Topik: APBN

  • Mensos Janji Hunian Sementara Korban Bencana Dilengkapi Jaminan Hidup

    Mensos Janji Hunian Sementara Korban Bencana Dilengkapi Jaminan Hidup

    JAKARTA – Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menyampaikan hunian sementara bagi korban banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akan dilengkapi dengan jaminan hidup untuk menunjang perekonomian sehari-hari mereka.

    “Di hunian sementara itu nanti akan ada jaminan hidup. Mereka sementara kan harus bisa memperoleh dukungan ekonomi untuk bisa hidup sehari-hari, maka nanti ada itu, setelah itu masuk ke pemberdayaan,” katanya dilansir ANTARA, Selasa, 9 Desember.

    Ia menjelaskan berdasarkan hasil koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hunian sementara akan menunjang kehidupan para pengungsi minimal dalam waktu satu tahun, yang kemudian akan diberikan hunian tetap sesuai dengan kondisi masing-masing korban.

    “Kemarin sudah dilaporkan oleh kepala BNPB tentang perencanaan hunian sementara itu yang sifatnya sementara ini setahun, minimal itu setahun, bisa dua tahun. Berikutnya adalah hunian tetap yang tergantung pada kondisinya, kalau secara umum, hunian tetap itu biasanya tanah disediakan oleh daerah, kemudian yang membangun adalah APBN lewat BNPB,” ujar dia.

    Namun, berdasarkan instruksi Presiden Prabowo Subianto, apabila daerah mengalami kesulitan untuk menyediakan tanah maka bisa menggunakan tanah-tanah negara.

    “Yang ini nanti akan diurus lebih lanjut. Jadi ada hunian sementara, ada hunian tetap. Setelah hunian sementara bisa disediakan, maka kami nanti bersama kementerian lain masuk untuk pemberdayaan, mulai dari pemulihan ekonomi, pelatihan keterampilannya, maupun dukungan usaha. Ini yang nanti akan kami lakukan setelah hunian sementaranya selesai,” kata dia.

    Untuk mempercepat penanganan hunian sementara, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) telah menyiapkan stok Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) yang dapat langsung dikirim.

    “Di Medan sudah standby lebih dari 400 unit dan di Bandung sekitar 100 unit. Jika diperlukan, kami siap menambah sesuai kebutuhan di lapangan,” kata Menteri PKP Maruarar Sirait.

    Ia mengatakan koordinasi lintas kementerian dan pemerintah daerah akan segera dilakukan sesuai arahan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.

    “Kami memastikan semua langkah berjalan cepat dan terkoordinasi, agar masyarakat terdampak segera mendapatkan hunian yang aman dan layak,” ujarnya.

    Ia juga telah mengirimkan tiga direktur jenderal (dirjen) Kementerian PKP untuk mengecek rumah korban terdampak bencana di Sumatra.

    Oleh Lintang Budiyanti Prameswa

  • Negara, Viral, dan Solidaritas Warga Disebut “Kecil”

    Negara, Viral, dan Solidaritas Warga Disebut “Kecil”

