Topik: APBN

  • Pakai APBN, Estimasi Pembangunan Ulang Gedung Pemerintahan yang Rusak Capai Rp1,2 Triliun

    Pakai APBN, Estimasi Pembangunan Ulang Gedung Pemerintahan yang Rusak Capai Rp1,2 Triliun

    GELORA.CO – Pembangunan ulang gedung-gedung pemerintah daerah yang rusak parah akibat aksi anarkis akan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Beberapa kota, seperti Pekalongan, Kediri, dan Makassar, masuk prioritas penanganan dan akan segera dibangun kembali, sesuai arahan Presiden.

    Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo menyatakan, pembiayaan pembangunan akan menggunakan dana APBN, bukan APBD, agar pemerintah daerah dapat fokus pada pelayanan masyarakat. 

    “Sesuai arahan Pak Prabowo, semua yang terbakar efek dari demo kemarin, harus segera bereskan,” ujar Dody saat meninjau Kantor Wali Kota Pekalongan dan Gedung DPRD Kota Pekalongan, Minggu 7 September 2025. 

    Menurut Doddy, untuk Kota Pekalongan, seluruh bangunan gedung DPRD dan Setda akan diratakan dan dibangun ulang dari nol. Langkah ini dinilai lebih efisien dibanding mempertahankan struktur lama. 

    “Tidak bisa, ini termasuk kategori rusak berat, jadi harus dirobohkan dan dibangun ulang. Masalahnya Blueprint bangunan pun ikut terbakar dalam insiden tersebut,” terang Dody . Sehingga, pihaknya akan mendesain ulang, tapi dengan konsep dan model yang mirip dengan bangunan lama agar tidak kehilangan identitas. 

    Ia memperkirakan, target penyelesaiannya sekitar akhir tahun 2026. Anggaran yang diperlukan untuk pembangunan ulang gedung DPRD dan Setda Kota Pekalongan diperkirakan mencapai Rp80- 90 miliar. 

    Selain Kota Pekalongan, kerusakan yang paling berat juga terjadi di Kediri dan Makassar. 

    “Habis (bangunannya). Kalau sudah begini tidak ada cara lain. Kalau kita teruskan, itu lebih mahal. Pengalaman kami waktu membangun stadion di Malang, itu jauh lebih mahal. Jadi lebih murah langsung dirobohkan dan dibangun ulang,” paparnya.. 

    Ia menyebutkan, untuk pemulihan kantor pemerintahan yang terdampak demo se-Indonesia, berdasarkan hitungan awal sekitar Rp900-an miliar. Namun angka tersebut berkembang sekitar Rp1,1 triliun hingga Rp 1,2 triliun.

  • Penjelasan Lengkap BI – Kemenkeu soal Burden Sharing Program Prabowo

    Penjelasan Lengkap BI – Kemenkeu soal Burden Sharing Program Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI) buka suara mengenai keputusan melakukan burden sharing atau berbagi beban atas bunga pembelian surat berharga negara (SBN) untuk pembiayaan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

    Dalam keterangan bersama, kedua lembaga negara itu berdalih bahwa skema burden sharing atau pembagian beban itu menjadi bagian sinergi fiskal–moneter dalam mendukung program pemerintah.

    Pembagian beban dilakukan dengan membagi rata biaya bunga setelah dikurangi imbal hasil dari penempatan dana pemerintah pada lembaga keuangan domestik. Skema ini berlaku sejak 2025 hingga program berakhir, dan dieksekusi melalui pemberian tambahan bunga ke rekening pemerintah di BI, sejalan dengan peran bank sentral sebagai pemegang kas negara.

    Hanya saja, tidak dijelaskan besaran tambahan bunga yang diberikan BI di rekening pemerintah itu. Kedua pihak hanya mengklaim kebijakan itu tetap menjaga disiplin moneter.

    “Besaran tambahan bunga oleh Bank Indonesia kepada pemerintah tetap konsisten dengan program moneter untuk menjaga stabilitas perekonomian serta bersinergi untuk memberikan ruang fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan meringankan beban rakyat,” tulis keterangan bersama itu, Senin (8/9/2025).

    Dijelaskan, kebijakan itu sesuai dengan Pasal 52 UU No. 23/1999 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan juncto Pasal 22 dan selaras dengan Pasal 23 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

    Lebih lanjut, otoritas fiskal menyatakan belanja APBN tetap difokuskan ke sektor dengan dampak pengganda luas, termasuk program perumahan dan koperasi desa, dengan tetap menjaga defisit pada level rendah.

