Tempat Fasum: Sungai Citarum

  • Gandeng KPK Selamatkan Aset Negara, KDM Sebut Puluhan Ribu Tanah Tak Bersertifikat

    Gandeng KPK Selamatkan Aset Negara, KDM Sebut Puluhan Ribu Tanah Tak Bersertifikat

    Bisnis.com, JAKARTA – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi atau KDM mengungkapkan terdapat puluhan ribu tanah yang belum memiliki sertifikat. Dia meminta KPK untuk mengawal proses sertifikasi lahan yang dikhawatirkan terdapat dugaan unsur pidana.

    KDM menjelaskan terdapat lahan-lahan yang tidak memiliki kelengkapan administrasi izin lokasi, termasuk masa HGU sejumlah titik telah habis.

    “Penataan aset-aset milik negara, milik BUMN yang sampai saat ini puluhan ribu areal tanah tidak bersertifikat, sehingga kami ingin mendorong sertifikasi,” katanya, Kamis (11/12/2025).

    KDM menyampaikan lahan tersebut akan dikelola untuk mengembalikan fungsi hutan dan memaksimalkan konservasi lingkungan, fungsi perkebunan, dan fungsi sungai. 

    KDM juga mengajak perusahaan BUMN seperti PT Perkebunan Nusantara, Balai Besar Wilayah Sungai, Perusahaan Jasa Tirta, dan Pengembangan Sumber Daya Air. Bagi pihak yang telah menempati lahan tak bertuan itu akan direlokasi.

    “Apakah dalam alih fungsi aset itu ada unsur-unsur pidana korupsinya atau tidak, itu KPK yang memiliki kewenangan. Yang kedua konsen kita, kita nyatakan bahwa hampir semua alih fungsi lahan itu ilegal, dalam pandangan saya. Yang berikutnya juga kita sudah mengingatkan pada PTPN Untuk tidak lagi melakukan perubahan peruntukan yaitu membuat KSO-KSO pariwisata yang merusak ekosistem perkebunannya sendiri,” ucap Dedi.

    Sebab, dia menyatakan bahwa banyak area pegunungan berubah menjadi pemukiman dan perkebunan. Terutama di kawasan Bandung di mana sebagian pesisir Sungai Citarum yang dibangun pemukiman.

    Dia menuturkan pengembalian fungsi lahan untuk memitigasi dampak bencana alam seperti yang menimpa wilayah Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh.

    “Kami ingin mencoba memitigasi, mencegah bencana terjadi di Jawa Barat dengan cara menghijaukan gunung, menghijaukan lereng, mengembalikan kembali fungsi persawahan, mengembalikan kembali fungsi sungai karena biaya pencegahan lebih murah dibanding dengan recovery bencana,” jelasnya.

    Dia menegaskan akan menutup permanen pertambangan-pertambangan di lereng gunung yang memiliki risiko kerusakan lingkungan seperti di Kabupaten Bandung, di Garut, dan Sumedang.

  • Relokasi Penduduk Bantaran Citarum, Dedi Mulyadi Siapkan Kontrakan Setahun

    Relokasi Penduduk Bantaran Citarum, Dedi Mulyadi Siapkan Kontrakan Setahun

    Relokasi Penduduk Bantaran Citarum, Dedi Mulyadi Siapkan Kontrakan Setahun
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, merelokasi penduduk bantaran Sungai Citarum dan menyiapkan hunian kontrakan untuk setahun.
    “Kita kontrakin aja dulu rumah selama setahun,” kata Dedi di Gedung Merah Putih
    KPK
    , Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
    Merespons banjir dan longsor akhir-akhir ini, Dedi datang ke KPK untuk berkoordinasi mengenai kebijakanya memitigasi bencana selanjutnya, termasuk soal penertiban bantaran sungai dan lahan-lahan lereng.
    Dedi menjanjikan titik relokasi bagi penduduk bantaran sungai yang dipindah, maka kontrakan itu hanya tempat sementara.
    “Mungkin mulai Januari kita akan menentukan titik relokasi mereka,” kata Dedi.
    Banjir hingga longsor terjadi di wilayah Kabupaten Bandung, Jabar, pada 4 Desember 2025.
    Pemerintah Kabupaten Bandung menetapkan status darurat bencana banjir dan longsor mulai 6-19 Desember 2025.

    Dedi Mulyadi
    mengeluarkan kebijakan berupa Surat Edaran Nomor 177/PUR.06.02.03/DISPERKIM yang ditujukan kepada bupati dan wali kota di lima daerah, yakni Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, Bandung, dan Cimahi.
    Dalam SE tersebut, dia menghentikan secara sementara penerbitan izin pembangunan perumahan di wilayah Bandung Raya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sederet Cara Dedi Mulyadi Tangani Banjir di Bandung Raya

    Sederet Cara Dedi Mulyadi Tangani Banjir di Bandung Raya

    Liputan6.com, Jakarta – Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi menyiapkan sejumlah cara untuk menangani banjir yang kerap melanda Bandung Raya pada tahun 2026. Salah satu fokusnya adalah pengelolaan tata ruang sampai pembangunan bendungan.

    Dalam aspek pengelolaan tata ruang, lanjutnya, pertama Pemprov Jabar akan mengembalikan tata ruang pada fungsi alamnya dengan memperbanyak ruang hijau.

    “Tata ruang harus dikembalikan ke fungsi alam. Ruang hijau harus diperbanyak, meskipun pasti ada reaksi dan kemarahan karena banyak pihak selama ini menikmati fasilitas alam secara tidak tepat,” kata Gubernur Dedi Mulyadi dalam keterangannya di Bandung, Selasa.

