‘Jetcar’ Buatan Mesir unjuk Kemampuan di Sungai Nil
Tempat Fasum: Sungai Nil
-

Perang Saudara Negara Ini Kian Brutal, 200 Warga Dibantai Dalam 3 Hari
Jakarta, CNBC Indonesia – Perang saudara di Sudan antara militer pemerintah melawan Rapid Support Forces (RSF) pimpinan Mohamed Hamdan Dagalo masih terus terjadi. Terbaru, RSF melakukan serangan selama tiga hari yang dimulai Sabtu (15/2/2025) di Selatan Sudan yang menewaskan 200 orang.
Secara rinci, serangan itu dilakukan di desa AlKadaris dan Al Khelwat di negara bagian White Nile. RSF disebut menyerbu warga yang tidak bersenjata, dengan wanita dan anak-anak masuk menjadi deretan korban.
“RSF melakukan eksekusi, penculikan, penghilangan paksa, dan penjarahan properti selama serangan sejak hari Sabtu, yang juga menyebabkan ratusan orang terluka atau hilang,” kata kelompok dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia, Emergency Lawyers, dikutip AFP, Selasa (18/2/2025).
Emergency Lawyers juga menambahkan bahwa beberapa penduduk ditembak saat mencoba melarikan diri menyeberangi Sungai Nil. Serangan itu disebut-sebut mirip dengan tindakan genosida.
Sejak April 2023, Sudan dilanda konflik brutal antara pasukan panglima militer Abdel Fattah Al Burhan dan mantan wakilnya, komandan RSF Mohamed Hamdan Daglo.
Kedua belah pihak dituduh melakukan pelanggaran dan kejahatan perang.
Perang tersebut telah menewaskan puluhan ribu orang, membuat lebih dari 12 juta orang mengungsi, dan menciptakan apa yang disebut Komite Penyelamatan Internasional sebagai “krisis kemanusiaan terbesar yang pernah tercatat”.
(luc/luc)
-

Xi Jinping Respons Trump Usir Warga Gaza ke Negara Lain, Teriak Ini
Jakarta, CNBC Indonesia – China menentang “pemindahan paksa” warga Palestina dari Jalur Gaza. Proposal ini sebelumnya diusulkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang juga mengusulkan rencana “mengambil alih” wilayah tersebut di bawah Washington.
“China selalu menyatakan bahwa pemerintahan Palestina atas warga Palestina adalah prinsip dasar pemerintahan Gaza pascaperang,” tegas pemerintah Presiden Xi Jinping, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Lin Jian, Rabu (5/2/2025).
“Kami menentang pemindahan paksa penduduk Gaza,” tambahnya.
Sebelumnya, Trump mengatakan warga Palestina akan “senang” meninggalkan tanah air mereka yang dilanda perang di Gaza. Mereka, kata dia, pasti bahagia tinggal di tempat lain jika diberi pilihan.
“Mereka akan senang meninggalkan Gaza,” katanya kepada wartawan saat menandatangani serangkaian inisiatif di Gedung Putih, Selasa, dikutip AFP.
“Saya kira mereka akan senang,” tambahnya.
“Saya tidak tahu bagaimana mereka bisa ingin tinggal. Itu adalah lokasi pembongkaran.”
Ini bukan kali pertama Trump membuat kalimat yang “mengusir” warga Palestina dari Gaza. Sebelumnya, ia menggembar-gemborkan rencana untuk “membersihkan” Gaza, dengan menyerukan warga Palestina untuk pindah ke Mesir atau Yordania.
Kedua negara tersebut dengan tegas menolak hal ini. Bahkan Selasa para pemimpin Arab menekankan perlunya berkomitmen untuk mencapai perdamaian.
“Ya, mereka mungkin mengatakan itu, tetapi banyak orang telah mengatakan hal-hal kepada saya,” kata Trump lagi.
“Jika kita dapat menemukan sebidang tanah yang tepat, atau banyak sebidang tanah, dan membangun tempat-tempat yang benar-benar bagus untuk mereka, pasti ada banyak uang di daerah itu, saya pikir itu akan jauh lebih baik daripada kembali ke Gaza, yang baru saja mengalami kematian selama puluhan tahun,” ujarnya.
Ia menyinyalir, warga Gaza akan hidup lebih baik di tanah negara lain. Ia pun menyebut pemindahan bisa dibayar oleh negara-negara Arab termasuk Arab Saudi.