    Di sisi lain, BI menjelaskan kebijakan bauran moneter tetap diarahkan menjaga stabilitas rupiah, likuiditas perbankan, serta mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

    Kemenkeu dan BI berkomitmen melanjutkan koordinasi erat agar mekanisme pembagian beban bunga berjalan efektif, terukur, dan tidak menimbulkan distorsi pasar. “Sinergi kebijakan terkait pembagian beban bunga dengan pemerintah dilakukan dengan menerapkan kaidah kebijakan fiskal dan moneter yang berhati-hati,” tutup keterangan bersama itu.

    Was-was Burden Sharing

    Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD pada pekan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo melaporkan bahwa bank sentral telah membeli SBN senilai Rp200 triliun hingga awal September 2025.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku bahwa beban fiskal semakin berkurang usai BI sepakat melakukan burden sharing tersebut.

    “Kayak Koperasi Merah Putih, itu bisa dananya menjadi murah kepada koperasi. Ini karena kami dengan BI melakukan semacam burden sharing,” ungkap Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD secara daring, Selasa (2/9/2025).

    Bendahara negara itu menampik burden sharing membuat independensi bank sentral menjadi terkikis. Menurutnya, burden sharing sejalan dengan salah satu peran BI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

    “Hal-hal seperti itu agar BI juga memiliki peranan yang tidak hanya stabilitas tapi growth [pertumbuhan], tetapi tetap proporsional, tetap Bank Indonesia memiliki independensi. Jadi, ini penting untuk beberapa program sosial, program perumahan,” jelas Sri Mulyani.

    Kendati demikian, sejumlah kalangan mengaku khawatir dengan semakin agresifnya bank sentral dalam membeli obligasi pemerintah. Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman misalnya.

    Rizal mengakui bahwa pembelian SBN oleh Bank Indonesia (BI) yang telah mencapai Rp200 triliun hingga awal September ini memang memberi ruang likuiditas bagi pemerintah untuk membiayai program-program besar.

    Hanya saja, dia menilai kebijakan itu juga mengandung sejumlah risiko. Pertama, pasar bisa menafsirkan intervensi BI sebagai bentuk fiscal dominance atau kebijakan moneter terlalu tersubordinasi pada kepentingan fiskal.

    “Hal ini dapat menimbulkan persepsi bahwa instrumen moneter tidak lagi independen, sehingga berpotensi menurunkan kepercayaan investor terhadap stabilitas jangka panjang,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (3/9/2025).

    Kedua, pembelian masif oleh BI memang menjaga yield (imbal hasil) obligasi tetap terkendali, tetapi mengurangi kedalaman pasar karena sebagian besar SBN terserap oleh bank sentral, bukan oleh investor swasta atau asing.

    Akibatnya, sambung Rizal, proses pembentukan harga menjadi kurang optimal sehingga meningkatkan volatilitas ketika ada guncangan eksternal. Bahkan, muncul potensi arus modal asing keluar yang lebih besar karena investor global khawatir pasar tidak likuid. 

    Ketiga, injeksi likuiditas melalui pembelian SBN dalam jumlah besar dapat memperlonggar kondisi moneter, terutama bila tidak diimbangi kebijakan sterilisasi yang memadai.

    Masalahnya, Rizal menilai jika fiskal terus ekspansif dan moneter terlalu akomodatif maka tekanan inflasi maupun depresiasi rupiah bisa lebih cepat muncul. 

    “Dengan kata lain, kebijakan ini memberi short-term gain [keuntungan jangka pendek] berupa ruang fiskal, tetapi membawa long-term risk [risiko jangka panjang] pada kredibilitas moneter, kedalaman pasar, dan stabilitas harga,” simpulnya.

  • ESDM: Pembangunan Proyek Pipa Dumai-Sei Mangkei Rp2,1 Triliun Dimulai Oktober 2025

    ESDM: Pembangunan Proyek Pipa Dumai-Sei Mangkei Rp2,1 Triliun Dimulai Oktober 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan pembangunan proyek pipa transmisi gas Bumi Dumai – Sei Mangkei (Dusem) dimulai pada Oktober 2025.

    Plt. Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Ditjen Migas ESDM Agung Kuswardono mengatakan, proyek Dusem sebetulnya sudah didesain sejak lama. Namun, baru bisa dieksekusi sekarang lantaran anggaran APBN untuk proyek itu baru diketok oleh Presiden Prabowo Subianto belum lama ini.

    “Jadi rencana untuk eksekusi proyek ini selama 25 bulan, dari bulan Oktober 2025 hingga November 2027,” kata Agung dalam acara FGD Perizinan pada Pembangunan Pipa Transmisi Gas Dusem dikutip dari keterangan pers, Senin (8/9/2025).

