Tempat Fasum: Rumah Sakit Hasan Sadikin

  • Update Kasus Dokter Residen RSHS: Polisi Lakukan Olah TKP Ulang di Lantai 7 Gedung MCHC

    Update Kasus Dokter Residen RSHS: Polisi Lakukan Olah TKP Ulang di Lantai 7 Gedung MCHC

    JABAR EKSPRES  – Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar) bersama tim dari Mabes Polri melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) ulang di lantai 7 Gedung MCHC Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Kegiatan ini merupakan bagian dari proses penyidikan lanjutan atas dugaan kasus pelecehan seksual yang melibatkan seorang dokter residen anestesi bernama Priguna Anugerah Pratama (PAP).

    PAP diketahui merupakan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) dan telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana pelecehan seksual terhadap FH (21), seorang pendamping pasien yang sedang dirawat di RSHS.

    Direktur Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Pol Surawan, menjelaskan bahwa olah TKP ulang dilakukan untuk memperkuat alat bukti dan memastikan kronologi kejadian secara lebih detail.

    “Tadi kami lakukan olah TKP ulang. Kami melakukan swab pada beberapa titik seperti tempat tidur dan area sekitar lokasi kejadian. Hasilnya masih menunggu analisa dari tim Puslabfor Polri,” kata Surawan, Jumat (11/4) malam.

    Ia juga mengungkapkan bahwa saat olah TKP awal, tim penyidik menemukan sejumlah barang bukti berupa obat-obatan yang terlihat secara kasat mata. Dalam olah TKP ulang, metode yang lebih teliti digunakan untuk mendalami bukti forensik yang mungkin tertinggal di lokasi.

    “Kalau kemarin baru pemeriksaan awal, sekarang kami gunakan metode tertentu, termasuk pengambilan sampel untuk diuji lebih lanjut,” tambahnya.

    Meski proses penyelidikan masih berjalan, Surawan menyebut pihak kepolisian telah menerima laporan dari dua korban tambahan, selain FH. Namun hingga kini belum ada informasi resmi terkait kemungkinan adanya korban lainnya.

    “Sampai saat ini, yang kami proses adalah korban yang sudah melapor ke pihak rumah sakit. Belum ada laporan tambahan dari luar itu,” ujarnya.

    Sebelumnya, Polda Jabar telah menetapkan Priguna Anugerah Pratama sebagai tersangka setelah menerima laporan dari korban pada 18 Maret 2025. Pelaku kemudian ditahan untuk menjalani proses hukum lebih lanjut.

    “TKP berada di lantai 7 Gedung MCHC, RSHS Bandung,” jelas Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan.

  • Olah TKP, Polisi Sebut Priguna Hapal Situasi dan Kondisi Rumah Sakit – Halaman all

    Olah TKP, Polisi Sebut Priguna Hapal Situasi dan Kondisi Rumah Sakit – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pihak kepolisian melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat terkait kasus rudapaksa yang melibatkan dokter residen Universitas Padjadjaran (Unpad) bernama Priguna Anugerah, Jumat (11/4/2025).

    Polda Jabar bersama Puslabfor dan Dokkes mendatangi gedung MCHC lantai 7 RSHS Bandung, tempat tersangka merudapaksa para korbannya.

    Selama dua jam melakukan olah TKP, pihak kepolisian menemukan bahwa tersangka paham situasi dan kondisi gedung tersebut.

    Demikian yang disampaikan Ditreskrimum Polda Jabar, Kombes Surawan.

    “Ruangan (TKP) itu terletak di ujung. Ada beberapa barang bukti yang kami temukan di sana sebagaimana yang telah kami sampaikan ketika konferensi pers beberapa waktu lalu.”

    “Pelaku juga ternyata sudah mempelajari situasi rumah sakit. Dia naik lift ke lantai 6 dahulu, kemudian dia naik tangga ke lantai 7,” ujar Surawan, dikutip dari TribunJabar.id.

    Ia menambahkan, pelaku beraksi tanpa didampingi dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).

    “Pelaku ini melancarkan aksinya sendiri di ruangan yang tak terkunci dan ruangan itu akan digunakan untuk perawatan perempuan,” katanya.

    Sebelumnya, Surawan juga mengatakan bahwa ada dua korban baru lagi yang melapor.

    Kedua korban yang berusia 21 dan 31 tahun tersebut pun telah dilakukan pemeriksaan.