    Kemudian, lanjut dia, menghentikan alih fungsi lahan, dimana seluruh aktivitas perubahan perkebunan teh atau hutan menjadi perkebunan sayur seperti kentang dan tanaman yang tidak memberikan kekuatan pada tanah akan dihentikan.

    “Kemudian mereka yang mengalihfungsikan lahan harus mengembalikannya menjadi perkebunan teh atau tanaman keras lainnya, agar tidak menimbulkan sedimentasi ke Sungai Citarum,” ucap Dedi Mulyadi.

    Selain dari aspek tata ruang, lanjutnya, Pemprov Jabar juga menyiapkan pembangunan bendungan di kawasan Kertasari, Kabupaten Bandung, untuk menahan sementara arus sungai di kawasan hulu tersebut.

    “Ini sebagai salah satu solusi pengendalian banjir jangka panjang,” kata Dedi Mulyadi.

    Ia menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah daerah di kawasan Bandung Raya dan Pemprov Jabar dalam mengembalikan tata ruang ke fungsi alam, termasuk memulihkan danau-danau kecil yang kini telah berubah menjadi kawasan permukiman maupun bisnis.

    Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menghadiri peringatan Hari Kesatuan Gerak PKK, di Gedung Sasana Budaya Ganesha ITB, Selasa (18/11). Dalam acara tersebut, Dedi Mulyadi ditemani sang putri, Nyi Hyang.

  • Banjir dan Rob Kepung Karawang, Tinggi Air Capai 1 Meter hingga 316 Rumah Terendam

    Banjir dan Rob Kepung Karawang, Tinggi Air Capai 1 Meter hingga 316 Rumah Terendam

    Liputan6.com, Jakarta – Banjir melanda ratusan rumah di Kabupaten Karawang, Jawa Barat menyusul tingginya curah hujan di daerah tersebut. Ketinggian air bervariasi, mulai 20 sentimeter hingga 1 meter.

    Berdasarkan data BPBD Karawang, banjir yang terjadi sejak beberapa hari terakhir di Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe Barat itu merendam 316 rumah yang dihuni 1.224 jiwa atau 413 kepala keluarga.

    “Di sekitar Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe Barat, banjir merendam areal pemukiman penduduk, areal sawah, dan jalan raya,” kata petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Karawang Kaming di Karawang, Sabtu.

    Informasi BPBD Karawang, banjir di Desa Karangligar terjadi akibat tingginya curah hujan yang memicu meluapnya dua sungai besar, yakni Sungai Citarum dan Cibeet.

    Petugas gabungan BPBD, Tagana, TNI, dan Polri terus melakukan evakuasi warga yang terdampak banjir. Warga diungsikan ke tempat yang lebih aman.

    “Tinggi permukaan air Sungai Cibeet dan Citarum cenderung meningkat. Jadi warga terdampak banjir diungsikan ke tempat yang lebih aman,” katanya.

  • Banjir Terjang Dayeuhkolot, Baleendah, dan Bojongsoang, Ribuan Warga Terdampak
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        5 Desember 2025

    Banjir Terjang Dayeuhkolot, Baleendah, dan Bojongsoang, Ribuan Warga Terdampak Bandung 5 Desember 2025

    Banjir Terjang Dayeuhkolot, Baleendah, dan Bojongsoang, Ribuan Warga Terdampak
    Tim Redaksi
    BANDUNG, KOMPAS.co
    m – Ratusan ribu rumah di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Bojongsoang, Kecamatan Dayeuhkolot, dan Kecamatan Baleendah, terdampak akibat banjir luapan Sungai Citarum.
    Sungai Citarum
    kembali meluap usai hujan deras yang mengguyur wilayah Kabupaten Bandung sejak Kamis (4/12/2025) kemarin.
    Kepala Pelaksana (Kalak) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung, Wahyudin, mengatakan, di Kecamatan Dayeuhkolot sebanyak 9.246 keluarga atau 25.918 jiwa terdampak.
    Tak hanya merendam rumah warga, air juga menggenangi beberapa ruas jalan di Kecamatan Dayeuhkolot, seperti di depan Jalan Raya Dayeuhkolot.
    Ketinggian air mencapai 50 sentimeter hingga 90 sentimeter.
    Berbeda dengan pemukiman warga di Kampung Bojong Asih, ketinggian air mencapai 1,5 meter.
    “Kalau yang mengungsi itu di Desa Bojong Asih sebanyak 99 keluarga atau 307 jiwa,” katanya saat ditemui di Desa Bojong Asih, Jumat (5/12/2025).
    Di Kecamatan Baleendah, terdata 1.873 keluarga atau 5.579 jiwa dari tiga kelurahan terdampak dan sebanyak 63 keluarga atau 150 jiwa terpaksa mengungsi.
    Terakhir, di Kecamatan Bojongsoang, sebanyak 1.236 keluarga atau sekitar 3.000 jiwa dari tiga desa juga terdampak luapan Sungai Citarum.
    “Kalau yang di Bojong Asih, tidak ada warga yang mengungsi,” terang dia.
    Data tersebut, kata Wahyudin, masih bisa berkembang melihat situasi dan kondisi Bandung Raya yang masih diperkirakan akan turun hujan.
    Camat Dayeuhkolot, Asep Suryadi, membenarkan data tersebut.
    Bahkan, hingga siang hari, air luapan Sungai Citarum masih belum menunjukkan tanda-tanda surut.
    “Masih belum surut, ketinggian air juga variatif, 70 sentimeter sampai 90 di titik terdalam,” ujar Asep.
    Asep menjelaskan, saat ini di Desa Cangkuang Wetan, tepatnya di Kampung Cibedug Hilir, ketinggian air mencapai 1,5 meter.
    Bahkan, akses jalan yang tergenang tidak bisa dilalui motor maupun berjalan kaki.
    “Banyak barang terendam, warga yang tidak bisa beraktivitas, jalan menuju masjid, hingga masjid yang tidak bisa digunakan karena terendam,” kata Asep.
    Di kampung tersebut, korban terdampak hampir 312 keluarga, dan yang mengungsi 42 keluarga atau 147 jiwa.
    “Itu baru terevakuasi, masih banyak yang belum terevakuasi,” ucapnya.
    Saat ini, kebutuhan mendesak di antaranya makanan dan minuman untuk pengungsi, alat masak untuk dapur umum, selimut dan karpet untuk pengungsi, serta perahu untuk evakuasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dayeuhkolot yang Tak Pernah Kering: Warga Bertahan dalam Derita Banjir Tanpa Akhir
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        5 Desember 2025

