Topik: APBN

  • Konstruksi Berlanjut, Otorita Lelang Proyek Jalan KIPP 1A di IKN Rp1,2 Triliun

    Konstruksi Berlanjut, Otorita Lelang Proyek Jalan KIPP 1A di IKN Rp1,2 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) bakal melanjutkan konstruksi proyek jalan di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) 1A. Dalam laporannya, proyek itu dilelang dengan nilai konstruksi mencapai Rp1,2 triliun.

    Mengacu pada laman Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE), lelang Jalan Kawasan Pendukung KIPP 1A di IKN dimulai pada 5 Agustus 2025. Di mana, saat ini proses lelang tersebut telah masuk dalam tahap pengumuman prakualifikasi.

    Proyek ini bakal digarap dengan mekanisme pembiayaan kontrak tahun jamak atau multi years contract (MYC) bersumber dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) 2025 hingga 2027.

    Dalam dokumen yang dibagikan, panjang pelaksanaan Pembangunan Jalan Kawasan Pendukung KIPP 1A mencapai 5,39 kilometer (Km). Lewat Pembangunan ini, diharapkan bakal meningkatkan dukungan konektivitas di KIPP IKN.

    Adapun, jangka waktu keseluruhan pelaksanaan pekerjaan diprediksi bakal dimulai pada September 2025 dan ditargetkan rampung pada Desember 2027.

    Proses pengerjaan dihitung sejak tanggal mulai kerja sebagaimana ditetapkan dalam Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK). Di mana, waktu yang disediakan untuk menyelesaikan pekerjaan kecuali pelaksanaan pemeliharaan kinerja jalan dan jembatan untuk masing-masing lingkup selambat lambatnya 750 hari kalender.

    “Untuk pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan paket pembangunan Jalan Kompleks KIPP 1A ini diperlukan biaya sebesar Rp1,20 triliun dan dibiayai dari sumber dana APBN Tahun Anggaran 2025 – 2027,” tulis dokumen uraian singkat paket pembangunan, dikutip Selasa (12/8/2025).

    Sementara saat ini, total peserta yang tengah mengikuti lelang pengadaan proyek tersebut tembus 45 peserta. Proses pengumuman pemenang tender bakal dilakukan pada 30 September 2025.

    Sebelumnya, Badan Otorita IKN juga telah memulai beberapa pembangunan jalan di KIPP. Terdapat dua segmen yang saat ini tengah dikerjakan yakni jalan KIPP 1B dan 1C yang mencakup pembangunan jaringan jalan untuk menunjang konektivitas di KIPP IKN.

    Kepala Badan Otorita IKN, Basuki Hadimuljono menjelaskan bahwa hingga akhir Juli 2025 konstruksi kedua proyek senilai Rp3,04 triliun itu telah mencapai 10%. Posisinya jauh lebih besar dari target konstruksi yang ditetapkan sebesar 6%.

    “Perlu diperhatikan betul kualitasnya, pembangunan sudah terbilang cukup bagus dari awalnya target 6%, sekarang sudah berjalan 10%,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Minggu (20/7/2025).

    Dua segmen jalan di KIPP 1B dan 1C itu memiliki total panjang mencapai 12,2 kilometer (Km) dan terbagi ke dalam tujuh paket pengerjaan. 

    Meski masa pelaksanaan proyek direncanakan berakhir pada 31 Desember 2025, Basuki menegaskan pentingnya percepatan pembangunan demi menjamin kelancaran akses dan konektivitas di kawasan KIPP 1B dan 1C.

  • Pemerintah Diminta Jaga Tren Kenaikan Produksi Minyak

    Pemerintah Diminta Jaga Tren Kenaikan Produksi Minyak

    Jakarta

    Pemerintah memaparkan produksi minyak berada di kisaran 600 ribu barel per hari (BOPD) dan mencatat rekor 608,1 ribu BOPD pada Juni dan Juli. Hal tersebut disampaikan pada Konferensi Pers Capaian Kinerja Semester I oleh Kementerian ESDM.

    Dengan capaian ini diharapkan rata-rata tahunan dapat melampaui target APBN 2025 sebesar 605 ribu BOPD.

    Data resmi Kementerian ESDM mencatat, lifting migas – gabungan minyak mentah dan gas bumi siap jual – pada Januari-Juni 2025 mencapai 1.754,5 ribu barel setara minyak per hari (BOEPD) atau 109% dari target APBN sebesar 1.610 ribu BOEPD. Capaian ini menjadi yang pertama sejak 2008 di mana realisasi lifting melampaui target APBN.

    Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI, Mukhtarudin, memberikan apresiasi atas capaian sektor minyak dan gas (migas) nasional yang dipaparkan Kementerian ESDM. Menurut dia kondisi ini menunjukkan arah yang benar bagi ketahanan energi nasional.

    “Kinerja yang stabil di kisaran 600 ribu barel per hari, bahkan tembus 608 ribu pada Juni, adalah indikasi kuat bahwa kita berada di jalur yang tepat. Angka 608 ribu ini menjadi tolok ukur penting yang kalau bisa terus dipertahankan atau ditingkatkan, sangat mungkin mendorong rata-rata tahunan melampaui target APBN 605 ribu barel per hari,” kata dia dalam keterangannya, Selasa (12/8/2025).

    “Tren ini membuktikan bahwa strategi optimasi lapangan, pemeliharaan fasilitas yang tepat waktu, serta koordinasi erat antara pemerintah, SKK Migas, dan KKKS mulai membuahkan hasil nyata,” tambahnya.

    Menurut dia tantangan natural decline sumur-sumur tua tidak ringan, tetapi dengan tren kenaikan ini, peluang untuk menjaga lifting di atas target APBN 2025 sangat terbuka. Yang perlu kita pastikan sekarang adalah keberlanjutan.

    “Itu berarti mempercepat proyek-proyek hulu migas, memaksimalkan potensi lapangan existing dengan teknologi seperti Enhanced Oil Recovery (EOR), dan memastikan program sumur rakyat yang akan mulai berproduksi Agustus benar-benar optimal. Potensi tambahan 10-15 ribu BOPD dari sumur komunitas akan menjadi penopang yang signifikan,” tambah Anggota Komisi XII DPR RI itu.

