Topik: APBN

  • Prabowo Butuh 24.000 Dapur MBG Lagi hingga Akhir 2025

    Prabowo Butuh 24.000 Dapur MBG Lagi hingga Akhir 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Gizi Nasional (BGN) telah mengoperasikan sekitar 6.000 unit Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga Agustus 2025. 

    Pemerintah bakal mengejar 24.000 dapur MBG sisanya dalam 4 bulan terakhir 2025. 

    Deputi Promosi dan Kerja Sama Badan Gizi Nasional, Nyoto Suwignyo  menjelaskan bahwa saat ini total Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau dapur MBG yang telah beroperasi mencapai 6.096 unit yang tersebar di seluruh Indonesia.

    Adapun, hingga akhir 2025 pemerintah menargetkan mengoperasikan 30.000 unit dapur MBG untuk melayani 82,9 juta penerima manfaat.

    “Bapak Presiden Republik Indonesia telah menegaskan, kami diminta untuk menghadirkan sebanyak 30.000 satuan pelayanan konsumen ini untuk menjangkau 82,9 juta penerima manfaat. Dan ini harus tuntas di tahun 2025 infrastrukturnya,” kata Nyoto dalam agenda Pelepasan Tim Ekspedisi Patriot yang digelar Kementerian Transmigrasi di Jakarta, Minggu (24/8/2025).

    Dia menjelaskan bahwa pihaknya saat ini tengah mengebut penyaluran guna memastikan target penerima manfaat mencapai 82,9 juta dapat tercapai pada akhir tahun ini.

    “Penerima manfaat secara nasional sampai tanggal 24 Agustus itu adalah potensinya mencapai 75,22 juta penerima manfaat dan terima saat ini kami mencapai [penyaluran kepada] 20,02 juta penerima manfaat,” jelasnya.

    Sebelumnya, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) disebut baru menyerap pagu anggaran mencapai Rp10,3 triliun dari total pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 senilai Rp71 triliun 

     “Badan Gizi sampai hari ini kami baru menyerap Rp10,3 triliun uang yang dianggarkan dari Rp71 triliun, belum ada menyentuh yang di-standby-kan Rp100 triliun,” kata Dadan saat ditemui di Kantor Berita Antara, Jakarta, Selasa (19/8/2025).

    Adapun di sisa tahun ini, Dadan mengaku pihaknya tengah mengoptimalkan untuk menyerap anggaran APBN 2025 senilai Rp71 triliun. 

    Dadan mengaku optimistis, pasalnya dana MBG yang terserap diproyeksi akan terus meningkat ke depan, seiring dengan meningkatnya jumlah penerima manfaat.

  • Bicara soal Cukai Minuman Manis 2026, Menkes: Gula Ibu dari Semua Penyakit

    Bicara soal Cukai Minuman Manis 2026, Menkes: Gula Ibu dari Semua Penyakit

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin angkat bicara terkait rencana penerapan cukai minuman manis dalam kemasan (MBDK) pada tahun 2026. Seperti yang diketahui cukai MBDK bakal diterapkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.

    Menkes menjelaskan penerapan cukai MBDK menjadi salah satu langkah yang penting untuk mengendalikan tingkat konsumsi gula di masyarakat. Menurutnya, gula darah tinggi masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang tinggi kasusnya di Indonesia.

    Gula darah tinggi masih menjadi salah satu faktor risiko utama banyak penyakit kronis.

    “Gula ini adalah penyebab apa istilahnya, mother of all diseases. Ibu dari semua penyakit. Kalau gula tinggi dan tidak terkendali, itu bisa nyerang ginjal, bisa nyerang mata, bisa nyerang jantung, bisa nyerang stroke,” kata Menkes ketika ditemui awak media di Jakarta Pusat, Minggu (24/8/2025).

    “Jadi kematian yang besar-besar itu karena stroke, karena jantung, karena ginjal, salah satu penyebab utamanya adalah kadar gula yang tinggi,” sambungnya.

    Oleh karena itu, banyak negara maju menerapkan aturan ketat berkaitan konsumsi minuman kemasan manis, termasuk cukai. Menkes berharap cara ini juga bisa menjadi cara untuk mendidik masyarakat terkait bahaya konsumsi minuman manis dalam kemasan secara berlebihan.

    Untuk memeriksa faktor risiko, ia mengimbau masyarakat untuk segera memanfaatkan program cek kesehatan gratis (CKG).

    “Yuk dikurangi gula maksimal kan 2 sendok makan per hari,” ungkap Menkes.

    “Dan diukur cek kesehatan gratis, itu program gratis yang Bapak Presiden kasih biar ketahuan tuh gulanya diatas 200 atau enggak,” tandasnya.

    (avk/kna)

  • Cukai Minuman Manis di Antara Isu Kesehatan dan Pendapatan Negara

    Cukai Minuman Manis di Antara Isu Kesehatan dan Pendapatan Negara

    Bisnis.com, JAKARTA — Sekali lagi, pemerintah dan DPR sepakat untuk segera mengimplementasikan cukai minuman berpemanis dalam kemasan alias MBDK.

