Topik: APBN

  • Cukai Minuman Manis Ditahan, Purbaya Tunggu Ekonomi Tumbuh 6 Persen

    Cukai Minuman Manis Ditahan, Purbaya Tunggu Ekonomi Tumbuh 6 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) belum akan diberlakukan dalam waktu dekat. Pemerintah baru akan mengaktifkan kebijakan ini apabila perekonomian masyarakat dinilai cukup kuat menanggung dampaknya.

    Purbaya menyampaikan, pertumbuhan ekonomi harus terlebih dahulu mencapai di atas 6 persen sebelum cukai MBDK diterapkan.

    “Memang kami belum akan menjalankannya. Kami akan jalankan dan mulai memikirkannya ketika ekonomi sudah dalam keadaan lebih baik dari sekarang,” ujar Purbaya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/12/2025).

    Ia menjelaskan, kondisi ekonomi saat ini belum ideal untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Menurutnya, penerapan cukai MBDK dikhawatirkan justru membebani pelaku usaha dan masyarakat apabila dilakukan terlalu cepat.

    “Saya pikir kalau ekonomi ada tumbuh 6 persen lebih, kami akan datang ke sini untuk mendiskusikan, cukai yang seperti apa yang pantas diterapkan. Kalau sekarang saya pikir ekonomi masyarakat belum cukup kuat,” tambahnya.

    Meski belum akan diterapkan dalam waktu dekat, tidak menutup kemungkinan bahwa cukai MBDK bisa mulai diberlakukan pada semester II tahun 2026, asalkan target pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen tercapai.

    “Kalau doa Anda manjur, mendoakan saya supaya berhasil, kita akan pungut di second half,” ujarnya menanggapi pertanyaan anggota DPR terkait kepastian penerapan cukai pada 2026.

    Dalam APBN 2026, pemerintah telah menargetkan penerimaan Rp 7 triliun dari cukai MBDK. Kebijakan cukai ini bertujuan menekan konsumsi gula berlebih melalui produk minuman kemasan, sekaligus meningkatkan penerimaan negara.

  • Dilema Penerapan Bea Keluar Batu Bara di Tengah Lesunya Industri

    Dilema Penerapan Bea Keluar Batu Bara di Tengah Lesunya Industri

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menargetkan penerimaan negara sebesar Rp 23 triliun dari penerapan bea keluar emas dan batu bara pada 2026. Target ini mencakup Rp 3 triliun dari bea keluar emas dan Rp 20 triliun dari batu bara.

    Purbaya menyampaikan hal tersebut saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada Senin (8/12/2025) di Gedung Nusantara I, DPR RI, Jakarta. 

    “Emas Rp 3 triliun setahun. Batu bara Rp 20 triliun,” jelasnya menanggapi pertanyaan anggota Komisi XI DPR RI tentang proyeksi penerimaan negara dari kebijakan bea keluar.

    Menurut Purbaya, penerapan bea keluar emas dan batu bara merupakan langkah strategis pemerintah untuk menutup defisit APBN 2026. “Menjawab tantangan tersebut, pemerintah akan memanfaatkan berbagai instrumen fiskal yang relevan, termasuk penerapan bea keluar atas ekspor emas dan batu bara,” tuturnya.

    Ia menambahkan, kebijakan bea keluar batu bara juga dimaksudkan untuk mendorong hilirisasi dan dekarbonisasi, sekaligus meningkatkan penerimaan negara. Batu bara tetap dianggap sebagai penopang stabilitas ekonomi nasional. 

    Meskipun Indonesia menjadi produsen batu bara terbesar ketiga dunia, mayoritas ekspornya masih berupa bahan mentah dengan nilai tambah rendah sehingga potensi ekonominya belum optimal.

    Kebijakan ini muncul di tengah tren harga komoditas yang berlawanan. Secara global, harga emas naik sekitar 59–60% dalam 12 bulan terakhir, sementara harga emas Antam di Indonesia meningkat 55–56%, dari sekitar Rp 1,553 juta per gram pada awal tahun menjadi Rp 2,415 juta per gram pada Senin (1/12/2025). Dalam sepekan terakhir, harga emas Antam sedikit turun Rp 11.000 menjadi Rp 2,404 juta per gram.

    “Emas menunjukkan tren positif, sehingga penerapan bea keluar diharapkan tidak menurunkan minat ekspor dan justru menambah penerimaan negara,” kata Purbaya.

    Sebaliknya, harga batu bara menghadapi tekanan signifikan di pasar internasional. Berdasarkan data Bank Dunia, harga batu bara Australia sebagai acuan global pada 25 November 2025 berada di posisi US$ 112,6 per ton, terendah dalam 57 bulan terakhir atau sejak Maret 2021. 

    Harga acuan batu bara Indonesia turun 20,76% sepanjang tahun berjalan, dari US$ 124,01 per ton pada Januari 2025 menjadi US$ 96,26 per ton pada Desember 2025. “Harga acuan ini akan menjadi dasar perhitungan royalti, bea keluar, dan transaksi,” jelas Christiantoko, Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center.

    Penurunan harga batu bara berdampak pada beberapa indikator di sektor pertambangan, termasuk nilai ekspor dan upah pekerja. Data BPS mencatat nilai ekspor batu bara per September 2025 sebesar US$ 2 miliar, turun 19,77% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 2,5 miliar. 

  • Batuk Saat Bahas Bea Keluar Emas, Purbaya: Produsen Mengutuk Saya

    Batuk Saat Bahas Bea Keluar Emas, Purbaya: Produsen Mengutuk Saya

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa melontarkan candaan saat dirinya berkali-kali batuk ketika menjelaskan rencana pemerintah menerapkan bea keluar (BK) untuk emas dan batu bara mulai 2026.

    Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (8/12/2025), Purbaya berkelakar mungkin ada produsen emas yang sedang “mengutuk” dirinya karena keberatan dengan kebijakan tersebut.