    “Fraksi Partai Golkar akan terus mendukung kebijakan fiskal dan regulasi yang pro-investasi, insentif bagi wilayah frontier dan deepwater, serta penyederhanaan perizinan. Tujuannya jelas: memastikan ketahanan energi nasional tetap kokoh di tengah agenda transisi energi dan volatilitas pasar global,” tegas legislator asal daerah pemilihan Kalimantan Tengah itu.

    Lifting minyak, yang hanya menghitung minyak mentah siap jual, rata-rata semester I 2025 berada di 602,4 ribu BOPD atau 99,5% dari target APBN sebesar 605 ribu BOPD. Produksi bulanan menunjukkan konsistensi di kisaran 600 ribu BOPD, dengan tren meningkat di bulan terakhir:

    Januari: 599,6 ribu BOPD (99,2% target)

    Februari: 598,5 ribu BOPD (99%)

    Maret: 602,9 ribu BOPD (99,8%)

    April: 602,4 ribu BOPD (99,7%)

    Mei: 567,9 ribu BOPD (94%) akibat shutdown pemeliharaan di beberapa lapangan besar

    Juni: 608,1 ribu BOPD (100,5%), tertinggi sejak 2008

    Lifting gas pada periode yang sama mencapai 1.199,7 ribu BOEPD atau 119% dari target APBN sebesar 1.005 ribu BOEPD, dengan 69% dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik – meliputi industri, pembangkit listrik, jaringan gas rumah tangga, BBG, LNG, dan LPG – serta 31% diekspor sesuai kontrak.

    (kil/kil)

  • Video: Permintaan Gas Naik Saat RI Terikat Kontrak Ekspor, Solusinya?

    Video: Permintaan Gas Naik Saat RI Terikat Kontrak Ekspor, Solusinya?

    Jakarta, CNBC Indonesia- Kementerian ESDM mencatat kinerja positif produksi gas bumi nasional di paruh pertama tahun 2025 yang mencapai rata-rata 1.199,7 Million Barrel of Oil Equivalent per Day (MBOEPD) atau mencapai 119%. Sementara untuk pemanfaatan gas bumi di H1-2025 mencapai 5.598 Billion British Thermal Units per Day (BBTUD), dimana untuk kebutuhan domestik mencapai 3.877 BBTUD atau 69%.

    Tenaga Ahli Bidang Percepatan Infrastruktur Migas Kementerian ESDM, Anggawira menyebutkan produksi gas saat ini sudah di atas target APBN dan mampu memenuhi kebutuhan domestik sehingga neraca sektor gas bumi mengalami surplus.

    ESDM mencatat adanya tren peningkatan konsumsi gas bumi dalam negeri yang mencerminkan adanya pertumbuhan industri domestik. Meski demikian mengingat produksi gas bumi sudah dikontrakan maka saat terjadi penambahan konsumsi dari dalam negeri harus dilakukan alokasi kontrak ekspor.

    Menghadapi kondisi ini, ESDM bersama SKK Migas tengah menyusun formula terhadap penyaluran gas bumi agar saat terjadi penambahan konsumsi domestik tidak mengganggu kontrak kerja produksi gas yang sudah disepakati sebelumnya. Di sisi lain, pemerintah juga mendorong penguatan dan peningkatan infrastruktur gas untuk memperluas pemanfaatan gas alam cair (LNG).

    Pemerintah tengah membangun terminal LNG dan FSRU (Floating Storage Regasification Unit) sebagai penampung. Selain itu juga dibangun pipa transmisi CISEM yang ditargetkan terkoneksi di 2026 serta jalur pipa Duri- Sei Mangke yang bisa selesai 2028.

    Seperti apa kinerja produksi gas bumi? Bagaimana pembangunan infrastruktur gas untuk memperluas jaringan pemanfaatan gas dalam negeri? Selengkapnya simak dialog Shinta Zahara dengan Tenaga Ahli Bidang Percepatan Infrastruktur Migas Kementerian ESDM, Anggawira dalam Squawk Box, CNBC Indonesia (Selasa, 12/08/2025)

  • PIK 2 Melesat: Rp1,2 Triliun Pra-Penjualan, Disusul Proyek Wisata Hijau Berkelas Dunia

    PIK 2 Melesat: Rp1,2 Triliun Pra-Penjualan, Disusul Proyek Wisata Hijau Berkelas Dunia

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Semester pertama 2025 menjadi babak penting bagi PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI). Perusahaan ini sukses mencatat pra-penjualan Rp1,2 triliun, dengan CBD PIK 2 menyumbang Rp451 miliar.

    Presiden Direktur PIK 2 Sugianto Kusuma, atau Aguan, menyebut lonjakan 50 persen pada kuartal II sebagai momentum kepercayaan pasar.

    “Pencapaian ini menjadi sinyal positif bahwa pasar merespons baik pengembangan kami. Ke depan, kami akan terus menghadirkan proyek yang relevan dengan kebutuhan saat ini sekaligus memberikan nilai jangka panjang bagi masyarakat,” ucapnya dalam keterbukaan informasi BEI, Minggu (10/8/2025).

    Segmen komersial PANI membuahkan penjualan Rp231 miliar dari berbagai proyek ruko dan SOHO, termasuk Rukan Marina Bay, One Business Park, Bizpark PIK 2, SOHO The Riverside Boulevard, Rukan Asia Afrika, Rukan Pasar, hingga Ruko Little Siam.

    Sementara itu, Pasir Putih Residences, Padma, dan Bukit Nirmala mendorong penjualan hunian Rp247 miliar, naik 76 persen.

    Dengan lahan 1.845 hektare, PANI terus berekspansi melalui peluncuran Rukan Pasar Milenial, One Business Park, dan Exclusive Designer Series at Okinawa.

    Tak hanya soal properti, pemerintah melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menetapkan ekowisata Tropical Coastland di PIK 2 sebagai PSN prioritas.

    Proyek bernilai Rp65 triliun ini akan berdiri di lahan 1.755 hektare tanpa dana APBN, memadukan kawasan wisata hijau, pelestarian mangrove, dan peluang kerja bagi lebih dari 19 ribu orang.