    Pemerintah menilai penerapan kebijakan itu perlu untuk menjaga kesehatan masyarakat, namun pelaku usaha merasa tujuan utama otoritas fiskal hanya demi mengerek pendapatan negara.

    Notabenenya, wacana penerapan cukai MBDK sudah ada sejak 2020. Kendati demikian, penerapannya terus diundur dari tahun ke tahun.

    Terbaru, rencana penerapan cukai MBDK kembali ditetapkan dalam Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Dalam rapat dengan pemerintah pada Jumat (22/8/2025), Komisi XI DPR juga sepakat dengan penerapan cukai MBDK pada tahun depan.

    “Pengaturan pengenaan cukai atas MBDK bertujuan untuk mendukung upaya pengendalian konsumsi atas produk yang memiliki eksternalitas negatif terhadap kesehatan sehingga dapat mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas hidup masyarakat,” jelas pemerintah dalam dokumen Nota Keuangan RAPBN 2026, dikutip Minggu (24/8/2025).

    Kendati demikian, otoritas fiskal mengakui implementasi kebijakan itu berpotensi menghadapi risiko dari sisi kesiapan pelaku usaha, terutama bersumber dari keberagaman produk dan rantai distribusi yang berpotensi menimbulkan kompleksitas dalam pelaksanaan.

    Selain itu, pemerintah mengidentifikasi risiko dari masyarakat yang menyadari pentingnya kebijakan cukai minuman manis. Oleh sebab itu, pemerintah menyatakan siap menumbuhkan kesadaran dari masyarakat secara terus-menerus atas efek negatif dari konsumsi gula berlebih bagi kesehatan.

    “Hal lain yang perlu diantisipasi adalah kesiapan pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban administrasi cukai MBDK, mulai dari penerapan cukai dan pelaporannya. Pemerintah akan secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan memberikan informasi serta edukasi lainnya yang relevan,” jelas Nota Keuangan.

    Produsen Belum Siap

    Asosiasi Industri Minuman Ringan alias Asrim menyatakan belum siap dengan penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan alias MBDK pada tahun depan.

    Ketua Umum Asrim Triyono Prijosoesilo mengaku tidak kaget dengan rencana implementasi cukai MBDK dalam RAPBN 2026. Menurutnya, rencana tersebut sudah masuk ke dalam APBN beberapa tahun terakhir meski tak kunjung terealisasi.

    Hanya saja, Triyono berharap pemerintah mempertimbangkan kondisi ekonomi dan dampak penerapan cukai MBDK ke industri. Dia berpendapat, cukai MBDK hanya akan menambah beban bagi industri yang ujungnya akan menjadi beban bagi konsumen/masyarakat.

    Cukai MBDK, sambungnya, akan mengakibatkan kenaikan harga produk yang akan berdampak pada penurunan penjualan. Apalagi, Asrim mencatat kinerja industri minuman siap saji dalam kemasan masih dalam tekanan besar. 

    “Pertumbuhan sejak 2023 terus menurun. 2023 pertumbuhan di kisaran 3,1%, kemudian menurun ke 1,2% di 2024. Bahkan kuartal I/2025, terus turun menjadi -1,3%. Ini perlu menjadi perhatian kita semua termasuk pemerintah,” kata Triyono kepada Bisnis, Rabu (20/8/2025).

    Dia menilai implementasi cukai MBDK sekedar upaya menambah jenis pajak baru guna menaikkan tax ratio atau rasio pajak terhadap produk domestik bruto. Menurut Triyono, otoritas fiskal seperti berburu di kebun binatang karena subjek pajak/cukai MBDK adalah perusahaan-perusahaan yang selama ini sudah membayar beragam jenis pajak.

    Tak hanya itu, klaimnya, penerapan cukai minuman manis terbukti di berbagai negara tidak efektif untuk menurunkan tingkat prevalensi penyakit tidak menular/obesitas.

    “Bagi Indonesia, kami meyakini hal yang sama akan terjadi. MBDK bukan kontributor utama sumber kalori bagi masyarakat Indonesia. Data BPS 2022 menunjukkan bahwa kontributor utama konsumsi kalori dalam pangan [makanan dan minuman] datang dari pangan yang disiapkan di rumah, sebesar 79%,” ucapnya.

    Oleh sebab itu, Triyono meyakini penerapan cukai MBDK hanya menyasar sebagian kecil sumber pasokan gula/kalori bagi masyarakat sehingga dampaknya ke penambahan beban industri dalam negeri.

    Target Penerimaan dari Cukai MBDK

    Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbhakun menjelaskan besaran tarif cukai MBDK masih akan dibahas bersama-sama antara parlemen dan pemerintah. Selain itu, sambungnya, akan ada pembahasan mengenai ambang batas atau threshold persentase kadar gula dalam MBDK yang akan dikenakan cukai.

    “Misalnya dalam kandungan per miligram itu 0,5 atau 0,3. Kita sepakat di threshold-nya. Jangan sampai kemudian dinolkan, kan enggak,” kata Misbakhun usai Rapat Pengambilan Keputusan atas Asumsi Dasar RAPBN 2026 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (22/8/2025).

