rp343,3 triliun atau 64,7%. Artinya ada kenaikan secara persentase.

    Hal itu sebagaimana 2021-2024 yakni belanja perpajakan untuk PPN dan PPnBM selalu memakan porsi terbesar yakni estimasi Rp169,9 triliun atau 57,9% pada 2021, Rp190,4 triliun atau 57,9% pada 2022, Rp208,2 triliun atau 57,8% pada 2023, dan Rp227,8 triliun atau 56,9% pada 2024. 

    Tren Berburu di Kebun Binatang 

    Pemicu tax gap lainnya selain dari kebijakan juga karena rendahnya kepatuhan formal wajib pajak. Tren rasio kepatuhan formal wajib pajak yang hanya di angka 71% menunjukkan bahwa tudingan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak masih berburu di kebun binatang bukan isapan jempol semata.

    Hal ini juga mengonfirmasi bahwa berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah melalui serangkaian reformasi pajak juga tidak sepernuhnya optimal. 

    Sekadar catatan, Direktorat Jenderal Pajak melaporkan terjadi penurunan kepatuhan formal penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) 2024 wajib pajak orang pribadi (WP OP).

    Setiap tahunnya, SPT Tahunan dilaporkan paling lambat pada 31 Maret untuk WP OP dan 30 April untuk WP Badan. Pada tahun lalu, realisasinya penyampaian SPT Tahunan 2023 mencapai 1.048.242 atau 1,04 juta untuk WP Badan (korporasi) dan 13.159.400 atau 13,15 juta untuk WP OP.

    Sementara pada tahun ini, realisasi penyampaian SPT Tahunan 2024 sebesar 1.053.360 atau 1,05 juta untuk WP Badan dan 12.999.861 atau 12,99 juta untuk WP OP.

    Artinya, ada penurunan penyampaian SPT Tahunan WP OP pada tahun ini sebesar 159.539 (-1,21%) dibandingkan tahun lalu. Padahal, penyampaian SPT Tahunan WP Badan pada tahun ini meningkat sebanyak 5.118 (+0,49%) dibandingkan tahun lalu.

    Kondisi Penerimaan 

    Adapun dengan capaian Rp990,01 triliun, realisasi setoran pajak sampai Juli 2025 itu masih di angka 47,2%. Padahal kalau mengacu kepada kinerja penerimaan pajak tahun-tahun sebelumnya, lazimnya sampai Juli realisasi setoran pajak sudah melebihi angka 50% dari target tahunan.

    Sekadar contoh, pada tahun Juli 2024 lalu realisasi penerimaan pajak mampu mencapai Rp1.045,3 triliun atau 52,56%. Begitupula pada bulan Juli 2023, penerimaan pajak bahkan sudah menembus angka 64,56% dan pada Juli 2022 tercatat sebesar 69,26% dari target.

    Selain persentase realisasi dengan target, pelemahan penerimaan pajak sejatinya juga dapat dilihat dari sisi pertumbuhannya. Pada juli 2025, penerimaan pajak masih terkontraksi cukup dalam. Angkanya minus 5,29% year on year, meskipun cenderung lebih baik dibandingkan dengan Juli tahun lalu yang terkontraksi sebesar 5,75%.

    Namun demikian, jika dibandingkan dengan Juli 2023 dan 2022 yang masing-masing mampu tumbuh di angka 7,84% dan 58,79%, angka itu jauh lebih buruk. Khusus tahun 2022 terjadi lonjakan signifikan karena pada Juli 2021, penerimaan pajak masih dibayang-bayangi pandemi Covid-19. Realisasi penerimannya pun hanya di angka Rp647,7 triliun.

    Adapun saat rapat di DPR pekan lalu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto mengungkap empat pemicu rendahnya penerimaan pajak pada Juli 2025.