    Negara, Viral, dan Solidaritas Warga Disebut “Kecil”
    Dosen, Penulis dan Peneliti Universitas Dharma Andalas, Padang
    BELAKANGAN
    publik dibuat gaduh oleh pernyataan anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, Endipat Wijaya, dalam rapat bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Dalam forum itu, ia menyoroti aksi para relawan dan kreator konten yang menggalang donasi untuk korban bencana di Sumatera.
    Donasi yang disebutnya “sekitar Rp 10 miliar” itu, menurut Endipat, “kecil” bila dibandingkan dengan bantuan pemerintah yang mencapai “triliunan rupiah”.
    Narasi ini sontak memicu gelombang kritik. Di tengah solidaritas publik yang mengalir spontan dari berbagai penjuru, pernyataan semacam ini terasa janggal. Bukan hanya karena menyentuh sensitivitas warga yang sedang berduka, tetapi juga karena berpotensi meremehkan energi kemanusiaan yang lahir dari inisiatif warga.
    Salah satu figur yang menjadi sorotan adalah
    Ferry Irwandi
    . Relawan independen yang dalam hitungan hari mampu menggalang miliaran rupiah untuk korban banjir dan longsor. Di mata publik, aksi seperti ini bukan sekadar angka, melainkan wujud nyata kepedulian yang hadir ketika negara masih meraba-raba langkah.
    Dalam banyak peristiwa bencana, publik sering kali menyaksikan hal yang sama: warga bergerak lebih cepat dari pemerintah. Kehadiran mereka bukan untuk menandingi negara, melainkan untuk mengisi ruang-ruang kosong yang tidak selalu mampu dijangkau oleh sistem birokrasi.
    Dalam situasi darurat, menit dan jam pertama adalah segalanya. Di titik inilah relawan menjadi penopang hidup para penyintas.
    Pernyataan bahwa kontribusi warga “kecil” bukan hanya tidak tepat secara etis, tetapi juga keliru dalam memahami dinamika penanganan bencana. Negara memiliki kewajiban konstitusional menghadirkan bantuan, itu tidak bisa disebut sebagai kemurahan hati, melainkan mandat.
    Sebaliknya, kontribusi publik adalah tindakan moral yang lahir dari empati, tanpa kewajiban, tanpa birokrasi, tanpa anggaran rutin. Mengukurnya hanya dengan angka berarti melupakan substansi solidaritas itu sendiri.
    Dalam konteks Sumatera, relawan hadir sejak hari pertama dengan perahu karet seadanya, dapur umum dadakan, logistik swadaya, dan informasi digital yang sering kali lebih cepat daripada rilis resmi pemerintah. Warga yang saling mengulurkan tangan memainkan peran krusial ketika akses jalan terputus, listrik padam, dan komunikasi lumpuh.
    Bagian lain dari pernyataan Endipat yang memicu polemik adalah dorongannya kepada Komdigi agar “mengamplifikasi” capaian pemerintah supaya tidak kalah viral dari relawan. Catatan ini menyingkap persoalan lain: narasi publik diasumsikan sebagai arena kompetisi citra, bukan ruang untuk menyampaikan informasi yang benar-benar dibutuhkan warga.
    Dalam penanganan bencana, perhatian pemerintah semestinya fokus pada efektivitas, bukan popularitas. Bila pemerintah merasa publikasi resmi kurang, solusinya bukan menyepelekan relawan atau membanding-bandingkan kontribusi, melainkan memperbaiki transparansi, kecepatan informasi, dan koordinasi lapangan. Bukan tugas warga untuk membuat negara terlihat hadir; itu tanggung jawab negara itu sendiri.
    Sebaliknya, kehadiran relawan justru membantu pemerintah mengurangi beban penanganan. Alih-alih dipandang sebagai “kompetitor viral”, mereka semestinya diapresiasi sebagai mitra kemanusiaan. Negara yang percaya diri tidak akan merasa tersaingi oleh solidaritas warganya.
    Salah satu kritik terbesar publik adalah tentang cara pandang yang menjadikan empati sebagai objek perbandingan kuantitatif. Rp 10 miliar dari publik memang tidak sebanding dengan triliunan anggaran pemerintah, tetapi tidak seharusnya dibandingkan sejak awal. Yang satu adalah kewajiban negara, yang lain adalah kemurahan hati masyarakat. Yang satu muncul dari pajak dan alokasi APBN, yang lain berasal dari dompet pribadi dan kepedulian spontan.
    Fakta bahwa masyarakat bisa menghimpun miliaran rupiah dalam hitungan hari justru menegaskan dua hal. Pertama, tingginya rasa
    solidaritas warga
    . Kedua, adanya kepercayaan publik terhadap gerakan sosial akar rumput. Relawan dipercaya karena dianggap sigap, transparan, dan dekat dengan penyintas. Kritik terhadap pemerintah harus dibaca sebagai dorongan untuk memperbaiki kinerja, bukan sebagai ancaman terhadap kewibawaan negara.
    Polemik ini harusnya menjadi bahan refleksi, bukan sekadar kontroversi sesaat. Pemerintah perlu menyadari bahwa apresiasi terhadap relawan tidak akan mengurangi legitimasi negara. Sebaliknya, merangkul relawan sebagai mitra strategis akan memperkuat ketahanan sosial saat bencana.
    Sikap defensif dan fokus pada citra justru menimbulkan kesan bahwa pemerintah lebih sibuk membela reputasi daripada memperbaiki pelayanan. Di era keterbukaan informasi, yang dibutuhkan bukan amplifikasi narasi, melainkan transparansi data, kecepatan respons, dan komunikasi publik yang empatik.
    Pada akhirnya, bencana adalah urusan semua pihak. Baik itu negara, masyarakat sipil, relawan, dan warga biasa. Tidak ada yang perlu merasa paling berjasa. Yang terpenting adalah memastikan para penyintas mendapatkan bantuan tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat kebutuhan.
    Solidaritas warga bukan kompetitor negara. Ia adalah fondasi yang menguatkan kita setiap kali bencana datang. Dan fondasi seperti ini tidak boleh diremehkan. Tidak pernah “kecil”. Tidak akan pernah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jelang Akhir Tahun, Anggaran Ketahanan Pangan Baru Terserap 64%