    Ketika memaparkan alasan pemerintah menetapkan pungutan baru terhadap komoditas emas, Purbaya beberapa kali berhenti berbicara karena batuk yang tak kunjung reda.

    “Kebijakan bea keluar emas diterapkan dengan prinsip bahwa tarif produk hulu lebih tinggi dari produk hilir,” ucapnya sebelum kembali terhenti untuk minum air. Ketua Komisi XI DPR Muhammad Misbakhun mencoba menenangkan Purbaya dengan berkata, “Pelan-pelan, Pak.”

    Setelah kondisinya membaik, Purbaya sempat melontarkan humor yang mengundang tawa.

    “Mungkin produsen emas mengutuk saya dari jauh nih. Mau narikin bea nih,” ujarnya sambil tertawa. Saat kembali menjelaskan tujuan penerapan bea keluar, Purbaya pun masih sempat batuk dan berkata, “(batuk lagi) doanya kuat juga mereka.”

    Purbaya menegaskan, pemerintah menargetkan Rp 23 triliun penerimaan dari kebijakan BK tersebut pada 2026, terdiri dari Rp 3 triliun dari emas dan Rp 20 triliun dari batu bara. Menurutnya, pungutan ini tetap akan diterapkan meski ada penolakan dari produsen maupun apabila harga komoditas menurun, karena kebijakan tersebut menjadi bagian dari strategi pemerintah dalam menutup potensi defisit APBN 2026.

    Ia menjelaskan, bea keluar emas dan batu bara merupakan langkah optimalisasi penerimaan negara di sektor mineral yang tengah menghadapi berbagai tantangan, seperti fluktuasi harga global, transisi energi, dan kebutuhan menjaga konsistensi penerimaan.

    Penerapan bea keluar, lanjut Purbaya, diharapkan dapat mendukung pemenuhan kebutuhan bahan baku dalam negeri, mendorong hilirisasi, memperkuat tata kelola ekspor, sekaligus meningkatkan pendapatan negara.

    “Menjawab tantangan tersebut, pemerintah akan memanfaatkan berbagai instrumen fiskal yang relevan, seperti penerapan bea keluar atas ekspor emas dan batu bara,” pungkasnya.

  • Realisasi Lifting Minyak 2025 Diyakini Lewati Proyeksi APBN

    Realisasi Lifting Minyak 2025 Diyakini Lewati Proyeksi APBN

    Jakarta, Beritasatu.com — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan keyakinannya bahwa realisasi lifting minyak nasional pada 2025 dapat melampaui target 605.000 barel per hari (bph) yang tercantum dalam APBN 2025.

    “Insyaallah di tahun 2025 ini, lifting kita bisa melampaui dari target APBN itu,” ujar Bahlil di Jakarta, Senin (8/12/2025), dilansir dari Antara.

    Bahlil menuturkan capaian lifting minyak Indonesia pada 2024, yang berada di level 580.000 bph menjadi tonggak pertama sejak 2008 karena berhasil memenuhi target APBN. Tren positif tersebut berlanjut pada 2025, ditandai kenaikan produksi minyak bumi pada Januari–Oktober.

    Ia menjelaskan produksi minyak bumi pada Januari–Oktober 2025, termasuk NGL, mencapai 605.5000 bph. Angka itu meningkat 28,48 ribu bph dibandingkan periode sama 2024, sekaligus lebih tinggi dari target APBN yang ditetapkan sebesar 605.000 bph. Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor migas tercatat sebesar Rp 85,89 triliun.

    “Pertanyaannya, apa memang benar minyak kita sudah enggak ada? Minyak kita ini ada, cuma dibutuhkan teknologi,” kata Bahlil.

    Ia menyebut teknologi produksi seperti fracking, enhanced oil recovery (EOR), dan horizontal drilling menjadi faktor pendorong peningkatan lifting.

    Di samping teknologi, pemerintah juga mendorong reformasi fiskal, percepatan perizinan, dan peningkatan eksplorasi di wilayah frontier demi menarik investor hulu migas. “Jadi, itu caranya. Teknologi, percepatan regulasi, insentif pemanis, izin-izinnya kami percepat,” ujarnya.

    Ketua Satgas Percepatan Peningkatan Produksi/Lifting Migas, Nanang Abdul Manaf, melaporkan bahwa produksi minyak dan gas pada 2025 tumbuh untuk pertama kalinya sejak 2016. Ia menilai kenaikan tersebut berasal dari dua proyek pengembangan di Blok B Offshore Natuna Selatan yang dikelola Medco E&P Ltd, yakni Lapangan Forel-Bronang dan Lapangan Terubuk Siput.

    “Proyek-proyek ini telah berkontribusi sekitar tambahan 20.000 barel minyak per hari untuk lifting minyak dan 60 juta kaki kubik gas per hari,” kata Nanang.

    Kontribusi lapangan baru tersebut memperlambat penurunan produksi nasional. Dari rata-rata 580.000 bph pada 2024, produksi meningkat menjadi 582.000 bph pada 2025. “Jika NGL termasuk, setara 607.000 barel per hari pada 2025. Menjadikan ini peningkatan produksi pertama sejak 2016,” ujar Nanang.

  • Imam Utomo Turun Gunung, Kuasa Hukum CEO RS Pura Raharja: Kami Siap Kekeluargaan!

    Imam Utomo Turun Gunung, Kuasa Hukum CEO RS Pura Raharja: Kami Siap Kekeluargaan!