    Pertama, dari pajak penghasilan (PPh) Badan sebesar Rp174,47 triliun atau setara 47,2% dari target APBN 2025. Realisasi PPh Badan itu turun 9,1% dari periode yang sama tahun lalu. Kedua, dari PPh Orang Pribadi sebesar Rp14,98 triliun atau setara 98,9% dari target APBN 2025. Realisasi PPh Orang Pribadi itu naik 37,7% dari periode yang sama tahun lalu.

    Ketiga, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar Rp350,62 triliun atau setara 37,1% dari target APBN 2025. Realisasi PPN dan PPnBM itu turun 12,8% dari periode yang sama tahun lalu. Keempat, pajak bumi bangunan (PBB) sebesar Rp12,53 triliun. Realisasi itu naik 129,7% dari periode yang sama tahun lalu.

    Apa Kata Pengamat? 

    Sementara itu pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan bahwa  semua kebijakan publik, termasuk kebijakan pajak, tidak terlepas dari rasionalitas yang mendasarinya termasuk kebijakan pajak yang dirumuskan oleh Menkeu saat ini.

    Prianto mencontohkan bahwa jika dPDB = C + I + G + (X – M), maka pertumbuhan PDB disokong oleh C = konsumsi dalam negeri (DN), I atau Investasi, G (pengeluaran pemerintah), dan  X – I atau ekspor – impor. 

    Berdasarkan empat komponen PDB di atas, PPh dan PPN secara matematis akan naik jika keempat komponen tsb tumbuh. Konsumsi naik, PPN naik dan laba diharapkan naik sehingga PPh badan tumbuh. Tenaga kerja juga tumbuh sehingga PPh 21 bisa naik.

    Begitu pula, ketika investasi meningkat, otomatis PPN dan PPh 21 seharusnya meningkat. Belanja pemerintah naik, PPN dan PPh badan juga naik Ekspor meningkat, maka laba diharapkan meningkat. “Makanya, PPh badan juga dapat meningkat,” kata Prianto.

    Kendati demikian, untuk memastikan hal itu optimal, otoritas pajak harus memperhatikan dan menjaga agar paradigma service and trust terus ditingkatkan. Dari sisi pelayanan, otoritas harus meningkatkan mutu pelayanan kepada semua WP. Sementara itu, dari sisi trust, pelayanan yang berkualitas diharapkan akan dapat meningkatkan trust (kepercayaan) WP. 

    “Pada gilirannya, voluntary compliance akan terus meningkat sehingga WP patuh dan membayar pajak secara sukarela,’ lanjutnya. 

    Selain itu, Prianto juga menyarankan supaya pemerintah meminimalkan paradigma cop and rob. Di satu sisi, otoritas pajak jangan berperan sebagai polisi (cop) yang menganggap WP sebagai rob (perampok). 

    “Kondisi cop and rob akan menumbuhkan enforced compliance sehingga WP terpaksa patuh karena dianggap perampok yang mengemplang atau menggelapkan pajak.”

  • Politik Tak Ada Kawan dan Lawan Abadi

    Politik Tak Ada Kawan dan Lawan Abadi

    GELORA.CO – – Presiden Prabowo Subianto telah melakukan perombakan Kabinet Merah Putih (KMP). Langkah ini dinilai sebagai upaya untuk mencari formula terbaik demi menyukseskan program pemerintahan periode 2024-2029.

    Pengamat politik Agus Widjajanto, menilai reshuffle kali ini merupakan konsekuensi dari dinamika politik di awal pemerintahan, ketika Prabowo harus mengakomodir berbagai kepentingan. Namun, sebagian menteri justru gagal menjawab ekspektasi publik dan menimbulkan keresahan.

    “Mungkin Presiden Prabowo sedang mencari formasi kabinet yang tepat, di mana awal dibentuk Presiden harus mengakomodir berbagai pihak yang berkepentingan, yang tentu jauh dari keinginan Prabowo sendiri,” kata Agus dalam keterangannya, Senin (22/9).

    Agus menyinggung soal anggapan perombakan kabinet sebagai upaya ‘bersih-bersih Geng Solo’. Ia menyerahkan sepenuhnya spekulasi itu kepada Presiden Prabowo. 