    Jelang Akhir Tahun, Anggaran Ketahanan Pangan Baru Terserap 64%

    Jakarta

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi anggaran ketahanan pangan baru mencapai Rp 93,4 triliun hingga Oktober 2025. Jumlah itu setara dengan 64,6% dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang sebesar Rp 144,6 triliun.

    Direktur Perekonomian dan Kemaritiman Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kemenkeu Tri Budhianto mengatakan realisasi anggaran tersebut disalurkan melalui belanja pemerintah pusat Rp 57,4 triliun, transfer ke daerah (TKD) Rp 13,9 triliun dan pembiayaan Rp 22,1 triliun.

    “Sampai 31 Oktober 2025 realisasi anggaran ketahanan pangan Rp 93,4 triliun atau 64,6% dari alokasi Rp 144,6 triliun. Kalau dibilang rendah, ya mungkin bisa dibilang rendah,” kata Tri di Karawang, Jawa Barat, Selasa (9/12/2025).

    Tri menyebut anggaran ketahanan pangan ini paling banyak untuk bagian infrastruktur sehingga realisasi fisiknya berjalan, namun pembayaran kontraknya terlambat atau biasanya dibayar di akhir. Ia memastikan saat pembayaran proyek infrastruktur pertanian sudah jatuh tempo, maka akan langsung dibayarkan sehingga realisasinya akan bertambah.

    “Alokasi-alokasi anggaran yang ada di APBN itu terutama alokasinya terkait dengan infrastruktur. Jadi fisiknya sudah berjalan, maka keuangannya biasanya agak terlambat di belakangnya,” ungkap Tri.

    Dari realisasi tersebut, di antaranya digunakan untuk cetak sawah dan intensifikasi lahan sebanyak 160,5 ribu hektare (Ha) dengan realisasi anggaran Rp 6,6 triliun atau 60,6% dari pagu Rp 10,9 triliun.

    Kemudian untuk bendungan sudah terealisasi 83,1% dari target 15 unit dengan realisasi anggaran Rp 11,9 triliun atau setara 65,9% dari pagu Rp 23 triliun. Lalu untuk Kampung Nelayan Merah Putih, budidaya ikan nila salin (BINS) dan peningkatan produksi garam nasional realisasi anggarannya mencapai Rp 2,1 triliun atau 79,8% dari pagu Rp 2,6 triliun.

    Terakhir, digunakan untuk Operator Investasi Pemerintah (OIP) Bulog per Oktober 2025 mencapai 494 ribu ton, gabah 1,64 juta ton dan jagung 347,6 ton. Anggaran yang digunakan sudah mencapai Rp 22,1 triliun atau 100% dari target.

    Anggaran ketahanan pangan di 2026 dipastikan akan berlanjut dengan jumlah yang lebih besar. Adapun untuk tahun depan alokasinya mencapai Rp 210,4 triliun.

    “Di tahun 2026 kita juga ingin tetap mempertahankan, yang kita harapkan dapat mendorong protektivitas, memastikan stabilitas harga juga tetap terjaga, termasuk juga untuk meningkatkan kesejahteraan petani ataupun pelayan,” tandasnya.

    Lihat juga Video ‘Taufiq Supriadi, Ketua RT Inovatif dari Jakarta Timur’:

    (fdl/fdl)

  • Prabowo Gelontorkan Rp 210 T buat Swasembada Pangan di 2026, Ini Rinciannya

    Prabowo Gelontorkan Rp 210 T buat Swasembada Pangan di 2026, Ini Rinciannya

    Jakarta

    Pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto mengalokasikan anggaran ketahanan pangan sebesar Rp 210,4 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Anggaran tersebut melonjak signifikan dibanding alokasi di 2025 yang senilai Rp 144,6 triliun.