    Dayeuhkolot yang Tak Pernah Kering: Warga Bertahan dalam Derita Banjir Tanpa Akhir Bandung 5 Desember 2025

    Dayeuhkolot yang Tak Pernah Kering: Warga Bertahan dalam Derita Banjir Tanpa Akhir
    Tim Redaksi
    BANDUNG, KOMPAS.com
    – Siang belum genap membuka tirai cahaya ketika Dayeuhkolot kembali terjerembap dalam genangan.
    Seakan alam menulis ulang kisah lama yang tak kunjung tamat, air merayap perlahan, menutupi halaman rumah, merayap ke ruas-ruas jalan, hingga akhirnya menyesaki denyut kehidupan warganya.
    Di balik tembok-tembok yang mulai kusam, hidup warga di Kampung Leuwi Bandung, Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, seperti ditahan dalam sebuah jeda panjang.
    Mereka bangun bukan untuk menyambut hari, melainkan untuk memastikan apakah malam telah membawa air lebih tinggi dari kemarin.
    Seperti yang dirasakan Robert Sirait (55), warga Kampung Leuwi Bandung, RT 07 RW 01, Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, seorang Ayah yang telah empat kali berhadapan dengan banjir hanya dalam rentang dua bulan.
    “Hidup kami ini seperti perahu bocor, banjirnya datang terus kalau musim hujan,” ujarnya lirih, ditemui Jumat (5/12/2025).
    “Air yang kemarin sudah pergi, sekarang datang lagi, bersih-bersih lagi rumah,” katanya sambil membersihkan teras warungnya.
    Bagi warga Kampung Leuwi Bandung, banjir bukan lagi tamu tak diundang—melainkan penghuni lain yang menuntut tempat, tak kenal malu, tak kenal waktu.
    Setiap deras hujan, mereka seperti berjudi dengan takdir: antara bertahan atau kembali mengevakuasi diri.
    “Kalau disebut capek, lelah, sudah pasti karena kondisi ini jauh berbeda dengan pertama saya tinggal tahun ’98,” ujarnya.
    Usai teras rumahnya yang sudah separuh kering, Robert duduk di kursi plastik yang mengapung setinggi mata kaki.
    Dia memandang jauh ke luar pintu, seolah mencari jawaban pada arus yang tak pernah benar-benar diam.
    “Kami enggak
    nyerah
    , tapi kalau dibilang capek ya pasti, banjir menguras energi dan pikiran,” ujarnya.
    Di sepanjang jalan sempit menuju Kampung Leuwi Bandung, air memantulkan wajah-wajah yang mulai kehilangan warna.
    Namun, mereka tetap berjalan, menembus dingin yang menggigit betis, karena hidup tetap menagih kewajibannya: bekerja, mencari nafkah, menjaga keluarga tetap makan.
    “Kalau saya tetap memilih buka warung, ya meskipun air tinggi sampai 90 sentimeter juga tetap harus cari rezeki,” katanya.
    Sementara di sudut kampung, beberapa warga berdiri di teras rumah.
    Anak-anak duduk berbaris bermain perahu, bak penumpang kapal yang menunggu nakhoda membawa mereka ke tanah yang lebih bersahabat.
    Di sana, aroma Sungai Citarum yang mengendap sejak malam bercampur dengan bau solar dari sepeda motor yang mogok.
    Semuanya bertaut menjadi satu: aroma kelelahan, aroma perjuangan, aroma hidup yang dipaksa terus berjalan.
    Di balik deru air yang melintas pelan, ada cerita yang tidak pernah tersampaikan: tentang sandal-sandal yang hanyut malam tadi, tentang kasur yang tak lagi bisa mengering, tentang buku sekolah yang rusak sebelum sempat dibaca.
    “Kondisi ini sudah lama, mungkin banyak faktor, daerah resapan yang sudah hilang, hasilnya ya Kampung kami ini terdampak,” bebernya.
    Namun, warga Kampung Leuwi Bandung tidak pernah benar-benar diam.
    Mereka mengikat barang-barang, mengangkat lemari, menumpuk piring dan pakaian di rak paling tinggi, seakan membangun benteng kecil dari sisa-sisa harapan.
    Tak hanya Robert, di rumah panggung sederhana, seorang nenek bernama Onih bertahan dengan kompor kecil yang dinaikkan di atas dua bata.
    “Banjir ini seperti tamu lama, dia sudah tahu letak pintu, tahu letak dapur, bahkan tahu tempat tidur kita,” katanya.
    Setiap kali air naik setinggi lutut, warga tahu apa yang harus dilakukan.
    Tak ada teriakan panik, yang ada hanya gerakan-gerakan yang telah menjadi ritus tahunan: mengemasi, mengangkat, memindah, mengevakuasi.
    Meski demikian, di balik keterbiasaan itu, rasa letih mulai menggerus.
    Banjir yang datang silih berganti membuat dinding semangat perlahan retak.
    Tubuh-tubuh yang selama ini kuat mulai menua oleh kepasrahan yang berkepanjangan.
    Pada siang yang suram, suara azan memantul dari Masjid Agung Dayeuhkolot, menyapa air yang menggenang di pelataran.
    Suara itu seperti seruan untuk tetap memeluk harapan, meski langit terus mengancam dengan tumpahan barunya.
    Di tengah gelombang kecil yang merayap, warga saling bergandeng mata.
    Ada kehangatan di antara derita yang tak berkesudahan—kehangatan yang hanya dimiliki mereka yang telah lama berbagi luka bersama.
    Beberapa pemuda kampung bergiliran mendorong gerobak berisi air minum dan makanan instan.
    Mereka bergerak dari rumah ke rumah, seakan menjadi denyut terakhir bagi kampung yang sedang ditahan oleh air.
    Di sela kepungan banjir, Kampung Leuwi Bandung bukan hanya tempat yang menanggung bencana; ia juga rumah bagi keteguhan yang menerangi kegelisahan.
    Warga menolak menyerah, meski setiap langkah yang mereka ayun terasa seperti menentang permukaan sungai yang tak pernah reda.
    “Kami bosan, itu benar. Tapi, kalau bukan kami yang bertahan, siapa lagi yang menjaga kampung ini tetap hidup?” kata Robert.
    Pada akhir hari, cahaya sore menguning di permukaan air, menciptakan kilau yang menipu mata—indah, tetapi menyimpan luka.
    Dan warga hanya bisa berharap esok tidak seburuk hari ini, meski harapan itu semakin rapuh…
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Perjuangan Siswa Muara Gembong ke Sekolah, Menembus Banjir dan Sungai
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        5 Desember 2025