    “Benar bahwa ada dua korban ini ternyata telah menerima perlakuan yang sama dari tersangka dengan modus sama.”

    “Kejadiannya terjadi pada 10 Maret dan 16 Maret 2025 atau dengan kata lain sebelum kejadian yang menimpa FH (21),” katanya di Polda Jabar, Jumat (11/4/2025).

    Surawan mengatakan, tersangka beraksi dengan modus melakukan analisa anestesi dan uji alergi terhadap obat bius.

    “Korban-korbannya dibawa ke tempat yang sama, yakni Gedung MCHC lantai 7. Tapi, untuk yang dua korban tambahan ini merupakan pasien RSHS,” katanya.

    Ia juga meluruskan soal kabar adanya surat pencabutan laporan.

    “Enggak ada (pencabutan). Jadi, enggak ada cabut laporan korban yang kami proses hukumnya,”

    “Begitu juga dengan informasi upaya damai, itu enggak ada, sebab ini adalah perbuatan berulang,” ujar Surawan di Mapolda Jabar, Jumat (11/4/2025).

    Mengutip TribunJabar.id, ia menuturkan, salah satu perbuatan yang tidak bisa diselesaikan dengan cara restorative justice (RJ) ialah tindakan yang berulang.

    Surawan juga mengatakan, sejauh ini dari bukti-bukti yang didapatkan tim penyidik maupun keterangan saksi, tersangka beraksi satu orang dan belum ada tersangka baru.

    “Si pelaku lakukan aksinya ini belum lama. Kami sekarang sedang lakukan uji DNA dari bukti-bukti yang diamankan dengan mendapatkan dukungan dari Pusdokkes dan mungkin tiga sampai empat hari hasilnya keluar,” katanya.

    Sebelumnya, pengacara tersangka, Ferdy Rizky menuturkan bahwa kliennya sudah meminta maaf ke korban.

    “Intinya, kami akan kooperatif membantu memberikan hak-haknya tersangka dan kami akan kawal proses ini sampai akhirnya mempunyai keputusan,” katanya ditemui di Jalan Soekarno Hatta, Kamis (10/4/2025).

    Fredy juga menuturkan saat pertemuan, pihak korban sempat menunjukkan bukti pencabutan laporan meski tak mempengaruhi proses hukum.

    “Pencabutan itu terjadi 23 Maret 2025,” kata Ferdy.

    Sebagian atikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Fakta Baru Kasus Cabul Dokter Residen di RSHS Bandung: Pelaku Hapal Situasi dan Kondisi Rumah Sakit

    (Tribunnews.com, Muhammad Renald Shiftanto)(TribunJabar.id, Muhamad Nandri Prilatama)

  • DPR siap panggil Kemenkes hingga RSHS terkait kasus dokter PPDS

    DPR siap panggil Kemenkes hingga RSHS terkait kasus dokter PPDS

    Situasi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (9/4/2025). (ANTARA/Rubby Jovan)

    DPR siap panggil Kemenkes hingga RSHS terkait kasus dokter PPDS
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 11 April 2025 – 11:34 WIB

    Elshinta.com – Komisi IX DPR RI siap memanggil sejumlah pihak, mulai dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Dekan FK Unpad, RSHS Bandung, Konsil Kedokteran Indonesia, hingga Kemendiktisaintek untuk membahas kasus pemerkosaan oleh calon dokter spesialis anastesi di RSHS.

    “Langkah ini diambil untuk meminta klarifikasi, mengevaluasi sistem pembinaan dan pengawasan tenaga medis, serta memastikan kasus serupa tidak terulang di masa mendatang,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh dalam keterangan kepada wartawan yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Ia juga menegaskan Komisi IX DPR mengecam kasus pemerkosaan itu.

    Menurutnya, kasus tersebut mencerminkan kegagalan sistem pengawasan hingga perlindungan pasien di lingkungan rumah sakit.

    Dia juga mengatakan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh dokter residen PPDS anestesi Unpad di RSUP Hasan Sadikin (RSHS) Bandung itu harus segera ditanggapi dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh dan sistemik.

    “Kami meminta Kementerian Kesehatan RI dan Konsil Kedokteran Indonesia untuk melakukan evaluasi dan tindakan disipliner terhadap tenaga medis yang terlibat,” ucapnya.