    “Anggaran ketahanan pangan 2026 itu sekitar Rp 210,4 triliun. Jadi lebih naik lagi ya dibandingkan 2025,” kata Direktur Perekonomian dan Kemaritiman Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan, Tri Budhianto di Karawang, Jawa Barat, Selasa (9/12/2025).

    Tri mengatakan peningkatan anggaran tersebut disiapkan untuk mendorong produktivitas pangan, stabilitas harga dan peningkatan kesejahteraan petani ataupun nelayan. Pada akhirnya target swasembada pangan diharapkan dapat tercapai.

    “Anggaran 2026 memang semakin besar karena kita targetnya swasembada pangan. Secara ekosistemnya akan dibuat secara keseluruhan mulai dari hulu sampai hilir,” imbuhnya.

    Dari total anggaran Rp 210,4 triliun tersebut, porsi terbesar dialokasikan untuk produksi sebesar Rp 162,4 triliun. Pemanfaatannya antara lain untuk subsidi pupuk sebanyak 8,8 juta ton senilai Rp 46,9 triliun, lumbung pangan senilai Rp 23,7 triliun berupa cetak sawah dan optimasi lahan 550 ribu hektare (Ha).

    Selanjutnya, bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) pra-panen tanaman pangan sebanyak 42,3 ribu unit, pembangunan 15 bendungan, jaringan irigasi seluas 212 ribu Ha, serta operasi dan pemeliharaan sumber daya air (SDA) senilai Rp 19,1 triliun.

    Ada juga untuk pengembangan kawasan padi seluas 2,6 juta Ha, bantuan benih-indukan sebanyak 137,6 juta ekor, pembangunan 250 Kampung Nelayan Merah Putih Rp 5,5 triliun, pergaraman nasional seluas 1.000 Ha senilai Rp 1,2 triliun, serta Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Desa untuk ketahanan pangan sebesar Rp 50,7 triliun.

    Kemudian, untuk distribusi dan cadangan pangan sebesar Rp 27,8 triliun. Ini di antaranya untuk pengembangan pelabuhan perikanan terluar/berwawasan lingkungan 5 unit, pembangunan sarana dan prasarana di pelabuhan perikanan, serta cadangan pangan melalui Bulog untuk beras dan gabah sebanyak 3 juta ton dengan nilai Rp 22,7 triliun.

    Sementara itu, untuk sektor konsumsi dialokasikan Rp 6,2 triliun. Ini antara lain untuk bantuan kerawanan pangan bagi 15,5 ribu orang, gerakan pangan murah yang menyasar 38 kelompok masyarakat, serta Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dengan anggaran Rp 5,8 triliun.

    “Di 2026 kita ingin tetap mempertahankan, yang kita harapkan dapat mendorong protektivitas, memastikan stabilitas harga juga tetap terjaga, termasuk juga untuk meningkatkan kesejahteraan petani ataupun nelayan,” ujar Tri.

    (aid/fdl)

  • Sebut Bangun PLTN Jadi Keharusan, DEN: Bukan Lagi Opsi Terakhir

    Sebut Bangun PLTN Jadi Keharusan, DEN: Bukan Lagi Opsi Terakhir

    Jakarta

    Dewan Energi Nasional (DEN) menegaskan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) bukan lagi pilihan terakhir dalam arah kebijakan energi nasional. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang menggantikan PP 79 Tahun 2014.

    Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan Sekretariat Jenderal DEN Yunus Saefulhak menjelaskan dalam Grand Strategy untuk meningkatkan kedaulatan, Kemandirian dan ketahanan energi dalam transisi energi. Pemerintah kini akan memaksimalkan energi baru dan terbarukan, dan mulai penggunaan energi nuklir untuk menyeimbangkan dan mencapai target dekarbonisasi.

