Topik: APBN

  • Kala Luhut ‘Sentil’ Purbaya soal Jangan Tarik Anggaran MBG

    Kala Luhut ‘Sentil’ Purbaya soal Jangan Tarik Anggaran MBG

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Pandjaitan berharap serapan anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) (MBG) semakin membaik sehingga Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa tidak perlu mengambilnya. 

    Luhut menyinggung pernyataan Purbaya membuka opsi relokasi anggaran apabila serapan MBG tak optimal.

    “Tadi kami pastikan juga bahwa penyerapan anggarannya sekarang kelihatan sangat membaik, sehingga Menteri Keuangan enggak perlu nanti ngambil-ngambil anggaran yang tidak terserap,” kata Luhut di Kantor DEN, Jakarta Pusat, Jumat (3/10/2025).

    Lebih lanjut, dia menyebut juga telah mengingatkan BGN mengenai potensi kenaikan biaya dana alias cost of fund apabila anggaran MBG tak kunjung terserap.

    Purnawirawan TNI ini menilai bahwa apabila anggaran tersebut terserap dengan baik, maka ekonomi di akar rumput akan turut bergerak, yang pada akhirnya berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

    “Karena pada dasarnya, seperti yang Menteri Keuangan sampaikan, kalau uang itu berputar di bawah itu kan menggerakkan ekonomi,” ujar Luhut.

    Pada kesempatan yang sama, Dadan menyampaikan bahwa serapan anggaran MBG per 3 Oktober 2025 mencapai Rp21,64 triliun.

    Jumlah tersebut disebutnya setara dengan 34% dari pagu anggaran MBG di APBN 2025 yang sebesar Rp71 triliun, dan diterima oleh lebih dari sepertiga penerima manfaat.

    “Jadi sudah 37% menerima manfaat, menerima manfaat makan bergizinya dalam waktu sembilan bulan,” ujar Dadan.

    Sebelumnya, ketika ditemui di DPR RI pada Rabu (1/10/2025), Kepala BGN Dadan Hindayana menyampaikan proyeksi percepatan serapan anggaran tersebut sejalan dengan pembangunan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang terus berlangsung di seluruh daerah. Menurutnya, setiap satu SPPG berdiri, maka dapur tersebut akan menambah serapan anggaran sebesar Rp900 juta hingga Rp1 miliar.

    BGN juga telah mendapatkan lampu hijau dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menerima tambahan anggaran program MBG sebesar Rp28 triliun.

    Dengan demikian, dari jumlah pagu anggaran tahun 2025 sebesar Rp71 triliun dan tambahan Rp28 triliun tersebut, BGN menyebut akan menyerap Rp99 triliun pada akhir 2025.

    “Di akhir tahun itu kita akan menyerap kurang lebih Rp99 triliun. Itu dari APBN,” ucapnya di Kompleks Parlemen Senayan.

  • Kenaikan Cukai Rokok jadi Penyebab PHK Puluhan Ribu Buruh – Page 3

    Kenaikan Cukai Rokok jadi Penyebab PHK Puluhan Ribu Buruh – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Cukai hasil tembakau (CHT) tercatat naik signifikan dalam 5 tahun terakhir. Kenaikan cukai rokok ini bahkan jadi salah satu penyebab pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri hasil tembakau (IHT).

    Pemerhati Kebijakan Ekosistem Tembakau Indonesia, Hananto Wibisono menyampaikan sejak 2020, cukai rokok baik 10-12 persen per tahun. Memang sumbangan ke negara agak bertambah, tetapi di sisi lain, ada PHK yang tak terbendung. Puluhan ribu buruh sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) kena imbasnya.

    “Ratusan UKM di Jawa Tengah dan Jawa Timur terpaksa tutup, akibat beban cukai yang tinggi. Pada periode ini, forum pekerja mencatat efisiensi di pabrik SKM/SPM sejak Januari 2025, berkontribusi 20.000-30.000 PHK,” kata Hananto, dihubungi Liputan.com, Sabtu (4/10/2025).

    Pada saat yang sama, produksi rokok juga turun 3-5 persen dan biaya produksi meningkat 15-20 persen. Atas hal ini, UKM sektor IHT suli bersaing dengan produk-produk ilegal yang semakin marak.