    Perjuangan Siswa Muara Gembong ke Sekolah, Menembus Banjir dan Sungai Megapolitan 5 Desember 2025

    Perjuangan Siswa Muara Gembong ke Sekolah, Menembus Banjir dan Sungai
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Setiap kali matahari terbit, siswa di Desa Pantai Bahagia, Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, sudah bersiap di dermaga depan rumahnya masing-masing untuk menanti jemputan perahu sekolah.
    Baik sekolah negeri maupun swasta memiliki perahu jemputan tersendiri untuk para siswa dan siswinya.
    Perahu menjadi andalan siswa di
    Muara Gembong
    untuk pergi ke sekolah demi mengejar cita-citanya sejak puluhan tahun lalu.
    Hal itu disebabkan karena
    Desa Pantai Bahagia
    diapit oleh laut dan aliran Sungai Citarum sehingga sering terendam banjir.
    Tak adanya tanggul membuat air laut di belakang rumah warga lebih sering meluap dan menggenangi pemukiman.
    Bahkan, Kampung Beting di Desa Pantai Bahagia dinyatakan sudah tenggelam sejak tahun 2008.
    Kondisi Sungai Citarum tanpa tanggul di depan rumah warga juga sering mengakibatkan banjir di wilayah ini.
    Namun, banjir dari sungai tidak terlalu sering seperti laut. Air Citarum akan meluap jika hujan lebat dan adanya air kiriman dari daerah lain.
    Sering terendamnya banjir membuat beberapa titik jalan di Muara Gembong terputus.
    “Sebab, ada beberapa daerah di Muara Gembong yang sudah tidak lagi memiliki jalur darat alias tertutup imbas sering terendam rob,” tutur salah satu guru di MTs Nurul Ihsan, Desa Pantai Bahagia, Dadang Irawan saat diwawancarai Kompas.com di lokasi, Selasa (2/11/2025).
    Selain terputus, jalan yang masih tersisa di lokasi tak layak untuk dilalui baik dengan sepeda motor maupun berjalan kaki.
    Sebab, jalan yang masih tersisa dipenuhi tanah merah, bebatuan tajam, berpasir, hingga berlumpur.
    Kondisi jalan semakin parah dan berbahaya dilalui ketika turun hujan di Desa Pantai Bahagia.
    Hal itu lah yang membuat siswa dan siswi di Desa Pantai Bahagia mengandalkan perahu untuk berangkat dan pulang sekolah.
    Perahu-
    perahu sekolah
    di Desa Pantai Bahagia akan melintas di sepanjang Sungai Citarum setiap harinya.
    Dadang bilang, sebelum mengandalkan perahu dari sekolah, siswa di Muara Gembong ada yang diantar menggunakan perahu pribadi oleh orangtuanya karena akses rumahnya benar-benar tak ada lagi jalur darat.
    Tapi, sebagian besar mereka yang rumahnya masih terdapat jalur darat maka terpaksa harus berjalan kaki sekitar empat kilometer (Km) dengan menyusuri jalan licin dan bebatuan.
    Para siswa rata-rata harus berjalan kaki sekitar 30 menit hingga 45 menit untuk pergi ke sekolah sebelum mengandalkan perahu.
    Hal itu lah yang membuat Dadang merasa iba dan sering menggunakan perahu pribadinya untuk mengantar pulang anak-anak sekolah agar tidak terlalu lelah.
    “Saya punya perahu sendiri jadi saya mengantarkan pas pulangnya saja, kalau pagi bisa jalan,” tutur Dadang.
    Namun, karena kapasitas mesin perahunya hanya sekitar 25 PK maka Dadang hanya bisa mengangkut sekitar 20 siswa dalam sekali perjalanan.
    Hal itu, ia lakukan rutin kurang lebih selama tiga tahun demi membantu anak-anak agar mau sekolah dan mengejar mimpinya.
    Dadang juga tak pernah memungut biaya ke siswa yang menebeng perahunya.
    Mulai dari BBM hingga perawatan perahu ia tanggung sendiri, meski gajinya sebagai seorang guru MTs tak seberapa.
    Namun, kondisi itu berubah sejak tahun 2018, ketika salah satu perusahaan logistik dan pelayaran yakni PT Samudera Indonesia Tbk datang ke MTs Nurul Ihsan untuk memberikan bantuan perahu sekolah untuk siswa dengan dana Corporate Social Responsibility (CSR).
    Sejak itu, MTs Nurul Ihsan memiliki perahu jemputan sekolah pribadi untuk siswanya berjenis speed boat yang bernama Kapal Sinar Waisai.
    Kapal senilai Rp 1 Miliar itu bisa mengangkut penumpang anak-anak maksimal 40 orang, sedangkan dewasa hanya 30 orang.
    Tak hanya memberikan speed boat, segala perawatan dan gaji petugas kapal yang mengantar anak-anak pergi dan pulang sekolah juga terus ditanggung perusahaan swasta tersebut sampai saat ini.
    Setiap harinya, kapal ini akan menjemput dan mengantar pulang siswa dan siswi yang bersekolah di MTs Nurul Ihsan.
    Namun, karena siswa yang naik perahu mencapai 60 orang maka perjalanannya selalu dibagi menjadi dua setiap harinya.