    Adapun Kementerian ESDM dan Komsisi XII DPR RI sebelumnya telah menyetujui anggaran untuk proyek pipa gas Dusem mencapai Rp2,1 triliun. Anggaran ini berasal dari penerimaan negara bukan  pajak (PNBP) secara tahun jamak (multiyears) 2025-2027.

    Agung menyebut, pembangunan pipa transmisi Dusem ini sejalan dengan visi pemerintah yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan pembangunan infrastruktur energi. Ini dilakukan agar ketersediaan energi dapat diakses dan dinikmati oleh semua pihak, dalam hal ini khususnya di wilayah Sumatera. 

    Dia mengatakan, pembangunan pipa Dusem ini akan memberikan banyak manfaat, antara lain sebagai pemasok gas bumi untuk industri di wilayah yang dilalui jalur pipa yaitu Labuhan Batu, Asahan dan Medan.

    Selain itu pipa gas Dusem juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan gas di Kawasan Hijau Lhokseumawe, Kawasan Industri Medan, Kawasan Industri sei Mangkei, dan Kuala Tanjung. 

    “Juga sebagai alternatif infrastruktur sebagai sumber pemasok kebutuhan gas PT PIM serta mengintegrasikan dengan jaringan transmisi eksisting ruas Arun-Belawan-Kawasan Industri Medan [KIM]-Kawasan Ekonomi Khusus [KEK] Sei Mangkei,” imbuh Agung.

    Asal tahu saja, pembangunan pipa transmisi ruas Dusem merupakan bagian dari rencana interkoneksi pipa transmisi antara jaringan pipa transmisi Sumatera, Jawa Bagian Barat dengan jaringan pipa transmisi Jawa Bagian Timur sehingga dapat memperkuat rantai suplai pasokan gas bumi yang memadai dan dapat diakses masyarakat pada harga yang terjangkau secara berkelanjutan.

    Pembangunan pipa transmisi ini akan dibangun dari Belawan sampai dengan Duri sejauh kurang lebih 541,8 km. Secara administrasi, pipa akan melintasi di dua provinsi yaitu Sumatera Utara dan Riau.

    Pipa juga akan melintasi 11 kabupaten/kota di pulau Sumatra. Perinciannya, di Provinsi Sumatera Utara melintasi Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Batubara.

    Lalu, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kabupaten Labuhan Batu, dan Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Sedangkan, di Provinsi Riau melintasi Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Bengkalis. 

    Selain itu, pipa transmisi Dusem ini juga akan melintasi dan sejajar dengan trase utilitas lain seperti Right of Way (ROW) jalan tol, jalan nasional, jalan provinsi, ROW PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), sungai dan rel kereta api.

  • Biaya Perbaikan Fasilitas Umum yang Rusak Akibat Demo Bakal Ditopang APBN – Page 3

    Biaya Perbaikan Fasilitas Umum yang Rusak Akibat Demo Bakal Ditopang APBN – Page 3

    Menko AHY menuturkan, kebutuhan anggaran untuk pemulihan ditopang oleh pos kedaruratan dari APBN yang dialokasikan melalui Kementerian Pekerjaan Umum.

    “Ya, tadi kami berbicara, sudah teridentifikasi kerusakan-kerusakan tersebut terjadi di 10 provinsi dan 25 kabupaten/kota, dengan nilai sekitar Rp900 hingga Rp950 miliar. Angka ini bisa fluktuatif dan terus dihitung secara lebih detail. Itu dihitung dari pusat, dari Kementerian PU. Biasanya memang ada anggaran untuk kedaruratan, dan pos itu yang digunakan,” kata Menko AHY.

    Adapun kota-kota yang mengalami kerusakan signifikan antara lain Jakarta, Makassar, Bandung, Surabaya, dan Solo. Menko AHY mengatakan, perbaikan infrastruktur dan fasilitas umum di daerah-daerah tersebut akan menjadi prioritas pemerintah agar masyarakat segera dapat kembali beraktivitas dengan aman dan nyaman.

     

  • Ekonom Ungkap Untung-Rugi Pendanaan Campuran untuk Proyek Giant Sea Wall

    Ekonom Ungkap Untung-Rugi Pendanaan Campuran untuk Proyek Giant Sea Wall

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom mengungkap sejumlah keuntungan dan risiko yang mesti dipertimbangkan dengan matang terkait skema pendanaan campuran (blended financing) untuk megaporyek Giant Sea Wall (GSW). 

    Proyek yang termasuk dalam National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) itu diproyeksi membutuhkan dana sekitar US$40-US$42 miliar atau setara Rp658-Rp691 triliun. 

    Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan skema pendanaan campuran dapat mendukung realisasi proyek tersebut di tengah keterbatasan fiskal saat ini. 

    Namun, lanjutnya, harus ada penegasan terkait tanggung jawab dan beban yang dipikul oleh para pelaku.

    “Namun harus dirumuskan dengan jelas sharing profit dan tanggung jawabnya seperti apa,” kata Esther kepada Bisnis, Minggu (7/9/2025). 

    Dalam hasil penelitian Universitas Sebelas Maret, UNS, Amentis Institute dan Adam Smith Business School-University of Glasgow, Anto mengungkap sejumlah skema pembiayaan Jakarta Great Sea Wall yang dapat diterapkan. 

    Beberapa skema campuran yang dimaksud yakni green sukuk, Asset Value Protection (AVP), Viability Gap Funding (VGF), Asset-Backed Securities (ABD), hingga Public-Private Partnership (PPP). 

    Terkait sejumlah usulan tersebut, Esther menilai tetap perlu pertimbangan yang lebih mendalam terkait bagi hasil dan keuntungan yang dapat dihasilkan. Di sisi lain, tak hanya aspek ekonomi, namun dari sisi sosial dan lingkungan juga perlu diperhatikan. 

    “Jadi tidak hanya soal pendanaan dan berapa profit yang bisa dihasilkan tetapi juga apakah berapa dampak ekonomi yang bisa dihasilkan proyek ini seperti produk domestik bruto daerah, income yang dihasilkan, penciptaan lapangan pekerjaan, mengurangi kriminalitas, ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan,” tuturnya. 

    Senada, Ekonom Celios Zulfikar Rakhmat juga menilai skema pendanaan campuran relevan untuk megaproyek seperti Giant Sea Wall (GSW) yang membutuhkan biaya sangat besar. 

    “Skema ini memungkinkan adanya kombinasi antara dana pemerintah, swasta, maupun lembaga internasional,” jelasnya, dihubungi terpisah. 

    Dia meyakini, skema tersebut dapat membantu mengurangi tekanan pada APBN sekaligus meningkatkan kepercayaan investor, selama ada kepastian regulasi dan transparansi tata kelola proyek. 

    “Jadi, secara prinsip memungkinkan dan bisa mendukung pembangunan GSW, asalkan struktur pembiayaannya dirancang dengan jelas dan risiko dibagi secara proporsional,” tambahnya. 

    Di samping itu, dari sisi pendanaan, dia menyebutkan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kapasitas fiskal negara yang mesti dipastikan bahwa proyek ini tidak akan memperlebar defisit atau menekan belanja publik lainnya yang lebih prioritas. 

    Kedua, untuk menarik minat dan kepastian investor, pemerintah harus memastikan skema bagi hasil atau imbal hasil yang menarik namun tetap adil. 

    Ketiga, transparansi dan governance karena GSW merupakan proyek jangka panjang, risiko moral hazard, potensi biaya membengkak (cost overrun), dan ketidakpastian politik harus diminimalisir.

    Keempat, dari sisi aspek lingkungan dan sosial yang harus diperhatikan bahwa keberlanjutan pembiayaan akan lebih mudah jika proyek memenuhi standar ESG, sehingga bisa menarik pendanaan hijau dari lembaga internasional.

    “Dengan kata lain, pendanaan campuran bisa menjadi solusi, tapi desainnya harus hati-hati supaya manfaat ekonominya optimal dan bebannya tidak berlebihan bagi masyarakat maupun negara,” tuturnya.

  • Apindo Minta Pemerintah Tahan Kenaikan Cukai, Ini Alasannya

    Apindo Minta Pemerintah Tahan Kenaikan Cukai, Ini Alasannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia alias Apindo mendesak pemerintah agar komitmen tidak menaikkan tarif pajak pada 2026 juga mencakup kebijakan cukai.

    Dunia usaha menilai beban ganda dari kenaikan cukai maupun penerapan cukai baru berpotensi melemahkan daya saing dan menggerus kesempatan kerja, khususnya di sektor padat karya.

    Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengingatkan bahwa sektor padat karya seperti industri makanan, minuman, dan hasil tembakau saat ini tengah menghadapi tekanan berat.

    “Jika kebijakan kenaikan maupun penerapan cukai baru dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi riil industri padat karya, maka risiko pelemahan daya saing dan tergerusnya kesempatan kerja akan semakin besar. Padahal justru sektor ini yang selama ini menopang penerimaan negara dan menyerap jutaan tenaga kerja,” ujar Shinta dalam keterangannya Minggu (7/9/2025)

    Apindo menyambut baik kepastian dari Kementerian Keuangan bahwa tidak akan ada tarif pajak baru maupun kenaikan tarif pajak yang sudah ada pada 2026. Hanya saja, Shinta menekankan kebijakan ini seharusnya juga menyasar pos penerimaan dari cukai yang secara resmi tercatat sebagai bagian perpajakan.