    “Kondisi ini mengancam mata pencaharian sekitar 2 juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh yang selama tiga tahun terakhir menghadapi ketidakpastian pendapatan,” tuturnya.

    Dalam catatannya, cukai rokok menyumbang rata-rata 10-13 persen dari total penerimaan pajak dalam APBN. Pangsa pasar SKT yang naik dari 17,6 persen pada 2017 menjadi 20,5 persen pada 2021 disertai kenaikan jumlah pekerja di sektor ini sebanyak lebih dari 72 ribu orang, mencapai 230.919 pekerja, di mana 80 persen berasal dari SKT.

  • Komisi XI minta Purbaya tak berpolemik dengan Bahlil soal elpiji 3 kg

    Komisi XI minta Purbaya tak berpolemik dengan Bahlil soal elpiji 3 kg

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) agar fokus memperbaiki tata kelola pembayaran subsidi dan kompensasi dalam APBN.

    Menurut dia, semestinya kementerian yang kini dipimpin Menteri Purbaya Yudhi Sadewa itu tidak terjebak dalam polemik hal-hal teknis.

    “Realisasi pembayarannya kerap terlambat, membebani arus kas, bahkan berpotensi mengganggu pelayanan publik. Ini yang seharusnya segera diperbaiki Menteri Keuangan,” kata Misbakhun dalam keterangan diterima di Jakarta, Jumat (3/10) malam.

    Pernyataan Misbakhun itu sebagai respons untuk Menkeu Purbaya yang berpolemik dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia soal data subsidi dan harga elpiji (LPG) kemasan 3 kilogram.

    Legislator Partai Golkar itu menyatakan selama bertahun-tahun hingga kini ada masalah klasik yang selalu muncul, terutama pada subsidi energi, seperti elpiji 3 kilogram, bahan bakar minyak (BBM), dan listrik.

    Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu menyatakan tugas utama menteri keuangan sebagai bendahara umum negara ialah memastikan pembayaran subsidi berjalan tepat waktu, transparan, dan akuntabel.

    Adapun, soal aspek teknis seperti penetapan harga maupun distribusi subsidi, ucap dia, merupakan kewenangan kementerian teknis, yakni Kementerian ESDM dan Kementerian Sosial.

    “Peraturan perundang-undangan sudah jelas membagi kewenangan itu. Jadi, pernyataan Menkeu yang keluar dari ranahnya justru berpotensi menimbulkan gangguan koordinasi antarkementerian,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Misbakhun menyatakan hakikat subsidi ialah menjaga daya beli rakyat kecil dan memastikan kelompok rentan mendapat akses energi dengan harga terjangkau. Oleh karena itu, katanya, polemik antar kementerian tidak boleh menutupi tujuan utama kebijakan subsidi.

    “Jika distribusi subsidi elpiji 3 kilogram atau subsidi energi lain tidak tepat sasaran, yang paling dirugikan adalah masyarakat kelas bawah. Yang diperlukan sekarang adalah perbaikan basis data penerima manfaat, integrasi sistem digital, dan sinergi antar kementerian, bukan perdebatan terbuka di ruang publik,” ujarnya.

    Misbakhun juga menyatakan bahwa basis data penerima manfaat subsidi energi akan masuk ke dalam Data Terpadu Subsidi Energi Nasional (DTSEN) yang merupakan hasil kerja sama Kementerian ESDM dan Badan Pusat Statistik (BPS).

    Menurut dia, yang dibutuhkan saat ini adalah penguatan koordinasi dan pemutakhiran data secara konsisten.

    Ia menuturkan belanja subsidi dan kompensasi energi dalam APBN 2026 diproyeksikan meningkat seiring ketidakpastian harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah.

    Misbakhun pun mewanti-wanti soal pentingnya disiplin fiskal dan tata kelola lebih baik yang akan sangat menentukan kredibilitas APBN dan kepercayaan publik.

    “Komisi XI DPR RI mendukung kebijakan subsidi untuk rakyat, tetapi tetap mengawasi agar APBN dijalankan tertib, efisien, dan berpihak pada masyarakat. Menteri Keuangan harus menjawab tantangan ini dengan memastikan mekanisme pembayaran subsidi tepat waktu dan akuntabel,” ujar Misbakhun.