    Menurut dia, Universitas Padjadjaran (Unpad) dan RSHS Bandung harus memperkuat sistem pelaporan, perlindungan korban, dan pengawasan terhadap peserta pendidikan dokter spesialis.

    Selain itu, Kementerian Kesehatan perlu memberikan pendampingan psikologis, hukum, dan kesehatan kepada korban sebagai bentuk pemulihan hak-hak korban, sesuai amanat Pasal 55 dan 64 Undang-Undang Kesehatan.

    Sebelumnya, Kepolisian Daerah Jawa Barat menahan seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) berinisial PAP (31) atas dugaan kekerasan seksual terhadap anggota keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

    Polisi juga mengungkapkan adanya indikasi kelainan perilaku seksual pada pelaku, yang menjadi tersangka kasus pemerkosaan terhadap keluarga pasien. Temuan itu berdasarkan pemeriksaan awal terhadap dokter PPDS terduga pelaku pemerkosaan berinisial PAP (31).

    Sumber : Antara

  • Komnas HAM Soroti Kekerasan Seksual oleh Dokter PPDS, Dosen UGM, dan Kapolres Ngada: Sanksi Diperberat

    Komnas HAM Soroti Kekerasan Seksual oleh Dokter PPDS, Dosen UGM, dan Kapolres Ngada: Sanksi Diperberat

    PIKIRANR AKYAT – Komnas HAM menanggapi pelaku kekerasan seksual dokter PPDS Unpad Priguna Anugerah Pratama, dosen UGM Edi Meiyanto hingga mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar.

    Menurut Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah, posisi mereka di Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai pihak yang seharusnya memberi perlindungan dan pelayanan.

    Anis menilai hukuman pelaku dari kalangan mereka harus diperberat karena seharusnya melindungi masyarakat, bukan yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual.

    “Posisi mereka itu, kalau di dalam Undang-Undang TPKS disebut sebagai pihak yang seharusnya memberikan perlindungan dan pelayanan, yaitu dokter, guru besar, kemudian ini kepolisian,” ucap Anis di Jakarta pada Kamis, 10 April 2025 seperti dikutip dari Antara.

    Kawal Kasus Kekerasan Seksual

    Anis mengatakannya usai menerima audiensi dari Forum Perempuan Diaspora Nusa Tenggara Timur, dengan agenda pembahasan seputar kasus kekerasan seksual yang dilakukan eks Kapolres Ngada AKBP Fajar.

    “Jadi mereka mesti diberikan pemberatan hukuman karena status pelaku yang seharusnya memberikan pelayanan dan perlindungan bagi masyarakat,” lanjutnya.

    Ia mengajak semua pihak mengawal kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan dokter, dosen hingga aparat agar penegak hukum benar-benar memperberat hukuman bagi mereka.

    “Kita berkepentingan untuk mengawal agar nantinya aparat penegak hukum menjatuhkan sanksi yang seberat-beratnya,” lanjut Anis.

    Update Kasus Dokter PPDS dan Dosen UGM

    Polda Jawa Barat (Jabar) sudah menahan Priguna Anugerah Pratama, seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad).

    Ia diduga sebagai pelaku kekerasan seksual pada anggota keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

    Sedangkan pimpinan Universitas Gadjah Mada (UGM) telah menjatuhkan sanksi pemecatan Edi Meiyanto, seorang guru besar di Fakultas Farmasi usao terbukti melakukan kekerasan seksual pada belasan mahasiswa.

    Dugaan kekerasan seksual ini terjadi sepanjang 2023 sampai 2024. Kasus itu terungkap usai muncul laporan ke Fakultas Farmasi pada Juli 2024.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • STR dan SIP Dicabut Priguna Anugerah Tidak Bisa Buka Praktik Dokter Seumur Hidup – Halaman all

    STR dan SIP Dicabut Priguna Anugerah Tidak Bisa Buka Praktik Dokter Seumur Hidup – Halaman all

    Priguna Anugerah Pratama telah ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap keluarga pasien.

    Tayang: Jumat, 11 April 2025 17:03 WIB

    Tribunjabar.id

    DOKTER PELAKU RUDAPAKSA – Konferensi pers Polda Jabar atas kasus rudapaksa keluarga pasien RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung oleh dokter residen Priguna Anugerah Pratama (berkaus biru) di Mapolda Jabar, Rabu 9 April 2025. Polisi menduga korban lebih dari satu orang. 