    Menurutnya, dunia usaha lebih membutuhkan kepastian dan keberpihakan pemerintah dalam menjaga iklim investasi serta stabilitas usaha. Oleh sebab itu, Apindo menilai optimalisasi penerimaan negara dilakukan lewat peningkatan kepatuhan pajak, perbaikan administrasi, dan perluasan basis pajak, bukan dengan menambah beban fiskal ke industri.

    Selain menolak kenaikan cukai, Apindo juga mendorong pemberian insentif bagi sektor padat karya. Usulan mencakup percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) diskon tarif listrik, penurunan harga gas industri, insentif energi terbarukan, dukungan pembiayaan kredit, hingga perluasan PPh 21 ditanggung pemerintah (DTP).

    Apindo menilai bahwa dukungan komprehensif tersebut akan memberi napas baru bagi sektor padat karya, memperkuat ketahanan usaha, sekaligus menjaga stabilitas lapangan kerja di tengah dinamika global dan tekanan domestik.

    Janji Pemerintah

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa target pendapatan negara akan naik 9,8% dari Rp2.865,5 triliun (outlook APBN 2025) menjadi Rp3.147,7 triliun (RAPBN 2026). Meski demikian, sambungnya, peningkatan pendapatan negara tidak dilakukan melalui penambahan tarif pajak baru.

    “Sering disampaikan seolah-olah upaya untuk meningkatkan pendapatan, kita menaikkan pajak. Padahal pajaknya tetap sama, tapi enforcement [penegakan] dan compliance [kepatuhan] akan dirapikan, ditingkatkan,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD secara daring, Selasa (2/9/2025).

    Bendahara negara menyatakan bahwa kebijakan pajak pemerintah tetap mengedepankan asas gotong royong. Kelompok rentan, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta masyarakat berpendapatan rendah, tetap dilindungi.

    Di samping itu, dalam Nota Keuangan RAPBN 2026, pemerintah berencana mengimplementasikan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Selain itu, disampaikan komitmen untuk intensifikasi kebijakan cukai hasil tembakau (CHT).

    Hanya saja, belum jelas berapa besaran tarif cukai untuk kedua jenis barang yang diproduksi sektor padat karya itu pada tahun depan.

  • Dari Startup Sukses, Kini Diborgol Kasus Korupsi

    Dari Startup Sukses, Kini Diborgol Kasus Korupsi

    GELORA.CO -Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi program Digitalisasi Pendidikan 2019–2022. 

    Penetapan itu diumumkan penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung pada Kamis, 4 September 2025, usai Nadiem menjalani pemeriksaan ketiga sebagai saksi.

    Kasus yang menjerat Nadiem terkait dengan proyek pengadaan laptop Chromebook untuk sekolah-sekolah. Proyek tersebut sejak awal menuai sorotan karena nilai anggarannya yang jumbo dan realisasi yang dianggap bermasalah.

    Ekonom senior dan guru besar UI, Rhenald Kasali, ikut menanggapi perkembangan mengejutkan ini. 

    “Apa yang ada di kepala anda menyaksikan menteri pendidikan tangannya diborgol jadi tersangka korupsi?” tanya Rhenald mengawali videonya yang diungah di kanal Youtube, seperti dikutip redaksi di Jakarta, Minggu, 7 September 2025.

    Ia mengaku prihatin melihat sosok Nadiem yang dulu dielu-elukan sebagai anak muda sukses di dunia startup, kini harus menanggung status tersangka korupsi.

    “Bagaimana sekarang kita menyaksikan anak muda sukses mendirikan startup dan itu membanggakan. Kita punya kompetitor di luar negeri tetapi dia berhasil membangun suatu jadi besar. Investor masuk juga tidak tanggung-tanggung,” kata Rhenald.

    Namun semua itu berubah karena ambisi untuk masuk ke dalam dunia pemerintahan. Ia juga menyinggung keterbatasan pemahaman Nadiem terhadap kondisi pendidikan di Indonesia. 

    Latar belakang pendidikan yang sepenuhnya ditempuh di luar negeri, menurut Rhenald, membuat mantan Mendikbudristek itu kurang memahami realitas yang dihadapi guru dan sekolah-sekolah di tanah air.

    “Bagaimana nasib para guru? padahal ini adalah kementerian yang diamanahkan konstitusi untuk mendapatkan APBN terbesar 20 persen,” tegasnya.