    Dengan konsep eco-city, PIK 2 diproyeksikan menjadi destinasi yang memadukan gaya hidup, pariwisata, dan keberlanjutan lingkungan. (Pram/fajar)

  • Ini 4 Catatan Ekonom ke Sri Mulyani Sebelum Lanjutkan Efisiensi APBN Lagi

    Ini 4 Catatan Ekonom ke Sri Mulyani Sebelum Lanjutkan Efisiensi APBN Lagi

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan melanjutkan efisiensi belanja seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN. Terdapat beberapa catatan yang harus diperhatikan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto guna memastikan efisiensi berjalan pada jalur yang benar. 

    Untuk diketahui, PMK tersebut mengatur ihwal efisiensi belanja yang ditujukan untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan mendukung program prioritas pemerintah. 

    Menariknya di dalam beleid itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan pos anggaran dari 16 menjadi 15 pos yang diefisiensi kalau membandingkannya dengan jumlah yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

    Adapun kalau merujuk beleid baru tersebut, pos-pos anggaran yang kena efisiensi antara lain alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan.

    Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur.

    Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede memberikan empat poin catatan bagi pemerintah untuk melaksanakan efisiensi belanja ke depannya. Pertama, penerapan efisiensi jangan diberlakukan secara keseluruhan di seluruh pos anggaran atau across-the-board. 

    Sebab, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1/2025 yang menjadi acuan efisiensi belanja pemerintah pada awal tahun ini memasukkan pembangunan infrastruktur dan pengadaan peralatan/mesin ke dalam area identifikasi.

    “Sehingga ada risiko salah sasaran bila pemangkasan tak berbasis output,” jelas Josua kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).

    Kedua, percepatan realokasi dan lelang agar pergeseran ke belanja modal atau capital expenditure (capex) tidak menimbulkan pengeluaran yang rendah (low disbursement) pada paruh kedua. Josua mewanti-wanti pemerintah agar menggunakan mekanisme ‘blokir-buka’ anggaran yang cepat, bukan penahanan berkepanjangan.

    Ketiga, layanan dasar yang meliputi pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, serta proyek yang didanai skema khusus seperti pinjaman/hibah/BLU/SBSN sesuai koridor Inpres/PMK. 

    Keempat, penguatan terhadap reviu belanja secara kuartalan berbasis kinerja. Hal itu termasuk koordinasi dengan daerah saat penyesuaian transfer ke daerah (TKD). 

    “Agar efisiensi benar-benar menekan biaya input seremonial/operasional, bukan mengorbankan output pelayanan publik atau serapan capex yang menopang investasi,” ujar Josua.

    Menurut pengamatan Josua, arah kebijakan efisiensi yang diatur pada PMK No.56/2025 dalam melanjutkan mandat Inpres No.1/2025 itu relatif tepat sasaran. Sebab, PMK yang baru diterbitkan Sri Mulyani pada akhir Juli lalu itu secara eksplisit menyasar pos-pos dengan efek berganda atau multiplier effect rendah di belanja barang/jasa dan sebagian belanja modal (perjalanan dinas, rapat/semiloka, sewa, jasa profesional, iklan/publikasi, pengadaan kendaraan, percetakan/souvenir, dan lain-lain).

    Di sisi lain, efisiensi yang dicanangkan pemerintah itu dinilai sambil tetap melindungi belanja pegawai dan bantuan sosial. 

    Sebagai informasi, Inpres No.1/2025 yang diterbitkan Presiden Prabowo sebelumnya menargetkan efisiensi total Rp306,7 triliun, yang meliputi anggaran kementerian/lembaga Rp256,1 triliun, serta Rp50,6 triliun pada TKD. 

    Efisiensi pada PMK itu juga, lanjut Josua, memprioritaskan agar pemangkasan tidak berasal dari pinjaman/hibah, Rupiah Murni Pendamping, PNBP-BLU yang disetor ke kas negara, maupun proyek yang menjadi underlying SBSN—sehingga ruang fiskal dialihkan ke program prioritas Presiden tanpa menurunkan layanan dasar.

    Di sisi lain, PMK baru itu juga merinci 15 jenis belanja sebagai objek efisiensi yang dinilai teknisnya untuk mendorong “value for money”.

    Belum Ada Penjelasan Rinci Efisiensi Anggaran Lanjutan

    Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara masih enggan menjelaskan lebih lanjut perincian efisiensi APBN yang dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto setelah pelaksanaan pertama di awal tahun ini. 

    Namun demikian, Suahasil menjelaskan bahwa kementeriannya bakal mengumumkan lebih lanjut soal implementasi PMK tersebut. Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu menuturkan, efisiensi akan terus dilakukan karena merupakan keinginan setiap lembaga. 

    “Kalau efisiensi kan memang sudah menjadi keinginan kita setiap lembaga. Terus mencari efisiensi dalam anggaran. Jadi lanjut terus aja, dalam pelaksanaan, dalam perencanaan,” tuturnya di Istana Kepresidenan. 

    Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, PMK Nomor 56/2025 itu mengatur bahwa anggaran belanja yang terdampak efisiensi antara lain anggaran belanja kementerian atau lembaga, dan efisiensi transfer ke daerah. 

    “Hasil efisiensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) utamanya digunakan untuk kegiatan prioritas Presiden yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” tertulis dalam beleid itu, dikutip pada Rabu (6/8/2025).

    Menariknya di dalam beleid itu, Sri Mulyani tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan pos anggaran dari 16 menjadi 15 pos yang terkena efisiensi kalau membandingkannya dengan jumlah yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

    Meski demikian, aturan baru tersebut belum menyebut secara spesifik berapa nilai besaran anggaran yang terdampak efisiensi. PMK itu hanya menekankan bahwa Menteri Keuangan (Menkeu) bisa menyesuaikan item anggaran yang terkena efisiensi sesuai arahan presiden. 

    Selain itu, meski tetap merujuk kepada kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh presiden, Menteri Keuangan berhak menetapkan besaran efisiensi anggaran dan menyampaikannya kepada masing-masing kementerian dan lembaga.