    ​TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) langsung mengambil langkah tegas terhadap dokter Priguna Anugerah Pratama dengan mencabut Surat Izin Praktik (SIP) dan menonaktifkan Surat Tanda Registrasi (STR).

    Sebagai informasi, Priguna Anugerah Pratama telah ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat.

    “KKI secara resmi menonaktifkan Surat Tanda Registrasi (STR) milik yang bersangkutan pada Kamis (10/4/2025), segera setelah status tersangka ditetapkan oleh aparat penegak hukum,” ujar Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) drg Arianti Anaya, MKM pada keterangan resmi, Jumat (11/5/2025).

    Langkah ini diikuti dengan koordinasi bersama Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat untuk mencabut Surat Izin Praktik (SIP) atas nama Priguna Anugerah Pratama.

    Drg Arianti menegaskan pencabutan STR dan SIP merupakan sanksi administratif tertinggi dalam profesi kedokteran di Indonesia.

    “Dengan demikian, setelah SIP dicabut, yang bersangkutan tidak dapat lagi berpraktik sebagai dokter seumur hidup,” tegasnya.

    Sebagai langkah lanjutan, Kementerian Kesehatan juga telah memerintahkan penghentian sementara Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSUP Hasan Sadikin Bandung, Jawa Barat.

    Penghentian ini bertujuan memberikan ruang untuk evaluasi menyeluruh terhadap sistem tata kelola dan pengawasan dalam pelaksanaan program PPDS di RSHS.

    “Evaluasi yang dilakukan diharapkan mampu menghasilkan sistem pengawasan yang lebih ketat, transparan, dan responsif terhadap potensi pelanggaran hukum maupun etika oleh peserta program pendidikan dokter spesialis,” tutup drg Arianti.

    “);
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:’61’,img:’thumb2′}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }
    else{
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    $(“#test3”).val(“Done”);
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else if (getLast > 150) {
    if ($(“#ltldmr”).length == 0){
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    }
    }
    }
    });
    });

    function loadmore(){
    if ($(“#ltldmr”).length > 0) $(“#ltldmr”).remove();
    var getLast = parseInt($(“#latestul > li:last-child”).attr(“data-sort”));
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast ;
    if($(“#test3”).val() == ‘Done’){
    newlast=0;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest”, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;
    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else{
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:sectionid,img:’thumb2′,total:’40’}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast+1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    }

    Berita Terkini

  • Menteri PPPA Minta Dokter Priguna yang Perkosa Anak Pasien Dihukum Sesuai UU TKPS
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        11 April 2025

    Menteri PPPA Minta Dokter Priguna yang Perkosa Anak Pasien Dihukum Sesuai UU TKPS Nasional 11 April 2025