    Surabaya (beritajatim.com) – Penasihat Perkumpulan Abdi Negara Jatim sekaligus mantan Gubernur Jatim Imam Utomo ‘turun gunung’ bersama Rasiyo, Fattah Jasin, dan CEO RS Pura Raharja M. Ishaq Jayabrata, MARS. Mereka memberikan kuasa kepada tiga orang untuk menyelesaikan permasalahan RS Pura Raharja Surabaya dengan Ketua Perkumpulan Abdi Negara Jatim, Adhy Karyono (Sekdaprov Jatim saat ini). Di mana dulunya RS Pura Raharja ini adalah milik Korpri Jatim, dan sekarang ini sudah tidak diakui milik Korpri oleh manajemen RS Pura Raharja.

    Salah satu kuasa hukum kubu Ishaq Jayabrata cs, Abdul Mubarok, berharap bisa menyelesaikan masalah tersebut dengan Sekdaprov Jatim, Adhy Karyono secara kekeluargaan dan tidak melakukan pendekatan represif, dengan melakukan ancaman pelaporan pidana maupun perdata.

    “Kami inginnya ketemu dulu secara kekeluargaan dan diselesaikan secara baik-baik. Beliau kan Ketua Perkumpulan Abdi Negara Jatim, kan bisa mengundang kami untuk rapat dan bisa datang ke RS Pura Raharja. Insya Allah cepat selesai kalau bisa seperti itu,” kata Abdul Mubarok dalam konferensi pers di RS Pura Raharja, Senin (8/12/2025).

    Menurut dia, RS Pura Raharja bukanlah milik Korpri Jatim. Namun, dia tidak menampik jika RS Pura Raharja dulunya sempat diserahkan ke Korpri Jatim, tapi hanya pengelolaannya saja, bukan beserta asetnya. Saat itu, agar memudahkan urusan pengurusan IMB dengan Pemkot Surabaya. “Kami juga tidak memungkiri kalau RS ini juga pernah mendapatkan hibah dari Pemprov Jatim, saat menjadi milik Korpri Jatim,” tegasnya.

    Sementara untuk operasional dalam keseharian RS Pura Raharja, kata dia, menggunakan biaya secara mandiri. Tanpa ada bantuan dari APBD maupun APBN.

    “Meskipun ada pasien yang menggunakan BPJS di sini, tapi ada juga yang pasien eksekutif. Hampir 50 persen lebih kalau pasien BPJS. Saya khawatir pasien-pasien eksekutif ini lari jika RS Pura Raharja terus-terusan gaduh. Apalagi ratusan karyawan RS bisa terancam PHK massa kalau masalah berlarut-larut,” tegasnya.

    Mubarok sendiri mengaku memiliki kartu AS dari para pihak yang sedang mau memperkarakan RS Pura Raharja saat ini. Termasuk juga bakal menyiapkan langkah hukum, jika memang ada pelaporan pidana maupun perdata. “Ada orang kuat di balik ini semua yang memang menginginkan masalah ini terjadi. Saya nggak berani menyebutkan siapa orangnya,” tuturnya merahasiakan.

    Namun tetap pihaknya ingin menyelesaikan perkara ini di luar hukum. “Sekali lagi, kami tidak ingin perkara ini semakin jalan dan semakin panjang,” tukasnya.

    Bagi Mubarok keberadaan rumah sakit agar tetap beroperasi adalah yang utama. “Ya, walaupun kita agak mangkel gini ya, diperlakukan begini. Tapi okelah kita tahan, mencari mencari jalan yang terbaik penyelamatan rumah sakit,” kata Mubarok.

    Namun, jika Ketua Perkumpulan Abdi Negara Jatim Adhy Karyono tetap akan memilih langkah hukum, Mubarok mengaku siap fight menghadapinya. “Itu nanti kita pikir nanti. Mudah-mudahan ada jalan mau mengundang kita untuk ketemu,” pungkasnya.

    Diberitakan sebelumnya, setelah mengadukan Anggota DPRD Jatim Rasiyo ke Badan Kehormatan (BK) pada Kamis (4/12/2025), kuasa hukum dari Ketua Perkumpulan Abdi Negara Jatim Adhy Karyono, Syaiful Ma’arif kali ini bergerak menuju ke RS Pura Raharja, Jalan Pucang Adi 12-14 Surabaya, Jumat (5/12/2025) siang.

    Syaiful Ma’arif didampingi Wakil Ketua II Korpri Jatim sekaligus Anggota Perkumpulan Abdi Negara Jatim, Anom Surahno. Selain itu, ada Himawan Estu Bagijo yang juga dari Korpri Jatim.

    Kedatangan mereka ke RS Pura Raharja adalah untuk menyerahkan surat pemberitahuan yang ditujukan kepada CEO RS Pura Raharja, M. Ishaq Jayabrata, MARS. Rombongan ditemui Bagian Umum RS Pura Raharja, Eddy dan berjanji akan menyampaikan surat tersebut ke pimpinan RS.

    “Bahwa merujuk dan mendasar pada hasil keputusan Ketua Perkumpulan Abdi Negara No. KEP.01/ANJATIM/IX/2024 tanggal 4 September 2024 yang pada pokoknya menyatakan Saudara M. Ishaq Jayabrata telah dilakukan pemberhentian dari jabatan CEO RS Pura Raharja, wajib meninggalkan RS Pura Raharja dan tidak melakukan aktivitas yang berkaitan dengan administrasi pengelolaan rumah sakit,” tegas Syaiful Ma’arif kepada wartawan di RS Pura Raharja.

    “Saya minta Saudara Ishaq untuk menjalankan dan mematuhi isi Keputusan Ketua Abdi Negara Jatim a quo, sejak surat ini diterima dengan tenggat waktu 3×24 jam atau apabila tidak dilaksanakan, maka kami akan melakukan upaya hukum. Yakni, berupa laporan kepada Polda Jatim dan Kejaksaan Tinggi Jatim,” imbuhnya.