    “Yang pasti dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan politik yang berkuasa,” ujarnya.

    Namun, ia menekankan para menteri yang baru bergabung lebih berhati-hati dalam membuat pernyataan publik. Agus secara khusus menyinggung Menteri Keuangan (Menkeu) baru, Purbaya Yudhi Sadewa, agar tidak mudah mengeluarkan statemen yang menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat.

    “Sampaikan apapun yang akan dilaksanakan dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami masyarakat. Jangan gampang membuat statemen ke publik dengan bahasa yang kadang disalahtafsirkan, lebih baik fokus bekerja dan tunjukkan kinerja yang baik demi kesejahteraan rakyat,” jelasnya.

    Agus mencontohkan, polemik terkait kebijakan menggelontorkan dana Rp 200 triliun ke bank Himbara. Meski bertujuan mendorong ekonomi rakyat, kebijakan itu justru ditafsirkan berbeda oleh sebagian kalangan sehingga menimbulkan kegaduhan.

    Ia juga menyinggung apakah komposisi kabinet baru akan mampu mencapai target menuju Indonesia Emas 2045. Ia menilai hal itu sangat bergantung pada kebijakan yang diambil pemerintah. Apalagi, masyarakat terutama generasi Z semakin kritis terhadap kebijakan yang dianggap merugikan.

    Lebih lanjut, ia menekankan perlunya perbaikan sistem ketatanegaraan, termasuk mengembalikan fungsi MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dengan GBHN yang jelas, serta penegakan hukum yang bersih, adil, dan transparan.

    “Genjot lapangan kerja sebanyak-banyaknya, kurangi belanja APBN yang tidak perlu, arahkan pada program swasembada pangan agar pangan, sandang, papan murah. Kalau itu terwujud maka menuju Indonesia Emas bukan lagi keniscayaan,” pungkasnya

  • OPINI: Beban Utang Luar Negeri

    OPINI: Beban Utang Luar Negeri

    Bisnis.com, JAKARTA – Posisi Utang Luar Negeri Indonesia per Juli 2025 di laporkan menurun. Posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Juli 2025 tercatat sebesar US$432,5 miliar, menurun dibandingkan dengan posisi Juni 2025 sebesar US$434,1 miliar.

    Meski jumlah utang luar negeri turun, tetapi bukan berarti kita benar-benar aman dari tekanan utang luar negeri.

    Postur APBN Indonesia diakui atau tidak hingga kini masih terus tertekan karena dibebani utang luar negeri yang jatuh tempo dalam jumlah yang besar. Dalam rapat kerja Komisi X DPR dengan Menteri Keuangan baru Purbaya Yudhi Sadewa di Senayan tanggal 8 September 2025 lalu, sejumlah anggota DPR mengingatkan tentang bahaya resiko gagal bayar (default). Sebagai Menkeu, Purbaya diminta memikirkan skenario pengurangan utang luar negeri, terutama untuk mengurangi rasio utang terhadap PDB. Utang luar negeri yang terlampau besar, bukan tidak mungkin akan menyebabkan kondisi ekonomi nasional tidak sehat karena beban pembayaran utang dan cicilan utang yang terlampau besar.

    Ketergantungan terhadap utang yang terus terjadi dari tahun ke tahun, dikhawatirkan akan mendorong Indonesia terjerumus menanggung beban pembiayaan pembangunan yang tidak signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pergantian Menkeu adalah momentum untuk menakar ulang dan merumuskan strategi yang lebih efektif untuk melepaskan diri dari ketergantungan utang luar negeri. Mungkinkah?

    Menurut Bank Indonesia, secara tahunan, utang luar negeri Indonesia tumbuh 4,1% (YoY), melambat dibandingkan pertumbuhan 6,3% (YoY) pada Juni 2025. Perkembangan tersebut terutama bersumber dari perlambatan pertumbuhan utang luar negeri sektor publik. Sedangkan untuk utang luar negeri pemerintah pada Juli 2025 tercatat sebesar US$211,7 miliar, atau tumbuh sebesar 9,0% (YoY), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 10,0% (YoY) pada Juni 2025.

    Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan posisi pinjaman luar negeri dan surat utang pemerintah. Sebagai salah satu instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikelola secara cermat, terukur, dan akuntabel, pemanfaatan utang luar negeri terus diarahkan pemerintah untuk mendukung pembiayaan sektor produktif dalam menjaga momentum pertumbuhan perekonomian Indonesia.

    Posisi utang luar negeri pemerintah relatif terjaga karena didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total utang luar negeri pemerintah.

    Untuk utang luar negeri swasta per Juli 2025 tercatat stabil dibandingkan bulan sebelumnya pada kisaran 195,6 miliar dolar AS, atau mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,3% (YoY). Berdasarkan sektor ekonomi, pangsa utang luar negeri swasta terbesar berasal dari Sektor Industri Pengolahan; Jasa Keuangan dan Asuransi; Pengadaan Listrik dan Gas; serta Pertambangan & Penggalian, dengan pangsa mencapai 80,4% terhadap total utang luar negeri swasta.

    Pemerintah mengklaim bahwa struktur utang luar negeri Indonesia masih dalam kategori sehat. Tetapi, bukan berarti utang luar negeri Indonesia benar-benar aman. Saat ini, beban pembayaran utang dan bunga utang yang harus dibayar pemerintah sesungguhnya sudah mencapai Rp1.300 triliun. Pada 2025, pemerintah diperkirakan harus membayar bunga utang Rp552,1 triliun atau 16% dari total belanja negara. Padahal angka amannya di kisaran 10%. Selain itu, debt service ratio (DSR) atau rasio pembayaran utang terhadap penerimaan negara juga jauh di atas di batas aman 25%.

    Bagi Indonesia, kewajiban membayar utang pokok dan cicilan utang sesungguhnya adalah beban yang berat, terutama ketika sumber-sumber penerimaan APBN tidak tercapai sebagaimana diharapkan. Untuk membiayai delapan program prioritas pemerintah kita tahu dibutuhkan dana yang sangat besar, yakni sekitar Rp3.000 triliun. Ketika alokasi APBN yang diperuntukkan untuk membayar utang luar negeri besar, maka resikonya alokasi dana untuk program pembangunan menjadi tidak terlampau signifikan.

    Sejumlah risiko yang harus ditanggung Indonesia ketika utang luar negeri terlampau besar, antara lain adalah: Pertama, utang luar negeri yang besar dapat memengaruhi stabilitas moneter, sehingga bukan tidak mungkin akan meningkatkan risiko terjadinya inflasi dan depresiasi mata uang. Kedua, utang luar negeri yang terlampau besar, niscaya akan membuat posisi Indonesia lemah dan tergantung pada kreditur luar negeri. Pengalaman telah banyak membuktikan ketika kita terlalu tergantung pada utang luar negeri, maka langsung maupun tidak langsung akan mengurangi kemampuan Indonesia untuk mengambil ke putusan ekonomi yang independen. Ketiga, utang luar negeri yang besar menyebabkan beban pembayaran utang menjadi berat, sehingga mengurangi kemampuan negara untuk membiayai program-program pembangunan lainnya.

    Bagi Indonesia, kebutuhan membiayai pro-gram-program pembangunan yang gigantis, umumnya menyedot alokasi dana yang besar.

    ALTERNATIF

    Untuk memastikan agar beban utang luar negeri tidak makin berat, tentu yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelola utang dengan bijak sembari mencari jalan keluar dari ketergantungan akan utang. Selain mempertimbangkan kemampuan membayar dan memilih utang dengan suku bunga yang rendah dan jangka waktu yang panjang, yang tak kalah penting adalah bagaimana mencari alter-natif sumber pembiayaan di luar utang.