    “Jadi, mereka mengangkut dua kali. Pertama mereka mengangkut paling ujung dulu di pinggir laut kawasan Muara Bendera diantarkan ke sekolah, nanti trip kedua mereka angkut dari wilayah pertengahan langsung ke sekolah,” jelas Dadang.
    Begitu pulang, Kapal Sinar Waisai akan melakukan dua kali perjalanan.
    Pertama, anak-anak yang akan diantar yang rumahnya berada di pertengahan dan hanya ditempuh dalam waktu 15 menit.
    Sedangkan perjalanan kedua, dilakukan untuk mengantar anak-anak yang rumahnya di ujung Sungai Citarum atau berbatasan dengan laut yang harus membutuhkan waktu sekitar 30 hingga 40 menit dalam satu kali perjalanan.
    Anak-anak yang naik speed boat juga diwajibkan untuk menggunakan pelampung ketika pergi dan pulang sekolah demi menjaga keamanannya.
    Beruntungnya lagi, anak-anak MTs Nurul Ihsan tak perlu membayar biaya perahu yang mengantar mereka.
    “Ini semuanya gratis. Kita ada CSR dari Samudera yang memang mengalokasikan dana untuk sarana transportasi untuk mengangkut anak-anak yang dari Muara Bendera,” tutur Dadang.
    Kampung Beting yang disebut sebagai wilayah tenggelam di Desa Pantai Bahagia justru belum bisa terakses perahu jemputan sekolah.
    Sebab, lebar Sungai Citarum ketika masuk di desa ini mengecil hanya sekitar 15 meter sehingga perahu tradisional atau speed boat tak bisa masuk untuk menjemput siswa.
    “Mungkin kalau ke Beting itu sungainya luas bisa dijemput juga, cuma karena kecil jadi buat ke Beting itu enggak masuk kapalnya,” ucap Dadang.
    Alhasil, siswa dari Kampung Beting terpaksa harus berjalan kaki berkilo-kilo meter ketika hendak pergi dan pulang sekolah.
    “Sekitar 30 menit jalan kaki. Kalau banjir menerobos banjirnya. Kapal enggak bisa masuk karena kali sempit,” tutur salah satu siswi MTs Nurul Ihsan, Syifa (14).
    Syifa mengaku sedih dan lelah karena harus berjalan kaki setiap harinya ketika pergi dan pulang sekolah, sementara rekan-rekannya menggunakan perahu.
    Tak hanya Syifa, siswi lain Zaskia (15) juga harus berjalan kaki setiap harinya ke sekolah karena tinggal di Kampung Beting.
    Perjalanan ke sekolah akan semakin lama ditempuh ketika hujan tiba.
    Sebab, jalanan di Desa Pantai Bahagia rusak parah dan bebatuan tajam.
    “Kalau hujan, ada jalan kaki mah sekitar 40 menit,” tutur Zaskia.
    Oleh karena itu, ia berharap agar jalan di kampungnya bisa segera diperbaiki pemerintah supaya tak lagi rusak.
    “Pengin jalannya bisa dibagusin lagi biar sekolahnya enak enggak becek-becekan,” kata dia.
    Pengamat Pendidikan Ina Liem menilai pemerintah telah gagal menangani pendidikan di Muara Gembong.
    “Masalah di Muara Gembong bukan muncul tiba-tiba. Ini akumulasi kegagalan negara selama puluhan tahun,” tutur Ina.
    Kondisi pendidikan yang begitu memprihatinkan itu disebabkan karena kurangnya transparansi, audit keuangan daerah yang lemah, dan ego sektoral yang membuat kementerian dan dinas bekerja sendiri-sendiri.
    “Data sekolah ada di Kemendikdasmen, data penduduk dan siswa miskin di Dukcapil, infrastruktur di PUPR. Tanpa koordinasi, anak-anak tetap harus naik perahu kecil berbayar tanpa pelampung,” sambung Ina.
    Ironisnya, sekolah swasta di Desa Pantai Bahagia seperti MTs Nurul Ihsan lebih gesit mencari CSR dan mendapatkan perahu yang aman dan gratis untuk siswanya.
    Sedangkan sekolah negeri justru mengandalkan perahu tradisional yang justru berbayar sekitar Rp 5.000.
    “Ini menunjukkan kontras antara inisiatif swasta yang gesit dan pejabat daerah yang pasif, padahal mereka punya anggaran, kewenangan, dan kewajiban,” ujar Ina.
    Ina menyarankan pemerintah bisa mengintegrasikan data lintas sektor di Muara Gembong.
    “Solusinya bukan tambal sulam, tapi integrasi data lintas sektor (Kemendikdasmen–Dukcapil–PUPR), transparansi anggaran, dan audit daerah yang betul-betul dijalankan,” ujar Ina.
    Ia juga mengingatkan, CSR dari perusahaan bisa dimanfaatkan untuk membantu memajukan pendidikan di Muara Gembong.
    Tapi, peran CSR tidak boleh menggantikan fungsi negara dalam menyediakan layanan pendidikan yang layak untuk anak-anak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • "Kampung Dollar" Muara Gembong yang Dulu Makmur Kini Tenggelam Ditelan Rob
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Desember 2025