    Menteri PPPA Minta Dokter Priguna yang Perkosa Anak Pasien Dihukum Sesuai UU TKPS
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi meminta dokter residen anestesi PPDS FK Unpad, Priguana Anugerah, yang diduga melakukan
    kekerasan seksual
    dihukum sesuai aturan yang berlaku.
    Menurut Arifah, pelaku dapat dijerat Pasal 6 jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
    Kekerasan Seksual
    (UU TPKS) dengan pidana penjara hingga 12 tahun dan/atau denda hingga Rp 300 juta.
    “Kami berharap tersangka mendapatkan hukuman yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan agar memberikan efek jera,” ujar Arifah, dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Jumat (11/4/2025).
    Arifah menilai, Priguana telah menyalahgunakan kekuasaannya sebagai dokter residen anestesi untuk melakukan aksi bejatnya terhadap korban.
    “Terlebih kekerasan seksual yang dialami oleh korban dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan atau dalam kondisi korban tidak berdaya,” ujar dia.
    Ia mengatakan, ancaman pidana tersangka dapat ditambah sepertiga karena dilakukan oleh tenaga medis atau profesional dalam situasi relasi kuasa.
    “Ini mengakibatkan dampak berat bagi korban, termasuk trauma psikis, luka berat, atau bahkan kematian,” tutur Arifah.
    Akibat adanya kasus tersebut, Arifah mengajak masyarakat yang mengalami, mendengar, melihat, atau mengetahui kasus kekerasan untuk berani berbicara dan melapor ke lembaga-lembaga terkait.
    Lembaga tersebut di antaranya UPTD PPA, UPTD di bidang sosial, Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, atau pihak kepolisian untuk mencegah jumlah korban bertambah banyak.
    Selain itu, masyarakat juga dapat melapor melalui
    hotline
    Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau WhatsApp 08111-129-129.
    Adapun, kasus ini bermula dari lini masa media sosial X yang ramai membahas dugaan tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh
    dokter anestesi
    Program Pendidikan Dokter Spesialis atau PPDS Universitas Padjadjaran (Unpad) di
    Rumah Sakit Hasan Sadikin
    (RSHS) Bandung, Jawa Barat.
    Kasus dugaan kekerasan seksual ini diunggah salah satunya oleh akun @txtdari yang membagikan tangkapan layar pesan WhatsApp kepada seorang dokter.
    Pesan tersebut berisi laporan dugaan tindak kekerasan seksual yang dilakukan dua dokter residen di RSHS kepada keluarga pasien.
    “Selamat malam dok. Maaf mengganggu. Dok, saya dapat informasi ada 2 residen anestesi Unpad melakukan pemerkosaan ke penunggu pasien (menggunakan obat bius, ada bukti CCTV lengkap)….,” bunyi pesan dalam tangkapan layar tersebut, Selasa (7/4/2025).
    Korban merupakan salah satu keluarga pasien di RSHS.
    Aksi itu dilakukan dengan modus pemeriksaan darah pada pertengahan Maret 2025 di salah satu ruangan lantai 7 gedung RSHS.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR minta RS perketat seleksi tenaga medis imbas kasus dokter PPDS

    DPR minta RS perketat seleksi tenaga medis imbas kasus dokter PPDS

    Polda Jabar saat menghadirkan tersangka berinisial PAP atas kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada keluarga pasien di Bandung, Jawa Barat, Rabu (9/4/2025). (ANTARA/Rubby Jovan)

    DPR minta RS perketat seleksi tenaga medis imbas kasus dokter PPDS
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 11 April 2025 – 11:49 WIB

    Elshinta.com – Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal meminta seluruh rumah sakit (RS) memperketat seleksi tenaga medis dan residen untuk mencegah berulangnya kasus seperti pemerkosaan oleh peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran.

    “Kasus ini harus menjadi pelajaran bagi rumah sakit agar menerapkan manajemen seleksi dan pengawasan yang lebih ketat untuk mengantisipasi kejadian serupa,” kata dia dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Pimpinan DPR di bidang kesejahteraan rakyat (kesra) itu pun meminta agar pelaku pemerkosaan itu dihukum seberat-beratnya.

    Menurut Cucun, tidak ada toleransi terhadap tindakan pemerkosaan, terlebih jika dilakukan oleh tenaga medis yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat.

    “Lebih-lebih tempatnya di rumah sakit yang berkewajiban untuk memastikan keamanan bagi masyarakat,” kata dia.

    Ia mengingatkan pelaku harus tetap diproses secara hukum, walaupun telah di-blacklist Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan menyampaikan permintaan maaf.

    “Tindakan pelaku tetap harus diproses hukum untuk mendapatkan sanksi. Hal ini sebagai upaya penegakan keadilan dan edukasi publik,” ucapnya.

    Ia juga mendorong adanya kerja sama yang erat antara pihak manajemen RSUP Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dan Universitas Padjadjaran dalam pemulihan korban.

    Dia menekankan pentingnya pendampingan psikologis dan sosial secara optimal agar korban bisa bangkit dari trauma.

    “Hal ini untuk memastikan bahwa pendampingan terhadap korban dan proses pemulihan benar-benar optimal sehingga dampak psikologis dan sosial dapat diatasi,” kata dia.

    Sebelumnya, Kepolisian Daerah Jawa Barat menahan seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) berinisial PAP (31) atas dugaan kekerasan seksual terhadap anggota keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.

    Polisi juga mengungkapkan adanya indikasi kelainan perilaku seksual pada pelaku, yang menjadi tersangka kasus pemerkosaan terhadap keluarga pasien. Temuan itu berdasarkan pemeriksaan awal terhadap dokter PPDS terduga pelaku pemerkosaan berinisial PAP (31).