    Adapun dalam APBN 2025, pemerintah sudah sempat menetapkan target penerimaan dari cukai MBDK yaitu sebesar Rp3,8 triliun—meski realisasinya masih nol karena kebijakannya belum terealisasi. Besaran target itu hanya setara 1,56% dari total target penerimaan cukai 2026 sebesar Rp244,2 triliun.

  • Menteri PU Targetkan Konstruksi 65 Sekolah Rakyat Rampung Tahun Ini

    Menteri PU Targetkan Konstruksi 65 Sekolah Rakyat Rampung Tahun Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo memastikan konstruksi Sekolah Rakyat (SR) tahap 1C tengah dikebut pembangunannya sepanjang tahun ini. Di mana, setidaknya terdapat 65 SR baru yang akan dibangun

    Menteri PU, Dody Hanggodo menuturkan bahwa 63 lokasi SR Tahap IC itu nantinya akan dibangun menggunakan APBN, sementara untuk 2 lokasi SR Tahap IC dibangun menggunakan APBD.

    Pada saat yang sama, Dody juga menegaskan bahwa pelaksanaan pembangunan SR Tahap IC saat ini berjalan sesuai rencana dan menunjukkan progres yang signifikan. 

    “Dari sisi pelaksanaan konstruksi, progres fisik menunjukkan capaian positif. Ditargetkan, SR Tahap IC sudah dapat beroperasi pada awal September 2025,” tegas Dody dalam keterangan resmi (24/8/2025).

    Lebih lanjut, 65 Sekolah Rakyat yang akan dibangun itu akan menampung sebanyak 248 rombongan belajar (rombel) dengan kapasitas 6.190 siswa, meliputi jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

    Adapun, secara keseluruhan konstruksi SR Tahap IC telah menunjukkan progres di atas 90% di beberapa lokasi seperti BLK Subulussalam, BLK Bireuen, dan Gedung Eks SMP Unggul di Pidie Jaya, Aceh.

    Sementara itu, Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp24,9 triliun untuk Sekolah Rakyat (SR) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

    Jumlah tersebut melonjak 255,71% dibandingkan dengan anggaran pada 2025 yang hanya sebesar Rp7 triliun.

    Perincian penyalurannya, sebanyak Rp20 triliun digunakan untuk pembangunan 200 SR yang dilaksanakan oleh Kementerian PU. sedangkan sisanya Rp4,9 triliun untuk operasional 200 SR dilaksanakan oleh Kementerian Sosial (Kemensos).

  • Rocky Gerung Bandingkan Rezim Jokowi dan Soeharto, Siapa Lebih Bengis?

    Rocky Gerung Bandingkan Rezim Jokowi dan Soeharto, Siapa Lebih Bengis?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Politik, Rocky Gerung membandingkan gaya kepemimpinan dua mantan kepala negara antara Presiden ke 2 RI Soeharto dan Presiden ke 7 RI Joko Widodo.

    Rocky memandang Jokowi merupakan mantan Kepala Negara yang paling kejam. Bahkan melebihi kebengisan Soeharto.

    Penilaian ini didasarkan dari salah satu megaproyek Jokowi, Ibukota Nusantara (IKN).

    “Apa kurang kejamnya Jokowi, dia bikin IKN, dia jual enggak laku ke China. Dia jual ke Amerika, enggak laku. Dia jual ke Mesir, gak laku. Dia jual ke Malaysia, Singapore, gak laku,” kata Rocky dikutip dari unggahan akun Instagram @filosof_in, pada Sabtu (23/8/2025).

    “Lalu akhirnya dia paksa oligarki itu untuk nyumbang di depan, nda cukup. Dia suruh APBN pindahkan 40 persen ke IKN,” sambungnya.

    Sementara lanjut Rocky, pada saat yang sama, seorang pria berkeluarga di Kupang, nekat mengakhiri hidupnya karena tidak mampu membeli beras.

    “Bengisan siapa dengan pak Harto? Tidak pernah ada di zaman Soeharto orang bunuh diri karena enggak bisa makan,” Rocky menuturkan.

    Pria yang dimaksud itu setiap bulan berdiri di depan gerbang kantor desa menanti bantuan dari Jokowi.

    “Padahal orang ini setiap bulan di Kupang itu nunggu di pintu gerbang desa untuk dapat Bantuan Langsung Tunai (BLT),” ungkapnya.

    “Dan itu ilmunya Jokowi, membujuk orang supaya tidak produktif, tidak pintar,” tambahnya.

    Rocky membeberkan bahwa sebagian besar mereka yang menunggu BLT dari Jokowi merupakan pemilih yang tidak tamat kelas 7 SMP.

    “Bagaimana mungkin kita bicara hal-hal normatif, etik, pada pemilih yang 80 persen tidak tamat kelas 7. Artinya tidak tamat SMP,” imbuhnya.