    "Kampung Dollar" Muara Gembong yang Dulu Makmur Kini Tenggelam Ditelan Rob Megapolitan 4 Desember 2025

    “Kampung Dollar” Muara Gembong yang Dulu Makmur Kini Tenggelam Ditelan Rob
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kampung Beting di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dulunya sangat berlimpah ikan, udang, dan kepiting.
    Melimpah ruahnya sumber makanan itu membuat warga berlomba-lomba mendirikan usaha tambak di belakang rumahnya yang langsung laut.
    Warga berbondong-bondong mengubah area mangrove di belakang rumahnya, menjadi area tambak.
    Pasalnya, bisnis tambak milik warga di Kampung Beting begitu menjanjikan dan bisa datangkan keuntungan puluhan juta rupiah setiap bulannya.
    Berkembangnya usaha tambak warga membuat Kampung Beting mencapai masa kejayaannya pada tahun 1980-an hingga disebut sebagai ”
    Kampung Dollar
    “.
    Namun, kejayaan itu hanya tinggal kenangan semata. Kondisi Kampung Beting kini memperihatinkan.
    “Sedih lah saya kecil di sini, dulu di sana adalah kampung terpadat dan ekonomi bagus banget perputarannya di sana,” ucap warga bernama Halima (38) saat diwawancarai
    Kompas.com
    di lokasi, Selasa (2/12/2025).
    Namun, sekitar tahun 2000-an, bisnis tambak warga di
    Muara Gembong
    perlahan-lahan habis karena tergerus abrasi.
    Sejak itu pula, perekonomian warga di Muara Gembong, khususnya Kampung Beting terganggu.
    Padahal, dulu Halima bisa bersekolah dan mendapatkan kehidupan yang layak karena orangtuanya adalah seorang petani tambak bandeng dan udang.
    Ia mengaku, terakhir panen hasil tambak milik orangtuanya sekitar tahun 2005-an. Kini, Halima tak bisa lagi mencicipi ikan dari tambak belakang rumahnya.
    “Kalau nelayan mungkin masih produktif, tapi kalau petani tambak mungkin abrasi itu permasalahannya enggak bisa panen bandeng, udang, enggak bisa kayak dulu,” ucap dia.
    Dalam 10 tahun ke belakang, abrasi di wilayah ini semakin parah dan membuat Kampung Beting perlahan tenggelam.
    Sebab, adanya abrasi membuat banjir rob dengan ketinggian sekitar 50 cm terjadi sekitar satu minggu sekali di kampung ini.
    Banjir rob mudah masuk ke perumahan warga karena laut di Muara Gembong tak dilengkapi dengan tanggul beton.
    Selain dikelilingi laut, Kampung Beting juga dialiri Sungai Citarum yang arusnya cukup kencang.
    Sungai Citarum yang mengalir di sepanjang Kampung Beting kanan dan kirinya juga tidak dilengkapi oleh tanggul.
    Jadi, ketika hujan tiba, air sungai itu juga mudah meluap ke rumah-rumah warga.
    Tak heran, kampung ini mudah sekali tenggelam ketika banjir dari laut atau sungai datang.
    Sering tenggelamnya Kampung Beting membuat sebagian warga memilih meninggalkan tempat tinggalnya.
    “Warganya juga sudah banyak yang pindah karena rumahnya sudah tidak layak huni dan akses jalan sudah terputus,” ujar Halima.
    Pasalnya, meski banjir rob tidak sedang datang, beberapa rumah warga tetap tergenang air berwarna cokelat.
    Sementara sebagian area depan rumah warga yang sudah tak tergenang justru dipenuhi lumpur dari kali sehingga tidak bisa lagi dipijak.
    Mirisnya lagi, karena sudah tenggelam dan tak berpenghuni, sekitar dua minggu lalu sebagian akses listrik di Kampung Beting ujung sudah dicabut oleh PLN.
    KOMPAS.com/ SHINTA DWI AYU Kampung tenggelam di Desa Pantai Bahagia, Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