    Sumber : Antara

  • Kasus Dokter PPDS Unpad, Menkes Gencarkan Tes Mental Calon Mahasiswa

    Kasus Dokter PPDS Unpad, Menkes Gencarkan Tes Mental Calon Mahasiswa

    Solo, Beritasatu.com – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan mewajibkan para dokter peserta PPDS untuk cek kesehatan mental. Hal ini merespons kasus pemerkosaan yang dilakukan dokter program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Universitas Padjajaran (Unpad) terhadap penunggu pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. 

    Menurut Menkes Budi Gunawan, dokter PPDS bekerja dengan tekanan yang tinggi sehingga ketika ada potensi masalah akan diketahui lebih dini dan dilakukan perbaikan. 

    ”Ini kan masalah kejiwaan, masalah mental, Kemenkes akan mewajibkan semua peserta PPDS yang mau masuk harus tes mental dulu,” ujar menkes saat bersilaturahmi di kediaman Jokowi di Sumber, Banjarsari, Solo, Jumat (11/4/2025).

    Sebelumnya, langkah pertama yang dilakukan Kemenkes dalam kasus ini adalah membekukan program PPDS di Unpad dan RSHS Bandung. 

    ”Jadi yang pertama kita sangat menyesalkan hal itu terjadi. Nomor dua, saya juga mengucapkan turut sedih pada keluarga dari korban, yang ketiga harus ada perbaikan. Perbaikan pertama kita membekukan dahulu anestesi di Unpad dan RSHS untuk melihat kekurangan mana yang harus diperbaiki,” ujar Budi Gunadi.

    Pembekuan ini akan diberlakukan selama satu bulan. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi setelah adanya kasus pemerkosaan yang terjadi di RSHS Bandung tersebut. 

    Menurutnya langkah pembekuan ini penting dilakukan untuk melihat mana yang harus dilakukan perbaikan. ”Kalau kita perbaiki sambil jalan kan susah, ini sudah satu bulan,” ujarnya. 

    Selain itu dengan adanya sanksi tersebut akan memberikan efek jera. Apalagi menurut Budi, pelanggaran-pelanggaran tersebut juga terjadi di universitas lain. Namun tidak pernah ada efek jera. 

    ”Ini (pelanggaran) kan sering terjadi, di Undip (Universitas Diponegoro) kan juga terjadi,” katanya. 

    Langkah selanjutnya, Budi juga akan mencabut izin surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktek (SIP) dari pelaku. Apalagi saat ini kewenangan izin tersebut  berada di Kementerian Kesehatan sesuai dengan undang-undang yang baru.

     ”Jadi dia (dokter PPDS pelaku pemerkosaan) enggak bisa praktek lagi,” ujarnya. 
     

  • Nggak Boleh Kompromi, Harus Dihukum Berat

    Nggak Boleh Kompromi, Harus Dihukum Berat

    loading…

    Tersangka Priguna Anugerah Pratama (31), dokter anastesi peserta PPDS Unpad saat diperlihatkan di Polda Jabar, beberapa waktu lalu. Tersangka memperkosa anggota keluarga pasien di RSHS Bandung. Foto: Dok SINDOnews

    JAKARTA – Anggota Komisi III DPR Gilang Dhielafararez mengecam tindak pemerkosaan yang dilakukan Priguna Anugerah Pratama (31), dokter anastesi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran (Unpad) terhadap anggota keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

    Gilang mendesak polisi mengusut tuntas kasus ini. Dia meminta polisi memberikan hukuman maksimal terhadal tersangka. Desakan didasari lantatan kasus ini tak hanya merusak citra dunia kedokteran, tapi juga kejahatan serius yang melukai nilai kemanusiaan.

    “Pelaku harus dihukum seberat-beratnya karena apa yang dilakukannya sungguh amat biadab,” ujar Gilang, Jumat (11/4/2025).

    Menurut dia, tindak kekerasan seksual dalam lingkungan fasilitas kesehatan merupakan kejahatan berat dan tidak hanya mencederai korban secara fisik dan psikis, tetapi juga mengoyak kepercayaan publik terhadap institusi medis.

    “Nggak boleh ada ruang kompromi terhadap pelaku kekerasan seksual, apalagi jika terjadi di institusi publik yang seharusnya melindungi rakyat,” tegasnya.

    Komisi III DPR akan memantau proses penegakan hukum yang tengah dilakukan Polda Jawa Barat. Dia juga mendorong aparat penegak hukum untuk menggunakan seluruh instrumen hukum yang ada untuk memberikan keadilan bagi korban.