  • Kurva Terbalik Efisiensi Anggaran, Defisit APBN Justru Membengkak

    Kurva Terbalik Efisiensi Anggaran, Defisit APBN Justru Membengkak

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara agresif melakukan efisiensi belanja untuk mendukung program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Ironisnya, aksi gencar efisiensi belanja itu dilakukan ketika outlook defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 terkerek naik dari 2,53% menjadi 2,78% dari produk domestik bruto (PDB).

    Pelebaran ruang fiskal di tengah beban anggaran yang cukup besar dan penerimaan pajak yang terkontraksi hingga 7% pada semester 1/2025, tentu berisiko. Outlook defisit anggaran yang mencapai 2,78% dari PDB juga tercatat tertinggi dalam tiga tahun terakhir.

    Risiko lainnya, pemerintah harus menambah utang yang diperkirakan mencapai Rp772,9 triliun sampai akhir tahun. Meski lebih rendah dari target senilai Rp775,9 triliun, outlook utang pemerintah 2025 diperkirakan mengerek rasio utang terhadap PDB hingga 41,6%. Alhasil, sebagai jalan pintas, pemerintah kemudian menggunakan sisa anggaran lebih alias SAL tahun 2024 senilai Rp85,6 triliun untuk meminimalkan risiko fiskal akibat pembengkakan utang dan menjaga defisit di bawah 3% dari PDB.

    Di sisi lain, melalui implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 yang mengatur efisiensi belanja, pemerintah sejatinya telah memberikan sinyal bahwa efisiensi anggaran kemungkinan terjadi lebih radikal atau sebaliknya, karena dalam Pasal 4 ayat 6 PMK tersebut, pelaksanaan efisiensi akan memperhitungkan penerimaan pajak secara keseluruhan.

    “PMK ini menegaskan bahwa pelaksanaan kebijakan efisiensi harus mempertimbangkan pencapaian target penerimaan perpajakan secara keseluruhan,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro kepada Bisnis belum lama ini.

    Aturan PMK Efisiensi

    Sekadar informasi bahwa pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN.

    Lewat aturan tersebut, Kemenkeu menekankan bahwa efisiensi belanja dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan mendukung program prioritas pemerintah. Cakupan anggaran belanja yang terdampak efisiensi antara lain anggaran belanja kementerian atau lembaga, dan efisiensi transfer ke daerah. 

    Menariknya di dalam beleid itu, Sri Mulyani tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan item belanja kena efisiensi dari 16 menjadi 15 pos dibandingkan yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

    Adapun kalau merujuk beleid baru tersebut, pos-pos anggaran yang kena efisiensi antara lain, alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan. Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

    Meski demikian, aturan baru tersebut juga tidak menyebut secara spesifik berapa nilai besaran anggaran yang terdampak efisiensi. PMK itu hanya menekankan bahwa Menteri Keuangan (Menkeu) bisa menyesuaikan item anggaran yang terkena efisiensi sesuai arahan presiden. 

    Selain itu, meski tetap merujuk kepada kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh presiden, aturan itu memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan besaran efisiensi anggaran dan menyampaikannya kepada masing-masing kementerian atau lembaga. 

    Catatan Ekonom Soal Efisiensi

    Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede memberikan empat poin catatan bagi pemerintah untuk melaksanakan efisiensi belanja ke depannya. Pertama, penerapan efisiensi jangan diberlakukan secara keseluruhan di seluruh pos anggaran atau across-the-board. 

    Sebab, Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 yang menjadi acuan efisiensi belanja pemerintah pada awal tahun ini memasukkan pembangunan infrastruktur dan pengadaan peralatan/mesin ke dalam area identifikasi. “Sehingga ada risiko salah sasaran bila pemangkasan tak berbasis output,” jelas Josua.

    Kedua, percepatan realokasi dan lelang agar pergeseran ke belanja modal atau capital expenditure (capex) tidak menimbulkan pengeluaran yang rendah (low disbursement) di paruh kedua. Josua mewanti-wanti pemerintah agar menggunakan mekanisme ‘blokir-buka’ anggaran yang  yang cepat, bukan penahanan berkepanjangan. 

    Ilustrasi pembangunan

    Ketiga, layanan dasar yang meliputi pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, serta proyek yang didanai skema khusus seperti pinjaman/hibah/BLU/SBSN sesuai koridor Inpres/PMK. Keempat, penguatan terhadap reviu belanja secara kuartalan berbasis kinerja. Hal itu termasuk koordinasi dengan daerah saat penyesuaian transfer ke daerah (TKD). 

    “Agar efisiensi benar-benar menekan biaya input seremonial/operasional, bukan mengorbankan output pelayanan publik atau serapan capex yang menopang investasi,” ujar Josua.

    Menurut pengamatan Josua, arah kebijakan efisiensi yang diatur pada PMK No.56/2025 dalam melanjutkan mandat Inpres No.1/2025 itu relatif tepat sasaran. Sebab, PMK yang baru diterbitkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhir Juli lalu itu secara eksplisit menyasar pos-pos dengan efek berganda atau multiplier effect rendah di belanja barang/jasa dan sebagian belanja modal (perjalanan dinas, rapat/semiloka, sewa, jasa profesional, iklan/publikasi, pengadaan kendaraan, percetakan/souvenir, dan lain-lain).

    Penerimaan Pajak Jadi Kunci

    Sementara itu, peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan bahwa defisit anggaran dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tahun depan, pemerintah akan melanjutkan sejumlah program unggulan atau prioritas yang mulai dijalankan tahun ini.

    Program tersebut menurutnya juga akan mengalami penyesuaian target penerima, yang berpotensi bertambah. Peningkatan jumlah penerima ini akan mendorong kebutuhan anggaran lebih besar untuk belanja prioritas.

    Di sisi lain, tantangan pada pos penerimaan pajak diperkirakan masih akan berlanjut tahun depan. Indikator tax buoyancy yang rendah menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB belum mampu secara signifikan meningkatkan penerimaan pajak. Kondisi ini dipengaruhi antara lain oleh tingginya tingkat informalitas di sektor usaha serta kebutuhan pemberian insentif pajak.