    Sebelumnya, Menkeu Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada Selasa (30/9) menyebut harga asli elpiji 3 kg senilai Rp42.750 per tabung. Menurut dia, pemerintah menanggung subsidi sebesar Rp30.000 per tabung sehingga masyarakat hanya perlu membayar Rp12.750 per tabung.

    Namun, Menteri ESDM Bahlil menilai Purbaya salah membaca data. Bahlil menganggap Purbaya sebagai Menteri Keuangan baru butuh penyesuaian.

    “Itu mungkin Menkeu-nya salah baca data itu. Ya mungkin butuh penyesuaian,” ujar Bahlil di Gedung BPH Migas, Jakarta, Kamis (2/10).

    Pewarta: Benardy Ferdiansyah
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ada Andil Efisiensi pada Realisasi Belanja Kementerian/Lembaga yang Baru 55% Jelang Akhir 2025

    Ada Andil Efisiensi pada Realisasi Belanja Kementerian/Lembaga yang Baru 55% Jelang Akhir 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut efisiensi belanja pemerintah pada awal 2025 turut memengaruhi laju penyerapan anggaran pemerintah pusat khususnya kementerian/lembaga yang baru sekitar 55% sampai dengan akhir kuartal III/2025. 

    Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu, Astera Primanto Bhakti memaparkan bahwa belanja pemerintah pusat sampai dengan data terbaru pekan ini baru mencapai 65%. Secara terperinci, belanja kementerian/lembaga masih berada di posisi Rp815 triliun dari anggaran Rp1.481,7 triliun atau sekitar 55%. 

    Belanja paling banyak adalah dari belanja pegawai yang sudah terserap 77%, belanja bantuan sosial 72% serta barang dan modal di kisaran 45%. 

    Prima, sapaannya, realisasi belanja pemerintah seperti saat ini sebenarnya adalah hal yang berjalan secara reguler. Setiap kementerian/lembaga memiliki kecepatan yang berbeda-beda dalam menyerap anggarannya. 

    Pada tahun ini, Prima menyebut siklus penyerapan anggaran terkategorikan istimewa karena ada efisiensi belanja pada Februari 2025, sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025. 

    “Jadi, semua K/L harus melakukan adjustment [penyesuaian] lagi. Jadi, ini kalau istimewa nih 2025. Nah, setelah itu dilakukan adjustment, mereka melakukan perencanaan lagi. Mana yang prioritas, mana yang enggak prioritas. Sehingga ini juga schedule-nya jadi agak mundur,” ujarnya kepada wartawan di kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (3/10/2025). 

    Meski serapan anggaran belum mencapai 60% memasuki kuartal akhir 2025, Prima optimistis belanja bisa diselesaikan sesuai target seperti tahun-tahun sebelumnya. 

    Prima menyebut setidaknya ada 12 kementerian/lembaga yang memiliki anggaran besar dan mencakup hingga 80% total belanja kementerian/lembaga. 

    Sejalan dengan hal tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa juga telah membuka peluang untuk menyisir anggaran kementerian/lembaga dengan anggaran besar namun belum optimal diserap hingga akhir bulan ini. 

    Prima menjelaskan bahwa berdasarkan siklusnya, sekitar 38% anggaran belanja negara baru dibelanjakan sekitar tiga bulan terakhir tahun anggaran. Artinya, 38% belanja baru diserap pada Oktober, November dan Desember hampir setiap tahunnya. 

    Menurut pejabat eselon I Kemenkeu itu, tantangan belanja negara pada tahun ini salah satunya adalah adanya kementerian/lembaga yang baru. Institusi baru di pemerintahan ini harus mulai menyusun organisasinya, serta menyusun anggaran dan lain-lain. 

    “Tapi kalau kita lihat dari angka, sekarang kita sudah bisa 55% untuk belanja K/L-nya. Ini saya rasa ini adalah suatu capaian yang membuat kita cukup optimis ya untuk kita bisa menyelesaikan tahun 2025 ini dengan sesuai harapan,” jelasnya. 

    Apabila dibandingkan dengan realisasi APBN per Agustus 2025, realisasi belanja negara sudah Rp1.388,8 triliun. Perinciannya yakni belanja K/L Rp686 triliun serta non K/L Rp702,8 triliun. 