    Rhenald menambahkan, jabatan publik bukan hanya soal prestise atau penghargaan di akhir masa jabatan, melainkan amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh integritas. 

    Ia menyindir fenomena pejabat yang di akhir jabatannya memperoleh bintang jasa, bahkan mendapat hak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, meski rekam jejak digitalnya tercoreng oleh kasus korupsi.

    “Ketika anak-anak kita, cucu kita kelak di kemudian hari ziarah bersama sekolahnya, dia bertanya siapa ini? Dia Googling, dia cari jejak digitalnya, kok koruptor? Apa yang terjadi? begitukah nasib bangsa kita,” pungkas Rhenald

  • Pengusaha Dukung Kebijakan Pajak Tanpa Kenaikan Tarif, Soroti Nasib Sektor Padat Karya

    Pengusaha Dukung Kebijakan Pajak Tanpa Kenaikan Tarif, Soroti Nasib Sektor Padat Karya

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia alias Apindo menyambut baik komitmen pemerintah yang menyatakan tidak akan ada penerapan tarif pajak baru maupun kenaikan tarif pajak pada 2026.

    Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menilai komitmen itu memberi kepastian usaha sekaligus menjaga iklim investasi di tengah tekanan global dan domestik.

    “Dengan fokus pada optimalisasi pemungutan pajak melalui peningkatan kepatuhan dan perbaikan mekanisme kepatuhan, Apindo menilai langkah ini lebih tepat dibanding menambah beban dunia usaha dan masyarakat dengan pajak baru maupun kenaikan tarif pajak yang sudah ada,” ujar Shinta dalam keterangannya, Minggu (7/9/2025).

    Apindo turut mendukung langkah pemerintah memperluas basis pajak melalui pemetaan shadow economy, peningkatan administrasi, dan perbaikan layanan wajib pajak. Shinta menekankan, dunia usaha siap berkolaborasi untuk memastikan target penerimaan tercapai tanpa mengurangi daya saing dan keberlanjutan usaha.

    Sebelumnya, Apindo telah memberikan masukan agar intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dilakukan secara adil, termasuk percepatan restitusi bagi wajib pajak patuh untuk menjaga likuiditas perusahaan.

    Lebih lanjut, Apindo menekankan perlunya perhatian khusus terhadap sektor padat karya seperti makanan, minuman, dan hasil tembakau yang menghadapi beban ganda dari rencana kenaikan tarif cukai maupun penerapan cukai baru.

    “Jika kebijakan ini dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi riil industri padat karya, maka risiko pelemahan daya saing dan tergerusnya kesempatan kerja akan makin besar. Padahal, sektor inilah yang selama ini menopang penerimaan negara dan menyerap jutaan tenaga kerja,” kata Shinta.

    Apindo berharap kebijakan tanpa kenaikan tarif pajak juga mencakup cukai, mengingat pos tersebut termasuk bagian dari penerimaan perpajakan.

    Selain itu, Apindo mendorong pemberian insentif yang lebih berpihak pada sektor padat karya, mulai dari percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN), diskon tarif listrik luar waktu beban puncak (LWBP), penurunan harga gas industri, dukungan energi terbarukan, akses kredit, hingga perluasan cakupan pajak penghasilan Pasal 21 (PPh 21) ditanggung pemerintah.

    Shinta menyampaikan bahwa Apindo percaya optimalisasi penerimaan negara dapat berjalan beriringan dengan peningkatan iklim usaha serta penciptaan lapangan kerja apabila adanya kebijakan yang konsisten dan implementasinya efektif.

    Janji Pemerintah

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa target pendapatan negara akan naik 9,8% dari Rp2.865,5 triliun (outlook APBN 2025) menjadi Rp3.147,7 triliun (RAPBN 2026). Meski demikian, Sri Mulyani mengatakan peningkatan pendapatan negara tidak dilakukan melalui penambahan tarif pajak baru.

    “Sering disampaikan seolah-olah upaya untuk meningkatkan pendapatan, kita menaikkan pajak. Padahal pajaknya tetap sama, tetapi enforcement [penegakan] dan compliance [kepatuhan] akan dirapikan, ditingkatkan,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD secara daring, Selasa (2/9/2025).

    Bendahara Negara menyatakan bahwa kebijakan pajak pemerintah tetap mengedepankan asas gotong royong. Kelompok rentan, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta masyarakat berpendapatan rendah, tetap dilindungi.

    Sri Mulyani menjelaskan bahwa UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta masih dibebaskan dari pajak penghasilan (PPh), sedangkan yang memiliki omzet di atas Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar hanya dikenakan PPh final 0,5%.