  • Noel, Mentalitas Korup, dan "Indonesia Sold Out"
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 Agustus 2025

    Noel, Mentalitas Korup, dan "Indonesia Sold Out" Nasional 23 Agustus 2025

    Noel, Mentalitas Korup, dan “Indonesia Sold Out”
    Antropolog, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember
    SIAPA
    tidak kenal Immanuel Ebenezer Gerungan? Pria kelahiran Riau yang populer dengan sapaan Noel adalah Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Kabinet Merah-Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto.
    Noel dikenal sebagai aktivis 98 yang mengklaim punya komitmen terhadap demokrasi dan pemberantasan korupsi.
    Suaranya menggelegar, tegas, berwibawa. Ucapannya penuh dengan kata-kata yang mengekspresikan idealisme.
    ”Kami tidak mau pemerintahan awal Prabowo dirusak oleh brutus, para klepto. Dalam pidato Pak Prabowo disampaikan, jangan kirim orang yang mau nyopet anggaran APBN dan APBD. Pidato itu cocok dengan karakter saya sebagai aktivis 98 yang punya komitmen dengan demokrasi dan pemberantasan korupsi,” kata Noel seusai dipanggil Prabowo Subianto pada 15 Oktober 2024 menjelang pelantikan presiden (
    Kompas.id
    , 21/08/2025).
    Ucapan yang penuh idealisme itu dibatalkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Noel ditangkap KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT).
    Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama 10 orang lain dalam kasus pemerasan terhadap perusahaan terkait pengurusan sertifikat K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). KPK menyita berbagai mobil dan motor mewah.
    Noel adalah pejabat kelas menteri pertama pada pemerintahan Presiden Prabowo yang tersangkut korupsi.
    Noel menambah panjang deret pejabat kelas menteri sejak era reformasi yang meringkuk di penjara akibat korupsi. Belum pejabat lain di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
    Siapa akan menyusul? Apakah kita yakin bahwa tak akan ada lagi pejabat kelas menteri pada pemerintahan Prabowo yang tersangkut korupsi, kendati sang presiden selalu bicara keras tentang korupsi?
    Dulu saya mengira bahwa korupsi hanya dilakukan oleh kalangan tak berpunya. Tak berpunya secara ekonomi, pun tak berpunya secara kekuasaan.
    Bila pendapatan naik, kesejahteraan meningkat, korupsi hilang dengan sendirinya. Ternyata, hal itu ilusi belaka.
    Ternyata, ada gaya korupsi kelas kakap, korupsi kaum atasan. Mereka golongan berpunya secara ekonomi, sekaligus berpunya secara kekuasaan.
    Yang terakhir, berpunya secara kekuasaan, justru kategori yang melipatgandakan nilai yang dikorupsi, pola/modus, dan komplotannya.
    Di tangan mereka, korupsi dilakukan dengan menggunakan ilmu. Bukan sekadar ilmu memanfaatkan celah di dalam sistem, melainkan ilmu menyusun celah di dalam sistem.
    Untuk kasus Noel, ternyata, pengurusan sertifikat K3 memberikan ruang bagi pemegang kekuasaan untuk “mengambil keuntungan” berlipat-lipat yang dilarang oleh peraturan dan berakibat pidana korupsi. Nilainya tentu sangat besar dilihat dari barang bukti yang disita KPK.
    Saya lalu teringat teori budaya kemiskinan yang ditemukan Oscar Lewis. Kemiskinan ternyata bukan soal struktural belaka. Bukan urusan sistem distribusi kue pembangunan saja.
    Menurut Lewis, kemiskinan dapat muncul sebagai akibat nilai-nilai dan budaya yang dianut oleh kaum miskin itu sendiri.
    Kemiskinan ternyata bisa membentuk nilai-nilai, etos, dan mentalitas tertentu yang membuat kaum miskin sulit keluar dari kubangan kemiskinan.
    Nilai-nilai, etos, dan mentalitas produk kemiskinan itu sebut saja “mentalitas miskin”. Perubahan sistem distribusi kue pembangunan tidak dengan sendirinya mengubah mentalitas miskin itu.
    Saya melihat, realitas korupsi di negeri menyerupai kemiskinan dan membentuk “mentalitas korup”. Perubahan dari pemerintahan Soeharto ke pemerintahan reformasi terbukti tak membuat kita keluar dari kubangan korupsi. Meski disediakan lembaga dan perangkat hukum untuk memberantas korupsi.
    Bourdieu menyebutnya habitus. Ia bukan sekadar kebiasaan atau kecenderungan, melainkan sistem disposisi yang tertanam di dalam diri individu.
    Siapapun bisa terjangkiti. Tinggal ada kesempatan atau tidak. Tak mudah melawannya, karena mentalitas korup yang menjadi habitus akan membuat seseorang kehilangan kepekaan dan daya tolak, alias kebal. Bahasa awamnya, “mendarah daging”.
    Mereka tahu tindakannya melanggar hukum, korup, dan merugikan negara dalam jumlah yang tidak kecil, tapi tak cukup berdaya untuk menghindarinya. Bahkan, secara sadar dijalaninya. Muncullah pola atau modus secara berulang.
    Saya melihat, mentalitas korup itu terkesan diamini di zaman komodifikasi yang digerakkan kapitalisme pasar.
    Di zaman pasar, nyaris tak ada hal yang tak bisa dijajakan, dikapitalisasi. Tentu saja demi keuntungan material.
    Sebagaimana hukum pasar, bukan sekadar keuntungan, tapi keuntungan yang berlipat-lipat. Tak peduli urusan sakral, sosial, dan kemanusiaan.
    Apa yang bisa menjelaskan korupsi di urusan haji, bantuan sosial, covid-19, dan sejenisnya kalau bukan mentalitas korup?
    Ternyata, ucapan Noel yang penuh idealisme tak mampu menyelamatkannya. Habitus itu membuat jurang antara ucapan dan tindakan, memproduksi perilaku hipokrit.
    Noel seharusnya mendekonstruksi sistem pengurusan sertifikat K3 yang korup, tapi malah terjerembab di dalamnya.
    Air matanya yang meleleh saat mengenakan rompi oranye dengan tangan terborgol bukan lagi ekspresi kesedihan, melainkan olok-olok terhadap diri sendiri.
    Kita sudah melampaui vampir. Bila vampir menghisap darah orang lain untuk bertahan hidup, kita menghisap darah untuk kemewahan.
    Yang menarik, meski kebetulan saja, pada hari itu juga sejumlah massa dari Gerakan Mahasiswa Bersama Rakyat (Gemarak) membentangkan spanduk besar bertuliskan “Indonesia Sold Out” di depan pintu gerbang Gedung DPR/MPR RI (
    Kompas.com
    , 21/08/2025).
    Bertambahlah kosakata yang menjadi antitesis “Indonesia Emas”. Sebelumnya ada “Indonesia Gelap” dan “Indonesia Cemas”, kini bertambah “Indonesia Sold Out”.
    Tak sulit membaca nalarnya. Kaum muda membaca bahwa negeri ini telah habis terjual. Harta kekayaannya dikeruk dan digadaikan kepada rentenir.
    Kaum muda itu melihat Ibu Pertiwi bersedih hati. Ternyata, putra-putrinya tak setia menjaga harta pusaka. Mereka lah yang akan menanggung akibatnya. Karena itu, sangat logis bila mereka berteriak keras.
    Nalarnya sama dengan Prabowo saat presiden kita itu menulis buku berjudul
    Paradoks Indonesia dan Solusinya
    . Negeri yang kaya raya, tapi sebagian besar rakyatnya miskin. Penyebabnya adalah “serakahnomics”.
    Mentalitas korup dan serakahnomics bagaikan dua sisi pada mata uang yang sama. Saling melengkapi, saling mengondisikan. Keduanya menjelma sebagai habitus. Membutakan mata hati dan menumpulkan ketajaman akal sehat.
    Kita lalu tak mampu merasakan dan mencerna secara kritis bahwa tata kelola negeri ini sungguh bobrok, yang kebobrokannya mengancam eksistensi Indonesia. Inilah sesungguhnya musuh utama bangsa Indonesia.
    Siapa yang akan kebal di kubangan semacam itu? Barangkali hanya “kegilaan” dalam bentuk lain.
    Tesis hanya bisa dilawan dengan antitesis yang setara. Bila mentalitas korup dan serakahnomics dianggap kegilaan, maka hanya bisa ditandingi oleh kegilaan yang lain.
    Sejarah membuktikan. Indonesia pun lahir dari kegilaan lain pada zamannya. Perubahan besar di dunia ini selalu muncul dari kegilaan lain. Kini, sejarah Indonesia menuntut kegilaan lain.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sri Mulyani, dari diksi “beban negara” ke “beban deepfake”