  • Ketua Komisi XI DPR Sentil Purbaya yang Komentari Harga LPG 3 Kg
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 Oktober 2025

    Ketua Komisi XI DPR Sentil Purbaya yang Komentari Harga LPG 3 Kg Nasional 3 Oktober 2025

    Ketua Komisi XI DPR Sentil Purbaya yang Komentari Harga LPG 3 Kg
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ketua Komisi XI DPR RI Muhammad Misbakhun mengingatkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa agar tidak memberikan pernyataan di luar ranahnya sebagai bendahara negara.
    Peringata ini disampaikan Misbakhun setelah Purbaya mengomentari subsidi LPG 3 kilogram yang membuat hubungannya dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menghangat.
    “Peraturan perundang-undangan sudah jelas membagi kewenangan itu. Jadi, pernyataan Menkeu yang keluar dari ranahnya justru berpotensi menimbulkan gangguan koordinasi antarkementerian,” kata Misbakhun dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Jumat (3/10/2025).
    Misbakhun mengatakan, tugas Purbaya selaku bendahara negara semestinya memastikan bagaimana subsidi dibayar tepat waktu, transparan, dan akuntabel
    Politikus Partai Golkar itu mengingatkan Purbaya untuk fokus membenahi tata kelola pembayaran subsidi pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
    Misbakhun meminta Purbaya tidak berpolemik pada persoalan teknis penyaluran subsidi yang memang telah menjadi masalah klasik seperti bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan LPG 3 kilogram.
    Menurut dia, persoalan penentuan harga dan distribusi subsidi menjadi kewenangan kementerian teknis, yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Sosial.
    “Realisasi pembayarannya kerap terlambat, membebani arus kas, bahkan berpotensi mengganggu pelayanan publik. Ini yang seharusnya segera diperbaiki Menteri Keuangan,” ujar Misbakhun.
    Misbakhun mengatakan, inti dari pemberian subsidi dari negara adalah menjaga daya beli masyarakat miskin dan menjamin akses energi yang terjangkau bagi kelompok rentan.
    Ia mewanti-wanti, polemik antarkementerian tidak boleh mengganggu kucuran subsidi dari negara.
    Pasalnya, jika distribusi subsidi LPG 3 kilogram tidak tepat sasaran, masyarakat kelas bawah menjadi pihak yang paling dirugikan.
    Lebih lanjut, Misbakhun menjelaskan, masyarakat yang berhak menerima subsidi energi tercatat dalam Data Terpadu Subsidi Energi Nasional (DTSEN), hasil kerja sama Kementerian ESDM dengan Badan Pusat Statistik (BPS).
    Oleh karena itu, saat ini yang perlu dilakukan adalah pemutakhiran data penerima subsidi dan koordinasi.
    “Yang diperlukan sekarang adalah perbaikan basis data penerima manfaat, integrasi sistem digital, dan sinergi antarkementerian, bukan perdebatan terbuka di ruang publik,” tutur Misbakhun.
    Sebelumnya, Purbaya dan Bahlil saling melempar komentar mengenai subsidi pemerintah terhadap gas LPG 3 kg.
    Mulanya, Purbaya menyebut harga asli LPG 3 kg sebesar Rp 42.750 per tabung, kemudian pemerintah menanggung subsidi sebesar Rp 30.000 per tabung agar masyarakat hanya perlu membayar Rp 12.750 per tabung.
    Pernyataan itu disampaikan Purbaya dalam rapat di Komisi XI DPR RI pada Selasa (30/9/2025).
    Bahlil kemudian mengkritik Purbaya yang salah membaca data dan masih memerlukan penyesuaian karena belum lama menjabat sebagai Menteri Keuangan.
    “Itu mungkin Menkeu-nya salah baca data itu. Ya mungkin butuh penyesuaian. Saya enggak boleh tanggapi sesuatu yang selalu ini ya. Saya kan sudah banyak ngomong tentang LPG. Mungkin Menkeu-nya belum dikasih masukan oleh dirjennya dengan baik atau oleh timnya,” ujarnya di Kantor BPH Migas, Jakarta, Kamis (2/10/2025).
    Pernyataan Bahlil ini dilantas direspons Purbaya dengan menyebut ada perbedaan cara antara dia dan Bahlil dalam memandang sebuah data.
    “Saya sedang pelajari. Kita pelajari lagi. Mungkin Pak Bahlil betul, tapi kita lihat lagi seperti apa. Yang jelas saya dapat angka dari hitungan staf saya,” ujarnya di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (3/10/2025).
    Menurut dia, perbedaan angka dapat terjadi karena masing-masing kementerian memiliki hitungan yang berbeda, bukan berarti Kemenkeu menambah-nambahkan sendiri harga asli LPG 3 kg.
    “Saya salah data? Mungkin cara ngeliat datanya beda. Kan hitung-hitungan kan kadang-kadang kalau dari praktik sama dari akuntan kan kadang-kadang beda cara nulisnya,” ucap Purbaya.
    “Saya yakin pada akhirnya besarannya sama juga kok. Uangnya segitu-segitu saja. Kalau salah hitung bisa nambah duit, saya salah hitung terus biar uang nambah. Tapi harusnya sama pada akhirnya,” imbuh dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketua Komisi XI DPR Sentil Purbaya yang Komentari Harga LPG 3 Kg
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 Oktober 2025