    Terkait efisiensi, pemerintah akan mengarahkannya pada pos-pos yang tidak berhubungan langsung dengan program prioritas, seperti perjalanan dinas, rapat, seminar, dan belanja barang.

    “Namun, porsi pos-pos ini relatif kecil terhadap total anggaran, sehingga dampak efisiensinya terhadap penurunan belanja secara keseluruhan tidak signifikan. Hal ini karena belanja terbesar tetap dialokasikan untuk program-program utama yang tidak termasuk dalam kebijakan efisiensi.”

  • Daerah Mulai Waswas Efisiensi Bikin Kas Cekak, Ekonomi Bakal Tertekan?

    Daerah Mulai Waswas Efisiensi Bikin Kas Cekak, Ekonomi Bakal Tertekan?

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah daerah mulai terimbas oleh kebijakan efisiensi belanja transfer ke daerah. Mereka mulai menyiapkan antisipasi untuk memastikan bahwa efisiensi anggaran tidak berdampak negatif terhadap target-target pembangunan daerah. 

    Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel), misalnya, berharap kebijakan efisiensi dana transfer ke daerah di pemerintah pusat tidak memberikan dampak negatif terhadap kelangsungan program daerah. 

    Kepala Bidang Perekonomian dan Pendanaan Pembangunan Bappeda Sumsel Hari Wibawa mengatakan mekanisme penahanan dana efisiensi di pusat diharapkan tidak menjadi penghambat akselerasi program prioritas di Bumi Sriwijaya. Terutama, kata dia, pada pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan penguatan layanan publik yang dimana saat ini dampak dari penundaan sebenarnya sudah mulai terasa.

    “Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan memahami bahwa efisiensi TKD sesuai PMK 56/2025 bertujuan untuk memastikan anggaran digunakan secara tepat sasaran,” ujarnya, Senin (11/8/2025). 

    Terlebih, Hari menuturkan, Sumsel memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional. Hal itu dapat dilihat dari share PDRB Sumsel terhadap Pulau Sumatera yang sebesar 13,63%. Sehingga kelancaran transfer dana akan berdampak langsung pada sejumlah instrumen penting daerah. 

    “Mulai dari pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan daya saing daerah,” jelasnya. 

    Sebagai upaya dalam menghadapi efisiensi anggaran, imbuh Hari, Pemerintah Provinsi Sumsel telah melakukan beberapa langkah. Pertama, melakukan penguatan pendapatan asli daerah (PAD), dengan meningkatkan jumlah kendaraan bermotor yang membayar pajak. Kedua, pihaknya juga mengirimkan Surat Gubernur kepada pemerintah pusat untuk tetap menganggarkan atau melanjutkan proyek-proyek PSN yang telah ditetapkan di Sumsel. 

    “Fokusnya pada proyek yang memberi multiplier effect besar terhadap perekonomian daerah, seperti infrastruktur distribusi hasil pertanian dan energi,” jelasnya.

    DAK Fisik Jabar Berkurang Rp169 Miliar

    Pemerintah Provinsi Jawa Barat terdampak efisiensi anggaran yang beleidnya diteken oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    Beleid yang berlaku mulai 5 Agustus 2025 lalu, sejak awal menjadi bahan pembahasan dalam perancangan APBD Perubahan 2025 Provinsi Jawa Barat. Sekda Jabar Herman Suryatman mengatakan kepada Bisnis jika aturan tersebut memiliki dampak pada kementerian dan lembaga di tingkat Pusat.

    “Untuk daerah hanya berpengaruh pada Dana Transfer Daerah,” katanya, Senin (11/8/2025).

    Namun, diakui Herman, PMK 56/2025 tetap membawa dampak pada pengurangan anggaran ke Provinsi Jawa Barat. “Untuk Jawa Barat terkena dampak pengurangan DAK Fisik sebesar Rp169 miliar,” ujarnya.

    Adapun, pada Rancangan APBD perubahan Jabar 2025, Pemprov Jabar menargetkan  Pendapatan Daerah mengalami peningkatan semula sebesar Rp30,99 triliun menjadi sebesar Rp31,09 triliun atau bertambah sebesar Rp94,95 miliar, naik 0,31%. 

    Rinciannya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp19,31 triliun bertambah sebesar Rp64,42 miliar menjadi Rp19,37 triliun. Sedangkan Pendapatan Transfer yang semula Rp11,67 triliun bertambah sebesar Rp30,52 miliar menjadi Rp11,70 triliun, naik 0,26%. Sementara, Pendapatan Daerah lain-lain tidak mengalami perubahan yaitu Rp23,19 miliar.

    Risiko Ekonomi Tertekan 

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menilai langkah pemerintah pusat mencadangkan TKD hasil efisiensi dan tidak menyalurkannya ke daerah—sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (4) dan (5) PMK 56/2025—akan memukul belanja modal daerah.

    “Belajar dari enam bulan terakhir saat Inpres 1/2025 berlaku, pemotongan TKD sekitar Rp50 triliun, terutama pada DAK [Dana Alokasi Khusus] fisik, berdampak signifikan. Hampir setengah DAK fisik dipangkas dan itu sangat mengganggu proyek-proyek infrastruktur yang menjadi kewenangan daerah,” ujar Armand kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).

    Menurutnya, DAK fisik memiliki peran ganda, yaitu mendorong pemerataan pembangunan dan pencapaian prioritas nasional, serta menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi lokal. Pemangkasan anggaran tersebut, lanjutnya, membuat daerah kehilangan daya dorong untuk menjalankan pembangunan sesuai kebutuhan masing-masing.

    KPPOD mencatat bahwa selain infrastruktur, efisiensi belanja juga memukul sektor jasa. Misalnya, larangan penggunaan anggaran untuk kegiatan di hotel berdampak pada industri perhotelan dan restoran di daerah, serta mengurangi penerimaan pajak daerah dari sektor tersebut.

    “Kalau aktivitas di hotel dan restoran berkurang, penerimaan dari pajak hotel dan restoran juga turun. Jadi efeknya berlapis,” ujar Armand.