    Indonesia agar dapat lepas dari ketergantungan utang, tentu harus dapat meningkatkan pendapatan negara. Sumber-sumber pendapatan alternatif, seperti pajak, ekspor dan sumber daya alam jika dikelola dengan baik niscaya akan dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Di samping itu, satu hal yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan agar pengelolaan utang dan anggaran pembangunan benar-benar dilakukan secara transparan.

    Tanpa adanya transparansi dan kemampuan untuk mencari sumber pendanaan alternatif, jangan harap Indonesia mampu keluar dari beban utang luar negeri yang terus menghantu

  • Menkeu Purbaya Dianggap Terlalu Banyak Cawe-cawe

    Menkeu Purbaya Dianggap Terlalu Banyak Cawe-cawe

    GELORA.CO -Gaya komunikasi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dinilai terlalu sering cawe-cawe di berbagai isu publik. 

    “Sejak awal menjabat, publik justru disuguhi komentar yang berlebihan. Dari membandingkan kinerja ekonomi era SBY, Jokowi, hingga Prabowo, menyindir balik kritikan akademisi, sampai cawe-cawe soal laporan direksi BUMN di media. Padahal yang ditunggu rakyat adalah kerja nyata menjaga ekonomi, bukan polemik,” kata Direktur Nusantara Parameter Indeks (NPI) Murmahudi  Murmahudi dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi di Jakarta, Sabtu, 20 September 2025.

    Menurut dia, posisi Menteri Keuangan adalah kunci stabilitas fiskal negara. Terlalu reaktif menanggapi kritik publik hanya akan menguras energi dan mengalihkan fokus dari tugas utama.

    “Kalau setiap isu ditanggapi dengan komentar di media, kapan ada waktu merumuskan kebijakan fiskal yang kuat? Menkeu harus tunjukkan dulu hasil kerja. Adu argumen di ruang publik bukan prioritas, yang utama adalah kebijakan nyata untuk rakyat,” tegasnya.

    Murmahudi menilai Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dari pelemahan daya beli, ancaman perlambatan ekonomi global, defisit anggaran, hingga penerimaan negara yang harus dioptimalkan. Kondisi ini, kata dia, menuntut konsentrasi penuh dari Menkeu.

    “Menkeu merupakan ujung tombak pertahanan ekonomi nasional. Publik ingin kepastian bahwa APBN dikelola dengan hati-hati, subsidi tepat sasaran, dan fiskal tetap sehat. Jangan sampai energi habis untuk klarifikasi dan sindir-menyindir. Yang ditunggu publik langkah nyata, bukan drama,” pungkasnya.

  • Politik sepekan, Prabowo lantik Menkopolkam hingga ruang demo di DPR

    Politik sepekan, Prabowo lantik Menkopolkam hingga ruang demo di DPR

    Jakarta (ANTARA) – Berbagai peristiwa politik sepekan dari 15 hingga 21 September 2025 yang menjadi sorotan, di antaranya Presiden Prabowo Subianto melantik Djamari Chaniago sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) hingga Menteri HAM Natalius Pigai mengusulkan adanya ruang untuk demonstrasi di DPR.

    Berikut rangkuman ANTARA untuk berita politik sepekan yang menarik untuk kembali dibaca:

    Presiden Prabowo lantik Djamari Chaniago sebagai Menko Polkam

    Presiden Prabowo Subianto melantik Djamari Chaniago sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) definitif setelah jabatan itu diisi sementara waktu oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin.

    Djamari dilantik oleh Presiden Prabowo sebagai Menko Polkam yang baru bersama menteri dan wakil menteri lainnya, yang merupakan hasil dari perombakan (reshuffle) ke-3 Kabinet Merah Putih. Jajaran menteri dan wakil menteri lainnya yang juga dilantik oleh Presiden Prabowo hari ini, yaitu Erick Thohir sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Afriansyah Noor sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Rohmat Marzuki sebagai Wakil Menteri Kehutanan, Farida Farichah sebagai Wakil Menteri Koperasi, Angga Raka Prabowo sebagai Kepala Badan Komunikasi Pemerintah RI.