    Sri Mulyani, dari diksi “beban negara” ke “beban deepfake”

    Surabaya (ANTARA) – Barangkali, Menteri Keuangan Sri Mulyani hanya sekali saja bicara, dan bahkan pembicaraan tidak menyebut kata-kata “beban negara”, namun satu pernyataan itu langsung disambar dengan ratusan-ribuan konten digital yang menyayangkan sikap pejabat yang “tega” kepada guru.

    Bisa saja, sikap menyayangkan sikap pejabat yang “dihakimi” kurang membela guru itu tujuannya baik karena keberpihakan kepada profesi guru, tapi bagaimana kalau pernyataan yang tega itu sebenarnya tidak diucapkan sang pejabat, tapi muncul dalam puluhan konten yang diviralkan ke jutaan warga itu?

    Itulah masalahnya, apalagi masyarakat yang hidup di era digital saat ini justru berasal dari generasi non-digital. Data BPS tahun 2021 mencatat Generasi Digital (19-24 tahun) berjumlah 64,92 juta atau hanya 23,9 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2021. Jadi, 76,1 persen non-digital itu pasti sangat gaduh dan reaktif.

    Parahnya lagi, video atau foto dianggap akurat oleh masyarakat digital yang super reaktif itu, padahal gambar (video/foto) di era digital itu bisa sangat salah, tapi seolah-olah saja benar, karena ada rekayasa teknologi. Itukah yang dikenal dengan deepfake (rekayasa teknologi), lalu menjadi bahan framing (informasi bias dari hasil editan) yang menyebar di akun grup mana pun, hingga ke luar negeri.

    Begitu banyak contoh tentang “tempelan” narasi pada foto atau video tertentu, misalnya “kebakaran” di lereng Gunung Agung pada malam hari, lalu difoto dan dibagikan ke seluruh jagat maya dengan narasi “erupsi”, tentu sangat jauh dari istilah kebakaran dan letusan. Foto dan narasi itu kemudian dipercaya.