    Misbakhun Minta Menkeu Purbaya Fokus Benahi Tata Kelola Pembayaran Subsidi, Bukan Berpolemik Soal Teknis Nasional 3 Oktober 2025

    Misbakhun Minta Menkeu Purbaya Fokus Benahi Tata Kelola Pembayaran Subsidi, Bukan Berpolemik Soal Teknis
    Penulis
    KOMPAS
    .
    com
    – Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun menegaskan bahwa Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya harus fokus memperbaiki tata kelola pembayaran subsidi dan kompensasi dalam anggaran pendapatan belanja negara (APBN), bukan terjebak dalam polemik teknis.
    “Selama bertahun-tahun masalah klasik ini selalu muncul, terutama pada subsidi energi, seperti BBM, listrik, dan LPG 3 kilogram (kg). Realisasi pembayarannya kerap terlambat, membebani arus kas, bahkan berpotensi mengganggu pelayanan publik. Ini yang seharusnya segera diperbaiki Menteri Keuangan (Purbayan),” kata Misbakhun dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (3/10/2025).
    Ia menilai, aspek teknis seperti penetapan harga maupun distribusi subsidi merupakan kewenangan kementerian teknis, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Sosial.
    Sebaliknya, kata Misbakhun, tugas utama Menkeu adalah memastikan pembayaran subsidi berjalan tepat waktu, transparan, dan akuntabel sebagai bendahara umum negara.
    “Peraturan perundang-undangan sudah jelas membagi kewenangan itu. Jadi, pernyataan Menkeu yang keluar dari ranahnya justru berpotensi menimbulkan gangguan koordinasi antarkementerian,” ujarnya.
    Politisi Partai Golkar ini menekankan, hakikat subsidi adalah menjaga daya beli rakyat kecil dan memastikan kelompok rentan mendapat akses energi dengan harga terjangkau. Karena itu, polemik antarkementerian tidak boleh menutupi tujuan utama kebijakan subsidi.
    “Jika distribusi subsidi LPG 3 kg atau subsidi energi lain tidak tepat sasaran, yang paling dirugikan adalah masyarakat kelas bawah. Yang diperlukan sekarang adalah perbaikan basis data penerima manfaat, integrasi sistem digital, dan sinergi antar kementerian, bukan perdebatan terbuka di ruang publik,” imbuhnya.
    Misbakhun juga menegaskan bahwa basis data penerima manfaat subsidi energi akan masuk ke dalam Data Terpadu Subsidi Energi Nasional (DTSEN), yang merupakan hasil kerja sama Kementerian ESDM dengan Badan Pusat Statistik (BPS).
    Karena itu, menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah penguatan koordinasi dan pemutakhiran data secara konsisten.
    Lebih lanjut, Misbakhun mengingatkan bahwa dalam APBN 2026 belanja subsidi dan kompensasi energi diproyeksikan meningkat seiring ketidakpastian harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah.
    Oleh sebab itu, menurutnya, disiplin fiskal dan tata kelola yang lebih baik akan sangat menentukan kredibilitas APBN dan kepercayaan publik.
    “Komisi XI DPR RI mendukung kebijakan subsidi untuk rakyat. Namun tetap mengawasi agar APBN dijalankan tertib, efisien, dan berpihak pada masyarakat. Menkeu harus menjawab tantangan ini dengan memastikan mekanisme pembayaran subsidi tepat waktu dan akuntabel,” ujar Misbakhun. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kemenkeu minta pemda akselerasi belanja untuk atasi dana mengendap