    “Saya kira memang bukan lagi sebagai last option (opsi terakhir) tetapi dia sebagai apa namanya penyeimbang ya di dalam target dekarbonisasi sektor energi. Artinya, nuklir sudah menjadikan hal yang harus, dan kemudian juga hidrogen, amonia, artinya energi-energi baru itu akan dikembangkan,” katanya dalam acara Outlook Energi Indonesia 2026 di Menara Danareksa, Jakarta, Selasa (9/12/2025).

    Selanjutnya, Yunus menyampaikan pemerintah juga akan meminimalkan penggunaan energi fosil, dan mengoptimalkan penggunaan gas sebagai transisi.

    “Artinya gas sampai tahun 2060 akan diupayakan untuk meningkat terus,” katanya.

    Adapun Yunus DEN menjelaskan bahwa target bauran EBT saat ini juga disesuaikan agar lebih realistis. Dalam kebijakan sebelumnya, target EBT ditetapkan 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.

    Namun dalam PP 40/2025, target tersebut mengalami penyesuaian, di mana target EBT pada 2030 mencapai 19-23%. Kemudian pada 2026 sebesar 70-72%.

    “Kemudian saya kira pendanaan tidak hanya dengan APBN tetapi juga APBD serta juga sumber lain yang sah tentunya baik nasional maupun internasional,” katanya.

    (eds/eds)

  • Anggaran Ketahanan Pangan 2026 Naik Jadi Rp 210,4 Triliun

    Anggaran Ketahanan Pangan 2026 Naik Jadi Rp 210,4 Triliun

    Liputan6.com, Jakarta – Pemerintah meningkatkan anggaran ketahanan pangan dalam APBN 2026 menjadi Rp 210,4 triliun. Anggaran tersebut melonjak signifikan dibandingkan outlook 2025 yang berada di kisaran Rp 159,7 triliun.

    “Alokasinya di tahun 2026 itu sekitar Rp 210,4 triliun. Jadi lebih, lebih naik lagi ya dibanding 2025,” kata Direktur Perekonomian dan Kemaritiman Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan, Tri Budhianto, dalam acara Kunjungan Kerja PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) dan Kementerian Keuangan ke Karawang, Jawa Barat, Selasa (9/12/2025).

    Tri mengatakan peningkatan anggaran tersebut disiapkan untuk mendorong produktivitas pangan sekaligus menjaga stabilitas harga, dan meningkatkan sejahteraan petani ataupun pelayan.

    “Di tahun 2026 kita juga ingin tetap mempertahankan, yang kita harapkan dapat mendorong protektivitas, memastikan stabilitas harga juga tetap terjaga, termasuk juga untuk meningkatkan sejahteraan petani ataupun nelayan,”  ujarnya.

    Lebih lanjut, Tri menjelaskan, dari total anggaran Rp 210,4 triliun tersebut, porsi terbesar dialokasikan untuk Produksi sebesar Rp 162,4 triliun. 

    Pemanfaatannya antara lain untuk Subsidi pupuk sebanyak 8,8 juta ton senilai Rp 46,9 triliun, Lumbung pangan senilai Rp 23,7 triliun, termasuk pencetakan sawah dan optimalisasi lahan seluas 550 ribu hektare.

    Selanjutnya, Bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) pra-panen tanaman pangan sebanyak 42,3 ribu unit, Pembangunan 15 bendungan, jaringan irigasi seluas 212 ribu hektare, serta operasi dan pemeliharaan sumber daya air (SDA) senilai Rp 19,1 triliun.

    Lalu, untuk pengembangan kawasan padi seluas 2,6 juta hektare, bantuan benih dan indukan sebanyak 137,6 juta ekor, Program Kampung Nelayan Merah Putih sebanyak 250 kampung dengan anggaran Rp 5,5 triliun, serta pergaraman nasional seluas 1.000 hektare senilai Rp 1,2 triliun. Terakhir, untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Desa untuk ketahanan pangan sebesar Rp 50,7 triliun.

     

     

     

  • Komisi XI Setujui PMN 2025 Rp 11,5 Triliun untuk 4 BUMN

    Komisi XI Setujui PMN 2025 Rp 11,5 Triliun untuk 4 BUMN

    Liputan6.com, Jakarta – Komisi XI DPR RI resmi menyetujui pencairan Penyertaan Modal Negara (PMN) tunai dalam APBN 2025 senilai total Rp 11,5 triliun untuk empat BUMN. Salah satunya untuk PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang memperoleh PMN Rp 1,8 triliun untuk pengadaan trainset dan retrofit KRL Jabodetabek.