    Nah, salah satu dari triliunan contoh deepfake dan framing adalah apa yang dialami Menkeu Sri Mulyani. Informasi deepfake plus framing yang dikirim lewat alat komunikasi seluler itu pun langsung dibagikan tanpa pikir panjang, bahkan dianggap informasi eksklusif, karena merasa dirinya mendapat informasi “penting” paling pertama.

    Hasil pelacakan video dari pidato Menkeu dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 7 Agustus 2025, yang menyebut gaji guru sebagai “beban negara” adalah hasil deepfake dan potongan (framing).

    Dalam forum di ITB itu, Menkeu Sri Mulyani memang sedang membahas pos belanja untuk guru dan dosen, namun pernyataan asli dari Sri Mulyani itu tidak ada kata-kata “beban”, yakni, “Klaster kedua adalah untuk guru dan dosen. Itu belanjanya dari mulai gaji sampai dengan tunjangan kinerja tadi. Banyak di media sosial saya selalu mengatakan, ‘Oh, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya nggak besar’. Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara. Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat.”

    Hal itu juga sudah diluruskan oleh Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro membantah hal itu dan menyatakan video itu hasil rekayasa deepfake.

    Kewajiban negara

    Sesungguhnya istilah “beban negara” itu tidak ada dalam pernyataan Menkeu dan istilah itu sangat bermakna negatif bagi negara, tapi istilah “tantangan negara” yang merupakan pernyataan asli Menkeu itu justru sangat positif, karena justru negara yang berkewajiban memenuhi ‘tantangan’ itu. Kalau pun Sri Mulyani mengeluarkan “beban negara”, makna substansi dari istilah itu adalah positif, yakni menjadi tanggung jawab negara. Ketika memandang istilah itu dengan kacamata negatif, maka frasa itu menjadi bahan gorengan untuk menyudutkan pejabat yang dimaksud.

    Buktinya, pernyataan Menkeu Sri Mulyani terkait “tantangan” dan tanggung jawab negara itu justru diwujudkan dengan alokasi anggaran sebesar Rp757,8 triliun dari negara untuk pendidikan pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

    Bahkan, Presiden RI Prabowo Subianto dalam Penyampaian Pengantar/ Keterangan Pemerintah atas RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangan (15/8/2025) menjelaskan anggaran untuk sektor pendidikan sebesar Rp178,7 triliun (dari Rp757,8 triliun) akan digunakan meningkatkan kualitas atau kompetensi dan kesejahteraan guru/dosen.

    Alokasi anggaran pendidikan sebesar Rp757,8 triliun itu menjadi alokasi anggaran negara yang paling besar (20 persen) dalam sejarah, karena alokasi RAPBN 2026 itu mencapai total Rp1.903,6 triliun untuk delapan prioritas, yang mencakup ketahanan pangan, ketahanan energi, makan bergizi gratis (MBG), pendidikan, kesehatan, penguatan koperasi desa Merah Putih dan UMKM, pertahanan negara, serta perumahan rakyat.

    Alokasi APBN yang disebut Prabowo sebagai “terbesar sepanjang sejarah NKRI itu digunakan untuk peningkatan kualitas guru, pendidikan vokasi, beasiswa, hingga pembangunan fasilitas sekolah dan kampus.

    Peringkat berikutnya, anggaran ketahanan pangan Rp164,4 triliun (termasuk Rp46,9 triliun untuk subsidi 9,62 juta ton pupuk dan Rp53,3 triliun untuk lumbung serta cadangan pangan), dan ketahanan energi Rp402,4 triliun (subsidi energi, pengembangan energi baru terbarukan/EBT, hingga penyediaan listrik desa).

    Alokasi anggaran berikutnya, program makan bergizi gratis/MBG Rp335 triliun (targetnya menjangkau 82,9 juta siswa, ibu hamil, dan balita), anggaran kesehatan Rp244 triliun (jaminan kesehatan nasional, revitalisasi rumah sakit, penurunan stunting, dan pengendalian penyakit).

    Selain itu, alokasi anggaran lainnya adalah penguatan koperasi desa Merah Putih dan UMKM untuk menggerakkan ekonomi lokal, juga dukungan pembangunan 770 ribu unit rumah rakyat pada 2026.

    Artinya, peta alokasi anggaran APBN 2026 itu membuktikan pendidikan dengan anggaran terbesar justru bukanlah “beban negara”, melainkan menjadi prioritas keuangan negara, karena itu informasi yang beredar di era digital perlu disikapi dengan “kesalehan digital”.

    Bisa saja, informasi pada akun digital tetap bisa dijadikan acuan, tapi bahan dari informasi digital itu melalui proses “kesalehan”, yakni menelusuri akurasi mengenai narasumber yang kompeten, berpijak pada etika atau konten yang tidak memihak, dan mengenai kredibilitas dari informasi itu.

    Dari kasus yang menimpa Menkeu Sri Mulyani ini seharusnya menjadi pelajaran besar bagi semua pihak untuk tidak mudah percaya terhadap informasi yang beredar. Beruntung kalau pelakunya masih belum terjerat oleh hukum, karena semua perbuatan terkait pemelintiran konten itu mengandung konsekuensi hukum, sebagai tindakan kriminal.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Cukai Minuman Manis Masuk RAPBN 2026, Begini Kata Ketua Komisi XI DPR

    Cukai Minuman Manis Masuk RAPBN 2026, Begini Kata Ketua Komisi XI DPR

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi XI DPR Misbakhun memastikan bahwa pengenaan cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 sudah disepakati dengan pemerintah.