    Sejalan, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman meyakini efisiensi TKD melalui penahanan pencairan dana akan berdampak langsung ke keterlambatan proyek infrastruktur daerah, pengurangan belanja modal, dan hilangnya potensi efek pengganda (multiplier effect) di sektor riil daerah.

    Menurut pengajar di Universitas Trilogi Jakarta itu, daerah dengan ketergantungan tinggi pada TKD seperti daerah tertinggal dan otonomi khusus akan merasakan kontraksi belanja publik yang signifikan.

    “Dalam jangka pendek, ini dapat menekan pertumbuhan ekonomi regional, memperlambat penciptaan lapangan kerja, dan menurunkan daya beli. Dalam jangka panjang, ketertinggalan infrastruktur dan layanan publik bisa semakin lebar antarwilayah,” ungkap Rizal kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).

  • Meneropong Anggaran Infrastruktur Prabowo Jelang Nota Keuangan RAPBN 2026

    Meneropong Anggaran Infrastruktur Prabowo Jelang Nota Keuangan RAPBN 2026

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto diketahui bakal mengumumkan penetapan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran (TA) 2026 pada pekan ini, tepat sebelum pelaksanaan Upacara HUT ke-80 Republik Indonesia.

    Jelang pengumuman tersebut, pos anggaran infrastruktur menjadi salah satu yang menarik dibahas. Pasalnya, pada masa kepemimpinan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) pihaknya kerap jor-joran mengalokasikan modal belanja untuk mendukung pembangunan konektivitas jalan tol hingga Ibu Kota Nusantara (IKN).

    Sebagaimana diketahui, alokasi anggaran infrastruktur TA 2025 masih ditetapkan oleh Presiden ke-7 RI Jokowi pada pelaksanaan Nota Keuangan yang digelar pada 16 Agustus 2024. Di mana, semulanya Anggaran itu ditetapkan Jokowi sebesar Rp400,3 triliun.

    “Pembangunan infrastruktur dianggarkan sebesar Rp400,3 triliun,” kata Jokowi dalam Pidato Nota Keuangan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (16/8/2024). 

    Kala itu, Jokowi menjelaskan anggaran infrastruktur tersebut utamanya bakal digunakan untuk mendorong pembanguan infrastruktur Pendidikan dan Kesehatan, infrastruktur konektivitas, infrastruktur pangan dan energi.

    Namun demikian, pos anggaran belanja infrastruktur tersebut tak sepenuhnya disalurkan pada masa kepemimpinan Presiden Prabowo usai pihaknya mencanangkan program efisiensi anggaran.

    Perlu Jadi Prioritas

    Meski demikian, sejumlah pakar belum dapat memprediksi berapa anggaran infrastruktur yang bakal dikucurkan Prabowo. Pakar Transportasi ITB sekaligus Anggota Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PU, Sonny Sulaksono mengaku belum sama sekali mendapat gambaran berapa alokasi anggaran infrastruktur tersebut.

    “Saya belum melihat angka-angka untuk alokasi APBN 2026 jadi belum bisa menanggapi [berapa proyeksi anggaran infrastruktur yang bakal dikucurkan],” kata Sonny kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).

    Senada, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno mengatakan hal serupa. Di mana, dia mengaku belum mendapat pola rumusan anggaran infrastruktur yang akan ditetapkan Prabowo.

    Hanya saja, dia berpandangan bahwa rumusan anggaran infrastruktur perlu menjadi prioritas pemerintah. Terlebih, guna menciptakan pemetaan pembangunan di Indonesia.

    “Kita butuh melakukan pengembangan infrastruktur ke daerah-daerah penghasil mineral yang umumnya pembangunan infrrastrukturnya terbelakang. Semuanya fokusnya ke Jawa, Jakarta padahal daerah miskin banyak di Indonesia. Ada Morowali, Halmahera Pulau Obi itu penghasil mineral semua,” tandasnya.

    Kebutuhan Anggaran Infrastruktur

    Sebagai gambaran, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat mengungkapkan bahwa Indonesia membutuhkan anggaran infrastruktur US$625,37 miliar atau setara dengan Rp10.302,97 triliun (asumsi kurs Rp16.475 per dolar AS) untuk 2025—2029. 

    Sri Mulyani menyampaikan bahwa pemerintah menhadapi kebutuhan anggaran untuk memperluas konektivitas dan memastikan akses yang adil terhadap layanan infrastruktur dasar. 

    Bendahara Negara tersebut tidak menampik bahwa pembiayaan untuk infrastruktur ini menjadi kendala serius karena pemerintah hanya mampu memberikan 40% dari kas negara atau sekitar Rp4.121,22 triliun. 

    “Jadi, kita pasti menghadapi kesenjangan pendanaan ini. Hal ini akan memerlukan partisipasi sektor swasta, dukungan dari banyak mitra, dan juga penciptaan mekanisme pendanaan inovatif,” ujarnya dalam International Conference on Infrastructure (ICI) di JCC, Kamis (12/6/2025). 

    Mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025—2029 yang dipaparkan, gap financing atau kesenjangan pendanaan untuk membiayai infrastruktur Indonesia sebesar 60% yang tidak mampu dibiayai APBN diharapkan dapat ditopang oleh injeksi investasi BUMN/BUMD dan sektor swasta. 

    Masing-masing diharapkan dapat berkontribusi 30% atau sekitar US$187,61 miliar atau setara Rp3.090,87 triliun dalam lima tahun ke depan. 

    Di samping adanya kesenjangan pendanaan, Sri Mulyani menyoroti adanya kesenjangan permintaan infrastruktur yang signifikan, terutama di daerah regional dan yang kurang terlayani. 

    Terlebih, masih minimnya partisipasi sektor swasta dalam pengembangan infrastruktur serta banyak proyek menunjukkan viabilitas yang marginal yang memerlukan dukungan untuk menarik investasi swasta.