    Selain KAI, PMN juga diberikan kepada PT Industri Kereta Api (INKA) sebesar Rp 473 miliar, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) sebesar Rp 2,5 triliun, serta PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) sebesar Rp 6,684 triliun.

    “Karena sudah sepakat semua, maka kesimpulan rapat ini saya nyatakan disetujui,” kata Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun dalam Rapat Kerja bersama Menteri Keuangan dan Kepala BP BUMN dikutip dari Antara, Selasa (9/12/2025). 

    Adapun PMN kepada INKA, Pelni, dan SMF diarahkan untuk memperkuat industri perkeretaapian nasional, modernisasi armada kapal penumpang, serta penyediaan pembiayaan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) lewat program 3 juta rumah.

     

  • Menteri Bahlil Beberkan Jurus Pemerintah demi Gaet Investor Hulu Migas

    Menteri Bahlil Beberkan Jurus Pemerintah demi Gaet Investor Hulu Migas

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memaparkan strategi pemerintah untuk menarik minat investor di sektor hulu minyak dan gas bumi. Kebijakan tersebut disampaikan pada 40 BIG Conference 2025 bertajuk Arah Bisnis 2026: Menuju Kedaulatan Ekonomi, yang berlangsung di Jakarta, Senin (8/12/2025).

    Ia menegaskan bahwa pemerintah telah membuka ruang relaksasi regulasi, penyederhanaan perizinan, dan penambahan insentif fiskal untuk meningkatkan daya tarik investasi. “Sekarang kami sudah banyak komunikasi, relaksasi berbagai kebijakan tentang sweetener. Dan saya pikir, sejak kami masuk, kami sudah memangkas berbagai tahapan regulasi. Jadi saya pikir, oke lah,” kata Bahlil.

    Meski tidak merinci insentif fiskal yang diberikan, Bahlil memastikan pemerintah optimistis terhadap pencapaian target lifting minyak nasional tahun ini yang diproyeksikan melampaui target APBN 2025, yakni di atas 605.000 barel per hari.

    Dari sisi industri, Kepala SKK Migas Djoko Siswanto menyampaikan target investasi hulu migas sebesar 16 miliar dollar AS pada 2026 atau sekitar Rp266 triliun dengan asumsi kurs Rp16.627 per dollar AS.

    Target tersebut akan didukung aktivitas eksplorasi yang lebih agresif. Dalam Work Program and Budget (WP&B) 2026, SKK Migas menargetkan sedikitnya 100 sumur eksplorasi, 100 penerapan teknologi Multi-Stage Fracturing (MSF), serta 100 sumur baru di struktur atau lapangan yang selama ini belum dikembangkan.

    Djoko mengungkapkan, tim teknis kini tengah memetakan 300 struktur potensial yang dapat menjadi lokasi pengeboran. Selain eksplorasi, SKK Migas juga menargetkan peningkatan lifting minyak pada 2026 menjadi 110.000 barel per hari, lebih tinggi dibandingkan target tahun ini sebesar 605.000 barel per hari. Optimisme tersebut ditopang rencana penerapan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR), serta percepatan pengelolaan sumur tua, sumur idle, dan lapangan yang melibatkan masyarakat.

    Djoko menegaskan bahwa kombinasi teknologi, percepatan eksplorasi, dan insentif pemerintah diharapkan dapat memperkuat ketahanan energi nasional serta mendorong peningkatan produksi migas di tengah menurunnya cadangan baru selama beberapa tahun terakhir.

  • Kesehatan vs Ekonomi, Pengusaha Senang Purbaya Batalkan Cukai Minuman Manis

    Kesehatan vs Ekonomi, Pengusaha Senang Purbaya Batalkan Cukai Minuman Manis

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha menyambut baik keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang batal menerapkan cukai minuman manis dalam kemasan (MBDK) pada tahun depan atau 2026. 

    Ketua Bidang Industri Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo ) Adhi Lukman mengapresiasi keputusan Purbaya, karena menyadari hal tersebut akan berdampak terhadap ekonomi. 

    Meski demikian, Adhi tetap mendukung langkah pemerintah dalam mengurangi konsumsi gula, garam, dan lemak. Namun, dirinya meyakini bahwa cukai MBDK bukan solusi dari mengurangi penyakit tidak menular (PTM). 