    Sebagai informasi, wacana penerapan cukai MBDK sudah sejak 2020. Kendati demikian, penerapannya terus diundur. Dalam APBN 2025, pemerintah bahkan sudah menetapkan target penerimaan dari cukai MBDK sebesar Rp3,8 triliun namun belum kunjung diimplementasikan.

    Kini dalam RAPBN 2026, pemerintah menyatakan akan kembali menerapkan cukai MBDK, sebagai bagian dari ekstensifikasi barang kena cukai. 

    “Tadi kan sudah disimpulkan, pemerintah sudah sepakat. Terus apa lagi?,” ujar Misbakhun usai dimintai konfirmasi lagi oleh wartawan usai Rapat Pengambilan Keputusan atas Asumsi Dasar RAPBN 2026 di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (22/8/2025).

    Politisi Partai Golkar itu mengakui bahwa dalam implementasinya pemerintah pasti akan membuat pertimbangan, khususnya mengenai besaran tarif cukai.

    “Jangan sampai memberikan tekanan terhadap sektor industri, sektor riilnya,” kata Misbakhun.

    Adapun besaran tarif akan dibahas bersama-sama juga dengan DPR. Salah satu konsultasi yang dilakukan adalah terkait dengan ambang batas atau threshold persentase kadar gula dalam MBDK yang akan dikenakan cukai.

    “Misalnya dalam kandungan per miligram itu 0,5 atau 0,3. Kita sepakat di threshold-nya. Jangan sampai kemudian dinol-kan, kan enggak,” kata Misbakhun.

    Ke depan, rapat untuk membahas tindak lanjut rencana pengenaan cukai MBDK akan mengundang berbagai pemangku kepentingan terkait seperti industri maupun kesehatan.

    Sementara itu, untuk pengenaan cukai pada barang lain seperti plastik dipastikan belum masuk ke dalam pembahasan RAPBN 2026.

    “Belum. APBN aja baru saja kita bahas,” kata Misbakhun.

    Misbakhun selalu Ketua Komisi XI DPR membacakan kesimpulan rapat panja yang meliputi asumsi dasar makro hingga postur APBN. Dia lalu bertanya ke Komisi XI DPR apabila menyetujui kesimpulan rapat sore itu, di mana anggota parlemen menyetujuinya.

    Kemudian, pemerintah lalu juga menyetujui kesimpulan tersebut.

    “Setuju pak,” terang Sri Mulyani.

    “Dengan mengucapkan alhamdulillah apa yang menjadi kesimpulan rapat sore ini saya nyatakan disetujui,” terang Misbakhun.

  • Jawaban Dirjen Bea Cukai soal Rencana Pengenaan Cukai MBDK Tahun Depan

    Jawaban Dirjen Bea Cukai soal Rencana Pengenaan Cukai MBDK Tahun Depan

    Bisnis.com, JAKARTA — Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Djaka Budi Utama menyebut pemerintah akan merapatkan lebih lanjut soal kebijakan pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dalam RAPBN 2026.

    Adapun, pemerintah dan DPR telah menyepakati pemberlakuan cukai MBDK tahun depan sejalan dengan kenaikan target penerimaan negara dari kepabeanan dan cukai RAPBN 2026 sebesar Rp334,3 triliun.

    “Udah, entar aja, belum,” ujar Djaka sambil bergegas menuju kendaraannya usai rapat bersama Komisi XI DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (22/8/2025).

    Kemudian, purnawirawan TNI berpangkat terakhir Letnan Jenderal itu lalu menyebut pihak pemerintah masih akan merapatkan lagi soal kesepakatan dengan DPR pada RAPBN 2026 itu.

    “Ah nanti bakalan rapat-rapat lagi,” ucapnya.

    Sebelumnya, pemerintah dan DPR kembali menyepakati untuk penerapan kebijakan pengenaan cukai terhadap Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

    Hal itu disepakati oleh pemerintah dan DPR pada Rapat Pengambilan Keputusan Asumsi Dasar RAPBN TA 2026, Jumat (22/8/2025).

    Dalam kesimpulan rapat pengambilan keputusan itu, Ketua Komisi XI Misbakhun menyebut pemberlakuan cukai MBDK harus diterapkan pada APBN 2026 sejalan dengan kenaikan target penerimaan kepabeanan dan cukai.

    “Ekstensifikasi barang kena cukai antara lain melalui program penambahan objek cukai baru berupa minuman berpemanis dalam kemasan untuk diterapkan dalam APBN 2026 di mana pengenaan tarifnya harus dikonsultasikan dengan DPR,” ujarnya di Gedung DPR.

    Untuk diketahui, target penerimaan kepabeanan dan cukai naik menjadi Rp334,3 triliun pada RAPBN 2026. Itu akan menopang target pendapatan negara sebesar Rp3.786,5 triliun.

    Selain Bea Cukai, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun, PNBP Rp455 triliun dan Hibah Rp0,7 triliun.