    Kemenkeu minta pemda akselerasi belanja untuk atasi dana mengendap

    Ini menjadi tantangan bagi daerah, bagaimana mereka mempercepat itu (belanja) sehingga saldo kasnya bisa lebih baik

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Keuangan meminta pemerintah daerah mengakselerasi penyaluran belanja sehingga dana yang mengendap di bank dapat memberikan stimulus bagi perekonomian daerah.

    “Ini menjadi tantangan bagi daerah, bagaimana mereka mempercepat itu (belanja) sehingga saldo kasnya bisa lebih baik, tidak kelihatan tinggi,” kata Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti dalam taklimat media di Jakarta, Jumat.

    Berdasarkan data Kemenkeu, dana pemda di perbankan tercatat mencapai Rp233,11 triliun per 31 Agustus 2025. Angka itu menjadi yang tertinggi sejak 2021, di mana umumnya dana mengendap berada pada kisaran Rp178 triliun hingga Rp203 triliun.

    Menurut Astera, dana mengendap itu umumnya disebabkan oleh kendala perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    Desain anggaran biasanya disusun pada September-Oktober sebelum tahun anggaran, yang kemudian diikuti oleh proses pengadaan dan kontrak.

    Namun, melihat tren historis, kontrak cenderung baru mulai berjalan sekitar bulan April dan realisasi belanja baru terakselerasi pada tiga bulan terakhir tahun berjalan.

    Dengan siklus seperti itu, dana yang sudah ditransfer cenderung tertahan di bank pembangunan daerah (BPD).

    Bila dana tahun sebelumnya serta dana transfer baru terkumpul tanpa diiringi penyaluran belanja, saldo dana daerah di bank makin tinggi.

    Kendati begitu, Astera menyebut nilai dana mengendap pemda di bank cenderung menurun pada akhir tahun, menjadi kisaran Rp95 triliun hingga Rp100 triliun.

    “Walaupun kami tetap tidak menutup mata, karena ada daerah-daerah yang tidak bisa membelanjakan dengan optimal,” tuturnya.

    Sebagai catatan, sebaran dana pemda di perbankan berdasarkan wilayah per Agustus 2025 rinciannya yaitu Jawa (119 pemda) Rp84,77 triliun atau memakan porsi 36,37 persen; Kalimantan (61 pemda) Rp51,34 triliun atau 22,03 persen; Sumatera (164 pemda) Rp43,63 triliun atau 18,71 persen.

    Selanjutnya Sulawesi (87 pemda) Rp19,27 triliun atau 8,27 persen; Maluku dan Papua (67 pemda) Rp17,34 triliun atau 7,44 persen; serta Bali dan Nusa Tenggara (44 pemda) Rp16,75 triliun atau 7,19 persen.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kemenkeu sebut belanja K/L 2025 lambat karena banyaknya penyesuaian

    Kemenkeu sebut belanja K/L 2025 lambat karena banyaknya penyesuaian

    Mereka melakukan perencanaan lagi, mana yang prioritas dan tidak, sehingga ini jadwal juga jadi agak mundur

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Keuangan menyebutkan lambatnya belanja kementerian/lembaga (K/L) pada tahun anggaran 2025 disebabkan oleh banyaknya penyesuaian.

    “Tahun 2025 ini istimewa,” kata Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti dalam taklimat media di Jakarta, Jumat.

    Menurut dia, penyaluran belanja K/L secara umum tetap berjalan secara reguler, meski kecepatan penyaluran tiap K/L berbeda sehingga terlihat adanya gap.

    Namun, untuk tahun ini, terdapat beberapa anomali yang berbeda dengan tahun anggaran lainnya.

    Sebagai contoh, Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sudah diumumkan sejak November 2024 dan aturan pelaksanaannya terbit pada Januari 2025.

    Namun, muncul kebijakan efisiensi anggaran pada Februari 2025, yang membuat K/L perlu menyesuaikan kembali anggaran masing-masing instansi.