    Kebijakan itu ditetapkan oleh Presiden Prabowo dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 96P Tahun 2025 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Menteri dan Wakil Menteri Negara Kabinet Merah Putih Periode 2024—2029 pada 8 September 2025.

    Baca selengkapnya di sini.

    Akhmad Munir tetapkan susunan lengkap kepengurusan PWI Pusat 2025-2030

    Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Akhmad Munir yang baru terpilih dari hasil Kongres PWI 2025, menetapkan susunan lengkap kepengurusan PWI Pusat periode 2025-2030.

    Pria yang akrab disapa Cak Munir mengatakan kepengurusan tersebut sebagai “Kabinet Persatuan” yang diharapkan dapat membuat PWI semakin solid dan kompak untuk mengawal peran masyarakat pers di tengah tantangan disrupsi media.

    “Pengurus PWI akan hadir mendampingi seluruh anggota agar menjaga komitmen tersebut. Diharapkan dengan kepengurusan ini, PWI dapat turut membangun ekosistem pers nasional yang sehat, menghadirkan wartawan kompeten yang menyajikan informasi akurat dan benar,” kata Cak Munir dalam rapat koordinasi Pengurus PWI Pusat yang digelar di Hall Dewan Pers, Jakarta, Senin.

    Baca selengkapnya di sini.

    Komisi II minta Mendagri hentikan efisiensi transfer pusat ke daerah

    Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda minta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menghentikan kebijakan efisiensi suntikan atau transfer daerah dari Pemerintah Pusat.

    Pihaknya khawatir jika terus dilanjutkan maka pemerintah daerah tidak sanggup untuk menopang kebutuhan belanja daerahnya.

    “Kita harus menyadari bahwa ekonomi di daerah sangat tergantung pada APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah). Dan hampir 80 persen APBD kita tergantung pada APBN, transfer keuangan atau transfer pusat ke daerah,” ujar Rifqi dalam Rapat kerja Komisi II DPR RI dengan Mendagri di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin.

    Baca selengkapnya di sini.

    Mensesneg: Pejabat jangan salah gunakan sirine, hormati pengguna jalan

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, yang juga Juru Bicara Presiden RI, mengingatkan seluruh pejabat negara untuk tidak menyalahgunakan fasilitas sirine, serta menghormati pengguna jalan lainnya saat berkendara sendiri dengan mobil dinas ataupun dengan pengawalan voorijder.

    Prasetyo menyebut Kementerian Sekretariat Negara juga telah mengeluarkan surat edaran kepada seluruh pejabat negara untuk mengikuti aturan perundang-undangan mengenai fasilitas pengawalan dan penggunaan sirine, serta memperhatikan kepatutan terutama kepada pengguna jalan lainnya.

    “Kita (pejabat negara, red.) harus memperhatikan kepatutan, kemudian memperhatikan ketertiban masyarakat, pengguna jalan yang lain sehingga bukan berarti fasilitas tersebut (dengan) semena-mena atau semau-maunya. Itu terus yang kita dorong,” kata Prasetyo menjawab pertanyaan wartawan saat dia ditemui pada sela-sela kegiatannya di Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Jumat.

    Baca selengkapnya di sini.

    Menham: Ruang demonstrasi di halaman DPR langkah perkuat demokrasi

    Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menjelaskan gagasan penyediaan ruang demonstrasi di halaman gedung DPR RI merupakan langkah strategis untuk memperkuat praktik demokrasi substantif.

    Pigai dalam keterangan diterima di Jakarta, Senin, mengatakan demokrasi substantif yang ia maksud, yaitu ketika aspirasi masyarakat tersalurkan, ketertiban publik terjaga, dan simbol kedaulatan hadir di jantung parlemen.

    “Menyediakan ruang demonstrasi di halaman DPR adalah pilihan strategis yang perlu dipertimbangkan serius karena akan mempertemukan masyarakat dengan lembaga yang mewakili mereka,” ucapnya.