    Tempat tinggal Halima di Kampung Gobah juga sudah mulai terkena abrasi.
    “Sebetulnya, sudah mulai terkena abrasi tapi belum ke pemukiman, karena kalau Kampung Gobah itu pemukimannya hanya sepanjang aliran Sungai Besar Citarum,” ucap dia.
    Namun, seluruh tambak warga di Kampung Gobah juga sudah hancur tergerus oleh abrasi.
    Oleh karena itu, ia takut suatu saat kampung tempat tinggalnya memiliki nasib yang sama seperti Kampung Beting.
    Halimah berharap pemerintah bisa segera melakukan tindakan untuk mengatasi abrasi di kawasan Muara Gembong.
    Ia juga meminta agar pemerintah bisa mengajak masyarakat untuk sama-sama menanggulangi abrasi.
    Di Muara Gembong sudah banyak kegiatan menanam mangrove untuk mengatasi abrasi.
    Namun, dampak penanaman mangrove itu dinilai belum signifikan untuk mencegah abrasi.
    Oleh karena itu, ia berharap pemerintah bisa membangun tanggul untuk penahan abrasi di sekitar laut Muara Gembong.
    Sebab, jika tak ada tanggul, maka ia khawatir seluruh desa di Muara Gembong bisa tenggelam.
    “Karena kalau dibiarkan bisa satu kampung, dua kampung, atau satu desa akan tenggelam, kan kita berusaha kayaknya kalau masyarakat masih mau lah kalau pemerintah bikin seperti apa,” ucap dia.
    Ketua RT 05, RW 06, Dusun 3, Maska juga menilai, penanaman mangrove di kampungnya belum terlalu efektif untuk mencegah abrasi.
    “Banyak sih komunitas yang terjun di wilayah saya ini, cuma penurunan alat berat untuk menanggulangi abrasi belum ada, baru sebatas penanggulangan dengan cara penanaman pohon mangrove atau apa itu aja, yang tidak langsung berdampak hasilnya berbeda dengan alat berat untuk tanggul,” ujar Maska.
    Maska berharap, ada bantuan berupa alat berat dari pemerintah untuk mengatasi abrasi.
    Menjalani hidup di
    Kampung Tenggelam
    tentu saja bukan perkara yang mudah untuk dijalani warga.
    Ketika terjadi rob, air laut bukan hanya merendam perumahan, tapi juga merendam akses jalan utama keluar masuknya warga.
    Saat jalan terendam rob, warga akan sulit untuk keluar desa dan terhambat ketika mau beraktivitas.
    “Justru itu karena akses jalan yang terendam justru motor sampai ke jok airnya. Orang sering terganggu mau berpergian,” ujar Maska.
    Sering terjadinya rob membuat jalan di sepanjang Desa Kampung Beting rusak parah.
    Warga lain bernama Udin (24) juga mengaku, aktivitasnya begitu terganggu setiap kali rumahnya terendam rob.
    Udin terpaksa harus menunggu rob surut ketika ingin beraktivitas ke luar rumah.
    “Bisa aja, tapi nunggu airnya surut, biasanya tiga jam surut. Sekarang air datangnya pagi,” ucap Udin.
    Ia mengaku, begitu tersiksa dengan kondisi Kampung Beting yang seringkali tenggelam.
    Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyebut, hancurnya kejayaan Kampung Dollar atau Kampung Beting terjadi di tahun 2000-an.
    Pasalnya, di tahun itu usaha tambak warga di Kampung Beting habis total tergerus abrasi.
    “Sejak tahun 2000-an, abrasi dan penurunan muka tanah jadi penyebab rusaknya tambak nelayan di Muara Beting, dan hingga saat ini tidak ada lagi tambak warga yang aktif,” ungkap Susan.
    Abrasi parah yang terjadi di kampung ini disebabkan karena banyaknya hutan mangrove yang diubah menjadi area tambak warga.
    Padahal mangrove sendiri memegang peran penting untuk mencegah abrasi di daerah pesisir.
    Tak heran, jika kondisi Kampung Beting saat ini begitu memperihatinkan karena sudah tenggelam dan tak ada lagi perputaran roda ekonomi.
    Oleh sebab itu, Susan menilai tenggelamnya Kampung Beting di Muara Gembong bukan murni karena faktor alam.
    “KIARA menilai bahwa hal ini bukan murni faktor alamiah, tetapi human made disaster atau bencana yang ditimbulkan oleh ulah manusia,” ucap dia.
    Berdasarkan data dari KIARA, Menteri Kehutanan atas usulan Bupati Bekasi, menerbitkan surat keputusan Menhut Nomor SK.475/Menhut-II/2005 pada 16 Desember 2005 untuk mengubah fungsi dari hutan lindung menjadi hutan produksi seluas 5,1 hektare di Muara Gembong.
    Di sisi lain, berdasarkan dokumen Strategi Pengelolaan Sumber Daya Ekosistem Pesisir Muara Gembong, Teluk Jakarta 2019 menyebutkan, bahwa menurut Perhutani di tahun 2010 luas hutan mangrove alami di Muara Gembong mencapai 10,4 hektare, akan tetapi 95 persen vegetasi mangrove tersebut berubah menjadi tambak dan lahan pertanian.
    Berdasarkan data tersebut, mangrove di wilayah Muara Gembong tersisa 524 hektare. Hal ini berbanding terbalik dengan data citra satelit yang diolah MapBiomas Indonesia 2025 yang menyatakan bahwa di tahun 2010 hanya tersisa sekitar 67 hektare dan tahun 2023 hanya sekitar 23 hektare.
    “Jelas degradasi luas ekosistem mangrove ini catatan buruk tata kelola mangrove yang dilakukan pemerintah,” ucap dia.
    Pemerintah disarankan bisa membangun kembali rumah-rumah masyarakat dan infrastruktur ekologisnya yang adaptif terhadap banjir rob.
    Selain itu, pemerintah harus memastikan bahwa tidak adanya perizinan usaha maupun aktivitas industri ekstraktif dan eksploitatif lainnya yang membebani wilayah pesisir dan menyebabkan abrasinya semakin parah.
    “Selain itu, juga menghentikan, mengevaluasi, mengaudit, serta memproses industri maupun korporasi yang terbukti berkontribusi terhadap alih fungsi mangrove dan penurunan muka tanah yang terjadi baik di pesisir Muara Gembong maupun dalam scope yang lebih besar yaitu pesisir pantai utara Jawa,” jelas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Benteng Rumah Jebol Diterjang Luapan Sungai Citarum, 2 Mobil Warga Hanyut
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        1 Desember 2025