    Gilang meminta polisi segera mengusut tuntas kasus ini agar ada keadilan bagi korban, terlebih pihak kepolisian telah menyatakan adanya dua korban lain atas tindakan kekerasan seksual pelaku.

    Menurut dia, perbuatan dokter PPDS terhadap korban yang tengah menunggu orang tuanya di rumah sakit termasuk perbuatan sangat keji dan tidak bisa ditolerir.

    “Simpati yang mendalam bagi korban yang tak hanya menjadi korban kekerasan seksual dari pihak yang seharusnya memberikan perlindungan, tapi juga harus menanggung tambahan kesedihan karena sang ayah meninggal,” ucapnya.

    Diketahui, dokter PPDS anestesi dari Unpad bernama Priguna Anugerah Pratama memperkosa anggota keluarga pasien di RSHS Bandung. Korban merupakan perempuan berusia 21 tahun.

    Modus pelaku dengan berpura-pura meminta donor darah korban untuk ayahnya yang sedang kritis. Korban dibawa ke lantai gedung RSHS baru yang belum dioperasikan lalu dibius, kemudian diperkosa.

    Priguna sudah ditetapkan tersangka dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara. Tak hanya itu, Unpad juga telah memberhentikan pelaku dari program PPDS dan izin praktik dokter Priguna dicabut. Kasus ini juga menyebabkan PPDS Anestasiologi dan Terapi Intensif di RSHS Bandung diberhentikan sementara.

    (jon)

  • Buntut Kasus Dokter PPDS, DPR Siap Panggil Kemenkes hingga RSHS Bandung

    Buntut Kasus Dokter PPDS, DPR Siap Panggil Kemenkes hingga RSHS Bandung

    JABAR EKSPRES – Buntut kasus dokter PPDS, Komisi IX DPR RI siap memanggil sejumlah pihak mulai dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Dekan FK Unpad, RSHS Bandung, Konsil Kedokteran Indonesia, hingga Kemendiktisaintek untuk membahas kasus pemerkosaan oleh calon dokter spesialis anastesi di RSHS.

    “Langkah ini diambil untuk meminta klarifikasi mengevaluasi sistem pembinaan dan pengawasan tenaga medis, serta memastikan kasus serupa tidak terulang di masa mendatang,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh dikutip dari ANTARA, Jumat (11/4).

    Ia menegaskan Komisi IX DPR mengecam kasus pemerkosaan itu. Kasus tersebut mencerminkan kegagalan sistem pengawasan hingga perlindungan pasien di lingkungan rumah sakit.

    BACA JUGA: DPRD Kota Bandung Sesalkan Tindakan Asusila Dokter Peserta PPDS di RSHS

    Ia juga mengatakan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh dokter residen PPDS anastesi Unpad di RSUP Hasan Sadikin Sadikin (RSHS) Bandung tersebut harus segera ditanggapi dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh dan sistemik.

    “Kami meminta Kementerian Kesehatan RI dan Konsil Kodekteran Indonesia untuk melakukan evaluasi dan tindakan disipliner terhadap tenaga medis yang terlibat,” ucapnya.

    Menurutnya, Universitas Padjajaran (Unpad) dan RSHS Bandung harus perkuat sistem pelaporan, perlindungan korban dan pengawasan terhadap peserta Pendidikan dokter spesialis.

    Tidak hanya itu, Kementerian Kesehatan perlu memberikan pendampingan psikologis, hukum dan kesehatan kepada korban sebagai bentuk pemulihan hak-hak korban, sesuai amanat Pasal 55 dan 64 Undang-Undang Kesehatan.

    BACA JUGA: Bertambah, Korban Pelecehan Dokter PPDS di RSHS Jadi 3 Orang

    Sebelumnya, Kepolisian Daerah Jawa Barat menahan seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad) berinisial PAP (31) atas dugaan kekerasaan seksual terhadap anggota keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

    Selain itu, Polisi juga mengungkapkan adanya indikasi kelainan perilaku seksual pada pelaku, yang menjadikannya tersangka kasus pemerkosaan terhadap keluarga pasien.

    Temuan itu, berdasarkan pemeriksaan awal terhadap dokter PPDS terduga pelaku pemerkosaan berinisial PAP (31).