    Wakil Ketua II Korpri Jatim, Anom Surahno didampingi Himawan Estu Bagijo menegaskan, bahwa RS Pura Raharja adalah milik Korpri Jatim. “Saya ingin menunjukkan kepada publik bahwa RS Pura Raharja ini adalah milik Korpri Jatim. Jadi, Korpri Jatim mendapat amanah dari DPP pusat. Oleh karena itu, kami menerima amanah ini untuk dikelola dan kami kembangkan. Untuk mengembangkan, kami membentuk perkumpulan abdi negara. Tapi ternyata perkumpulan rasa-rasanya enggan mengakui bahwa aset RS Pura Raharja ini milik Korpri Jatim. Saya sebagai pengurus Korpri, ingin meluruskan soal itu. RS ini milik Korpri. Kami sudah persuasi selama 2 tahun. Tapi, ternyata dari pihak pengelola RS menyurati kami, mereka bilang bahwa RS Pura Raharja tidak ada hubungannya dengan Korpri. Ini jelas tidak benar,” paparnya.

    Surat pengaduan telah dilayangkan ke Badan Kehormatan DPRD Jatim, karena menduga Rasiyo melakukan pelanggaran kode etik dan penyalahgunaan jabatan yang dimiliki, serta dugaan perbuatan pidana pemalsuan dalam jabatan. Surat pengaduan juga ditembuskan ke Kejati Jatim, Ketua DPRD Jatim, Ketua Fraksi Partai Demokrat, dan Ketua Partai Demokrat Jatim.

    Anggota Komisi E DPRD Jatim dari Fraksi Demokrat, Rasiyo pun buka suara terkait dirinya yang diadukan kuasa hukum dari Ketua Perkumpulan Abdi Negara Jatim Adhy Karyono, Syaiful Ma’arif ke Badan Kehormatan (BK) pada Kamis (4/12/2025).

    “Kaitannya apa ya kok diadukan ke Badan Kehormatan DPRD Jatim? Saya saat menjadi Ketua Perhimpunan Abdi Negara Jatim itu kan masih belum menjadi anggota DPRD Jatim. Saya nggak bilang salah alamat, tetapi tidak tepat kalau diadukan ke Badan Kehormatan. Ini kan masalah internal perhimpunan abdi negara,” tegas Rasiyo saat menghubungi beritajatim.com untuk menyampaikan klarifikasinya, Kamis (4/12/2025).

    “Yang mempertahankan Bapak Ishak sebagai CEO, yaitu keputusan anggota Perkumpulan Abdi Negara Jatim. Dan ketika itu (2024) saya menjabat sebagai Ketua Umum Perkumpulan. Sebagai ketua, saya mendukung keputusan dari anggota Perkumpulan. Bukan (mempertahankan jabatan), bukan keinginan saya pribadi,” imbuhnya.

    Karena persoalan internal, Rasiyo menilai permasalahan tersebut lebih baik diselesaikan pada lingkungan organisasi dan tidak melebar ke instansi lain.

    “Kalau ada masalah ya dibicarakan baik-baik. Apalagi masa jabatan bapak Ishak sampai tahun depan (2026). Jadi kalau beliau ada masalah, ya dikasih tahu. Jangan tiba-tiba dicopot. Kerjanya kan juga bagus, kasihan. Nanti kalau Oktober 2026 memang waktunya habis jabatannya diganti ya tidak masalah diganti. Dalam waktu dekat, saya akan kumpulkan seluruh anggota perhimpunan. Ada Pak Imam Utomo dan Pak Fattah Jasin juga,” ujarnya.

    Kuasa hukum dari Ketua Perkumpulan Abdi Negara Jatim Adhy Karyono, Syaiful Ma’arif mengadukan Anggota Komisi E DPRD Jatim dari Fraksi Partai Demokrat, Rasiyo ke Badan Kehormatan (BK) pada Kamis (4/12/2025).

    “Saya selaku kuasa dari Pak Adhy Karyono, selaku Sekdaprov Jatim yang juga Ketua Umum Perkumpulan Abdi Negara Jatim. Hal ini terkait bahwa sudah ada keputusan Rapat Anggota Perkumpulan Abdi Negara dengan agenda minta pertanggung jawaban Sdr. Muh. Ishaq Jayabrata, MARS selaku CEO RS Pura Raharja pada tanggal 4 September 2024. Namun, yang bersangkutan tidak hadir tanpa keterangan. Saat itu, diputuskan untuk dilakukan pemberhentian yang bersangkutan dari jabatan CEO RS Pura Raharja. Saya juga minta beliau untuk segera meninggalkan tempat,” kata Syaiful Ma’arif kepada wartawan saat konferensi pers di kantornya kawasan Juwingan Surabaya.

    Namun, menurut pengacara senior ini, dari fakta dan dokumen yang ditelusuri, Rasiyo diduga melindungi dan mendukung keberadaan Ishaq sebagai CEO RS Pura Raharja. “Padahal Pak Ishaq itu sudah diberhentikan. Pendapat Pak Rasiyo bahwa Adhy Karyono bukanlah ketua perkumpulan abdi negara, itu tidak benar. Pak Adhy adalah ketua umum perkumpulan abdi negara. Dia bisa membuat keputusan untuk memutus apapun. Salah satunya adalah memberhentikan Pak Ishaq sebagai CEO RS Pura Raharja,” tukasnya.

    Tapi, ternyata Ishaq berkeberatan untuk diberhentikan dari CEO RS Pura Raharja. Dasarnya adalah periode jabatan yang seharusnya berakhir pada 1 Oktober 2026. Ini mengacu pada Keputusan Perkumpulan Abdi Negara Jatim No. 006/AN-JATIM/X/2021 yang ditandatangani Rasiyo dengan titel Ketua Umum Perkumpulan Abdi Negara Jatim. Padahal, saat itu Rasiyo sebagai Teradu belum diangkat sebagai pengurus Perkumpulan Abdi Negara Jatim. Pengangkatan Teradu baru tertuang di Akta Notaris pada 15 Oktober 2021 dan dilaporkan pada AHU-0001465.AH.01.08.Tahun 2021 pada tanggal 21 Oktober 2021. Artinya, keputusan pengangkatan Ishaq hingga 1 Oktober 2026 oleh Rasiyo adalah tidak sah.