  • Wakil Ketua DPR RI Minta Pemerintah Daerah Pastikan Seluruh Pekerja Dilindungi BPJS Ketenagakerjaan

    Wakil Ketua DPR RI Minta Pemerintah Daerah Pastikan Seluruh Pekerja Dilindungi BPJS Ketenagakerjaan

    Jakarta: Wakil Ketua DPR RI Bidang Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Korkesra), Cucun Ahmad Syamsurijal, mendorong seluruh unsur pemerintah daerah peduli terhadap perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja di wilayahnya.

    Pihaknya menegaskan bahwa hal tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat namun juga pemerintah daerah.

    “Ini (perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan) tidak bisa juga dipegang tanggung jawab ini oleh pemerintah pusat saja, tapi pemerintah daerah harus peduli bagaimana rakyatnya juga, bukan hanya pekerja-pekerja formal, tapi pekerja informal juga mendapatkan proteksi,” tegasnya.

    Menurutnya perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan merupakan hal yang wajib dimiliki oleh seluruh pekerja agar terlindung dari risiko kecelakaan kerja maupun kematian yang dapat terjadi kapan dan di mana saja.

    “Banyak di sini, buruh tani, para pedagang, tukang ojek, punya hak mendapatkan proteksi, tapi kalo untuk membayar proteksinya tanpa kehadiran pemerintah daerah, pasti kesulitan,” ujar Cucun kepada awak media usai memberikan sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan di  Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
     

    “Makanya saya juga mengajak kepada pemerintah-pemerintah daerah, ayo lindungi warganya, supaya mereka juga mendapatkan jaminan dalam kehidupan sehari-hari ini, kan tidak bisa diprediksi apa yang akan terjadi,” imbuhnya.

    Pihaknya juga menyambut baik kolaborasi antara BPJS Ketenagakerjaan dan DPR RI dalam upaya mendorong cakupan kepesertaan program jaminan sosial ketenagakerjaan lewat  peningkatan literasi masyarakat dan para pemangku kepentingan di daerah.

    “Regulasinya sudah jelas di undang-undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sudah dicantumkan bahwa kewajiban negara melindungi. Termasuk di undang-undang APBN, sekarang pemerintah daerah diberi kewenangan melalui dana alokasi umumnya untuk membayar premi proteksi baik BPJS kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan,” pungkasnya.

    Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Pramudya Iriawan Buntoro yang juga hadir dalam kegiatan tersebut mengapresiasi kepedulian yang diberikan DPR RI terdahap perlindungan dan kesejahteraan pekerja.

    “Terima kasih kepada Komisi IX DPR RI atas perhatian besar terhadap perlindungan pekerja di seluruh Indonesia,” terang Pramudya.

    Menurutnya dengan dorongan kolaborasi antar lembaga yang kuat, maka universal coverage jaminan sosial ketenagakerjaan dapat segera terwujud.

    Menurut data, hingga Juli 2025 BPJS Ketenagakerjaan telah sukses melindungi 39,5 juta pekerja. Sementara itu untuk Provinsi Kalimantan Selatan jumlahnya mencapai 758 ribu pekerja, atau 47,89 persen dari seluruh penduduk yang bekerja.
     

    “Capaian ini adalah suatu hal yang baik, tapi kami dan DPR RI juga terus mendorong seluruh stakeholder, pemerintah daerah, kemudian kepada seluruh masyarakat untuk terus mendapatkan pelindungan program jaminan sosial ketenagakerjaan,” ungkap Pramudya.

    Pihak mengakui bahwa dalam mengedukasi masyarakat, BPJS Ketenagakerjaan membutukan dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat agar tingkat literasi dan awareness pekerja terus meningkat.

    “Bersama tokoh masyarakat seperti hari ini tentunya ini menjadi dorongan bagi kita bersama, khususnya stakeholder yang ada di daerah untuk bisa sama-sama melihat bahwa jaminan sosial itu adalah suatu program negara yang memang sudah penting dan wajib ada di tengah masyarakat kita,” imbuhnya.

    Pramudya menegaskan bahwa BPJS Ketenagakerjaan akan senantiasa menjadi sahabat pekerja yang tidak hanya melindungi namun juga memastikan keluarganya dapat hidup tenang dan sejahtera.

    “Negara sudah mendesain program ini dengan sangat baik, dan DPR juga sudah membuat regulasi yang jelas, jadi sangat disayangkan jika jaminan sosial ketenagakerjaan ini tidak dimanfaatkan oleh masyarakat,” pungkas Pramudya.

    Jakarta: Wakil Ketua DPR RI Bidang Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Korkesra), Cucun Ahmad Syamsurijal, mendorong seluruh unsur pemerintah daerah peduli terhadap perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja di wilayahnya.
     
    Pihaknya menegaskan bahwa hal tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat namun juga pemerintah daerah.
     
    “Ini (perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan) tidak bisa juga dipegang tanggung jawab ini oleh pemerintah pusat saja, tapi pemerintah daerah harus peduli bagaimana rakyatnya juga, bukan hanya pekerja-pekerja formal, tapi pekerja informal juga mendapatkan proteksi,” tegasnya.

    Menurutnya perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan merupakan hal yang wajib dimiliki oleh seluruh pekerja agar terlindung dari risiko kecelakaan kerja maupun kematian yang dapat terjadi kapan dan di mana saja.
     
    “Banyak di sini, buruh tani, para pedagang, tukang ojek, punya hak mendapatkan proteksi, tapi kalo untuk membayar proteksinya tanpa kehadiran pemerintah daerah, pasti kesulitan,” ujar Cucun kepada awak media usai memberikan sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan di  Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
     

     
    “Makanya saya juga mengajak kepada pemerintah-pemerintah daerah, ayo lindungi warganya, supaya mereka juga mendapatkan jaminan dalam kehidupan sehari-hari ini, kan tidak bisa diprediksi apa yang akan terjadi,” imbuhnya.
     
    Pihaknya juga menyambut baik kolaborasi antara BPJS Ketenagakerjaan dan DPR RI dalam upaya mendorong cakupan kepesertaan program jaminan sosial ketenagakerjaan lewat  peningkatan literasi masyarakat dan para pemangku kepentingan di daerah.
     
    “Regulasinya sudah jelas di undang-undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sudah dicantumkan bahwa kewajiban negara melindungi. Termasuk di undang-undang APBN, sekarang pemerintah daerah diberi kewenangan melalui dana alokasi umumnya untuk membayar premi proteksi baik BPJS kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan,” pungkasnya.
     
    Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Pramudya Iriawan Buntoro yang juga hadir dalam kegiatan tersebut mengapresiasi kepedulian yang diberikan DPR RI terdahap perlindungan dan kesejahteraan pekerja.
     
    “Terima kasih kepada Komisi IX DPR RI atas perhatian besar terhadap perlindungan pekerja di seluruh Indonesia,” terang Pramudya.
     
    Menurutnya dengan dorongan kolaborasi antar lembaga yang kuat, maka universal coverage jaminan sosial ketenagakerjaan dapat segera terwujud.
     
    Menurut data, hingga Juli 2025 BPJS Ketenagakerjaan telah sukses melindungi 39,5 juta pekerja. Sementara itu untuk Provinsi Kalimantan Selatan jumlahnya mencapai 758 ribu pekerja, atau 47,89 persen dari seluruh penduduk yang bekerja.
     

     
    “Capaian ini adalah suatu hal yang baik, tapi kami dan DPR RI juga terus mendorong seluruh stakeholder, pemerintah daerah, kemudian kepada seluruh masyarakat untuk terus mendapatkan pelindungan program jaminan sosial ketenagakerjaan,” ungkap Pramudya.
     
    Pihak mengakui bahwa dalam mengedukasi masyarakat, BPJS Ketenagakerjaan membutukan dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat agar tingkat literasi dan awareness pekerja terus meningkat.
     
    “Bersama tokoh masyarakat seperti hari ini tentunya ini menjadi dorongan bagi kita bersama, khususnya stakeholder yang ada di daerah untuk bisa sama-sama melihat bahwa jaminan sosial itu adalah suatu program negara yang memang sudah penting dan wajib ada di tengah masyarakat kita,” imbuhnya.
     
    Pramudya menegaskan bahwa BPJS Ketenagakerjaan akan senantiasa menjadi sahabat pekerja yang tidak hanya melindungi namun juga memastikan keluarganya dapat hidup tenang dan sejahtera.
     
    “Negara sudah mendesain program ini dengan sangat baik, dan DPR juga sudah membuat regulasi yang jelas, jadi sangat disayangkan jika jaminan sosial ketenagakerjaan ini tidak dimanfaatkan oleh masyarakat,” pungkas Pramudya.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

    (PRI)

  • 7
                    
                        Sri Mulyani Dinilai Tak Paham Konstitusi Usai Singgung Gaji Guru dan Dosen
                        Nasional

    7 Sri Mulyani Dinilai Tak Paham Konstitusi Usai Singgung Gaji Guru dan Dosen Nasional

    Sri Mulyani Dinilai Tak Paham Konstitusi Usai Singgung Gaji Guru dan Dosen
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak memahami spirit Undang-Undang Dasar 1945 ketika menyinggung rendahnya gaji dosen dan guru.
    “Ïni menandakan bahwa Bu Menteri tidak memahami, tidak mengerti betul itu yang apa spirit dari Pasal 31 undang-undang Dasar 45 bahwa untuk mendapatkan pendidikan adalah hak warga negara,” ujar Satriwan saat dihubungi
    Kompas.com
    , Senin (11/8/2025).
    Ia menuturkan, UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa semua warga negara berhak mendapatkan pelayananan pendidikan sehingga negara wajib membiayai pendidikan nasional.
    Satriwan melanjutkan, Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 juga menyatakan bahwa tujuan nasional negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
    Oleh sebab itu, guru dan dosen sebagai garda terdepan untuk mencapai tujuan tersebut semestinya dimuliakan dan mendapatkan tempat yang bermartabat. 
    “Dalam kenyataannya mereka profesi mulia terhormat bermartabat, tetapi mereka tidak mendapatkan kesejahteraan yang sesuai dengan apa yang sudah mereka lakukan untuk mencapai cita-cita mulia tadi,” ujar Satriwan.
    Satriwan menilai, ini bukan kali pertama pernyataan dari Sri Mulyani seakan tidak menganggap penting profesi guru dan dosen.
    “Tahun 2018 pernah menyampaikan juga bahwa anggaran APBN untuk tunjangan guru, dalam artian untuk tunjangan sertifikasi guru, sangat besar, tetapi kualitasnya masih rendah,” ucap dia.
    Kemudian, pada 2024, Sri Mulyani menawarkan skema atau pola baru dalam penghitungan APBN untuk pendidikan sebagai
    mandatory budgeting
    yang minimal 20 persen diambil dari pendapatan, bukan dari pengeluaran APBN.
    “Bu Sri Mulyani mesti menginsafi, menyadari bahwa untuk aspek dalam tata kelola negara, khususnya aspek pendidikan dan sektor kesehatan, ini adalah dua sektor yang paling fundamental untuk memajukan sumber daya manusia,” kata Satriwan.
    “Pendidikan itu memang harus dibiayai oleh negara karena itu adalah tugas, itu kewajiban negara dan pemerintah secara konstitusional,” ujar dia.
    Sebagai informasi, Menkeu Sri Mulyani menyoroti curahan hati sejumlah orang yang merasa gaji guru dan dosen di Indonesia sangat rendah.
    Ia lalu mengatakan, masalah tersebut memang menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan anggaran belanja negara.
    Tantangan ini kemudian menimbulkan tanda tanya besar: haruskah masyarakat ikut menanggung gaji guru dan dosen agar profesi ini mendapatkan gaji yang layak?
    Pasalnya, jika hanya mengandalkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), dikhawatirkan kesejahteraan guru dan dosen menjadi kurang.
    “Ini salah satu tantangan bagi keuangan negara. Apakah semuanya harus dibiayai oleh keuangan negara atau ada partisipasi dari masyarakat?” ucap Sri saat menghadiri acara Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia 2025, Kamis (7/8/2025).
    Ucapan Sri Mulyani Indrawati ini menuai kritik dari berbagai pihak.
    Ia dianggap kurang peka terhadap banyaknya tenaga pendidik di Indonesia yang masih mendapat bayaran kecil.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.