    “Itu adalah kebijakan pemihakan kepada UMKM karena kalau tarif PPh Badan adalah angkanya di 22%,” katanya.

    Selain itu, sambungnya, sejumlah sektor strategis juga memperoleh pembebasan pajak, seperti pajak pertambahan nilai (PPN) untuk kesehatan dan pendidikan, serta pembebasan PPh untuk masyarakat dengan pendapatan di bawah Rp60 juta per tahun.

    Sri Mulyani berpandangan keseimbangan antara optimalisasi pendapatan negara dan perlindungan kelompok rentan menjadi kunci tata kelola fiskal yang berkelanjutan.

    “Ini menggambarkan bahwa pendapatan negara tetap dijaga baik namun pemihakan gotong royong kepada terutama kelompok yang lemah tetap akan diberikan,” ucapnya.

  • Proyek Giant Sea Wall Butuh Rp658 Triliun, Pakar Usul Pendanaan Campuran

    Proyek Giant Sea Wall Butuh Rp658 Triliun, Pakar Usul Pendanaan Campuran

    Bisnis.com, JAKARTA – Pembangunan infrastruktur Giant Sea Wall (GSW) atau tanggul laut raksasa di utara Jakarta diperkirakan membutuhkan dana sebesar US$40-US$42 miliar atau setara Rp658-Rp691 triliun. Butuh skema pendanaan inovatif untuk merealisasikannya. 

    Peneliti Universitas Sebelas Maret Anto Prabowo mengatakan dengan kebutuhan dana ratusan triliun itu mustahil untuk ditanggung APBN sepenuhnya, mengingat prioritas lain pada pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur nasional.

    “Solusinya adalah pembiayaan campuran [blended finance], memadukan dana publik, swasta, dan investor global melalui instrumen keuangan inovatif,” kata Anto dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (7/9/2025). 

    Berdasarkan penelitiannya bersama peneliti dari UNS, Amentis Institute dan Adam Smith Business School-University of Glasgow, Anto mengungkap sejumlah skema pembiayaan Jakarta Great Sea Wall yang dapat diterapkan. 

    Pertama, instrumen keuangan berupa green sukuk yang diterapkan sebagai obligasi syariah hijau untuk proyek ramah lingkungan. Pendanaan dari green sukuk ini berpotensi memiliki nilai mobilisasi hingga US$1-2 miliar per tahun. 

    Obligas hijau juga dinilai patuh terhadap prinsip Environment, Social, and Governance (ESG) yang akan menarik investor asal Timur Tengah dan global. 

    Kedua, pendanaan dari Asset Value Protection (AVP) yang dapat menjamin nilai aset tidak merosot akibat banjir dan subsidensi dengan potensi dana institusional (pensiun, sovereign fund). Instrumen ini sejenis asuransi nilai aset jangka panjang. 

    Ketiga, skema pembiayaan Viability Gap Funding (VGF) untuk menutup kesenjanagan pembiayaan untuk komponen sosial dan ekologis dengan potensi nilai mobilisasi US$500 juta-US$1 miliar yang dapat bersumber dari hibah APBN untuk relokasi dan rehabilitasi mangrove. 

    Keempat, instrumen Asset-Backed Securities (ABS) sebagai sekuritisasi dari arus kas reklamasi, pelabuhan, pajak properti dengan potensi nilai US$5-10 miliar yang dapat memberikan upfront capital dari revenue masa depan. 

    Kelima, Public-Private Partnership (PPP) berupa konsorsium swasta untuk konstruksi dan pengelolaan dengan nilai US$15 miliar, namun terdapat risiko terdistribusi antara publik dan swasta. 

    Para peneliti menegaskan bahwa GSW adalah proyek multidimensi yang hanya bisa berhasil dengan tata kelola kolaboratif. 

    “GSW tidak bisa hanya mengandalkan APBN. Inovasi keuangan seperti Green Sukuk, Asset Value Protection, dan ABS menjadikan proyek ini bankable sekaligus inklusif. Namun, tanpa kolaborasi kuat antara pemerintah, swasta, dan regulator, investor tidak akan masuk,” ujarnya.

    Tak hanya itu, transparansi, tata kelola ESG, dan safeguards sosial-lingkungan adalah syarat mutlak agar proyek ini tidak hanya besar, tetapi juga adil. 

    Di samping itu, dia menilai proyek sebesar ini juga menuntut tata kelola polisentris yang melibatkan Kementerian Keuangan, Bappenas, OJK, Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF), serta Pemprov DKI Jakarta.