Bendungan Sungai Nil
Di sisi lain, AS dilaporkan akan menggunakan kasus sengketa Bendungan Nil untuk menekan Mesir agar menerima rencana pemindahan paksa warga Palestina di Gaza. Hal ini terkuak setelah kunjungan pejabat pemerintahan Presiden Donald Trump ke Kairo akhir Januari lalu.
Laporan The New Arab menyebut seorang pejabat senior pemerintahan Trump mengadakan pertemuan terpisah dengan Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty dan Kepala Intelijen Umum Hassan Rashad.
Mereka dilaporkan menggelar diskusi terkait rencana pemindahan yang kontroversial dan sengketa yang sedang berlangsung atas Bendungan Grand Renaissance di Ethiopia.
Menurut sumber, utusan AS tersebut menyatakan bahwa keterlibatan AS dalam menyelesaikan krisis bendungan dapat bergantung pada kerja sama Mesir dalam merelokasi penduduk Gaza ke Mesir dan Yordania. Meskipun mendapat tekanan, pejabat Mesir dengan tegas menolak saran Trump bahwa Gaza harus “dibersihkan” dan dipindahkan ke negara-negara tetangga.
Pejabat Mesir dilaporkan menyuarakan kekhawatiran atas usulan tersebut. Pihaknya memperingatkan tantangan dan konsekuensinya yang signifikan sambil menekankan kesulitan penerapannya.
Utusan AS tersebut juga bertemu dengan tokoh masyarakat dan dua pemimpin partai politik untuk menilai sikap Mesir terhadap usulan tersebut. Selain itu, utusan AS tersebut secara terbuka membahas protes tersebut, yang menunjukkan bahwa protes tersebut diorganisir sebagai tanggapan langsung terhadap rencana Amerika.
(sef/sef)
-

Ilmuwan Temukan Jejak DNA Wabah Black Death di Mumi Mesir Berusia 3.300 Tahun
Jakarta –
Kasus wabah tertua yang dikonfirmasi di luar Eurasia telah terdeteksi pada mumi Mesir kuno. Berasal dari sekitar 3.290 tahun yang lalu, jenazah yang dibalsem itu adalah seorang pria yang kemungkinan menderita gejala parah pada saat kematiannya.
Wabah pes juga dikenal sebagai Black Death disebabkan oleh bakteri yang sangat jahat yang disebut Yersinia pestis, dan mencapai puncaknya pada abad ke-14 ketika menyebar ke seluruh Eropa, memusnahkan jutaan orang. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa penelitian telah menemukan jejak DNA Y. pestis pada mayat prasejarah, yang menunjukkan bahwa patogen dan penyakitnya telah beredar ribuan tahun sebelum pandemi Black Death.
Diberitakan IFL Science, sejauh ini, semua contoh kuno berasal dari Eropa dan Asia, dengan bukti infeksi terlihat pada kerangka berusia 5.000 tahun di Rusia. Namun, setelah menganalisis mumi Mesir kuno yang disimpan di Museo Egizio di Turin, Italia, tim peneliti kini telah mengungkap bahwa wabah yang menakutkan itu juga ada di Afrika Utara pada awal Zaman Perunggu.
Berdasarkan penanggalan radiokarbon hingga akhir Periode Menengah Kedua atau awal Kerajaan Baru, mumi tersebut mengandung jejak DNA Y. pestis baik di jaringan tulang maupun isi ususnya, yang menunjukkan bahwa penyakit tersebut telah berkembang ke stadium lanjut saat orang yang terinfeksi meninggal.
“Ini adalah genom Y. pestis prasejarah pertama yang dilaporkan di luar Eurasia yang memberikan bukti molekuler untuk keberadaan wabah di Mesir kuno, meskipun kami tidak dapat menyimpulkan seberapa luas penyebaran penyakit tersebut selama waktu itu,” tulis para peneliti dalam abstrak yang dipresentasikan pada Pertemuan Asosiasi Paleopatologi Eropa awal tahun ini.
Meskipun kurangnya kejelasan tentang prevalensi Black Death di Mesir kuno, penelitian sebelumnya telah mengisyaratkan kemungkinan wabah di sepanjang tepi Sungai Nil pada masa lampau. Misalnya, lebih dari dua dekade lalu, para peneliti menemukan kutu di sebuah desa arkeologi di Amarna, tempat para pekerja yang membangun makam Tutankhamun pernah tinggal.
Karena kutu adalah pembawa utama bakteri tersebut, para peneliti mulai menduga bahwa wabah pes mungkin telah ada di Mesir kuno. Hipotesis ini diperkuat oleh teks medis berusia 3.500 tahun yang disebut Papirus Ebers, yang menggambarkan penyakit yang “telah menghasilkan bubo, dan nanahnya telah membatu.”