    “Saya minta Pak Rasiyo agar menarik diri dari RS Pura Raharja. Kalau tidak, kami menganggap Pak Rasiyo memberikan legitimasi dan perlindungan pada orang yang sudah diberhentikan untuk tetap jadi CEO RS Pura Raharja. Perbuatan ini menurut kami sudah melanggar etik. Surat ini akan saya sampaikan pada BK DPRD Jatim dan Ketua DPRD Jatim, serta tembusan ke pihak Demokrat Jatim. Ini karena yang dilakukan sudah menyimpang dari tugas anggota DPRD Jatim,” tuturnya.

    Menurut Syaiful, pihaknya juga mendapat telaah hukum yang dilakukan bagian hukum Kejati Jatim sebagai pengacara negara. Mereka sudah berpendapat bahwa Ishaq itu sudah diberhentikan lewat rapat anggota perkumpulan abdi negara. Lalu, diminta meninggalkan tempat, diminta untuk tidak menggunakan fasilitas dan operasional RS serta tidak boleh menggunakan dana.

    “Sementara yang beredar, dia masih melakukan itu terus menerus. Maka saya melihat Pak Rasiyo masih memback up. Ini bagi saya tidak baik. Padahal Pak Rasiyo juga tidak hadir saat rapat anggota perhimpunan abdi negara. Sudah saya cantumkan di aduan, pertama, saya meminta agar dilakukan pemeriksaan pada Pak Rasiyo selaku anggota DPRD Jatim untuk diperiksa pelanggaran kode etik. Yang kedua, kalau dia mengatakan apa yang dilakukan tidak salah, saya akan laporkan ke kepolisian Polda Jatim. Ini karena orang yang sudah diberhentikan, malah didukung untuk pakai fasilitas menggunakan tempat dan dana. Ini perbuatan melanggar kode etik,” jelasnya. [tok/beq]

  • Tidak Disebut Bencana Nasional, Bukan Berarti Negara Abai

    Tidak Disebut Bencana Nasional, Bukan Berarti Negara Abai

    Jakarta

    Belajar dari Banjir Besar Sumatra 2025 untuk Negara yang Lebih Bertanggung Jawab

    Banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir 2025 adalah tragedi kemanusiaan yang menyesakkan nurani kita Bangsa Indonesia. Ratusan nyawa melayang, jutaan warga hilang dan terdampak. Permukiman luluh lantak, dan denyut ekonomi lokal lumpuh. Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan publik yang wajar sekaligus sensitif: haruskah pemerintah menetapkannya sebagai bencana nasional?

    Pertanyaan tersebut penting. Namun, jawaban yang bijak tidak selalu sesederhana “ya” atau “tidak”. Dalam konteks negara hukum dan tata kelola pemerintahan yang bertanggung jawab, tidak menyebut suatu bencana sebagai “bencana nasional” bukan berarti negara abai, lalai, atau lepas tangan. Justru, dalam kondisi tertentu, pilihan itu bisa menjadi strategi kebijakan yang lebih adil, lebih akuntabel, dan lebih berpihak pada korban dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

    Analisis dan sorotan saya kali ini mengajak publik melihat isu bencana bukan hanya dari sudut emosi sesaat, tetapi dari perspektif hukum, data, dan pelajaran kebijakan agar tragedi serupa tidak terus berulang di seluruh wilayah Indonesia.

    Ukuran Negara Hadir: Keselamatan Rakyat, Bukan Label Administratif

    UU No: 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana tidak pernah mewajibkan Presiden menetapkan status bencana nasional setiap kali terjadi peristiwa besar. UU ini memberi diskresi, bukan kewajiban otomatis.
    Ukuran konstitusional keberhasilan negara bukanlah seberapa sering label “nasional” diumumkan, melainkan seberapa cepat nyawa manusia diselamatkan, berapa yang sudah meninggal ditangani secara baik, dan seberapa adil semua pemulihan dijalankan. Baik pemulihan kesehatan fisik, psikis dari traumatis mendalam, infrastruktur, sarana dan prasarana, serta pemulihan ekonomi rakyat.

    Dalam kasus Sumatera 2025, penanganan darurat tetap bisa dilakukan secara penuh: pengerahan TNI-Polri, dan logistik lintas daerah, mobilisasi anggaran belanja tidak terduga, hingga dukungan kementerian teknis. Semua itu sah secara hukum meski tanpa deklarasi bencana nasional. Negara secara cepat hadir tanpa syarat label administratif.

    Ketika Bencana Bukan Sekadar Alam

    Di sinilah persoalan menjadi lebih dalam. Berbagai kajian akademik dan laporan lembaga independen menunjukkan bahwa banjir bandang di Sumatera tidak hanya dipicu oleh hujan ekstrim dan anomali iklim, tetapi diperparah oleh kerusakan ekologis di hulu daerah aliran sungai (DAS): deforestasi, tambang di kawasan rentan, konversi hutan, dan lemahnya pengawasan dan audit kepatuhan perizinan, juga audit dan monitoring progress berkala memantau penebangan, penanaman, pemeliharaan, patroli kawasan dst.

    Jika negara secara tergesa-gesa melabeli peristiwa ini sebagai bencana nasional, ada satu risiko besar yang kerap luput dibahas:, yaitu kaburnya garis tanggung jawab. Bencana yang seharusnya menjadi momentum koreksi tata kelola lingkungan bisa direduksi menjadi “musibah alam semata”, dan public harus pasrah menerima, sekalipun ada indikasi salah tata kelola hutan kita.