    “Mereka melakukan perencanaan lagi, mana yang prioritas dan tidak, sehingga ini jadwal juga jadi agak mundur,” jelasnya.

    Di sisi lain, bertambahnya jumlah K/L serta tantangan geopolitik dan perekonomian global juga menambah tantangan belanja K/L pada tahun ini.

    Meski begitu, Astera optimistis K/L mampu menyerap anggaran dengan maksimal pada akhir tahun nanti.

    Optimisme itu berangkat dari tren realisasi belanja K/L yang sebagiannya menunjukkan progres positif.

    Kemenkeu mencatat terdapat 12 K/L besar yang melaporkan progres realisasi belanja mencapai 80 persen. Namun, dia tidak merinci detail K/L yang dimaksud.

    “Kami cukup optimistis untuk bisa menyelesaikan belanja K/L tahun ini, kurang lebih mirip sama modus di tahun-tahun sebelumnya,” tutur Astera.

    Sebagai catatan, belanja K/L tercatat sebesar Rp686 triliun per 31 Agustus 2025, setara 53,8 persen dari outlook APBN senilai Rp1.275,6 triliun.

    Namun, nilai realisasi itu terkoreksi 2,5 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp703,3 triliun.

    Sementara itu, belanja non-K/L terakselerasi sebesar 5,6 persen dengan realisasi Rp702,8 triliun atau 50,6 persen dari outlook.

    Sedangkan realisasi transfer ke daerah (TKD) tercatat sebesar Rp571,5 triliun atau 66,1 persen dari outlook. Realisasi ini tumbuh sebesar 1,7 persen.

    Dengan demikian, belanja pemerintah pusat (BPP) mencapai Rp1.388,8 triliun atau setara 52,1 persen dari outlook, tumbuh 1,5 persen.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Eddy Soeparno Konsisten Dorong Alihkan Subsidi LPG 3 Kg Jadi Subsidi Uang

    Eddy Soeparno Konsisten Dorong Alihkan Subsidi LPG 3 Kg Jadi Subsidi Uang

    Jakarta

    Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno menyampaikan pentingnya integrasi data acuan. Hal ini dia nilai untuk memastikan subsidi energi tepat sasaran kepada mereka yang berhak.

    Diketahui, pernyataan Eddy merupakan tanggapan atas data subsidi energi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk LPG 3kg dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, sementara Menteri Bahlil menilai data yang disampaikan Purbaya kurang akurat.

    “Saya meyakini baik Menteri Keuangan maupun Menteri ESDM ingin agar subsidi energi tepat sasaran kepada mereka yang berhak. Karena itu kami mendorong agar data penerima subsidi LPG maupun subsidi BBM terintegrasi dan menjadi acuan bersama. Dengan data acuan yang sama ini diharapkan tidak ada lagi subsidi salah sasaran,” Kata Eddy saat berdialog dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama di Cianjur dalam keterangan tertulis, Jumat, (3/10/2023).

    “Dengan begitu data yang dipakai Kementerian Keuangan maupun Kementerian ESDM dan kementerian lainnya yang berkaitan dengan penyaluran subsidi selalu sama,” lanjutnya.

    Eddy menjelaskan pada awalnya produk LPG 3 kg ini telah menjadi kebutuhan esensi hampir setiap rumah tangga di Indonesia yang ditujukan untuk masyarakat miskin atau pra-sejahtera.

    Selain integrasi data penerima subsidi, Eddy juga konsisten untuk terus mendorong pengalihan subsidi barang menjadi subsidi uang yang diterima langsung oleh masyarakat penerima.

    “Sejak awal masalah subsidi energi ini menjadi diskusi publik, saya sudah sampaikan bahwa lebih baik jika subsidi barang ini dialihkan menjadi subsidi uang yang diberikan langsung kepada penerima masyarakat miskin dan tidak mampu,” ungkap Eddy.

    “Ini sebagai gambaran saja. Misalnya jika subsidi pemerintah di dalam satu tabung LPG 3 kg adalah Rp 33.000 dan setiap kepala keluarga diasumsikan menggunakan 3 tabung per bulannya, maka sang penerima subsidi akan mendapatkan Rp 99.000 secara tunai dari pemerintah dan dikirim langsung pada penerima,”

    “Jika mekanisme ini berjalan, hanya akan ada satu harga LPG 3 kg di pasaran yang merupakan harga eceran tetap sesuai ketetapan regulator dan Pertamina,” lanjutnya.