Oleh karena itu, beberapa peneliti percaya bahwa wabah tersebut mungkin telah disebarkan oleh kutu yang menumpang pada tikus Nil, sebelum kemudian menyeberang ke tikus hitam yang bersembunyi di kapal-kapal kuno dan membawa Wabah Hitam ke seluruh dunia. Namun, hingga saat ini, teori ini tidak memiliki bukti kuat yang membuktikan bahwa penyakit tersebut sebenarnya telah ada di Mesir kuno.
(kna/kna)
-

Ternyata Ini Sosok Pencipta Pajak yang Kini Bikin Rakyat Menjerit
Jakarta, CNBC Indonesia – Pajak merupakan instrumen sebuah negara untuk memperoleh pendapatan guna menunjang kegiatan pemerintahan. Lewat pajak, negara menarik uang dari rakyat atas transaksi, kepemilikan aset atau barang dan lain sebagainya.
Namun, di sisi lain, tagihan pajak seringkali membuat pening masyarakat, khususnya dari kelompok kelas menengah. Mereka yang penghasilannya tak begitu besar dibebankan pajak berat oleh negara. Alhasil, mereka pun menjadi geram karena dianggap objek pemerasan negara.
Meski begitu, kegeraman masyarakat atas pajak seharusnya tak hanya ditunjukkan kepada negara, tapi juga pencipta sistem pajak pertama, yakni Firaun dari Peradaban Mesir Kuno. Sejarah mencatat, sekitar 3000 Sebelum Masehi (SM) peradaban Mesir yang dipimpin oleh Firaun menciptakan sistem pungutan negara kepada rakyat, yang kini dikenal sebagai sistem pajak.
Alasan Firaun memungut pajak bertujuan untuk modal pembangunan dan menjaga ketertiban sosial. Firaun mengenakan pajak atas barang-barang, seperti gandum, tekstil, tenaga kerja, dan berbagai komoditas lain. Biasanya, hasil pungutan pajak dialihkan untuk membangun sektor serupa. Misalkan, jika menarik pajak atas beras, maka hasil pajaknya dialihkan untuk membangun lumbung beras.
Firaun tak menerapkan mekanisme sama rata dalam pemungutan pajak, tapi sistem penyesuaian. Maksudnya, besaran pajak disesuaikan dengan kemampuan finansial objek pajak. Ambil contoh ketika memungut pajak ladang. Firaun menetapkan pajak tinggi jika ladang tersebut sangat produktif atau memiliki hasil panen melimpah. Sementara yang non-produktif dikenakan pajak lebih rendah.
“Ladang-ladang dikenai pajak dengan cara yang berbeda-beda, dan tarifnya bergantung pada produktivitas ladang masing-masing dan kesuburan serta kualitas tanah,” kata sejarawan Moreno Garcia kepada Smithsonian Magazine.
Selain itu, sistem pemungutan pajak juga bergantung pada sistem ketinggian Sungai Nil. Hal ini berdasarkan temuan arkeolog yang mengungkap adanya sistem nilometer. Sistem ini berupa garis yang digoreskan di sebuah tangga pengukur ketinggian air. Jika air naik di atas garis, maka berarti ladang tersebut dilanda kebanjikan dan penurunan hasil panen. Artinya, pajak yang dikenakan pun tak begitu besar. Begitu juga sebaliknya.
Seluruh pungutan pajak digunakan untuk pemenuhan kas negara. Semua rakyat dikenakan pajak tanpa terkecuali. Ketika ini terjadi, beban rakyat makin bertambah apalagi di Mesir Kuno juga terdapat sistem kerja rodi. Sistem ini membuat semua warga Mesir diharuskan bekerja kepada negara untuk proyek-proyek publik, seperti pengolahan ladang, penambangan, dan pembangunan infrastruktur.
Meski begitu, bukan berarti tak ada pengemplang pajak. Samuel Blankson dalam A Brief History Of Taxation (2007) mencatat, banyak orang tak ingin pendapatannya dipotong pajak, sehingga berpikir untuk mengakalinya.
Cara paling lazim, misalkan, kongkalikong antara pencatat dan subjek pajak. Subjek pajak sering tidak melaporkan penghasilan sebenarnya kepada pencatat supaya potongan pajaknya kecil. Selain itu, subjek pajak juga sering mengakali pengukuran, seperti mengakali timbangan agar potongan pajaknya rendah.