    “Kami sangat sepakat bahwa MBDK itu bukan cara untuk mengurangi PTM tersebut,” tuturnya dalam Konferensi Pers Apindo Economic Outlook 2026, Senin (8/12/2025).

    Dari sisi dunia usaha, Adhi menegaskan dukungannya untuk terus melakukan upaya pengurangan PTM, baik dari sisi formulasi produk hingga edukasi kepada konsumen. Namun, Adhi tidak memerinci terkait upaya edukasi apa yang dilakukan untuk menjaga kesehatan konsumen yang terdampak minuman manis.

    Dilansir dari situs resmi Kemenkeu, cukai bertujuan untuk mengendalikan konsumsi masyarakat, khususnya terhadap barang-barang yang bisa menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan. 

    Sebelumnya, Purbaya mengungkapkan bahwa pihaknya belum akan menerapkan cukai MBDK, meski sudah masuk dalam asumsi penerimaan APBN tahun depan. 

    Hal tersebut dirinya sampaikan dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi XI DPR, Senin (8/12/2025). Purbaya mengaku cukai MBDK belum akan dijalankan lantaran kondisi ekonomi belum membaik. 

    “Kami mulai memikirkannya ketika ekonomi sudah lebih baik dari sekarang. Saya pikir ketika ekonomi sudah tumbuh 6% lebih saya akan datang ke sini diskusikan cukai apa yang pantas diterapkan. Kalau sekarang ekonomi masyarakat belum cukup kuat,” tuturnya di hadapan anggota Komisi XI DPR.

    Adapun untuk menambal kurangnya penerimaan dari cukai MBDK, Purbaya akan mengenakan bea keluar untuk ekspor emas dan batu bara. Keduanya direncanakan mulai berlaku 2026. 

    Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menerangkan, pihaknya memasukkan target penerimaan total Rp23 triliun dari setoran tarif ekspor emas dan batu bara. 

    “[Bea keluar emas] Rp3 triliun setahun, batu bara Rp20 triliun. Yang emas sudah [masuk target APBN], yang batu bara belum karena tarifnya masih didiskusikan,” ungkapnya.

  • Cukai Minuman Manis Ditahan, Purbaya Tunggu Ekonomi Tumbuh 6 Persen

    Cukai Minuman Manis Ditahan, Purbaya Tunggu Ekonomi Tumbuh 6 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) belum akan diberlakukan dalam waktu dekat. Pemerintah baru akan mengaktifkan kebijakan ini apabila perekonomian masyarakat dinilai cukup kuat menanggung dampaknya.

    Purbaya menyampaikan, pertumbuhan ekonomi harus terlebih dahulu mencapai di atas 6 persen sebelum cukai MBDK diterapkan.

    “Memang kami belum akan menjalankannya. Kami akan jalankan dan mulai memikirkannya ketika ekonomi sudah dalam keadaan lebih baik dari sekarang,” ujar Purbaya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/12/2025).

    Ia menjelaskan, kondisi ekonomi saat ini belum ideal untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Menurutnya, penerapan cukai MBDK dikhawatirkan justru membebani pelaku usaha dan masyarakat apabila dilakukan terlalu cepat.

    “Saya pikir kalau ekonomi ada tumbuh 6 persen lebih, kami akan datang ke sini untuk mendiskusikan, cukai yang seperti apa yang pantas diterapkan. Kalau sekarang saya pikir ekonomi masyarakat belum cukup kuat,” tambahnya.

    Meski belum akan diterapkan dalam waktu dekat, tidak menutup kemungkinan bahwa cukai MBDK bisa mulai diberlakukan pada semester II tahun 2026, asalkan target pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen tercapai.

    “Kalau doa Anda manjur, mendoakan saya supaya berhasil, kita akan pungut di second half,” ujarnya menanggapi pertanyaan anggota DPR terkait kepastian penerapan cukai pada 2026.

    Dalam APBN 2026, pemerintah telah menargetkan penerimaan Rp 7 triliun dari cukai MBDK. Kebijakan cukai ini bertujuan menekan konsumsi gula berlebih melalui produk minuman kemasan, sekaligus meningkatkan penerimaan negara.