    Eddy menjelaskan gagasannya untuk memberikan subsidi langsung dalam bentuk uang kepada masyarakat akan tetap mengedepankan asas keadilan bagi masyarakat sekaligus bagian dari upaya meringankan beban APBN.

    “Pilar utama pembiayaan negara selain meningkatkan pendapatan adalah dengan melakukan penghematan anggaran. Di antara yang bisa dilakukan untuk menghemat anggaran adalah memastikan subsidi diberikan tepat sasaran hanya kepada mereka yang berhak yakni saudara-saudara kita yang miskin dan tidak mampu. Ini penting sebagai implementasi asas keadilan,” tutup Eddy.

    (akn/ega)

  • Kepala Otorita lapor Istana perkembangan IKN jadi ibu kota politik

    Kepala Otorita lapor Istana perkembangan IKN jadi ibu kota politik

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Basuki Hadimuljono menyambangi Kompleks Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Jumat, melaporkan perkembangan pembangunan IKN sebagai ibu kota politik kepada dua wakil menteri sekretariat negara, Juri Ardiantoro dan Bambang Eko Suharyanto.

    Basuki, selepas pertemuan itu, menjelaskan dirinya melaporkan status dan perkembangan pembangunan Ibu Kota Nusantara, terutama setelah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025.

    “Pada kesempatan ini, saya melaporkan status dan progress pembangunan Ibu Kota Nusantara pascaterbitnya Perpres 79/2025, sekaligus menyampaikan rencana program 2026—2028 yang difokuskan pada penyelesaian kawasan legislatif dan yudikatif sesuai arahan Bapak Presiden Prabowo Subianto,” kata Basuki di Jakarta, Jumat.

    Basuki melanjutkan dirinya optimistis IKN dapat segera menjadi ibu kota politik yang modern dan inklusif.

    “Dengan koordinasi erat bersama Kementerian Sekretariat Negara, kami optimistis Nusantara dapat dipersiapkan sebagai Ibu Kota Politik Indonesia yang modern, inklusif, dan siap menjalankan sistem pemerintahan yang lengkap pada 2028,” kata Kepala OIKN Basuki Hadimuljono.

    Presiden Prabowo Subianto menargetkan IKN beroperasi sebagai ibu kota politik pada tahun 2028 sebagaimana termuat dalam Perpres Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025. Dalam Perpres No. 79/2025 disebutkan: “Perencanaan dan pembangunan kawasan, serta pemindahan ke Ibu Kota Nusantara dilaksanakan sebagai upaya mendukung terwujudnya Ibu Kota Nusantara menjadi Ibu Kota Politik pada tahun 2028”.

    IKN dapat menjalankan fungsinya sebagai ibu kota politik manakala seluruh kompleks pembangunan tiga lembaga negara, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif rampung dan dapat mendukung operasional masing-masing lembaga.

    Presiden Prabowo Subianto, dalam rapat bersama sejumlah jajarannya termasuk Kepala Otorita IKN (OIKN) Basuki Hadimuljono di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan RI, pada 21 Januari 2025, telah memasang target IKN beroperasi sebagai ibu kota politik pada tahun 2028. Dalam rapat yang sama, Presiden juga telah menyetujui pembangunan tahap kedua IKN yang berlangsung pada 2025–2029. Kemudian, Presiden Prabowo juga menyetujui anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan tersebut sebesar Rp48,8 triliun.

    Kepala OIKN, selepas rapat, menjelaskan pembangunan tahap dua itu tak hanya mencakup ekosistem untuk legislatif dan yudikatif, tetapi juga ekosistem pendukung, dan akses menuju IKN.

    “(Itu semua, red.) termasuk juga dalam Rp48,8 triliun ini, adalah untuk memelihara, untuk mengelola prasarana, dan sarana yang sudah diselesaikan pada tahap awal. Jadi, dari Kementerian PU, Kementerian Perumahan, menyerahkan untuk OIKN untuk kami mengelola dan kami pelihara. Itu dari APBN,” kata Basuki Hadimuljono.

    Pewarta: Genta Tenri Mawangi
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.