    Namun, Anto juga mengingatkan bahwa proyek sebesar ini tidak lepas dari risiko fiskal yang dapat membengkakan biaya, beban VGF yang berlebihan. Bagi investor, terdapat ketidakpastian regulasi, potensi elite capture, lemahnya governance.

    Dari sisi lingkungan, terdapat potensi kerusakan ekosistem laut, hilangnya biodiversitas dan secara sosial yang akan memicu relokasi komunitas pesisir tanpa kompensasi memadai dapat memicu konflik.

    “Karena itu, safeguards sosial dan lingkungan harus menjadi bagian integral, bukan pelengkap. Relokasi berbasis hak, kompensasi yang adil, serta rehabilitasi mangrove wajib dijalankan secara transparan dan akuntabel,” pungkasnya. 

    Tak dipungkiri, proyek GSW menjadi kebutuhan jika melihat Jakarta saat ini yang menghadapi kondisi unik yang disebut double exposure. Dari bawah, tanah Jakarta turun 10–25 cm per tahun akibat ekstraksi air tanah. Dari atas, kenaikan permukaan laut global memperburuk risiko banjir.

    Jika dibiarkan, sebagian besar Jakarta Utara dapat tenggelam pada 2050. Kerugian ekonomi dari banjir rob saat ini sudah menembus USD 300 juta per tahun dan berpotensi meningkat dua kali lipat dalam dua dekade. 

    Terlebih, Jakarta menyumbang 17% PDB nasional, stabilitas ekonomi Indonesia sangat terikat pada keberhasilan melindungi kota ini.

    Sebagai informasi, GSW dirancang sebagai sistem adaptasi pesisir terpadu, mencakup tanggul laut lepas pantai dan daratan untuk menahan banjir rob dan intrusi air laut, reservoir air tawar demi ketahanan pasokan air bersih.

    Tak hanya itu, proyek raksasa ini juga disebut akan meningkatkan drainase kota untuk mengurangi banjir dalam, ruang biru publik dan rehabilitasi mangrove sebagai solusi ekologi, dan zona ekonomi baru, perumahan, dan kawasan bisnis melalui reklamasi yang terkendali.

    “Dengan desain ini, GSW tidak hanya benteng pertahanan, tetapi juga motor transformasi perkotaan—mengubah kawasan pesisir yang rentan menjadi ruang hidup yang produktif, modern, dan berkelanjutan,” tuturnya. 

  • Investor Swasta Ramai-Ramai Bangun IKN, Ini Daftarnya

    Investor Swasta Ramai-Ramai Bangun IKN, Ini Daftarnya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) bakal memegang kendali pembangunan IKN mulai tahun depan. Pada pembangunan IKN Tahap II, telah dilakukan proses lelang beberapa paket pekerjaan.

    Fokusnya bakal mengarah untuk pembangunan ekosistem Kawasan Yudikatif dan Legislatif, serta jalan dan infrastruktur pendukungnya di dalam KIPP (termasuk di dalamnya jaringan air minum dan embung).

    “Hal ini untuk mendukung terciptanya IKN sebagai Ibu Kota Politik,” kata Plt. Deputi Bidang Sarana dan Prasarana OIKN Danis Hidayat Sumadilaga kepada CNBC Indonesia, Minggu (7/9/2025).

    Ia mengklaim investor yang sudah berminat cukup banyak. Beberapa sudah memulai pembangunan dan telah beroperasi sejak pembangunan Tahap I seperti Telkom Smart Office, PLTS IKN 50 MW, Restoran Kampung Kecil, RS Hermina, RS Mayapada, Swissotel Nusantara, dan Hotel Qubika.

    Foto: Ibu Kota Nusantara (IKN). (Dok. Otorita IKN)
    Ibu Kota Nusantara (IKN). (Dok. Otorita IKN)

    “Adapun pembangunan dari investasi atau swasta murni yang masih berprogres yakni Bus EV Interchange by Pakuwon, RS Abdi Waluyo, serta Universitas Gunadarma,” sebut Danis.

    Mekanisme pembangunan IKN melalui APBN Tahun anggaran 2025 sejak Tahap II ini telah mulai dilaksanakan oleh OIKN, saat ini peningkatan jalan di 1B dan 1C serta penataan Kawasan sudah dalam pekerjaan konstruksi.

    “Selain itu, saat ini sedang dilakukan pemilihan penyedia untuk bangunan gedung perkantoran dan kawasan legislatif dan yudikatif, disertai sarana dan Prasarana pendukungnya seperti Hunian, jaringan air minum, embung, kolam retensi, dan lain-lain,” ujar Danis.

    (fys/wur)

    [Gambas:Video CNBC]