    Benteng Rumah Jebol Diterjang Luapan Sungai Citarum, 2 Mobil Warga Hanyut Bandung 1 Desember 2025

    Benteng Rumah Jebol Diterjang Luapan Sungai Citarum, 2 Mobil Warga Hanyut
    Tim Redaksi
    BANDUNG, KOMPAS.com
    — Sebuah benteng rumah setinggi tiga meter di Gang Haji Ibrahim, Kampung Cicukang RT 01 RW 01, Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, jebol akibat luapan anak Sungai Citarum yang terjadi sore ini.
    Luapan tersebut juga mengakibatkan dua unit mobil milik warga hanyut dan tembok sebuah Gor Badminton rusak.
    Pantauan Kompas.com, benteng rumah warga berbentuk letter L ini berdempetan langsung dengan aliran sungai.
    Benteng tersebut ambruk akibat tingginya debit air. Kondisi ini menyebabkan dua unit mobil, yakni Toyota Kijang dan Toyota Avanza, terbawa arus.
    Satu mobil berhasil ditemukan warga di aliran sungai, sementara satu unit lainnya masih dalam pencarian.
    Ketua RT 01, Ratmanto menjelaskan, air mulai meluap pada pukul 15.30 WIB, saat hujan deras mengguyur wilayah tersebut sejak siang hari.
    “Tiba-tiba air dari hulu (membuat) tembok jebol, langsung
    banjir
    . Kebetulan di sini ada dua mobil yang parkir di rumah ini, itu mobil Avanza dengan mobil Kijang terbawa arus,” katanya saat ditemui di lokasi, Senin (1/12/2025) malam.
    Ratmanto menambahkan, luapan anak
    Sungai Citarum
    sempat menggenangi rumah warga lainnya.
    Tercatat ada 22 keluarga yang terdampak kejadian ini.
    “Ada dua lokasi yang jebol di sini sama di gor, kalau yang terdampak itu 22 keluarga, total di sini 100 keluarga,” beber dia.
    Ia menyebutkan, air baru surut setelah dua jam dan beberapa warga yang mengontrak terpaksa dievakuasi karena luapan air hampir setinggi pinggang orang dewasa.

    Alhamdulillah
    untuk korban jiwa tidak ada,” tuturnya.
    Terkait dua mobil yang hanyut, Ratmanto menjelaskan, warga baru menemukan satu mobil yang tersangkut di aliran sungai.
    “Tapi
    alhamdulillah
    untuk mobil Avanza sudah diketemukan di sebelah Masjid As-Salam. Untuk proses pengambilannya belum, karena cuaca malam, paling-paling besok sama tim BPBD Kabupaten
    Bandung
    baru bisa ditangani,” ujarnya.
    Sementara itu, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung, Wahyudin menyatakan, luapan anak sungai Citarum ini membuat beberapa rumah warga terancam.
    “Kalau enggak segera diperbaiki, ya bakal kaya gini lagi,” ujarnya.
    Meskipun air sudah surut, pihaknya membutuhkan bantuan mobil
    crane
    untuk mengevakuasi dua mobil yang hanyut.
    “Kalau sekarang mobil tidak dapat diderek oleh mobil derek dikarenakan akses mobil susah masuk dan akses jalan gang,” tuturnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Nusron Perintahkan Pemda Batalkan Sertifikat Tanah di Atas Sempadan Sungai hingga Waduk

    Nusron Perintahkan Pemda Batalkan Sertifikat Tanah di Atas Sempadan Sungai hingga Waduk

    JAKARTA – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan, banyak sertifikat tanah yang terbit dan bangunan berdiri di atas sempadan sungai hingga waduk Jabodetabek.

    “Nanti kami akan cek masih ada berapa tanah yang disertifikatkan di situ, kami batalkan karena itu di atas sempadan sungai. Akan kami cek ada berapa bangunan gedung, kami minta pemda untuk membatalkan,” ujar Nusron usai melakukan pertemuan dengan Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) Diana Kusumastuti di kantor Kementerian PU, Jakarta, Rabu, 29 Oktober.

    Apalagi berdasarkan peraturan, sempadan sungai maupun waduk merupakan ruang gerak air, sehingga tidak boleh ada bangunan di atasnya.

    Saat ini, Kementerian ATR/BPN dan Kementerian PU tengah mengharmonisasi peraturan terkait pemanfaatan sempadan sungai.

    Harmonisasi peraturan tersebut ditargetkan rampung sebelum musim banjir pada Januari dan Februari 2026.

    “Dari aspek dimensi tata ruang, aspek dimensi survei dan pemetaan tanah maupun endingnya adalah penerbitan sertifikat dan pendaftaran tanah. Ini harus seragam dulu, supaya ke depan tidak terjadi masalah,” katanya.

    Setelah itu, pemerintah akan melakukan audit tata ruang, audit sertifikat tanah dan audit bangunan di sepanjang sempadan sungai yang berpotensi banjir, untuk kemudian ditertibkan.

    Beberapa sungai yang menjadi langganan banjir di Jabodetabek, antara lain Sungai Ciliwung, Sungai Cisadane, Sungai Cikeas dan Sungai Citarum.

    “Ini mumpung banjirnya masih jauh, kami antisipasi dari sekarang,” pungkasnya.