    Pengalaman Indonesia sudah cukup berat untuk dijadikan pelajaran. Kasus lumpur Lapindo menunjukkan bagaimana negara, yang awalnya hadir melindungi warga, perlahan terseret menjadi penanggung utama beban kerugian akibat kesalahan korporasi. APBN terlibat, konflik hukum berlangsung bertahun-tahun, dan keadilan bagi korban tidak pernah benar-benar tuntas pada akhirnya. Masyarakat juga menjadi korban dikotomi lebel “Bencana Nasional” itu.

    Tidak Nasional, Agar Tanggung Jawab Tidak Lenyap

    Dengan tidak menetapkan status bencana nasional, negara justru dapat mengunci prinsip penting dalam hukum lingkungan: polluter pays principle. Artinya jelas pihak yang merusak lingkungan lah yang bertanggung jawab, bukan negara menggantikan kesalahan mereka sekalipun negara tetap melindungi rakyatnya dari ragam aspek dampak dari bencana ini.

    Ini momentum memberi pelajaran keras dan terukur bagi pengelola dan pengusaha hutan siapapun dia dan dibaliknya yang abai tidak patuh terhadap regulasi yang ada demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya namun berhutang nyawa kepada rakyat kita dan menyengsarakan rakyat yang tersisa dari banjir bandang ini.

    Pendekatan ini memperkuat tiga hal sekaligus:

    Pertama, penegakan hukum lingkungan tetap tajam ke atas dan ke bawah. UU No 32 Tahun 2009 membuka ruang tanggung jawab mutlak (strict liability) bagi kegiatan berisiko tinggi. Perlu diingat status bencana nasional atau daerah tidak pernah menghapus kewajiban pidana, perdata, maupun administratif pelaku perusakan lingkungan.

    Kedua, korban tidak kehilangan hak menuntut keadilan. Tanpa label nasional, dalih force majeure massal menjadi lemah. Korban lebih kuat secara posisi hukum untuk mengajukan gugatan perdata, class action, atau tuntutan ganti rugi terhadap pihak yang terbukti lalai.

    Ketiga, negara tidak terjebak moral hazard fiskal. APBN tetap digunakan untuk penyelamatan dan pemulihan publik, tetapi tidak menjadi “karpet penutup” kesalahan swasta atau kelalaian pejabat pemberi izin.

    Belajar dari Praktik Internasional

    Negara-negara maju pun tidak memaknai deklarasi bencana nasional secara serampangan. Amerika Serikat, Jepang, hingga Filipina menggunakan deklarasi nasional terutama untuk membuka akses dana darurat dan koordinasi ketika bencana murni bersifat alamiah.

    Tetapi untuk bencana yang memiliki jejak kuat kesalahan sistemik manusia dan indikasi melalaikan regulasi, pendekatan mereka lebih hati-hati: korban cepat dan segera ditolong, hukum tetap berjalan, dan tanggung jawab tidak disederhanakan.

    Indonesia justru akan naik kelas dalam tata kelola bencana bila mulai membedakan secara jujur antara “bencana alam” dan “bencana tata kelola”.

    Pelajaran Paling Penting: Jangan Ulangi Lagi

    Publik berhak menagih lebih dari sekadar bantuan. Tragedi ini harus menjadi titik balik nasional dalam mengelola hutan dan DAS. Artinya, setelah korban tertangani, negara wajib: membuka data penyebab bencana secara transparan; melakukan audit forensik izin tambang, kehutanan, dan PLTA di DAS kritis.

    Menegakkan hukum tanpa pandang bulu, hukum seberat-beratnya karena mereka telah menghilangkan nyawa ratusan bahkan berpotensi ribuan rakyat kita; membenahi tata ruang agar berbasis risiko ekologis, bukan kepentingan jangka pendek.

    Di sinilah makna sejati kehadiran negara diuji bukan pada spanduk deklarasi status”Bencana Nasional”, tetapi kali ini pada keberanian dan ketegasan Pemerintahan Presiden Prabowo mencegah dan memastikan kepada rakyatnya bahwa tragedi serupa tidak terulang di seluruh wilayah Indonesia.

    Negara Kuat Bukan Negara yang Mudah Menyerah pada Label

    Menyebut atau tidak menyebut “bencana nasional” bukan soal gengsi politik atau kepekaan komunikasi atau desakan publik domestik dan luar negeri. Ini soal pilihan strategi negara yang tepat dan menyentuh essensial pola penanganannya.

    Negara yang kuat adalah negara yang mampu berkata: rakyat kami lindungi sepenuhnya dengan sepenuh hati, tetapi kesalahan tidak akan kami ampuni, siapapun yang melakukannya.

    Jika manajemen jenazah baik (evakuasi jenazah, Pemulasaran menurut agama masing-masing korban, pemakaman massal atau keluarga secara terhormat), korban diselamatkan, keadilan ditegakkan, lingkungan dibenahi, dan tragedi serupa tidak terulang maka sesungguhnya negara telah hadir dan nyata menjalankan tugasnya, dengan atau tanpa label nasional. Dan di situlah letak pencerahan dan penerimaan yang paling penting bagi kita semua.

    (zap/dhn)

  • Wamen Viva Yoga Janji Perbaiki Jalan untuk Warga Transmigrasi di Bungo Jambi: Akan Dibantu APBN 2026

    Wamen Viva Yoga Janji Perbaiki Jalan untuk Warga Transmigrasi di Bungo Jambi: Akan Dibantu APBN 2026

    Liputan6.com, Jakarta – Wakil Menteri Transmigrasi Viva Yoga Mauladi mengatakan, pemerintah saat ini berupaya untuk memperkuat kawasan transmigrasi dengan memperbaiki fasilitas dasar dan meningkatkan produktivitas kebun masyarakat.

    Hal ini disampaikannya saat menghadiri Tabligh Akbar Ikatan Muslim Kuamang Kuning (IMMK) yang diselenggarakan dalam rangka HUT ke-240 Dusun Karya Harapan Mukti dan peringatan 40 Tahun Transmigrasi Kuamang Kuning, Kabupaten Bungo, Jambi Minggu (7/12/2025).