    Adapun pemerintah dan DPR menyepakati Asumsi Dasar Makro untuk RAPBN 2026 pada rapat pengambilan keputusan tentang RAPBN Tahun Anggaran (TA) 2026, Jumat (22/8/2025).

    Rapat itu dihadiri oleh Komisi XI DPR dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, Menteri PPN/Kepala Bappenas Rohmat Pambudy, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) Mahendra Siregar.

    Kemudian, Misbakhun selaku Ketua Komisi XI DPR membacakan kesimpulan rapat panja yang meliputi asumsi dasar makro hingga postur APBN. Dia lalu bertanya ke Komisi XI DPR apabila menyetujui kesimpulan rapat sore itu, di mana anggota parlemen menyetujuinya.

    Kemudian, pemerintah lalu juga menyetujui kesimpulan tersebut.

    “Setuju pak,” terang Sri Mulyani.

    “Dengan mengucapkan alhamdulillah apa yang menjadi kesimpulan rapat sore ini saya nyatakan disetujui,” terang Misbakhun.

  • Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Bukan Solusi!

    Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Bukan Solusi!

    Jakarta

    Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth menyampaikan pandangan kritis terhadap rencana pemerintah pusat yang ingin menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Ia pun meminta pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang direncanakan berlaku pada 2026.

    “Apabila iuran BPJS Kesehatan benar-benar dinaikkan, apakah masyarakat juga akan mendapatkan peningkatan kualitas pelayanan?. Saya menilai kebijakan menaikkan iuran bukanlah solusi tunggal, apalagi jika dampaknya justru menambah beban ekonomi masyarakat, terutama kalangan pekerja, pedagang kecil, dan kelompok rentan yang sudah menghadapi kesulitan ekonomi akibat tingginya biaya hidup di Jakarta,” tegas Kenneth dalam keterangannya, Jumat (22/8/2025).

    Bang Kent -sapaan akrab Hardiyanto Kenneth- itu mengkritisi pernyataan Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, yang mengatakan, jika penyesuaian iuran dilakukan, akan tercipta keseimbangan antara biaya pelayanan kesehatan dengan sumber pembiayaan yang sepenuhnya dari iuran yang dikumpulkan oleh BPJS Kesehatan, seperti berdampak pada pembayaran fasilitas kesehatan makin lancar, cashflow faskes terjaga. Faskes bisa fokus melayani peserta, bisa meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan tenaga kesehatan.

    “Jaminannya apa? sebab yang selama ini terjadi, meskipun masyarakat sudah rutin membayar iuran, keluhan tetap saja muncul. Antrean panjang di rumah sakit, keterbatasan kamar rawat inap, obat yang tidak tersedia, hingga perbedaan perlakuan antara pasien BPJS dan pasien umum masih sering kita temui di lapangan. Artinya, problem utama BPJS Kesehatan bukan hanya soal defisit anggaran, melainkan juga tata kelola layanan yang belum maksimal,” ketus Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta itu.

    Menurutnya, kesehatan merupakan hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Oleh sebab itu, keberadaan BPJS Kesehatan harus dipandang sebagai instrumen negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar badan usaha yang menutupi kekurangan anggarannya dengan menaikkan iuran peserta. Pemerintah bersama BPJS Kesehatan perlu terlebih dahulu melakukan pembenahan internal yang serius, termasuk meningkatkan transparansi pengelolaan dana, mengurangi potensi kebocoran, serta memperbaiki tata kelola klaim dan pelayanan rumah sakit.

    Sebelum opsi kenaikan iuran diputuskan, sambung Kent, pemerintah pusat seharusnya mengoptimalkan skema subsidi silang serta meningkatkan kontribusi negara melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Pemerintah Daerah, termasuk Provinsi DKI Jakarta, juga dapat dilibatkan lebih jauh untuk membantu menutup kekurangan melalui alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

    “Dalam hal ini, pentingnya peran pemerintah pusat maupun daerah ikut menanggung beban defisit. Skema subsidi silang harus lebih diperluas, di mana peserta mampu bisa berkontribusi lebih besar untuk menolong kelompok masyarakat miskin dan rentan. Pemerintah Daerah, termasuk Pemprov DKI Jakarta, juga perlu diberi ruang lebih besar untuk membantu menutup kekurangan anggaran tersebut melalui alokasi APBD, sehingga hak masyarakat untuk memperoleh layanan kesehatan tetap terjamin tanpa menambah penderitaan finansial mereka. Dengan begitu keberlanjutan BPJS Kesehatan tetap terjaga tanpa membebani masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah dan masyarakat tidak mampu,” beber Ketua IKAL PPRA LXII Lemhannas RI itu.

    “Saya mendorong pemerintah pusat, BPJS Kesehatan, dan seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari solusi komprehensif, bukan sekadar langkah instan yang berpotensi menimbulkan keresahan sosial. Dibutuhkan solusi menyeluruh, mulai dari pembenahan tata kelola, peningkatan efisiensi, transparansi laporan keuangan, hingga sinergi lebih kuat antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan begitu, masyarakat tetap merasa terlindungi, dan kepercayaan publik terhadap BPJS dapat kembali meningkat,” pungkasnya.

    (mpr/ega)