    Baca selengkapnya di sini.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Itu Sumbu dari Gejolak Sosial ke Depan

    Itu Sumbu dari Gejolak Sosial ke Depan

    GELORA.CO – Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut keputusan Presiden Prabowo Subianto yang ingin menaikkan gaji aparatur sipil negara (ASN) akan semakin memperburuk kesenjangan dengan pekerja informal.

    “Ya ini kan akan memperburuk ketimpangan sebenarnya, antara pegawai pemerintah dengan pekerja informal. Dan itu adalah sumbu dari adanya keretakan sosial atau gejolak sosial ke depan,” ujar Bhima kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (20/9/2025).

    Ia menilai, kenaikan gaji ASN di tengah efisiensi anggaran kurang tepat, dan menunjukkan pemerintah tidak memiliki kepekaan terhadap krisis serta empati.

    “Kenapa? Karena mereka PPh 21-nya juga sudah ditanggung oleh negara. Jadi fasilitas negara itu sudah terlalu banyak bagi ASN. Justru para pencari kerja, para orang yang kerja di sektor informal, ojol itu yang harusnya dinaikkan pendapatannya dengan APBN,” terangnya.

    Bhima menyebut bila APBN hanya berputar pada urusan belanja pegawai semata, maka artinya pemerintah tidak punya solusi dan salah dalam menerapkan kebijakan.

    “Sementara kalau dicek dari 2021-2026 atau 5 tahun terakhir, belanja pegawai itu sudah naik 49,7 persen bahkan melebihi dari belanja produktif, seperti belanja modal yang naiknya cuma 14,4 persen. Bahkan lebih tinggi daripada kenaikan subsidi non energi yang tumbuhnya cuma 7 persen di periode yang sama, perlindungan sosial itu -3,6 persen,” ungkap Bhima.

    Oleh karena itu, ia menegaskan pemerintah seharusnya menggunakan anggaran hasil penghematan belanja pegawai untuk melakukan stimulus ke UMKM. “Biar ada lapangan kerja di luar dari sektor pemerintahan,” jelasnya.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk menaikkan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN), terutama guru, tenaga kesehatan, dan penyuluh, dosen, TNI/Polri serta pejabat negara.

    Peraturan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025. Perpres ini ditandatangani Prabowo pada 30 Juni 2025 dan berlaku sejak diundangkan pada tanggal yang sama.

    Ketentuan tentang menaikkan gaji ASN dalam Perpres, termuat di bagian lampiran pada Program Hasil Terbaik Cepat dalam RKP Tahun 2025. Setidaknya ada 8 program hasil terbaik cepat dalam RKP Tahun 2025. Kenaikan gaji ASN itu tercantum di nomor 6 dari 8 program hasil terbaik cepat itu.

    “Menaikkan gaji ASN (terutama guru, dosen, tenaga kesehatan, dan penyuluh), TNI/Polri dan pejabat negara,” sebagaimana tertulis dalam Perpres Nomor 79 Tahun 2025.

    Selain menaikkan gaji ASN, lampiran Perpres 79/2025 juga akan memberlakukan peningkatan kesejahteraan ASN, melalui penerapan konsep total reward berbasis kinerja. Kebijakan ini sebagai upaya mendukung terwujudnya kesejahteraan ASN yang adil, layak, dan kompetitif yang akan tergambar dari aspek penggajian penghargaan, dan disiplin Indeks Sistem Merit menjadi 67 persen, serta aspek manajemen kinerja Indeks Sistem Merit menjadi 61 persen.

    “Untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan aparatur sipil negara melalui penerapan konsep total reward berbasis kinerja, aparatur sipil negara dapat dilaksanakan melalui penerapan manajemen penghargaan dan pengakuan bagi aparatur sipil negara, serta penerapan sistem manajemen kinerja aparatur sipil negara,” bunyi lampiran Perpres tersebut.