    Dalam kesempatan itu juga, Viva juga mendengarkan aspirasi warga, di mana soal kondisi jalan rusak, layanan kesehatan, dan pengangkutan hasil panen sawitnya.

    “Tadi saya bicara dengan Bapak Bupati Bungo, untuk jalan, Insyallah nanti akan dibantu APBN tahun anggaran 2026. Supaya ibu-ibu yang hamil tidak melahirkan sebelum waktunya karena kondisi jalan yang rusak,” kata dia di lokasi.

    Viva pun mengungkapkan akan ada program replanting sawit salah satunya tentu memperbaiki jalan.

     

  • Kementerian ESDM Masih Cari Investor untuk Garap 108 Cekungan Migas

    Kementerian ESDM Masih Cari Investor untuk Garap 108 Cekungan Migas

    Jakarta, Beritasatu.com – Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengajak investor berperan dalam eksplorasi potensi migas di 108 cekungan sedimen yang belum tereksplorasi di Indonesia.

    Kepala pusat survei geologi Badan Geologi, Edy Slameto, menyampaikan dari 128 cekungan migas yang telah teridentifikasi, hanya 20 cekungan migas yang telah dikembangkan, sedangkan 108 sisanya merupakan area yang belum dilakukan eksplorasi secara komprehensif.

    “Eksplorasi merupakan cara paling efektif untuk menemukan lapangan baru yang dapat menaikkan produksi secara signifikan. Semakin besar area eksplorasi, semakin besar peluang menemukan cadangan baru,” kata Edy seperti dilansir dari Antara, Minggu (7/12/2025).

    Edy menjelaskan Badan Geologi telah menyusun peringkat terhadap 108 cekungan tersebut berdasarkan berbagai parameter yang mencerminkan potensi keberadaan sumber daya migas.

    Cekungan dengan peluang lebih tinggi menjadi prioritas pengerjaan, sementara cekungan dengan potensi rendah akan menunggu sesuai skala prioritas.

    Ia menjelaskan tidak semua area eksplorasi dapat dibiayai melalui APBN, terutama wilayah dengan risiko tinggi. Oleh karena itu, pihaknya menyediakan data dan insentif agar investor memiliki keyakinan dalam mengambil risiko eksplorasi.

    “Pemboran sangat mahal, bisa mencapai ratusan juta dolar per sumur, dan tidak dijamin pasti berhasil. Karena itu, pemboran dengan risiko tinggi diserahkan kepada operator, sementara pemerintah membantu dengan penyediaan data agar mereka tidak menanggung risiko sepenuhnya,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Edy mengatakan saat ini produksi migas nasional berada di kisaran 600.000 barel per hari, sehingga masih terdapat kekurangan sekitar 400.000 barel untuk mencapai target peningkatan produksi sebesar 1 juta barel per hari.

    “Ini bukan angka mutlak dan bisa berubah. Dengan produksi harian sekitar 600.000 barel, cadangan tersebut hanya cukup untuk enam hingga tujuh tahun jika tidak ada penemuan baru. Inilah pentingnya kegiatan eksplorasi,” ujarnya.

    Edy menyebut fokus prioritas eksplorasi saat ini diarahkan ke kawasan Indonesia Timur yang dinilai memiliki risiko geologi masih tinggi sehingga pelaku usaha belum banyak melakukan investasi.

    “Karena wilayah Indonesia Barat sudah relatif padat eksplorasi, pemerintah menggeser fokus ke Indonesia Timur. Dengan intervensi pemerintah berupa data geologi ini diharapkan lebih banyak perusahaan tertarik berinvestasi di wilayah timur,” katanya.

  • Kementerian ESDM Masih Cari Investor untuk Garap 108 Cekungan Migas

    Kementerian ESDM Masih Cari Investor untuk Garap 108 Cekungan Migas

    Jakarta, Beritasatu.com – Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengajak investor berperan dalam eksplorasi potensi migas di 108 cekungan sedimen yang belum tereksplorasi di Indonesia.

    Kepala pusat survei geologi Badan Geologi, Edy Slameto, menyampaikan dari 128 cekungan migas yang telah teridentifikasi, hanya 20 cekungan migas yang telah dikembangkan, sedangkan 108 sisanya merupakan area yang belum dilakukan eksplorasi secara komprehensif.

    “Eksplorasi merupakan cara paling efektif untuk menemukan lapangan baru yang dapat menaikkan produksi secara signifikan. Semakin besar area eksplorasi, semakin besar peluang menemukan cadangan baru,” kata Edy seperti dilansir dari Antara, Minggu (7/12/2025).

    Edy menjelaskan Badan Geologi telah menyusun peringkat terhadap 108 cekungan tersebut berdasarkan berbagai parameter yang mencerminkan potensi keberadaan sumber daya migas.

    Cekungan dengan peluang lebih tinggi menjadi prioritas pengerjaan, sementara cekungan dengan potensi rendah akan menunggu sesuai skala prioritas.

    Ia menjelaskan tidak semua area eksplorasi dapat dibiayai melalui APBN, terutama wilayah dengan risiko tinggi. Oleh karena itu, pihaknya menyediakan data dan insentif agar investor memiliki keyakinan dalam mengambil risiko eksplorasi.

    “Pemboran sangat mahal, bisa mencapai ratusan juta dolar per sumur, dan tidak dijamin pasti berhasil. Karena itu, pemboran dengan risiko tinggi diserahkan kepada operator, sementara pemerintah membantu dengan penyediaan data agar mereka tidak menanggung risiko sepenuhnya,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Edy mengatakan saat ini produksi migas nasional berada di kisaran 600.000 barel per hari, sehingga masih terdapat kekurangan sekitar 400.000 barel untuk mencapai target peningkatan produksi sebesar 1 juta barel per hari.