Pada akhirnya, warisan pemungutan atau potongan penghasilan yang dicetuskan oleh Firaun dari Mesir Kuno masih bertahan hingga sekarang. Sistem yang dicetuskannya pun menjadi inspirasi negara sebagai instrumen efektif penerimaan kas. Kini, semua itu lazim disebut pajak.
(fsd/fsd)
-

Wow! China Bangun Bendungan Super Pertama di Dunia
Jakarta –
China mungkin juara dunia dalam hal pembangunan bendungan. Mereka tak hanya memiliki lebih banyak bendungan besar yang berfungsi dibandingkan negara lain di dunia, tetapi juga memegang rekor pembangkit listrik tenaga air berkapasitas terbesar yang beroperasi, yakni Bendungan Tiga Ngarai di Sungai Yangtze.
Kini, negara adidaya di Asia Timur ini sedang dalam proses menciptakan bendungan super pertama di dunia, yang akan memecahkan semua rekor sebelumnya.
Negeri Tirai Bambu ini pertama kali mengumumkan pembangunan bendungan ini pada 2021 ketika Kongres Rakyat Nasional menyetujui Rencana Lima Tahun ke-14 negara tersebut.
Bendungan ini akan berada di hilir Sungai Yarlung Zangbo, yang dikenal sebagai Sungai Brahmaputra di India, di antara kaki pegunungan Himalaya di Daerah Otonomi Tibet. Sungai ini membelah Yarlung Zangbo Grand Canyon, ngarai terdalam di dunia yang membentang sepanjang 504,6 kilometer, hanya sedikit lebih panjang dari Grand Canyon di AS.
Seperti dikutip dari IFL Science, Jumat (2/9/2024) hal ini bertujuan untuk memanfaatkan sejumlah besar potensi energi yang tersimpan di sungai dan tebing di wilayah yang sangat luas ini. Secara total, pembangkit listrik ini dapat memanfaatkan tiga kali lipat jumlah pembangkit listrik tenaga air yang saat ini digunakan oleh pembangkit listrik Tiga Ngarai.
Pemerintah China membenarkan rencana tersebut dengan mengatakan bahwa hal itu akan membantu China mencapai tujuannya untuk mencapai puncak emisi karbon pada tahun 2030 dan netralitas karbon pada tahun 2060.
Kontroversial
Namun, skema tersebut telah terbukti kontroversial di dalam dan luar negeri. Lebih dari 1,25 juta orang diusir dari rumah mereka untuk melanggengkan pembangunan proyek Bendungan Tiga Ngarai, sementara banyak habitat hewan dan ekosistem alam mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Beberapa pihak khawatir bendungan Yarlung Zangbo akan menjadi lebih mengganggu. Rumor mengenai bendungan super juga telah memicu ketegangan di antara negara-negara tetangga China.
Belakangan ini, China dan India saling berselisih soal sumber daya air di Himalaya dan perkembangan terkini di sepanjang Sungai Yarlung Zangbo alias Sungai Brahmaputra berpotensi memperdalam perselisihan.
Sebagaimana dicatat oleh para analis politik, India dan Bangladesh berada di hilir sistem sungai dan sangat bergantung pada perairannya. Karena bendungan China berpotensi mengubah aliran dan sistem sungai secara drastis, India khawatir pasokan air di negara mereka akan dibatasi sebagai tebusannya.
Seorang juru bicara Kementerian Sumber Daya Air India mengatakan kepada Al Jazeera bahwa mereka berencana membangun proyek 10 gigawatt mereka sendiri di anak Sungai Brahmaputra lainnya untuk mengatasi dampak bendungan China.
Beberapa pengamat di India menyatakan bahwa China merahasiakan sejumlah hal seputar proyeknya sebagai upaya untuk membungkam reaksi internasional terhadap pembangunan bendungan.
Tanpa transparansi, menurut mereka, dampak penuh dari bendungan super tidak akan diketahui sampai bendungan tersebut selesai dibangun sehingga keberatan apa pun akan terlambat.
Perselisihan serupa juga terjadi di tempat lain di dunia. Ethiopia berada di tengah-tengah pembangunan sistem bendungan pembangkit listrik tenaga air yang sangat kontroversial di Sungai Nil Biru, yang membuat Mesir sangat kesal karena khawatir hal itu akan memisahkan mereka dari perairan Sungai Nil yang berharga. Demikian pula, penguasaan kompleks Sungai Tigris-Efrat mengancam akan mengguncang persaingan yang sudah berlangsung lama di Timur Tengah.
(rns/rns)