    “Ini bukan angka mutlak dan bisa berubah. Dengan produksi harian sekitar 600.000 barel, cadangan tersebut hanya cukup untuk enam hingga tujuh tahun jika tidak ada penemuan baru. Inilah pentingnya kegiatan eksplorasi,” ujarnya.

    Edy menyebut fokus prioritas eksplorasi saat ini diarahkan ke kawasan Indonesia Timur yang dinilai memiliki risiko geologi masih tinggi sehingga pelaku usaha belum banyak melakukan investasi.

    “Karena wilayah Indonesia Barat sudah relatif padat eksplorasi, pemerintah menggeser fokus ke Indonesia Timur. Dengan intervensi pemerintah berupa data geologi ini diharapkan lebih banyak perusahaan tertarik berinvestasi di wilayah timur,” katanya.

  • Apindo Minta Insentif Fiskal Fokus ke Padat Karya & UMKM yang Tertekan Sepanjang 2025

    Apindo Minta Insentif Fiskal Fokus ke Padat Karya & UMKM yang Tertekan Sepanjang 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta agar insentif fiskal untuk dunia usaha difokuskan kepada dua sektor yang dinilai tengah menanggung tekanan berat sepanjang 2025. 

    Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menyampaikan, insentif fiskal dan stimulus pemerintah berperan sebagai shock absorber dalam siklus bisnis, yang berfungsi membantu meredam friksi ketika pelaku usaha menghadapi tekanan eksternal.

    Insentif berupa tax holiday maupun tax allowance, terang Shinta, pada dasarnya memberikan ruang bernapas yang lebih besar bagi pelaku usaha dalam mengurangi beban pajak di fase awal hingga masa ekspansi industri. Dia meminta ke depan agar tahun depan insentif-insentif itu bisa dialokasikan ke sejumlah sektor seperti padat karya dan UMKM yang menanggung tekanan berat sepanjang tahun ini. 

    “Sepanjang 2025, sebagian besar sektor riil melemah, terutama industri padat karya. Hal yang sama juga dialami UMKM yang daya ungkit untuk berekspansinya terbatas. Padahal, keduanya merupakan sumber penyerapan tenaga kerja terbesar,” terang Shinta kepada Bisnis, Minggu (7/12/2025). 

    Selain fokus kepada dua sektor itu, insentif diminta untuk diarahkan menyasar ke struktur beban industri. Shinta menyampaikan, transformasi ekonomi membutuhkan fondasi efisiensi biaya berusaha dari hulu hingga hilir, atau universal business efficiency. 

    Perempuan yang juga Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu menuturkan, tantangan utama hari ini yang membatasi pemulihan dunia usaha adalah tingginya cost of doing business. 

    “Mulai dari suku bunga pinjaman, harga energi, hingga biaya logistik. Jika beban struktural ini tidak diturunkan, insentif yang diberikan akan berdampak kurang optimal,” jelasnya. 

    Di luar itu, Shinta turut mewanti-wanti bahwa insentif hanya akan berdampak apabila diterapkan secara konsisten, tepat sasaran, dan mudah diakses. Pemberian insentif dari kantong APBN juga harus sejalan dengan perbaikan kondisi kepastian berusaha, kepastian regulasi, proses perizinan yang semakin efisien, serta penegakan hukum yang konsisten. 

    “Dalam era kompetisi global yang semakin ketat, selective incentives yang dirancang dengan tepat adalah alat penting untuk menarik investasi yang berkualitas dan berkelanjutan,” ujar CEO Sintesa Group itu. 

    Dikutip dari Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026, nilai belanja perpajakan selama 2021 sampai dengan proyeksi 2025 dan yang dianggarkan 2026 terus meningkat. Bermula dari Rp293 triliun pada 2021, nilainya terus meningkat ke Rp400,1 triliun pada 2024.

    Nilainya melonjak 32,5% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada 2025 yang diproyeksikan mencapai Rp530,3 triliun. Kemudian, pada 2026, belanja perpajakan dicanangkan sebesar Rp563,6 triliun. 

    Pada 2025 dan 2026, belanja perpajakan terbesar masih untuk jenis pajak konsumsi yakni pajak pertambahan nilai (PPN) maupun pajak penjualan barang mewah (PPnBM), serta pajak penghasilan (PPh) masing-masing Rp343,3 triliun (2025) dan Rp371,9 triliun (2026). Nilainya juga meningkat pada APBN 2026 yakni masing-masing Rp150,3 triliun dan Rp160,1 triliun. 

    Berdasarkan tujuannya, belanja perpajakan untuk meningkatkan investasi dan mendukung dunia bisnis sama-sama meningkat. Untuk meningkatkan investasi, pemerintah menggelontorkan insentif pajak Rp84,3 triliun pada 2025 dan meningkat ke Rp84,7 triliun. 

    Sementara itu, untuk mendukung dunia bisnis, belanja perpajakan yang dianggarkan sebesar Rp56,9 triliun pada 2025 dan meningkat ke Rp58,1 triliun. 

    Pada Media Gathering yang diselenggarakan November 2025 lalu, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto menyebut pihaknya akan melakukan kajian independen untuk mengevaluasi insentif perpajakan yang ada. Dia menyebut evaluasi diharapkan bisa melihat apabila insentif yang sudah diberikan telah mendorong pertumbuhan penerimaan pajak. 

    Evaluasi itu rencananya melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), maupun instansi penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

    “Apakah memang ada proses secara ekonomi, business process-nya yang memang kami harus ubah policy-nya atau ada kecurigaan, misalnya ada kecurigaan penyelenggaraan pajaknya, atau penyelewengan bea keluarnya, bea masuknya, sehingga belum optimal,” ujarnya di Kanwil DJP Bali, Selasa (25/11/2025).